Tipe & Size (, 22663K)

SEPTEMBER - OKTOBER 2011

tataruang
buletin

BKPRN | BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG NASIONAL

Menata Aceh

dengan Harapan Baru

Mitigasi Bencana Tsunami
Mempertimbangkan
Faktor-faktor Geologi dalam

Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah

Kawasan Strategis Nasional (KSN)
Borobudur dan Danau Toba

Menuju Pembangunan yang Responsif Bencana


Hidup Harmoni
dengan Resiko
Bencana

Respon Hijau Terhadap Perubahan Iklim

Ketika Ijin Usaha PerkebunanPertambangan (IUP)
Bersinggungan Kawasan Hutan

Reklamasi Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil

Jelang Deadline

Raperpres Pulau/Kepulauan dan KSN

Penentuan Pusat-pusat Pengembangan
di Wilayah Pesisir dan Laut


Posisi Indonesia

dan Kerentanan Terhadap Bencana

Agenda Kerja BKPRN

P RO F I L

BARCODE

BKPRN

BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG NASIONAL

Dr. Syamsul Maarif

buletin tata ruang

sekapur
sirih


PELINDUNG
Ir. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc.
Dr. Eko Luky Wuryanto
Dr. Ir. Max Pohan
Drs. Imam Hendargo Abu Ismoyo, MA
Drs. Syamsul Arif Rivai, M.Si, MM.

PENANGGUNG JAWAB
Ir. Iman Soedradjat, MPM.
Ir. Deddy Koespramoedyo, M.Sc.
Ir. Heru Waluyo, M.Com
Drs. Sojan Bakar, M.Sc.
DR. Ir. Abdul Kamarzuki, MPM
Ir. Basuki Karyaatmadja

PENASEHAT REDAKSI
DR. Ir. Ruchyat Deni Dj. M.Eng
Ir. Iwan Taruna Isa
M. Eko Rudianto, M.Bus (IT)


PEMIMPIN REDAKSI
Aria Indra Purnama, ST, MUM.

WAKIL PEMIMPIN REDAKSI
Agus Sutanto, ST, M.Sc

‘Assallamu’alaikum warrahmatullah wabarakatuh

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa kita panjatkan atas kesempatan yang
selalu diberikan kepada kita untuk terus berkarya, dan Buletin Tata Ruang masih diberi kesempatan untuk hadir kembali dalam edisi September-Oktober di tahun 2011.
Menurut analisis resiko global oleh Bank Dunia (2009), Indonesia merupakan salah satu
dari 35 negara yang memiliki risiko kematian yang tinggi dari berbagai bahaya dengan
sekitar 40 persen dari populasi yang beresiko. Dengan jumlah penduduk lebih dari 220
juta jiwa, maka jumlah nominal korban yang beresiko adalah sekitar 90 juta jiwa. Hal ini
disebabkan karena Indonesia terletak di salah satu daerah hot spot bencana yang paling
aktif. Pada daerah hot spot beberapa jenis bencana seperti gempa bumi, tsunami, letusan
gunung berapi, banjir, tanah longsor, kekeringan dan kebakaran hutan sering terjadi. Kerugian akibat aneka bencana tersebut telah mencapai ratusan miliar hingga triliunan rupiah.

REDAKTUR PELAKSANA

Ir. Melva Eryani Marpaung, MUM.

SEKRETARIS REDAKSI
Indira P. Warpani, ST., MT., MSc

STAf REDAKSI
Ir. Dwi Hariawan, MA
Ir. Gunawan, MA
Ir. Nana Apriyana, MT
Wahyu Suharto, SE, MPA
Ir. Dodi S Riyadi, MT
Ir. Indra Sukaryono
Endra Saleh ATM, ST, MSc
Hetty Debbie R, ST.
Tessie Krisnaningtyas, SP
Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc
Ayu A. Asih, S.Si
M. Refqi, ST
Marissa Putri Barrynanda, ST
Heri Khadarusno, ST


KOORDINASI PRODUKSI
Angger Hassanah, SH

STAf PRODUKSI
Alwirdan BE

Banyaknya korban jiwa yang timbul akibat bencana alam yang terjadi setidaknya
telah memberikan pelajaran berharga kepada kita semua terhadap pentingnya keberadaan ruang yang aman. Ketahanan ruang terhadap ancaman bencana alam memang tidak akan secara mutlak menghindarkan manusia dari bahaya maut, tetapi
setidaknya akan mengurangi jumlah korban yang menderita akibat dampak bencana tersebut. Oleh karena itu, semua pihak diharapkan mau dan mampu mempertimbangkan aspek kebencanaan tersebut dalam kehidupan sehari-harinya.
Salah satu instrumen yang dinilai cukup strategis perannya dalam upaya meminimalisasi
dampak bencana adalah penataan ruang. Muatan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah)
seharusnya sudah disesuaikan dengan kondisi daya dukung alam termasuk potensi kebencanaan daerah. Dalam upaya mengintegrasikan faktor kebencanaan dalam penataan
ruang tidak hanya terletak pada memasukkan data/informasi rawan bencana saja ke
dalam tahapan perencanaannya, tetapi juga meliputi aspek pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang harus memperhitungkan manajemen bencana tersebut.
Oleh karena itu penyelenggaraan penataan ruang harus memperhatikan faktor kebencanaan geologi, dan dalam menghadapi berbagai bencana sebagai akibat dari negara
kepulauan (archipelagic state), diperlukan suatu strategi sinergis birokratis dan teknokratis yang mampu mengatasi masalah kebencanaan tersebut. Harapan kami, penataan ruang bisa memberikan kontribusi yang nyata dalam keterpaduan perencanaan
dan aksi terkait kebencanaan dari semua pemangku kepentingan (stakeholders). Lebih
lanjut, pemerintah daerah dan masyarakat diharapkan dapat mengontrol penerapan
prinsip-prinsip pembangunan dan pengembangan wilayah daerah rawan bencana.


KOORDINASI SIRKULASI
Supriyono S.Sos

STAf SIRKULASI

Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum
Selaku Sekretaris Tim Pelaksana BKPRN

Dhyan Purwaty, S.Kom

Penerbit: Sekretariat Tim Pelaksana BKPRN
Alamat Redaksi: Gedung Penataan Ruang dan SDA,
Jl. Patimura 20, Kebayoran Baru, Jakarta 12110
Telp. (021) 7226577, fax. (021) 7226577
Website BKPRN:http://www.bkprn.org
Email:timpelaksanabkprn@yahoo.com
dan redaksi _butaru@pu.go.id

2


Ir. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc

buletin tata ruang | September - Oktober 2011

dari
redaksi

daftar isi

PROFIL TOKOH

04

Dr. Syamsul Maarif

PROFIL WILAYAH
Menata Aceh

Salam hangat bagi pembaca setia


08

dengan Harapan Baru

Buletin Tata Ruang 2011 telah sampai pada edisi ke-lima. Pada edisi kali ini Butaru
mengangkat tema Hidup Harmoni dengan Resiko Bencana. Dalam Topik Utama edisi kali
ini, redaksi mengangkat tema Bencana dan Upaya Adaptssi dan Mitigasi.

Oleh: Redaksi Butaru

TOPIK UTAMA

12

Mitigasi Bencana Tsunami
Setidaknya ada 3 (tiga) kelompok ancaman bencana alam yang dapat menyerang wilayah
Indonesia, antara lain: bencana geologis yang disebabkan lokasi Indonesia terletak di
daerah cincin api (ring of ire) sehingga sangat rentan terhadap gempa bumi dan
letusan gunung berapi; bencana hidro-meteorologi yang diakibatkan oleh rezim curah

hujan yang tinggi, dimana bencana ini diindikasikan dari berulangnya bencana banjir
dan kekeringan ; kemudian bencana deforestasi dan kebakaran yang diakibatkan oleh
terjadinya penggundulan hutan baik untuk keperluan ekonomi maupun industri.

