Unduh IERO | Macroeconomic Dashboard

(1)

INDONESIAN ECONOMIC

REVIEW AND OUTLOOK

No 3/Tahun III/September 2014

Macroeconomic Dashboard Fakultas Ekonomika dan Bisnis

Harapan di Tengah Tantangan


(2)

Kata Pengantar

Selamat membaca Prof. Dr. Sri Adiningsih, M.Sc

Head of Researcher Macroeconomic Dashboard Indonesian Economic Review and Outlook (IERO) adalah buletin ilmiah kuartalan yang membahas gambaran umum terkini perekonomian Indonesia disertai prospeknya di masa mendatang, Buletin ini diterbitkan oleh Macroeconomic Dashboard yang merupakan fasilitas laboratorium ekonomi makro yang dikembangkan Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk sejak tahun 2012. Dalam melihat prospek perekonomian Indonesia, buletin ini menggunakan Konsensus Proyeksi Indikator Makroekonomi dari para akademisi bidang ekonomi dan juga secara khusus mengembangkan Gadjah Mada Leading Economic Indicator (GAMA LEI) sebagai instrumen proyeksi perekonomian yang dikembangkan secara orisinil oleh tim Macroeconomic Dashboard. GAMA LEI yang telah terbukti mampu memprediksikan siklus perekonomian Indonesia secara tepat selama enam kuartal, selalu terus mengalami penyempurnaan pada setiap edisinya agar dapat menjadi alat indikasi siklus perekonomian Indonesia yang semakin dapat dipercaya oleh para penggunanya. Dengan outreach tiap minggunya mencapai lebih kurang seribu orang pembaca per-minggu baik dalam bentuk fisik maupun versi online serta outreach total yang hampir mencapai hingga setengah juta pembaca, IERO pada edisi ini mengangkat tema: “Harapan di Tengah Tantangan dan Peluang Pemerintahan Mendatang”. Tema ini diangkat untuk menangkap harapan besar dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia akan masa depan ekonomi Indonesia yang penuh tantangan terutama dikaitkan dengan menjelangnya kehadiran ASEAN Economic Community 2015 namun di tengah kegentingan tren pertumbuhan ekonomi yang justru menunjukkan perlambatan. Semoga pemerintahan mendatang mampu mengubah momentum untuk menjadikan perekonomian Indonesia kembali kuat dan berkelanjutan.


(3)

Daftar Isi

RINGKASAN EKSEKUTIF ... 1

A. PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN FISKAL

1. Kontraksi pengeluaran pemerintah berdampak buruk pada perekonomian... 3 2. Keuangan Pemerintah masih terus tergerus subsidi... 6 3. Penurunan tingkat kemiskinan belum dibarengi turunnya

tingkat disparitas antardaerah... 9

B. SITUASI MONETER DAN PASAR KEUANGAN

1. Tidak banyak perkembangan pada sektor moneter Indonesia... 11 2. Utang pemerintah Indonesia masih terus meningkat... 18 3. Perbaikan neraca pembayaran belum diikuti perbaikan pada neraca perdagangan... 22

C. GAMA LEI DAN KONSENSUS PROYEKSI EKONOMI

1. GAMA Leading Economic Indicator (GAMA LEI)... 26 2. Konsensus Proyeksi Indikator Makroekonomi... 27

D. PERKEMBANGAN EKONOMI REGIONAL... 30

E. ASEAN: Memasuki ASEAN Economic Community 2015

Di Tengah Bayang-Bayang Tantangan Perekonomian Kawasan 35

F. ISU TERKINI... 42


(4)

Daftar Istilah

AEC ASEAN Economic Community

APBN Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara

APBNP Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara Perubahan ASEAN Association of South East Asian Nations

BBM Bahan Bakar Minyak BI Bank Indonesia BPS Badan Pusat Statistik

bps basis point

c.q. Casu Quo (dalam hal ini) DPR Dewan Perwakilan Rakyat

ECB European Central Bank (Bank Sentral Eropa) EUR Euro

FFR Fed Fund Rate, Suku Bunga Acuan The Fed

fob free on board

FOMC Federal Open Market Committee, Dewan Pengambil Kebijakan Moneter The Fed

GAMA LEI Gadjah Mada Leading Economic Indicator

GST Goods And Service Tax

HDI Human Development Index

IDR Indonesian Rupiah

IHSG Indeks Harga Saham Gabungan IPM Indeks Pembangunan Manusia JPKE Jabatan Perancang Kemajuan Ekonomi

LHS Left Hand Side

LPS Lembaga Penjamin Simpanan Migas Minyak dan Gas Bumi Minerba Mineral dan Batubara MK Mahkamah Konstitusi

MKB Makroekonomika Konsensus Baru m-t-m month-to-month

NKRI Negara Kesatuan Republik Indonesia OJK Otoritas Jasa Keuangan

PDB Produk Domestik Bruto q-t-q quarter-to-quarter

Rasio Gini Alat Ukur Derajat Ketidakmerataan Distribusi Penduduk RHS Right Hand Side

RPJMN Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional SBI Sertifikat Bank Indonesia

SBN Surat Berharga Negara SUN Surat Utang Negara

The Fed The Federal Reserve (Bank Sentral Amerika) UBI Uang Bank Indonesia

UNKRI Uang Negara Kesatuan Republik Indonesia USD Dolar Amerika

UU Undang-Undang y-o-y year-on-year


(5)

RINGKASAN EKSEKUTIF

Tindakan pemerintah melalui penghematan anggaran sebesar IDR 43 triliun berdampak pada mengecilnya kontribusi sektor publik terhadap pertumbuhan ekonomi. Pada kuartal II-2014 terjadi kontraksi konsumsi pemerintah sebesar -0,71% (y-o-y), padahal ekonomi tumbuh sebesar 5,12% (y-o-y). Begitu pula efek multiplier dari Pemilu ternyata tidak sebesar yang diharapkan. Sementara itu dari sisi perdagangan internasional juga terjadi penurunan kinerja ekspor yang salah satunya disebabkan oleh UU Minerba yang membatasi ekspor bahan tambang mentah.

Pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dari asumsi APBNP 2014 berdampak pada penurunan penerimaan pemerintah dari pajak. Kabar buruk rendahnya penerimaan pemerintah hingga saat ini masih diiringi dengan beban subsidi BBM yang terus meningkat. Pertamina sebagai BUMN yang bertanggung jawab dalam distribusi BBM bahkan sempat melakukan operasi pengendalian BBM bersubsidi jenis solar dan premium. Apabila permasalahan subsidi yang tidak tepat sasaran ini tidak segera ditindaklanjuti maka beban fiskal pemerintah ke depan tentu akan makin berat. Perlu diingat bahwa dengan adanya subsidi BBM maka sesungguhnya ada ongkos yang mesti ditanggung (opportunity cost) berupa program-program pembangunan yang tidak terwujud seperti program-program pengembangan infrastruktur dan pengentasan orang miskin. Statistik pada Maret 2014 menunjukkan masih ada 28,28 juta orang miskin, dimana tingkat kemiskinan tertinggi terjadi di luar Pulau Jawa seperti Maluku dan Papua (23,15%), Bali dan Nusa Tenggara (14,42%), dan Sulawesi (11,71%).

Perkembangan dari sisi moneter dan keuangan masih menunjukkan prospek yang positif dimana IHSG masih terus tumbuh begitu pula dengan cadangan devisa yang naik berkat penerbitan Eurobond perdana RI yang oversubscribed hingga 6,7 kali. Kebijakan BI masih tetap konsisten dengan mempertahankan BI rate pada 7,5% meski nilai rupiah yang lemah masih terus berlanjut. Apabila tidak ada perubahan signifikan pada kondisi internal (defisit neraca perdagangan, pertumbuhan ekonomi) maupun kondisi eksternal (ketidakstabilan kawasan, usainya quantitative easing di AS tahun


(6)

depan) maka sepertinya kurs saat ini mungkin merupakan nilai keseimbangan yang baru dan akan bertahan lama. Namun demikian nilai rupiah di dalam negeri (inflasi) masih tetap terjaga pasca-lebaran lalu. Prediksi GAMA LEI menunjukkan kecenderungan penurunan siklus perekonomian (PDB) Indonesia pada kuartal III-2014. Sementara itu hasil konsensus memperkirakan pertumbuhan sebesar 5,22% pada kuartal III-2014 atau 5,68% untuk keseluruhan tahun III-2014. Namun perlu dicatat bahwa relatif suksesnya pelaksanaan Pemilu Presiden lalu seharusnya turut menyumbang optimisme pada perekonomian di masa depan, terutama pasca-pelantikan presiden baru yang rencananya akan dilakukan pada 20 Oktober 2014 yang akan datang.

Pada edisi kali ini Tim Macroeconomic Dashboard menyajikan liputan perdana perkembangan ekonomi regional. Telaah atas pertumbuhan ekonomi di 33 provinsi menunjukkan hanya 12 provinsi yang mengalami ekspansi ekonomi sepanjang kuartal I dan II 2014. UU Minerba kembali menjadi sorotan akibat belum siapnya daerah dalam menyiapkan infrastruktur serta sektor swasta dalam investasi pengolahan hasil tambang (termasuk smelter). Meskipun inflasi di daerah relatif terjaga terutama di Sumatera dan Sulawesi, namun terjadi peningkatan ketimpangan pendapatan terutama di Jawa dan Sulawesi.

Dalam bulan-bulan menjelang Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 kondisi kawasan di ASEAN masih menunjukkan kerapuhan struktur fundamental ekonomi akibat belum terdiversifikasinya struktur perekonomian dan permasalahan di keuangan pemerintah. Sejumlah tantangan yang dihadapi negara-negara ASEAN diantaranya adalah rencana rasionalisasi harga BBM di Indonesia dan Malaysia, rencana penerapan Goods and Service Tax (GST) baru di Malaysia pada tahun 2015, rencana kenaikan Value Added Tax (VAT) sebesar 10% dan gaji pegawai negeri sipil sebesar 8% di Thailand pada tahun 2015, serta stabilitas politik domestik yang masih belum kondusif terutama di Kamboja dan Thailand. Begitu juga potensi pembalikan arus modal akibat rencana kenaikan Fed Funds Rate turut membayangi pasar saham kawasan dan nilai tukar. Meskipun demikian, negara-negara ASEAN-5 (kecuali Indonesia) mampu mencatatkan pertumbuhan ekonomi kuartal II-2014 diatas ekspektasi.


(7)

1. Kontraksi pengeluaran pemerintah berdampak buruk pada perekonomian

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2014 melambat.

Menurut data yang dilansir BPS, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2014 hanya tercatat sebesar 5,12% (y-o-y). Angka tersebut jauh lebih rendah ketimbang pertumbuhan ekonomi pada periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 5,76% (y-o-y). Dalam beberapa kuartal terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia memang menunjukkan tren yang terus melambat, sehingga turut menyulitkan upaya pemerintah untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi tahun 2014 sebesar 5,5% (y-o-y). Hal ini menjadi tantangan yang berat bagi pemerintah mendatang.

A. PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN FISKAL

Gambar 1: Pertumbuhan PDB Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha, 2012 - 2014 (y-o-y, dalam %)

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2014 menyentuh angka terendah selama 3 tahun terakhir

Catatan:

Sektor Primer: Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan; dan Sektor Pertambangan dan Penggalian

Sektor Industri: Sektor Industri Pengolahan; Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih; dan Sektor Konstruksi Sektor Jasa: Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran; Sektor Pengangkutan dan Komunikasi; Sektor Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan; dan Sektor Jasa-jasa


(8)

Dari sisi lapangan usaha, perlambatan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2014 terutama disebabkan oleh penurunan kinerja sektor pertambangan dan penggalian yang mengalami kontraksi sebesar -0,15% (y-o-y).Hal ini tidak lepas dari menurunnya ekspor batubara serta dampak dari pemberlakuan Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba). Sejak diberlakukannya UU Minerba pada 12 Januari 2014 lalu, sektor pertambangan dan penggalian terus mengalami kontraksi (pada kuartal I-2014, Sektor pertambangan dan penggalian juga mengalami kontraksi hingga mencapai -0,26% (y-o-y)). Meskipun begitu, Sektor primer (yang terdiri dari sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan dan sektor pertambangan dan penggalian) mampu tumbuh mencapai 2,13% (y-o-y) pada kuartal II-2014, lebih tinggi dibandingkan kuartal I-2014 yang hanya mencapai 1,93% (y-o-y).

