JAHILIAH DALAM AL-QUR’AN (KAJIAN ATAS PENAFSIRAN SAYYID QUTHB DALAM TAFSIR FÎ ZHILÂL AL-QUR’ÂN)

JAHILIAH DALAM AL-QUR’AN

(KAJIAN ATAS PENAFSIRAN SAYYID QUTHB DALAM TAFSIR FÎ ZHILÂL AL-QUR’ÂN)

Oleh ABDUL BAR I

NIM: 02.2.00.1.05.01.0001

Konsentrasi Tafsir Hadis

Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta

1426 H/2005 M

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat selesai. Salawat serta salamsemoga tetap tercurahkan kepada Sang Pembawa Risalah Manusia Agung Nabi Muhammad saw yang menerima risalah dan menyampaikannya kepada umat manusia.

Selanjutnya, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini yaitu:

1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat selaku Direktur Pascasarjana dan Prof. Dr. Ahmad Thib Raya selaku Ketua Konsentrasi Tafsir Hadis

2. Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA dan Dr. Yusuf Rahman, MA yang telah membimbing penulis dengan sabar dan penuh perhatian. Yang disebut terakhir bahkan bersedia memberikan bimbingan di Rumah Sakit

3. Pihak Perpustakaan Utama, Perpustakaan Pascasarjana, dan Perpustakaan Iman Jama yang menyediakan fasilitas untuk melakukan penelitian ini

4. Para dosen yang telah membimbing penulis selama “mondok” di Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah di antaranya Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan, Dr. Ahzami Sami’un Jazuli, Dr. Faizah Ali Syibromalisi, Dr. A. Lutfi Fathullah, Dr. M. Masyhuri Na’im, Dr. Mukhtar Aziz, dan Prof. Dr. Rusmin Tumanggor.

5. Abang-abang dan kakak-kakak yang membantu dan memberikan motivasi

agar tesis ini cepat selesai

6. Seluruh teman-teman penulis, baik di pascasarjana (Didi, Hamid, Rifai, Doni, Arif, Aufan, Mawardi, Nunur, Lela dan selainnya), strata satu (Udin, Rizal, Wihdan, dan yang lain), juga Mas Shobih dan kawan-kawan Pecinta Alam di Jombang yang selalu mendorong dan membantu menyelesaikan tesis ini baik berupa saran maupun dalam meminjamkan buku rujukan.

7. Di atas semua itu, terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan kepada kedua orang tua penulis yang mulia, H.M. Ali Junaidi dan Hj. Maswani yang sampai sekarang terus menerus mendidik dan mengasuh penulis serta selalu mendoakan yang terbaik untuk putra-putrinya. Tanpa keduanya, mustahil rasanya penulis dapat mencapai keadaan seperti sekarang.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa tesis ini masih membutuhkan banyak saran dan kritik dari berbagai pihak yang lebih ahli dan kompeten untuk mencapai kesempurnaannya.

Jakarta, Mei 2005

Abdul Bari

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis dengan judul “Jahiliah Dalam al-Qur’an (Kajian atas Penafsiran Sayyid Quthb dalam Tafsir Fî Zhilâl al-Qur ’ân” yang ditulis oleh: Nama : Abdul Bari NIM : 02.2.00.1.05.01.0001 Program Studi: Tafsir Hadis Disetujui untuk dibawa ke dalam ujian/penilaian tesis dengan persetujuan

kedua pembimbing sebagai berikut:

Pembimbing I, Pembimbing II,

(Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA) (Dr. Yusuf Rahman, MA)

PEDOMAN TRANSLITERASI

f a ف ب = b ق = q ت = t ك = k ث = ts ل = l ج = j م = m

ح = h ن = n خ = kh و = w

د = d ه = h ذ = dz ء = ` ر = r ي = y ز = z س = s ش = sy Untuk Madd dan diftong ص = sh â = a panjang ض = dl î = i panjang ط = th û = u panjang ظ = zh وأ = aw ع = ‘ يا = ay غ = gh

Catatan: Seluruh ayat yang tercantum dalam tesis ini ditulis dengan rasm ‘Utsmani

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Tesis dengan judul “Jahiliah Dalam al-Qur’an (Kajian atas Penafsiran Sayyid Quthb dalam Tafsir Fî Zhilâl al-Qur ’ân” yang ditulis oleh:

Nama : Abdul Bari NIM : 02.2.00.1.05.01.0001 Program Studi: Tafsir Hadis

Telah diujikan dalam sidang munaqasyah Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 21 Juni 2005. Tesis ini telah diterima sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Agama (MA) pada konsentrasi Tafsir Hadis

Jakarta, 21 Juni 2005

Tim Penguji

(Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA) (Dr. A. Wahib Mu’thi)

(Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA) (Dr. Yusuf Rahman, MA)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kedatangan Islam dan pembawanya, Muhammad SAW, di tengah masyarakat Arab sungguh merupakan suatu reformasi besar. Dalam suatu masyarakat yang cenderung mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, Islam dengan al-Qur’an sebagai sumber utamanya mampu merubahnya dalam waktu yang relatif singkat. Sebelum Islam datang, masyarakat Arab merupakan suatu komunitas yang mengabaikan atau bahkan mengingkari fitrah manusia. Peperangan yang terjadi antar suku dan kabilah yang berlangsung selama puluhan tahun, penguburan anak perempuan hidup-hidup, penyembahan kepada berhala, serta penindasan terhadap warga yang mempunyai status sosial rendah oleh para bangsawan merupakan bagian dari hidup mereka. Seolah-olah itu semua merupakan pandangan hidup mereka.

Tidak itu saja. Kegemaran mereka terhadap khamr, fanatisme kesukuan yang tinggi, dan penempatan kaum perempuan pada derajat yang rendah adalah cara hidup yang lazim dijumpai. Keadaan ini dilukiskan oleh Masudul Hasan dengan,

“ The people were addicted to drinking, gambling, lewdness, promiscuity, and moral depravity. Women were treated as chattels, and could be bought and sold at will. Poets sang of moral depravities with a sense of pride. When a man died his son inherited his step mothers along with his other property and could “ The people were addicted to drinking, gambling, lewdness, promiscuity, and moral depravity. Women were treated as chattels, and could be bought and sold at will. Poets sang of moral depravities with a sense of pride. When a man died his son inherited his step mothers along with his other property and could

birth. Slavery was common, and the master enjoyed power of life and death over the slaves. Usury was the order of the day and the money classes exploited the poor and those in need. There was

wide gulf between the rich and the poor.” 1

(Orang-orang kecanduan minum, berjudi, berbuat cabul, seks bebas, dan kemerosotan moral. Kaum wanita diperlakukan seperti barang bergerak yang dapat dijual atau dibeli jika mau. Para penyair mendendangkan kebobrokan moral dengan penuh kebanggaan. Jika seseorang meninggal, sang anak mewarisi ibu- ibu tirinya bersama dengan barang-barang lain dan dapat menikahi

mereka. Kelahiran seorang anak perempuan dipandang sebagai sesuatu yang memalukan. Banyak anak perempuan yang dicekik

atau dikubur hidup-hidup ketika lahir. Perbudakan merupakan sesuatu yang wajar dan sang tuan memiliki kekuasaan dalam hidup dan matinya para budak. Riba merupakan sajian sehari-hari dan para pemilik harta mengeksploitasi orang miskin dan yang membutuhkan. Ada jurang pemisah antara si kaya dan si miskin)

Kondisi masyarakat yang demikian tentunya tidak dapat dikatakan sebagai masyarakat ideal mengingat hal-hal tersebut tidak mencerminkan masyarakat yang beradab.

