Unduh IERO | Macroeconomic Dashboard

(1)

REVIEW AND OUTLOOK

Macroeconomic Dashboard

Fakultas Ekonomika dan Bisnis

Kemacetan di Yogyakarta Harga sembako melambung tinggi


(2)

Kata Pengantar

Indonesian Economic Review and Outlook (IERO) merupakan buletin kuartalan yang diterbitkan oleh Macroeconomic Dashboard, Jurusan Ilmu Ekonomi – Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) yang bekerja sama dengan PT Bank Mandiri, Tbk.

IERO kali ini mengangkat tema “Situasi Kritis Ekonomi Indonesia: Selamat atau Terjerembab?” Instabilitas ekonomi makro terus meningkat akibat nilai tukar rupiah yang terus terdepresiasi, inflasi yang terus menanjak, meningkatnya defisit transaksi berjalan, serta cadangan devisa yang semakin tergerus membuat Indonesia memasuki “lampu kuning” krisis. Selain itu, perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak lepas dari memburuknya ekonomi emerging economies serta kondisi ekonomi global yang masih penuh ketidakpastian. Hal ini sejalan dengan hasil prediksi GAMA Leading Economic Indicator (GAMA LEI).

GAMA LEI adalah acuan yang dihasilkan Macroeconomic Dashboard untuk memprediksi keadaan ekonomi Indonesia di masa mendatang. Sejak IERO diluncurkan pada Desember 2012, GAMA LEI telah membuktikan mampu meramalkan keadaan ekonomi Indonesia secara akurat dan tepat. Tujuan dihasilkannya GAMA LEI adalah untuk membantu para pembuat kebijakan publik dan pengambil keputusan bisnis agar dapat memantau kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di masa depan, sehingga mereka dapat mengantisipasi keadaan ekonomi.

Pada edisi ini, IERO juga membahas situasi Indonesia yang berada di bawah bayang-bayang “sindrom” krisis sebagai topik current issue. Kajian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang kondisi Indonesia sehingga para stakeholder dapat melakukan penanganan lebih cepat dan tepat agar Indonesia tidak terperosok ke dalam jurang krisis.

Penerbitan IERO yang senantiasa menyajikan berbagai tema hangat diharapkan dapat membantu para pembuat kebijakan publik dan pengambil keputusan bisnis serta civitas academica dalam mendapatkan informasi yang aktual terkait perekonomian Indonesia.

Selamat membaca Prof. Dr. Sri Adiningsih, M.Sc

Head of Researcher


(3)

I. Perkembangan Ekonomi Terkini

Perekonomian nasional saat ini berada dalam critical point. Faktor melemahnya nilai tukar rupiah, inflasi yang terus naik bahkan mencapai puncak tertinggi sejak Asian Financial Crisis 1998/1999, disertai peningkatan defisit transaksi berjalan dan semakin tergerusnya cadangan devisa akibat capital outflow serta besarnya utang luar negeri swasta jangka pendek yang jatuh tempo membuat instabilitas perekonomian Indonesia meningkat. Memburuknya indikator-indikator makro ekonomi Indonesia sudah berlangsung lebih dari satu tahun terakhir ini. Selain itu, tekanan yang dihadapi ekonomi nasional disebabkan juga oleh semakin memburuknya ekonomi emerging economies serta kondisi ekonomi global yang masih penuh ketidakpastian. Hal ini harus diwaspadai karena bisa berlanjut ke tahapan yang lebih buruk dan menyebabkan Indonesia masuk ke dalam lubang krisis.

Dimulai dengan Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB), perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional sudah terjadi sejak empat kuartal terakhir. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2013 pemerintah menetapkan pertumbuhan ekonomi mencapai 6,3%. Namun, di tengah kondisi perekonomian global yang belum stabil, pencapaian target PDB tersebut tidaklah mudah. Sulitnya pencapaian target pertumbuhan ekonomi tahun 2013 tercermin dari pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2013 yang masih di bawah ekspektasi pemerintah, tercatat sebesar 6,03% (yoy) dan terus melambat di kuartal II-2013 menjadi 5,81% (yoy).

Pertumbuhan ekonomi kuartal II-2013 yang melambat dari kuartal sebelumnya selaras dengan hasil prediksi GAMA Leading Economic Indicator (GAMA LEI). Selama ini GAMA LEI terbukti mampu memprediksi kondisi ekonomi Indonesia secara akurat, bahkan pada edisi sebelumnya prediksi GAMA LEI mampu mematahkan prediksi berbagai lembaga lainnya.

Dari sisi pengeluaran, ekonomi Indonesia yang melambat disebabkan karena melambatnya pertumbuhan investasi, yang tercermin dari menurunnya pertumbuhan Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) pada kuartal II-2013, menjadi 4,67% dari 12,47% pada kuartal II-2012.


(4)

Perkembangan Ekonomi Terkini

Selain itu, Konsumsi Pemerintah juga menurun sangat tajam akibat rendahnya penyerapan anggaran pemerintah hingga sekarang ini. Pada kuartal II-2013, pertumbuhan Konsumsi Pemerintah hanya 2,13% padahal di kuartal II-2012 mampu tumbuh mencapai 8,64%. Selain itu, meskipun pada kuartal II-2013 ekspor meningkat 4,78% (yoy) dibandingkan kuartal II-2012 yang tercatat sebesar 2,63%, namun pertumbuhan ini masih tergolong rendah karena di bawah target pertumbuhan ekspor pada APBN-P 2013, yaitu sebesar 6,6%. Dari sisi lapangan usaha, perlambatan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2013, secara year on year, dibandingkan kuartal sebelumnya terjadi di semua sektor, kecuali sektor Pengangkutan dan Komunikasi yang tumbuh sebesar 11,46% dan sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih yang naik tipis menjadi 6,60%.

Dalam rangka merespon meningkatnya instabilitas ekonomi makro karena merosotnya pertumbuhan ekonomi Indonesia, pemerintah mengeluarkan empat paket kebijakan. Kebijakan tersebut meliputi penetapan pajak barang mewah lebih tinggi untuk mobil completely build up (CBU) dan barang impor bermerk dari rata-rata 75% menjadi

Gambar 1: Laju Pertumbuhan PDB Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000. Menurut Pengeluarana, Tahun 2005 – 2013* (yoy, dalam %)

Sejak 10 kuartal terakhir baru sekarang ini laju pertumbuhan PDB berada di bawah 6%


(5)

125% hingga 150%. Selain itu, paket kebijakan pemerintah tersebut juga menegaskan pemberian insentif kepada industri padat karya, termasuk keringanan pajak; pemerintah juga berkoordinasi dengan bank sentral menjaga gejolak harga dan inflasi; serta mengefektifkan sistem layanan terpadu satu pintu perizinan investasi. Paket kebijakan ini diharapkan mampu menyelamatkan perekonomian Indonesia di tengah semakin memburuknya perekonomian emerging economies, serta ketidakpastian ekonomi global. Namun, ternyata paket tersebut tidak mampu meredam volatilitas ekonomi makro, rupiah terus terdepresiasi, dan IHSG terus turun.

Meskipun pertumbuhan ekonomi melambat, pemerintah mengklaim telah berhasil menekan angka kemiskinan. Namun, penting untuk dicermati apakah batas garis kemiskinan yang dijadikan parameter oleh pemerintah sudah mencerminkan peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Sebagaimana dirilis oleh BPS, jumlah penduduk miskin di Indonesia turun dari 11,66% pada September 2012 menjadi 11,37% pada Maret 2013 atau setara 28,07 juta orang. Menurut BPS, garis batas kemiskinan meningkat 4,66% dari IDR 259.520 per kapita per bulan pada September 2012 menjadi IDR 271.626 per kapita per bulan pada Maret 2013. Dengan tidak bermaksud mendiskreditkan pemerintah, Gambar 2: Laju Pertumbuhan PDB Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000.

Menurut Lapangan Usaha, Tahun 2005 – 2013* (yoy, dalam %)

Target pertumbuhan ekonomi sulit tercapai


(6)

namun tentunya akan sulit bagi masyarakat untuk hidup layak dengan batas garis kemiskinan yang ditetapkan oleh pemerintah. Meski demikian, pemerintah terus berusaha menurunkan angka kemiskinan. Salah satu usahanya adalah ditingkatkannya anggaran untuk penanggulangan kemiskinan dari IDR 53,1 triliun di tahun 2007 menjadi sebesar IDR 115,5 triliun pada tahun 2013. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah, pemerintah menargetkan angka kemiskinan tahun 2013 menjadi sekitar 9,5% - 10,5%. Namun, keberhasilan pemerintah mencapai target angka kemiskinan tergantung dari keberhasilan pemerintah menekan inflasi. Jika pemerintah tidak berhasil menjaga inflasi, maka penduduk yang hampir miskin bisa jatuh ke bawah garis kemiskinan.