Dr. Ir, Subandono Diposantono

Salah seorang Ahli Bencana di Indonesia mengatakan, bahwa Indonesia merupakan
negeri rawan bencana sehingga perlu dibentuk karakter bangsa yang mampu
merespons bencana dengan benar. Sifat-sifat kearifan lokal yang terjadi secara turun
temurun juga harus dipertahankan dalam upaya menuju harmonisasi dengan bencana.
Untuk itu, dibutuhkan kerja sama diantara pemerintah pusat, pemerintah daerah, pihak
swasta serta masyarakat. Untuk bersama-sama berkolaborasi memformulasikan dan
mengimplementasikan rencana tindak (action plan).

TOPIK UTAMA

Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) perlu
memuat substansi tentang pentingnya instrument pencegahan resiko dan mitigasi
bencana alam, terutama dalam mendukung elemen-elemen dalam manajemen bencana
seperti antara lain Early Warning System (EWS), Pemetaan dan Penilaian Resiko, Prevensi

dan Reduksi, Manajemen Resiko, dan Rekonstruksi.
Lebih lanjut, pemetaan rawan bencana menjadi mutlak untuk diperlukan dalam
merumuskan rencana struktur dan pola ruang. Namun kiranya perlu dipertimbangkan
kajian-kajian kebencanaan, seperti misalnya: kajian kerentanan bencana, yang menilai
perbedaan suatu wilayah dengan kriteria indeks kerentanan tertentu sehingga intensitas
kegiatan di dalam kawasan tersebut akan diatur sedemikian rupa untuk meminimalisasi
biaya resiko yang muncul dari bencana yang datang.
Proil Wilayah pada edisi ini menampilkan Kota Aceh dan wilayah sekitarnya yang
didalam perencanaan tata ruang wilayah maupun program pembangunannya telah
mengintegrasikan muatan bencana. Buletin ini juga mengangkat tulisan Direktur
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, KKP, Dr. Ir, Subandono Diposantono, yang menguraikan
tentang bencana tsunami dan strategi serta rencana tindak dengan pengembangan
sabuk hijau pantai (greenbelt). Proil tokoh kali ini menampilkan Ketua Badan Nasional
Penanggulangan Bencana zSyamsul Maarif yang akan mengungkapkan berbagai
pemahaman dan gagasan beliau dalam terwujudnya penanganan bencana yang
tangguh.
Pada rubrik wacana kali ini, akan dilontarkan sebuah pandangan terkait perlunya
pemahaman semua pihak terutama masyarakat bahwa bangsa Indonesia hidup di
wilayah rawan bencana. Sehingga kebijakan dan upaya mitigasi, penyelamatan dan
evakuasi harus disusun bersama-sama.
Akhir kata, tulisan dalam Butaru ini ditulis oleh para penulis yang memiliki pengalaman
yang panjang dan dibidangnya, sehingga diharapkan dapat memperkaya wawasan
pembaca .
Selamat membaca

TOPIK UTAMA
Mempertimbangkan
Faktor-faktor Geologi dalam

15

Penyusunan Rencana Tata Wilayah
Oleh: Sari Bahagiarti Kusumayudha

Kawasan Strategis Nasional (KSN)
Borobudur dan Danau Toba

19

Menuju Pembangunan yang Responsif Bencana
Oleh: Ir. Iman Soedrajat MPM

TOPIK LAIN
Respon Hijau Terhadap
Perubahan Iklim

24

Oleh: Redaksi Butaru

TOPIK LAIN
Ketika Ijin Usaha PerkebunanPertambangan (IUP)

26

Bersinggungan Kawasan Hutan
Oleh: Sri Sultarini Rahayu

TOPIK LAIN
Reklamasi Wilayah Pesisir

30

dan Pulau-pulau Kecil
Oleh: Redaksi Butaru

TOPIK LAIN

32

Jelang Deadline
Raperpres Pulau/Kepulauan dan KSN
Oleh: Redaksi Butaru

TOPIK LAIN
Penentuan Pusat-pusat Pengembangan
di Wilayah Pesisir dan Laut

34

Oleh: Ir. Kartika Listriana

WACANA
Posisi Indonesia

40

dan Kerentanan Terhadap Bencana
Oleh: Redaksi Butaru

AGENDA
Agenda Kerja BKPRN
September - Oktober 2011

43

Redaksi

September - Oktober 2011 | buletin tata ruang

3

proil tokoh

Dr. Syamsul
Maarif Hidup Harmoni

Ketua Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB)

kunci penting
dalam manajemen
kebencanaan adalah
pendekatan M to M
artinya pendekatan
yang berhulu (awal) dari
manusia dan berakhir
(hilir) manusia pula.

dengan Resiko Bencana

MUNGKIN JIKA ada sosok yang begitu identik dengan bencana di Indonesia saat
ini adalah Mayjen Purn. Syamsul Ma’arif, Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB). Kinerja BNPB selama di bawah kepemimpinan Syamsul Ma’arif
memang cukup menonjol dalam memberikan bantuan kepada warga bangsa
yang tertimpa bencana alam. Misalnya, BNPB berperan aktif dan konstruktif dalam
manajemen kebencanaan erupsi Gunung Merapi, erupsi Gunung Bromo di Jatim,
bencana gempa bumi di Sumbar, dan bencana lainnya.
Menurutnya, kendati Indonesia sebagai negara dilingkupi lingkungan alam yang
rawan bencana, namun hakikatnya bencana itu tak ada. Yang ada adalah hazard
(bahaya). Karenanya, strategi mempersiapkan warga yang rawan bencana itu jauh
lebih penting dibanding pemberian bantuan dalam kondisi darurat.
Kepala BNPB ini adalah putera kelahiran Kediri, Jawa Timur. Jabatan kepala BNPB
dianggapnya seperti karir ke dua, sementara karir pertamanya adalah di jalur
militer. Setelah lulus dari Akmil Magelang tahun 1973, Syamsul pernah meniti
sejumlah jabatan penting di lingkungan TNI AD maupun Mabes TNI. Syamsul yang
juga dikenal sebagai jenderal santri ini pernah menjabat Danrem Bhaskara Jaya
Surabaya, Kasdam V/Brawijaya, Kapuspen TNI di era reformasi, dan jabatan lainnya.
Setelah pensiun dari militer, Syamsul dipercaya memangku jabatan kepala BNPB.
Beberapa kali menerima penghargaan antara lain Bintang Mahaputera Utama
dari pemerintah yang disematkan Presiden SBY di Istana Negara dan Nusa Reksa
Pratama dari civitas akademika Universitas Gadjah Mada yang diserahkan oleh
rektor UGM, tidak mengubah sifat beliau yang rendah hati dan ingin selalu berbuat
yang terbaik.
Syamsul yang meraih gelar doktor (S3) Sosiologi Militer dari Universitas Indonesia
(UI) Jakarta ini, menjelaskan, kunci penting dalam manajemen kebencanaan
adalah pendekatan M to M artinya pendekatan yang berhulu (awal) dari manusia
dan berakhir (hilir) manusia pula.
Berikut hasil wawancara terkait kinerja BNPB dan apa yang harus dilakukan BNPB
bersama-sama stakeholder lainnya terutama masyarakat yang terkena risiko
langsung oleh bencana.

4

buletin tata ruang | September - Oktober 2011

Tugas apa yang diamanatkan Presiden ?