Di tengah kondisi masyarakat demikianlah Islam datang. Dengan al- Qur’an dan Nabi Muhammad sebagai dua faktor utama, dalam waktu yang relatif singkat, Islam merubah tatanan masyarakat itu: dari masyarakat biadab menjadi masyarakat beradab. Keberhasilan Islam di tengah masyarakat yang demikian “liar” tentu saja membuat dunia tercengang. Bahkan, dua negara Adikuasa saat itu, Bizantium dan Persia, tidak pernah mempertimbangkan untuk menguasai

wilayah ini lantaran kerasnya alam kehidupan dan penghuninya. 2

١ Masudul Hasan, History of Islam, (India: Adam Published, 1995), vol. I, h. 48

٢ Karen Armstrong, Muhammad; a Biography of The Prophet, (London: Victor Gallancz, 1991), h. 55

Menarik untuk dicermati, kedatangan Islam tidak merombak nilai-nilai

yang dianut masyarakat secara keseluruhan. Artinya, Islam tidak mengikis habis nilai-nilai kemuliaan dalam pandangan mereka dan menggantinya dengan nilai- nilai yang sama sekali baru. Tetapi Islam mengakomodir nilai-nilai itu dan mengarahkannya kepada hal yang sesuai dengan syariat. Nilai-nilai seperti kemuliaan, kedermawanan, dan keberanian yang dianggap baik oleh bangsa Arab

tetap dipertahankan dengan diubah cara dan tujuannya. 3 Kedermawanan yang sebelumnya diartikan dengan penghamburan harta secara berlebihan kepada

anggota suku diubah menjadi pemberian sebagian harta kepada fakir miskin; keberanian yang sebelumnya ditujukan untuk membela kehormatan diri dan suku diganti dengan pembelaan kepada agama. Demikianlah masyarakat Arab mengalami perubahan hidup yang besar. Dari masa Jahiliah menuju masa Islam.

Term Jahiliah secara bahasa berarti kebodohan. 4 Ini tidak berarti penggunaan term tersebut pada masa pra Islam menunjukkan orang yang hidup pada masa itu merupakan orang bodoh yang tidak memiliki pengetahuan sebagai lawan dari orang yang pandai. Ahmad Amin menjelaskan bahwa arti dari jahiliah adalah kesombongan, kemarahan, dan ketidaktahuan. Penggunaan term ini kepada masa pra Islam menunjukkan pada masa itu hal-hal yang menonjol di kalangan

masyarakat adalah nilai-nilai kesombongan, kebanggaan, dan ketidaktahuan. 5

٣ Zakaria Bashier, The Makkan Crucible, (Leicester: Islamic Foundation, 1978), h. 27 ٤ Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdor, Kamus Kontemporer, (Yogya: Yayasan Ali Maksum, 1996), h. 648

Ahmad Amîn, Fajr al-Islâm, (Singapura: Sulaiman Mar’i, 1965), h. 70. Lihat juga dalam Hasan Ibrâhim Hasan, Târikh al-Islâm, (Beirut: Dâr al-Jayl, 1996), vol. I, h. 66

Selain itu, penggunaan term jahiliah juga berkaitan dengan kepercayaan

yang sesat, peribadatan yang tidak tepat, hukum dan kekuasaan yang tidak adil, kekalutan dan kekacauan yang timbul dengan tiada tentu ujungnya. 6 Karena Islam

memperbaiki agama yang dibawa Ibrahim yakni agama fitrah maka jahiliah dipandang sebagai sebuah zaman sebelum kedatangan Islam, ibarat kegelapan

sebelum terbit fajar. 7 Ajaran-ajaran yang terdapat dalam Islam, jika ditinjau lebih jauh, akan

terlihat bahwa ia memang bertujuan untuk merubah adat-adat, ide-ide, dan kerusakan moral yang ada dalam masyarakat arab sebagai tempat awal kemunculannya. Dari sisi keagamaan, Islam mengganti sistem pemujaan berhala yang dianut masyarakat Arab dengan penyembahan hanya kepada Allah semata. Selain itu, pelaksanaan ritual di lingkungan Ka’bah yang telah ada sejak masa Nabi Ibrahim dan telah ternodai dengan anggapan yang keliru dan praktek yang

tercela dimurnikan kembali. 8

Dari sisi kemanusiaan, Islam menyerukan adanya kesamaan derajat di antara manusia –apakah ia lelaki atau perempuan- berbeda dengan masyarakat Arab yang menjadikan kaum perempuan sebagai makhluk nomor dua yang bebas diperlakukan sekehendak hati. Islam juga mengajarkan bahwa seluruh manusia itu sama, tidak ada yang lebih mulia antara satu suku dengan suku lainnya, antara

٦ Fachruddin Hs, Ensiklopedia al-Qur’an, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), vol,. I, h 547

٧ Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas, terj. (Jakarta: Raja Grafindo, 1996), h. 190 ٨ Anggapan yang keliru dan praktek yang tercela dalam pelaksanaan ritual di seputar ka’bah diantaranya adalah meletakkan berhala di sekeliling Ka’bah untuk kemudian dipuja dan

diberikan sembelihan, mengelilingi Ka’bah (thawâf) tanpa busana, lihat dalam Mahmûd Syaltût, al-Islâm; ‘Aqîdah wa Syarî’ah , (ttp: Dâr al-Qalam, 1966), h. 121 diberikan sembelihan, mengelilingi Ka’bah (thawâf) tanpa busana, lihat dalam Mahmûd Syaltût, al-Islâm; ‘Aqîdah wa Syarî’ah , (ttp: Dâr al-Qalam, 1966), h. 121

lahan menghapus perbudakan karena bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Dari sisi etika, ketika masyarakat Arab menganggap khamr, pesta, perang, serta kepedulian terhadap keluarga dan suku yang melampaui batas sebagai hal- hal yang menjadi kebanggaan dan kemuliaan, Islam menggantinya dengan menolong sesama yang berada dalam kesusahan, siapa pun ia dan dari kalangan

dan suku mana pun, sebagai perbuatan yang mulia. 9

Untuk mengetahui perbedaan yang jelas antara nilai-nilai yang ada dalam Islam dan yang dianut masyarakat Arab, tampaknya perkataan Ja’far ibn Abi Thalib mewakilinya. Ketika menjawab Raja Etiopia, Negus, yang menanyakan alasan minta perlindungan padanya, Ja’far menjawab,