Perkembangan Moneter

Gambar 3: Perkembangan Kemiskinan di Indonesia, Tahun 2004 – 2013*

Pemerintah klaim jumlah penduduk miskin menurun, namun jumlah penduduk miskin masih besar

Sumber: Berita Statistik BPS No. 47/07/Th. XVI, 1 Juli 2013

II. Perkembangan Moneter

A. Jumlah Uang Beredar

Pada bulan Juli 2013, bank sentral mencatat jumlah uang beredar M1 dan M2 mencapai IDR 903, 29 triliun dan IDR 3.529,66 triliun. Dengan demikian, terdapat peningkatan dalam jumlah uang beredar M1 di mana pada Juli 2013 MI tumbuh 17% (yoy), naik dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang tercatat sebesar 10,2% (yoy). Sementara itu, pertumbuhan M2 juga tercatat meningkat 15,5% (yoy) pada Juli 2013 dibandingkan bulan Juni 2013 yang tumbuh sebesar 11,9% (yoy).


(7)

Tingginya pertumbuhan uang beredar di bulan Ramadhan dan Lebaran, mendorong laju inflasi bulan Agustus 2013. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) penarikan uang tunai oleh masyarakat pada periode 10 Juli –2 Agustus 2013 mencapai IDR 97 triliun atau 94,1% dari estimasi kebutuhan uang tunai selama Lebaran yang mencapai IDR 103,1 triliun.

BPS mengumumkan inflasi Agustus 2013 mencapai 8,79% (yoy), setelah mencatat inflasi yang cukup tinggi pada bulan sebelumnya yang tercatat sebesar 8,61% (yoy). Dengan demikian, maka inflasi tahun kalender Januari-Agustus 7,94%, telah melampaui asumsi inflasi APBN-P 2013 yang sebesar 7,2%.

Pemicu inflasi bulan Agustus 2013 terutama karena tekanan dari beberapa harga komoditas hortikultura dan berlanjutnya tekanan harga bawang merah dan daging sapi, sehingga menyebabkan inflasi bergejolak (volatile) masih cukup tinggi yakni mencapai 16,52% (yoy). Sedangkan pada Agustus 2013, inflasi kelompok harga diatur pemerintah (administered prices) mencapai 15,4% (yoy), yang didorong kenaikan tarif angkutan selama periode Lebaran dan kenaikan tarif listrik. Sementara itu, inflasi inti mencapai 4,48% (yoy).

B. Tingkat Inflasi

Sumber : Bank Indonesia dan CEIC (2013)

Gambar 4 : Jumlah Uang Beredar, Tahun 2011 – 2013* (dalam IDR Triliun)


(8)

Perkembangan Ekonomi Terkini

Sumber : BPS dan CEIC (2013)

Gambar 6: Tingkat Inflasi Tahun 2009 - 2013* Menurut Kelompok Pengeluaran (mtm, dalam %)

Tekanan inflasi yang semakin meningkat menjadi ancaman bagi perekonomian nasional

Dari data yang dirilis BPS, inflasi Agustus 2013 terjadi karena adanya kenaikan harga di seluruh kelompok pengeluaran. Angka tertinggi penyumbang inflasi Agustus 2013 (mtm) adalah kelompok sandang 1,81%, bahan makanan 1,75%, serta kelompok pendidikan, rekreasi, dan olahraga 1,36%. Tingginya inflasi bulan Agustus 2013 tidak lepas dari dampak bulan Ramadhan dan Lebaran yang menyebabkan meningkatnya permintaan sandang dan bahan makanan.

Selain itu, inflasi Agustus 2013 (mtm) juga didorong oleh kelompok

Gambar 5: Tingkat Inflasi, Tahun 2011 – 2013* (YoY, dalam %)

Tingginya inflasi Agustus 2013 terutama berasal dari inflasi harga diatur pemerintah dan harga bergejolak..


(9)

makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau 0,68%; kelompok; kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar 0,66%; kelompok sandang 1,81%; kelompok kesehatan 0,37%; dan kelompok transport, komunikasi, dan jasa keuangan 0,95%.

Di awal tahun 2013, Bank Indonesia mematok suku bunga acuan (BI rate) sebesar 5,75%. Kemudian, di bulan Juni 2013, bank sentral menaikkan 25 basis poin ke level 6% . Kebijakan ini diambil BI sebagai antisipasi terhadap inflasi dan respon terhadap pelemahan rupiah seiring dengan arus keluar modal asing mulai akhir Mei 2013. Kemudian pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI tanggal 11 Juli 2013, bank sentral kembali menaikkan BI rate sebesar 50 basis poin menjadi 6,5%. Kebijakan ini diambil BI sebagai upayanya merespon semakin tingginya ekspektasi inflasi serta memelihara kestabilan makroekonomi dan stabilitas sistem keuangan ditengah ketidakpastian pasar keuangan global.

Menyikapi pelemahan rupiah yang terus berlangsung serta dinamika perubahan ekonomi global dan nasional, Bank Indonesia mengadakan RDG bulanan tambahan pada Kamis, 29 Agustus 2013 yang memutuskan untuk menaikkan BI rate sebesar 50 basis poin menjadi 7%.

C. Tingkat Suku Bunga

Gambar 7: Perkembangan BI Rate, Suku Bunga SBI, Deposito, dan Penjaminan, Tahun 2009 - 2013* (dalam % )

Suku bunga acuan naik menjadi 7%


(10)

Perkembangan Moneter

Selanjutnya, sehubungan dengan tekanan yang masih dihadapi oleh rupiah, Bank Indonesia kembali menaikkan BI rate dalam RDG tanggal 12 September 2013 menjadi 7,25%. Keputusan BI menaikkan suku bunga acuan diambil untuk membantu menjaga kurs mata uang rupiah agar tidak jatuh lagi karena suku bunga dalam rupiah jadi lebih atraktif. Kebijakan ini juga sebagai bagian dari langkah bank sentral dalam menekan defisit transaksi berjalan. Selain menaikkan BI rate, bank sentral juga memutuskan untuk menaikkan suku bunga Lending Facility (LF) menjadi 7,25% dan suku bunga Deposit Facility (DF) menjadi 5,5%.

Selain itu, BI juga mengeluarkan kebijakan untuk memperpendek jangka waktu month-holding-period kepemilikan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dari 6 bulan menjadi 1 bulan. BI juga memutuskan untuk memperhitungkan Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI) sebagai komponen Giro Wajib Minimum (GWM) Sekunder.

Kebijakan lainnya adalah bank sentral memutuskan untuk memperkuat kerjasama antara bank sentral dengan memperpanjang Bilateral Swap Arrangement (BSA) antara Bank Indonesia dengan Bank of Japan . Bank Indonesia telah menandatangani perpanjangan BSA dengan Bank of Japan sebagai agen Menteri Keuangan Jepang sebesar USD 12 miliar, berlaku efektif 31 Agustus 2013.

Gambar 8 : Cadangan Devisa Indonesia Tahun 2011- 2013* (dalam USD Milyar)

Cadangan devisa semakin tergerus


(11)

Cadangan devisa Indonesia merupakan aset eksternal yang dapat langsung tersedia dan berada di bawah kontrol bank sentral selaku otorita moneter untuk membiayai ketidakseimbangan neraca pembayaran, serta melakukan intervensi di pasar dalam rangka memelihara kestabilan nilai tukar.

Namun, saat ini posisi cadangan devisa semakin tergerus karena defisit transaksi berjalan yang meningkat padahal surplus transaksi modal dan finansial belum dapat menutup defisit transaksi berjalan, sehingga neraca pembayaran defisit. Cadangan devisa tercatat merosot sebesar USD 20,11 miliar dari USD 112,78 miliar pada Desember 2012 menjadi USD 92,997 miliar pada Agustus 2013. Kondisi cadangan devisa ini membuat upaya bank sentral untuk melakukan intervensi terhadap nilai tukar rupiah semakin terbatas. Padahal kebutuhan akan USD untuk pembayaran utang luar negeri cukup besar. Berdasarkan data BI, pembayaran utang luar negeri sepanjang Juni hingga Desember 2013 mencapai USD 28,88 miliar. Tekanan yang tinggi pada pasar keuangan global di tengah melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia telah memberikan tekanan pada kinerja perdagangan dan pasar keuangan nasional. Rencana pengurangan bertahap stimulus moneter oleh bank sentral Amerika Serikat (the Fed) terus memberikan tekanan pada pasar keuangan di berbagai negara. Penarikan modal dan meningkatnya risiko investasi menyebabkan harga saham menurun serta nilai tukar di beberapa negara emerging market melemah, termasuk Indonesia.

