Tipe & Size (, 210K)

Pada Mingu, 26 Desember 2004, pukul 08.20 WIB, gempa bumi berkekuatan 9.0 skala
Richter mengguncang Aceh, yang terkenal dengan sebutan Kota Serambi Mekkah.
Gempa bumi tersebut disusul gelombang tsunami yang menyapu sekitar 70% wilayah
besar Aceh Darusalam, satu pertiga infrastruktur kota rusak total, dengan kerusakan berat
terjadi di Meulaboh. Pusat gempa ini terletak di Samudera Hindia, lepas Pantai Barat
Aceh atau kurang lebih sekitar 160 km sebelah Barat Aceh. Namun getarannya tidak
hanya dirasakan di Aceh, tapi juga berdampak kepada tujuh negara seperti Sri lanka,
India, Bangladesh, Thailand, Maladewa, Malaysia, dan Somalia. Sudah dapat dipastikan
bencana ini menelan korban jiwa, harta benda, dan mengakibatkan kerusakan
infrastruktur. Sebanyak hampir 230.000 penduduk meninggal dunia, 600.000 penduduk
kehilangan tempat tinggal, 1.644 kantor pemerintah, 270 pasar, 239 pertokoan hancur,
2.732 tempat peribadatan rusak, lebih dari 1.151 sekolah dan pesantren hancur, 33 rumah
sakit dan rumah bersalin musnah, 58 Puskesmas dan poliklinik ikut hancur. Selain itu
diperkirakan 82% jalan dan 499 jembatan rusak total, termasuk 49 pelabuhan. Dari
kejadian tersebut terdapat daerah-daerah yang mengalami kerusakan total di antaranya
yang berlokasi di Kecamatan Kuta Raja, Meuraxa, dan Jaya Baru. Kemudian Kecamatan
Syiah Kuala, Kuta Alam, Baiturrahman hancur Sumatera. Untuk daerah Aceh, patahan
tersebut ditemui di Lembah Alas, Lembah Tangse, dan Lembah Krueng Aceh, yaitu
daerah yang tidak lepas dari ancaman gempa bumi dan tanah longsor. Kondisi ini
tentunya tidak membuat Pemerintah Nasional dan Pemerintah Daerah berdiam diri.
Ancaman bencana tersebut memicu Pemerintah untuk bertindak cepat dan tepat,

mengambil keputusan untuk menyelamatkan Aceh dari ancaman bencana yang akan
terjadi dengan waktu yang tidak dapat dipastikan.

RTRW Aceh Berbasis Bencana
Penyusunan RTRW yang berbasis rawan bencana
sebagaimana amanat yang tercantum di dalam UU No. 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, terkandung di dalam
tujuan Penataan Ruang yaitu untuk mewujudkan Penataan
Ruang Wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan; merupakan amanat yang wajib dituangkan
di dalam RTRW Aceh. Kata aman dan nyaman tersebut
identik dengan makna bebas dari ancaman bencana. Selain
UU No. 26 Tahun 2007 tersebut, perlindungan masyarakat
dari kebencanaan juga tercantum di dalam UU No. 24
Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana di dalam
Pasal 24 ayat 1 yang menyebutkan, “Pelaksanaan dan
penegakan tata ruang dilakukan untuk mengurangi resiko bencana yang mencakup sanksi
terhadap pelanggaran”. Berdasarkan dua landasan hukum tersebut, maka Pemda bergerak
cepat menyusun RTRW yang mengakomodir isu adaptasi dan mitigasi bencana yang
bertujuan agar pola pengembangan ruang ke depannya dapat menjamin keamanan,