٩ Hasan Ibrâhim Hasan, Târikh al-Islâm, h. 160

١٠ Ibn Hisyâm, al-Sirah al-Nabawiyyah, (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, tt), vol. I, h. 225

(Wahai raja! Dahulu kami adalah kaum jahiliah; kami menyembah berhala, memakan bangkai, melakukan perbuatan keji, memutus

silaturahmi, dan menyakiti tetangga, yang kuat menindas yang lemah. Demikian keadaan kami hingga Allah mengutus seorang rasul dari kalangan kami yang kami tahu nasab, jujur, dapat dipercaya, dan kesuciannya. Ia mengajak kami untuk mengesakan dan menyembah Allah dan meninggalkan batu dan patung yang kami dan nenek moyang kami menyembahnya. Ia menyuruh kami berkata jujur, menyampaikan amanat, bersilaturahmi, berbuat baik pada tetangga, dan menyudahi perbuatan haram dan pertumpahan darah. Ia melarang kami melakukan kejahatan, perkataan dusta, memakan harta anak yatim, dan mencemarkan wanita baik-baik. Ia menyuruh kami menyembah Allah semata dan tidak

menyekutukan-Nya dan juga menyuruh kami untuk mengerjakan shalat, zakat, dan puasa…)

Walaupun riwayat ini masih diragukan kesahihannya, 11 setidaknya ucapan Ja’far ini menunjukkan adanya suatu distingsi nilai-nilai yang ada antara Jahiliah

dengan Islam. Beberapa sejarawan pun menggunakan ucapan Ja’far ini untuk menunjukkan perbedaan antara Jahiliah dengan Islam. 12

Kemudian, bagaimana dengan pandangan al-Qur’an tentang jahiliah itu sendiri? Tentunya dengan merujuk pada al-Qur’an sebagai pedoman hidup kaum muslim dapat memberikan kejelasan. Dalam al-Qur’an, term jahiliah terulang sebanyak empat kali yang tersebar dalam empat ayat dalam empat surat yang berbeda: QS. Âli ‘Imrân/3:154, al-Mâ’idah/5:50, al-Ahzâb/33:33, dan al-Fath/48:

26. 13 Keempat ayat tersebut seluruhnya bernada sumbang dan berisi tentang

١١ Salah satu alasan diragukannya kebenaran riwayat ini karena dalam ucapan Ja’far tersebut tercantum perintah puasa, padahal kewajiban puasa baru ada dua tahun sesudah Nabi

hijrah ke Madinah, lihat dalam Muhammad al-Khudlâri Bîk, Târikh al-Tasyrî’ al-Islâmi, (Kairo: Mathba’ah al-Sa’âdah, 1964), h. 48

Lihat misalnya dalam Ahmad Amin, Fajr al-Islâm, h. 76 dan Hasan Ibrâhim Hasan, Târikh al-Islâm , h. 164

Muhammad Fu’âd ‘Abd al-Bâqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994) h. 234. Ini tidak berarti pembicaraan tentang perilaku jahiliah dalam al-

Qur’an hanya terdapat dalam empat ayat ini saja karena masih banyak ayat lain yang –walaupun tidak mencantumkan term jahiliah secara eksplisit- berkenaan dengan kecaman al-Qur’an terhadap Qur’an hanya terdapat dalam empat ayat ini saja karena masih banyak ayat lain yang –walaupun tidak mencantumkan term jahiliah secara eksplisit- berkenaan dengan kecaman al-Qur’an terhadap

(hukum), tabarruj (berhias/berperilaku), dan hamiyyah (kesombongan). Term jahiliah yang dikaitkan dengan kata zhann berisi tentang kecaman terhadap kaum munafik yang meragukan datangnya pertolongan Allah kepada kaum muslim dalam menghadapi peperangan 14 ; yang dikaitkan dengan kata hukm mengungkapkan penolakan Kaum Yahudi atas ketetapan dan hukum yang Nabi putuskan terhadap mereka 15 ; yang dikaitkan dengan kata tabarruj berhubungan dengan perilaku dan cara berhias yang dilakukan oleh bangsa Arab 16 ; dan yang dikaitkan dengan kata hamiyyah berkenaan dengan penolakan utusan Suku Quraisy ketika merundingkan perjanjian damai untuk menuliskan nama Allah dan

Muhammad sebagai utusan Allah. 17

Menarik untuk dicermati, dari keempat surat yang tercantum term jâhiliyyah di dalamnya, tidak satu pun yang termasuk kategori surat Makkiyyah;

perilaku jahiliyyah. Contoh atas hal ini adalah kecaman al-Qur’an terhadap hukum masyarakat jahiliah yang memperuntukkan tanaman dan ternak bagi Allah dan bagi berhala-berhala mereka yang tercantum dalam QS. Al-An’âm/6: 136; juga tentang pembunuhan terhadap anak perempuan yang kelahirannya tidak dikehendaki yang tersebut dalam QS. Al-Nahl/16: 58-59

Ismâ’il ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, (Beirut: ‘Âlam al-Kutub, 1993), vol. I, h. 395

١٥ Ketika terjadi pembunuhan yang dilakukan anggota Bani Nadlir terhadap anggota Bani Qurayzhah, dua suku Yahudi yang ada di Madinah, Nabi memutuskan untuk menghukum anggota

Bani Nadlir itu dengan hukuman mati. Akan tetapi Bani Nadlir menolaknya dan menyatakan bahwa Nabi tidak berhak memberikan putusan itu kepada mereka. Lihat dalam Ali ibn Muhammad al-Khâzin, Lubâb al-Ta’wîl fi Ma’âni al-Tanzîl, , (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), vol. I, h. 465

Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, vol. III, h. 464 ١٧ Ayat ini terkait dengan peristiwa perjanjian Hudaybiyyah yang dilakukan antara Kaum

Muslim dengan suku Quraisy. Ketika Nabi menyuruh ‘Ali ibn Abi Thalib -penulis perjanjian itu- untuk menulis Bismi Allâh al-Rahmân al-Rahîm dan Muhammad Rasûl Allâh, Suhayl ibn ‘Amr – selaku utusan dari pihak Quraisy- menolaknya. Selengkapnya lihat dalam ibid, vol. IV, h. 200 Muslim dengan suku Quraisy. Ketika Nabi menyuruh ‘Ali ibn Abi Thalib -penulis perjanjian itu- untuk menulis Bismi Allâh al-Rahmân al-Rahîm dan Muhammad Rasûl Allâh, Suhayl ibn ‘Amr – selaku utusan dari pihak Quraisy- menolaknya. Selengkapnya lihat dalam ibid, vol. IV, h. 200

dalam periode Madinah, syariat Islam telah mencapai kesempurnaan sehingga dari sini dapat disimpulkan semua hal-hal yang berlawanan dengan ajaran Islam

adalah ajaran Jahiliah. 19 Ini juga mengindikasikan telah berlalunya jahiliah sesudah datangnya Islam. Dengan demikian, term jahiliah mengacu pada suatu masa sebelum datangnya agama Islam sehingga term ini dipertentangkan atau sebagai antitesis dari kata dan masa sesudah datangnya Islam.

