Penafsiran Sayyid Quthb tentang nafs dalam al-qur'an surat ath-Thariq ayat 4.

PENAFSIRAN SAYYID QUT{B TENTANG NAFS DALAM
AL-QUR’An dan bagaimana penerapan teori Sayyid
Qut}b dalam menafsirkan kata Nafs surat At}-T}ariq ayat 4.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemikiran Sayyid Qut}b yang
menafsirkan kata Nafs dalam al-Qur’a>n surat At}-T{ariq ayat 4 menjadi al-Insa>n
secara konfrehensif. Dan untuk mengetahui penerapan teori Sayyid Qut}b yang
menafsirkan kata Nafs dalam al-Qur’a>n surat At}-T}ariq ayat 4.
Penelitian ini bersifat kepustakaan (librery research) yang langkahlangkahnya melalui penggalian dan penelusuran terhadap kitab-kitab, buku-buku
dan catatan-catatan yang berhubungan dengan penelitian ini. Selain itu, penelitian
ini menggunakan metode yang bersifat deskriptif analisis. Penelitian ini
digunakan untuk menggambarkan penafsiran Sayyid Qut}b terhadap kata Nafs
surat At}-T{ariq ayat 4, setalah itu dilakukan analisis dan intrepetasi secara kritis
sebelum dituangkan dan di implementasikan dalam sebuah gagasan. Metode ini
dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang penerapan teori
penafsiran Sayyid Qut}b terhadap kata Nafs surat At}-T{ariq ayat 4.
Penelitian ini dilakukan karena dapat memberikan kontribusi dalam study
al-Qur’a>n dengan memberikan informasi ruang gerak yang luas terhadap
pemahaman teori penafsiran dan juga memberikan kontribusi terhadap memahami
Munasabah. Selain itu juga dapat menghasilkan sebuah solusi untuk memahami
ayat yang di tafsirkan Sayyid Qut}b dengan menggunakan teori Balaghah dan
Semantika.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah Sayyid Qut}b menafsirkan surat At}T}ariq ayat 4 menggunakan teori munasabah dan metode penafsirannya
menggunakan metode tahlili dan ia lebih condong dengan memakai teori
Linguistik dalam menafsirkan surat At}-T{ariq ayat 4.

Kata Kunci: Penafsiran, Sayyid Qut}b, al-Insa>an

viii

DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ..........................................................................................

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................

iii

PENGESAHAN SKRIPSI ..........................................................................................

iv


PERNYATAAN KEASLIAN .....................................................................................

v

MOTTO .......................................................................................................................

vi

PERSEMBAHAN ....................................................................................................... vii
ABSTRAK ................................................................................................................... viii
KATA PENGANTAR .................................................................................................

ix

DAFTAR ISI ................................................................................................................

xi

PEDOMAN TRANSLITRASI ......................................................................... xiii

BAB I

: PENDAHULUAN...........................................................................

1

A. Latar Belakan ...........................................................................

1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ...........................................

5

C. Rumusan Masalah ...................................................................

6

D. Tujuan Penelitian .....................................................................


6

E. Tinjauan Pustaka ......................................................................

7

F. Metode Penelitian ....................................................................

8

G. Sistematika Pembahasan .......................................................... 13
BAB II :

TEORI PENAFSIRAN SURAT AT{-T{ARIQ AYAT 4 ...................... 14

A. Teori ‘Ulum al-Qur’a>n ........................................................... 14
1. Munasabah ......................................................................... 14

ix


B. Teori Linguistik ...................................................................... 23
1. Semantik.............................................................................. 23
2. Balaghah ............................................................................. 27
BAB III

: RIWAYAT HIDUP SAYYID QUT{B DAN PEMAPARAN
TAFSIR SURAT AT{-T{ARIQ AYAT 4 .................................... 32
A. Biografi Sayyid Qut}b ............................................................ 32
B. Kitab Tafsir fi Dhilalil Qur’a>n ............................................. 44
C. Tafsir Surat At}-T{ariq Ayat 4 ................................................ 51

BAB IV

: PENAFSIRAN SAYYID QUT{B TERHADAP NAFS DALAM
SURAT AT{-T{ARIQ AYAT 4 .................................................... 54
A. Penafsiran Kata Nafs Menjadi al-Insa>n ............................... 54
1. Sayyid Qut}b Seorang Sastrawan ..................................... 54
2. Terfitnahnya Sayyid Qut}b oleh Pemerintah Mesir.......... 55
B. Penerapan Teori Kata Nafs dalam Surat At}-T{ariq Ayat 4 .... 56


BAB V

: PENUTUP .................................................................................... 64
A. Kesimpulan ............................................................................ 64
B. Saran ...................................................................................... 64

DAFTAR PUSTAKA

x

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’a>n merupakan kitab suci yang sempurna. Satu-satunya bacaan
yang tidak ada bandingannya. Dalam sejarah tidak ada satu karya yang bisa
menandingi mahakarya Tuhan yang sempurna dan mulia ini. al-Qur’a>n juga
merupakan bacaan yang paling banyak dibaca oleh ratusan juta orang di dunia
baik yang mengerti artinya maupun yang tidak mengerti artinya bahkan yang
hanya bisa membacanya tanpa bisa menulisnya, bahkan dihafal huruf demi huruf

oleh orang dewasa, remaja, dan anak-anak.1
Dengan demikian pula, al-Qur’a>n turun sebagai pedoman bagi seluruh
manusia sampai akhir zaman telah memberikan sinyal bahwa manusia yang mulia
bukanlah ditentukan dari seberapa besar kekayaannya atau seberapa bagus
penampilan fisiknya yang kesemuanya itu bersifat fana (tidak abadi). Akan tetapi
manusia yang paling mulia adalah mereka yang bertaqwa. Dalam beberapa hadith
Nabi juga menjelaskan bahwa Allah tidak melihat kondisi fisik (unsur materi)
tetapi yang disaksikan adalah hati dan amal perbuatan. Jiwa bersih yang
melahirkan amal s}aleh.
Al-Qur’a>n juga menginformasikan bahwa manusia sebagai makhluk
ciptaan Tuhan yang memiliki sosok diri yang terbentuk dari unsur fisik dan
nonfisik. Secara anatomis, pemahaman terhadap unsur fisik tampaknya tak jauh
M. Qurais} S}ihab, Wawasan al-Qur’a>n: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung:
Penerbit Mizan, 2013), 3.

1

1

2


berbeda dari konsep manusia menurut pandangan ilmuwan Barat, meskipun dalam
pengertian khusus konsep islam tentang manusia lebih rinci.2
Sedangkan manusia menurut terminologi al-Qur’a>n dapat dilihat dari
berbagai sudut pandang. Manusia disebut al-Bashar berdasarkan pendekatan
aspek biologisnya. Dari sudut pandang ini manusia dilihat sebagai makhluk
biologis yang memiliki dorongan primer (makan, minum, hubungan seksual) dan
makhluk generative (berketurunan). Sedangkan, dilihat dari fungsi dan potensi
yang dimiliknya manusia disebut al-Insan. Disebut al-Nas yang umumnya dilihat
dari sudut pandang hubungan sosial yang dilakukannya. Manusia pun disebut
sebagi Al-Ins untuk menggambarkan aspek spiritual yang dimiliki. al-Qur’a>n juga
menyebut manusia sebagai Bani Adam. Konsep ini untuk menggambarkan nilainilai universal yang ada pada diri setiap manusia tanpa melihat latar belakang
perbedaan jenis kelamin, ras, dan suku bangsa atau aliran kepercayaan masingmasing.3 Konsep manusia yang berdasarkan wahyu tentunya akan berbeda dengan
yang tanpa bimbingan wahyu.
Manusia diberi akal budi, sehingga manusia hidup di permukaan bumi ini
jauh berbeda dengan kehidupan makhluk Alla>h SWT. yang lain. Sebab itu maka
manusia dapat merencanakan apa yang akan dikerjakannya kelak.4 Meskipun
demikian, dalam pemikiran antar sesama manusiapun juga banyak variasi dalam
berfikir. Disamping itu juga, para ulama dan para mufasir sangat bervariasi dalam
menentukan suatu hukum dalam penafsirannya.


