Tipe & Size (, 220K)

SEJAK BERLAKUNYA UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
khususnya pasal 78, hampir semua provinsi di luar Pulau Jawa, Bali, dan Nusa
Tenggara mengajukan usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan
dalam revisi RTRWP kepada Kementerian Kehutanan. Berdasarkan UU No. 26
Pasal 78 ayat 4.b, ditegaskan ¬bahwa dalam waktu dua tahun sejak
diberlakukannya UU tersebut semua peraturan daerah provinsi tentang rencana
tata ruang wilayah provinsi telah rampung disusun dan disesuaikan. Namun
hingga kini dari 22 provinsi yang mengusulkan perubahan kawasan hutan dalam
revisi RTRWP, 15 provinsi diantaranya masih dalam proses pengkajian oleh Tim
Terpadu yang dibentuk Kementerian Kehutanan. Penelitian terpadu merupakan
mandat UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya Pasal 19 ayat (1),
yaitu: “Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh
Pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu.” Sedangkan Pasal
19 ayat (2) mengamanatkan bahwa, “Perubahan peruntukan kawasan hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berdampak penting dan cakupan
yang luas serta bernilai strategis, ditetapkan oleh Pemerintah dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” Dua landasan hukum pokok inilah yang
melandasi mekanisme penyelesaian substansi kehutanan dalam revisi RTRWP,
di samping PP Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan
dan Fungsi Kawasan Hutan, dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
36/Menhut-II/2010 tentang Tim Terpadu dalam Rangka Penelitian Perubahan

Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.
Belum optimalnya proses penyelesaian substansi kehutanan dalam revisi
RTRWP tidak semata-mata disebabkan oleh jangka waktu proses penelitian
terpadu, tetapi ada beberapa faktor lain yang turut mempengaruhi seperti: (1)
Usulan perubahan kawasan hutan provinsi yang terlambat diajukan; (2) Usulan

perubahan kawasan hutan dengan luasan cukup besar yang mengakomodir
keterlanjuran perizinan yang bermuatan pelanggaran kawasan hutan; (3) Usulan
dilakukan secara berulang-ulang meskipun bersifat menambah usulan-usulan
sebelumnya; (4) Terbatasnya data dan informasi yang tersedia yang diperlukan
dalam kajian berupa data biofisik/ekologi, sosial, ekonomi, budaya, hukum, dan
kelembagaan pada setiap lokasi (poligon) kawasan hutan yang diusulkan
perubahannya; (5) Dukungan yang belum optimal untuk menunjang percepatan
proses-proses kajian terpadu oleh pengusul sesuai ketentuan yang ada; dan (6)
Adanya rekomendasi perubahan peruntukan kawasan hutan yang diperkirakan
akan menimbulkan dampak penting dan cakupan luas serta bernilai strategis
(DPCLS) sehingga harus dilakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)
dan memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk
penetapannya.


Sedangkan perubahan peruntukan non-DPCLS dan perubahan fungsi kawasan
hutan provinsi dapat ditetapkan tanpa melalui persetujuan legislatif. Secara
singkat alur kajian terpadu perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan
dalam revisi RTRWP sebagaimana gambar berikut.
Perkembangan Penelitian Terpadu Perubahan Peruntukan dan Fungsi
Kawasan Hutan dalam Revisi RTRWP
Usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dalam revisi RTRWP
yang disampaikan gubernur dan telah diekspos di Kementerian Kehutanan sejak
diberlakukannya UU No. 26 Tahun 2007 bervariasi, dan tidak diajukan pada

waktu yang bersamaan. Usulan perubahan kawasan hutan yang disampaikan
pada tahun 2007 sebanyak satu provinsi (Kalteng); tahun 2008 sebanyak tiga
provinsi (Kalsel, Kalbar, Kaltim); tahun 2009 sebanyak tujuh provinsi (Sumut,
Riau, Kepri, Jambi, Babel, Sultra, Gorontalo), tahun 2010 sebanyak delapan
provinsi (Aceh, Bengkulu, Sumbar, Sulut, Sulteng, Sulbar, Maluku, Papua), dan
tahun 2011 sebanyak tiga provinsi (Sumsel, Malut, dan Papua Barat). Sebanyak
11 provinsi tidak mengusulkan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan
dalam revisi RTRWP.
Dalam proses penelitian terpadu, dilakukan beberapa tahap kegiatan sebagai
standar proses yaitu: (1) Pemutakhiran (updating) peta penunjukan kawasan