Akan tetapi tidak demikian halnya dalam pandangan Sayyid Quthb, seorang mufassir modern. Menurutnya, kata jahiliah bukan merupakan bagian tertentu dalam suatu masa, dalam hal ini masa sebelum Islam; akan tetapi ia adalah keadaan tertentu pada suatu masyarakat tertentu yang mempunyai gambaran tertentu. Mungkin saja keadaan ini dijumpai di setiap waktu dan

tempat. 20 Jadi, menurutnya yang dimaksud dengan jahiliah bukan suatu masa tertentu yang telah lalu dan tidak dapat terulang lagi. Jahiliah dalam pandangannya adalah suatu keadaan yang boleh jadi dapat terjadi pada masa lalu, masa sekarang, atau masa depan di setiap masyarakat di mana saja selama

١٨ Setidaknya ada tiga pendapat tentang istilah Makkiyyah dan Madaniyyah: a) yang tergolong Makkiyyah adalah ayat atau surat yang ditujukan kepada penduduk Makkah sedang

Madaniyya h adalah ayat atau surat yang ditujukan kepada penduduk Madinah, b) Makkiyyah adalah yang diturunkan di Makkah dan Madaniyyah adalah yang diturunkan di Madinah, dan c) Makkiyyah adalah yang turun sebelum Nabi hijrah dan Madaniyyah adalah yang turun sesudah Nabi hijrah. Pendapat yang terakhir ini merupakan pendapat yang banyak dipegang. Selengkapnya lihat dalam Jalâl al-Dîn al-Suyûthi, al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), vol. I, h.

9 ١٩ Shalâh ‘Abd al-Fattâh al-Khâlidi, al-Tafsîr al-Mawdlû’i bayn al-Nazhariyyah wa al-

Tathbîq , (Jordan: Dâr al-Nafâ’is, 1997) h. 171

Sayyid Quthb, Fi Zhilâl al-Qur’ân, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 1992), vol. XII, h. 2861 Sayyid Quthb, Fi Zhilâl al-Qur’ân, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 1992), vol. XII, h. 2861

menulis

(Sesungguhnya jahiliah bukanlah periode tertentu dari suatu zaman, tetapi ia adalah suatu kondisi. Kondisi ini ada pada masa

lalu, ada pada saat ini, dan juga ada pada masa depan. Kondisi ini memiliki sifat jahiliah yang bertentangan dan bertolak belakang dengan Islam. Dengan demikian, orang yang tidak mengikuti hukum Allah berarti ia mengkuti hukum jahiliah; dan orang yang menolak syariat Allah berarti ia menerima syariat jahiliah dan hidup dalam kejahiliahan)

Di sini, Sayyid Quthb meyatakan bahwa yang disebut jahiliah bukan suatu masa tertentu, tetapi suatu keadaan tertentu yang bisa saja terjadi kemarin, sekarang atau esok hari. Suatu masyarakat yang tidak menjalankan hukum dan ketentuan Islam berarti masyarakat itu menjalankan hukum dan ketentuan jahiliah dan hidup di dalam kejahiliahan.

Sayyid Quthb berpandangan bahwa Islam adalah way of life yang komprehensif. Islam mampu memberikan solusi bagi segala permasalahan yang dihadapi kaum Muslim. Jika kaum Muslim menginginkan kesejahteraan dan keharmonisan dengan hukum alam dan fitrah hidup di dunia ini, satu-satunya cara adalah kembali kepada Allah, kembali kepada al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam. Konsekuensinya, jika ada yang mengambil sumber lain dalam

٢١ Ibid, vol. VI, h. 904

hidupnya, dalam hal ini hukum dan aturan buatan manusia, berarti ia telah

melakukan penyimpangan dan berada dalam kejahiliahan. Dengan pendiriannya yang tegas dan terkesan ekstrim inilah Sayyid Quthb mendapatkan banyak

kritikan dan kecaman, baik dari kalangan muslim sendiri maupun non-muslim. 22 Kritikan dan kecaman yang –menurut para pembelanya- timbul akibat kesalahan dalam memahami pemikiran Sayyid Quthb. Bahkan, yang lebih parah lagi, pernyataan Sayyid Quthb dijadikan landasan oleh sebagian orang untuk

mengkafirkan orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka. 23 Jika demikian halnya, berarti bisa saja jahiliah terdapat dalam masyarakat yang sudah tidak mengindahkan ketetapan dan ketentuan yang ada dalam Islam. Terlebih lagi masa sekarang yang, jangankan orang-orang non-muslim, bahkan orang yang mengaku beragama Islam pun banyak yang telah meninggalkan ajaran dan tuntunan Islam.

Namun, apakah memang demikian makna yang dikehendaki dari kata jahiliah? Apakah pendapat Sayyid Quthb tersebut dapat diterima mengingat sekian banyak literatur menyebut bahwa kata itu merujuk kepada suatu masa tertentu. Perbedaan pendapat demikian mungkin saja terjadi mengingat setiap orang mempunyai landasan pemikiran yang berbeda dan mempunyai argumen yang berbeda pula.

٢٢ Salah satu di antara para pengkritiknya adalah Rabi’ ibn Hadi al-Madkhali. Lihat kritikannya terhadap Sayyid Quthb dalam salah satu karyanya, Sayyid Quthb Mencela Sahabat?,

terj., (Jakarta: Pustaka Ilmu, 2002)

Lihat misalnya dalam K. Salim Bahnasawi, Butir-butir Pemikiran Sayyid Quthb; Menuju Pembaruan Gerakan Islam, terj. Abdul Hayyie al-Kattani et. all, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), h. 32. Buku ini sendiri merupakan apologi atas pemikiran-pemikiran Sayyid yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam seperti mengkafirkan orang lain di luar golongannya.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Pembahasan tentang masalah jahiliah dalam al-Qur’an secara keseluruhan mencakup berbagai hal. Ini karena al-Qur’an memang diturunkan pada masyarakat yang menganut sikap dan cara hidup jahiliah seperti membunuh anak perempuan hidup-hidup, menyembah berhala, dan lain sebagainya. Al-Qur’an sendiri banyak mengecam perilaku jahiliah dalam banyak ayat yang dapat diketahui dengan melihat pada pencantuman secara eksplisit kata jahiliah dalam beberapa ayat maupun melihat pada konteks ayat. Tentunya, untuk mengetahui penafsiran Sayyid Quthb tentang jahiliah dalam kitab tasirnya membutuhkan pembahasan yang sangat luas.Untuk itu penulis membatasi permasalahan ini dengan meneliti penafsiran Sayyid Quthb tentang jahiliah dalam hal yang berkaitan dengan akidah, hukum, perilaku, dan fanatisme buta.