2

Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), 46.
Jalaluddin, Psikologi Agama,…46.
4
Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panji mas), 320-321.

3

3

Salah satu bentuk variasi yang terdapat dalam al-Qur’a>n yaitu kata Nafs.
Secara bahasa dalam kamus al-Munjid, Nafs (jama’nya Nufu>s dan Anfu>s) berarti
ru>h (roh) dan ‘ain (diri sendiri).5 Sedangkan dalam kamus al-Munawwir
disebutkan bahwa kata Nafs (jamaknya Anfu>s dan Nufu>s) itu berarti roh dan jiwa,
juga berarti al-Jasad (badan, tubuh), al-Shakhsu (orang), al-Shakhsu al-Insa>n (diri
orang), al-Dhat atau al-’ain (diri sendiri).6 Sedangkan menurut Dawan Raharjo
dalam Ensiklopedia al-Qur’a>n disebutkan bahwa dalam al-Qur’a>n Nafs yang
jama’nya Anfu>s dan Nufu>s diartikan jiwa (soul), pribadi (person), diri (self atau

selves), hidup (life), hati (heart), atau pikiran (mind), disamping itu juga dipakai
untuk beberapa arti lainnya.7 Dawan Raharjo menyimpulkan dalam Ensiklopedi
al-Qur’a>n, kata Nafs lebih identik dengan jiwa (soul). Pengertian tentang ”jiwa”
dalam kata Nafs memang cukup tampak didalam al-Qur’a>n dan ternyata dalam
sejarah kebudayaan, makna kata itu tertangkap oleh pembacanya dan
dikembangkan lebih lanjut dalam tasawuf.
Sedangkan Jamridafrizal dalam tesis Nafs (jiwa) menurut konsep alQur’a>n, menjelaskan sisi dalam Nafs. Kajian tentang Nafs merupakan bagian dari
kajian tentang hakikat manusia itu sendiri. Manusia adalah makhluk yang bisa
menempatkan dirinya menjadi subyek dan obyek sekaligus. Nafs juga sebagai
penggerak tingkah laku seperti berbuat baik ataupun yang buruk. Kata Nafs juga
menjadi bahan perbincangan para sufi, terutama dalam kajian tasawwuf.
Sebagaimana terminologi kaum sufi (ahli tasawuf) yang oleh al-Qushairi dalam
Lewis Makluf, al-Munjid fi al-Lughah wa A’lam (Beirut: Daar al-Masyriq, 1986), 826.
Ahmad Warson Munawir, al-Munawir Kamus Arab Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Progressif,
1984), 1545.
7
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia al-Qur’a>n: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci
(Jakarta: Paramadina, 1996), 250.

5


6

4

risalahnya dinyatakan bahwa, ”Nafs dalam pengertian kaum sufi adalah sesuatu
yang melahirkan sifat tercela dan perilaku buruk.
Sama halnya yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Nafs
(nafsu) juga dipahami sebagai dorongan hati yang kuat untuk berbuat kurang baik,
padahal dalam al-Qur’a>n Nafs tidak selalu berkonotasi negatif.
Maka dari itu, dalam penelitian ini, peneliti ingin mengklasifikasikan dan
menganalisis penafsiran Sayyid Qut}b tentang kata Nafs dalam al-Qur’a>n.
8

Tidak ada suatu jiwa (diri) pun melainkan ada penjaganya ( QS: at}T}ariq: 4)9

Berbagai penafsiran yang berkaitan dengan terminologi kata Nafs, Prof.
Dr. Haji Abdulmalik Abdulkarim Amrullah atau yang dapat kita juluki HAMKA
memberikan pengertian bahwa ayat ini benar-benar tertuju kepada semua atau
keseluruhan makhluk Allah SWT. yang pastinya memiliki Nafs atau dapat
dikatakan “Kullu” (setiap) yang mengindikasikan baik manusia, tumbuhan, hewan
serta alam.10
Sedangkan dalam Al-Maraghi, terminologi Nafs dengan sudut pandang
beliau memberikan penegasan melalui kata Qosam diawal ayat dengan ayat yang
ke empat, bahwa persoalan ini memiliki pengertian sebuah proses atau sebab

8

QS: at}-T}ariq 30: 4
Departeman Agama, (al-juma>natul Ali> Seuntai Mutiara yang Maha Luhur) Al-Qur’a>n dan
Terjemah (Bandung: CV Penerbit J-ART, 2004), 591.
10
Hamka, Tafsir al-Azhar,.... 114.

9

5

akibat dalam diri manusia mulai dari penciptaan, perjalanan ruh di alam hingga ia
kembali kepada empunya yaitu Allah SWT.11
Dengan demikian, yang menjadi ide pemilihan Sayyid Qut}b tentang surat
At}-T}ariq ayat 4 adalah adanya penafsiran yang melingkupi dua pokok pemikiran
diatas yaitu antara al-Maraghi dan Hamka. Karena penafsiran Sayyid Qut}b dalam
menafsirkan kata Nafs sungguh berbeda sekali, kata nafs menurut Sayyid Qut}b
adalah

al-insa>n

atau

hanya

diperuntukkan

kepada

manusia. Sehingga

pembahasaan ini sangat menarik untuk diteliti.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Dari permasalahan di atas tentang “Nafs” maka peneliti mengidentifikasi
masalah sebagai berikuit:
1.

Apa makna kata Nafs menurut para mufassir dalam kitab tafsirnya?

2.

Apa makna kata Nafs dalam kamus bahasa indonesia?

3.

Apa makna kata Nafs dalam kamus bahasa arab?

4. Mengapa Sayyid Qut}b menafsirkan kata Nafs dalam al-Qur’a>n surat at}-T}ariq
ayat 4 menjadi al-insa>n?
5. Bagaimana penerapan teori Sayyid Qut}b dalam menafsirkan Nafs dalam alQur’a>n surat at}-T}ariq ayat 4?
Setelah memaparkan identifikasi masalah, peneliti hanya membatasi
masalah yang akan dikaji sebagai berikut:
1.

Pada penafsiran Sayyid Qut}b yang menafsirkan kata Nafs dalam al-Qur’a>n
surat at}-T}ariq ayat 4 menjadi al-insa>n.

11

Musthafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi (Bandung: Penerbit CV Rosda, 1987), 129.

6

2. Pada penerapan teori Sayyid Qut}b dalam menafsirkan kata Nafs dalam alQur’a>n surat at}-T}ariq ayat 4.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakar diatas, maka rumusan masalah yang perlu
diajukan adalah:
1.

Mengapa Sayyid Qut}b menafsirkan kata Nafs dalam al-Qur’a>n surat at}-T}ariq
ayat 4 menjadi al-insa>n?