Selanjutnya, akibat tekanan pasar keuangan global serta faktor domestik terutama terkait dengan tingginya defisit transaksi berjalan dan inflasi, pada bulan Agustus 2013 nilai tukar rupiah terhadap USD mencapai IDR 10.924 per USD, terdepresiasi sebesar 12,64% dibandingkan bulan Januari 2013 yang tercatat berada pada level IDR 9.698 per USD. Nilai rupiah terus menurun hingga menembus level IDR 11.200 per USD pada tanggal 6 September 2013. Pergerakan rupiah terhadap USD yang terus tertekan disertai dengan cadangan devisa yang semakin tergerus membuat para pelaku pasar panik, hal ini tercermin dari pelemahan pergerahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Pergerakan IHSG semakin melemah, di awal tahun 2013 IHSG berada pada level 4.453,70.


(12)

Perkembangan Moneter

Bahkan pada bulan Mei 2013 mampu menanjak hingga level 5.068,63. Namun pada akhir Agustus 2013, IHSG merosot hingga ke level 4.195,09.

Sehubungan dengan semakin terpuruknya IHSG, Otoritas Jasa K e u a n g a n ( O J K ) m e n g e l u a r k a n p e r a t u r a n t e n t a n g dimungkinkannya pembelian kembali saham (buyback) oleh emiten tanpa melalui Rapat Umum Pemegang Saham. Kebijakan buyback ini diatur dalam Peraturan OJK No. 02/POJK 04/2013 tentang Pembelian Kembali Saham yang Dikeluarkan oleh Emiten atau Perusahaan Publik dalam Kondisi Pasar yang Berfluktuasi secara Signifikan. Pemberlakuan kebijakan buyback sebagai antisipasi merosotnya harga berbagai saham big caps di pasar modal. Akibatnya, saham-saham blue chips yang tadinya menjadi leading movers IHSG terpaksa harus bergeser menjadi lagging movers IHSG.

Gambar 9 : Nilai Tukar dan Harga Saham, Tahun 2011 - 2013*

Nilai Rupiah terus menurun. Sejak awal tahun hingga Agustus 2013, rupiah sudah terdepresiasi sebesar 12,64%.


(13)

III. Perkembangan Fiskal dan Utang Negara

A. Perkembangan Fiskal

Pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2013 mencapai 5,8% (yoy), lebih rendah dibandingkan periode yang sama pada tahun 2012 sebesar 6,3%. Menurunnya kinerja ekonomi Indonesia berdampak pada rendahnya penerimaan negara. Realisasi penerimaan negara per 31 Agustus 2013 sebesar IDR 844,9 triliun, angka ini lebih tinggi secara nominal dibanding periode yang sama tahun sebelumnya IDR 798,36 triliun. Namun, pencapaian tersebut jika dibandingkan dengan target dalam APBN-P 2013 baru mencapai 56,3%, angka ini lebih kecil dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya 58,7% dari target APBN-P 2012.

Pada saat yang sama, realisasi belanja negara mencapai IDR 945,8 triliun atau setara 54,8% dari pagu APBN P 2013 lebih tinggi dibandingkan pada periode yang sama tahun 2012 yang hanya mencapai 53,8% dari total pagu APBN-P 2012 atau sebesar IDR 832,824 triliun. Meskipun demikian, realisasi belanja modal hingga Agustus 2013 masih rendah, hanya 31,4% dari total alokasi pada pos tersebut. Realisasi subsidi BBM mencapai 66,6% dari pagu anggaran. Realisasi pembayaran kewajiban cicilan utang luar negeri sudah melebihi pagu anggaran yang sudah ditetapkan yaitu IDR 20 triliun dari IDR 15,8 trilliun atau 127,2% dari pagu anggaran APBN-P 2013.

Dalam pidato kenegaraan yang disampaikan pada 16 Agustus 2013, Presiden menyampaikan pidato terkait postur RAPBN 2014. Beberapa asumsi makro pada RAPBN 2014 yang digunakan dinilai terlalu optimis jika dikaitkan dengan kondisi ekonomi saat ini. Tabel 1: APBN-P 2013 dan RAPBN 2014

Instabilitas makroekonomi yang sedang terjadi akan mengancam pencapaian asumsi indikator makro dalam RAPBN 2014


(14)

Dengan asumsi tersebut, pemerintah harus bekerja keras untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 6,4%; menjaga inflasi pada level 4,5% dan nilai tukar pada posisi IDR 9.750 per USD.

Subsidi memiliki porsi yang paling besar dari RAPBN 2014 sebesar IDR 336,2 triliun, setara dengan 27% total belanja pemerintah pusat. Jumlah tersebut diperkirakan dapat meningkat seiring potensi pelemahan rupiah yang akan berdampak naiknya harga BBM. Bukan hanya itu, pelemahan rupiah juga akan dapat meningkatkan alokasi anggaran untuk pembayaran bunga utang luar negeri, sehingga kondisi fiskal akan semakin tertekan. Sementara itu, belanja modal pada RABPN 2014 mengalami kenaikan 6% dari APBNP 2013, namun masih lebih kecil dibandingkan kenaikan belanja pegawai sebesar 16%. Lain halnya dengan bantuan sosial, meski mengalami penurunan 48% pada RABPN 2014, namun hal ini tetap rawan ditunggangi oleh kepentingan politik menjelang pemilu 2014. Penerimaan pajak (tanpa penerimaan dari cukai) tahun 2013 per 31 Agustus meningkat 7,01% secara nominal dibandingkan periode yang sama tahun 2012. Akan tetapi, realisasi penerimaan pajak per 31 Agustus 2013 tersebut secara persentase (realisasi penerimaan pajak dibandingkan target penerimaannya) menurun 4,84% dibandingkan tahun sebelumnya pada periode yang sama. Secara nominal Pajak Penghasilan (PPh) Non Migas, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Tabel 2 : Perkembangan Belanja Pemerintah Pusat, 2013-2014 (IDR Triliun)

Pelemahan rupiah akan berpotensi menyebabkan pembengkakan anggaran pada pos subsidi dan pembayaran bunga utang dalam RAPBN 2014

Sumber: Kementerian Keuangan (2013)


(15)

Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), serta pajak lainnya mengalami peningkatan dibanding periode yang sama sebelumnya. Penerimaan pajak yang mengalami penurunan terjadi pada penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar 69,87% serta Pajak Penghasilan (PPh) Migas sebesar 3,55%.

Di tahun 2014, pemerintah harus bekerja keras menurunkan defisit anggaran seperti yang tertera pada RAPBN menjadi 1,49% dari PDB. Pemerintah menetapkan rencana penerimaan negara naik sebesar 10,69% dari IDR 1.502 triliun menjadi IDR 1662.5 triliun. Rencana belanja negara juga mengalami kenaikan sebesar 5,24% dari APBN-P 2013 menjadi IDR 1.816,7 triliun sebagaimana tertera dalam RAPBN 2014. Pada RAPBN 2014, belanja pemerintah pusat mengalami kenaikan 2,8%, sedangkan transfer ke daerah jumlahnya bertambah 10,77%. dari APBN-P 2013.

Tabel 4: Defisit Anggaran dalam APBN-P 2013 dan RAPBN 2014 (IDR Triliun)

Pemerintah menargetkan penurunan defisit anggaran menjadi 1,49% terhadap PDB pada 2014

Sumber: Kementerian Keuangan (2013)

Tabel 3: Penerimaan Pajak dalam Negeri Periode 1 Januari hingga 31 Agustus 2013 (dalam IDR Miliar)

Meski penerimaan pajak per 31 Agustus 2013 secara nominal meningkat 7,01% (yoy) dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, tetapi realisasi penerimaan negara terhadap target dalam APBN-P mengalami penurunan sebesar 4,84%.


(16)

Perkembangan Fiskal dan Utang Negara

Meskipun demikian, optimisme pemerintah untuk mengurangi defisit APBN 2014 ini akan mendapat tantangan yang serius karena rasio realisasi penerimaan pemerintah terhadap target APBN-P 2013 yang menurun ditambah potensi pengeluaran yang membengkak akibat pelemahan rupiah yang signifikan. Pemerintahan SBY di tahun-tahun terakhirnya akan menghadapi tekanan fiskal yang cukup berat dengan instabilitas makroekonomi yang saat ini terjadi.