Adapun masalah pokok penelitian ini, jika dirumuskan dalam perumusan masalah, akan terangkum dalam kalimat berikut: bagaimana penafsiran Sayyid Quthb tentang jahiliah dalam al-Qur’an?

C. Kajian Pustaka

Pembahasan tentang jahiliah dalam al-Qur’an sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Dalam kitab-kitab tafsir terdapat penjelasan tentang kata ini dengan tingkat penjabaran yang berbeda-beda. Akan tetapi, penjelasan yang

dilakukan mufassir, karena mengikuti susunan mushaf, penjelasan yang diberikan

pun terkesan parsial dan tidak utuh. Selain kitab tafsir, buku yang cukup tajam menyoroti masalah jahiliah adalah Jâhiliyyah al-Qarn al-‘Isyrîn yang ditulis oleh Muhammad Quthb. Namun, buku ini tidak secara khusus menjelaskan tentang jahiliah dalam al-Qur;an; sesuai dengan judulnya, buku ini lebih menitikberatkan pada perilaku jahiliah yang ada

pada abad dua puluh. 24 Ada juga tulisan tentang jahiliah dalam al-Qur’an yang ditulis oleh Shalâh ‘Abd al-Fattâh al-Khâlidi. Namun, tulisan ini, walaupun membahas jahiliah dalam al-Qur’an, belum menguraikan secara luas tentang

jahiliah karena ditulis sebagai contoh dari cara penafsiran tematik. 25 Dari sisi sejarah, pembahasan tentang jahiliah juga dilakukan oleh para sejarawan yang menulis tentang sejarah Islam atau Arab seperti Ahmad Amin dalam Fajr al-Islam, 26 maupun sejarawan yang menulis sejarah Nabi seperti Husayn Haykal dalam Hayât Muhammad 27 dan Karen Armstrong dalam Muhammad; a Biography of the Prophet 28 . Namun karena buku-buku tersebut

merupakan buku sejarah, kajian yang dipakai dalam membahas jahiliah tentu saja tinjauan sejarah, bukan kajian tafsir.

٢٤ lihat dalam Muhammad Quthb, Jahiliyyah al-Qarn al-Isyrin, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Muhammad Thahir dan Abu Layla dengan judul Jahiliyyah Abad Dua

Puluh , (Bandung: Mizan, 1985)

lihat dalam Shalâh ‘Abd al-Fattâh al-Khâlidi, al-Tafsîr al-Mawdlû’i bayn al- Nazhariyyah wa al-Tathbiq , (Jordan: Dâr al-Nafâ’is, 1997)

Ahmad Amîn, Fajr al-Islâm, (Singapura: Sulaiman Mar’i, 1965) ٢٧ Muhammad Husayn Haykal, Hayât Muhammad, (Kairo: Dar Shadr, 1987)

٢٨ Karen Armstrong, Muhammad; a Biography of The Prophet, (London: Victor Gallancz, 1991)

Mengenai buku-buku yang membahas pemikiran Sayyid Quthb, cukup

banyak para penulis yang telah melakukannya. Sebagai seorang ilmuwan yang memberikan warna baru dalam dunia intelektual, pemikiran Sayyid Quthb banyak mendapat perhatian para peneliti. Keunikan pemikir Mesir ini terletak pada keberhasilannya dalam dunia teori dan praksis. Dari sisi teori, Sayyid Quthb dikenal sebagai penulis produktif yang banyak menghasilkan karya bermutu dan telah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Dari sisi praksis, Sayyid Quthb juga berhasil menjadi simbol perlawanan Islam terhadap pemikiran Barat di bawah bendera al-Ikhwân al-Muslimûn dan menjadi tokoh perjuangan rakyat Mesir dalam revolusi 1952. Terlebih lagi, kesyahidannya di bawah eksekusi penguasa Mesir yang dahulu dibelanya telah menghasilkan kesan yang mendalam pada diri

banyak orang. 29 Dalam segi pemikiran teologis, buku yang terbilang baru adalah Dari

Teologi ke Ideologi; Telaah atas Metode dan Pemikiran Teologi Sayyid Quthb karya Afif Muhammad. Buku ini secara khusus menjabarkan bagaimana teologi

dalam pemikiran Sayyid Quthb berubah menjadi ideologi yang menggerakkan. 30 Penelitian lain tentang Sayyid Quthb tentu saja berkaitan dengan Master Piece- nya: Tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân. Penelitian yang cukup mendalam tentang tafsir ini terdapat dalam Madkhal ilâ Tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân karya Shalâh ‘Abd al-

٢٩ Afif Muhammad, Dari Teologi ke Ideologi; Telaah atas Metode dan Pemikiran Teologi Sayyid Quthb , (Bandung: Pena Merah, 2004), h. 36

Lihat dalam Ibid

Fattâh al-Khâlidi. 31 Selain itu, ada juga buku yang membahas tentang satu tema

tertentu dalam tafsir tersebut seperti Jihad Menurut Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an 32 karya Muhammad Chirzin.

Seperti halnya buku yang disebut terakhir, penelitian yang penulis lakukan juga membahas tema tertentu, dalam hal ini jahiliah, dalam tafsir Fî Zhilâl al- Qur’ân. Perlu juga dijelaskan di sini bahwa terdapat penelitian yang mirip dengan yang penulis lakukan dalam bentuk skripsi yang ditulis oleh Muhammad Arfan dengan judul Jahiliyyah Menurut Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an. Akan tetapi penelitian ini hanya menguraikan penafsiran Quthb tentang jahiliah

berdasarkan term jahl dan derivasinya 33 sedangkan yang penulis teliti tidak hanya sekadar ayat-ayat yang mencantumkan term jahl dan derivasinya, tetapi juga ayat- ayat lain yang –walaupun tidak terdapat term jahl- berkenaan dengan perilaku jahiliah.

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Pada dasarnya penelitian ini bertujuan untuk menggali dan menemukan pandangan al-Qur’an tentang jahiliah menurut Sayyid Quthb sehingga dapat diketahui bagaimana, menurutnya, al-Qur’an berbicara tentang jahiliah. Sebelum al-Qur’an diturunkan, masyarakat Arab merupakan masyarakat yang tidak

٣١ Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an , (Solo: Era Intermedia, 2001)

Muhammad Chirzin, Jihad Menurut Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an, (Solo Era Intermedia, 2001)

Lihat dalam Muhammad Arfan, Jahiliyyah Menurut Sayyid Quthb dalam Tasir Fi Zhilal al-Qur’an, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2004), skripsi, tidak diterbitkan

mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan yang dengan datangnya al-Qur’an nilai-

nilai itu kembali diperhatikan. Dengan menggali pandangan dan kecaman al- Qur’an terhadap jahiliah diharapkan kaum muslim berusaha untuk menjauhi nilai- nilai seperti yang dianut masyarakat Arab sebelum datangnya al-Qur’an.

