Tipe & Size (, 2006K)

JULY - AGUSTUS 2011

tataruang
buletin

BKPRN | BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG NASIONAL

Kota Blitar

Mewujudkan Harmoni Kota

Mewujudkan Kota Pesisir Indonesia

Pembangunan
Berkelanjutan:

Penerapan Masa Lalu, Saat ini
dan Ke Masa Datang

yang Berkelanjutan Melalui Penyediaan
Infrastrukur Berbasis Penataan Ruang


From Integrated Coastal Management
to Sustainable Coastal Planning

Kebijakan Transportasi Berkelanjutan
Suatu Penerapan Metodologi
yang Komprehensif

Most Liveable City Index

Pendekatan Baru dalam Mengukur
Tingkat Kenyamanan Kota

Karlskrona:

Konsisten, Kunci Keberhasilan Mewujudkan
Pembangunan Berkelanjutan

Percepatan Penyelesaian RTRW
Tantangan Pembangunan


Perumahan dan Permukiman Perkotaan

Agenda Kerja BKPRN

P RO F I L

BARCODE

BKPRN

BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG NASIONAL

Prof. DR. Dorodjatun
Kuncoro

buletin tata ruang

sekapur
sirih


PELINDUNG
Ir. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc.
Dr. Eko Luky Wuryanto
Dr. Ir. Max Pohan
Drs. Imam Hendargo Abu Ismoyo, MA
Drs. Syamsul Arif Rivai, M.Si, MM.

PENANGGUNG JAWAB
Ir. Iman Soedradjat, MPM.
Ir. Deddy Koespramoedyo, M.Sc.
Ir. Heru Waluyo, M.Com
Drs. Sojan Bakar, M.Sc.
DR. Ir. Abdul Kamarzuki, MPM
Ir. Basuki Karyaatmadja

PENASEHAT REDAKSI
DR. Ir. Ruchyat Deni Dj. M.Eng
Ir. Iwan Taruna Isa
M. Eko Rudianto, M.Bus (IT)


PEMIMPIN REDAKSI
Aria Indra Purnama, ST, MUM.

WAKIL PEMIMPIN REDAKSI
Agus Sutanto, ST, M.Sc

REDAKTUR PELAKSANA
Ir. Melva Eryani Marpaung, MUM.

SEKRETARIS REDAKSI
Indira P. Warpani, ST., MT., MSc

STAf REDAKSI
Ir. Dwi Hariawan, MA
Ir. Gunawan, MA
Ir. Nana Apriyana, MT
Wahyu Suharto, SE, MPA
Ir. Dodi S Riyadi, MT
Ir. Indra Sukaryono

Endra Saleh ATM, ST, MSc
Hetty Debbie R, ST.
Tessie Krisnaningtyas, SP
Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc
Ayu A. Asih, S.Si
M. Refqi, ST
Marissa Putri Barrynanda, ST
Heri Khadarusno, ST

KOORDINASI PRODUKSI
Angger Hassanah, SH

STAf PRODUKSI
Alwirdan BE

KOORDINASI SIRKULASI
Supriyono S.Sos

STAf SIRKULASI
Dhyan Purwaty, S.Kom


Penerbit: Sekretariat Tim Pelaksana BKPRN
Alamat Redaksi: Gedung Penataan Ruang dan SDA,
Jl. Patimura 20, Kebayoran Baru, Jakarta 12110
Telp. (021) 7226577, fax. (021) 7226577
Website BKPRN:http://www.bkprn.org
Email:timpelaksanabkprn@yahoo.com
dan redaksi _butaru@pu.go.id

‘Assallamu’alaikum warrahmatullah wabarakatuh
Puji sukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa kita panjatkan atas kesempatan yang selalu
diberikan kepada kita, sehingga Bulletin Tata Ruang Edisi Juli-Agustus 2011 ini masih bisa
hadir ditengah-tengah kita semua.
Isu Lingkungan saat ini dirasa semakin krusial dan menjadi concern banyak pihak,
sehingga sosialisasi pemahaman pembangunan berkelanjutan harus terus dilaksanakan
dan dikembangkan. Pembangunan Berkelanjutan merupakan suatu tantangan yang
sangat besar bagi seluruh negara di dunia, terlebih lagi bagi negara berkembang seperti
Indonesia. Pada dasarnya pembangunan berkelanjutan berangkat dari satu tujuan yang
mulia yaitu mencapai kualitas hidup yang lebih baik bagi semua, untuk saat ini, esok
dan generasi mendatang. Kondisi ini dapat tercipta apabila kita dapat meningkatkan

kualitas kehidupan ekonomi, sosial dan lingkungan secara berimbang. Dengan
mempertimbangkan ketiga aspek tersebut, pembangunan akan dirasakan manfaatnya
oleh seluruh masyarakat secara inklusif, tentunya diikuti dengan penggunaan sumberdaya
alam yang lebih eisien.
Pada pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) II 2010
- 2014, sudah tidak dapat dipungkiri bahwa dalam perkembangannya akan dihadapkan
dengan tantangan terjadinya degradasi kualitas lingkungan yang saat inipun telah
mulai dirasakan dampaknya oleh masyarakat. Oleh karenanya, kebijakan pembangunan
kedepan harus mampu mendorong peningkatan kualitas lingkungan, baik dalam
proses perencanaan, pelaksanaan, pengoperasian maupun dalam proses pemeliharaan.
Infrastruktur pekerjaan umum harus memenuhi karakteristik keseimbangan dan
kesetaraan, berpandangan jangka panjang dan sistemik. Kebijakan pembangunan tersebut
diantaranya adalah menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan; mempertahankan
dan mendorong peningkatan presentase Ruang Terbuka Hijau (RTH) terhadap kawasan
budidaya lainnya; mempertahankan kwasan konservasi terutama di kawasan perkotaan;
mewujudkan ecocity; serta meningkatkan pengawasan dan pengendalian lingkungan
dalam setiap aspek penyelenggaraan konstruksi.
Rencana Tata Ruang Wilayah dapat menjadi fungsi koordinasi dan pengendalian dengan
munculnya pemahaman bersama mengenai orientasi dan paradigma pembangunan
perkotaan masa depan, dan dalam upaya mengurangi fragmentasi sektoral dan

fungsional. Penataan Ruang ditujukan untuk menyerasikan peraturan penataan
ruang dengan peraturan lain yang terkait, harmonisasi pembangunan antar wilayah,
mengendalikan pemanfaatan ruang yang efektif, meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam pengendalian pemanfaatan ruang dan mewujudkan sistem kelembagaan penataan
ruang.
Lebih lanjut, penataan ruang memiliki peranan penting dalam penyelenggaraan
pembangunan demi terwujudnya pembangunan berkelanjutan. Harapan kami, penataan
ruang bisa memberikan kontribusi yang nyata dalam pengembangan wilayah dan kota
yang berkelanjutan, sehingga keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia
dapat tercapai.
Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum
Selaku Sekretaris Tim Pelaksana BKPRN

Ir. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc

2

buletin tata ruang | July - Agustus 2011

dari

redaksi

daftar isi

PROFIL TOKOH

Salam hangat bagi pembaca setia

PROFIL WILAYAH

Hingga saat ini Buletin Tata Ruang 2011 telah sampai pada edisi ke-empat. Dalam Topik
Utama edisi kali ini, redaksi mengangkat tema Pembangunan Berkelanjutan yang fokus
kepada pembangunan kota dan infrastruktur kota-kota pesisir.