2.

Bagaimana penerapan teori Sayyid Qut}b dalam menafsirkan kata Nafs surat
at}-T}ariq ayat 4?

D. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah diatas, penelitian ini dilakukan dengan
tujuan:
1.

Untuk mengetahui penafsiran Sayyid Qut}b yang menafsirkan kata Nafs
dalam al-Qur’a>n surat at}-T}ariq ayat 4 menjadi al-insa>n secara konfrehensif.

2.

Untuk mengetahui penerapan teori Sayyid Qut}b yang menafsirkan kata Nafs
dalam al-Qur’a>n surat at}-T}ariq ayat 4 menjadi al-insa>n.
Dalam ranah teoritis, penelitian ini memiliki kegunaan dalam

mengembangkan wawasan keilmuan, terutama dalam kaitannya dengan kata Nafs.
Penelitian ini juga diharapkan memberikan titik terang bahwa kata Nafs itu sangat
bervariasi. Sementara itu, dalam ranah praktis penelitian ini diharapkan
memberikan pencerahan penafsiran Sayyid Qut}b tentang Nafs surat at}-T}ariq ayat

7

4 dengan menggunakan penerapan teori Sayyid Qut}b dalam menafsirkan kata
Nafs pada para pembaca.
E. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka ditujukan untuk menentukan posisi kajian penelitian di
antara kajian-kajian sebelumnya terkait dengan tema yang diangkat. Agar
memperoleh gambaran yang lebih jelas, peneliti membagi kajian-kajian tersebut
menjadi dua variabel, yaitu kata Nafs dan pemikiran Sayyid Qut}b.
Pada penelitian ini menggunakan tafsir al-Qur’a>n terhadap kata Nafs yang
ditafsirkan oleh Sayyid Qut}b sebagai obyek pertama dalam penelitian ini.
Meskipun obyek pertama adalah dari Tafsir fi dhilalil Qur’a>n akan tetapi judul
penelitian ini terinspirasi dari skripsi yang ditulis oleh Ahmad Fauzi yang
mengangkat judul Analisis Homonimi kata Nafs dalam al-Qur’a>n terjemahan
Hamka. Sedangkan Ahmad Fauzi ini terinspirasi dari Jamridafrizal yang
mengangkat analisa Nafs menurut konsep al-Qur’a>n. Dalam penelitian
Jamridafrizal ini, Ahmad Fauzi menemukan variasi makna yang terdapat pada
kata Nafs didalam penelitian Jamridafrizal. Oleh karena itu, Ahmad Fauzi
menggunakan penelitian tersebut sebagai pustaka utama yang kemudian
membandingkan terjemhan Hamka dalam terjemahan al-Qur’a>n.
Selain itu, Ada beberapa karya yang membahas tentang Nafs semisal
tentang penciptaan perempuan dalam Tafsir al-Manar yang ditulis oleh Siti
Munasaroh dalam skripsinya yang berjudul “Penciptaan Perempuan dalam alManar”, di dalam karya Siti Munasaroh hanya meneliti pemikiran Muhammad
Abduh dan Rashid Rid}a yang hanya fokus pada Surat an-Nisa’ ayat 1. Dalam

8

penelitian ini penulis meneliti teori yang dilakukan mufassir dalam menafsirkan
Nafs Wah}idah.
skripsi lain yang membahas tentang Nafs adalah skripsi Ipan Mutaqin
yang berjudul “Tafsir al-Qur’a>n tentang Perempuan menurut Analisis Gender
(Studi atas Pemikiran Sayyid Qut}b dan Taba’Tabai)”. Mar’atun Solikah dalam
skripsinya yang berjudul “Konsep Penciptaan Perempuan dalam al-Qur’a>n (Studi
Perbandingan antara Penafsiran Imam Nawawi dan Amina Wadud)”. skripsi
saudara Heri Susanto yang berjudul Tindakan Suami terhadap Istri yang Nushuz
dalam Surat al-Nisa’’ ayat 34 (Studi atas Penafsiran HAMKA dan M. Qurais}
S}ihab).
Disamping itu, Badrut Tamam dalam skripsinya juga meneliti tentang
Nafs. Akan tetapi, penelitiannya terfokuskan pada Nafs Wahidah dalam al-Qur’a>n
dengan menggunakan metode Maudhui.
Oleh karena itu, dari sisi pustaka tersebut, sepanjang pengamatan peneliti
belum menemukan penelitian yang membahas tentang Penafsiran Sayyid Qut}b
Tentang Nafs Dalam al-Qur’a>n Surat at}-T}ariq Ayat 4.
F. Metode Penelitian
Dalam setiap penelitian ilmiah, peneliti dituntut untuk menggunakan
metode yang jelas. Hal ini berguna untuk mendapatkan hasil yang maksimal dari
sebuah penelitian dan tersusun dengan akurat dan terarah. Metode yang dimaksud
disini merupakan cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran

9

penelitian yang bersangkutan.12 Dengan kata lain, metode ini merupakan cara atau
aktivitas analisis yang dilakukan oleh seorang peneliti dalam meneliti obyek
penelitiannya untuk mencapai hasil atau kesimpulan tertentu.
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Dalam pelaksanaan pengumpulan data dan sekaligus menganalisis
referensi-referensi yang ada dan yang berkaitan dengan masalah yang diangkat,
penelitian ini dapat dikategorikan ke dalam jenis penelitian Librery Research atau
dapat juga disebut dengan penelitian kepustakaan baik berupa buku, jurnal,
artikel, maupun bacaan yang terkait dengan obyek penelitian. Dalam hal ini,
penelitian difokuskan pada kitab terjemahan Tafsir fi Dhilalil Qur’a>n dengan
didukung oleh tulisan-tulisan yang berekaitan.
Adapun sifat penelitian ini adalah kualitatif karena tidak menggunakan
mekanisme statistika dan matematis untuk mengolah data. Data-data yang ada
dikumpulkan kemudian diuraikan dan dianalisis secara sistematis. Penelitian ini
menggunakan pendekatan historis-filosofis dengan tujuan untuk melacak
penafsiran Sayyid Qut}b secara konfrehensif.
2. Langkah-langkah Metodis Penelitian
Dalam konteks penelitian al-Qur’a>n dan Tafsir, penelitian ini masuk
dalam kategori penelitian tokoh. Untuk memudahkan proses penelitian dan agar
tetap berada dalam fokus kajian, maka diperlukan langkah-langkah metodis dalam

12

Koentjaningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1997), Hal: 7

10

penelitian ini sebagaimana yang ditulis oleh Abdul Mustakim13 adalah sebagai
berikut:
Pertama,penulis menetapkan tokoh dan obyek formal yang menjadi
fokus kajian. Dalam hal ini adalah Sayyid Qut}b dengan obyek formal Nafs dalam
surat at}-T}ariq ayat 4. Kedua, menginventarisasi data dan menyeleksi, khususnya
karya-karya yang berkaitan dengan Sayyid Qut}b dan tema terkait.
Ketiga, melakukan klasifikasi tentang elemen-elemen penting terkait
tafsiran kata Nafs dalam surat at}-T}ariq ayat 4. Selain itu, penulis juga
menyertakan kajian lain yang bersinggungan langsung dengan variasi penafsiran
kata Nafs seperti pembahasan tentang al-Ru>h. Keempat, secara cermat data
tersebut akan dikaji melalui metode deskriptif, bagaimana pemahaman Nafs
dalam al-Qur’a>n surat at}-T}ariq ayat 4 secara konfrehensif.
Kelima,penulis akan melakukan analisis kritis terhadap penafsiran
Sayyid Qut}b tentang Nafs dalam al-Qur’a>n surat at}-T}ariq ayat 4 berupa
konsistensi penafsiran, sumber-sumber pengetahuan, hal-hal yang mempengaruhi
dalam penafsiran, penerapannya dalam kitab tafsir fi Dhilalil al-Qur’a>n, serta
keterangan-keterangan lain yang bisa membantu untuk menguak penafsiran
Sayyid Qut}b secara konfrehensif. Kemudian menganalisa hasil penafsiran Sayyid
Qut}b. Terakhir, penulis akan membuat kesimpulan-kesimpulan secara cermat
sebagai jawaban dari rumusan masalah.