Pertumbuhan sektor primer tersebut ditopang oleh sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan yang tumbuh lebih tinggi pada kuartal II-2014 hingga mencapai 3,39% (y-o-y). Hal ini terkait dengan masa panen raya yang berlangsung pada bulan April hingga bulan Juni 2014. Selanjutnya, pertumbuhan sektor ndustri dan sektor jasa pun turut i

menurun meskipun perlambatan yang terjadi tidak terlalu signifikan. Pada kuartal II-2014, pertumbuhan sektor industri dan sektor jasa masing-masing mencatatkan nilai sebesar 5,37% (y-o-y) dan 6,19% (y-o-y), melambat jika dibandingkan dengan kuartal I-2014 di mana sektor industri dan sektor jasa yang dapat tumbuh masing-masing mencapai 5,44% (y-o-y) dan 6,44% ( y-o-y).

Sementara itu, pada sisi pengeluaran, perlambatan pertumbuhan pada kuartal II-2014 terjadi pada hampir semua sektor. Menurut data BPS,

pertumbuhan ekonomi kuartal II-2014 ditopang oleh konsumsi rumah tangga yang masih tumbuh stabil (4,84%, y-o-y), salah satunya disebabkan oleh pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) yang ikut tercermin dari tumbuhnya industri kertas (6,70%, y-o-y) makanan (11,27%, , y-o-y) dan ,

minuman (2,96%, y-o-y) pada kuartal II-2014. Namun kontribusi Pemilu tersebut tidak terlalu signifikan, mengingat angka pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal II-2014 tidak setinggi kuartal I-2014 yang mencapai 5,41% (y-o-y).


(9)

Perkembangan Ekonomi Makro dan Fiskal

Selanjutnya, perlambatan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2014 juga disebabkan oleh konsumsi pemerintah yang mengalami kontraksi sebesar -0,71% (y-o-y). Hal ini terkait dengan penangguhan penyaluran dana Bantuan Sosial (Bansos) yang diimbau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada April 2014 hingga Pemilu usai serta penghematan belanja kementerian dan lembaga. Selain itu, sektor yang juga ikut mengalami penurunan kinerja pada kuartal II-2014 adalah ekspor neto. Meskipun impor mencatatkan nilai kontraksi hingga mencapai -5,02% (y-o-y) pada kuartal II-2014, tekanan pada kinerja ekspor neto tetap terjadi terutama disebabkan oleh kontraksi pada ekspor yang mencapai -1,04% (y-o-y). Sementara itu, Pemilihan Presiden (Pilpres) ikut memberikan dampak pada investasi di mana para investor masih mencari aman dan melakukan wait and see, sehingga pertumbuhan investasi juga ikut mengalami perlambatan pada kuartal II-2014 menjadi 4,53% (y-o-y) dari kuartal I-2014 yang mencapai 5,41%(y-o-y).

Gambar 2: Pertumbuhan PDB Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Pengeluaran, Tahun 2012 - 2014 (y-o-y, dalam %)

Kontraksi konsumsi pemerintah serta melambatnya konsumsi rumah tangga pada kuartal II-2014 menunjukkan Pemilu belum signifikan dorong pertumbuhan ekonomi


(10)

2. Keuangan Pemerintah masih terus tergerus subsidi

Laporan terbaru realisasi anggaran Kementerian Keuangan menunjukkan, sepanjang kuartal II Januari-Juni 2014, realisasi penyaluran subsidi BBM mencapai IDR 100,7 triliun (43,9% dari pagu anggaran APBNP 2014), melonjak tajam dibanding realisasi periode kuartal I-2014 yang hanya IDR 20,0 triliun. Selain itu pemerintah dan DPR menyepakati bahwa volume kuota BBM bersubsidi dikurangi dari 48 juta kl (kiloliter) menjadi 46 juta kl. Risiko yang harus diterima pemerintah adalah ruang fiskal untuk program pembangunan lainnya menipis. Apabila tidak ada perubahan dalam skema subsidi BBM, maka dikhawatirkan anggaran BBM bersubsidi tidak akan bisa memenuhi kebutuhan BBM sampai akhir tahun.

Penurunan pertumbuhan ekonomi mempengaruhi penerimaan pajak. Pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun pada kuartal II-2014 sebesar 5,12% (y-o-y), lebih rendah dari asumsi APBNP 2014 sebesar 5,5%, sehingga berdampak pada turunnya penerimaan pajak.

Dari total penerimaan APBNP 2014, target penerimaan perpajakan turun IDR 34,3 miliar dari target APBN 2014. Penerimaan pajak dalam negeri ditargetkan mencapai IDR 1.226,2 miliar mengalami penurunan pada APBNP 2014 mencapai IDR 1.189,6 miliar. Penurunan target ini dikarenakan realisasi penerimaan perpajakan tahun 2013 yang tidak mencapai target juga menyebabkan basis perhitungan untuk penerimaaan perpajakan tahun 2014 menjadi lebih rendah, sehingga penerimaan perpajakan dalam APBNP 2014 menjadi lebih rendah. Di sisi lain, penurunan pertumbuhan ekonomi, serta masih lemahnya kinerja ekspor juga menjadi pemicu turunnya

Sumber: Kementrian keuangan (2014)

Tabel 1: Penerimaan Perpajakan dalam Negeri 2013-2014 (IDR miliar)

Target Penerimaan Pajak dari hasil pengesahan APBNP 2014 mengalami penurunan


(11)

penerimaan pajak karena sebagian besar penerimaan pajak berasal dari perusahaan komoditas yang berbasis ekspor.

Proporsi penyerapan APBN per Juli kuartal II-2014 tercatat lebih rendah dibandingkan dengan APBNP 2013 per Juli kuartal II. Pada kuartal II Juli 2014, belanja negara baru mencapai 47,3% sedangkan bila dibandingkan dengan periode yang sama dengan tahun 2013, sudah terealisasi 48,6%. Namun secara nominal, pada realisasi belanja di 2014 lebih tinggi dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya.

Sementara itu, realisasi penerimaan APBNP per kuartal II-2014 lebih tinggi dibandingkan pada APBNP 2013 kuartal II. Penerimaan APBN tercatat mencapai 50,2% dari total target penerimaan negara dalam APBN 2014. Angka ini lebih tinggi dari APBNP 2013 sebesar 49,5%. Hal ini menandakan adanya perbaikan penerimaan pendapatan negara yang cukup baik.

Belanja pemerintah tahun ini dipotong IDR 43 triliun. Kondisi tersebut dinilai belum bisa memacu pertumbuhan ekonomi. Target anggaran awal penghematan belanja yang disepakati, pemotongan anggaran Kementerian dan Lembaga (K/L) dari IDR 100 triliun hanya menjadi IDR 43 triliun. Pemotongan belanja diutamakan pada belanja barang serta meminimumkan pemotongan belanja modal. Berdasarkan Surat Menteri Keuangan No. S-3347/MK.02/2014 tentang rincian perubahan belanja K/L APBN-P 2014 ditetapkan perubahan pagu anggaran Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat yang semula IDR 218,3 miliar menjadi IDR 194,3 miliar atau hanya berkurang IDR 24 miliar. Selain itu, anggaran Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan IDR 514,3 miliar dipotong IDR 66 miliar menjadi IDR 448,3 dan anggaran Kementerian Koordinator Perekonomian IDR 324,9 miliar dipotong IDR 33,6 miliar menjadi IDR 291,26 miliar.

Tabel 2: Realisasi Belanja APBNP 2014 Juli 2013:Q2 – Juli 2014:Q2

Proporsi realisasi belanja APBNP 2014:Q2 menurun, namun pencapaian penerimaan APBNP 2014:Q2 meningkat

Sumber: Kementrian Keuangan, I-account (diolah, 2014)


(12)

Sejumlah asumsi makroekonomi Indonesia mengalami perubahan dalam APBNP 2014.Pada 18 Juni 2014 disepakati Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2014 , beberapa asumsi ekonomi makro mengalami perubahan. Pada nilai tukar yang disetujui oleh DPR sebesar IDR 11.600 yang sebelumnya sebesar IDR 10.500. Pelemahan nilai tukar ini berpotensi membengkak pada belanja negara khususnya anggaran subsidi listrik dan BBM.

Pemerintah sudah mengajukan RAPBN 2015 yang sekarang tengah didiskusikan dengan DPR. Penerimaan negara dalam RAPBN 2015 direncanakan mencapai IDR 1.762,3 triliun, sedangkan belanja negara direncanakan mencapai IDR 2.019,9 triliun. Sehingga, dalam RAPBN 2015 terdapat defisit anggaran sebesar IDR 257,3 triliun atau 2,32% terhadap PDB. Sementara itu, besarnya subsidi energi dengan total nilai IDR 363 triliun

telah membuat ruang fiskal menjadi terbatas. Beberapa asumsi makro pada RAPBN 2015 dinilai optimis ketika dikaitkan dengan kondisi ekonomi saat ini. Selain itu fiscal space yang sempit membuat pemerintah baru nanti akan

sulit untuk mengalokasikan dana untuk mewujudkan visi misi yang dijanjikan selama masa kampanye.

Tahun 2015 pemerintah harus bekerja keras untuk mendapatkan ruang fiskal untuk membiayai realisasi visi misinya. Dalam APBN 2015 telah ditetapkan defisit anggaran sebesar IDR 257,4 triliun (2,32% dari PDB), lebih besar dibandingkan APBN-P 2014 yaitu IDR 241,3 triliun (2,4% dari PDB). Rencana belanja negara mengalami kenaikan dari IDR 1.635,5 triliun pada APBN-P 2014 sampai pada RAPBN 2015 yaitu IDR 1.762,3 triliun.

Tabel 3: Perbandingan Asumsi Makro dalam APBN 2014, APBN-P 2014 dan RAPBN 2015

Perekonomian yang kurang stabil akan mempengaruhi pencapaian asumsi indikator makro RAPBN 2015


(13)

Namun demikian, semua pos sudah dianggarkan oleh pemerintah sekarang. Apalagi belanja pemerintah pusat juga mengalami kenaikan 7,3% sedangkan transfer ke daerah jumlahnya bertambah 7,8% dari APBN-P 2014. Sehingga pemerintah baru akan kesulitan untuk membiayai program atau proyek untuk melaksanakan visi misinya jika tidak ada pengendalian pada pos-pos pendapatan maupun belanja negara, termasuk pengendalian atas

subsidi energi yang menyerap 18% dari belanja pemerintah.

3. Penurunan tingkat kemiskinan belum dibarengi turunnya tingkat disparitas antardaerah

Jumlah penduduk miskin pada Maret 2014 turun tipis jika dibandingkan dengan September 2013. Jumlah penduduk miskin pada Maret 2014 mencapai 28,28 juta orang atau sebesar 11,25% dari total jumlah penduduk. Berdasarkan data yang dilansir BPS, sejumlah faktor terkait dengan penurunan jumlah penduduk miskin pada Maret 2014 antara lain tekanan inflasi yang cenderung rendah, harga eceran beberapa komoditas Tabel 4: Defisit Anggaran dalam APBNP 2014 DAN RAPBN 2015 (IDR Triliun)

Target defisit anggaran RAPBN 2015 2,32%

Sumber: BPS dan CEIC (2014)

Tabel 5: Perkembangan Kemiskinan dan Ketimpangan di Indonesia 2011 - 2014

Angka kemiskinan di Indonesia membaik

Sumber: BPS dan CEIC (2014)


(14)

bahan pokok yang menurun—seperti daging ayam ras, gula pasir, cabai merah dan telur ayam ras—serta perbaikan penghasilan petani di mana terdapat kenaikan upah buruh tani sebesar 4,52 % selama periode September 2013 hingga Maret 2014.