Kota Blitar

Belajar dari pengalaman negara-negara lain, sudah saatnya Indonesia untuk serius
melaksanakan pembangunan berkelanjutan. Meskipun kita sadari bahwa untuk
mewujudkannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi sebagai negara
berkembang, yang masih dihadapkan pada isu-isu seperti kemiskinan, ledakan populasi

dan pengangguran. Isu-isu tersebut seringkali justru menjadi masalah utama kerusakan
lingkungan itu sendiri, dan harus diakui pula masih menjadi maslaah yang harus dihadapi
negara kita. Meskipun negara kita masih harus menyelesaikan agenda untuk menuntaskan
angka kemiskinan dan tingkat pengangguran, kita tetap harus bersama-sama memulai
dan terus belajar untuk mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan.

TOPIK UTAMA

Trade of antara mengedepankan kepentingan jangka pendek (kepentingan generasi
sekarang) dengan kepentingan jangka panjang (kepentingan generasi mendatang) harus
segera diambil keputusannya. Sudah saatnya kita hidup bukan hanya untuk kepentingan
jangka pendek, namun harus memperhatikan kepentingan generasi mendatang. Oleh
karena itu harus ada perubahan paradigma dalam pengelolaan ekonomi agar supaya
keputusan apapun yang diambil akan menggunakan perspektif jangka panjang,
mengedepankan pembangunan yang berkelanjutan yaitu dengan mengharmonikan
infrastruktur dan dan bangunan dalam jaringan dan lingkup yang lebih luas, terkait
aspek-aspek iklim, sumber daya alam/lingkungan, ekonomi serta sosial dan budaya.
Disamping mengangkat Proil Wilayah kota Blitar dengan judul Mewujudkan Harmoni
Kota, Buletin edisi ini juga mengangkat tulisan seorang pemerhati masalah Perubahan
Iklim dan Pembangunan Wilayah Pesisir dari Australia. Sedangkan proil Tokoh kali

ini menampilkan Prof. Dr. Dorodjatun Kuncoro yang akan mengungkapkan berbagai
pemahaman dan perspekttif yang lebih luas tentang upaya perwujudan pembangunan
berkelanjutan di Indonesia. Juga ditampilkan Kota Warisan Dunia Karlskrona di Swedia
sebagai salah satu contoh kota yang konsisten dalam mewujudkan pembangunan yang
berkelanjutan. Pada rubrik wacana kali ini, akan dilontarkan sebuah pandangan tentang
tantangan pembangunan permukiman dan perumahan di perkotaan.
Tulisan dalam Butaru ini ditulis oleh para penulis yang memiliki pengalaman yang
panjang dibidangnya dengan tema-tema yang menarik, sehingga diharapkan pembaca
dapat memperkaya wawasan.
Selamat membaca

04

Prof. DR. Dorodjatun Kuncoro

10

Mewujudkan Harmoni Kota
Oleh: Redaksi Butaru

Mewujudkan Kota Pesisir Indonesia

14

yang Berkelanjutan Melalui Penyediaan
Infrastruktur Berbasis Penataan Ruang
Oleh: Ir. Joessair Lubis

TOPIK UTAMA
From Integrated Coastal Management
Oleh: Barbara Jean Norman, Phd

TOPIK UTAMA
Kebijakan Transportasi Berkelanjutan
Suatu Penerapan Metodologi
yang Komprehensif

24

Oleh: R. Aria Indra P.

TOPIK LAIN
Most Livable City Index

28

Pendekatan Baru dalam Mengukur
Tingkat Kenyamanan Kota
Oleh: Elkana Catur Hardiansah & Dhani M.M

TOPIK LAIN
Karlskrona:
Konsisten, kunci keberhasilan mewujudkan
Pembangunan Berkelanjutan

32

Oleh: Redaksi Butaru

TOPIK LAIN

35

Percepatan Penyelesaian RTRW
Oleh: Redaksi Butaru

WACANA
Tantangan Pembangunan
Perumahan dam Permukiman Perkotaan

Redaksi

19

to Sustainable Coastal Planning

39

Oleh: Redaksi Butaru

AGENDA

43

Agenda Kerja BKPRN
Juli - Agustus 2011

July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

3

proil tokoh

Prof. DR.
Dorodjatun
Kuncoro

Pembangunan Berkelanjutan:
Penerapan Masa Lalu, Saat ini
dan Ke Masa Datang
Kata sustainability (keberlanjutan) saat ini banyak dikaitkan dengan masalah
lingkungan dan perencanaan wilayah dan kota. Akan tetapi Prof. DR. Dorodjatun,
dengan latar belakang ekonomi dan keterlibatannya dalam banyak lembaga
nasional, memiliki perspektif yang lebih luas dari itu.
Prof. DR. Dorodjatun yang saat ini aktif menjadi penasehat lembaga ekonomi dan
bank swasta nasional serta memberi kuliah di beberapa universitas seperti UI,
pernah menjabat Menko Perekonomian pada Kabinet Gotong-Royong RI yang juga
menjadi Ketua BKPRN (pada masa itu bernama BKTRN).
Profesor yang mendapatkan gelar doktor di bidang Ekonomi Politik dari Universitas
of California, Berkley, pada tahun 1980 ini lahir di Rangkasbitung pada 25 November
1939. Beliau adalah salah satu lulusan terbaik fEUI tahun 1964 dengan spesialisasi
Moneter dan Keuangan Negara. Kemudian gelar MA-nya di bidang financial
Administration ia raih pada tahun 1969 di University of California di Berkeley.

Sustainability
merupakan suatu hal
yang maknanya terus
menerus diperluas
dan pada awalnya
banyak dikaitkan
dengan mengendalikan
pertumbuhan penduduk
yaitu melalui program
Keluarga Berencana.

Mantan Dekan fEUI periode 1994-1997 ini sempat menjadi Dutabesar Luar Biasa
dan Berkuasa Penuh RI untuk Amerika Serikat pada periode 1998 – 2001 pada masa
kepresidenan Presiden Soeharto, Presiden B.J. Habibie dan Presiden Abdurrachman
Wahid.
Lalu bagaimana pandangan beliau tentang pengertian sustainability? Dalam
wawancara berikut, ia menguraikan permasalahan rencana tata ruang yang terkait
erat dengan kapasitas organisasi, dan perlunya imajinasi dalam mewujudkan
pembangunan wilayah dan perkotaan yag berkelanjutan di Indonesia.
Menurut Bapak, seperti apakah pengertian sustainable dalam konteks
wilayah/regional ?
Sustainability merupakan suatu hal yang maknanya terus menerus diperluas. Pada
awalnya, sustainability itu banyak dikaitkan dengan mengendalikan pertumbuhan
penduduk, yaitu melalui program Keluarga Berencana (KB), yang diinisiasi oleh
Presiden Soeharto. Program KB ini hasilnya cukup spektakuler. Kita berhasil
mengerem laju pertumbuhan penduduk dari rata-rata 2,5% per tahun pada tahun
1950’an, lalu menjadi sekitar 1,3% per tahun pada saat ini. Ternyata untuk mencapai
hal tersebut kita memerlukan waktu hampir satu generasi.
Pada waktu itu mulai timbul kesadaran bahwa dengan mengendalikan jumlah
penduduk, maka sumber-sumber terbatas yang kita miliki bisa dipergunakan
untuk melaksanakan hal-hal yang lain di luar keperluan untuk mengurus
penduduk, seperti yang secara historis kita lihat di negara-negara yang telah lebih
dahulu berkembang seperti di Inggris dan di Eropa. Laju pertumbuhan penduduk
di kawasan kelompok negara berkembang secara rata-rata lebih cepat dari
negara di kawasan Eropa Barat pada saat mereka melakukan gerakan awal untuk
pembangunan ekonomi yang berlandaskan industrialisasi.
Pada waktu itu, PBB merasa, hal pertama yang harus dilakukan adalah
pengendalian penduduk. Selanjutnya adalah pangan, maka hasilnya adalah green
revolution. Jadi sustainability juga harus dilihat dari kemampuan suatu negara

4

buletin tata ruang | July - Agustus 2011

Persoalan awal yang
memicu perhatian
kita adalah
kekhawatiran tentang
ketersediaan air
untuk meningkatkan produksi pangan
yang mampu mengimbangi kecepatan
laju pertumbuhan penduduk. Baru
sesudah dua hal itu, kemudian kami
melihat – walaupun pertumbuhan
penduduk sudah direm – tetap saja
laju pertumbuhan akan menimbulkan
persoalan lain misalnya environmental
atau lingkungan.
Persoalan lain seperti apa kira-kira, pak?