Saat kejadian tsunami tahun 2005, ada inisiatif
dari DPR untuk membuat undang-undang yang
menyatakan perlunya ada satu badan
menangani masalah bencana.
Apa aktivitas Anda sebelum menjabat
Kepala BNPB, serta bagaimana latar
belakang bergabungnya di BNPB ?
Latar belakang saya militer, pangkat
terakhir saya Mayor Jenderal, dan
jabatan saya yang terakhir adalah
Aster Kasum TNI. Pada saat kejadian
bencana di Aceh, saya sudah menjabat
di sana dan tentu saja institusi saya
terlibat untuk penanganan tsunami.
Begitu pula di Jogja. Kemudian pada
tahun 2006 ketika ada kebakaran
hutan, institusi saya membantu untuk
mengendalikan bencana asap pada
waktu itu di Kalimantan maupun di
Sumatera.
Dan akhirnya pada saat menjelang
pensiun, saya diperintahkan Bapak
Presiden untuk menangani jabatan
yang kosong, yaitu Kepala Pelaksana
Harian Bakornas, yang waktu itu
ketuanya Bapak Wapres. Nampaknya
pada tahun 2005, masyarakat yang
diwakili oleh DPR menganggap bahwa
sistem penanggulangan bencana itu
kurang komprehensif atau belum punya
sistem penanggulangan bencana.
Saat kejadian tsunami tahun 2005,
ada inisiatif dari DPR untuk membuat
undang-undang yang di menyatakan
perlunya ada satu badan menangani
masalah bencana.
Maka dalam UU tersebut diamanatkan
bahwa pemerintah pusat membentuk

BNPB,
dan
pemerintah
daerah
membentuk BPBD. Maka kebencanaan
adalah tanggung jawab pemerintah
dan pemerintah daerah. Sedangkan
Badan
Penanggulangan
Bencana
Daerah (BPBD) itu diatur di bawah
gubernur dan bupati, bukan lembaga
vertikal di bawah BNPB (pusat).

Perintah
Presiden
tentang
penanggulangan
bencana
secara
komprehensif, ya, yang tadi itu, setiap
bencana harus ditangani oleh Pemda,
baik Pemda Kabupaten maupun Kota.
Pemerintah Provinsi juga mendapat
tugas untuk merapat ke kabupaten
dengan
mengerahkan
sumber
daya yang ada di provinsi termasuk
kabupaten dan kabupaten tengga
untuk dikerahkan dalam membantu
kabupaten yang terkena bencana.
Kemudian pusat mendapat tugas
untuk membantu mereka memenuhi
kebutuhan-kebutuhan yang ekstrim,
yang tidak dapat mereka penuhi.
Katakanlah misalnya dana mereka
terbatas atau peralatannya terbatas.
Jadi dalam konteks ini hubungannya
bukan vertikal, karena tiap instansi
pemerintah diberi tugas yang langsung
bertanggung jawab kepada Presiden.
Jadi walau Pemda yang diberi tugas
mengatasi masalah kebencanaan,
provinsi juga jangan diam saja, karena
dia juga punya tugas.

Artinya?
Sepertinya
kata-kata
itu
perlu
dinyatakan secara eksplisit. Dengan
otonomi daerah maka ada kabupaten,
juga provinsi. Jadi bila ada penanganan
yang dirasa kurang tegas dan
sebagainya, itu tergantung kepala
daerahnya, jadi bupati misalnya yang
seharusnya mengendalikan. Bahkan
perjalanan UU ini membutuhkan waktu
yang sangat lama menurut saya. Sejak
tahun 2005 UU disusun, baru dua tahun
kemudian UU itu diterbitkan/disahkan.
Sebagai konsekuensinya, baru satu
tahun kemudian, yaitu pada 2008, BNPB
ini dibentuk.
Jadi saya itu hanya tinggal pindah saja,
yang tadinya Kepala Pelaksana Harian
sebagai eselon I, lalu saya menjadi
Kepala BNPB yaitu setingkat Menteri
sesuai yang diamanatkan dalam
UU tersebut. Itu pengalaman saya
dari sebelum menjabat sampai saat
menjabat dengan serangkaian kegiatan
yang dialihstatuskan dari militer
menjadi sipil.

Contohnya pada bencana di Pesisir
Selatan-Sumatera Barat. Pemerintah
pusat datang untuk mengemban
amanat
Presiden,
yakni
untuk
menyelesaikan hal ekstrim yang tidak
bisa diatasi daerah yang bersangkutan.
Jadi konkritnya, jika terjadi bencana
kami akan datang, tapi tidak untuk
memimpin, yang memimpin tetap
bupati. Kalau instansi ini bersifat
vertikal, maka begitu datang kami akan
langsung ambil alih. Tapi ini tidak. Tim
kami berada di sana untuk mengikuti
rapat bupati dan mendengarkan apa
keperluan mereka. Jadi apa yang bisa
diatasi kabupaten, diatasi kabupaten
dan apa yang bisa diatasi provinsi, akan
diambil provinsi.
Makanya saya katakan konteksnya tidak
vertikal. Kami semua memiliki tugas.
Misalnya untuk menyalurkan logistik
ke tempat-tempat yang terputus itu
membutuhkan helikopter. Maka kami
akan membawakan helikopter, seperti
yang kami lakukan di Pesisir Selatan
kemarin.

September - Oktober 2011 | buletin tata ruang

5

proil tokoh

Saya menuju ke visi itu, karena
visi kebencanaan kita adalah
‘Ketangguhan Bangsa Menghadapi
Bencana’. Artinya seluruh wilayah
tanah air harus tangguh.
Apa visi dan misi BNPB, berikut
Tupoksinya?
Berdasarkan pengalaman membantu
korban bencana, misalnya di MukoMuko, daerah tersebut kehabisan
tenda sehingga terpaksa membeli
dari Bandung. Kami yang membeli
tetapi yang membagikan tetap
Bupati. Pada saat kejadian gempa
di Padang tahun 2007/2009, mie
instan menjadi langka sehingga
kami terpaksa mendatangkan dari
Palembang dan sekitarnya. Dari sini
kami simpulkan, penanganannya
tidak bisa sentralistik. Jadi ide besar
reformasi bahwa pemerintah daerah
bertanggungjawab
melindungi
masyarakatnya
benar-benar
diwujudkan di sini, karena memenuhi
kebutuhan dasar masyarakat adalah
tanggung jawab mereka, kecuali kalau
dia ‘jatuh’. Contohnya waktu gempa
bumi tahun 2006 di Jogja. Bupati
Bantul sudah pasrah, karena semuanya
hancur termasuk keluarganya seperti
halnya di Aceh. Saat itu barulah kami
benar-benar ambil alih sampai mereka
mampu mengurusnya sendiri.
Sebenarnya strategi dan ideologi
kemerdekaan
Indonesia
sangat
bagus. Kita tidak akan menghilangkan
kewibawaan pemerintah daerah yang
dipilih rakyatnya. Kalau semuanya
dari pusat dan bupatinya diam saja,
lalu bupati melindungi apa? Ketika
suatu provinsi terkena bencana bukan
berarti seluruh provinsi terkena, pasti
ada
kabupaten-kabupaten
yang
selamat. Misalnya bencana tsunami
Aceh yang memakan korban sekitar
200 ribu orang meninggal. Ternyata
kabupaten yang sebelah tengah
dan timur masih survive. Begitu juga
apabila kabupaten terkena bencana.
Pasti tidak seluruh kabupaten