B. Perkembangan Utang Negara dan Utang Luar Negeri

Total Surat Berharga Negara (SBN) outstanding yang dapat diperdagangkan per Agustus 2013 mencapai IDR 1.535,47 triliun meningkat sebesar IDR 33,86 triliun dibandingkan dengan SBN outstanding per Juli 2013 yang tercatat sebesar IDR 1.501,62 triliun. Komposisi SBN outstanding periode Agustus 2013 paling besar adalah obligasi negara dengan bunga tetap, tercatat sebesar IDR 685,9 triliun. Sementara itu, Surat Perbendaharaan Negara (SPN) pada Agustus 2013 tercatat sebesar IDR 32,15 triliun menunjukkan peningkatan sebesar IDR 3,56 triliun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar IDR 29 triliun. Sedangkan Obligasi Negara dengan tingkat bunga mengambang tidak mengalami perubahan sejak Januari 2013 hingga Agustus 2013 sebesar IDR 122,754 triliun.

Gambar 10 : Komposisi Surat Berharga NegaraOutstanding Januari 2011 - Agustus 2013

Surat Berharga Negara terus meningkat


(17)

Total kepemilikan asing atas SBN menunjukkan peningkatan sebesar IDR 10,81 triliun dari awal tahun 2013 hingga Agustus 2013 dari IDR 273,2 triliun menjadi IDR 284,01 triliun. Sedangkan kepemilikan asing atas saham menunjukkan peningkatan sebesar IDR 76,33 triliun dari awal tahun 2013 hingga Juli 2013 menjadi IDR 1693,2 triliun. Namun, total kepemilikan asing atas SBN menunjukkan penurunan sebesar IDR 18,93 triliun dari Mei 2013. Total kepemilikan asing atas ekuitas, obligasi pemerintah, dan SBI secara umum mengalami penurunan akhir-akhir ini. Sejak Mei 2013, kepemilikan asing atas ekuitas turun sebesar USD 21 miliar menjadi USD 162 miliar hingga Juli 2013 dan obligasi pemerintah turun sebesar USD 4,21 miliar menjadi USD 26,8 miliar pada Agustus 2013. Sejak April 2013, kepemilikan asing atas SBI turun sebesar USD 80,9 juta menjadi USD 88,77 juta pada Agustus 2013. Penurunan terjadi selain karena penerapan kebijakan 6 months holding period oleh BI untuk SBI, juga karena pengaruh kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat yang menyebabkan investor asing mengalihkan investasinya ke Amerika yang menyebabkan pelemahan rupiah dan juga turunnya kepemilikan asing atas surat berharga di Indonesia.

Capital outflow yang terjadi karena berkurangnya kepemilikan asing atas surat berharga Indonesia ikut menggerus cadangan devisa Indonesia. Hal ini terjadi karena investor yang berinvestasi pada

Gambar 11: Kepemilikan Asing Atas Ekuitas, Obligasi, dan SBI Maret 2010 – Agustus 2013 Kepemilikan asing terus menurun.


(18)

Perkembangan Fiskal dan Utang Negara

dana jangka pendek, hot money, seperti saham, SBI, dan obligasi melepas surat berharga yang dipegang kemudian meningkatkan permintaan akan dollar AS, sehingga rupiah mengalami pelemahan. Akibatnya cadangan devisa berkurang untuk stabilisasi rupiah. Debt Service Ratio (DSR) adalah indikator yang menunjukkan rasio pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri terhadap penerimaan hasil ekspor suatu negara. Pada kuartal II-2013, DSR Indonesia sebesar 41,4%. Rasio terus meningkat dibandingkan dengan kuartal tahun-tahun sebelumnya. Kondisi ini berbahaya apabila pelemahan rupiah terus terjadi karena beban utang Indonesia akan semakin berat.

Secara umum total utang luar negeri Indonesia terus meningkat, terutama utang luar negeri swasta. Total utang luar negeri Indonesia pada Juni 2013 sebesar USD 257 miliar hanya turun sebesar USD 0,54 miliar dari bulan sebelumnya, meningkat sebesar USD 6,48 miliar dari awal tahun 2013, dan meningkat sebesar USD 19,06 miliar dari bulan Juni tahun 2012.

Nilai utang luar negeri swasta pada Mei 2012 sebesar USD 118,48 miliar telah melebihi utang luar negeri pemerintah sejak bulan Mei 2012. Pada bulan Juni 2013, nilai utang luar negeri swasta mencapai USD 133,98 miliar, lebih besar sebesar USD 19,97 miliar dari nilai utang luar negeri pemerintah bulan Juni 2013 yang mencapai USD 114,01 miliar dan lebih besar sebesar USD 9,9 miliar dari nilai utang luar negeri pemerintah dan bank sentral bulan Juni 2013 yang mencapai USD 124 miliar.

Nilai utang luar negeri swasta jangka pendek by original maturity adalah utang yang dihitung mulai dari timbulnya kewajiban utang sampai dengan jatuh tempo. Pada Juni 2013, nilai utang luar negeri swasta jangka pendek by original maturity sebesar USD 39,58 miliar, meningkat sebesar USD 3,32 miliar dari bulan Mei 2013 dan meningkat sebesar USD 2,49 miliar dari bulan Juni tahun 2012. Nilai utang luar negeri swasta jangka pendek by remaining maturity adalah posisi utang yang dihitung dengan menjumlahkan posisi utang jangka pendek berdasarkan original maturity dan posisi utang jangka panjang yang akan dibayar dalam jangka waktu maksimal satu tahun ke depan dari posisi bulan pelaporan. Pada Juni 2013, utang swasta


(19)

jangka pendek by remaining maturity sebesar USD 40,48 miliar, meningkat sebesar USD 997 juta dari bulan Mei 2013 dan meningkat sebesar USD 2,102 miliar dari bulan Juni tahun 2012.

Gambar 12: Debt Service Ratio Indonesia 2004:Q1 – 2013:Q2 Debt Service Ratio terus meningkat

Sumber: Kementerian Keuangan dan CEIC (2013) Gambar 13: Total Utang Luar Negeri Indonesia

Total utang luar negeri swasta terus meningkat


(20)

Perkembangan Internasional

IV. Perkembangan Internasional

Melemahnya pertumbuhan ekonomi Internasional dan kawasan serta rendahnya daya saing internasional Indonesia yang disertai dengan melemahnya harga komoditas telah menekan ekspor Indonesia.

Kinerja neraca perdagangan Indonesia memburuk pada bulan Juli 2013. Neraca perdagangan tercatat defisit USD 2,3 miliar setelah sebelumnya pada bulan Juni 2013 defisit USD 0,9 miliar. Secara kumulatif dari bulan Januari hingga Juli 2013, defisit neraca perdagangan Indonesia telah menyentuh USD 5,6 miliar.

Nilai ekspor Indonesia pada bulan Juli 2013 meningkat 2,4% dari bulan sebelumnya. Nilai ekspor meningkat dari USD 14,8 miliar pada Juni 2013 menjadi USD 15,1 miliar pada Juli 2013, meskipun jika dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya pencapaian ekspor turun 6,1%. Sedangkan dari sisi impor, nilai impor Indonesia Juli 2013 meningkat 11,4 % dibandingkan Juni 2013 dan meningkat 6,5% dibandingkan Juli 2012. Peningkatan terbesar (mtm) terjadi pada impor barang modal sebesar 13,2%, kemudian impor barang mentah sebesar 11%, dan impor barang konsumsi sebesar 10,7%. Peningkatan nilai impor Indonesia ini memicu defisit neraca perdagangan yang semakin besar. Secara kumulatif dari bulan Januari hingga Juli 2013, nilai impor Indonesia menurun 0,86%, begitu juga dengan nilai ekspor Indonesia yang menurun 6,08% dibandingkan dengan periode Januari hingga Juli 2012.

Gambar 14 : Neraca Perdagangan Indonesia, Januari 2011 – Juli 2013 Defisit neraca perdagangan Indonesia catat rekor terbesar


(21)

Peningkatan nilai impor yang lebih besar dari nilai ekspor pada bulan Juli 2013 mengakibatkan defisit neraca perdagangan tidak terelakkan lagi. Defisit neraca perdagangan Indonesia pada Juli 2013 mencatat rekor tertinggi defisit neraca perdagangan yang pernah ada. Defisit neraca perdagangan yang cukup besar akan menggerus cadangan devisa Indonesia sehingga semakin lama cadangan devisa Indonesia semakin kecil. Hal ini seiring dengan menurunnya nilai cadangan devisa Indonesia dari USD 108,8 miliar pada bulan Januari 2013 menjadi USD 92,997 miliar pada Agustus 2013.