Begini, awalnya yang menarik perhatian
kita adalah kekhawatiran tentang
ketersediaan air. Karena seperti yang
kita ketahui, peradaban umat manusia
itu bergantung pada air. Sementara
peradaban modern itu berdasarkan
listrik. Repotnya, ternyata listrik perlu
energi dan energi perlu air, yaitu
PLTA. Lama-lama kita mulai sadar
kalau lingkungan tidak diurus maka
dampaknya akan langsung tampak.
Waktu itu kita belum tahu tentang
global climate change. Hal yang kami
khawatirkan ialah urbanisasi makin
cepat, yang bisa mengakibatkan krisis
di kota-kota menengah, karena jasa
penyediaan air yang disiapkan 50
tahun yang lalu itu ternyata didasarkan
pada perhitungan penduduk yang
sangat konservatif. Walau sudah direm,
pertumbuhan penduduk tetap relatif
cepat dibandingkan yang terjadi di
Eropa dan Amerika. Kota-kota negara
berkembang umumnya terus-menerus
tertekan oleh masalah urbanisasi, yang
mengakibatkan timbulnya masalah air.
Dan akhirnya, sesudah dipelajari, kita
terpaksa belajar tata ruang, khan?
Karena air akan berjalan sampai ke
wilayah yang jauh sampai ke hulu
sungai. Kita baru menyadarinya saat
bicara soal kerusakan sungai dan
sebagainya, seperti managemen dari
delta. Kemudian perhatian kita semakin
terfokus kepada watershed area (daerah
resapan hujan).

Pada waktu itu, saya perhatikan,
masalah tata ruang ini mulai muncul
khususnya setelah terbukti selain
akibat urbanisasi, kita juga terpaksa
membuka hutan untuk bahan pangan.
Pangan bukan hanya karbohidrat,
tapi juga minyak goreng. Contohnya
kita harus membuka lahan pertanian
untuk kelapa sawit. Jadi kalau kita
perhatikan, masalah tata ruang walau
terakhir datangnya, tapi sangat terasa
dampaknya.
Kalau kita tidak mulai dengan
mengerem
laju
pertumbuhan
penduduk, coba bayangkan seperti
apa keadaan sekarang? Pada saat ini
mungkin kita sudah kehilangan puluh
juta orang Indonesia yang seharusnya
lahir
karena
keberhasilan
kita
mengerem pertumbuhan penduduk
tadi. Toh, pada akhirnya, penduduk

revolution dengan hasil ton-tonan
per hektar itu memang peningkatan
yang signiikan. Pencapaian Orde
Baru ada di dua hal itu. Yang pertama
adalah KB dan yang ke dua adalah
swasembada pangan. Tapi akhirnya
semua terkendala masalah air dan air
itu akhirnya menyangkut tata ruang.
Jadi kita lihat perkembangannya di
Jawa saja. Carrying capacity wilayah
Pulau Jawa ini semakin lama semakin
menurun, dan saya perhatikan makin
kritis. Terlihat antara lain dari hilangnya
(mungkin hampir) satu juta hektar
atau lebih di Pantura dan tanahtanah irigasi kelas satu yang sebagian
pembangunannya didanai dengan
pinjaman uang dari World Bank dan
ADB. Lahan-lahan itu sekarang dilanda
perluasan kota, kawasan industri, jalan
tol, dan sebagainya.

Sustainability juga harus dilihat dari kemampuan
suatu negara untuk betul-betul meningkatkan
produksi pangan yang mampu mengimbangi
kecepatan dari laju pertumbuhan penduduk
memerlukan pangan. Dan semakin
modern suatu negara, kebutuhannya
bukan hanya karbohidrat, tapi juga
protein. Artinya kita perlu air lagi.
Jadi peternakan itu sama seperti
perkebunan yang dibangun untuk
memenuhi kebutuhan, seperti kelapa
sawit untuk minyak goreng.
Karena semuanya memerlukan air,
maka akhirnya air muncul di tiga
bidang persoalan. Pertama adalah
untuk penduduk, yang di undangundang kita hal itu diutamakan. Yang
ke dua adalah untuk pertanian. Ke tiga,
untuk perkotaan dan perindustrian
di sektor modern. Terlihatlah jika hal
ini menyangkut tata ruang. Akibat
pembukaan lahan dan sebagainya,
watershed mengalami kerusakan,
begitu pula daerah-daerah resapan
hujan dari hilir sampai hulu. Inilah yang
mengancam keberlanjutan.
Kembali ke perkataan saya di awal,
kalau tidak disertai pengereman laju
pertumbuhan penduduk, peningkatan
produktivitas pertanian lewat green

Jadi kalau Anda perhatikan, masalah
carrying capacity di Jawa itu sudah
sangat akut karena di hulu hutan
ditebangi. Orang makin jauh bertanam
ke daerah atas. Jadi di sekitar Jawa
Barat bagian Selatan, kebon kubis
dan sebagainya telah merambah ke
atas gunung sehingga hutan pinus
yang dulu ada di sana pun habis. Jadi
akhirnya datanglah masalah tata ruang
ini. Tapi itu merupakan pertemuan dari
berbagai faktor yang saya bicarakan
tadi.
Permasalahan lahan kritis, apa
penyebab utamanya dan apa yang
seharusnya dilakukan?
Sebenarnya ada dua persoalan yang
saya lihat. Pertama adalah tata ruang
yang kita warisi dari zaman kolonial,
yang relatif masih tertata baik pada
waktu itu. Kenapa? Karena memang
jumlah penduduk dan pemanfaatan
dari lahan itu belum seakut seperti
yang kita hadapi di Jawa sekarang.
Pada saat itu keseimbangan antara
jumlah penduduk dan pemanfaatan

July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

5

proil tokoh

Pertumbuhan institusi itu tidak garis lurus,
tidak linier tapi merupakan sebuah huruf
‘S’ tadi. Ada lead time-nya, ada ketika
akselerasi dan ada perlambatannya.
lahan masih berjalan dengan baik,
dibandingkan
dengan
sekarang
dimana jumlah penduduk sudah
demikian besar dan pemanfaatan lahan
yang sangat beragam dengan berbagai
kepentingannya.
Jadi kalau saya perhatikan itu wajar.
Yang harus kita sayangkan adalah
tanpa kita sadari kerusakan tata ruang
di Jawa itu menyangkut lahan-lahan
yang paling subur di Indonesia, apabila
dibandingkan dengan di Sumatera,
Kalimantan dan Sulawesi, yang tingkat
kesuburannya itu hanya sepersekian
saja dari Jawa. Hal lain yang juga
kurang diperhatikan ialah petani Jawa
yang biasa bekerja di lahan pertanian,
yang sekarang ini makin menghilang.
Para petani itu merupakan tenaga kerja
yang paling paham di dalam segala
hal yang terkait dengan pertanian.
Mereka bisa bekerja di perkebunan,
perikanan darat, peternakan sampai
tanaman pekarangan, gabah bahkan
sampai membuat anyaman-anyaman.
Sekarang kita sudah mulai kehilangan
generasi petani yang serba bisa ini.
Saya lihat hingga sekarang ini, usaha
membuka lahan-lahan baru di luar
Jawa tidak serius pelaksanaannya,
dan memang tidak mudah. Karena
bagaimana kita bisa membuka lahan,
meskipun tata ruangnya mengijinkan,
jika tidak didukung Infrastruktur jalan.
Tanpa infrastruktur jalan kita tidak bisa
membuat infrastruktur lainnya seperti
irigasi.
Yang menyebabkan pembangunan
irigasi di Jawa relatif cepat antara
lain adalah karena secara historis
satu-satunya kerajaan di Indonesia
yang membangun jalan raya adalah
Mataram. Sedangkan yang lainnya
merupakan kerajaan pantai. Buktinya
Sultan Agung bisa menyerbu Batavia
dua kali. Tidak mungkin beliau
membawa ratusan ribu tentara dari