6

menderita langsung, ada beberapa
kecamatan yang tidak kena. Seperti
pada bencana di Wasior. Sebenarnya
hanya kecamatan di Teluk Wondama
yang terkena bencana, bukan
seluruh kabupaten, tapi ributnya ga
ketulungan.
Dalam
wawancara
ini
saya
ingin
meluruskan
agar
tiap
kabupaten diberdayakan. Bahwa
dalam
pemberdayaannya
kami
mengintervensi itu benar, tetapi hanya
pada dosis tertentu. Karena Indonesia,
khan, penuh bencana. Kalau selalu
diurusi pusat, kapan mereka kuat?
Saya menuju ke visi itu, karena
visi
kebencanaan
kita
adalah
‘Ketangguhan Bangsa Menghadapi
Bencana’. Artinya seluruh wilayah
tanah air harus tangguh.
Strategi untuk mewujudkan Visi
seperti apa?
Salah satu strategi untuk menuju
ketangguhan
bangsa
adalah
membuat masyarakat di daerah
menjadi tangguh. Ketangguhan itu
kami deinisikan paling tidak dalam
empat elemen: Pertama, masyarakat
dibilang tangguh apabila memiliki
daya antisipasi. Tentu tetap kami
bantu, misalnya BMKG memberikan
informasi; Ke dua, masyarakat harus
punya daya pengurangan risiko
dengan cara menghindari maupun
menolak. Misalkan kalau sudah tahu
daerah mereka akan terkena limpahan
air jika tanggul jebol. Maka langkah
penolakan
bencananya
adalah
menyiapkan bronjong atau pasir yang
ditumbuk, atau menyiapkan pompa
air kalau terjadi banjir. Bisa juga
melakukan pengurangan risiko dengan
menghindar kalau sudah tau banjir

buletin tata ruang | September - Oktober 2011

Ketua BNPB dalam kunjungan meninjau
korban gempa di Sumatera Barat

akan menerobos ke permukiman; Ke
tiga, adaptasi. Misalnya masyarakat
10 kabupaten yang dilewati Sungai
Bengawan Solo sudah paham bahwa
setiap tahun wilayahnya terkena banjir.
Mereka sudah tau apa adaptasinya.
Selain itu juga ada early warning system
yang dibuat untuk adaptasi aliran
lahar dingin sekarang ini; Ke empat,
masyarakat mempunya daya lenting
atau ‘Bounce Back’. Untuk mendukung
masyarakat untuk mempunyai daya
lenting kita harus bertanya, bantuanbantuan itu membuat dia memiliki
daya lenting atau bergantung? Kalau
seandainya ada intervensi – katakanlah
dengan alasan solidaritas bangsa – itu
bagus dan tetap kita pelihara. Tapi jangan
sampai solidaritas itu menjadi suatu
ketergantungan yang merendahkan atau
mengurangi daya ‘bounce back’ mereka.
Visi itu harus kita wujudkan dalam
hal yang konkrit. Jadi saya juga
menghimbau untuk menerima bantuan
melalui satu pintu, BPBD setempat
atau BNPB. Terkadang orang ingin
memberikan bantuan sendiri karena
tidak percaya. Sebaiknya tetap ditunjuk
satu tempat supaya tidak terjadi seperti
yang terjadi di Jogja – bantuan banyak
datang lewat kereta api dan menumpuk
di sana. Posko ingin mengambil tidak
berani karena tidak ada alamatnya.
Akhirnya bantuan menumpuk dan
masyarakat
saling
menyalahkan.
Harusnya bantuan dialamatkan ke
posko BNPB atau BPBD karena undangundang mengatakan seperti itu.

akses, dan sebagainya. Secara umum
dapat dikatakan bahwa pemerintah,
masyarakat dan para pemangku
kepentingan terkait di Indonesia belum
sepenuhnya siap dalam menghadapi
bencana sehingga mengakibatkan
tingginya korban jiwa maupun kerugian
material yang ditimbulkan oleh bencana.
Upaya pengurangan resiko bencana
dikembangkan melalui usaha-usaha
peningkatan ketahanan masyarakat
dalam menghadapi ancaman bencana.

Lebih konkritnya?
Jadi misalnya ada BUMN mau
membantu, maka tolong bantuannya
dikoordinasikan dengan kami BNPB
dan kalau bisa bantuan itu berdasarkan
kebutuhan
permintaan
daerah.
Terkadang bantuan menjadi mubazir
karena tidak butuh. Saya mengerti
itu merupakan solidaritas, tapi mari
bekerjasama dengan BNPB. Kalau tidak
percaya bantuan akan sampai silakan
membuat posko sendiri, tetapi di bawah
pengendalian kami supaya perhatian
kepada masyarakat merata. Itu supaya
tidak menimbulkan kesenjangan.
UU memang mengamanatkan kepada
kami untuk menghitung dana yang
disumbangkan. BUMN pun hendaknya
tetap melapor kepada kami. Ini tidak
berarti kami mengambil domain
kementerian lain, tetapi UU yang
mengamanatkan hal itu.
Salah satu tupoksi BNPB adalah
menyampaikan informasi kegiatan
penanggulangan bencana kepada
masyarakat. Dalam bentuk apa?
Salah satu isu yang dihadapi dalam
penanggulangan bencana adalah tingkat
kerentanan (vulnerability) masyarakat
dalam menghadapi bencana masih
tinggi. Hal ini disebabkan berbagai
faktor antara lain: kemiskinan, tingkat
pendidikan, pengetahuan, kesadaran
dan infrastruktur penunjang dan
ketersediaan informasi yang mudah di

Berbagai kebijakan dan implementasi
penanggulangan
bencana
telah
dilakukan. Misalnya, di bidang ilmu
pengentahuan dan teknologi telah
dikembangan
berbagai
teknologi
peringatan dini, seperti Indonesia
Tsunami Early Warning System (Ina
TEWS) yang mampu menyampaikan
informasi peringatan dini delapan menit
setelah gempa bumi. Demikian pula
peringatan dini banjir, tanah longsor,
cuaca ekstrem dan sebagainya. Iptek
tersebut dilakukan bersamaan dengan
sosialisasi dan pengembangan kapasitas.
Namun ternyata jumlah korban bencana
tetap banyak seperti yang terjadi tsunami
di Mentawai pada Oktober 2010, erupsi
Merapi di Yogyakarta dan di Jawa Tengah
pada Oktober-November 2010 dan
sebagainya.

Upaya pengurangan resiko
bencana dikembangkan
melalui usaha-usaha
peningkatan ketahanan
masyarakat dalam menghadapi
ancaman bencana.
Bagaimana bentuk kelembagaan
BNPB dengan BPBD, tugas-tugas apa
saja yang membedakan kewenangan
masing-masing (pusat dan daerah)?
Sama seperti instansi lain (misalnya
KemenPU dengan dinas ke-PU-an di
daerah), tetapi tidak vertikal. BNPB
berkoordinasi terkait permasalahan
teknis sementara BPDB bekerja
langsung di lapangan. Jadi sekali
lagi ditegaskan bahwa BNPB dan
BPBD tidak vertikal. Baik buruknya
kinerja BPBD itu tergantung kepada
pimpinan daerahnya masing-masing,
misalnya bupati.