Kenaikan harga bahan bakar minyak yang diberlakukan beberapa waktu lalu belum signifikan berpengaruh terhadap nilai impor migas Indonesia. Nilai impor migas Indonesia tercatat masih mengalami peningkatan, dari yang sebelumnya USD 3,5 miliar pada Juni 2013 menjadi USD 4,1 miliar pada Juli 2013. Lebih rinci, peningkatan impor migas disebabkan oleh naiknya impor minyak mentah sebesar 30,67% dan hasil minyak sebesar 1,62%, di saat impor gas turun 5,81%. Secara kumulatif, nilai impor migas dari bulan Januari hingga Juli 2013 mencapai USD 26,2 miliar, meningkat 8,3% dari impor migas pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Berbanding terbalik dengan nilai impor migas yang meningkat, nilai ekspor migas Indonesia tercatat mengalami penurunan. Nilai ekspor migas Indonesia yang semula USD 2,8 miliar pada Juni 2013, menurun menjadi USD 2,3 miliar pada Juli 2013. Penurunan ini

Gambar 15: Neraca Perdagangan Migas Indonesia, Januari 2011 – Juli 2013

Defisit neraca perdagangan migas masih terus meningkat


(22)

Perkembangan Internasional

dipicu oleh penurunan ekspor minyak mentah sebesar 10,47%, ekspor hasil minyak sebesar 7,94%, dan ekspor gas sebesar 25,3%. Meskipun terjadi penurunan ekspor migas, namun harga minyak mentah Indonesia di pasar dunia tercatat naik USD 99,97 per barel pada Juni 2013 menjadi USD 103,12 per barel pada Juli 2013. Secara kumulatif, nilai ekspor migas Indonesia pada Januari hingga Juli 2013 sebesar USD 18,6 miliar, menurun 19,7% dari nilai ekspor migas Indonesia periode yang sama tahun sebelumnya.

Dengan keadaan ekspor dan impor migas yang telah dijabarkan diatas, maka defisit neraca perdagangan migas Indonesia pada Juli 2013 tidak terelakkan semakin melebar. Defisit neraca perdagangan migas yang semula USD 0,7 miliar pada Juni 2013, meningkat menjadi USD 1,9 miliar. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang surplus USD 0,2 miliar, neraca perdagangan migas Indonesia pada Juli 2013 dinilai memburuk.

Peningkatan ekspor pada bulan Juli 2013 ini ditopang oleh meningkatnya nilai ekspor nonmigas dari USD 11,9 miliar pada bulan Juni 2013 menjadi USD 12,8 miliar pada Juli 2013. Peningkatan ekspor nonmigas terbesar antara lain terjadi pada komoditas bijih, kerak, dan abu logam yang meningkat sebesar USD 0,2 miliar, sedangkan untuk penurunan terbesar terjadi pada lemak dan minyak hewan/nabati sebesar USD 0,4 miliar. Cina, Amerika, dan Jepang masih menjadi negara utama tujuan ekspor nonmigas Indonesia yang nilainya masing-masing mencapai USD 1,7 miliar, USD 1,5 miliar, dan USD 1,4 miliar pada bulan Juli 2013. Secara kumulatif, nilai ekspor nonmigas Indonesia pada Januari hingga Juli 2013 mengalami penurunan sebesar 2,7% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

Di sisi lain, impor nonmigas Indonesia meningkat dari USD 12,1 miliar menjadi USD 13,3 miliar dari Juni 2013 ke Juli 2013. Barang-barang impor yang memiliki kontribusi terbesar meningkatnya nilai impor nonmigas antara lain mesin dan peralatan mekanik yang meningkat 18,3%, plastik dan barang dari plastik yang naik 28,2%, serta golongan besi dan baja yang meningkat sebesar 14,9%. Ketiga barang tersebut memiliki peningkatan impor terbesar dengan nilai nominal masing-masing lebih dari USD 0,1 miliar. Menurut negara asal barang impor, peningkatan impor nonmigas Indonesia ditopang oleh peningkatan impor nonmigas dari Cina sebesar 17,56%, Jepang 9,7%, dan


(23)

Singapura sebesar 15,9%. Secara kumulatif dari Januari hingga Juli 2013, nilai impor nonmigas Indonesia sebesar USD 85,5 miliar, menurun dari nilai impor nonmigas kumulatif pada periode sama tahun sebelumnya yaitu USD 88,6 miliar.

Dengan keadaan ekspor dan impor nonmigas yang telah dijabarkan diatas, maka hal ini menegaskan bahwa terjadi pelebaran defisit neraca perdagangan nonmigas. Neraca perdagangan nonmigas yang semula defisit USD 0,2 miliar pada Juni 2013, meningkat menjadi USD 0,5 miliar pada Juli 2013.

Demikian juga defisit transaksi berjalan terus meningkat pada kuartal II-2013. Defisit transaksi berjalan meningkat dari USD 5,8 miliar pada kuartal I-2013 menjadi USD 9,8 miliar pada kuartal II-2013. Dibandingkan dengan kuartal II-2012, kinerja transaksi berjalan Indonesia pada kuartal II-2013 dinilai lebih buruk. Pada kuartal II-2012, defisit transaksi berjalan Indonesia tercatat USD 8,2 miliar lebih rendah dari defisit saat ini.

Memburuknya defisit transaksi berjalan pada periode ini, terutama disebabkan oleh merosotnya kinerja neraca perdagangan barang yang memburuk dari kuartal sebelumnya. Neraca perdagangan barang yang semula surplus USD 1,6 miliar pada kuartal I-2013, menurun menjadi defisit USD 0,6 miliar pada kuartal II-2013. Memburuknya kinerja neraca perdagangan nonmigas disaat neraca perdagangan migas masih defisit, merupakan penyebab memburuknya kinerja neraca perdagangan barang. Di samping itu,

Gambar 16: Neraca Perdagangan Nonmigas Indonesia, Januari 2011 – Juli 2013

Defisit neraca perdagangan non migas juga semakin melebar


(24)

Perkembangan Internasional

harga komoditas ekspor Indonesia yang masih mengalami penurunan turut memperburuk keadaan neraca perdagangan barang pada periode ini.

Selain disebabkan menurunnya kinerja neraca perdagangan barang, memburuknya kinerja transaksi berjalan juga disebabkan oleh melebarnya defisit neraca jasa dan pendapatan. Defisit neraca jasa meningkat dari USD 2,5 miliar pada kuartal I-2013 menjadi USD 3 miliar pada kuartal II-2013. Melebarnya defisit neraca jasa merupakan akibat dari naiknya jasa transportasi seiring dengan kenaikan impor barang. Sedangkan dalam periode yang sama, defisit neraca pendapatan juga meningkat dari USD 6 miliar menjadi USD 7,1 miliar pada kuartal II-2013. Peningkatan ini disebabkan oleh meningkatnya pembayaran pendapatan investasi Indonesia pada kuartal II-2013.

Transaksi modal dan finansial tercatat kembali mengalami surplus sebesar USD 8,2 miliar pada kuartal II-2013, setelah pada kuartal sebelumnya mengalami defisit USD 0,3 miliar. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kinerja transaksi modal dan finansial pada kuartal II-2013 juga dinilai lebih baik. Pada kuartal II-2012 transaksi modal dan finansial tercatat surplus USD 5 miliar, lebih rendah dari transaksi modal dan finansial kuartal II-2013.

Membaiknya kinerja transaksi modal dan finansial pada kuartal II-2013 ditopang oleh peningkatan kinerja investasi lainnya yang meningkat dari defisit USD 7 miliar pada kuartal I-2013 menjadi

Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2013)

Gambar 17: Neraca Transaksi Berjalan 2009:Q1-2013:Q2


(25)

Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2013)

Gambar 18: Neraca Transaksi Modal dan Finansial, 2009:Q1-2013:Q2

Transaksi Modal dan Finansial kembali surplus, investasi lainnya menjadi penopang utama membaiknya kinerja transaksi modal dan finansial disaat kinerja investasi langsung dan investasi portfolio menurun.

surplus USD 2,3 miliar pada kuartal II-2013. Peningkatan kinerja investasi lainnya disebabkan oleh meningkatnya penarikan uang dan simpanan swasta di perbankan luar negeri yang mencapai USD 4,6 miliar pada kuartal II-2013 dan tercatat di sisi aset. Sedangkan transaksi investasi lainnya di sisi kewajiban mencatat besarnya pembayaran pinjaman luar negeri oleh otoritas moneter, pemerintah, dan swasta yang masing-masing sebesar USD 0,03 miliar, USD 1,7 miliar, dan USD 7 miliar pada kuartal II-2013.