kenyaman, dan menyediakan ruang sebagai jalur, maupun area penyelamatan penduduk
ke tempat yang lebih aman apabila terjadi bencana. Terdapat perbedaan jelas antara
RTRW sebelum dan sesudah terjadinya gempa dan tsunami. Saat ini konsentrasi
pembangunan diarahkan menjauhi lokasi pantai yaitu ke bagian selatan Kota Banda Aceh.
Selain itu, pertumbuhan penduduk di lokasi sekitar pantai juga dibatasi – hanya penduduk
yang bekerja sebagai nelayan saja yang bermukim di daerah sekitar pantai. Pembatasan
pemukiman di sekitar pantai tersebut menyebabkan 700 rumah penduduk dipindahkan ke
arah selatan Kota Banda Aceh. Jalur-jalur yang berfungsi sebagai buffer pantai
direncanakan untuk menahan deburan ombak yang kencang. Perencanaan jalur-jalur
evakuasi yang letaknya tegak lurus dari wilayah pantai juga terlihat pada peta pola ruang
RTRW Kota Banda Aceh berikut. sebagian. Sementara adapula kecamatan yang masih
dalam kondisi baik terdapat seperti Kecamatan Ulee Kareng, Luen Bata, dan Banda
Raya.M Tidak berlama-lama dalam kesedihan dan keterpurukan – dengan bantuan dari
dalam maupun luar negeri, tekad dan semangat gotong royong –, masyarakat Aceh
bangkit kembali dengan harapan baru, walapun akan selalu ada trauma yang menghantui
masyarakat Aceh. Hal ini wajar, karena bencana saat itu merupakan bencana terdasyat
sepanjang sejarah yang dicatat oleh Badan Survey Geologi Amerika Serikat (USGS).
Dilihat dari letak geologisnya, Aceh berada pada zona pertemuan dua lempeng
goetektonik aktif dunia, yaitu Lempeng Benua Eurasia (bergerak ke tenggara dengan
kecepatan sekitar 0,4 cm/tahun) dan Lempeng Samudra Indo-Australia (bergerak ke utara

dengan kecepatan sekitar 7 cm/tahun). Gerakan lempeng tersebut telah menghasilkan
bentuk gabungan yang membentang sepanjang PulaSudah saatnya Indonesia khususnya
Aceh memiliki informasi kebencanaan dalam bentuk peringatan melalui Peta Rawan
Bencana sebagai alat informasi untuk dapat disebar luaskan ke masyarakat terhadap
kerentanan terhadap kebencanaan, seperti halnya di Negara-negara maju dan berkembang
seperti Jepang yang memiliki tingkat kerawanan gempa dan tsunami yang tinggi bahkan

telah menyediakan informasi berbentuk teknologi interaktif dan dapat diakses masyarakat.
Informasi antisipasi bencana ini bisa diciptakan oleh kerjasama beberapa stakeholder,
instansi, dan uluran tangan dari luar negeri yang mengirimkan materi dan tenaga ahli di
bidang kebencanaan. Maka meski tidak bisa dihindari dan dipastikan kapan terjadinya,
akan tetapi para akademisi dan ahli dapat memberikan trobosan untuk mengurangi
dampak bencana. Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BNPBA), Lembaga Riset
Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) yang dilopori dari
Universitas Syah Kuala (UNSYIAH), UNDP, Multi Donor Thrust Fund (MDF), dan
BAPPEDA Aceh bekerja sama untuk menyusun Peta Resiko Bencana Aceh bertajuk
Aceh Disaster Risk Map (ADRM) melaui satu program, yaitu Disaster Risk Reduction
Aceh (DRR-A). Pada tanggal 3 Maret 2011, Gubernur Aceh telah mengesahkan
Dokumen ADRM yang siap untuk disebarluaskan ke masyarakat Aceh dan lainnya untuk
dijadikan panduan dan referensi, sebagaimana yang Pemda yang telah mengakomodir

peta rawan bencana tersebut ke dalam RTRW Kota Banda Aceh Tahun 2009-2029.
Indonesia mungkin belum dapat menciptakan teknologi mutakhir seperti Jepang yang
telah menciptakan berbagai teknologi untuk mengantisipasi terjadinya bencana. Akan
tetapi apa yang telah diterapkan Jepang, dapat dijadikan contoh dan referensi bagi
Indonesia untuk langkah penyelamatan daerah rawan bencana seperti Aceh.