Meskipun begitu, disparitas antarprovinsi masih kian tinggi. Menurut publikasi BPS, secara berurutan, jumlah persentase penduduk miskin terbesar ada di Pulau Maluku dan Papua (23,15%), Bali dan Nusa Tenggara (14,42%), Sulawesi (11,71%), Sumatera (11,21%), Jawa (10,83%) dan Kalimantan (6,57%). Tidak hanya itu, sebagian besar penduduk miskin juga masih terkonsentrasi di pedesaan. Tercatat, jumlah penduduk miskin pada Maret 2014 di daerah perdesaan sebanyak 17,77 juta orang sementara di daerah perkotaan hanya 10,51 juta orang.


(15)

1. Tidak banyak perkembangan pada sektor moneter Indonesia

Pada penutupan 29 Agustus 2014, pasar saham Indonesia (IHSG) masih menunjukkan tren positif meski melandai. Meski naik tipis (0,94%) dari bulan sebelumnya, IHSG berada pada level 5.136 pada Agustus 2014. Selain itu, IHSG memulai babak baru dengan benchmark level harga di atas 5.000 poin. Bahkan, pada 21 Juli 2014 IHSG ditutup pada level 5.206, level tertinggi IHSG, bertepatan dengan pengumuman hasil pemilu presiden 2014. Meski begitu, pada akhir Juni 2014 IHSG sempat ditutup melemah -0.31% dibanding bulan sebelumnya. Selain dikarenakan likuiditas ketat, kondisi tersebut dapat menjadi indikasi dampak strategi “wait and see“ investor yang masih berlanjut. Diharapkan, hal ini akan segera berakhir seiring dengan proses pemilu yang relatif aman dan optimisme pasar menyambut pemerintahan baru. Sementara itu, pada kuartal II-2014 investor asing membukukan pembelian neto sebesar IDR 19,5 triliun, meski angka tersebut masih lebih rendah jika dibandingkan pembelian neto investor asing kuartal I-2014 yang tercatat IDR 24,62 triliun. Lebih lanjut, indeks syariah

B. SITUASI MONETER DAN PASAR KEUANGAN

Gambar 3: Pergerakan IHSG dan Indeks Imbal Hasil SUN Tenor 10 Tahun, Agustus 2011 – Agustus 2014 (%)

IHSG tumbuh moderat, yield SUN kembali naik


(16)

menyumbang 60% dari kinerja tingkat kapitalisasi total IHSG yang sebesar IDR 5.200 triliun triliun (y-t-d) pada 27 Agustus 2014.

Di sisi lain, pasar obligasi mencatat terjadi kenaikan imbal hasil obligasi (yield) SUN pada akhir Agustus 2014.Yield SUN naik sebesar 11 bps menjadi 8,28% dibanding bulan sebelumnya. Pada akhir Juli 2014, yield SUN tercatat di level 8,16% sedangkan pada akhir Juni tercatat di level 8,35%. Fluktuasi tersebut terjadi karena investor masih meraba-raba kondisi perekonomian kedepannya terkait pemilu presiden, meski tingkat harga dapat terkendali dengan baik. Sementara itu, pembelian neto investor asing pada SBN tercatat IDR 42,68 triliun pada kuartal II-2014 yang meningkat dari kuartal I-2014 dengan nilai IDR 37,08 triliun.

Kurs rupiah tercatat melemah. Pada akhir Agustus 2014, nilai kurs mencapapai IDR 11.717 per USD, melemah 1,09% dibandingkan bulan Juli 2014 yang sempat menguat 3,16% ke level IDR 11.591 per USD dibanding bulan sebelumnya. Pelemahan tersebut masih terkait dengan berbagai isu baik internal maupun eksternal Indonesia. Dari sisi internal, para pemegang dolar masih menanti perkembangan politik terutama menjelang penentuan koalisi (Juni 2014) dan pengumuman hasil pemilu (Juli 2014). Selain itu, defisit transaksi berjalan akibat defisit neraca perdagangan barang dan

Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2014)

Gambar 4: Cadangan Devisa Indonesia (miliar USD) dan Perkembangan Nilai Tukar (IDR/USD), Agustus 2011 – Agustus 2014

Cadangan Devisa Tercatat USD 111,2 miliar, rupiah masih di atas level 11.500 per dolar pada Agustus 2014


(17)

defisit neraca perdagangan jasa yang berlanjut serta pola musiman pembayaran utang luar negeri dan dividen di kuartal II juga menjadi sentiment negatif di pasar keuangan. Sedangkan dari sisi eksternal, isu geopolitik di Irak dan Ukraina menyebabkan pasar dunia berspekulasi harga minyak sehingga investor menahan dolar. Meski begitu, hasil pemilu presiden yang sesuai ekspektasi pasar membuat rupiah sempat menguat di akhir Juli 2014.

Untuk dapat mengakhiri pelemahan rupiah, pemerintah sebaiknya dapat tegas mengatur impor agar dapat mengendalikan pembayaran eksternal jangka pendek dan mengatur transaksi dalam valuta asing. Sejauh ini, transaksi berjalan pada kuartal II-2014 masih defisit meski lebih baik dibandingkan kuartal II-2013. Sementara itu, pengaturan transaksi valuta asing di Indonesia mulai diterapkan dengan instruksi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian tentang keharusan penggunaan mata uang rupiah sebagai alat transaksi di pelabuhan dimulai pada September 2014. Hal ini sebagai cara pengendalian kurs serta menegakkan amanat UU No. 7 tahun 2011 tentang Mata Uang.

Cadangan devisa tetap konsisten dengan tren positif. Pada Agustus 2014, cadangan devisa berada di posisi USD 111,2 miliar, meningkat tipis USD 0,68 miliar. Angka tersebut menjadi angka tertinggi sepanjang 1,5 tahun terakhir, meski belum dapat menyamai pencapaian Agustus 2011 dengan rekor USD 124,6 miliar. Sedangkan pada Juli 2014, cadangan devisa menembus angka USD 110,5 miliar meningkat USD 2,8 miliar dari bulan sebelumnya. Kenaikan devisa pada kuartal II-2014 khusus pada Juli 2014, turut didukung positifnya neraca transaksi modal, dan finansial mengiringi penerbitan Eurobond perdana. Penerbitan tersebut terbilang sukses meraih EUR 1 miliar atau USD 1,4 miliar dengan catatan mendapat penawaran ( ) hampir tujuh kali lipat bid (oversubscription), bertepatan dengan pemangkasan suku bunga acuan Bank Sentral Eropa (ECB) dari 0,25% menjadi titik terendah 0,15% pada Juni 2014. Eurobond perdana tersebut mendapat rating yang cukup baik dengan nilai “BBB-“ (Fitch), “BB+” (S&P) dan “Baa3” (Moody's).

Hingga saat laporan ini ditulis, suku bunga penjaminan LPS belum berubah. Suku bunga penjaminan dipertahankan di level 7,75%. LPS nampaknya belum melihat terjadinya kenaikan suku bunga tabungan yang


(18)

signifikan secara agregat. Meski begitu, kondisi moneter Indonesia masih mengalami pengetatan yang ditandai semakin tingginya suku bunga deposito.

Pergerakan suku bunga deposito masih terus menanjak. Pada Juni (kuartal II) 2014, suku bunga deposito berjangka satu bulan berada pada level 8,32%, naik 16 bps dari bulan sebelumnya (8,1%) atau naik 33 bps dari kuartal I (7,99%). Sedangkan pada Juli 2014, suku bunga deposito berjangka satu bulan di level 8,41%, naik 9 bps dari bulan sebelumnya. Angka tersebut jauh berada di atas suku bunga penjaminan LPS. Tingginya suku bunga deposito tersebut menyebabkan suku bunga kredit turut meningkat dan likuiditas perbankan mengetat. Rata-rata suku bunga kredit tertimbang dalam beberapa bulan terakhir sebagai berikut: 12,82% (Juli 2014); 12,76% (Juni 2014); dan 12,75% (Mei 2014). Penyaluran kredit pun melambat dengan pertumbuhan 15% (y-o-y) pada Juli 2014 dari sebelumnya 16,65% (y-o-y) pada Juni 2014 dan 17,4% (y-o-y) pada Mei 2014. Jika diperbandingkan antarkuartal, suku bunga kredit pada kuartal II-2014 meningkat 20 bps dari kuartal I-2014 yang sebesar 12,56% sedangkan

Gambar 5: Perkembangan Tingkat Suku Bunga Penjaminan LPS dan Deposito, 2011 – 2014* (%)

Suku bunga penjaminan tetap, tren kenaikan suku bunga deposito belum berhenti

Catatan:

* = Juli 2014 (deposito berjangka) dan Agustus 2014 (suku bunga penjaminan)


(19)

pertumbuhan kredit melambat dari 19,06% (y-o-y) di kuartal I-2014. Total kredit yang tersalurkan hingga Juli 2014 mencapai IDR 3.516,7 triliun. Belum ada perubahan pada kebijakan moneter Indonesia. Sesuai dengan keputusan Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 11 September 2014 lalu, BI Rate masih dipertahankan pada level 7,5%. Kebijakan tersebut diputuskan setelah melalui pertimbangan dari perkembangan inflasi yang terkendali, pemulihan perekonomian global yang ditopang Amerika Serikat, konsumsi domestik yang tetap baik meski diperkirakan melambat, dan kondisi pasar finansial yang terus positif. Di sisi lain, perekonomian Indonesia masih memiliki resiko antara lain: ketidakpastian dampak ekonomi global yang berkaitan erat dengan keberlajutan tapering off tahun ini disertai kenaikan Fed Fund Rate (FFR) pada 2015 serta pelambatan ekonomi emerging market; penurunan nilai ekspor dikarenakan menurunnya permintaan komoditas sumber daya alam terkait UU Minerba dan pelambatan ekonomi emerging market; dan inflasi domestik yang terdampak dari kemungkinan cuaca buruk akibat perubahan iklim (El Nino) serta rencana kenaikan harga-harga yang diatur pemerintah (tarif batas atas angkutan udara dan dan upaya pengendalian BBM bersubsidi). Sementara itu, defisit transaksi berjalan di kuartal II bertambah akibat pola musiman pembayaran utang luar negeri dan dividen. Meski begitu, defisit tersebut masih lebih baik dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Gambar 6: Perkembangan BI Rate, Agustus 2011 – Agustus 2014 (%)

BI rate belum berubah, sektor moneter masih ketat

Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2014)


(20)

Terkait FFR, ekonom peraih Nobel ekonomi, Joseph Stiglitz memperkirakan tidak akan terjadi kenaikan pada 2014, tetapi pada kuartal II-2015. Lebih lanjut, Stiglitz memperingatkan kemungkinan terjadinya tekanan global pada emerging market akibat kebijakan The Fed tersebut. Untuk itu, Stiglitz menyarankan negara berkembang untuk dapat mengelola cadangan devisa dan neraca transaksi modal dan finansial dengan baik agar bisa bertahan. Pemulihan ekonomi Amerika Serikat membuat quantitative easing akan berakhir pada akhir tahun ini dan kenaikan FFR pada tahun depan. Median survey pada anggota Dewan Pengambil Kebijakan Moneter (FOMC) The Fed menghasilkan perkiraan kenaikan FFR antara 1 hingga 1,25%.

Pergerakan tingkat harga umum melambat selama kuartal II. Inflasi Agustus 2014 tercatat sebesar 3,99% (y-o-y). Jika dilihat dekomposisinya, inflasi inti dapat terkendali dengan besaran 4,49% (y-o-y), inflasi harga bergejolak sebesar 0,48% (y-o-y), dan inflasi harga diatur pemerintah sebesar 6,19% (y-o-y) pada Agustus 2014. Secara month-to-month, inflasi Agustus sebesar 0,47%. Penurunan tingkat harga pada Agustus disebabkan oleh penurunan harga bawang merah, tomat dan bawang putih karena melimpahnya stok. Inflasi Agustus tersebut lebih rendah dari inflasi Juli yang sebesar 4,5% (y-o-y) yang juga lebih rendah dari bulan sebelumnya.