Berbeda dari investasi lainnya, kinerja investasi langsung dan investasi portfolio pada kuartal II-2013 cenderung menurun. Kinerja investasi langsung menurun dari USD 3,9 miliar pada kuartal I-2013 menjadi USD 3,3 miliar pada kuartal II-2013. Sedangkan investasi portfolio menurun dari USD 2,8 miliar menjadi USD 2,6 miliar pada kuartal II-2013.

Dari sisi kewajiban investasi portfolio, aliran masuk dana asing pada surat utang sektor publik mencapai USD 3,1 miliar meningkat dari kuartal sebelumnya yaitu USD 0,1 miliar. Kenaikan ini ditopang oleh penerbitan obligasi pemerintah senilai USD 3 miliar pada kuartal II-2013 di mana sebanyak USD 2,7 miliar dimiliki oleh investor asing. Sementara itu, investasi asing pada instrumen portfolio pada sektor swasta menunjukkan penurunan yang tajam dari USD 2,7 miliar pada kuartal I-2013 menjadi USD 0,1 miliar pada kuartal II-2013.


(26)

GAMA Leading Economic Indicator

Neraca pembayaran Indonesia mengalami sedikit perbaikan pada kuartal II-2013. Terjadi penurunan defisit neraca pembayaran dari USD 6,6 miliar pada kuartal I-2013 menjadi USD 2,5 miliar pada kuartal II-2013. Meskipun keadaan transaksi berjalan masih defisit, tetapi perbaikan kinerja neraca pembayaran ini ditopang oleh perbaikan kinerja transaksi modal dan finansial, terutama jika dilihat dari sisi investasi lainnya yang meningkat pesat dari kuartal sebelumnya.

Sejalan dengan neraca pembayaran yang masih defisit, jumlah cadangan devisa pun semakin menurun. Cadangan devisa Indonesia yang tercatat USD 108,8 miliar pada Januari 2013, menurun menjadi USD 92,997 miliar pada Agustus 2013. Debt Service Ratio Indonesia yang menyentuh 41,4% pada kuartal II-2013 mengindikasikan jumlah kewajiban pembayaran bunga dan cicilan utang yang semakin mendekati jumlah pendapatan dari ekspor. Hal ini menunjukkan kemampuan membayar utang Indonesia semakin mengecil.

Dibandingkan dengan kuartal yang sama tahun sebelumnya, keadaan neraca pembayaran Indonesia pada periode ini masih lebih baik. Pada kuartal II-2012, neraca pembayaran Indonesia tercatat defisit USD 2,8 miliar dengan defisit transaksi berjalan USD 8,2 miliar dan transaksi modal dan finansial yang surplus USD 5,1 miliar.

Gambar 19: Neraca Pembayaran 2009:Q1 - 2013:Q2

Kinerja neraca pembayaran sedikit mengalami perbaikan


(27)

GAMA Leading Economic Indicator (GAMA LEI) kali ini masih menunjukkan kemerosotan pertumbuhan ekonomi Indonesia kedepan. Gambar 19 menunjukan pergerakan siklus perekonomian Indonesia yang didekati dengan PDB harga konstan beserta GAMA LEI dari tahun 2000 hingga tahun kuartal II-2013. Pergerakan GAMA LEI mampu meramalkan pergerakan serta titik balik siklus perekonomian Indonesia dengan akurat pada beberapa bulan ke depan. Keakuratan peramalan GAMA LEI telah sukses memprediksi adanya penurunan kegiatan perekonomian Indonesia tiga kali berturut–turut yaitu pada kuartal IV-2012 hingga kuartal II-2013. Untuk edisi saat ini GAMA LEI yang dibentuk oleh Tim Macroeconomic Dashboard FEB UGM akan memprediksi pergerakan perekonomian Indonesia untuk kuartal III-2013.

Secara umum, pergerakan indikator-indikator makroekonomi pembentuk GAMA LEI mengalami penurunan kinerja di kuartal II-2013. Pergerakan IHSG, ekspor nonmigas, dan cadangan devisa mengalami kontraksi. Kurangnya kemampuan pemerintah dalam meredam adanya sinyal buruk pada beberapa indikator makro tersebut menyebabkan instabilitas perekonomian Indonesia saat ini semakin meningkat.

Dari sisi konsumsi, adanya kontraksi pada indikator penjualan mobil domestik dan konsumsi semen menunjukan gejala pelemahan permintaan masyarakat akan barang yang diproduksi dalam negeri. Hal ini dapat menjadi sinyalemen bagi pemerintah bahwa komponen konsumsi masyarakat sebagai penopang perekonomian Indonesia menurun daya dorongnya.

V. GAMA Leading Economic Indicator


(28)

GAMA Leading Economic Indicator

Dari sisi investasi, melemahnya realisasi investasi asing dan domestik menjadi tanda bahwa Indonesia kurang mampu menarik penanam modal untuk melakukan aktivitas ekonomi di Indonesia. Pelemahan kedua indikator tersebut disebabkan karena adanya koreksi beberapa kali terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia serta kebijakan pemerintah yang kurang solutif dalam menarik investasi ke dalam negeri.

Berdasarkan pemaparan di atas serta hasil peramalan dalam model GAMA LEI, perekonomian Indonesia pada kuartal III-2013 diprediksi masih mengalami perlambatan. Hal ini juga diperkuat dengan belum adanya titik balik pada model GAMA LEI yang menunjukan perubahan arah pergerakan ekonomi di waktu yang akan datang.

Estimasi ini diperoleh berdasarkan survei yang dilakukan oleh tim Macroeconomic Dashboard dengan responden dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM. Survei ini memprediksi tiga indikator makro utama Indonesia yaitu: pertumbuhan, inflasi dan nilai tukar. Secara umum prediksi kondisi makroekonomi Indonesia masih tidak menggembirakan.

Pertumbuhan PDB riil (yoy) untuk kuartal III-2013 dan kuartal IV-2013 masing-masing 5,57% ± 0,28% dan 5,47% ± 0,31%. Sementara itu, prediksi untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan memperhatikan kondisi terkini untuk tahun 2013 dan 2014 masing-masing sebesar 5,73% ± 0,16% dan 5,71% ± 0,29%.

Terakhir, estimasi untuk nilai tukar rupiah terhadap dollar AS untuk kuartal III-2013 dan kuartal IV-2013 masing-masing sebesar IDR/USD 10.928,6 ± IDR/USD 534,5 dan IDR/USD 10.957,10 ± IDR/USD 957,2. Sedangkan untuk kurs di tahun 2013 dan 2014 masing-masing sebesar IDR/USD 10.714,3 ± IDR/USD 487,9 dan IDR/USD 10.728,6 ± IDR/USD 1.049,9

Selanjutnya, prediksi inflasi (yoy) untuk kuartal III-2013 dan kuartal IV-2013 masing-masing 8,46% ± 0,46% dan 8,44% ± 1,04%. Sedangkan untuk inflasi tahunan 2013 dan 2014 masing-masing sebesar 8,24% dan 7,43%.


(29)

VI. Ekonomi ASEAN: Peningkatan Instabilitas,

Perlambatan Pertumbuhan

Stabilitas ekonomi makro ASEAN secara umum memburuk dilihat dari meningkatnya inflasi di beberapa negara anggota dan melemahnya mata uang pada hampir semua negara kawasan. Demikian juga indeks harga saham gabungan kawasan banyak yang merosot, sehingga laju pertumbuhan ekonomi kawasan cenderung menurun.