Abdul Mustaqim, Metode Penelitian al-Qur’a>n dan Tafsir (Yokyakarta: Idea press, 2014), Hal:
41-43

13

11

3. Metode Pengumpulan data
Adapun yang dimaksud dengan metode pengumpulan data adalah metode
atau cara yang digunakan untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam
penelitian melalui prosedur yang sistematik dan standar. Adapun yang dimaksud
dengan data dalam penelitian adalah semua bahan keterangan atau informasi
mengenai suatu gejala atau fenomena yang ada kaitannya dengan riset. 14 Data
yang dikumpulkan dalam suatu penelitian harus relevan dangan pokok persoalan.
Untuk mendapatkan data yang dimaksud, maka diperlukan metode yang efektif
dan efisien.
Data-data yang dibutuhkan untuk menyelesaikan penelitian ini diperoleh
dengan jalan dokumentasi atas naskah-naskah yang terkait dengan obyek
penelitian ini. Ada dua jenis sumber yang diperlukan dalam penelitian ini, yaitu
sumber data primer dan sumber data skunder.
a.

Sumber Data Primer
Sumber data primer dari penelitian ini adalah kitab terjemahan Tafsir fi

Dhilalil Qur’a>n karya Sayyid Qut}b.
b.

Sumber Data sekunder
Sumber data skunder dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsudin : Studi al-Qur’a>n
Kontemporer (wacana baru berbagai metodologi tafsir).
2) K.Salim Bahnasawi, Butir-butir Pemikirannya Sayyid Qut}b Menuju
Pembaruan Gerakan Islam.

14

Tatang M.Arifin, Menyusun Rencana Penelitian (Jakarta: Rajawali press, 1995), 5.

12

4. Analisis Data
Analisis data merupakan proses penyederhanaan terhadap data-data yang
ada

(primer

dan

sekunder)

dalam

bentuk

yang

mudah

dibaca

dan

diinterpretasikan.15 Adapun metode yang digunakan dalam menganalisa data-data
dalam penelitian ini adalah deskripsi-analisis, yaitu penelitian yang menuturkan
dan menganalisa dengan panjang lebar yang pelaksanaanya tidak hanya terbatas
pada pengumpulan data, tetapi meliputi proses interpretasi dan analisis data.16
Metode ini diaplikasikan kedalam beberapa langkah berikut: penelitian yang
berusaha mendeskripsikan dengan jelas gambaran seputar penafsiran kata Nafs
dalam al-Qur’a>n surat at}-T}ariq ayat 4. Kemudian penulis akan menggambarkan
bagaimana latar belakang kehidupan Sayyid Qut}b dan gambaran umum tentang
kitab tafsir fi Dhilalil quran, serta dilanjutkan dengan penjelasan dan deskripsi
penafsiran Sayyid Qut}b tentang Nafs dalam al-Qur’a>n Surat at}-T}ariq ayat 4.
Dalam pengambilan kesimpulan, penelitian menggunakan cara berfikir
deduktif-induktif yakni cara berfikir yang bertolak pada suatu teori yang bersifat
umum, kemudian dipelajari hal-hal yang khusus untuk mendapatkan kesimpulan
sebagai jawaban sementara, kemudian baru dilakukan penelitian secara induktif
dengan mempelajari fakta-fakta yang ada secara khusus yang kemudian dianalisa
dan hasilnya akan menemukan suatu kesimpulan secara umum.

15

Lexy J, Moeloeng, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Rosdakara, 1991), 263.
Winarmo Surahmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Tehnik (Bandung: Tarsito,
1994), 45.
16

13

G. Sistematika Pembahasan
Dalam

penyusunan

penelitian

ini,

peneliti

meringkas

semua

permasalahan yang dibahas mulai dari bab satu sampai bab akhir, yaitu dengan
menggunakan penyusunan sebagai berikut:
1. Bab I Pendahuluan yang berisikan gambaran umum yang memuat pola dasar
penelitian ini, yang meliputi: latar belakang, identifikasi dan batasan masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian,
sistematika pembahasan, bab ini digunakan sebagai pedoman, acuan dan arahan
sekaligus target penelitian agar dapat terlaksana secara terarah dan
pembahasannya tidak melebar.
2. Bab II Merupakan landasan teori yang membahas tentang teori-teori yang
digunakan Sayyid Qut}b dalam menfsirkan Surat at}-T}ariq ayat 4 yang meliputi
kajian linguistik yaitu Balaghah, dan Semantik. Sedangkan kajian ‘ulum alQur’a>n meliputi Munasabah.
3. Bab III Mengenal sosok Sayyid Qut}b dimulai dari latar belakang sampai karyakaryanya dan mengungkap tafsir surat at}-T}ariq ayat 4.
4. Bab IV Menganalisis penafsiran Sayyid Qut}b, penerapan teori dalam
menafsirkan al-Qur’a>n surat at}-T}ariq ayat 4.
5. Bab V Kesimpulan dan saran.

BAB II
TEORI PENAFSIRAN AL-QUR’A|N
Sayyid Qut}b dalam menafsirkan surat at}-T}ariq ayat 4 menggunakan
beberapa teori linguistik dan teori ulum al-Qur’a>n karena ia merupakan seorang
satrawan. Adapun teori ‘ulum al-Qur’a>n adalah penerapan teori munasabah.
Sedangkan teori linguistik yang digunakan adalah semantik, dan balaghah.
A. Teori ‘Ulum Al-Qur’a>n
1.

Munasabah
a. Pengertian Munasabah
Munasabah merupakan keterkaitan dan keterpaduan hubungan antara
bagian-bagian ayat, ayat-ayat, dan surah-surah, dalam al-Qur’a>n. Hal itu berarti
bahwa ayat atau surah baru bisa di pahami dengan baik apabila keterkaitan dan
keterpaduan itu diperhatikan. Dengan demikian ungkapan tentang munasabah itu
sifatnya ijtihadi, yaitu pendapat pribadi dari yang mengungkapkan sebagai hasil
ijtihad.17
Secara etimologi, munasabah berasal dari bahasa arab Nasaba-YunasibuMunasabahan yang berarti Mushakalah (keserupaan) dan Muqarabah.18 Lebih
jelas mengenai pengertian munasabah secara etimologis disebutkan dalam kitab
al-Burha>n fi Ulum al-Qur’a>n bahwa munasabah merupakan ilmu yang mulia,

Kementrian Agama, al-Qur’a>n dan Tafsirnya (Jakarta: Widya Cahaya, 2011), 242.
Badr al-Din al-Zarkashi, al-Burha>ny fii ulum al-Qur’a>n, (beirut:Dar al-Ma’rifah li al-Tiba’ah wa
al-Nashir, 1972), 35-36.