Sumber: BPS dan CEIC (2014)

Gambar 7: Tingkat Inflasi, Agustus 2011 – Agustus 2014 (y-o-y, %)


(21)

Sementara itu, inflasi Juli 2014 dapat ditekan berkat keberhasilan pemerintah melalui instruksi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian untuk memperlancar sistem distribusi barang. Jika dilihat dekomposisinya, inflasi inti sebesar 5,07% (y-o-y), inflasi harga bergejolak sebesar 1,97% ( y-o-y), dan inflasi harga diatur pemerintah sebesar 6,18% (y-o-y) pada Juli 2014. Musim Lebaran usai, harga-harga bahan pangan dan transportasi terkoreksi pada Agustus 2014. Ditilik secara bulanan, inflasi tertinggi pada Agustus terjadi pada kelompok pengeluaran Pendidikan, Rekreasi, dan Olah raga sebesar 1,58% (m-t-m). Sementara itu kelompok barang dengan inflasi terendah terjadi di kelompok pengeluaran untuk Transportasi, Komunikasi, dan Jasa Keuangan sebesar -0,12% (m-t-m). Sedangkan pada Juli 2014, inflasi tertinggi adalah kelompok pengeluaran Makanan yang sebesar 1,94% ( m-t-m). Inflasi bulanan terendah pada Juli 2014 adalah kelompok pengeluaran Kesehatan dengan nilai 0,39% (m-t-m).

Secara umum, kota-kota di Indonesia mengalami inflasi pada kuartal II-2014. Inflasi terjadi di 66 kota dari 82 kota yang disurvei pada Agustus 2014 dan 82 kota pada Juli 2014. Pada Agustus 2014, kota dengan tingkat kenaikan

Tabel 6: Tingkat Inflasi Menurut Kelompok Pengeluaran, 2011 – 2014 (2012=100, m-t-m, %)

Cooling down pasca lebaran, inflasi bulanan Agustus 2014 sebesar 0,47% (m-t-m)

Catatan:

(1) Bahan Makanan; (2) Makanan Olahan, Minuman, Tembakau; (3) Perumahan, Listrik, Gas, dan Bahan Bakar; (4) Sandang; (5) Kesehatan; (6) Pendidikan, Rekreasi, dan Olah Raga; (7) Transportasi, Komunikasi, dan Jasa Keuangan

Sumber: BPS dan CEIC (2014)


(22)

harga tertinggi adalah Kota Tanjung Pandan dengan nilai 1,98% (m-t-m), sedangkan yang terendah adalah Kota Ternate dengan nilai -1,02% (m-t-m). Kemudian pada Juli 2014, kota dengan inflasi tertinggi adalah Kota Bengkulu sebesar 2,92% (m-t-m), sedangkan yang terendah adalah Kota Maumere sebesar 0,03% (m-t-m).

2. Utang pemerintah Indonesia masih terus meningkat

Utang luar negeri Indonesia naik menjadi USD 285 miliar pada Juni 2014. Angka tersebut mengalami kenaikan sebesar 19,24% pada bulan yang sama pada tahun 2013. Sementara itu, secara month-to-month utang luar negeri Indonesia mengalami kenaikan sebesar 0,21% yang disebabkan oleh kenaikan utang luar negeri swasta sebesar 0,76% (m-t-m). Adanya peningkatan utang luar negeri swasta diindikasikan karena ketatnya likuditas dalam negeri sehingga swasta lebih memilih untuk mencari pembiayaan dari luar negeri. Hal yang berbeda justru terjadi pada utang luar negeri pemerintah dan bank sentral yang mengalami penurunan sebesar 0,43% (m-t-m).

Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (diolah, 2014)

Gambar 8: Utang Luar Negeri Indonesia, Juni 2012-Juni 2014 (USD Miliar)

Total utang luar negeri meningkat seiring dengan meningkatnya utang luar negeri swasta, meski utang luar negeri pemerintah dan bank sentral mengalami penurunan


(23)

Utang luar negeri jangka panjang masih menjadi favorit. Juni 2014, utang luar negeri jangka panjang masih didominasi oleh pemerintah dan bank sentral yang mencapai IDR 114 miliar. Namun jumlah tersebut menurun sebesar 1,5% dibandingkan dengan bulan sebelumnya pada tahun 2014. Sedangkan utang luar negeri swasta jangka panjang mengalami peningkatan sebesar 5,3% dibandingkan dengan bulan sebelumnya pada tahun 2014. Sementara itu, utang luar negeri jangka pendek swasta pada Bulan Juni 2014 mengalami kenaikan sebesar 1,5% (m-t-m) sedangkan utang luar negeri jangka pendek pemerintah mengalami kenaikan sebesar 9,17% (m-t-m).

Indonesia masih menjadi daya tarik bagi investor asing. Kepemilikan asing atas obligasi pemerintah mengalami kenaikan menjadi sebesar IDR 1.012 triliun pada Juli 2014. Jumlah tersebut mengalami kenaikan sebesar 78,3% pada bulan yang sama pada tahun 2013 dan mengalami kenaikan sebesar 3,5% dari bulan Juni 2014. Hal yang berbeda justru terjadi pada kepemilikan asing atas SBI di mana secara month-to-month mengalami penurunan sebesar 46,7%. Kepemilikan SBI mengalami peningkatan tajam pada periode Maret 2014 hingga Mei 2014 namun memasuki bulan Juni

Gambar 9: Utang Luar Negeri Indonesia Berdasarkan Jangka Waktu, Juni 12–Juni 14 (USD Miliar)

Pemerintah dan bank sentral masih mendominasi utang luar negeri jangka panjang sedangkan dalam jangka pendek didominasi oleh swasta

Sumber: Bank Indonesia (diolah, 2014)


(24)

2014, kepemilikan asing atas SBI mengalami penurunan yang tajam hingga Juni 2014. Salah satu indikasi penyebab penurunan kepemilikan SBI oleh asing tersebut adalah adanya aksi profit taking yang dilakukan oleh asing sehingga lebih memilih untuk menjual kepemilikan SBI tersebut. Sementara itu, kepemilikan asing atas ekuitas mengalami peningkatan pada Juli 2014 atau sebesar 6,44% secara month-to-month.

Surat berharga negara outstanding pada Agustus 2014 mengalami peningkatan sebesar 1,67% secara month-to-month. Kenaikan tersebut diindikasikan karena terjadinya defisit neraca perdagangan dan juga menurunnya pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2014 sehingga pemerintah terus mengeluarkan surat berharganya guna membiayai belanja pembangunan. Jika dilihat berdasarkan komponennya, terjadi peningkatan pada surat berharga negara outstanding tradable sebesar 2,07% (m-t-m). Sementara itu, surat berharga negara outstanding non-tradable justru mengalami penurunan sebesar 0,66% dibandingkan pada bulan Juli 2014.

Kemampuan Indonesia untuk membayar utang melemah.Debt service ratio Indonesia pada kuartal II-2014 mencapai 48% atau mengalami kenaikan sebesar 4,01% dibandingkan dengan kuartal sebelumnya. Hal tersebut diperkuat oleh rasio utang terhadap ekspor maupun PDB yang

Gambar 10: Kepemilikan Asing atas Surat Berharga di Indonesia, Juli 2012-Juli 2014 (IDR Triliun)

Kepemilikan asing atas SBI mengalami penurunan ketika kepemilikan asing atas obligasi pemerintah dan ekuitas meningkat


(25)

masing-masing mengalami kenaikan sebesar 3,32% dan 4,72% dibandingkan dengan kuartal sebelumnya pada tahun 2014. Peningkatan rasio utang terhadap ekspor mengalami peningkatan disebabkan oleh peningkatan utang yang tidak sebanding dengan peningkatan ekspor.

Gambar 11: Komposisi Surat Berharga Indonesia Juli 2012 – Juli 2014 (IDR Triliun)

Surat Berharga Negara Outstanding mengalami peningkatan

Sumber: DJPU Kementerian Keuangan dan CEIC (2014)

Gambar 12: Indikator Beban Utang Luar Negeri Indonesia, Juni 2012-Juni 2014 (%)

Rasio utang luar negeri Indonesia terhadap ekspor, PDB dan pembayaran utang meningkat

Sumber: Bank Indonesia (diolah, 2014)


(26)

3. Perbaikan neraca pembayaran belum diikuti perbaikan pada neraca perdagangan

Neraca pembayaran Indonesia pada kuartal II-2014 mengalami perbaikan. Surplus neraca pembayaran tumbuh sebesar 107,95% dari kuartal sebelumnya menjadi USD 4,3 miliar. Adapun secara year-on-year, kondisi neraca pembayaran saat ini jauh lebih baik dibanding kondisi di kuartal II-2013 yang tercatat defisit sebesar USD 2,48 miliar. Pada kuartal ini, kenaikan nilai surplus disebabkan oleh peningkatan surplus neraca transaksi modal dan finansial yang melebihi peningkatan defisit pada neraca transaksi berjalan. Surplus neraca transaksi modal dan finansial meningkat USD 1,9 miliar, lebih besar dibandingkan dengan kenaikan defisit neraca transaksi berjalan.

Defisit pada neraca transaksi berjalan membesar di kuartal II-2014. Defisit tersebut naik dari sebesar USD 4,15 miliar di kuartal I-2014 menjadi USD 9,11 miliar. Kenaikan defisit ini disebabkan oleh kinerja neraca perdagangan barang, neraca jasa-jasa, dan neraca pendapatan primer yang memburuk. Dari sisi neraca jasa-jasa, penurunan kinerja terjadi karena didorong oleh meningkatnya penggunaan jasa freight impor dan jasa keuangan asing. Sementara dari sisi neraca pendapatan primer, memburuknya kinerja dipicu oleh meningkatnya kewajiban pembayaran

Gambar 13: Neraca Pembayaran Indonesia 2011:Q2-2014:Q2 (USD Miliar)

Kinerja neraca pembayaran Indonesia membaik


(27)

terhadap investasi asing yang ada di Indonesia, baik dalam bentuk investasi langsung maupun portofolio, yakni naik sebesar USD 1,19 miliar.

Surplus neraca transaksi modal dan finansial meningkat pada kuartal II-2014. Secara persentase surplus meningkat sebesar 89,78% dari sebelumnya surplus USD 7,65 miliar di kuartal I-2014 saat ini mencapai USD ,

14,51 miliar. Kinerja neraca ini meningkat seiring dengan naiknya arus masuk investasi langsung di Indonesia dan terjadinya surplus pada nilai bersih investasi lainnya. Demikian pula bila dilihat secara y-o-y, surplus neraca transaksi modal dan finansial Indonesia juga bertumbuh lebih dari lima puluh persen yakni sebesar 68,23% (surplus pada kuartal II-2013 adalah USD 8,63 miliar).

Setelah sempat surplus selama tiga periode, neraca perdagangan barang kini kembali defisit. Pada dua kuartal terakhir neraca perdagangan barang mengalami surplus yang relatif besar yaitu masing-masing sebanyak USD 4,7 miliar (kuartal IV-2013) dan USD 3,35 miliar (kuartal I-2014). Namun di kuartal II-2014 ini menjadi berbalik defisit sebesar USD 0,47 miliar karena terdapat kontraksi pada surplus neraca nonmigas. Selain itu peningkatan defisit pada neraca migas juga ikut menekan kinerja neraca perdagangan barang Indonesia. Meski demikian kondisi ini sedikit lebih baik dibandingkan dengan kuartal II-2013 yang defisit sebesar USD 0,56 miliar.

Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2014)

Gambar 14: Neraca Perdagangan Barang 2011:Q2-2014:Q2 (USD Miliar)

Neraca perdagangan barang kembali defisit


(28)

Nilai surplus neraca nonmigas pada kuartal II-2014 hanya setengah dari nilai surplus kuartal sebelumnya. Pada kuartal I-2014, nilai surplus neraca nonmigas adalah USD 5,58 miliar sedangkan saat ini surplus telah turun sebanyak USD 3,19 miliar menjadi USD 2,39 miliar (pertumbuhan negatif q-to-q sebesar 57,2%). Penurunan surplus terjadi sebagai akibat adanya kenaikan impor nonmigas (USD 3,74 miliar) yang lebih besar daripada kenaikan ekspor nonmigas (USD 0,55 miliar). Pertumbuhan nilai impor nonmigas secara q-to-q yang terbesar terjadi pada komoditas biji kopi yaitu mencapai 310,06% kemudian diikuti oleh komoditas damar dan getah damar sebesar 306,32%.