Tingkat inflasi pada negara-negara ASEAN hingga bulan Agustus 2013 cenderung meningkat terutama untuk negara Indonesia (8,79%), Vietnam (7,50%) dan Laos (7,43%). Indonesia mengalami tekanan tinggi pada inflasi terutama diakibatkan dari terganggunya pasokan sejumlah komoditas pangan seperti bawang merah, cabai, daging sapi dan daging ayam serta momentum penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang berdekatan dengan hari besar keagamaan serta tahun ajaran baru pendidikan dasar, menengah dan perguruan tinggi. Sementara inflasi tinggi yang terjadi di Vietnam terutama didorong oleh dampak penuh dari implementasi penyesuaian harga BBM yang dilakukan pada bulan Agustus 2013 diiringi dengan peningkatan biaya oleh otoritas terkait pada biaya kesehatan, biaya pendidikan, biaya air rumah tangga serta biaya transportasi umum. Kebijakan bank sentral yang lemah diiringi dengan pelayanan perbankan umum yang masih sangat terbatas

Tabel 5 : Estimasi PDB (YoY, dalam %)

Sumber: Data primer, diolah (2013)

Tabel 6 : Estimasi Inflasi (YoY, dalam %)

Sumber: Data primer, diolah (2013)

Tabel 7 : Estimasi Nilai Tukar rupiah terhadap dolar AS (IDR per USD)


(30)

Ekonomi Asean

menyebabkan aktivitas perbankan yang dapat menjadi penyeimbang terhadap kecenderungan peningkatan harga menjadi berjalan tidak optimal di Vietnam. Lonjakan tingkat inflasi di beberapa negara utama di ASEAN ini ditindaklanjuti dengan berbagai kebijakan moneter oleh bank sentral masing-masing negara serta kebijakan price pegging oleh otoritas terkait pada beberapa sektor di Vietnam terutama pada biaya layanan kesehatan. Tanda-tanda instabilitas ekonomi di negara ASEAN juga terekam pada aktivitas di pasar saham maupun nilai tukar mata uang. Pasca Krisis Keuangan Global 2008-2009, terlihat bahwa hampir semua negara anggota mengalami pertumbuhan pada harga-harga saham hingga tahun 2012. Namun, hingga transaksi per-30 Agustus 2013 terdapat 7 dari 10 negara ASEAN mengalami penurunan pertumbuhan harga saham yang menunjukkan bahwa adanya kecenderungan keluarnya arus modal para investor dari negara-negara ASEAN akibat ekonomi Amerika Serikat mengirimkan sinyal perbaikan ekonomi serta antisipasi kebijakan tapering the Fed sementara persepsi para pelaku bisnis terhadap ekonomi ASEAN tidak terlalu baik. Ketersediaan modal yang mengering diiringi dengan neraca pembayaran yang mengalami defisit di beberapa negara mendorong terjadinya juga pelemahan pada nilai tukar mata uang tercatat hingga 30 Agustus 2013, seluruh mata uang negara

Gambar 19: N21 : Tingkat Inflasi Negara Anggota ASEAN Tahun 2000-Agustus 2013 (yoy, dalam %)

Kekanan inflasi meningkat


(31)

Tabel 9 : Indeks Saham Negara ASEAN: 2009-30/8/2013 (yoy, dalam %)

Pasar Saham Menunjukkan Pelemahan: Arus Balik Modal Asing

Sumber: Bloomberg (2013)

Tabel 8: Nilai Tukar Negara ASEAN Terhadap USD, Tahun 2009- 2013* (yoy, dalam %)

Nilai Tukar Mata Uang Negara ASEAN Cenderung Melemah

Sumber: Bloomberg (2013) Catatan : 2013 = 30 Agustus 2013

Myanmar pada tahun 2012 mengalami penyesuaian nilai mata uang

anggota ASEAN mengalami pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (USD). Pelemahan mata uang terutama pada negara-negara utama ASEAN (ASEAN-5) seperti Indonesia dan Malaysia yang memiliki pangsa ekonomi yang besar diperkirakan akan memberikan dampak pada ekonomi ASEAN secara keseluruhan. Pertumbuhan ekonomi negara-negara anggota Association of South East Asian Nation (ASEAN) menunjukkan kecenderungan perlambatan selama tengah tahun pertama 2013 ini terutama disebabkan oleh melemahnya pertumbuhan ekonomi global,


(32)

sehingga memangkas ekspornya serta melemahnya konsumsi karena naiknya inflasi. Data pertumbuhan ekonomi Kuartal II-2013 menunjukkan bahwa dari total 10 (sepuluh) negara anggota ASEAN, hanya 2 (dua) negara yang mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi year-on-year lebih baik daripada capaian pada tahun 2012 yaitu Filipina (7,5%) dan Singapura (3,7%).

Filipina pada Kuartal II-2013, berhasil menjaga tingkat konsumsi penduduk dengan memanfaatkan remitansi yang hingga sebesar USD 1,7 miliar setiap bulannya serta meningkat pertumbuhan investasi (capital formation) dan pengeluaran pemerintah (public spending) yang kecepatannya melebihi pertumbuhan konsumsi. Keadaan ini ditopang juga karena Filipina ini memiliki tingkat ketergantungan terhadap perdagangan internasional yang lebih rendah dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Sementara Singapura berhasil menjaga pertumbuhan ekonominya berkat kejelian para pelaku usaha Singapura di bidang perdagangan wholesale maupun retail yang mampu mencari kesempatan penurunan ekonomi di Cina dengan melayani perdagangan internasional Amerika Serikat dan Eropa yang ekonominya

Gambar 22: Tingkat Pertumbuhan PDB Negara Anggota ASEAN Berdasarkan Harga Konstan, Tahun 1998–Q2/2013 (yoy, dalam %)

Perekonomian ASEAN cenderung melambat ditengah ketidakpastian ekonomi global dan instabilitas ekonomi makro kawasan

Sumber: IMF, CEIC (2013)


(33)

cenderung membaik. Menurut beberapa lembaga internasional, perlambatan ekonomi negara ASEAN hanya dapat dicegah menjadi lebih buruk apabila pemerintah masing-masing negara mampu untuk menjaga pertumbuhan konsumsi domestik dan tingkat investasi, mengingat negara utama di Asia juga mengalami perlambatan ekonomi seperti Cina yang mengalami pertumbuhan kuartal II hanya sebesar 7,5% dibandingkan kuartal I sebesar 7,7% dan India yang pada kuartal II tumbuh hanya sebesar 4,4% dibandingkan kuartal sebelumnya sebesar 4,8%. Dengan situasi tersebut terlihat bahwa ketidakpastian yang terjadi pada ekonomi global diiringi dengan instabilitas ekonomi di kawasan ASEAN terutama pada indikator inflasi, pasar saham dan nilai tukar mata uang menyebabkan terjadinya kecenderungan penurunan pertumbuhan ekonomi pada negara-negara anggota ASEAN.

VII. Isu Terkini

Indonesia di Bawah Bayang-Bayang “Sindrom” Krisis

1 Oleh Prof. Tri Widodo, Ph.D

Adakah alasan untuk mencurigai kemungkinan babak baru krisis ekonomi di Indonesia? Terkait dengan pertanyaan tersebut dan perkembangan terkini ekonomi Indonesia, terdapat tiga isu perekonomian makro yang sangat relevan untuk dicermati yaitu pertumbuhan ekonomi (economic growth), pengangguran (unemployment) dan stabilisasi (stabilization).

Tiga triwulan terakhir ini pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan. Target pertumbuhan ekonomi pemerintah sebagaimana tercantum dalam APBN-P yang 6,3% kemungkinan besar tidak akan tercapai. Bank Indonesia (2013) dan BPS(2013) mencatat bahwa kondisi dua triwulan terakhir menunjukkan pertumbuhan ekonomi hanya 5,8%. Implikasinya jelas, menurut rujukan Hukum Okun, kemampuan ekonomi menyerap tenaga kerja juga berkurang. Kelihatannya trickle-down effect pertumbuhan ekonomi makro yang 5,8% tersebut jelas kurang mampu menyerap tenaga kerja, karena permasalahan struktural, seperti daya saing tenaga kerja, infrastruktur dan lain-lain.

Tidak salah jika kita menyatakan “perekonomian mikro tak seindah warna perekonomian makro”, artinya keberhasilan indikator pertumbuhan ekonomi makro kerap dijadikan komoditi pencitraan


(34)

Isu Terkini

pemerintah, padahal kinerja perekomian mikro seperti penganguran dan kemiskinan masih relatif payah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tingkat pengangguran per Februari 2013 adalah 7,17 juta orang (5,92 %) dari jumlah angkatan kerja di Indonesia yang mencapai 121,2 juta orang. Tingkat kemiskinan bulan Maret 2013 mencapai 11,37%, sehingga kemungkinan besar target kemiskinan tahun 2013 yang sebesar 10,5 % sulit untuk dicapai. Apalagi, pesimisme tersebut diperparah dengan tingkat inflasi yang tinggi pada Juli 2013 tercatat 3,29%.