Tentang kegunaannya, penelitian ini diharapkan berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang tafsir, khususnya dalam menggali petunjuk al-Qur’an dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu, penelitian ini diharapkan menarik minat peneliti lain, khususnya di kalangan mahasiswa, untuk mengembangkan penelitian lanjutan tentang masalah yang sama.

E. Metodologi Penelitian

Sebagaimana karya-karya ilmiah, setiap pembahasan masalah pasti menggunakan metode untuk menganalisis permasalahan tersebut. Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu sebuah penelitian yang data-data, informasi dan bahan-bahan yang dijadikan bahasan dan rujukan penelitian berasal dari buku-buku dan yang semacamnya yang berhubungan dengan tema penelitian.

Mengingat penelitian ini terfokus pada satu kitab tafsir, sumber penelitian ini tentu saja kitab tafsir yang menjadi obyek penelitian , yaitu Tafsir Fî Zhilâl al- Qur’ân karya Sayyid Quthb. 34 Namun demikian, hal ini tidak mengindikasikan kitab-kitab tafsir lainnya tidak didigunakan. Kitab-kitab tafsir lain tetap digunakan

٣٤ Sayyid Quthb, Fî Zhilâl al-Qur’ân, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 1992)

terutama untuk melengkapi pembahasan dan mengomparasikan penafsiran Sayyid

Quthb tentang jahiliah dengan mufassir lain. Bahkan informasi dari buku-buku yang membahas Sayyid Quthb –baik dari sisi biografi maupun pemikiran dan penafsiran-, kitab-kitab hadis, dan buku-buku sejarah yang relevan tetap digunakan sebagi sumber sekunder penelitian ini.

Selain itu, kitab-kitab lain yang penulis gunakan antara lain adalah Mu’jam Mufradât Alfâzh al-Qur’ân karya al-Râghib al-Asfahâni 35 , Lisân al-‘Arab karya Ibn Manzhûr 36 , dan Mu’jam Maqâyîs al-Lughah karya Ahmad ibn Fâris. 37 Ketiga kitab ini membantu penulis dalam memahami kata-kata dalam al-Qur’an. Buku lainnya adalah al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm karya

Muhammad Fu’âd ‘Abd al-Bâqi 38 yang memudahkan penulis dalam melacak ayat-ayat al-Qur’an yang diperlukan. Kemudian, terjemahan al-Qur’an yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari al-Qur’an dan Terjemahnya yang dikeluarkan oleh Pemerintah Arab Saudi.

Setelah data-data terkumpul, penulis melakukan pengolahan data-data tersebut dengan metode deskriptif analitis. Deskriptif dalam hal ini berarti memaparkan secara obyektif tentang makna jahiliah dalam al-Qur’an menurut Sayyid Quthb yang bersumber dari rujukan penelitian ini, sementara analitis adalah menganalisis data-data tersebut terutama yang berkaitan dengan persoalan

٣٥ al-Râghib al-Asfahâni, Mu’jam Mufradât Alfâzh al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt)

٣٦ Muhammad ibn Makram ibn Manzhûr, Lisân al-‘Arab, (Beirut: Dâr Shâdir, 1990) ٣٧ Ahmad ibn Fâris ibn Zakariyâ, Mu’jam Maqâyîs al-Lughah, (Beirut: Dar al-Fikr,

1994) ٣٨ Muhammad Fu’âd ‘Abd al-Bâqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh al-Qur’ân al-Karîm

(Beirut: Dâr al-Fikr, 1994)

jahiliah dalam al-Qur’an sehingga dapat diketahui bagaimana dan apa argumen

penafsiran Sayyid Quthb tentang jahiliah. Karena penelitian ini juga berupaya mengkaji makna jahiliah dalam al- Qur’an secara menyeluruh, penulis menggunakan metode tafsir mawdlû’i, yaitu metode tafsir yang berusaha mencari jawaban al-Qur’an terhadap suatu masalah tertentu dengan cara menghimpun seluruh ayat yang dimaksud lalu menganalisisnya lewat ilmu-ilmu bantu yang relevan dengan masalah yang dibahas, untuk melahirkan suatu uraian utuh dari al-Qur’an tentang masalah

tersebut. 39 Selanjutnya, metode penulisan tesis ini berpedoman pada buku Pedoman

Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi IAIN Syarif Hidayatullah (Jakarta: IAIN Press, 2000).

F. Sistematika Penulisan

Mengacu pada penelitian di atas pembahasan dalam penelitian ini dapat disistematikakan sebagai berikut: Pembahasan diawali dengan pendahuluan yang menguraikan seputar kelayakan studi ini. Bagian ini merupakan bab pertama yang berisi latar belakang masalah; pembatasan dan perumusan masalah; kajian pustaka; tujuan dan kegunaan penelitian; metodologi penelitian; serta sistematika penulisan.

٣٩ Lihat dalam ‘Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidâyah fi al-Tafsir al-Mawdlu’i, (Mesir: Maktabah al-Jumhuriyyah, 1979), h. 52

Pembahasan selanjutnya merupakan uraian tentang biografi Sayyid Quthb

dan penjelasan sedikit tentang karya tafsirnya, Fî Zhilâl al-Qur’ân. Bahasan ini penting karena dengan mengetahui perjalanan hidup Sayyid setidaknya dapat memberikan pemahaman tentang pemikiran dan penafsirannya tentang makna jahiliah. Uraian tentang biografi Quthb dan Tafsir Fî Zhilâl al-Qur’ân mengisi bab dua.

Selanjutnya pembahasan ini menguraikan tentang makna jahiliah dalam al- Qur’an yang terdiri atas, pengertian jahiliah secara bahasa, ungkapan jahiliah

dalam al-Qur’an, serta antara jahiliah dan Islam. Semua uraian itu mengisi bab tiga.

Bab empat penulis mencoba mengemukakan penafsiran Sayyid Quthb tentang jahiliyyah dalam al-Qur’an yang berisi pengertian jahiliah menurut Sayyid Quthb, penafsirannya atas ayat-ayat yang berbicara tentang jahiliah, dan analisa penulis atas penafsiran Sayyid Quthb tersebut.

Bab lima merupakan penutup. Pada bab ini penulis menutup pembahasan dengan menarik kesimpulan dari pembahasan sebelumnya sekaligus menjawab permasalahan yang dikemukakan dan memberikan saran.