17

18

14

15

yang menjadi teka-teki akal fikiran, dan yang dapat digunakan untuk mengetahui
nilai (kedudukan) pembicara terhadap apa yang di ucapkan.
Sedangkan secara terminologis definisi yang beragam muncul dari
kalangan para ulama terkait dengan ilmu munasabah ini. Imam Zarkasyi salah
satunya memaknai munasabah sebagai ilmu yang mengaitkan pada bagian-bagian
permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafal-lafal umum dan lafal-lafal khusus,
atau hubungan antar ayat yang terkait dengan sebab akibat, illat dan ma’lul,
kemiripan ayat pertentangan (ta’arudh).19
Manna al-Qat}an dalam mabahis fi ulum al-Qur’a>n menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan munasabah dalam pembahasan ini adalah segi-segi
hubungan antara satu kata dengan kata yang lain dan satu ayat dengan ayat yang
lain atau antara satu surat dengan surat yang lain. Dalam pengertian istilah,
munasabah diartikan sebagai ilmu yang membahas hikmah korelasi urutan ayat alQur’a>n atau dengan kalimat lain, munasabah adalah usaha pemikiran manusia
dalam menggali rahasia hubungan antar surat atau ayat yang dapat diterima oleh
akal. Dengan demikian diharapkan ilmu ini dapat menyingkap rahasia illahi,
sekaligus sanggahanya, bagi mereka yang meragukan al-Qur’a>n sebagai wahyu.20
Pada dasarnya pengetahuan tentang munasabah atau hubungan antara ayatayat itu bukan tauqifi (tak dapat diganggu gugat karena telah ditetapkan Rasul),
tetapi didasarkan pada ijtihadi seorang mufassir dan tingkat penghayatannya
terhadap kemukjizatan al-Qur’a>n, rahasia retorika, dan segi keterangannya yang
mandiri.
19

Ibid, 35-36
Hasbi As}-S}iddiqy, Sejarah Dan Pengantar Ilmui Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang, 1965), 95.

20

16

Seperti halnya pengetahuan tentang Asba>b al-Nuzu>l yang mempunyai
pengaruh dalam memahami makna dan menafsirkan ayat, maka pengetahuan
tentang munasabah atau korelasi antar ayat dengan ayat dan surat dengan surat
juga membantu dalam pentakwilan dan pemahaman ayat dengan baik dan cermat.
Oleh sebab itu sebagian ulama menghususkan diri untuk menulis buku mengenai
pembahasan ini. Tetapi dalam pendapat lain dikemukakan atas dasar perbedaan
pendapat tentang sistematika (perbedaan urutan surat dalam al-Qur’a>n) adalah
wajar jika teori Munasabah al-Qur’a>n kurang mendapat perhatian dari para ulama
yang menekuni ‘Ulum al-Qur’a>n walaupun keadaan sebenarnya Munasabah ini
masih terus dibahas oleh para mufassir yang menganggap al-Qur’a>n adalah
Mukjizat secara keseluruhan baik redaksi maupun pesan ilahi-Nya.
b. Macam-Macam Munasabah
Berdasarkan kepada beberapa pengertian sebagaimana yang telah
dikemukakan di atas, pada prinsipnya munasabah al-Qur’a>n mencakup hubungan
antar kalimat, antar ayat, serta antar surat. Macam-macam hubungan tersebut
apabila diperinci akan menjadi sebagai berikut :

1. Munasabah antara surat dengan surat
Keserasian hubungan atau munasabah antar surat ini pada hakikatnya
memperlihatkan kaitan yang erat dari suatu surat dengan surat lainnya. Bentuk
munasabah

yang

tercermin

pada

masing-masing

surat,

kelihatannya

memperlihatkan kesatuan tema. Salah satunya memuat tema sentral, sedangkan
surat-surat lainnya menguraikan sub-sub tema berikut perinciannya, baik secara
umum maupun parsial. Salah satu contoh yang dapat diajukan di sini adalah

17

munasabah yang dapat ditarik pada tiga surat beruntun, masing-masing pada surat
al-Fa>tihah, surat al-Baqarah. Satu surah berfungsi menjelaskan surat sebelumnya,
misalnya di dalam surat al-Fa>tihah: disebutkan :

Artinya : Tunjukilah kami jalan yang lurus.22

Lalu dijelaskan dalam surat al-Baqarah, bahwa jalan yang lurus itu ialah
mengikuti petunjuk al-Qur’a>n, sebagaimana disebutkan :

Artinya : Kitab (al-Qur’a>n) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi
mereka yang bertakwa.24

2. Munasabah antara nama surat dengan kandungan isinya.
Nama satu surat pada dasarnya bersifat tauqifi (tergantung pada petunjuk
Alla>h SWT. dan Nabi-Nya). Namun beberapa bukti menunjukkan bahwa suatu
surat terkadang memiliki satu nama dan terkadang dua nama atau lebih.
Tampaknya ada rahasia dibalik nama tersebut. Para ahli tafsir sebagaimana yang
dikemukakan oleh al-Sayuthi melihat adanya keterkaitan antara nama-nama surat
dengan isi atau uraian yang dimuat dalam suatu surat. Kaitan antara nama surat
dengan isi ini dapat di identifikasikan sebagai berikut :
a. Nama diambil dari urgensi isi serta kedudukan surat. Nama surat al-Fa>tihah
disebut dengan umm al-Kita>b karena urgensinya dan disebut dengan al-Fa>tihah
karena kedudukannya.
21

al-Fa>tihah 1:6
Departeman Agama, (al-juma>natul Ali> Seuntai,.... 1
23
al-Fa>tihah 1:2
24
Departeman Agama, (al-juma>natul Ali> Seuntai,.... 2

22

18

b. Nama diambil dari perumpamaan, peristiwa, kisah atau peran yang menonjol,
yang dipaparkan

pada

rangkaian

ayat-ayatnya,

sementara

di

dalam

perumpamaan, peristiwa, kisah atau peran itu sarat dengan ide. Di sini dapat
disebut nama-nama surat yaitu al-‘Ankabut, al-Fath, al-Fi>l, al-Lahab dan
sebagainya.
c. Nama sebagai cerminan isi pokoknya, misalnya al-Ikhlas karena mengandung
ide pokok keimanan yang paling mendalam serta kepasrahan yaitu al-Mulk
mengandung ide pokok hakikat kekuasaan dan sebagainya.
d. Nama diambil dari tema spesifik untuk dijadikan acuan bagi ayat-ayat lain
yang tersebar diberbagai surat. Contoh al-H}ajj (dengan spesifik tema haji), alNisa>’ (dengan spesifik tema tentang tatanan kehidupan rumah tangga). Kata
Nisa>’ yang berarti kaum wanita adalah irrig keharmonisan rumah tangga.
e. Nama diambil dari huruf-huruf tertentu yang terletak dipermulaan surat,
sekaligus untuk menuntut perhatian khusus terhadap ayat-ayat di dalamnya
yang memakai huruf itu. Contohnya yaitu T}aha, Ya>sin, S}ad, dan Qaf.
3. Munasabah antara kalimat dalam satu ayat.
Munasabah antara satu kalimat dengan kalimat yang lainnya dalam satu
ayat dapat dilihat dari dua segi. Pertama adanya hubungan langsung antar kalimat
secara konkrit yang jika hilang atau terputus salah satu kalimat akan merusak isi
ayat. Identifikasi munasabah dalam tipe ini memperlihatkan ciri-ciri ta’kid atau
tashdid (penguat atau penegasan) dan tafsir atau i’tiraz} (interfretasi atau
penjelasan dan cirri-cirinya). Contoh sederhana ta’kid : "‫"فإن لم تفعلوا‬, diikuti " ‫ولن‬
‫( تفعلوا‬Q.S al-Baqarah 2:24).