6

Jawa Tengah maupun Jogja dan daerah
di antaranya tanpa keberadaan jalan.
Kita juga tahu jika sawah-sawah di
sepanjang koridor dari Jogja sampai
ke Batavia, yang melewati Karawang,
dibuka oleh Sultan Agung. Dapat
dipastikan tanpa jalan tak mungkin ada
irigasi, karena untuk membuka lahan
kita harus memakai alat besar. Untuk
mudahnya,
kita bisa menghitung
dari “berapa panjang jalan raya per
seratus kilometer persegi”. Kalau di
Jawa mungkin sudah sekitar 20-30
kilometer per seratus kilometer persegi,
termasuk selatan Jawa. Tetapi kalau
di Papua atau Kalimantan mungkin
cuma sekitar 10 kilometer per seratus
kilometer persegi saja sudah bagus.
Sehingga dapat dimengerti bagaimana
sulitnya membuka lahan pertanian di
wilayah itu. Di luar Jawa, diperlukan
pembangunan irigasi yang lebih maju
daripada di Jawa yang relatif subur
karena tanahnya tanah vulkanik.
Jadi seyogyanya tata ruang itu tidak
hanya melihat data geograi saja, tapi
juga harus melihat geomorfologi atau
geoisikanya. Makanya tiap kali melihat
laporan pembukaan sistem irigasi
zaman Belanda, selain mempelajari
water level, juga ada penelitian soal
mekanik,
geomorfologi
maupun
geoisika. Saya mengetahui hal ini
karena ayah saya pernah menjadi
Kepala PU di Banten dan saya mengikuti
ayah pada ada saat membuka sawahsawah di Banten Selatan.
Menurut Bapak, adakah hal-hal
penting yang perlu diperhatikan
untuk menjaga keberlanjutan?
Kalau belajar ilmu ekonomi, kita
akan memahami bahwa setiap
kali kita mencoba untuk mengatur
hal yang rumit seperti tata ruang,
kita akan berhubungan dengan
tiga dimensi persoalan, yaitu :

buletin tata ruang | July - Agustus 2011

Pertama, dana yang berhubungan
dengan inancial resources; Ke
dua,
kemampuan
mengorganisir
(organization resources). Apakah RTRW
kita mempunyai kemampuan untuk
mengatur? Untuk dapat memiliki
kemampuan itu diperlukan institution
building. Sedangkan sebagaimana
kita ketahui, proses pembangunan
kelembagaan itu tidak mudah. Lihat
saja dari mereka yang ahli dalam irigasi.
Berapa dasawarsa kita perlukan untuk
membangun sistem irigasi dari primer
sampai tersier di Jawa? Diperlukan
waktu yang sangat lama. Kalau kita
lihat dari umpakan-umpakan sawah,
satu umpakan, katakanlah, 10 tahun.
Sehingga saat kita menghadapi
umpakan sawah sebanyak 30, kita bisa
membayangkan berapa lama.
Jadi, ini semua tersangkut pada
pembangunan institusi tadi itu. Maka
organisasi itu sangat penting. Ke
tiga, political resources. Apa kita bisa
menghimbau rakyat? Kalau bisa berarti
Anda tidak perlu insentif. Apa pada
zaman sekarang Anda bisa melakukan
non-price insentif? Saya rasa agak sulit.
Lebih konkritnya pak?
Jadi sebenarnya, ketiga unsur ini adalah
tiga dimensi dan setiap upaya untuk
mengatur tata ruang memerlukan waktu
yang lama. Dalam ilmu ekonomi kita
tahu kalau segalanya mengikuti rumus
bunga kumulatif. Pertumbuhannya
merupakan suatu garis seperti huruf ‘S’.
Tidak ada yang melonjak-lonjak lewat
garis lurus. Di dalam ilmu ekonomi
tidak ada garis linier. Semua itu dimulai
dengan lambat dulu baru kemudian
ada semacam akselerasi. Apabila sudah
cocok dari ketiga resources itu, maka
akhirnya pasti akan melambat kembali.
Perlambatan itu memang bisa terjadi
karena organisasinya sudah sampai
ke batas kemampuan atau memang
lahan sudah tidak ada. Sehingga harus
pindah dari yang boros penggunaan
lahan ke kegiatan yang semakin intensif
penggunaan lahannya.
Dulu, pada 1800, penduduk Jawa
masih jarang, sehingga dalam keadaan

semacam itu kita bisa meramalkan
kenaikan produksi pangan hanya
sekadar dengan menambah areal.
Sekarang hampir tidak mungkin karena
tanah harus digunakan sepanjang
tahun. Akan tetapi air yang menjadi
persoalan.
Jadi pertumbuhan institusi itu tidak
garis lurus, tidak linier, tapi merupakan
sebuah huruf ‘S’ tadi. Ada lead timenya, ada ketika akselerasi dan ada
perlambatannya. Saya khawatir tata
ruang kalau tidak dapat diselesaikan
dalam lima tahun, akhirnya tidak bisa
sama sekali. Apalagi daerah-daerah
yang dulunya hanya kecamatan tapi
sekarang menjadi kabupaten karena
pemekaran. Kemampuan organisasinya,
khan, tidak ada.

di nagari itu kemudian mati. Karena
mereka kemudian merasa, buat apa?
Menggantungkan diri saja ke APBN
dari pusat. Jadi kemampuan organisasi
itu bisa berubah-ubah. Kita inginnya
bertambah kuat. Tapi di tengah
jalan karena perubahan-perubahan
sistem pemerintahan, malah terjadi
kemerosotan bukan peningkatan.
Kelemahannya sebenarnya ada di
organization capacity.
Bagaimana pendapat bapak, apakah
tata ruang bisa menjadi solusi?
Rencana Tata Ruang yang ada selama
ini menurut saya terlalu normatif, lebih
seperti dokumen saja. Kalau kita lihat
dalam kegiatan nyata di lapangan,
susah sekali jadi acuan. Dalam hal ini

Di Indonesia tanah itu komoditi bukan alat
produksi, harusnya tanah itu dipaksa menjadi
alat produksi. Kita lihat tanah itu banyak dipakai
sebagai bahan spekulasi.
Meskipun diberikan dana dari Jakarta
lewat DAU/DAK atau dana otonomi
khusus seperti Papua dan Aceh, tetap
kemampuan organisasinya tidak ada.
Apalagi seperti Papua. Kecamatan saja
belum ‘jalan’, karena mereka masih
merupakan suku-suku sehingga tidak
mudah. Ada kasus yang bagus sekali
yang namanya nagari di Minangkabau,
Sumatera Barat. Sayangnya apa yang
terjadi pada sistem sentralisasi, dengan
segala eksesnya waktu Orde Baru,
beserta prakarsa yang sering muncul

Jembatan Penghung Gedung di Jepang

kita harus belajar. Dulu, waktu zaman
transisi dari Bung Karno ke Pak Harto
ada program KB. Pembangunan
infrastruktur sosialiasi KB diperlukan
waktu lebih dari 10 tahun. Kemudian
program Swasembada Beras. Itu juga
memerlukan waktu yang lama. Mulai
dari melakukan percontohan, lalu
petani-petani yang mulai mengerti
mulai
dipekerjakan,
selanjutnya
dilakukan program pertanian (BIMAS,
INMAS). Itu yang saya maksud.
Nampaknya kemampuan kita untuk
mengorganisasi – yang sebenarnya
pernah sangat bagus pada program
KB maupun, BIMAS, INMAS – sekarang
semakin minim. Karena masyarakat
tidak lagi bisa dihimbau, jadi tidak
berhasil dengan non-price insentive.
Hampir semua membicarakan insentif
dalam bentuk inancial resources.
Mungkin karena
zamannya sudah
berubah.
Jadi menurut Bapak, itu hanya
formalitas saja?
Ya, makanya sekarang banyak yang lari
ke public private partnership misalnya.