Bagaimana koordinasi
penanggulangan bencana bersama
pihak-pihak lain ?
Kami
sering
bertanya
kepada
kementerian dan institusi lain, “Anda
mempunyai potensi apa di sini?”
Jadi kita bisa melihat potensi dan
keahliannya apa. Karena kita tahu,
misalnya, tidak semua pihak punya
keahlian SAR. Yang mempunyai
standarnya tentu Tim SAR. Dari situ
dalam penanggulangan bencana
kami membuat struktur organisasi
yang disebut “Komando Tanggap
Darurat”, dimana di dalamnya ada
cluster-cluster.
Misalnya
cluster
logistik, siapa yang termasuk di cluster
itu? Sementara itu di cluster SAR ada
TNI, POLRI dan relawan-relawan tapi
tetap di bawah koordinasi Tim SAR.
Alhamdulillah sewaktu di Yogyakarta
hal itu sudah terwujud lebih bagus.
Waktu di Padang sudah mulai
terwujud, tapi masih kurang bagus.
Apa harapan Bapak terkait
penanggulangan bencana yang
terjadi di Indonesia untuk masa yang
akan datang ?
BNPB masih banyak kekurangan,
namanya juga organisasi baru dan
peralatan juga belum lengkap.
Misalnya
belum
maksimalnya
koordinasi penyaluran bantuan bagi
korban banjir di Pesisir Selatan yang
banyak dikeluhkan, karena terjadi
penumpukan bantuan hanya pada
lokasi tertentu. Hal itu terjadi karena
memang belum semua lokasi bencana
terpetakan dengan baik. Karena itu
mari kita sama-sama melengkapinya.
Dengan adanya leadership di BNPB.
UU mengatakan,
pada saat ada
bencana kami mempunyai fungsi
komando. Dan pada saat sebelum
dan sesudah bencana kami punya
fungsi koordinasi. Dan sekali lagi
kami berharap kita kerja bersamasama. Di dalam kegiatan bencana ini,
antara komando dengan konsensus
itu dekat. Maka kami berharap dalam
melakukan kegiatan bersama itu antar
konsensus harus saling mengisi.

September - Oktober 2011 | buletin tata ruang

7

proil wilayah

Menata Aceh
Dengan Harapan Baru
Oleh: Redaksi Butaru

Indonesia dan dunia pernah berduka
untuk Aceh. Kini, saat bangkit, Aceh
justru mempersatukan berbagai profesi,
pemerintah Nasional, Pemda dan luar
negeri, serta masyarakatnya.
PADA MINGGU, 26 Desember 2004, pukul 08.20 WIB, gempa
bumi berkekuatan 9.0 skala Richter mengguncang Aceh, yang
terkenal dengan sebutan Kota Serambi Mekkah. Gempa bumi
tersebut disusul gelombang tsunami yang menyapu sekitar
70% wilayah besar Aceh Darusalam, satu pertiga infrastruktur
kota rusak total, dengan kerusakan berat terjadi di Meulaboh.
Pusat gempa ini terletak di Samudera Hindia, lepas Pantai
Barat Aceh atau kurang lebih sekitar 160 km sebelah Barat
Aceh. Namun getarannya tidak hanya dirasakan di Aceh, tapi
juga berdampak kepada tujuh negara seperti Sri lanka, India,
Bangladesh, Thailand, Maladewa, Malaysia, dan Somalia.
Sudah dapat dipastikan bencana ini menelan korban jiwa,
harta benda, dan mengakibatkan kerusakan infrastruktur.
Sebanyak hampir 230.000 penduduk meninggal dunia,
600.000 penduduk kehilangan tempat tinggal, 1.644 kantor
pemerintah, 270 pasar, 239 pertokoan hancur, 2.732 tempat
peribadatan rusak, lebih dari 1.151 sekolah dan pesantren
hancur, 33 rumah sakit dan rumah bersalin musnah, 58
Puskesmas dan poliklinik ikut hancur. Selain itu diperkirakan
82% jalan dan 499 jembatan rusak total, termasuk 49
pelabuhan.
Dari kejadian tersebut terdapat daerah-daerah yang
mengalami kerusakan total di antaranya yang berlokasi di
Kecamatan Kuta Raja, Meuraxa, dan Jaya Baru. Kemudian
Kecamatan Syiah Kuala, Kuta Alam, Baiturrahman hancur

8

buletin tata ruang | September - Oktober 2011

sebagian. Sementara adapula kecamatan yang masih dalam
kondisi baik terdapat seperti Kecamatan Ulee Kareng, Lueng
Bata, dan Banda Raya.
Tidak berlama-lama dalam kesedihan dan keterpurukan –
dengan bantuan dari dalam maupun luar negeri, tekad dan
semangat gotong royong –, masyarakat Aceh bangkit kembali
dengan harapan baru, walapun akan selalu ada trauma yang
menghantui masyarakat Aceh. Hal ini wajar, karena bencana
saat itu merupakan bencana terdasyat sepanjang sejarah
yang dicatat oleh Badan Survey Geologi Amerika Serikat
(USGS).
Dilihat dari letak geologisnya, Aceh berada pada zona
pertemuan dua lempeng goetektonik aktif dunia, yaitu
Lempeng Benua Eurasia (bergerak ke tenggara dengan
kecepatan sekitar 0,4 cm/tahun) dan Lempeng Samudra
Indo-Australia (bergerak ke utara dengan kecepatan sekitar
7 cm/tahun). Gerakan lempeng tersebut telah menghasilkan
bentuk gabungan yang membentang sepanjang Pulau

Kerusakan Yang Terjadi Pada Saat Tsunami 26 Desember 2004

Sumatera. Untuk daerah Aceh, patahan tersebut ditemui di
Lembah Alas, Lembah Tangse, dan Lembah Krueng Aceh,
yaitu daerah yang tidak lepas dari ancaman gempa bumi dan
tanah longsor.
Kondisi ini tentunya tidak membuat Pemerintah Nasional
dan Pemerintah Daerah berdiam diri. Ancaman bencana
tersebut memicu Pemerintah untuk bertindak cepat dan
tepat, mengambil keputusan untuk menyelamatkan Aceh
dari ancaman bencana yang akan terjadi dengan waktu yang
tidak dapat dipastikan.

RTRW Aceh Berbasis Bencana
Pemda bergerak cepat
menyusun RTRW yang
mengakomodir isu adaptasi
dan mitigasi bencana
yang bertujuan agar pola
pengembangan ruang ke
depannya dapat menjamin
keamanan, kenyaman,
dan menyediakan ruang
sebagai jalur, maupun area
penyelamatan penduduk
ke tempat yang lebih aman
apabila terjadi bencana.

Penyusunan RTRW yang berbasis rawan bencana sebagaimana amanat yang
tercantum di dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, terkandung di
dalam tujuan Penataan Ruang yaitu untuk mewujudkan Penataan Ruang Wilayah
yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan; merupakan amanat yang wajib
dituangkan di dalam RTRW Aceh. Kata aman dan nyaman tersebut identik dengan
makna bebas dari ancaman bencana.
Selain UU No. 26 Tahun 2007 tersebut, perlindungan masyarakat dari kebencanaan
juga tercantum di dalam UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
di dalam Pasal 24 ayat 1 yang menyebutkan, “Pelaksanaan dan penegakan tata
ruang dilakukan untuk mengurangi resiko bencana yang mencakup sanksi
terhadap pelanggaran”. Berdasarkan dua landasan hukum tersebut, maka Pemda
bergerak cepat menyusun RTRW yang mengakomodir isu adaptasi dan mitigasi
bencana yang bertujuan agar pola pengembangan ruang ke depannya dapat
menjamin keamanan, kenyaman, dan menyediakan ruang sebagai jalur, maupun
area penyelamatan penduduk ke tempat yang lebih aman apabila terjadi bencana.
Terdapat perbedaan jelas antara RTRW sebelum dan sesudah terjadinya gempa
dan tsunami. Saat ini konsentrasi pembangunan diarahkan menjauhi lokasi pantai
yaitu ke bagian selatan Kota Banda Aceh. Selain itu, pertumbuhan penduduk di
lokasi sekitar pantai juga dibatasi – hanya penduduk yang bekerja sebagai nelayan
saja yang bermukim di daerah sekitar pantai. Pembatasan pemukiman di sekitar
pantai tersebut menyebabkan 700 rumah penduduk dipindahkan ke arah selatan
Kota Banda Aceh. Jalur-jalur yang berfungsi sebagai bufer pantai direncanakan
untuk menahan deburan ombak yang kencang. Perencanaan jalur-jalur evakuasi
yang letaknya tegak lurus dari wilayah pantai juga terlihat pada peta pola ruang
RTRW Kota Banda Aceh berikut.