Defisit neraca minyak dan gas kembali bertambah di kuartal II-2014. Pada kuartal I-2014 defisit neraca migas adalah sebesar USD 2,75 miliar. Kini defisit bertambah menjadi USD 3,19 miliar atau secara persentase meningkat sebesar 16,08%. Angka peningkatan q-to-q tersebut relatif lebih rendah dibandingkan angka pertumbuhan y-o-y yang mencapai 51,66%. Penambahan defisit terjadi karena terdapat peningkatan nilai impor minyak bumi (USD 0,45 miliar) dan kontraksi pada nilai ekspor gas (USD 0,47 miliar). Meskipun juga terdapat peningkatan volume ekspor minyak mentah dan produk kilang namun hal tersebut belum mampu memperbaiki kinerja neraca migas karena nilai ekspornya lebih rendah dibanding nilai impornya. Pada kuartal II-2014 Indonesia memperoleh ekspor bersih negatif dengan mitra dagang terbesar (Kawasan Asia). Setelah sebelumnya di kuartal I-2014 Indonesia memperoleh surplus perdagangan sebesar USD 1,13 miliar, kini Indonesia mengalami defisit sebesar USD 4,25 miliar dengan Asia. Demikian pula kinerja perdagangan dengan kawasan lain yaitu

Tabel 7: Perkembangan Ekspor-Impor berdasarkan Kawasan tahun 2014 (USD Miliar)

Indonesia mengalami neraca perdagangan negatif dengan kawasan Asia


(29)

Australia-Oseania dan Afrika, Indonesia juga memperoleh ekspor bersih negatif masing-masing sebesar USD 0,16 miliar dan USD 0,67 miliar. Indonesia memperoleh ekspor bersih positif hanya dengan kawasan Amerika (USD 1,15 miliar) dan Eropa (USD 0,64 miliar).

Ekspor Indonesia tumbuh positif di semua kawasan kecuali Afrika. Tercatat ekspor Indonesia ke Afrika turun sebesar 13,86% pada kuartal II-2014 dibanding kuartal sebelumnya. Adapun peningkatan ekspor terbesar terjadi pada perdagangan dengan kawasan Australia-Oseania (4,56%) diikuti oleh perdagangan dengan kawasan Amerika (2,31%). Secara keseluruhan ekspor Indonesia meningkat sebesar 0,59% dari USD 43,94 miliar (Kuartal I-2014) menjadi USD 44,2 miliar (Kuartal II-2014).

Secara q-to-q, terdapat pertumbuhan positif nilai impor Indonesia dengan semua kawasan. Impor dari Afrika meningkat di atas lima puluh persen yaitu sebesar 84,20%. Pertumbuhan kedua terbesar diperoleh barang-barang impor yang berasal dari kawasan Amerika (28,46%). Sementara pertumbuhan impor terendah diperoleh Indonesia dari perdagangan dengan kawasan Eropa (6,9%). Namun demikian posisi importir Indonesia yang terbesar tetap diduduki oleh kawasan Asia yang mencatatkan nilai impor sebesar USD 34,75 miliar di Indonesia pada kuartal ini.


(30)

1. GAMA Leading Economic Indicator (GAMA LEI)

Leading Economic Indicator merupakan salah satu model early warning system untuk memprediksi arah pergerakan ekonomi di masa depan.

GAMA Leading Economic Indicator (GAMA LEI) merupakan model yang dikembangkan oleh Tim Macroeconomic Dashboard FEB UGM. Titik balik serta kenaikan/penurunan garis pada model GAMA LEI digunakan untuk memprediksi arah pergerakan perekonomian Indonesia dalam beberapa waktu kedepan. Analisis GAMA LEI berdasarkan uji kuantitatif dan kualitatif untuk menghasilkan prediksi terbaik.

GAMA LEI disusun dari berbagai macam indikator yang telah melewati uji statistik yang ketat. Kinerja pada variabel seperti investasi, total nilai penjualan mobil, dan konsumsi semen dari sisi ekonomi makro serta market capitalization dan IHSG dari pasar modal cukup berpengaruh pada kondisi perekonomian. Meskipun demikian, patut dicatat bahwa beberapa indikator ekonomi makro lainnya dapat berubah dengan cepat dalam beberapa waktu kedepan.

GAMA LEI mampu memprediksi siklus perekonomian (PDB) Indonesia dengan cukup akurat pada beberapa waktu sebelumnya. Peramalan model GAMA LEI mampu memprediksi arah siklus perekonomian Indonesia selama ini dengan baik. Adanya penurunan kinerja pada beberapa indikator kunci perekonomian Indonesia menyebabkan pertumbuhan ekonomi di 2014:Q2 menurun dibandingkan dengan 2014:Q1. Dalam edisi ini, GAMA LEI akan memprediksi bagaimana perekonomian Indonesia berfluktuasi dalam tahun politik 2014, terutama setelah terpilihnya pemimpin baru nasional.

Keberagaman pola pada pertumbuhan ekonomi Indonesia serta proyeksi siklus perekonomian dalam model GAMA LEI menghasilkan peramalan yang komprehensif. Peramalan siklus bisnis menekankan pada pergerakan siklus perekonomian apakah berada pada fase ekspansi atau kontraksi dalam beberapa waktu ke depan. Siklus GAMA LEI 2014:Q2 berada pada fase ekspansi (berada di atas nilai 100) meskipun mempunyai arah


(31)

menurun. Dalam hal ini pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2014:Q2 secara year-on-year tercatat meningkat, namun siklus PDB yang dihasilkan dalam model tersebut mengalami pergerakan menurun walaupun dalam fase ekspansi.

Hasil prediksi GAMA LEI pada edisi ini menghasilkan adanya kecenderungan penurunan siklus perekonomian (PDB) Indonesia. Model GAMA LEI pada 2014:Q2 menunjukan perubahan arah pergerakan perekonomian yang menurun. Pergerakan GAMA LEI yang menurun menghasilkan prediksi penurunan siklus perekonomian (PDB) Indonesia pada 2014:Q3. Namun demikian, perhelatan politik 2014, terutama setelah terpilihnya presiden dan wakil presiden hasil pemilu bulan Juli yang lalu, seharusnya mampu memberikan harapan dan optimisme bagi perekonomian Indonesia. Sehingga pemerintah baru nantinya diharapkan mampu memanfaatkan momentum dengan menjaga atau bahkan meningkatkan kinerja perekonomian Indonesia.

2. Konsensus Proyeksi Indikator Makroekonomi

Selain memprediksi pergerakan siklus PDB melalui GAMA LEI, tiga indikator makro utama Indonesia (pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan nilai tukar) juga diprediksi melalui survei di internal FEB UGM. Indikator pertumbuhan ekonomi dan nilai tukar bergerak membaik,

Gambar 15: GAMA Leading Economic Indicator

GAMA LEI memprediksikan kecenderungan penurunan siklus perekonomian Indonesia


(32)

sedangkan indikator inflasi bergerak memburuk dari tahun 2014 ke 2015. Konsensus diperoleh berdasarkan expert judgment dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM.

Secara umum, prediksi pertumbuhan PDB riil (y-o-y) kuartal III-2014 bergerak membaik dibandingkan dengan realisasi pertumbuhan PDB riil kuartal II-2014. PDB riil (y-o-y) diprediksi tumbuh sebesar 5,22% ± 0,24% pada kuartal III-2014 dan 5,44% ± 0,51% pada kuartal III-2014. Adapun secara tahunan, prediksi pertumbuhan PDB riil 2014 dan 2015 masing-masing sebesar 5,68 % ± 0,43% dan 5,9% ± 0.6%. Menurut survei yang dilakukan, tiga faktor utama penentu terjadinya kenaikan pertumbuhan PDB riil di tahun 2014 adalah kondisi perekonomian dunia, tingkat investasi domestik dan asing, serta kebijakan pemerintah.

Inflasi Indonesia tahun 2014-2015 diprediksi berada pada kisaran 5 hingga 7 persen. Tahun 2014, hasil prediksi inflasi Indonesia adalah sebesar 6,54% ± 1,89%. Tahun 2015 nilainya bergerak meningkat menjadi 7,09% ± 1,96%. Sementara itu secara kuartalan, inflasi di Indonesia pada kuartal III-2014 dan IV-III-2014 masing-masing sebesar 5,36% ± 1,67% dan 5,81% ± 1,88%. Menurut survei yang dilakukan, tiga faktor utama penentu terjadinya

Tabel 8: Estimasi Pertumbuhan PDB Riil (y-o-y, dalam %)

Sumber: Data Primer (diolah , 2014)

Tabel 9: Estimasi Inflasi (y-o-y, dalam %)

Sumber: Data Primer (diolah , 2014)

Sumber: Data Primer (diolah , 2014)


(33)

kenaikan inflasi di tahun 2014 adalah kondisi nilai kurs rupiah, faktor musiman, dan harga barang yang diatur pemerintah.

Nilai tukar rupiah diprediksi mulai membaik dan stabil pada tahun 2014, walaupun masih di sekitar nilai Rp/USD 11.000. Pada kuartal III-2014 nilai tukar rupiah diperkirakan sebesar IDR/USD 11.545 ± IDR/USD 271. Di kuartal berikutnya, nilai tukar rupiah sedikit menguat menjadi IDR/USD 11.514 ± IDR/USD 365. Sementara itu secara tahunan, nilai tukar rupiah tahun 2014 adalah IDR/USD 11.513 ± IDR/USD 368 dan tahun 2015 menguat menjadi IDR/USD 11.275 ± IDR/USD 453. Menurut survei yang dilakukan, tiga faktor utama penentu terjadinya kenaikan pertumbuhan apresiasi nilai tukar rupiah di tahun 2014 adalah kondisi ekonomi Indonesia, ekspektasi pasar, dan kebijakan makroekonomi.


(34)

Perekonomian yang sehat adalah perekonomian dengan pertumbuhan dan inflasi yang stabil dan ketimpangan antar daerah yang menurun. Untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang stabil diperlukan kebijakan-kebijakan yang pro pertumbuhan, misalnya pengembangan infrastruktur dan penciptaan iklim usaha yang kompetitif. Selain itu perlu adanya identifikasi mengenai sektor mana yang maju dan berpotensi berkembang di tiap-tiap daerah.

Dari 33 provinsi, hanya 9 provinsi yang mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi dari tahun 2012 ke 2013. Provinsi tersebut adalah Jambi (7,88%), DIY (5,4%), Kalimantan Barat (6,08%), Kalimantan Tengah (7,37%), Sulawesi Tengah (9,38%), Gorontalo (7,76%), NTB (5,92%), NTT (5,56%), dan Papua (14,84%). Sedangkan provinsi lain mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi. Menarik untuk diketahui bahwa ada beberapa provinsi yang mengalami percepatan tersebut secara year-on-year pada kuartal I-2014 ternyata melambat, yaitu DIY, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, NTT, dan Papua. Hal ini menunjukkan bahwa fondasi ekonomi daerah di Indonesia sejatinya memang belum cukup kuat. Perlambatan regional ini tentu akan berpengaruh terhadap perekonomian secara nasional.

Jika dilihat dari pertumbuhan kuartalan yang sudah terjadi di kuartal I dan II-2014, hanya 12 provinsi yang mengalami ekspansi. Provinsi-provinsi tersebut adalah DI Aceh (didukung oleh Sektor Jasa dan Perdagangan, Hotel dan Restoran), Kepulauan Riau, Lampung (Sektor industri pengolahan), DKI Jakarta (Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran; Transportasi dan Komunikasi; dan Jasa), Banten (Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran), Jawa Barat (Perdagangan, Hotel dan Restoran), Kalimantan Tengah (Sektor Pertambangan dan Jasa), Bali (Sektor Pertanian dan Perdagangan, Hotel dan Restoran), Sulawesi Tenggara (Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran), NTT (Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran dan Jasa), Papua (Sektor Industri Pengolahan), dan Papua Barat (Sektor Industri Pengolahan), di mana Aceh dan NTT pertumbuhan ekonominya masih di bawah nasional.