Karena yang punya uang dan kapasitas
berorganisasi itu kebanyakan swasta.
Jadi jangan kaget kalau ada rencana
mau membuka sekitar puluhan ribu
hektar sawah di Merauke misalnya. Atau
tentang pengurusan air yang tidak lagi
oleh PDAM sendiri tapi juga ditemani
oleh swasta. Bahkan sekarang sudah
mulai banyak PDAM yang dilelangkan
dengan mengikutsertakan swasta
sebagai investornya. Jadi ke depannya,
tata ruang akan diurus oleh mereka
yang memiliki kapasitas organisasi
yang tidak lagi non-price.
Artinya, pak?
Terpaksa Anda berbicara mengenai tarif,
atau return on investment. Banyak yang
protes karena yang akan terjadi adalah
komersialisasi air. Jadi mengalirkan air
ke sawah atau ke kebun sekarang ada
harganya. Air bukan lagi sumber daya
alam yang bebas seperti dulu. Apalagi
dengan harga beras yang terus naik.
Dan sebagai catatan, hari-hari ini kita
melihat bahwa untuk pertama kalinya
dalam sejarah Indonesia, harga beras
lebih mahal dari harga bensin premium.
Jadi bagaimana tidak terjadi kompetisi
di dalam penggunaan lahan? Maka
semua menuntut karena lahan hanya
bisa dipakai kalau air dapat dituntut
sesuai dengan kebutuhannya. Dan hal
itu menjadi persoalan karena air yang
dipakai untuk taman bunga (cut lower/
buah) misalnya, tidak sama dengan
padi dan kebutuhan lainnya.
Menurut Bapak, adakah solusi
alternatif untuk hal-hal tersebut ?
Contohnya sudah banyak. Yang saya
perhatikan adalah sistem perpajakan
tanah, misalnya untuk orang yang
memiliki lahan tetapi tidak tinggal di
situ (absentee level). Di Taiwan atau
Korea, pajak tersebut lebih tinggi
dibandingkan dengan pajak yang
dikenakan pada petani yang sungguhsungguh tinggal di daerah itu. Sehingga
tanahnya dapat dibeli murah oleh
pemerintah untuk diberikan kepada
petani yang betul-betul membutuhkan.
Pembedaan itu di Indonesia belum
dilakukan.

July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

7

proil tokoh
Uang pengganti untuk pemilik lahan
kosong tidak seluruhnya berbentuk
cash, sebagian juga berbentuk deposito
perbankan, kadang-kadang berupa
surat obligasi negara. Ketika orang
memerlukan uangnya, misalkan untuk
membuat pabrik, pemerintah kemudian
memberikan matching fund sesuai
kebutuhannya. Jadi dia dipaksa menjadi
industrialis. Karena itulah industri kecil
banyak muncul di Korea dan Taiwan,
sehingga pertanian dan industri (industri
kecil) sama-sama maju.

Di Indonesia, tanah adalah komoditas
bukan alat produksi. Seharusnya tanah
dipaksa menjadi alat produksi. Kita lihat
tanah banyak dipakai sebagai bahan
spekulasi. Mungkin puluhan ribu hektar
dibiarkan saja menunggu harganya
naik, tapi selama itu tidak dipakai.
Jadi sebetulnya pajak dan subsidi di
sektor pertanian, kalau dilakukan secara
baik lewat perhitungan yang baik,
dengan sendirinya akan menimbulkan
tata ruang yang teratur. Kenapa? Karena
dikelola oleh mereka yang benarbenar mempunyai kepentingan untuk
mengelola tanah itu secara produktif
dan itu adalah petani. Sehingga terjadi
komersialisasi
untuk
keuntungan
petani, bukan komersialisasi yang
dikuasai
sistem
distribusi
oleh
pedagang monopoli.
Soal tata ruang bisa didekati dari
berbagai cara. Salah satunya dengan
memberikan insentif bagi mereka
yang
bersungguh-sungguh
mau
menggunakan lahan itu untuk kegiatan
produktif dan bukan untuk spekulasi
lewat sistem perpajakan dan subsidi.
Hal itu mulai terjadi di daerah yang
dekat dari kota.
Seperti kita lihat, tanah di Jakarta
sudah banyak yang beralih fungsi,
padahal banyak sekali yang sebetulnya
masih bisa digunakan untuk pertanian
karena sistem irigasinya masih baik.
Tanah tersebut dibiarkan begitu saja
karena petaninya sudah tidak tinggal
di situ lagi. Petani tidak tahan dengan
peningkatan harga kebutuhan pangan
akibat ekspansi kota ke tanah pertanian.

8

Kalau kita lihat di Jepang, mengubah
penggunaan lahan itu sangat susah.
Hal ini karena mereka betul-betul
melihat kemandirian produksi padi
sebagai sesuatu yang bersifat strategis
di dalam perekonomian Jepang.
Karena itu Jepang sering dijadikan isu
di fAO dan forum internasional karena
mereka menutup pasar pangannya,
terutama beras sehingga harga beras
mereka jauh lebih tinggi dari harga
internasional. Karena pertanian bukan
menjadi kebudayaan lagi, jadi Jepang
larinya ke situ. Hal ini dibahas di dalam
perundingan WTO. Di Jepang, tanah itu
dicadangkan. Tanah yang dipakai untuk
perkotaan dan industri hanya sekitar
20%. Hal ini juga dilakukan di Singapura.
Sepertiga dari Pulau Singapura adalah
watershed, dan mereka membangun
deposit air di dalam tanah dari beton
(cistern). Di Jakarta kita punya di
Tanjung Priok yang dibuat oleh Belanda.