19

Contoh tafsir:

Kemudian diikuti dengan

Kedua masing-masing kalimat berdiri sendiri, ada hubungan tetapi tidak
langsung secara konkrit, terkadang ada penghubung huruf ‘athaf’ dan terkadang
tidak ada. Dalam konteks ini, munasabahnya terletak pada :
a. Susunan kalimat-kalimatnya berbentuk rangkaian pertanyaan, perintah dan atau
larangan yang tak dapat diputus dengan fas}ilah. Salah satu contoh:

b. Munasabah berbentuk istishrad (penjelasan lebih lanjut).

c. Munasabah berbentuk nadhir atau mathil (hubungan sebanding) atau mud}addah
atau ta’kis (hubungan kontradiksi).

4. Munasabah antara ayat dengan ayat dalam satu surat.
Untuk melihat munasabah semacam ini perlu diketahui bahwa ini
didaftarkan pada pandangan datar yaitu meskipun dalam satu surat tersebar
sejumlah ayat, namun pada hakikatnya semua ayat itu tersusun dengan tertib
dengan ikatan yang padu sehingga membentuk fikiran serta jalinan informasi yang

20

sistematis. Untuk menyebut sebuah contoh, ayat-ayat di awal surat al-Baqarah
ayat 1 – 20 memberikan sistematika informasi tentang keimanan, kekufuran, serta
kemunafikan. Untuk mengidentifikasikan ketiga tipologi iman, kafir dan nifaq,
dapat ditarik hubungan ayat-ayat tersebut.
a. Misalnya surat al-Mu’minu>n dimulai dengan :

Artinya: Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman.26

b. Kemudian dibagian akhir surat ini ditemukan kalimat

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tidak beruntung.28

5. Munasabah antara penutup ayat dengan isi ayat itu sendiri.
Munasabah pada bagian ini, Imam al-Sayuthi menyebut empat bentuk
yaitu al-Tamkin (mengukuhkan isi ayat), al-Tas}dir (memberikan sandaran isi ayat
pada sumbernya), al-Tawshih (mempertajam relevansi makna) dan al-Ighal
(tambahan penjelasan). Sebagai contoh :

mengukuhkan

bahkan mengukuhkan hubungan dengan dua ayat sebelumnya (almukminun: 12-14).

6. Munasabah Antara Awal Uraian Surat dengan Akhir Uraian Surat
Salah satu rahasia keajaiban al-Qur’a>n adalah adanya keserasian serta
hubungan yang erat antara awal uraian suatu surat dengan akhir uraiannya.
25

al-Mu’minu>n 23:1
Departeman Agama, (al-juma>natul Ali> Seuntai,.... 342
27
al-Mu’minu>n 23:117
28
Departeman Agama, (al-juma>natul Ali> Seuntai,.... 349

26

21

Sebagai contoh, dikemukakan oleh al-Zamakhshari demikian juga al-Kimani
bahwa surat Al-Mu’minu>n di awali dengan (respek Tuhan kepada orang-orang
mukmin) dan di akhiri dengan (sama sekali Alla>h SWT. tidak menaruh respek
terhadap orang-orang kafir). Dalam surat al-Qas}as}, al-Sayuthi melihat adanya
munasabah antara pembicaraan tentang perjuangan Nabi Musa menghadapi
Fir’aun seperti tergambar pada awal surat dengan Nabi Muhammad SAW yang
menghadapi tekanan kaumnya seperti tergambar pada situasi yang dihadapi oleh
Nabi Musa AS dan Nabi Muhammad SAW. serta jaminan Alla>h SWT. bahwa
akan memperoleh kemenangan.

7. Munasabah Antara Penutup Suatu Surat dengan Awal Surat Berikutnya.
Misalnya akhir surat al-Wa>qi’ah ayat 96

Artinya: Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
Maha Besar.30

Lalu surat berikutnya, yakni surat al-Hadid ayat 57 : 1 :

Artinya: Semua yang berada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah
(menyatakan kebesaran Alla>h SWT.). Dan Dia-lah Maha Kuasa atas segala
sesuatu.32

29

al-Wa>qi’ah 56:96
Departeman Agama, (al-juma>natul Ali> Seuntai,.... 537
31
al-Hadi>d 57:1
32
Departeman Agama, (al-juma>natul Ali> Seuntai,....537

30

22

8. Munasabah Antar Ayat dengan Satu Tema
Munasabah antar ayat tentang satu tema ini, sebagaimana dijelaskan oleh
al-Sayuthi, pertama-tama dirintis oleh al-Kisa’i dan al-Sakhawi. Sementara alKirmani menggunakan metodologi munasabah dalam membahas mutasyabih alQur’a>n dengan karyanya yang berjudul al-Burha>n fi Mutashabih al-Qur’a>n. Karya
yang dinilainya paling bagus adalah Durrah al-Tanzil wa Gharrat al-Ta’wil oleh
Abu ‘Abdullah al-Razi dan Malak al-Ta’wil oleh Abu Ja’far Ibn al-Zubair.
Munasabah ini sebagai contoh dapat dikemukakan tentang tema qiwamah
(tegaknya suatu kepemimpinan). Paling tidak terdapat dua ayat yang saling
bermunasabah, yakni surat al-Nisa>’ 4 : 34 :

Artinya: kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh
karena Allah SWT. telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian
yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian harta mereka.34

Dan surat al-Muja>dalah ayat 58 : 11 :

Tegaknya qiwamah (konteks parsialnya qiwamat al-rija>l ‘ala al-nisa>’) erat
sekali kaitannya dengan faktor ilmu pengetahuan / teknologi dan faktor ekonomi.
Surat an-Nisa>’ menunjuk kata kunci “bima> fad}d}ala>” dan “al-‘ilm”. Antara “bima>
fad}d}ala” dengan “yarfa” terdapat kaitan dan keserasian arti dalam kata kunci nilai
lebih yang muncul karena faktor ‘ilm.
al-Nisa>’ 34: 4
Departeman Agama, (al-juma>natul Ali> Seuntai,.... 84

33
34

23

c. Cara Mengetahui Munasabah
1. Harus diperhatikan tujuan suatu pembahasan suatu surat yang menjadi
objek pencarian.
2. Memperhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas
dalam surat.
3. Menentukan tingkatan uraian-uraian itu, apakah ada hubungannya atau
tidak.
4. Dalam mengambil kesimpulannya, hendaknya memperhatikan ungkapanungkapan bahasannya dengan benar dan tidak berlebihan.
B. TEORI LINGUISTIK
1.