(35)

Tabel 11: Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi di 33 Provinsi (%, y-o-y)

Pertumbuhan ekonomi melambat di berbagai provinsi

Catatan: * = y-o-y

** = tahun kalender

Sumber: BPS dan BI (2014)


(36)

Salah satu kebijakan yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di daerah adalah UU Minerba. Undang-undang Minerba yang disetujui oleh DPR 16 Desember 2008 lalu diharapkan dapat meningkatkan value added pada komoditas pertambangan Indonesia. Komoditas tambang yang diregulasi dilarang untuk langsung diekspor tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu. Diharapkan di masa mendatang kebijakan ini akan berdampak positif bagi perekonomian dan kesejahteraan rakyat. Kebijakan yang diberlakukan sejak 12 Januari 2014 lalu ini atau tahun setelah 5

disahkan ternyata belum sesuai yang diharapkan. Banyak polemik yang terjadi dimana dalam jangka waktu tahun ternyata masih banyak daerah 5

yang belum siap membangun smelter atau instalasi pengolahan hasil tambang. Akibatnya adalah banyak daerah mengalami gangguan dalam perekonomian, terutama daerah yang memiliki komoditas tambang dan pembangunan smelter yang terhambat, seperti Sulawesi Tengah.

UU Minerba ini juga akan berdampak pada negara mitra perdagangan Indonesia, terutama mitra perdagangan komoditas tambang yang selama ini melakukan impor komoditas tambang mentah dari Indonesia. Pada masa perlambatan pertumbuhan ekonomi sejak tahun 2012 (dan diperkirakan masih akan berlanjut), kebijakan yang terkait migas sangat sensitif terhadap pertumbuhan ekonomi. Terutama untuk menghadapi UU Minerba, dibutuhkan infrastruktur pabrik pengolahan barang tambang seperti pembangunan smelter agar ekspor bahan tambang Indonesia memiliki nilai tambah lebih. Pembangunan infrastruktur sangat penting untuk dilaksanakan untuk meningkatkan daya dukung perekonomian yang diharapkan akan menjaga pertumbuhan di atas 5%. Perkembangan inflasi di beberapa provinsi di Indonesia hingga kuartal II- 2014 cukup mengkhawatirkan di mana 12 provinsi memiliki inflasi yang lebih tinggi dari inflasi nasional (mencapai 2% year-to-date dari awal tahun hingga Juni 2014). Provinsi tersebut adalah DKI Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Bali, Sulawesi Tengah, NTT, Maluku, Maluku Utara. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2013 di berbagai provinsi di Indonesia menunjukkan tren yang meningkat. Ini menunjukkan bahwa kualitas hidup yang terdiri dari faktor kesehatan, pengetahuan, dan


(37)

Tabel 12: Ketimpangan Pendapatan dan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia

Ketimpangan Pendapatan di berbagai provinsi secara umum meningkat begitu juga dengan IPM

Sumber: BPS (2014)


(38)

penghidupan yang layak semakin baik. Dari 33 provinsi di Indonesia, 5 provinsi dengan IPM tertinggi dicapai oleh Provinsi DKI Jakarta (78,59), DI Yogyakarta (77,37), Kalimantan Timur (77.33), Sulawesi Utara (77,36), dan Riau (77,25).

Ketimpangan pendapatan tahun 2013 yang ditunjukkan oleh rasio gini di berbagai provinsi di Indonesia secara umum meningkat. Penurunan ketimpangan pendapatan terjadi di 9 provinsi antara lain Sumatera Selatan (dari 0,4 ke 0,38), Riau (dari 0,4 ke 0,37), Jawa Barat (dari 0,41 ke 0,40), Kalimantan Selatan (dari 0,38 ke 0,36), Bali (dari 0,43 ke 0,4), Sulawesi Utara (dari 0,43 ke 0,42), NTT (dari 0,36 ke 0,35), Maluku (dari 0,38 ke 0,37), dan Maluku Utara (dari 0,34 ke 0,32). Provinsi dengan ketimpangan pendapatan tertinggi antara lain DI Yogyakarta (0,44), Gorontalo (0,44), Papua (0,44). Sedangkan ketimpangan pendapatan terendah ada di Provinsi Bangka Belitung (0,31). Menarik untuk diketahui adalah DI Yogyakarta dengan IPM tertinggi di Indonesia ternyata mengalami masalah ketimpangan pendapatan yang dilihat dari tingginya rasio Gini sebesar 0,44. Sedangkan Riau dan Sulawesi Utara sebagai provinsi dengan IPM tertinggi berhasil menurunkan ketimpangan pendapatannya.


(39)

ASEAN

Memasuki ASEAN Economic Community (AEC) 2015, perekonomian kawasan masih belum tumbuh stabil bahkan beberapa negara menunjukkan kerapuhan struktur fundamental ekonomi. Situasi perekonomian ASEAN pada kuartal II-2014 adalah potret perekonomian yang menunjukkan campuran optimisme dan pesimisme di saat yang bersamaan. Beberapa negara utama kawasan seperti Malaysia, Filipina, Thailand, Singapura dan Vietnam mampu mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang melebihi ekspektasi awal walaupun masih tidak stabil dari waktu ke waktu. Sementara Indonesia sebagai “motor utama” penggerak perekonomian kawasan menunjukkan gejala perlambatan pertumbuhan ekonomi diikuti dengan Brunei Darussalam, Laos, Kamboja dan Myanmar yang masih dihadapkan dengan berbagai permasalahan fundamental ekonomi seperti struktur ekonomi yang belum terdiversifikasi dengan baik serta keseimbangan anggaran pendapatan dan belanja yang buruk. Akibatnya, situasi ini memicu terjadinya pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas bahkan hingga mencatatkan kontraksi perekonomian. Situasi ini menunjukkan masih rapuhnya perekonomian kawasan dalam menghadap AEC 2015 ditengah situasi perekonomian global yang masih memerlukan waktu untuk tumbuh secara lebih optimal.

Berbagai tantangan membayangi perekonomian kawasan dalam memasuki AEC 2015. Tantangan tersebut diantaranya bersumber dari fenomena internasional ataupun regional seperti rencana kenaikan suku bunga Amerika Serikat pada kisaran 100-115 basis poin yang berpotensi akan memutar balik arus modal dari emerging markets kembali ke Amerika Serikat pada tahun 2015, situasi perekonomian global yang masih belum pulih secara optimal sehingga current account beberapa negara utama di kawasan yang masih belum mencatatkan nilai positif, serta defisit anggaran pendapatan dan belanja negara yang lebih dari 3% pada beberapa negara di kawasan. Selain hal tersebut terdapat juga tantangan perekonomian yang terkait dengan kebijakan domestik seperti rencana rasionalisasi harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia dan Malaysia, rencana penerapan Goods

E. ASEAN: Memasuki ASEAN Economic Community

2015 Di Tengah Bayang-Bayang Tantangan

Perekonomian Kawasan


(40)

and Service Tax (GST) baru di Malaysia pada tahun 2015, rencana kenaikan Value Added Tax (VAT) sebesar 10% dan gaji pegawai negeri sipil sebesar 8% di Thailand pada tahun 2015, serta stabilitas politik domestik yang masih belum kondusif terutama di Kamboja dan Thailand. Berbagai situasi ini membayangi potensi yang bisa dicapai oleh perekonomian masing-masing negara dalam menghadapi AEC 2015 yang akan secara resmi diberlakukan pada akhir tahun 2015.

Negara-negara utama di kawasan ASEAN mampu mencatatkan pertumbuhan ekonomi kuartal II-2014 diatas ekspektasi. Negara-negara ASEAN-5 terkecuali Indonesia mampu mencatatkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2014 diatas ekspektasi. Malaysia yang diproyeksikan awal oleh Bank Negara Malaysia hanya mampu tumbuh 5,8% dan Filipina yang diproyeksikan awal oleh Bangko Sentral ng Pilipinas hanya akan mampu tumbuh 5,7% ternyata keduanya mampu mencatatkan pertumbuhan ekonomi tertinggi di kawasan yaitu hingga 6,4%. Negara-negara ini mendapatkan momentum perekonomiannya pada kuartal II-2104 melalui pertumbuhan yang dialami oleh sektor jasa dan sektor konstruksi berdampingan dengan Singapura yang mencatatkan pertumbuhan ekonominya melalui pertumbuhan pada sektor asuransi. Sementara hanya

Tabel 13: Pertumbuhan PDB atas Dasar Harga Konstan di Negara-negara ASEAN, 1998–Q1 2014 (y-o-y, %)

Kontribusi Pelaku Ekonomi Swasta Menjadi Kunci Dalam Menjaga Momentum Perekonomian Kawasan


(41)

ASEAN

dalam jangka waktu tiga bulan pasca kudeta pihak militer, Thailand sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua di kawasan telah mampu lepas dari jeratan resesi dengan kembali mencatatkan pertumbuhan ekonomi positif pada kuartal II-2104 setelah sebelumnya mengalami kontraksi -2,1%. Pertumbuhan yang dialami Thailand ini didorong oleh membaiknya tingkat keseimbangan perdagangan internasional Thailand serta membaiknya sentimen investor yang kembali melakukan penanaman modal pada berbagai instrumen keuangan yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun swasta. Sementara itu pada kuartal II-2014, , Indonesia mengalami

pertumbuhan ekonomi yang melambat dibandingkan kuartal sebelumnya. Hal ini diakibatkan oleh masih belum stabilnya tingkat kepercayaan dunia usaha terhadap perekonomian Indonesia atas dinamika situasi politik pasca pemilihan presiden baru. Selain itu, pengetatan berbagai kebijakan moneter maupun fiskal yang salah satunya diwujudkan melalui penundaan kebijakan pembayaran gaji ke-13 pegawai negeri sipil oleh pemerintah dari awalnya pada kuartal II-2014 menjadi pada kuartal III-2014 yang menekan potensi pertumbuhan konsumsi masyarakat Indonesia pada kuartal berjalan turut memberikan dampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional

Kontribusi pelaku ekonomi swasta menjadi kunci pertumbuhan ekonomi di negara utama kawasan. Momentum pertumbuhan ekonomi kuartal II-2014 sebagaimana yang dialami oleh Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand ditopang oleh pertumbuhan kinerja investasi swasta pada sektor jasa terutama pada sub-sektor yang terkait dengan perdagangan dan sektor konstruksi yang dilatarbelakangi oleh membaiknya situasi perekonomian global secara umum. Hal ini ditunjukkan dengan capaian pertumbuhan sektor konstruksi hingga sebesar dua digit pada Malaysia sebesar 12,1% dan Filipina sebesar 12,7%. Meningkatnya kontribusi pelaku ekonomi swasta ini menjadi semakin dominan karena pada saat yang bersamaan kontribusi pengeluaran pemerintah pada kuartal berjalan menunjukkan pelemahan diakibatkan bottlenecking pada rantai birokrasi. Beberapa negara lainnya di kawasan ASEAN memerlukan percepatan restrukturisasi fundamental ekonomi agar mencapai potensi optimal pertumbuhan ekonominya. Brunei sebagai satu-satunya negara di kawasan yang mencatatkan kontraksi ekonomi sebesar -3,3% memerlukan restrukturisasi fundamental perekonomian dengan mempercepat


(42)

diversifikasi sektor perekonomian yang saat ini sangat bergantung pada industri minyak bumi dan gas alam yang menurut Jabatan Perancang Kemajuan Ekonomi (JPKE) Brunei menguasai lebih kurang 70% PDB dan 90% total ekspor. Ketergantungan pada sektor ini yang pada kuartal berjalan mencatatkan kontraksi -0,6% tengah dilakukan upaya pengalihan kepada sektor-sektor potensial Brunei lainnya seperti pertanian, perikanan dan kehutanan yang pada saat bersamaan mampu mencatatkan pertumbuhan hingga 4,1% year-on-year. Permasalahan fundamental ekonomi lainnya seperti defisit anggaran pendapatan dan belanja negara yang terlalu besar dialami oleh Laos (5,8% terhadap PDB) dan Myanmar (3,7% terhadap PDB) akibat kebijakan perlindungan sosial yang terlalu ekspansif, rekrutmen pegawai negeri sipil secara besar-besaran dan anggaran pertahanan yang masih terlalu tinggi sehingga menyebabkan terbatasnya ruang fiskal pemerintah dalam mengalokasikan anggaran untuk melakukan stimulus perekonomian. Sementara itu, konflik perbatasan antara Vietnam dan mitra ekonomi utamanya, Tiongkok, membuat perekonomian Vietnam terhambat. Oleh karena itu, pemerintah Vietnam saat ini berusaha untuk melibatkan investor asing yang lebih beragam demi melepas ketergantunganny secara a

ekonomi kepada pemerintah Tiongkok.