Sistem perpajakan
dan subsidi harusnya
diupayakan juga sebagai
alat yang memberikan
insentif bagi mereka yang
bersungguh-sungguh
mau menggunakan lahan
kegiatan produktif
Menurut Bapak, bagaimana keadaan
kota-kota di Indonesia sekarang ini?
Saya tidak tahu berapa lama
sustainability kota-kota di Indonesia
tanpa air. Sekarang mulai terlihat,
orang-orang yang di hulu semakin
sadar bahwa daerah perkotaan
mempunyai kebutuhan air yang
semakin meningkat, dan air yang
mereka kirim itu dilihat dari patokan
harga sebotol air mineral. Ini, khan
terlalu murah. Saya mengantisipasi
bahwa kota-kota atau kabupatenkabupaten yang di hulu itu akan
memasang tarif air yang dikirim ke
Jakarta untuk ledeng sesuai dengan
harga komersial yang tadi atas dasar
kelangkaan. Bisa kita bayangkan berapa
harganya nanti di Jakarta? Karena
pendapatan mereka dari situ. Jadi kota-

buletin tata ruang | July - Agustus 2011

Pertanian Modern di Taiwan

kota atau kabupaten-kabupaten yang
di hulu, suatu hari akan betul-betul
memanfaatkan ketergantungan kota
terhadap air, dengan mempenalti kota
dengan harga komersial.
Jadi untuk ke depan dengan otonomi
daerah dan pemekaran kabupaten
ini, daerah-daerah yang berada di
hulu sumber air itu tidak akan lagi
melepas air semurah seperti sekarang
ini dan akan menuju kepada harga
kelangkaannya. Maka seharusnya kotakota sadar. Seperti kota-kota di Amerika
mempunyai reservoir penampungan
air hujan sebagai tempat persediaan
air. Jakarta harusnya bisa mempunyai
tempat penampungan-penampungan
air hujan (embung) seperti itu. Di kota
kita, yang terjadi justru sebaliknya. Situsitu yang harusnya diperluas malah
ditimbun. Jadi sustainability kota
sangat tergantung kepada manajemen
tata ruang. Antara lain karena tanpa
air tidak ada peradaban manusia yang
namanya kota. Itu kenapa banyak kota
yang dibangun di pinggir sungai. Jadi
kalau saya lihat ke depan, komersialisasi
itu sudah tidak bisa dihentikan. Karena
semakin air susah dicari, akan terjadi
komersialisasi di situ.
Salah satu contoh adalah Kepulauan
Riau dengan teluk-teluk kecil (cove) di
setiap pulaunya. Di teluk itu bisa dibuat
DAM, kemudian air lautnya dikeluarkan,
tapi bukit yang di belakangnya tidak
boleh ditebang. Jadi kalau hujan, air
tawar akan masuk ke dalam teluk kecil
itu, dan lama-kelamaan akan menjadi
estuary reservoir. Di Indonesia banyak
sekali kemungkinan seperti itu.
Jadi di masa depan, yang akan menjadi
persoalan bukan hanya energi.
Sekarang kita membuat kota-kota yang

berenergi eisien. Misalnya kita tidak
perlu lagi terlalu sering menggunakan
kendaraan bermotor di dalam kota. Hal
ini sudah dilaksanakan di Hongkong
dan Singapura, dimana gedunggedung disambung dengan jembatanjembatan yang tertutup dan ber-AC.
Coba lihat di Jakarta. Sepanjang Jalan
Thamrin-Sudirman malah memecah
Jakarta menjadi dua. Tidak ada satupun
jembatan penghubung, khan? Kalau
kita pergi ke Houston atau Minnesota,
semua sudah dibangun seperti itu.
Sehingga jika misalnya kita berkantor
di Landmark lalu ingin makan di
BNI city. Kita bisa jalan kaki lewat
jembatan penghubung yang indah
tadi itu. Dengan demikian penggunaan
kendaraan bermotor semakin sedikit.
Atau misalnya kita masuk ke parking
lot di daerah Gambir, dengan sistem
seperti tadi, kita bisa jalan kaki lewat
jembatan ke mana-mana.
Selain eisiensi penggunaan air, kota
pun harus eisien dalam penggunaan
energi. Jadi kunci keberlanjutan adalah
eisiensi. Ini baru dua aspek selain
penggunaan lahan tadi. Persoalan
abad ke-21 adalah 80% penduduk
dunia akan tinggal di kota. Maka ke
depannya, perlu banyak imajinasi
yang
diimplementasikan.
Yang
merepotkan adalah banyak orang yang
tidak tahu bahwa imajinasi itu lebih
mahal dari knowledge. Yang paling
mahal di dunia itu imajinasi, seperti
membuat jembatan penghubung
antar gedung tadi. Sebenarnya kita
tahu permasalahannya tapi yang mati
adalah imajinasinya.
Saya khawatir kalau begini terus
maka kota-kota yang ada di Indonesia
menjadi unliveable, bukan hanya unsustainable: semakin tidak nyaman

sebagai tempat kerja atau tempat
tinggal. Sudah ada kota-kota di dunia
yang unliveable, contohnya (hampir
saja) Bangkok. Sekarang sudah bagus
ada subway dan monorel di sana.
Manila juga. Kalau diperhatikan Jakarta
mirip Manila, tapi saya masih lebih
senang di Jakarta. Mexico city, Buenos
Aires juga tidak ada penghubung.
Jalan rayanya bisa mencapai delapan
sampai 10 lane, tapi akibatnya kota itu
pecah. Yang liveable banyak yang kita
contoh, misalnya Bogota. Busway-nya
kita contoh.
Menurut
Bapak
bagaimana
keterkaitan sustainability dengan
Masterplan
Percepatan
dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI) 2011-2025?
Pembangunan yang direncanakan
tanpa peduli terhadap perkembangan
yang sungguh-sungguh terjadi di
masyarakat tidak akan bisa kelar dan
terwujud dalam 20 tahun. Hal ini
dikarenakan masyarakat mempunyai
dinamismenya sendiri. Saya khawatir,
perencanaan yang dibuat tidak
didasarkan pada kenyataan, dan ini
banyak terjadi saat ini.
Jadi sebetulnya konsep membangun
yang paling bagus itu, meskipun idenya
koridor tapi harus tetap mengikuti apa
yang berkembang di lapangan dan
masyarakat. Bukan memaksakan ide
baru di atasnya. Kalau membangun di
atas wilayah yang tidak ada apa-apa
akan susah. Sebaiknya harus tetap
ada jangkarnya. Contohnya jembatan
Balerang yang dibuat sebagai sebagai
penghubung dari Batam ke Rempang
dan Galang. Hingga hari ini, khan,
tidak terjadi apa-apa di sana. Demikian
juga Lapangan terbang Hang Nadim.
Walaupun landasannya paling panjang
di Indonesia, tetap saja tidak bisa
menyaingi Changi. Bahkan kalau kita
mau ke Singapura tetap saja naik ferry.
Jadi keberadaan lapangan terbang itu
mubazir.
Akan tetapi konsep koridor ekonomi
itu, khan, membangun daerah yang
sudah berkembang yang diharapkan

menjadi pendorong pertumbuhan
wllayah sekitarnya?
Memang seperti itu, tapi beberapa saya
lihat ada yang dipaksakan. Takutnya
akan seperti seperti KAPET (Kawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu)
yang hingga saat ini tetap tidak
berjalan. Sekarang ini banyak rencana
pembangunan yang terlalu visioner
dan mencari-cari, sehingga menjadi
tidak realistis. Menurut saya, MP3EI
sebagian besar harus ditinjau kembali
dan sebaiknya dilandaskan pada yang
ditemui di lapangan.
Buat saya lebih masuk akal, misalnya
membangun jalan raya sepanjang
Sumatera dengan tiga jenis kelas jalan.
Pertama adalah Tol Road (misalnya
dari Tebing Tinggi sampai ke Binjai).
Kemudian ada highway yang dibuat
empat lajur (walaupun sekarang baru
dibuat dua jalur), tapi di beberapa
tempat ada yang sudah perlu empat
jalur. Selanjutnya, ada jalan biasa yang
hanya dua jalur tapi dibuat tiga untuk
passing. Jadi kalau itu dibuka efeknya
seperti
Northsouth
Highway-nya
Malaysia. Apalagi kalau disambung
dengan jembatan, misalnya, yang
menghubungkan Dumai dengan Johor.
Menurut saya dicari yang benar-benar
sudah menunjukkan potensi. Kalau
dibuat di daerah yang belum ada apaapa, akan sia-sia seperti yang kita sudah
lihat Barelang contohnya.
Harapan Bapak ke depan tentang
pembangunan
wilayah
dan
perkotaan di Indonesia?
Pembangunan wilayah dan perkotaan
di Indonesia harus lebih realistis,
karena saya melihat sebagian besar
rencana tata ruang dan city planning
di Indonesia itu tidak berjalan, karena
tidak mengikuti dinamika yang
sesungguhnya ada di masyarakat. Saya
lebih senang dengan pendekatan adon, perubahan-perubahan marjinal,
yaitu melakukan di atas kenyataan
yang ada. Jadi pendekatannya lebih
kepada bisnis, karena orang bisnis
selalu berpikir pasar harus ada terlebih
dahulu. (mem/hd)