Semantik
a. Pengertian Semantik
Kata semantik berasal dari bahasa yunani yaitu Sema (noun) yang berarti
tanda atau lambang. Bentuk verbalnya adalah Semanio yang memiliki arti
menandai atau memberi lambang. Sedangkan bentuk kata sifatnya adalah
Seamantikos (dalam bahasa inggris berati Significant). Dalam bahasa Arab,
semantik diterjemahkan dengan ‘Ilm al-Dila>la>h atau Dila>la>t al-Alfa>z.35
Sedangkan Semantik menurut istilah merupakan bagian dari struktur
bahasa yang berhubungan dengan makna ungkapan dan makna suatu wicara atau
sistem penyelidikan makna dan arti dalam suatu bahasa pada umumnya. Semantik
juga

banyak

membicarakan

ilmu

makna,

sejarah

makna,

bagaimana

Ahmad Fawaid, Semantik dalam al-Qur’a>n: Pendekatan Teori Dila>la>t al-Alfa>z terhadap kata
Zalal dalam al-Qur’a>n (Surabaya: 2013), 73.
35

24

perkembangannya, dan mengapa terjadi perubahan makna dalam sejarah bahasa.36
Namun menurut Toshiko Izutsu adalah kajian analitik terhadap istilah-istilah
kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang akhirnya sampai pada
pengertian konseptual weltanschauung (pandangan dunia) masyarakat yang
menggunakan bahasa tersebut, tidak hanya sebagai alat bicara dan berfikir, akan
tetapi yang lebih penting lagi adalah pengkonsepan dan penafsiran dunia yang
melingkupinya. Disini ia menekankan pada istilah-istilah kunci yang terkait pada
kata perkata. Jadi semantik terfokuskan pada kajian kata bukan kajian bahasa
secara umum.
Kata itu sendiri merupakan bagian dari bahasa yang dimana huruf adalah
bagian terkecil. Huruf yang terangkai menjadi frase dan bergabung hingga
memiliki suatu rangkaian yang bermakna dan merupakan sebuah simbol yang
terdapat dalam bahasa. Ketika rangkaian huruf dan frase telah memiliki makna
maka disebut sebuah kata. Dalam perjalanan sejarah perkembangannya, kata yang
awalnya hanya memiliki suatu makna asli atau dasar mengalami perluasan hingga
memiliki makna. Hal seperti inilah yang menjadi fokus metode semantik dalam
mengungkap konsep-konsep yang berada dalam al-Qur’a>n.
Langkah-langkah menuju teori semantik al-Qur’a>n yaitu harus lebih dalam
mengkaji kosa kata-kosa kata bahasa arab. Karena ada dua macam kosa kata jika
dilihat dari segi pendirian metodologisnya yaitu pandangan diagronik dan
singkronik. Secara etimonologis, diagronik adalah analisis bahasa yang menitik
beratkan kepada waktu proses kosa kata tersebut terbentuk. Dengan pandangan

36

Ibid,. 73.

25

tersebut secara diagronik kosa kata merukapan sekumpulan kata yang tumbuh dan
berubah secara bebas dengan cara yang khas. Sedangkan singkronik ialah suatu
analisi terhadap bahasa pada masa tertentu dan menfokuskan diri pada struktur
bahasanya bukan perkembangannya. Dalam menerapkan metode semantik
diagronik dan sinkronik mencakup teori semantik yang lain dalam menganalisis
kata kunci dalam al-Qur’a>n.37
b. Langkah-langkah dalam Semantik
1. Makna Dasar
Dalam teori semantik, suatu kata akan dapat dilacak dengan mencari
makna atau arti dari kata itu sendiri secara diagronik dan sinkronik. Pelacakan
seperti itu dalam pendekatan semantik disebut dangan makna dasar. Makna
dasar ini menjadi langkah awal dalam semantik untuk mencari makna dari
sebuah teks atau kata tertentu. Makna dasar dari sebuah kata tertentu biasanya
akan selalu melekat kapanpun dan dimanapun kata itu diletakkan.38
Misalnya kata Alla>h SWT. sebagaimana yang telah dicontohkan
memiliki makna dasar Tuhan atau dzat trasedental. Pemahaman ini
berkembang sejak pra-Islam sampai islam turun. Makna dasar kata Alla>h SWT.
akan melekat pada kata tersebut dan tidak akan berubah meskipun dalam ruang
waktu yang berbeda, kendatipun substansinya berbeda.39

Fawaid, Smenatik al-Qur’a>n... 77.
Ibid,. 77.
39
Ibid,.

37

38

26

2. Makna Relasional
Kata Alla>h SWT. mulai mengalami pergeseran makna konotatif
dengan kosa kata yang terdapat dalam konsep islam yaitu al-Qur’a>n setelah
islam hadir di muka bumi. Makna kata Allah memiliki konsep yang berbeda
setelah mengalami pergeseran yaitu Tuhan yang bersifat monoteisme.
Pergeseran itu disebabkan oleh adanya relasional yang menyertainya. Makna
relasional tugasnya menganalisa makna konotatif yang yang diberikan dan
ditambahkan kepada makna dasar yang sudah ada dengan meletakkan kata
dasar tersebut pada posisi tertentu, bidang tertentu, dan dalam relasi tertentu
dengan kata-kata penting lainnya dalam sistem tersebut. Study al-Qur’a>n
menjelaskan bahwa makna relasional mengkaji hubungan gramatikal dan
konseptual kata dengan kata yang lain dalam posisi tertentu.40
3. Struktur Batin
Struktur batin merupakan sebuah kata yang memiliki struktur cukup
banyak dan diletakkan pada tempat yang berbeda. Namun makna tersebut
selalu teratur dalam suatu sistem. Walaupun demikian makna tersebut selalu
teratur dalam suatu sistem atau sistem-sistem yang lain. Hal seperti ini dalam
bidang semantik dapat disebut dengan struktur batin. Secara general struktur
batin adalah mengungkap fakta pada dataran yang lebih abstrak dan rill
sehingga fakta tersebut tidak menimbulkan kekaburan dalam dataran manapun.
Analisis struktur batin yang terdapat dalam al-Qur’a>n secara definitif ialah

40

Ibid., 77

27

mengungkapkan kecendrungan kosa kata dalam al-Qur’an ayat tertentu dengan
konteks yang menyertainya.41
2. Balaghah
Al-Qur’a>n bukan hasil dari karya yang direnungkan oleh sastrawan dan
bukan pula kitab sastra yang termasyhur. Akan tetapi al-Qur’a>n merupakan kitab
suci yang diturunkan oleh Alla>h SWT. melalui malaikat jibril as kepada Nabi
Muh}ammad SAW. dengan tujuan untuk membimbing ummat ke jalan yang baik
dan benar agar manusia hidup dengan selamat dari amarah dan bahaya didunia
sampai akhirat.
Dengan begitu sangat diperlukan penguasaan ilmu balaghah atau dalam
bahasa indonesia dapat dikatakan dengan ilmu sastra supaya dapat memahami
bahasa al-Qur’a>n itu sendiri.
a. Pengertian Balaghah
Balaghah secara etimologi barasal dari kata Balagh, yang memiliki arti
sampai. Sama dengan arti dari kata Was}al.42 Makna ini sebagaimana terdapat
dalam al-Qur’a>n, diantaranya dalam surat al-kah}fi, ayat 90 sebagai berikut:

Artinya: Hingga apabila Dia telah sampai ke tempat terbit matahari
(sebelah Timur) Dia mendapati matahari itu menyinari segolongan umat yang

41

Ibid.,
Mamat Zaenuddin dan Yayan Nurbayan, Pengantar Ilmu Balaghah (Bandung: PT Refika
Aditama, 2007), 6.
43
al-kah}fi 18:90

42

28

Kami tidak menjadikan bagi mereka sesuatu yang melindunginya dari (cahaya)
matahari itu.44