Inflasi yang didorong oleh harga bahan makanan dan produk impor

NEGARA 2011 2012 2013 Jul-14*

Brunei Darussalam 1,8 0,4 0,38 0,2 Kamboja 4,9 2,9 4,65 4,85 Indonesia 3,8 4,3 8,38 3,99 Laos 7,7 4,2 6,37 3,7 Malaysia 3 1,6 3,2 3,2 Myanmar 5,1 6,1 5 5,96 Filipina 4,2 3,1 4,1 4,9 Singapura 5,5 4,3 2,4 1,2 Thailand 3,5 3 2,18 2,09 Vietnam 18,1 6,81 6,04 4,31

Tabel 14: Tingkat Inflasi Negara-Negara ASEAN, 2011-2014* (y-o-y, %)

Kenaikan Harga Barang Diakibatkan Masih Banyaknya Produk Impor Pada Berbagai Komoditi Konsumsi Utama

Catatan:Data-data untuk Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, dan Singapura adalah posisi per-Juli 2014 (y-o-y). Data untuk Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam adalah posisi per-Agustus 2014 (y-o-y)


(43)

ASEAN

dihadapi dengan kebijakan beragam oleh negara-negara di kawasan. Secara umum negara-negara di kawasan ASEAN mencatatkan pembentukan inflasi tinggi yang disebabkan oleh meningkatnya harga bahan makanan dan minuman non-alkohol serta beberapa komponen konsumtif lainnya seperti garmen dan elektronik yang masih sangat bergantung pada aktivitas impor seiring dengan dibukanya berbagai fasilitas Special Economic Zone/Kawasan Ekonomi Khusus yang terutama terjadi pada negara-negara yang terletak di area Sungai Mekong (Kamboja, Laos dan Myanmar). Tingkat inflasi yang relatif tinggi di sub-kawasan ini juga diperparah dengan adanya bencana banjir tahunan serta instabilitas politik yang sempat terjadi di Thailand sebagai kekuatan ekonomi utama di sub-kawasan sehingga menghambat arus lalu lintas perdagangan. Tingkat inflasi di beberapa negara bahkan mengalami tekanan lebih lanjut dengan terjadinya kenaikan harga layanan listrik sebesar 43% di Myanmar pada bulan April 2014 serta kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di Vietnam sebanyak dua kali yaitu pada 26 Juni 2014 dan 7 Juli 2014. Pengendalian inflasi pada negara-negara di kawasan tersebut sebagian besar dilakukan melalui kebijakan pengendalian harga sebagaimana yang diterapkan oleh pemerintah militer Thailand dan pemerintah Vietnam yang terbukti cukup efektif untuk mencegah tercapainya tingkat inflasi yang lebih tinggi lagi di tengah dinamika yang terjadi. Lain halnya dengan pemerintah Laos menempuh kebijakan penghapusan Value Added Tax (VAT) pada beberapa komoditi yang selama ini diimpor dengan harapan menumbuhkan produksi komersial secara domestik, kebijakan alternatif pengendalian inflasi juga dilakukan oleh pemerintah Brunei sebagai negara dengan tingkat inflasi terendah pada kuartal berjalan dengan melakukan kebijakan pegging mata uang Dolar Brunei terhadap Dolar Singapura.

Potensi pembalikan arus modal membayangi pasar saham kawasan akibat rencana kebijakan kenaikan suku bunga The Fed. Pada kuartal II-2014 ini secara umum pasar saham di kawasan ASEAN menunjukkan pertumbuhan yang sangat menggembirakan dengan rerata pertumbuhan berada pada tingkat dua digit kecuali hanya pada Kamboja (-15,96%), Malaysia (0,71%) dan Singapura (4,80%). Situasi perlambatan pertumbuhan pasar saham di negara Singapura dan Malaysia sebagai perwakilan negara-negara dengan tingkat integrasi ekonomi internasional yang relatif tinggi di kawasan, menunjukkan adanya gejala perlambatan aliran arus modal masuk


(44)

ke pasar saham di kawasan ASEAN. Situasi ini disinyalir dikarenakan sikap kehati-hatian investor terhadap rencana kenaikan suku bunga The Fed yang diperkirakan oleh Bank Indonesia akan dilaksanakan pada Semester Pertama 2015 dengan kisaran kenaikan 100 hingga 115 basis poin sehingga berpotensi memicu terjadinya arus pembalikan modal dari emerging countries. Kementerian Keuangan Republik Indonesia, secara lebih lanjut mengindikasikan bahwa potensi pembalikan arus modal ini akan dapat mempengaruhi keseimbangan capital account sebuah negara yang dapat mengganggu perekonomian terutama bagi negara-negara yang saat ini sudah mengalami defisit pada current account. Situasi potensi pembalikan arus modal ini mengkhawatirkan bagi negara Kamboja dan Laos yang justru saat ini sedang gencar-gencarnya merelaksasi regulasi di pasar saham mereka agar perusahaan asing tertarik melakukan listing di pasar saham tersebut setelah selama ini hanya diisi oleh beberapa perusahaan yang masih terafiliasi dengan negara (Badan Usaha Milik Negara).

Tingkat nilai tukar di kawasan masih sangat dipengaruhi oleh keseimbangan perdagangan internasional dan sentimen pelaku bisnis. Secara umum penguatan atau pelemahan pada nilai tukar negara-negara di kawasan ini sangat dipengaruhi pada kinerja keseimbangan perdagangan internasional negara tersebut sebagaimana yang dialami penguatan pada mata uang Baht Thailand, Rupiah Indonesia dan Ringgit Malaysia. Di sisi lain,

Tabel 15: Pertumbuhan Indeks Pasar Saham Negara ASEAN, 2009-2014 (y-o-y, %)

Aliran Arus Modal Dibayangi Dengan Rencana Kenaikan Suku Bunga The Fed

Catatan:Data posisi 2 Januari dan 29 Agustus 2014 adalah pertumbuhan berbasis year-to-date


(45)

fenomena kontraksi nilai mata uang di negara Kamboja lebih disebabkan pada demonstrasi buruh sektor garmen sebagai industri terbesar di Kamboja yang telah terjadi selama beberapa bulan terakhir sehingga menurunkan sentimen positif para pelaku bisnis terhadap proyeksi perekonomian Kamboja kedepannya. Khusus untuk Vietnam, penurunan nilai mata uang terjadi dikarenakan akibat kebijakan moneter yang ditempuh berupa devaluasi Dong Vietnam sebesar 1% yang dilakukan pada 19 Juni 2014 demi menjaga daya saing produk-produk Vietnam di luar negeri terhadap mitra-mitra dagang baru ditengah situasi perekonomiannya yang terguncang akibat konflik perbatasan dengan Tiongkok yang merupakan mitra dagang utama. Sementara fenomena sentimen positif dunia bisnis juga mempengaruhi nilai tukar Peso Filipina yang baru saja mendapatkan peningkatan rating oleh Standard's & Poor pada awal bulan Mei 2014.

Tabel 16: Pertumbuhan Nilai Tukar Mata Uang Negara-Negara di ASEAN Terhadap USD, 2009-2014 (y-o-y, %)

Penguatan Nilai Tukar Terutama Ditopang Oleh Sentimen Positif Pasar

Catatan:

*= Pada tahun 2012 Myanmar mengalami penyesuaian nilai mata uang

Data tersaji pada posisi 29 Agustus 2014 adalah pertumbuhan berbasis year-to-date

Angka (+) menunjukkan apresiasi mata uang dan angka (-) menunjukkan depresiasi mata uang.

Sumber: Bloomberg (2014)


(46)

Di bulan Agustus, paling tidak ada 2 tanggal penting dan menarik serta menjadi perhatian masyarakat, yakni: pertama, 17 Agustus 2014, hari HUT RI ke 69 dan sekaligus diluncurkannya uang NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan kedua, tg 21 Agustus 2014, yang ditandai dengan keluarnya keputusan Makamah Konstitusi (MK) yang mengesahkan Presiden dan Wakil Presidan terpilih (Joko Widodo dan Jusuf Kala). Munculnya mata uang NKRI tidak saja sebagai perujudan UU No.7/2011 tentang Mata Uang, tetapi sekaligus merupakan tonggak perubahan penting mengenai konsep uang di Indonesia dari uang Bank Indonesia (UBI) menjadi uang NKRI (UNKRI). UBI—yang selama ini dikenal dan digunakan sebagai media pertukaran, alat pembayaran dan pengukur nilai—atau uang kartal BI merupakan kewajiban moneter otoritas moneter (BI) kepada masyarakat. Jadi memang sungguh luar biasa otoritas yang dimiliki BI, padahal BI hanyalah lembaga negara yang independen terhadap pemerintah. Di sisi lain, munculnya uang NKRI (UNKRI) berarti yang mempunyai kewajiban moneter kepada masyarakat adalah Negara yakni NKRI yang diwakili oleh pemerintah (c.q. Menteri Keuangan) dan lembaga negara BI. UNKRI tidak saja sebagai uang kartal tetapi juga menunjukan keberadaan negara dalam semua sendi dan sisi kehidupan serta kegiatan ekonomi masyarakat selama mereka berada di NKRI. Memang munculnya UNKRI dapat memberi indikasi semakin berkurangnya otoritas dan independensi yang dimiliki Bank Indonesia setelah lahirnya OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dan penetapan target inflasi oleh pemerintah (Insukindro, 2009). Namun, langkah tsb penting dan harus dilakukan agar biaya pencetakan dan jumlah uang yang dicetak, misalnya, tidak saja dapat diketahui oleh BI dan pemerintah tetapi juga oleh masyarakat melalui wakil-wakil mereka di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Di masa yang akan datang, rasanya akan lebih baik lagi jika jumlah UNKRI yang dicetak dan diedarkan juga dikaitkan dengan rencana pembangunan negara baik yang tercantum dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka

F. Isu Terkini

Prospek Dan Tantangan Pemerintahan yang Baru


(47)

Menengah Nasional) maupun RAPBN (Rencana Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara). Dua hal yang disebut terakhir, tentunya akan tercermin dalam neraca interen (internal balance) seperti tingkat inflasi, pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan kestabilan sistem keuangan, dan neraca eksteren (external balance), seperti keseimbangan neraca pembayaran internasional. Tentu saja semua ini perlu pula diwujudkan dalam perubahan Undang-Undang Bank Indonesia.

Keputusan MK tg 21 Agustus 2014 memberi asa (harapan) tersendiri, tidak saja karena kita akan mempunyai presiden dan wakil presiden baru tetapi juga asa-asa baru dengan nawa cita (sembilan agenda prioritas) beliau. “ ”

Program-program pemerintah baru seperti Indonesia pintar dan sehat, subsidi daerah dan desa, secara ekonomika makro berarti bentuk-bentuk stimulus fiskal yang diharapkan dapat mendorong kualitas tenaga kerja, produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, tantangan yang akan dihadapi pemerintah yang baru juga tidak mudah, RAPBN 2015 ini disusun oleh Kabinet pimpinan presiden Susilo Bambang Yudoyono yang tentu saja mempunyai program yang tidak sama dengan presiden terpilih, terlebih lagi masalah-masalah yang harus segera diselesaikan, seperti subsidi BBM dan listrik, utang luar negeri dan sumber pendanaan RAPBN berkenaan

Pengurangan subsidi BBM, misalnya, dapat dilakukan dengan dua pendekatan yakni pendekatan kuantitas atau membatasi jumlah subsidi BBM (seperti yang dilakukan pemerintah akhir-akhir ini) dan pendekatan harga yakni dengan menaikkan harga BBM. Kedua pendekatan ini pada gilirannya akan menaikkan harga BBM baik langsung (pendekatan kedua) atau tidak langsung (pendekatan pertama). Dengan menggunakan pendekatan Makroekonomika Konsensus Baru (MKB)¹, dapat dianalisis bagaimana pengaruh stimulus fiskal dan kenaikan BBM terhadap variabel ekonomika makro, misalnya: suku bunga, inflasi dan fluktuasi ekonomi

Isu Terkini

¹ Pendekatan ekonomika makro baru, seperti Sentesis Neoklasik Baru (New Neoclassical Synthesis) yang dikembangkan oleh Goodfriend dan King (1997) dan/atau Makroekonomika Konsensus Baru (New Consensus Macroeconomics) (lihat misalnya: Arestis dan Sawyer, 2008), dan kemudian diramu oleh Hubbard dkk (2012: Ch.9-13, 15), memungkinkan digunakannya pendekatan IS-MP-MNKPC dalam menganalisis fenomena ekonomi di atas (lihat juga: Insukindro, 2013).