July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

9

proil wilayah

KOTA BLITAR Mewujudkan
Oleh: Redaksi Butaru

Museum Ir. Soekarno

Harmoni Kota

Tak lama setelah memasuki Kota Blitar, seketika kita akan merasakan rasa tenang,
damai, dan udara segar yang jauh dari polusi – yang biasa kita rasakan pada kotakota besar Indonesia yang penuh dengan gedung perkantoran, pusat perbelanjaan,
pemerintahan, asap kendaraan dan aktivitas industri.
Di balik kesunyian dan ketenangannya, Kota Blitar menyimpan sejarah bagi Bangsa
Indonesia. Kota kecil di Jawa Timur ini merupakan tempat awal mula perlawanan
Bangsa Indonesia terhadap Jepang di bawah kepemimpinan Suprijadi, yang
kemudian meluas ke wilayah lainnya. Untuk tetap mengenang sejarah dan jasa
pahlawan tersebut, maka Kota Blitar memiliki sebutan sebagai Kota PETA (Pembela
Tanah Air) dan lebih dikenal dengan Kota Patria.

Di balik kesunyian
dan ketenangannya,
Kota Blitar menyimpan
sejarah bagi
Bangsa Indonesia

Di Kota Patria ini jugalah lahir calon pemimpin Indonesia. Pada tanggal 6 Juni
1901 lahirlah seorang putra bangsa yaitu, Ir. Soekarno, Presiden pertama Republik
Indonesia. Melalui kepemimpinannya, beliau melepaskan Bangsa Indonesia dari
belenggu penjajahan dan mengantarkan Bangsa Indonesia ke pintu gerbang
kemerdekaan.
Empat puluh tahun kemudian, tepatnya 25 februari 1942, kembali lahir calon
pemimpin negara yaitu Prof.Dr. Boediono, M.Ec yang saat ini menjadi wakil presiden
RI. Wakil presiden bukan jabatan kenegaraan pertama yang pernah Budiono raih
selama perjalanan hidupnya. Beberapa posisi di dalam kabinet pernah didudukinya,
juga prestasinya, membuat banyak orang yang menjulukinya dengan The Man To
Get The Job.
Kota Patria yang menyimpan banyak sejarah dan melahirkan pemimpin bangsa
tentunya tidak hanya sekedar cerita, julukan, atau sejarah yang cukup dikenang
saja. Tonggak sejarah tersebut dapat dijadikan sebagai titik awal dan pemicu
pembangunan Kota Blitar yang lebih baik dengan pimpinan yang membimbing
pembangunan Kota Blitar ke arah pembangunan yang berkelanjutan.

10

buletin tata ruang | July - Agustus 2011

Patung Presiden I RI Di dalam
Museum Ir. Soekarno
 

Ada berbagai macam pemahaman mengenai pembangunan
berkelanjutan. Secara umum pembangunan berkelanjutan
merupakan perubahan positif sosial dan ekonomi dengan
tidak mengabaikan lingkungan tempat manusia hidup
di dalamnya. Dengan kata lain terjadinya keseimbangan
pembangunan dari aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Pemahaman tersebut senada dengan deinisi pembangunan
berkelanjutan yang terdapat di dalam UU No.23 Tahun 1997
Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan
bahwa pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana dalam
proses pembangunan, berbasis lingkungan hidup untuk
menjamin mutu hidup generasi masa kini, meningkatkan
kesejahteraan masyarakat yang merupakan tolok ukur
keberhasilan suatu pembangunan dan generasi masa depan.
Saat ini, pembangunan yang berkelanjutan merupakan suatu
tuntutan dan perhatian Penataan Ruang seluruh wilayah di
Indonesia, mengingat pembangunan akan terus berjalan
tetapi ketersediaan ruang semakin terbatas. Pembangunan
yang berkelanjutan merupakan salah satu amanat di
dalam UU 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, yang
menyebutkan “Penyelenggaraan Penataan Ruang bertujuan
untuk menujudkan ruang wilayah nasional yang aman,
nyaman, produktif, dan berkelanjutan.”
Mengingat pentingnya konsep pembangunan berkelanjutan
sebagaimana yang telah diamanatkan di dalam UU 26

Secara general pembangunan
berkelanjutan merupakan
perubahan positif sosial dan
ekonomi dengan
tidak mengabaikan lingkungan
tempat manusia hidup di dalamnya.
Tahun 2007 di atas, Pemerintah Kota Blitar telah menjadikan
pembangunan berkelanjutan sebagai latar belakang
penyusunan RPJM Kota Blitar Tahun 2005-2025.
Di dalam RPJM ini disebutkan bahwa pembangunan yang
berkelanjutan diawali suatu komitmen dan konsistensi dari
berbagai pemangku kepentingan dalam menggunakan dan
menjaga keberlanjutan sumber daya alam yang digunakan
untuk keberlangsungan hidup saat ini dan untuk generasi
yang akan datang. Untuk menjaga keberlangsungan jalannya
pembangunan berkelanjutan, maka Pemerintah Kota Blitar
menggunakan manajemen pembangunan berkelanjutan
yang dijadikan sebagai pegangan untuk pelaksanaannya.
Manajemen ini mengedepankan perencanaan cermat yang
melihat kebutuhan saat ini dan yang akan datang, dan
dilaksanakan secara efektif, eisien, konsisten sebagaimana
yang telah ditetapkan, serta dilakukan evaluasi secara berkala
dan insidental berdasarkan indikator sasaran dan batas waktu
yang telah ditentukan.

Pembangunan berkelanjutan telah membawa Blitar menjadi peringkat pertama
di dalam Penghargaan Penilaian Kinerja Perangkat Daerah Pekerjaan Umum
(PKPD PU) Bidang Penataan Ruang Yang Berkelanjutan pada 2010. Penilaian yang
dilakukan oleh para juri ini meliputi aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan yang
saling terkait erat.
Terdapat suatu keunikan di dalam sistem perekonomian Kota Blitar, Pemerintah Kota
Blitar menggunakan sistem ekonomi mikro untuk menggerakan perekonomian
kota dengan menjadikan masyarakat sebagai pelaku utama perekonomian. Bentuk
dukungan pemerintah kota ini antara lain penyediaan lokasi dan tenda untuk
pedagang kaki lima. Selain itu pemerintah kota juga membatasi calon investor
yang akan membangun mal, swalayan besar, dan pewara lab, dengan tujuan untuk
tetap menghidupkan aktivitas perdagangan masyarakat setempat. Di beberapa
wilayah perkotaan, sejak berdirinya hypermart atau sejenisnya, banyak masyarakat
lebih memilih untuk berbelanja di hypermart dengan faktor kelengkapan dan
kenyamanan. Hal ini mengakibatkan penurunan pendapatan bagi pedagang kaki
lima dan para pedagang di pasar tradisional. Kondisi ini merupakan suatu ancaman
bagi para pedagang kecil, bahkan dapat mematikan usaha mereka.