Selain ayat diatas, masih banyak ayat-ayat yang di dalamnya terdapat kata
‫ بلغ‬, yang mengandung arti ‘sampai’. Menurut Abd al-Qadir Husein, Balaghah
yaitu:

yang artinya sesuai dengan situasi dan kondisi. Istilah ini kaitannya
dengan Kalam (ucapan), dimana Mutakallim (pembicara) harus menyusun dan
menyampaikan ucapannya sesuai dengan situasi dan kondisi para pendenganrnya,
sehingga perubahan situasi dan kondisi para pendengar menuntut perubahan
susunan Kalam (ucapan). Situasi dan kondisi yang menuntut pembicaraan
panjang lebar Ithnab, tentu berbeda dengan situasi dan kondisi yang menuntut
pembicaraan ringkas. Berbicara kepada orang cerdas tentu berbeda dengan
berbicara kepada orang yang kurang cerdas. Oleh karena itu muncullah istilah
Likulli Maqama Maqal yang artinya untuk setiap situasi dan kondisi ada Kalam
yang sesuai dengannya.45
Dalam kajian sastra, balaghah ini menjadi sifat dari Kalam dan
Mutakallim, sehingga lahirlah sebutan Kalam Baligh dan Baligh Mutakallim.
Maksud dari Kalam Baligh yaitu ucapan atau pembicaraan yang sesuai dengan
situasi dan kondisi pendengar serta terdiri dari kata-kata yang fashih. adapun
Baligh Mutakallim yaitu orang yang mampu menyampaikan pembicaraannya

44

Departeman Agama, (al-juma>natul Ali> Seuntai,.... 303
Mamat Zaenuddin dan Yayan Nurbayan, Pengantar Ilmu Balaghah... 7.

45

29

sesuai dengan situasi dan kondisi pendengarnya dengan kata-kata yang tepat nan
indah.
Nilai balaghah setiap Kalam bergantung kepada sejauh mana Kalam itu
dapat memenuhi tuntutan situasi dan kondisi, setelah memperhatikan Fashahah
(kejelasannya)-nya. Kalam Fas}ih yaitu kalam yang jika dilihat dari aspek
nahwiyah tidak dianggap menyalahi aturan, yang dapat mengakibatkan Dhi’fu
Taklif (lemah susunan) dan Ta’qid (rumit), dari aspek bahasa tidak terdapat katakata Gharabah (asing), dan jika dilihat dari aspek sharaf tidak menyalahi qiyas,
seperti tidak menggunakan kata al-Ajlal yang menurut aturan sharaf seharusnya “
al-Ajl. Sedangkan jika dilihat dari aspek Dhauq terbebas dari Tanafur (berat
pengucapannya), baik hanya dalam satu kata seperti Mustasyzarat ataupun dalam
beberapa kata, meskipun satuan kata-katanya tidak bersifat Tanafur.46
Secara ilmiah ilmu balaghah merupakan suatu disiplin ilmu yang
mengarahkan pembelajarannya untuk bisa mengungkapkan ide pikiran dan
perasaan seseorang berdasarkan kepada kejernihan jiwa dan ketelitian dalam
menangkap keindahan.
Sebagai suatu disiplin ilmu, tentunya ilmu balaghah mempunyai objek
kajian. Adapun untuk lebih jelasnya, objek kajian ilmu balaghah akan dibahas
pada poin berikutnya.
b. Bidang Kajian Balaghah
Ilmu balaghah merupakan sebuah disiplin ilmu yang berkaitan dengan
masalah kalimat, yaitu mengenai susunannya, maknanya, pengaruh jiwa
46

Ibid., 7

30

terhadapnya, serta keindahan dan kejelian pemilihan kata yang sesuai dengan
tuntutan. Sebagai sebuah disiplin ilmu, ilmu balaghah mempunyai tiga bidang
kajian, yaitu:
1. Ilmu Bayan
Secara etimologi, Bayan berarti terbuka atau jelas. Sedangkan dalam ilmu
balaghah, ilmu bayan adalah ilmu yang mempelajari cara-cara menyampaikan
suatu gagasan dengan redaksi yang bervariasi. Ilmu ini pertama kali
dikembangkan oleh Abu Ubaidah Ibn al-Matsani dengan kitab karangannya yang
berjudul Majaz al-Qur’a>n. Objek yang menjadi kajian ilmu ini adalah Tashbih
(penyerupaan), Majaz (majaz), dan Kinayah (konotasi).47
2. Ilmu ma’ani
Secara etimologi Ma’ani berarti maksud, arti, atau makna. Para ahli ilmu
ma’ani mendefinisikan sebagai pengungkapan melaluai ucapan sesuatu yang ada
dalam pikiran atau disebut juga gambaran dari pikiran.48 Sedangkan menurut
istilah, ilmu ma’ani adalah

Artinya: Ilmu yang mempelajari hal ihwal bahasa Arab yang sesuai
dengan tuntutan situasi dan kondisi.

Ilmu ini pertama kali dikembangkan oleh Abd al-Qahir al-Jurzanji.
Adapun objek kajiannya yaitu kalimat-kalimat bahasa Arab.
3. Ilmu badi’

47
48

Ibid., 11
Ibid., 12

31

Menurut pengertian leksikal, badi’ adalah suatu ciptaan baru yang tidak
ada contoh sebelumnya. Sedangkan secara terminologi adalah suatu ilmu yang
mempelajari segi-segi (metode dan cara-cara yang ditetapkan untuk menghiasi
kalimat dan memperindahnya) dan keistimewaan-keistimewaan yang dapat
membuat kalimat semakin indah, bagus dan menghiasinya dengan kebaikan dan
keindahan setelah kalimat tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi dan telah
jelas makna yang dikehendakinya.49
Peletak dasar ilmu badi’ adalah Abdullah Ibn al-Mu’taz (W. 274 H).
Adapun Objek kajian ilmu ini adalah upaya memperindah bahasa, baik pada
tataran lapal (

49

ibid

) maupun makna (

).

BAB III
RIWAYAT HIDUP SAYYID QUT{B
DAN PEMAPARAN TAFSIR SURAT AT{-T{ARIQ AYAT 4
A. Biografi Sayyid Qut}b
1.

Riwayat Hidup
Nama lengkapnya Sayyid Qut}b Ibrahim Husain Shadhili. Ia lahir di

Maushah, provinsi Ashut} Mesir pada tanggal 19 Oktober 1906. Al-Faqir Abdullah
adalah kakeknya yang ke-enam datang dari India ke Mekah untuk beribadah haji.
Setelah selesai hajinya itu ia meninggalkan Mekkah dan menuju dataran tinggi
Mesir. Kakeknya merasa takjub atas daerah Maushah dengan pemandanganpemandangan, kebun-kebun serta kesuburannya. Maka akhirnya ia pun tinggal
disana. Di antara anak turunnya itu lahirlah Sayyid Qut}b.50
Sayyid Qut}b terlahir dari pasangan al-Haj Qut}b bin Ibrahim dengan
Sayyidah Nafas} Qut}b. Bapaknya merupakan seorang petani dan menjadi anggota
komisaris partai nasional di desanya. Rumahnya dijadikan markas bagi kegiatan
politik. Disamping itu juga dijadikan pusat informasi yang selalu didatangi oleh
orang-orang yang ingin mengikuti berita-berita nasional dan internasional dengan
diskusi-diskusi para aktivis partai yang sering berkumpul di sana atau tempat
membaca Koran.51 Dimasa