BAB II SAYYID QUTHB DAN TAFSIR FI ZHIL ÂL AL-QUR’ÂN

A. Biografi Sayyid Quthb

1. Hidup dan Perjuangan Sayyid Quthb Sayyid ibn Quthb ibn Ibrâhîm dilahirkan di Mausyah, salah satu wilayah propinsi Asyuth pada tanggal 9 Oktober 1906. 1 Ayahnya, Quthb ibn Ibrâhim, adalah seorang nasionalis yang memiliki kesadaran politik dan semangat nasional yang tinggi dan merupakan seorang aktivis Partai Nasional pimpinan Musthafa Kâmil.

Sebagai anggota Komisaris Partai Nasional di desanya, rumahnya dijadikan markas bagi kepentingan partai dan sering diadakan rapat-rapat, baik yang sifatnya umum yang boleh dihadiri siapa saja maupun yang bersifat rahasia yang hanya dihadiri kalangan terbatas. Aktivitas ayahnya sebagai pengurus partai dan kegiatan yang diadakan di rumahnya tentu memberikan bekas yang mendalam

١ Demikian menurut Shalah ‘Abdul Fattah al-Khalidi dalam Pengantar Memahami Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an, terj. Salafudin Abu Sayyid, (Solo: Era Intermedia, 2001), h. 23.

Namun, menurut Afif Muhammad, Sayyid Quthb lahir di Koha pada bulan September tahun yang sama. Lihat dalam Afif Muhammad, Dari Teologi ke Ideologi; Telaah atas Metode dan Pemikiran Teologi Sayyid Quthb , (Bandung: Pena Merah, 2004) h. 47. Menurut David Sagiv, pendapat bahwa Sayyid lahir di Mausyah lebih kuat daripada pendapat yang menyatakan ia lahir di Koha. Lihat David Sagiv, Islam Otentitas Liberalisme, (Yogyakarta: LkiS, 1997), h. 39 Namun, menurut Afif Muhammad, Sayyid Quthb lahir di Koha pada bulan September tahun yang sama. Lihat dalam Afif Muhammad, Dari Teologi ke Ideologi; Telaah atas Metode dan Pemikiran Teologi Sayyid Quthb , (Bandung: Pena Merah, 2004) h. 47. Menurut David Sagiv, pendapat bahwa Sayyid lahir di Mausyah lebih kuat daripada pendapat yang menyatakan ia lahir di Koha. Lihat David Sagiv, Islam Otentitas Liberalisme, (Yogyakarta: LkiS, 1997), h. 39

keadaan politik yang terjadi di Mesir. 2 Walaupun ayahnya seorang aktivis partai, tidak berarti pendidikan tentang

agama terlupakan. Justru ayahnya adalah seorang yang taat beragama dan mendidik anak-anaknya dalam bidang agama dengan penuh perhatian. Sebagai seorang yang memiliki status sosial tinggi di desanya, penduduk desa menghormati dan menghargai Haji Quthb –saat itu masih sedikit orang di desanya yang telah menunaikan ibadah haji- dan kerap kali penduduk desa datang

memintanya memberikan pandangan untuk memecahkan suatu persoalan. 3 Dalam hal agama, Haji Quthb juga sering mengadakan perayaan khataman al-Qur’an di

rumahnya dengan mengundang para qari’ di desanya dan orang-orang yang hapal al-Qur’an, 4 kegiatan yang memberikan pengaruh dan motivasi pada diri Sayyid

Quthb untuk mendalami dan menyelami al-Qur’an pada masa-masa berikutnya. Namun, pengaruh yang besar untuk mencintai al-Qur’an datang dari ibunya, seorang wanita yang sangat senang membaca dan mendengarkan al- Qur’an. Mengenai pengaruh dan didikan ibunya pada dirinya, Sayyid Quthb mengatakan seperti dikutip Afif Muhammad,

“dari balik penyekat ruangan, engkau begitu asyik mendengarkan orang-orang yang membaca al-Qur’an di sepanjang bulan Ramadhan di desa kita. Saat aku bersamamu dan ingin bermain-

٢ hal ini dapat dilihat dari ungkapan Sayyid sendiri tentang apa yang dirasakannya menjelang pecahnya pemberontakan yang dipimpin Sa’ad Zaghlul tahun 1919 ketika di rumahnya

terjadi kesibukan. Dia bisa merasakan, ketika melihat orang-orang itu, sesuatu bakal terjadi, tetapi entah apa, dan bagaimana hal itu akan terjadi dia pun tak tahu. Yang jelas, dia merasakan bahwa sesuatu akan terjadi. Lihat dalam Afif Muhammad, Dari Teologi ke Ideologi, h. 48

al-Khalidi ,Pengantar Memahami Tafsir, h. 24 ٤ Afif Muhammad, dari Teologi ke Ideologi, h. 48 al-Khalidi ,Pengantar Memahami Tafsir, h. 24 ٤ Afif Muhammad, dari Teologi ke Ideologi, h. 48

mendengarkan bacaan al-Qur’an dan engkau regukkan musiknya ke dalam jiwaku, kendati pun saat itu aku belum bisa memahami maknanya. Ketika aku tumbuh dalam asuhan tanganmu, engkau kirim aku ke Madrasah Awwaliyyat di desa. Harapan utamamu adalah semoga Allah membukakan pintu hatiku agar aku bisa hapal al-Qur’an, serta menganugerahiku suara yang merdu,

sehingga setiap saat aku bisa membacakan al-Qur’an untukmu” 5 Dengan didikan seperti ini, tidak heran jika kemudian Sayyid Quthb

mampu hapal al-Qur’an dalam usia yang relatif dini, sepuluh tahun.

Sayyid Quthb menempuh pendidikan formalnya yang pertama di desanya. Pada usia tiga belas tahun, sesudah terjadinya revolusi rakyat Mesir, ia berangkat menuju Kairo untuk melanjutkan studi. Di sana, ia tinggal bersama pamannya, Ahmad Husayn ‘Utsmân, seorang wartawan. Berkat pamannya inilah ia berkenalan dengan seorang sastrawan besar yang dikemudian hari menjadi panutannya dan banyak mempengaruhi pemikirannya, ‘Abbâs Mahmûd al- ‘Aqqâd, juga membawanya memasuki dunia politik dengan bergabung ke dalam Partai Wafd. 6

Pada tahun 1930 Sayyid Quthb masuk sebagai mahasiswa Institut Dar al- ‘Ulum (Kulliyyat Dâr al-‘Ulûm) setelah sebelumnya menyelesaikan tingkat tsanawiyyah di Tajhiziyyah Dâr al-‘Ulûm. Sayyid Quthb lulus dari perguruan tersebut pada tahun 1933 dengan meraih Lc dalam bidang sastra dan Diploma

dalam bidang tarbiyah. 7 Minat Sayyid Quthb terhadap bidang sastra ini

٥ dikutip dari Ibid, h. 49 ٦ al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir, h. 27