September - Oktober 2011 | buletin tata ruang

9

proil wilayah

Peta pola ruang RTRW Kota Banda Aceh

Informasi antisipasi bencana ini bisa diciptakan oleh
kerjasama beberapa stakeholder, instansi, dan uluran
tangan dari luar negeri yang mengirimkan materi dan
tenaga ahli di bidang kebencanaan.
Sudah saatnya Indonesia khususnya Aceh memiliki informasi kebencanaan dalam
bentuk peringatan melalui Peta Rawan Bencana sebagai alat informasi untuk dapat
disebar luaskan ke masyarakat terhadap kerentanan terhadap kebencanaan, seperti
halnya di Negara-negara maju dan berkembang seperti Jepang yang memiliki
tingkat kerawanan gempa dan tsunami yang tinggi bahkan telah menyediakan
informasi berbentuk teknologi interaktif dan dapat diakses masyarakat. Informasi
antisipasi bencana ini bisa diciptakan oleh kerjasama beberapa stakeholder,
instansi, dan uluran tangan dari luar negeri yang mengirimkan materi dan tenaga
ahli di bidang kebencanaan. Maka meski tidak bisa dihindari dan dipastikan kapan
terjadinya, akan tetapi para akademisi dan ahli dapat memberikan trobosan untuk
mengurangi dampak bencana.
Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BNPBA), Lembaga Riset Tsunami and
Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) yang dilopori dari Universitas Syah
Kuala (UNSYIAH), UNDP, Multi Donor Thrust fund (MDf), dan BAPPEDA Aceh
bekerja sama untuk menyusun Peta Resiko Bencana Aceh bertajuk Aceh Disaster
Risk Map (ADRM) melaui satu program, yaitu Disaster Risk Reduction Aceh (DRR-A).
Pada tanggal 3 Maret 2011, Gubernur Aceh telah mengesahkan Dokumen ADRM
yang siap untuk disebarluaskan ke masyarakat Aceh dan lainnya untuk dijadikan
panduan dan referensi, sebagaimana yang Pemda yang telah mengakomodir peta
rawan bencana tersebut ke dalam RTRW Kota Banda Aceh Tahun 2009-2029.

Aceh paska tsunami

10

Indonesia mungkin belum dapat menciptakan teknologi mutakhir seperti Jepang
yang telah menciptakan berbagai teknologi untuk mengantisipasi terjadinya
bencana. Akan tetapi apa yang telah diterapkan Jepang, dapat dijadikan contoh
dan referensi bagi Indonesia untuk langkah penyelamatan daerah rawan bencana
seperti Aceh.

buletin tata ruang | September - Oktober 2011

Bangunan Penyelamat

Escape Building Aceh Jaya - Calang

Gedung TDMRC Kota Banda Aceh – Gampong Pie

Selain menyebarluaskan informasi mengenai kawasan rawan bencana dan
penyusunan RTRW yang berbasis kebencanaan, Pemda bersama stakeholder
terkait juga telah mendirikan prasarana berupa bangungan pelindung dari
gelombang tsunami dan gempa yang dikenal dengan sebutan escape building
(gedung penyelamatan) yang dapat dijadikan sebagai bangunan pelindung dan
tempat evakuasi jika terjadi bencana.
Saat ini terdapat 11 escape building berkualitas yang dibangun dengan konstruksi
tahan gempa sampai dengan kekuatan 9,0 skala Richter. Bangunan dibuat
berketinggian 18 meter agar tidak dijangkau gelombang tsunami dan terdapat
sudut yang berupa pilar besar pelindung untuk melindungi korban dari hempasan
ombak tsunami. Satu escape building ini dapat menampung sekitar 500 pengungsi.
Escape building ini tidak hanya dipergunakan jika terjadi bencana saja, akan tetapi
kesehariannya gedung ini juga berfungsi sebagai kantor TDMRC, pusat kegiatan
masyarakat yang menyediakan ruang pertemuan, dan fasilitas olahraga.

Escape Building Kota Banda Aceh - Meuraxa

Bangunan penyelamat tersebut tersebar di Aceh, di antaranya di Deah Glumpang,
Deah Lambung, Deah Teungoh, Aceh Jaya, Aceh Barat, Bireun, Kota Lhoksuemawe,
dan Pidie. Selain itu ada juga Tsunami Memorial Building di Kota Sigli, Museum
Tsunami Aceh di Kota Banda Aceh, dan Gedung Tsunami and Disaster Mitigation
Research Center (TDMRC) yang dikelola oleh Universitas Syiah Kuala, yang sehariharinya berfungsi sebagai perkantoran.

Escape Building Museum Tsunami

Mengutip sambutan Kepala Bappeda Aceh di dalam dokumen ADRM, perubahan
paradigma juga merupakan suatu hal yang tak kalah penting untuk mewujudkan
pembangunan Aceh ke depannya. Penanganan kebencanaan di Aceh yang
cenderung masih bersifat tanggap darurat diharapkan menjadi kesiapsiagaan,
sehingga Aceh menjadi wilayah yang tangguh dengan memahami ancaman yang
ada dan mau berperan aktif berbuat sesuatu sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki untuk mengambil langkah di dalam pengurangan resiko bencana.

Hikmah Tsunami
Walaupun meninggalkan duka yang sangat mendalam,
akan tetapi kejadian tsunami telah menjadikan Aceh
sebagai salah satu kunjungan wisata yang dilirik para calon
wisatawan di nusantara, bahkan mancanegara. Selain tujuan
wisata religi, banyak orang yang ingin mengunjungi Aceh
karena ingin ikut merasakan detik-detik terjadinya tsunami
dengan mengunjungi beberapa situs tsunami. Salah satunya
adalah Kapal Tsunami Aceh yang tersangkut di atap rumah
penduduk – yang pada saat itu menyelamatkan 59 orang
di atasnya. Ada juga PLTD Apung milik PERTAMINA (salah
satu pembangkit listrik untuk Banda Aceh, Aceh Besar, dan
sekitarnya) dengan berat 2.600 ton yang terseret sekitar ±
4 km dari Pelabuhan Ulee Lheue. Kuburan Massal Siron dan
Museum Tsunami pun tidak luput dari kunjungan wisatawan
yang ingin banyak belajar dan mengenang kejadian tsunami
saat itu. Situs-situs tsunami merupakan situs resmi yang
dikelola oleh Pemda, bahkan Pemerintah Pusat seperti Badan
Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang
mengelola Situs Kapal Tsunami Aceh.