Bangunan Penyelamat
Selain menyebarluaskan informasi mengenai
kawasan rawan bencana dan penyusunan RTRW
yang berbasis kebencanaan, Pemda bersama
stakeholder terkait juga telah mendirikan
prasarana berupa bangungan pelindung dari
gelombang tsunami dan gempa yang dikenal
dengan sebutan escape building (gedung
penyelamatan) yang dapat dijadikan sebagai
bangunan pelindung dan tempat evakuasi jika
terjadi bencana. Saat ini terdapat 11 escape
building berkualitas yang dibangun dengan
konstruksi tahan gempa sampai dengan kekuatan
9,0 skala Richter. Bangunan dibuat berketinggian

18 meter agar tidak dijangkau gelombang tsunami
dan terdapat sudut yang berupa pilar besar
pelindung untuk melindungi korban dari
hempasan ombak tsunami. Satu escape building
ini dapat menampung sekitar 500 pengungsi.
Escape building ini tidak hanya dipergunakan jika
terjadi bencana saja, akan tetapi kesehariannya
gedung ini juga berfungsi sebagai kantor TDMRC,
pusat kegiatan masyarakat yang menyediakan
ruang pertemuan, dan fasilitas olahraga.
Bangunan penyelamat tersebut tersebar di Aceh,
di antaranya di Deah Glumpang, Deah Lambung,
Deah Teungoh, Aceh Jaya, Aceh Barat, Bireun,
Kota Lhoksuemawe, dan Pidie. Selain itu ada
juga Tsunami Memorial Building di Kota Sigli,
Museum Tsunami Aceh di Kota Banda Aceh, dan
Gedung Tsunami and Disaster Mitigation
Research Center (TDMRC) yang dikelola oleh
Universitas Syiah Kuala, yang sehariharinya
berfungsi

sebagai
perkantoran. Mengutip
sambutan Kepala Bappeda Aceh di dalam dokumen ADRM, perubahan paradigma juga
merupakan suatu hal yang tak kalah penting untuk mewujudkan pembangunan Aceh ke
depannya. Penanganan kebencanaan di Aceh yang cenderung masih bersifat tanggap
darurat diharapkan menjadi kesiapsiagaan, sehingga Aceh menjadi wilayah yang tangguh
dengan memahami ancaman yang ada dan mau berperan aktif berbuat sesuatu sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki untuk mengambil langkah di dalam pengurangan
resiko bencana.

Hikmah Tsunami
Walaupun meninggalkan duka yang sangat mendalam, akan tetapi kejadian tsunami telah
menjadikan Aceh sebagai salah satu kunjungan wisata yang dilirik para calon wisatawan

di nusantara, bahkan mancanegara. Selain tujuan wisata religi, banyak orang yang ingin
mengunjungi Aceh karena ingin ikut merasakan detik-detik terjadinya tsunami dengan
mengunjungi beberapa situs tsunami. Salah satunya adalah Kapal Tsunami Aceh yang
tersangkut di atap rumah penduduk – yang pada saat itu menyelamatkan 59 orang di
atasnya. Ada juga PLTD Apung milik PERTAMINA (salah satu pembangkit listrik untuk
Banda Aceh, Aceh Besar, dan sekitarnya) dengan berat 2.600 ton yang terseret sekitar ± 4

km dari Pelabuhan Ulee Lheue. Kuburan Massal Siron dan Museum Tsunami pun tidak
luput dari kunjungan wisatawan yang ingin banyak belajar dan mengenang kejadian
tsunami saat itu. Situs-situs tsunami merupakan situs resmi yang dikelola oleh Pemda,
bahkan Pemerintah Pusat seperti Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral yang mengelola Situs Kapal Tsunami Aceh. Namun hikmah dan pelajaran
terbesar yang diperoleh dari kejadian Tsunami 26 Desember 2004 lalu adalah bersatu dan
bangkit kembalinya seluruh masyarakat Aceh, walaupun saat itu masih terjadi konflik
Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Selain itu berbagai ahli kebencanaan, khususnya di
bidang tsunami dan gempa bumi, bersatu untuk memberikan langkah yang tepat untuk
Aceh dalam menghadapi ancaman kebencanaan untuk ke depannya. (mpb)