٧ Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), vol. IV, 145 ٧ Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), vol. IV, 145

namanya mulai diperhitungkan sebagai penulis dan kritikus sastra. Bahkan, semasa duduk di bangku kuliah, ia banyak menulis puisi dan artikel di berbagai surat kabar. Bukunya yang pertama pun, Muhimmah al-Syâ’ir fi al-Hayâh,

mulanya adalah hasil ceramahnya semasa menjadi mahasiswa tingkat tiga. 8 Selesai kuliah dari Institut Dâr al-‘Ulûm, Sayyid Quthb bekerja sebagai pengajar kemudian penilik di Departemen Pendidikan. Sebagaimana pada masa kuliah, masa ini juga merupakan masa perhatian Quthb kepada bidang sastra. Ia banyak menulis artikel tentang sastra di berbagai koran dan majalah. Ia juga terlibat dalam perang sastra terhadap para sastrawan lain yang tidak sepaham

dengannya, seperti Mushthafâ Shâdiq al-Râfi’i. 9 Menarik untuk diungkapkan di sini, antara Sayyid Quthb dengan al-Râfi’i sebenarnya tidak terdapat perseteruan. Polemik itu terjadi semata-mata lantaran al-Râfi’i terlibat perdebatan dengan al’Aqqâd tentang kemukjizatan al-Qur’an. Sementara al-Râfi’i mengakui ketinggian sastra al-Qur’an, al-‘Aqqâd justru berpendapat sebaliknya. Dalam keadaan demikian, Quthb justru memihak pada al-‘Aqqâd dan menyerang al- Râfi’i. Hal ini tentunya menimbulkan keheranan lantaran Quthb adalah alumnus Institut Dâr al-‘Ulûm yang nota bene merupakan tempat pendidikan ilmu-ilmu

agama. 10

٨ Afif Muhammad, Dari Teologi, h. 52 ٩ al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir, h. 29

١٠ Afif Muhammad, Dari Teologi, h. 53

Dari sini dapat dilihat besarnya pengaruh ‘Abbâs Mahmûd al-‘Aqqâd pada

diri Sayyid Quthb pada masa itu. Dapat dikatakan pada saat itu Sayyid Quthb menggeluti sastra bebas, sastra yang berdiri sendiri bahkan terkesan sastra yang tidak berhubungan dengan agama sekali pun karena menurutnya sastra adalah ungkapan jiwa dan perasaan yang tidak bisa terikat dengan apa pun. Pengaruh ini terus dipertahankan oleh Quthb hingga beberapa tahun kemudian ia melepaskan

diri dari pengaruh al-‘Aqqâd karena perbedaan pemikiran. 11 Kecenderungan Sayyid Quthb kepada al-Qur’an untuk mengkajinya lebih

dalam mulai tampak pada tahun empat puluhan. Mula-mula Sayyid Quthb memberikan perhatian dengan menggunakan keahliannya di bidang sastra untuk mengetahui dan mengungkapkan keindahan bahasa al-Qur’an. Hasil kajiannya itu kemudian diterbitkan dalam dua bukunya al-Tashwîr al-Fannî fi al-Qur’ân dan Masyâhid al-Qiyâmah fi al-Qur’ân .

Dengan terbitnya dua buku ini, dapat dikatakan Sayyid Quthb mulai melakukan pergeseran pemikiran dari yang semula pemikir bebas –hasil pengaruh al-‘Aqqâd- menjadi pemikir yang cenderung pada bidang keagamaan. Ini merupakan langkah awalnya dalam menggeluti al-Qur’an dan Islam secara intensif. Disebut sebagai langkah awal karena dalam dua buku itu Quthb belum menjadi seorang pemikir yang menganalisis kondisi sosial masyarakat sebagaimana pada tahun-tahun berikutnya; Quthb baru menjadi, meminjam istilah

al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir, h. 29; Afif, Dari Teologi, h. 53

Charles Tripp, seorang moralis yang menekankan kebersihan moral individu pada

saat terjadi kemerosotan moral di kalangan masyarakat. 12 Usai menulis buku yang bernuansa seni dan moral individual, pada tahun

1949 Sayyid Quthb menulis al-‘Adâlah al-Ijtimâ’iyyah fi al-Islâm. Sesuai dengan judulnya, dalam buku ini Quthb mulai memberikan perhatian pada kondisi masyarakat dengan menyerukan perbaikan moral masyarakat dan melontarkan kritikan-kritikan terhadap pihak-pihak yang melakukan kerusakan sosial. Penulisan buku ini tak lepas dari dari suasana yang yang dia alami dan cermati. Dalam pandangannya, keadaan rakyat Mesir yang semakin menderita disebabkan oleh tidak adanya keadilan yang seharusnya dirasakan seluruh rakyat Mesir; keadilan yang tidak hanya dinikmati oleh sebagian orang, dalam hal ini para pejabat pemerintah dan lingkungan istana.

Keadaan ini diperparah dengan campur tangan Inggris atas Mesir dan keengganan pihak pemerintah untuk mengadopsi ajaran Islam. Untuk itu, menurutnya, keadilan yang menjadi cita-cita umat manusia tidak akan mungkn terwujud kecuali dengan Islam. Penegasan untuk kembali kepada ajaran Islam bersamaan dengan celaannya atas ajaran dan sistem lain di luar Islam. Sistem di luar Islam, terlebih sistem yang berasal dari Barat, tidak dapat memberikan solusi

١٢ Charles Tripp, “Sayyid Quthb: Visi Politik”, dalam Ali Rahnema (ed), Para Perintis Zaman Baru Islam , terj. Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 1995), h. 157. Dua buku tersebut,

walaupun mengkaji al-Qur’an dari sis sastra, namun di dalamnya tidak terlepas dari pesan-pesan al-Qur’an. Lihat dalam al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir, h. 51. Ini merupakan gaya Sayyid dalam menuangkan ide-idenya yang tidak hanya menggunakan pikirannya tetapi juga perasaannya. Gaya inilah, menurut Afif Muhammad, yang membuat orang susah untuk menangkap apa yang dimaksud oleh Sayyid Quthb dalam tulisan-tulisannya. Dua buku itu sendiri sulit untuk diidentifikasi secara pasti; apakah termasuk buku sastra atau pemikiran karena memang mencakup dua hal tersebut. Lihat dalam Afif Muhammad, Dari Teologi, h. 64 walaupun mengkaji al-Qur’an dari sis sastra, namun di dalamnya tidak terlepas dari pesan-pesan al-Qur’an. Lihat dalam al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsir, h. 51. Ini merupakan gaya Sayyid dalam menuangkan ide-idenya yang tidak hanya menggunakan pikirannya tetapi juga perasaannya. Gaya inilah, menurut Afif Muhammad, yang membuat orang susah untuk menangkap apa yang dimaksud oleh Sayyid Quthb dalam tulisan-tulisannya. Dua buku itu sendiri sulit untuk diidentifikasi secara pasti; apakah termasuk buku sastra atau pemikiran karena memang mencakup dua hal tersebut. Lihat dalam Afif Muhammad, Dari Teologi, h. 64