(1)

Menengah Nasional) maupun RAPBN (Rencana Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara). Dua hal yang disebut terakhir, tentunya akan tercermin dalam neraca interen (internal balance) seperti tingkat inflasi, pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja dan kestabilan sistem keuangan, dan neraca eksteren (external balance), seperti keseimbangan neraca pembayaran internasional. Tentu saja semua ini perlu pula diwujudkan dalam perubahan Undang-Undang Bank Indonesia.

Keputusan MK tg 21 Agustus 2014 memberi asa (harapan) tersendiri, tidak saja karena kita akan mempunyai presiden dan wakil presiden baru tetapi juga asa-asa baru dengan nawa cita (sembilan agenda prioritas) beliau. “ ”

Program-program pemerintah baru seperti Indonesia pintar dan sehat, subsidi daerah dan desa, secara ekonomika makro berarti bentuk-bentuk stimulus fiskal yang diharapkan dapat mendorong kualitas tenaga kerja, produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, tantangan yang akan dihadapi pemerintah yang baru juga tidak mudah, RAPBN 2015 ini disusun oleh Kabinet pimpinan presiden Susilo Bambang Yudoyono yang tentu saja mempunyai program yang tidak sama dengan presiden terpilih, terlebih lagi masalah-masalah yang harus segera diselesaikan, seperti subsidi BBM dan listrik, utang luar negeri dan sumber pendanaan RAPBN berkenaan

Pengurangan subsidi BBM, misalnya, dapat dilakukan dengan dua pendekatan yakni pendekatan kuantitas atau membatasi jumlah subsidi BBM (seperti yang dilakukan pemerintah akhir-akhir ini) dan pendekatan harga yakni dengan menaikkan harga BBM. Kedua pendekatan ini pada gilirannya akan menaikkan harga BBM baik langsung (pendekatan kedua) atau tidak langsung (pendekatan pertama). Dengan menggunakan pendekatan Makroekonomika Konsensus Baru (MKB)¹, dapat dianalisis bagaimana pengaruh stimulus fiskal dan kenaikan BBM terhadap variabel ekonomika makro, misalnya: suku bunga, inflasi dan fluktuasi ekonomi

Isu Terkini

¹ Pendekatan ekonomika makro baru, seperti Sentesis Neoklasik Baru (New Neoclassical Synthesis) yang dikembangkan oleh Goodfriend dan King (1997) dan/atau Makroekonomika Konsensus Baru (New Consensus Macroeconomics) (lihat misalnya: Arestis dan Sawyer, 2008), dan kemudian diramu oleh Hubbard dkk (2012: Ch.9-13, 15), memungkinkan digunakannya pendekatan IS-MP-MNKPC dalam menganalisis fenomena ekonomi di atas (lihat juga: Insukindro, 2013).


(2)

(resesi atau ekspansi ekonomi). Stimulus fiskal akan berpengaruh terhadap kenaikan output (ekspansi), namun dapat mendorong inflasi. Pertanyaannya haruskan suku bunga dinaikkan? Jawabannya ada dua. Pertama, suku bunga dinaikkan dengan harapan inflasi turun², ataukah yang kedua, suku bunga tidak dinaikkan dan output lebih meningkat (ekspansi ekonomi lebih lanjut) tetapi dalam jangka pendek akan disertai kenaikan inflasi.

Kenaikan BBM dalam jangka pendek akan mendorong kenaikan biaya produksi dan harga atau inflasi. Pertanyaannya adalah haruskan kenaikan BBM ini disertai oleh kenaikan suku bunga oleh Bank Indonesia. Jawabannya juga ada dua. Pertama, suku bunga dinaikkan dengan harapan inflasi turun, tetapi terjadi kelesuan atau resesi ekonomi, dan kedua, suku bunga tidak dinaikkan, tetapi kita terhindar dari resesi ekonomi walaupun dalam jangka pendek terjadi kenaikan harga atau inflasi.

Dari dua contoh di atas, memang ada dua pilihan apakah kita mengikuti aliran baku Neoklasik, yang nampaknya banyak diacu di Indonesia, ataukah kita mengikuti ekonomika makro baru seperti MKB. Jika kita mengikuti ekonomika makro baru, maka kita mempunyai pilihan-pilihan kebijakan dan konsekuensi yang timbul serta kemungkinan kita terhindar dari sindrum inflasi dan lebih pro kepada sektor riil atau penawaran agregat. Tentu saja, koordinasi antara pemerintah, BI, OJK dll perlu dilakukan dan ditingkatkan, walaupun semua orang telah mahfum bahwa koordinasi adalah barang ekonomi yang mahal dan tidak mudah.

Studi yang dilakukan oleh Insukindro dan Makhfatih (2013) juga mendukung perlunya koordinasi antara pemerintah dan BI dalam mengelola uang beredar agar mampu menggariahkan pertumbuhan ekonomi, dan koordinasi ini rasanya dapat dilakukan karena telah lahir UNKRI. Pemerintah perlu memperbaiki tata kelola produksi dan pasar migas dan subsidi serta pajak terkait. Pengeluaran pemerintah diharapkan tidak hanya mampu meningkatkan permintaan agregat tetapi juga dapat mendorong ,

peningkatan produksi atau penawaran agregat, sehingga sindrum suku bunga tinggi dan inflasi dapat dikurangi. Hal lain yang perlu dicermati adalah


(3)

krisis luar negeri dan semakin terbukanya perekonomian Indonesia. Studi di atas menunjukkan bagaimana pengaruh kedua besaran ini terhadap perekonomian negara kita, dan diharapkan sampai akhir 2014 telah terjadi pembalikan keadaan krisis di luar negeri (USA dan Eropa) ke arah pertumbuhan ekonomi yang positif dan meningkat.

Yogyakarta, 24 Agustus 2014

Referensi

Arestis, P and M.C. Sawyer (2008), A Critical Reconsideration of Foundation of Monetary Policy in the New Consensus Macroeconomics Framework, Cambridge Journal of Economics, 31(5): 761-779. Blanchard, O., G. Dell'Ariccia and P. Mauro (2010), Rethinking Macroeconomic

Policy, IMF Staff Position Note, SPN/10/03, February 12

Goodfriend, M. and R.G. King (1997), The New Neoclassical Synthesis and the Role of Monetary Policy, NBER Macroeconomics Annual: 971-987. Hubbard, R.G., A.P. O'Brien and M. Rafferty (2012), Macroeconomics,

Pearson Education, Inc.

Insukindro (2009), Bank Indonesia Masa Depan, Kompas, 22 Juli

Insukindro (2013), Makroekonomika Baru: Pendekatan IS-MP-MNKPC dan Sintesa Neoklasik Baru, Materi Ceramah di PRES BI, 30-31 Juli Insukindro dan A. Makhfatih (2013), Kajian Analisis Ekonomi dan

Pembiayaan Pembangunan, Laporan Akhir, Konsultan Tim Kajian Staf Ahli Meneg PPN/Ketua Bappenas, Jakarta


(4)

G. Economic Outlook

Stabilitas sosial, politik dan ekonomi Indonesia pasca pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara umum terjaga dengan baik. Nilai rupiah, inflasi dan indeks harga saham gabungan menyambut positip Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Diharapkan pemerintah baru akan membawa perbaikkan dalam pengelolaan ekonomi sehingga Indonesia bisa semakin maju, sejahtera dan adil. Namun demikian masalah, tantangan dan ancaman menghantui pemerintah baru nanti. Indonesia berada pada tren pertumbuhan ekonomi yang menurun sejak 2012 dan neraca perdagangan barang defisit, demikian juga defisit transaksi berjalan yang meningkat. Apalagi debt service ratio terus naik sehingga berada pada posisi 48% yang sudah merupakan lampu merah bagi perekonomian suatu negara. Padahal utang luar negeri swasta juga terus meningkat dengan utang jangka pendek yang cukup signifikan jumlahnya. Padahal investasi portfolio asing masuk ke pasar saham ataupun surat berharga negara juga semakin besar, yang bisa keluar setiap saat. Apalagi Amerika Serikat yang ekonominya membaik diperkirakan akan melakukan kebijakan ta ering off pada tahun 2015. p

Dengan demikian meskipun pertumbuhan negara-negara ASEAN mulai menggeliat lagi, demikian juga India mulai meningkat pertumbuhan ekonominya, namun ancaman masih menghantui. Sehingga jika tidak ada perubahan dalam pengelolaan ekonomi Indonesia, tren pertumbuhan ekonomi yang menurun akan berlanjut karena kualitas pembangunan ekonomi Indonesia yang rendah seperti yang diramalkan oleh GAMA LEI. Apalagi kebijakan fiskal yang diharapkan dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi sudah berat oleh anggaran subsidi energi.

Pemerintah baru yang dinakhodai oleh Jokowi dan JK diharapkan akan dapat memperbaiki kualitas pertumbuhan ataupun pembangunan ekonomi. Pemerintah diharapkan mampu meletakkan dasar-dasar perekonomian yang sehat, kuat, dan berdaya saing tinggi. Untuk itu kebijakan fiskal diharapkan bisa dijadikan sebagai isntrumen selain untuk menjalankan fungsi alokasi, menjaga stabilitas ekonomi dan redistribusi juga dapat berfungsi dalam menstimulus pembangunan ekonomi. Pemerintah baru


(5)

jalan, jalur kereta api, dan waduk yang dapat meningkatkan daya saing Indonesia. Selain itu berbagai kebijakan yang dapat menggerakkan ekonomi domestik serta mengurangi ketergantungan pada komoditas luar negeri diperlukan agar Indonesia siap memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Sehingga meskipun tren penurunan ekonomi masih berlangsung namun jika pengelolaan ekonomi berubah pro manusia, pro daya saing dan pro ekonomi domestik, serta pemerintah berani mengambil tindakan yang diperlukan meskipun tidak populer untuk itu, diharapkan ada perbaikkan pada perekonomian Indonesia. Sehingga tren penurunan pertumbuhan ekonomi dapat dibalik menjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi.


(6)

INDONESIAN ECONOMIC REVIEW AND OUTLOOK

TIM MACROECONOMIC DASHBOARD

MACROECONOMIC DASHBOARD Jl. Humaniora No. 1 Bulaksumur, Yogyakarta 55281Pertamina Tower Building Lt. 4 Ruang 4.1

Prof. Dr. Sri Adiningsih, M.Sc.

Head of Researcher sadining@ugm.ac.id +62 274 548 517 ext 373

Prof. Dr. Samsubar Saleh, M.Soc. Sc.

Senior Researcher samsubar@ugm.ac.id +62 274 548 517 ext 373

Rosa Kristiadi, M.Comm

Researcher

rosa.kristiadi@email.macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373

Zira Brenda Wiranti, S.E.

Junior Researcher

zirabrenda@email.macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373

Dyah Savitri Pritadrajati

Research Assistant

dyah.prita@email.macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373

Dhian Karyantono

Research Assistant

dhian.k@email.macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373

Prof. Dr. Tri Widodo, M.Ec.Dev.

Senior Researcher triwidodo@feb.ugm.ac.id +62 274 548 517 ext 373

Muhammad Ryan Sanjaya, MIntDevEc.

Researcher

m.ryan.sanjaya@ugm.ac.id +62 274 548 517 ext 373

Galih Adhidharma, S.E.

Junior Researcher

galih@email.macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373

Traheka Erdyas Bimanatya

Research Assistant

bimanatya@email.macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373

Umi Fitria Ridya Rahmawaty

Research Assistant

umi.fitria@email.macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373

Mohammad Rizki Hutomo

Research Assistant, Web Developer and Layout hutomo.mr@email.macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373