Kapal tsunami Aceh

Namun hikmah dan pelajaran terbesar yang diperoleh dari
kejadian Tsunami 26 Desember 2004 lalu adalah bersatu dan
bangkit kembalinya seluruh masyarakat Aceh, walaupun
saat itu masih terjadi konlik Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Selain itu berbagai ahli kebencanaan, khususnya di bidang
tsunami dan gempa bumi, bersatu untuk memberikan
langkah yang tepat untuk Aceh dalam menghadapi
ancaman kebencanaan untuk ke depannya. (mpb)

September - Oktober 2011 | buletin tata ruang

11

topik utama

MitigAsi
bencAnA
tsunAMi
Oleh: Dr. Ir, Subandono Diposantono
Direktur Pesisir dan Pulau-pulau Kecil,
Kementerian Kelautan dan Perikanan

Gempa bumi, tsunami, erosi, banjir, gelombang ekstrem dan kenaikan
paras muka air laut adalah ancaman wilayah pesisir. Tapi tidak berarti hidup
di negara kepulauan pasti menjadi korban bencana.
WILAYAH PESISIR dan pulau-pulau kecil Indonesia selain
menyimpan potensi kekayaan alam juga memiliki potensi
bencana yang besar. Beberapa tahun belakangan ini wilayah
pesisir Indonesia didera bencana gempa bumi dan tsunami,
antara lain terjadi di Garut, Yogyakarta, Sumatera Barat, dan
lain-lain. Setahun yang lalu, Indonesia kembali berduka
dengan terjadinya bencana tsunami di Kepulauan Mentawai,
yang menelan 509 korban jiwa meninggal. Tsunami Jepang
pada 11 Maret yang lalu pun bahkan menimbulkan kerusakan
rumah dan sarana prasarana di kawasan Jayapura, Papua.
Berdasarkan data, tercatat 110 kali tsunami di Indonesia
dalam kurun waktu tahun 1600 sampai dengan September
2011. Dampak yang ditimbulkan dari berbagai kejadian
bencana tersebut tidaklah sederhana mengingat konsentrasi

Negara sudah memiliki
komitmen yang jelas dalam
penanggulangan bencana
dengan dimasukkannya
lingkungan hidup dan
pengelolaan bencana
sebagai salah satu prioritas
pembangunan nasional
dalam RPJMN II.

12

pembangunan yang tinggi, berbagai sumberdaya dan jasa
lingkungan di wilayah pesisir yang berkontribusi penting
bagi penghidupan masyarakat, serta terbatasnya akses
transportasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga dapat
menghambat upaya pencapaian visi Kementerian Kelautan
dan Perikanan yaitu Indonesia sebagai penghasil produk
kelautan dan perikanan terbesar pada tahun 2015 dan
misinya yaitu mensejahterakan kehidupan nelayan. Di sisi
lain, pengembangan minapolitan sebagai upaya percepatan
pengembangan pembangunan kelautan dan perikanan
di sentra-sentra produksi perikanan yang potensial
menjadi tidak optimal manakala tidak dipersiapkan untuk
menghadapi bencana, seperti bencana tsunami.

Kebijakan Kementerian KKP dalam Mitigasi Bencana Tsunami
Mengingat sebagian besar wilayah Indonesia merupakan kawasan pesisir dan
kepulauan, maka pertanyaan penting yang perlu dijawab adalah bagaimana
kebijakan dan komitmen Indonesia dalam mitigasi bencana di wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil. Menjawab pertanyaan ini, kita bisa berlega hati mengingat
negara sudah memiliki komitmen yang jelas dalam penanggulangan bencana,
yaitu dengan dimasukkannya lingkungan hidup dan pengelolaan bencana
sebagai salah satu prioritas pembangunan nasional dalam RPJMN II. Lebih lanjut,
respon penanggulangan bencana di tingkat nasional mulai dilakukan dengan
disahkannya UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, sejalan
dengan komitmen internasional Hyogo framework for Action bagi pengurangan
risiko bencana masyarakat dunia 2005 - 2015.

buletin tata ruang | September - Oktober 2011

Pesisir Rawan Tsunami di Indonesia

Upaya mitigasi bencana
merupakan tanggung
jawab bersama pemerintah,
pemerintah daerah
dan masyarakat.

Selain itu, kebijakan dan program mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil telah diwujudkan dalam Undang-undang No. 27 tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pengaturan lebih rinci tentang
mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil semakin jelas dengan
disahkannya peraturan pelaksanaan UU No. 27 Tahun 2007 berupa PP No 64 Tahun
2010 tentang Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berperan penting dalam mendorong
upaya pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam upaya mitigasi
bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Upaya mitigasi yang dimaksud
antara lain berupa: pemetaan potensi bahaya, kerentanan, dan risiko bencana
di wilayah pesisir; penyusunan rencana strategis, rencana zonasi; rencana
pengelolaan dan rencana aksi pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
yang memuat aspek mitigasi bencana; pembangunan rumah ramah bencana
bagi masyarakat pesisir; konservasi dan rehabilitasi ekosistem pesisir, peningkatan
kapasitas aparatur baik pusat maupun daerah serta masyarakat melalui sosialisasi,
penyadaran dan pelatihan mitigasi bencana.

Upaya mitigasi bencana di wilayah pesisir di pulau-pulau kecil
menjadi salah satu penekanan dalam UU No. 27/2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil (WP-3-K)
yaitu dalam pasal 56 Bab X, yaitu “Dalam menyusun rencana
pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil terpadu, pemerintah dan/atau pemerintah daerah
memasukkan dan melaksanakan bagian yang memuat
mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
sesuai dengan jenis, tingkat, dan wilayahnya”. Lebih lanjut,
sebagai aturan pelaksanaan UU tersebut telah diterbitkan PP
No. 64 tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil.
Upaya ini merupakan tanggung jawab bersama pemerintah,
pemerintah
daerah
dan
masyarakat.
Pemerintah
menyelenggarakan mitigasi bencana di wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil lintas provinsi dan Kawasan
Strategis Nasional (KSN) tertentu. Pemerintah provinsi
menyelenggarakan mitigasi bencana di wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil dalam kewenangan dan lintas kabupaten/
kota. Pemerintah kabupaten/kota menyelenggarakan
mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
dalam kewenangan kabupaten/kota.

RENCANA
AKSI
PENGELOLAAN
(RAPWP-3-K)
Tujuan, Cakupan Kegiatan,
Tatanan Pelaksanaan,
Manfaat, dll

RENCANA
PENGELOLAAN (RPWP-3-K)
Rencana kerja, Pengaturan
koordinasi, Paket terpadu kegiatan,
Public campaign
RENCANA ZONASI (RZWP-3-K)
Alokasi ruang, Pemilihan & penempatan
kegiatan, Alokasi SDA
RENCANA STRATEGIS PENG. WILAYAH PESISIR
(RSWP-3-K)
Isu, VISI, MISI, Target kinerja, Organisasi/lembaga,
Rencana kerja, Koordinasi
Perencanaan pengelolaan WP-3-K wajib memuat Mitigasi Bencana

September - Oktober 2011 | buletin tata ruang

13

topik utama
Greenbelt, Salah Satu Upaya Mitigasi Bencana Tsunami
Sebagian wilayah pesisir Indonesia yang rawan tsunami mulai dari pantai barat
Sumatera, pantai selatan Jawa, pantai selatan Nusa Tenggara dan sebagian pantai
utara Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, sebagian Sulawesi, dan Papua memiliki
pantai yang didominasi oleh pasir dengan energi gelombang laut yang cukup tinggi.
Kondisi ini kurang cocok ditanami mangrove (Diposaptono S., 2008). Padahal hutan
mangrove merupakan greenbelt (sabuk pantai) yang menjadi benteng pertahanan
wilayah pesisir dari gelombang pasang, tsunami, atau ancaman lain dari arah laut.
Peran atau fungsi sabuk pantai dalam mereduksi tsunami dapat disimpulkan sebagai
berikut: (Tanaka [2007]; Shuto [1987]) yaitu : 1. Sebagai perangkap, yaitu untuk
menghentikan kayu yang hanyut (pohon tumbang, dll.), reruntuhan (rumah yang
hancur, dll.) dan puing lainnya (perahu, dll); 2. Sebagai peredam energi tsunami,
yaitu efek untuk mengurangi kecepatan aliran air, tekanan aliran, dan kedalaman
genangan air; 3. Sebagai pegangan, yaitu untuk menjadi sarana penyelamatan diri
bagi orang-orang yang tersapu oleh tsunami dengan cara berpengangan pada
cabang-cabang pohon; 4. Sebagai sarana melarikan diri, dengan cara memanjat
pohon dari tanah atau dari suatu bangunan; 5. Sebagai pembentuk gumuk pasir,
yaitu untuk mengumpulkan pasir yang tertiup angin dan membentuk gumuk/
bukit, yang bertindak sebagai penghalang alami terhadap tsunami.