Limbah Yang Berasal Dari Pabrik
Tahu dan Tempe

Sistem ekonomi mikro yang dipilih oleh Pemerintah Kota Blitar merupakan pilihan
yang tepat bagi masyarakat Kota Blitar. Dengan adanya sistem ini, masyarakat
secara tidak langsung dididik pemkot setempat untuk dapat berusaha mandiri.
Selain itu, sistem ini juga diyakini dapat menekan jumlah pengangguran kota.

July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

11

proil wilayah

Fasilitasi Pemkot Kepada Pedagang Kaki Lima

Konsep ekonomi mikro
yang digunakan di
Kota Blitar ini dapat
dikatakan unik,karena
menjadikan masyarakat
sebagai pelaku utama
perekonomian.

Konsep ekonomi mikro yang digunakan di Kota Blitar ini dapat dikatakan unik.
Mengapa demikian? Karena tidak semua kota di Indonesia dapat mencontoh dan
menggunakan konsep ini, khususnya kota di Indonesia yang identik dengan pusat
perbelanjaan dan perdagangan kelas (cenderung) menengah ke atas. Semakin
besar pusat dan aktivitas perdagangan di dalam kota tersebut, dapat mencerminkan
keberhasilan di sektor perekonomian.
Paradigma tersebut tentunya sangat sangat bertolak belakang dengan Kota
Blitar. Akan tetapi batasan penetrasi investor hanya berlaku untuk mendirikan
hypermart dan pewara laba saja. Kota Blitar juga memerlukan calon investor yang
menanamkan modalnya di kota ini dalam rangka meningkatkan dan menjaga
kestabilan pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2011 pemerintah kota menargetkan
pertumbuhan ekonomi sebesar 10% dengan merencanakan pembangunan pabrik
gula.
Jika melihat perkembangan PDRB Kota Blitar tahun 2004-2008, sektor perdagangan,
hotel dan restoran memberikan paling kontribusi yang besar jika dibandingkan
dengan sektor lainnya. Bahkan berdasarkan prediksi di dalam RPJM Kota Blitar Tahun
2005-2025, disebutkan bahwa sektor perdagangan masih berperan besar di dalam
PDRB Kota Blitar.
Jika melihat prediksi PDRB Kota Blitar hingga tahun 2025, tergambar bila
perekonomian Kota Blitar menunjukan perkembangan yang positif dan tiap tahunnya
selalu meningkat. Akan tetapi ada beberapa hal yang harus diwapadai untuk ke
depannya yaitu, ancaman perubahan iklim yang merupakan isu global yang hingga
saat ini masih terus berkembang dan sulit dikendalikan.

Perubahan iklim mengakibatkan peralihan musim semakin
sulitnya diprediksi. Tentunya kondisi ini sangat berpengaruh
terhadap penyediaan bahan baku industri, terutama
kerajinan bubut kayu yang merupakan salah satu produk
andalan. Isu global ini mendorong pemerintah kota untuk
mengambil langkah antisipatif yang dituangkan di dalam
kebijakan dan dilanjutkan dengan program kerja yang juga
merupakan bentuk dari pembangunan berkelanjutan dari
aspek lingkungan, sebagaimana yang telah dilakukan di
lingkup Nasional bahkan Internasional.
Program Kampung Iklim, atau yang disingkat dengan
Proklim merupakan suatu program yang diluncurkan
Kementerian Lingkungan Hidup dalam rangka mengurangi

12

buletin tata ruang | July - Agustus 2011

gas emisi nasional sebesar 26% sampai dengan tahun 2020
sebagaimana amanat Presiden SBY dalam pertemuan G-20
pada tahun 2009 di Pittsburgh. Proklim ini melibatkan
pertisipasi aktif masyarakat dalam melakukan langkah
adaptasi dan mitigasi perubahan iklim secara terintegrasi,
yang mempertimbangkan kearifan lokal dan mencakup
serangkaian kegiatan perencanaan sosialisasi, fasilitasi,
pengawasan, evaluasi, dan penilaian.
Sebagaimana yang telah dikatakan di atas, Kota Blitar
merupakan kota yang jauh dari pencemaran udara. Akan
tetapi untuk pencemaran dan polusi udara akibat dari aktivitas
industri rumah tangga tidak dapat dihindari, walaupun masih
tergolong kecil.

Kelurahan Pakunden yang terletak di Kecamatan Sukorejo,
contohnya, memiliki berbagai macam masalah pencemaran
lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas industri rumah
tangga tahu dan tempe, aktivitas peternakan. Sanitasi yang
tidak baik juga menambah pencemaran lingkungan. Dengan
dilatarbelakangi permasalahan lingkungan tersebut maka
terpilihlah Kelurahan Kapunden menjadi salah satu daerah
percontohan untuk proklim untuk tahun 2011 ini.
Di dalam rencana kerja proklim ini ada beberapa langkah yang
bertujuan mewujudkan Kelurahan Pakunden yang ramah
lingkungan. Diawali dengan pembangunan talud untuk
perlindungan Mata Air Sumberwayuh dan Sumberjaran,
kemudian dilakukan pula pembangunan tempat pengolahan
 
limbah tahu akhir di aliran Sumberwayuh, program bakti
sosial pembersihan sungai, sampai dengan penanaman bibit
pohon rambutan, bibit suren, dan bibit buah kelengkeng.

Candi Panataran

Rumah tingga Ir. Soekarno

Untuk memperbaiki sistem sanitasi, masyarakat diberikan
bantuan berupa pembagian gerobak di masing-masing
RW, tong sampah, pembangunan tempat pengolahan
akhir tahu, perlindungan mata air, dan penghijauan kota.
Diharapkan kegiatan proklim ini dapat berjalan optimal,
sesuai dengan rencana dan target, sehingga dapat dijadikan
sebagai salah satu daerah yang berhasil menanggapi isu
perubahan iklim. Selain itu, kegiatan ini dapat dikatakan
sebagai wujud pembangunan berkelanjutan Kota Blitar yang
tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan di dalam
kegiatan pembangunan.
Dalam rangka mewujudkan Kota Blitar yang berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan, pemerintah kota memiliki beberapa
tantangan dan target yang hendaknya dapat diwujudkan,
yaitu peningkatan pelayanan sanitasi, pemantapan sistem
lingkungan yang aman, lestari, dengan mewujudkan Ruang
Terbuka Hijau (RTH) sebesar 30 persen sesuai dengan
amanat UU No 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang yang
saat ini telah tertuang di dalam Raperda RTRW Kota Blitar.
Selain melibatkan masyarakat setempat, tidak menutup
kemungkinan pemerintah kota untuk melakukan kerja sama
dengan pihak swasta dalam rangka mewujudkan Kota Blitar
yang lestari.

Diharapkan kegiatan proklim ini
dapat berjalan dengan optimal,
sesuai dengan rencana dan
target, sehingga dapat dijadikan
sebagai salah satu daerah yang
berhasil dalam menanggapi isu
perubahan iklim.

Upaya menjadikan Kota Blitar juga terlihat pada sector
Peningggalan bersejarah Bangsa Indonesia di
Kota Blitar yang dikelola pemkot bahkan Negara. ini sangat
menarik untuk dikunjungi sebagai tempat rekreasi. Tempat
bersejarah seperti kawasan situs Kota Blitar, yang meliputi
makam, museum, rumah sang Proklamator, Candi Panataran
yang telah didaftarkan ke UNESCO pada tahun 1995,
merupakan potensi pariwisata yang dapat memberikan
kontribusi terhadap PDRB Kota Blitar.

  pariwisata.

Dengan adanya aktivitas pariwisata, maka terbentuklah
lapangan usaha yang dapat menyejahterakan masyarakat
Kota Blitar. Kondisi ini mendukung kegiatan pem