hutan; (2) Identifikasi gap (overlay usulan perubahan dengan peta penunjukan
updated); (3) Penentuan kriteria evaluasi perubahan peruntukan dan fungsi
kawasan hutan; (4) Analisis evaluasi perubahan peruntukan dan fungsi kawasan
hutan; (5) Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS); (6) Konsultasi publik dan
uji konsistensi hasil penelitian terpadu terhadap kebijakan pemerintah (pusat dan
daerah); (7) Finalisasi rekomendasi akhir dan penyusunan laporan untuk
pertimbangan persetujuan substansi kehutanan.

Sampai saat ini, dari 33 provinsi di Indonesia, masih 15 provinsi (45%) yang
sedang diproses penyelesaian persetujuan substansi kehutanannya melalui
mekanisme penelitian terpadu. Dari 22 provinsi, tujuh di antaranya telah
melewati proses penelitian terpadu, dimana dua provinsi (Kalteng dan Sultra)
masih menunggu proses persetujuan DPR RI atas perubahan peruntukan
DPCLS. Berikut ini disajikan rekapitulasi progres persetujuan substansi
kehutanan dalam revisi RTRWP sampai dengan Desember 2011. Sampai saat
ini, dari 33 provinsi di Indonesia, masih 15 provinsi (45%) yang sedang diproses
penyelesaian persetujuan substansi kehutanannya melalui mekanisme penelitian

terpadu. Dari 22 provinsi, tujuh di antaranya telah melewati proses penelitian
terpadu, dimana dua provinsi (Kalteng dan Sultra) masih menunggu proses

persetujuan DPR RI atas perubahan peruntukan DPCLS. Berikut ini disajikan
rekapitulasi progres persetujuan substansi kehutanan dalam revisi RTRWP
sampai dengan Desember 2011.
Pending Zone/Holding Zone sebagai
upaya percepatan persetujuan substansi
kehutanan dalam revisi RTRWP
Beragam upaya telah dilakukan Kementerian
Kehutanan untuk memberikan percepatan
penyelesaian
persetujuan
substansi
kehutanan dalam revisi RTRWP, antara lain
dengan
melakukan
sosialisasi
proses
konsultasi persetujuan substansi kehutanan,
koordinasi percepatan dan harmonisasi
kriteria usulan perubahan kawasan hutan,
serta

mempersingkat
tahapan
proses
penelitian terpadu. Proses percepatan juga
dilakukan melalui pembentukan Tim Teknis
yang membantu Tim Terpadu untuk
menghimpun data teknis dan memproses
setiap tahap kajian melalui Sistem Informasi Geografis (SIG). Namun,
harmonisasi antara keinginan dan kebutuhan perubahan kawasan hutan yang
diusulkan dengan kriteria kajian yang dibangun terkadang tidak bisa diselesaikan
dalam waktu singkat, termasuk adanya perubahan peruntukan kawasan hutan
menjadi Areal Penggunaan Lain (APL) yang termasuk DPCLS.
Persetujuan substansi kehutanan sangat diharapkan dalam proses penetapan
Peraturan Daerah (Perda) RTRWP mengingat posisinya yang strategis akan
menjadi acuan pemanfaatan ruang pembangunan oleh semua sektor karena
menjadi legitimasi dari sisi aturan manapun. Namun provinsi yang kajian
terpadunya telah selesai tetapi masih terdapat perubahan peruntukan kawasan
hutan DPCLS, atau yang hasil kajian terpadunya belum sesuai dengan daerah,
cenderung menyisakan masalah, meskipun luasnya relatif kecil.Hambatan dan
kendala waktu penyelesaian substansi kehutanan ini telah menjadi bahasan