Kerusakan akibat tsunami di pesisir

Hutan mangrove
merupakan greenbelt
yang menjadi
benteng pertahanan
dari gelombang
pasang, tsunami atau
ancaman lain.

Contoh Greenbelt di lahan reklamasi untuk meredam tsunami

Sayangnya, kajian aspek teknis terhadap fungsi dan peran
vegetasi pantai sebagai pelindung daerah pantai masih
tergolong sangat kurang dilakukan di Indonesia yang
diketahui sebagai salah satu negara yang pernah memiliki
hutan pantai terbesar kedua di dunia (Diposaptono S., 2008).
Sesungguhnya, pantai-pantai yang kurang cocok ditanami
mangrove tetap bisa memiliki sabuk pantai. Beberapa wilayah
pantainya lebih cocok untuk vegetasi non mangrove, seperti
cemara, kelapa, ketapang, waru laut, dan lain sebagainya.
Dengan konigurasi vegetasi dan ketebalan serta kerapatan
tertentu, sabuk pantai yang terbentuk akan bermanfaat bagi
lingkungan dan masyarakat.
Penelitian lebih lanjut terhadap perilaku berbagai jenis pohon
pantai dalam mitigasi bencana tsunami masih dibutuhkan.
Namun sumber pengetahuan yang menjelaskan kinerja
sabuk pantai dalam menghadapi gelombang tsunami saat
ini sebagian besar didasarkan pada hasil eksperimen empiris
dan laboratorium. Jika didukung penyelidikan lapangan

14

buletin tata ruang | September - Oktober 2011

pasca bencana tsunami, tentu pengetahuan yang ada saat
ini dapat digunakan sebagai panduan aplikasi sabuk pantai
sebagai bagian dari upaya mitigasi bencana tsunami.
Saat ini Kementerian Kelautan dan Perikanan, berdasarkan
kondisi faktual yang terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil, menyusun Pedoman Pengelolaan Sabuk Pantai untuk
Mitigasi Tsunami, untuk memberikan panduan mengenai
perencanaan, teknis penanaman, serta monitoring sabuk
pantai untuk mitigasi bencana tsunami sesuai dengan
pengetahuan yang tersedia saat ini.
Yang juga penting dalam hal konservasi sabuk pantai ini
adalah peran masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil dalam menjaga lingkungan, memelihara keseimbangan,
keserasian, keselarasan, dan kelestarian fungsi lingkungan
hidup dan memberikan informasi jika terjadi bahaya dan/
atau perusakan lingkungan di wilayah pesisir dan pulaupulau kecil.

Mempertimbangkan
Faktor-faktor
geologi dalam
Oleh: Sari Bahagiarti Kusumayudha
Wakil Rektor Bidang Akademik dan
Kemahasiswaan UPN “Veteran” Jogjakarta

Hampir tak ada wilayah
di Indonesia yang bebas
dari ancaman bencana.
Maka faktor geologi
sudah selayaknya menjadi
pertimbangan penting
dalam penyusunan
rencana tata ruang.

Penyusunan Rencana
Tata Ruang Wilayah

SELAMA SEPULUH TAHUN TERAKHIR, berbagai bencana alam terjadi di Indonesia.
Mulai dari gempa 7,2 SR di Aceh dan Sumatra Utara yang diikuti tsunami pada
26 Desember 2004, gempa 6,2 SR di SelatanYogyakarta dan Klaten, 25 Mei 2006,
letusan Merapi 14 Juni 2006, gempa dan tsunami 17 Juni di Pangandaran Jawa
Barat, banjir di Wasior Papua, serta letusan Merapi 26 Oktober dan 5 November
2010. Jumlah korban dari semua bencana tersebut mencapai ratusan ribu jiwa
manusia, belum lagi kerusakan infra struktur dan harta benda lainnya.
Yang baru-baru ini terjadi adalah guncangan gempa berkekuatan 6,8 Skala
Richter (SR), di Nusa Dua, Bali pada Kamis, 13 Oktober 2011 lalu. Masyarakat Bali
yang selama ini tenang pun heboh. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh wilayah
Indonesia harus waspada dan siaga menghadapi bencana yang sewaktu-waktu
tiba. Karena tak dapat dipungkiri, sebagian besar tempat di Indonesia selalu
terancam bencana alam seperti gempa, letusan gunungapi, tanah longsor, dan
banjir. Hal ini merupakan dampak dari kondisi geologis dan tectonic setting, yang
membangun Kepulauan Nusantara.

Tatanan Tektonik Indonesia
Bumi itu dinamis, dengan proses-proses internal dan eksternal
yang kompleks. Proses-proses internal bertanggung jawab
atas bergeraknya lempeng-lempeng besar litosfera. Interaksi
antar lempeng-lempeng ini membangkitkan tekanan
internal yang dapat mengakibatkan deformasi batuan,
menghasilkan gempa, kegiatan gunung berapi, dan gerakangerakan tektonik secara perlahan (creep) sepanjang jalur-jalur
sesar (patahan). Proses-proses ini memicu berbagai kejadian
eksternal seperti tanah longsor, aliran lumpur, dan tsunami.
Menurut teori tektonik lempeng, lapisan kulit bumi yang terdiri
dari litosfer dan kerak, berbentuk lempengan-lempengan
yang terpecah-pecah, yang mengapung-apung di atas lapisan
cair-liat yang disebut astenosfer. Berdasarkan komposisi dan
berat-jenisnya, lempeng-lempeng litosfer dapat dibedakan
menjadi lempeng benua dan lempeng samudra. Lempeng
benua disusun terutama oleh unsur-unsur Si (silikon) dan Al
(aluminium), yang pada umumnya berketebalan 30 - 70 km
dengan berat jenis + 2,6- 2,7. Sedangkan lempeng samudra
tersusun oleh unrus-unsur Si dan Mg (magnesium), biasanya
tipis (+ 8 km) dengan berat jenis + 3 (Zumberge & Nelson,
1976). Potongan-potongan lempeng ini bergerak, ada yang

saling menjauh, ada yang saling bertemu dan bertumbukan,
serta ada yang saling bergeseran.
Bila dua lempeng saling bertumbukan, maka gejala-gejala
geologi yang ditimbulkan adalah vulkanisme (pembentukan
gunung-api),
pembentukan
pegunungan
lipatan,
pengangkatan, dan persesaran. Bila dua lempeng saling
menjauh, akan terjadi pembentukan palung, atau pembentukan
pematang tengah samudra. Pada pematang tengah samudra,
dierupsikan magma secara terus-menerus dari astenosfer ke
permukaan, yang kemudian membentuk morfologi seperti
“zebra cross” di tengah-tengah samudra. Bila dua lempeng
saling bergeseran akan terbentuk sesar transformal.
Kepulauan Indonesia terbentuk akibat pertemuan antara
Lempeng Benua Eurasia (Eropa-Asia), Lempeng Hindia Australia, dan Lempeng Samudra Pasiik. Lempeng Hindia
- Australia mendesak Lempeng Eurasia dari arah selatan, dan
Lempeng Pasiik mendesak dari arah timur. Implikasi pertemuan
lempeng-lepeng ini di Indonesia adalah terbentuknya sirkumsirkum gunungapi aktif, jalur-jalur pegunungan lipatan, sesarsesar aktif, dan zona-zona gempa tektonik.

September - Oktober 2011 | buletin tata ruang

15

topik utama

Ketersediaan air