hangat dalam forum BKPRN (Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional).
Bahkan pada Rakornas BKPRN bulan Desember 2011 disepakati perlunya
terobosan-terobosan yang dapat mempercepat penetapan Perda Tata Ruang
Provinsi, khususnya bagi provinsi yang sudah mendapatkan persetujuan
substansi teknis dari Kementerian PU.Tetapi untuk sebagian wilayah provinsi
yang status kawasan hutannya belum dapat dipastikan waktu penyelesaiannya,
maka Perda-nya dapat ditetapkan dengan melokalisir kawasan hutan dengan
fungsi sebelumnya yang ditetapkan sebagai pending zone/holding zone. Untuk

itu diperlukan adanya pedoman atau acuan yang dapat digunakan dan menjamin
kawasan hutan yang ditangguhkan statusnya dalam Perda RTRWP.
Menyikapi adanya inisiatif perlunya pending zone/holding zone untuk percepatan
penetapan Perda RTRW maka perlu dilakukan penegasan adanya pedoman
terkait dengan lokasi/areal, dan arahan tindak lanjut mekanisme pending zone
dalam penetapan Perda RTRWP dengan muatan pokok di antaranya sebagai
berikut:
1. Areal pending zone/ holding zone adalah areal/poligon kawasan hutan
yang telah direkomendasi perubahan peruntukannya menjadi APL yang
berdampak penting dan cakupan luas serta bernilai strategis (DPCLS),
tapi saat persetujuan, substansi teknis struktur ruang yang diberikan

masih dalam proses pertimbangan oleh DPR RI (belum ada persetujuan).
2. Bagi provinsi yang rekomendasi perubahan peruntukan kawasan hutan
DPCLS-nya belum memperoleh persetujuan DPR, maka penetapan
perubahan peruntukan kawasan hutan non-DPCLS dan perubahan fungsi
kawasan hutan hasil penelitian terpadu yang telah ditetapkan oleh Menteri
Kehutanan dapat menjadi substansi teknis kehutanan dalam Perda
RTRWP. Areal DPCLS menjadi lokasi pending zone/ holding zone, dan
fungsi areal pending zone adalah fungsi kawasan hutan awal (sebelum
rekomendasi).
3. Bagi provinsi yang telah memperoleh persetujuan DPR atas rekomendasi
perubahan peruntukan kawasan hutan DPCLS, maka penetapan
penunjukan kawasan hutan baru dapat menjadi substansi teknis
kehutanan dalam Perda RTRWP.
Maka bisa disimpulkan bahwa penetapan Perda Tata Ruang Wilayah merupakan
kebijakan yang sangat ditunggu semua pihak untuk mencapai optimalisasi
pemanfaatan ruang bagi kepentingan pembangunan dan kesejahteraan rakyat
yang berkelanjutan. Untuk itu diperlukan penyelesaian penelitian terpadu
terhadap 15 provinsi yang lebih efektif di samping melakukan koordinasi dan
pemenuhan data dan informasi kawasan hutan yang diperlukan untuk kajian.
Penetapan perubahan kawasan hutan hasil penelitian terpadu, dan penunjukan

kawasan hutan baru harus diusahakan untuk selesai seoptimal mungkin agar
dapat digunakan sebagai persetujuan substansi kehutanan dalam Perda Tata
Ruang.
Mengingat masih ada kawasan-kawasan yang substansi teknis struktur ruangnya
masih belum diputuskan oleh DPR RI, maka diperlukan kebijakan pending
zone/holding zone. Dengan adanya kebijakan pending zone/holding zone maka
penetapan Perda RTRW bisa dipercepat dengan menggunakan penetapan
perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan non-DPCLS. Di sisi lain
kebijakan ini juga mengakomodir kemungkinan perubahan peruntukan kawasan
hutan menjadi APL pada lokasi-lokasi perubahan peruntukan DPCLS yang di
tunda penetapannya. Seperti halnya kebijakan lain, pending zone/holding zone
akan lebih berhasil jika ada kebijakan tertulis yang dikeluarkan menteri terkait.