Inflasi tersebut merupakan dampak rentetan panjang kenaikan bahan bakar minyak bersubsidi, puasa dan lebaran. Masyarakat miskin sudah terbiasa di-“ninabobo”-kan oleh kebijakan pemerintah yang populis, sementara, political-opurtunis dan tidak menyelesaikan masalah mendasar kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang melambat tersebut selain mempengaruhi penyerapan tenaga kerja juga akan mempengaruhi kemampuan pemerintah dalam memperoleh pendapatan pajak dan nonpajak. Sedangkan belanja akan melonjak di tahun politik 2014, sehingga target defisit anggaran hanya 1,49 % dari PDB kelihatannya susah untuk dicapai.

Industri dan investasi baik asing dan domestik lebih bias pada padat modal (capital intensive) ketimbang padat karya (labor intensive). Daya saing tenaga kerja, kegamangan peraturan ketenagakerjaan memperparah pesimime dunia usaha. Hasil interview dengan asosiasi pengusaha menunjukkan banyak pengusaha yang semula bergerak di manufaktur padat tenaga kerja seperti tekstil, elektronik dan lain-lain beralih pada bisnis yang lebih sedikit berinteraksi dengan buruh, yaitu bisnis properti di mana sebagian besar tenaga kerja bisa di-outsourcing-kan. Banyak pengusaha, tidak lagi memproduksi barang tetapi mereka lebih suka untuk menjadi pedagang/impor. Impor lebih menarik dan menguntungkan dari pada berproduksi di domestik.

Kondisi ini memperparah defisit perdagangan. Neraca perdagangan yang semula surplus USD 0,1 miliar pada Maret 2013, menurun menjadi defisit USD 1,6 miliar pada April 2013. Bahkan, pada bulan Juli 2013 tercatat defisit USD 2,3 miliar. Penurunan kinerja neraca perdagangan pada April 2013 terutama disebabkan oleh meningkatnya nilai impor sebesar 9,6%. Nilai impor yang meningkat disebabkan oleh peningkatan impor nonmigas dari USD


(35)

11 miliar menjadi USD 12,7 miliar, sementara impor migas menurun sebesar USD 0,3 miliar atau 7,7%. Celakanya lagi, impor kita saat ini tidak hanya di barang-barang modal, bahan baku dan penolong tetapi juga barang-barang konsumsi. Ekspor turun dari USD 15,02 miliar menjadi USD 14,7 miliar turut menyumbang defisit neraca perdagangan pada April 2013. Ini adalah pertanda masalah struktural daya saing bangsa.

Transaksi modal dan finansial dinilai memburuk pada kuartal I 2013. Transaksi modal dan finansial tercatat turun tajam menjadi defisit USD 0,3 miliar pada kuartal I 2013 setelah sebelumnya mengalami surplus USD 12,08 miliar pada kuartal IV 2012. Defisit di transaksi berjalan dan tansaksi modal dan finansial secara otomatis menyebabkan defisit neraca pembayaran USD 6,6 miliar pada kuartal II 2013 setelah sebelumnya surplus USD 3,2 pada kuartal IV 2012. Defisit neraca pembayaran ini mendekati kondisi krisis tahun 1998 yang defisit sebesar USD 9,3 milyar.

Tingkat inflasi pada Juli 2013 tercatat 3,29%, ini dapat dikatakan tidak buruk meskipun melenceng jauh lebih tinggi dari target yang ditetapkan pemerintah. Jika dibandingkan dengan tahun krisis sebelumnya, inflasi Indonesia tahun 2013 yang sebesar 8,79 jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun 1998 yang mencapai 54,54% dan tahun 2008 sebesar 11,06%. Kondisi cadangan devisa Indonesia pada tahun 2013 ini menjadi yang terbaik dibandingkan dengan masa krisis sebelumnya. Pada tahun 1998 Indonesia hanya memiliki cadangan devisa sebesar USD14,44 milyar dan pada tahun 2008 sebesar USD 57,108 milyar.

Cadangan devisa Indonesia kembali meningkat menjadi USD 107,27 miliar pada April 2013 dibandingkan bulan sebelumnya yang hanya tercatat sebesar USD 104,80 miliar. Namun, cadangan tersebut tidak dibangun dari surplus perdagangan seperti yang terjadi di Cina. Cadangan devisa tersebut dari sumber yang rapuh hot money yang bisa hengkang dalam jangka pendek, seperti penerbitan surat utang internasional (global bond) milik pemerintah pada bulan April 2013. Total penerbitan tersebut adalah sebesar USD 3 miliar yang terbagi atas USD 1,5 miliar untuk tenor 10 tahun dengan kupon 3,34%, dan USD 1,5 miliar untuk tenor 30 tahun dengan kupon 4,63%. Sehingga, jika pasar Amerika dan Eropa yang saat ini dalam krisis - lebih menarik maka siap-siap saja Indonesia kehilangan devisa tersebut.


(36)

Economic Outlook

Untuk rasio utang pemerintah, tahun 2013 menjadi tahun terburuk dibandingkan dengan tahun-tahun krisis 1998 dan 2008. Angka ini dapat dikatakan terlalu tinggi dari batas normal 20 persen. Tahun 1998 dan tahun 2008 DSR Indonesia masih dalam batas wajar yaitu sebesar 12,84 persen dan 15,3 persen. Di tahun 2013 ini, angka tersebut melebihi batas mencapai 41,4%. Kondisi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika pun mengalami kemerosotan tajam pada periode berjalan 2013. Pada tahun 1998 mata uang rupiah anjlok hingga IDR 17.000,00/USD. Hal ini bisa dipahami, karena kurs masih mencari tingkat ekulibrium pasar setelah sekian lama terkungkung dalam rejim sistem kurs mengambang terkendali. Fluktuasi kurs 2008 dan 2013 menunjukkan mekanisme pasar, sehingga anjloknya rupiah di 2008 dan 2013 yang masing-masing IDR 11.711,00/USD dan IDR 11.200,00/USD memang benar-benar kekuatan riil pasar. Tidak ada alasan untuk tidak mengatakan, Indonesia di tengah bayang-bayang “sindrom” krisis. Indikator melemahnya pertumbuhan dan meningkatnya ketidakstabilan menunjukkan hal ini. Logika sederhana seperti “si miskin” harus mencuri karena sudah terdesak kebutuhan hidup, jika pengambil keputusan sudah memilih kebijakan-kebijakan kritis berarti memang kondisi kritis. Seperti, Bank Indonesia telah membuat kesepakatan perpanjangan Bilateral Swap Agreement dengan Bank of Japan. Celakanya, dari sisi pemerintah dan politisi senayan tidak akan melakukan apa-apa “do nothing” di tahun politik ini. Mereka mencari aman, membangun citra dengan “omong kosong”, dan tidak akan memikirkan apalagi mencari terobosan-terobosan pemecahan masalah. Jika krisis benar-benar terjadi maka untuk bangkit kembali akan lebih berat karena latar belakang krisis kali ini lebih fundamental dibanding krisis-krisis sebelumnya: akumulasi mis-manajemen yang menyebabkan masalah ketidakunggulan bangsa. Terlebih, kebijakan domestik akan relatif kurang efektif ketika pasar domestik sudah terbuka. Tahun 2015 Masyakat Ekonomi ASEAN yang membuka pasar domestik kita untuk berkompetisi secara bebas. Siapkah Indonesia? Tanpa penanganan yang cepat dan tepat Indonesia bisa terperosok dalam jurang krisis.

Penutup

VIII.

Economic Outlook

Berbagai indikator ekonomi seperti inflasi yang meningkat, nilai mata uang yang terdepresiasi signifikan, IHSG yang merosot, defisit transaksi berjalan yang meningkat, cadangan devisa yang merosot,


(37)

serta laju pertumbuhan ekonomi yang menurun telah menimbulkan kekhawatiran akan masa depan ekonomi Indonesia. Apalagi ekonomi dunia diperkirakan akan melemah pertumbuhannya, bahkan ekonomi Cina dan India yang selama ini tumbuh pesat mengalami pelemahan yang signifikan. Merosotnya pertumbuhan ekonomi global dan kawasan yang disertai dengan volatilitas ekonomi makro yang meningkat di emerging economies seperti India dan Thailand telah membuat volatilitas pasar keuangan Indonesia meningkat. Apalagi kekhawatiran bahwa bank sentral Amerika Serikat akan mengurangi ekspansi moneternya telah membuat capital outflow dari emerging economies meningkat, termasuk Indonesia. Kondisi pasar keuangan Indonesia mengkhawatirkan karena cadangan devisa yang dibangun dari hot money sudah semakin terkikis, sementara itu Debt Service Ratio jauh di atas 20 % yang dianggap aman. Demikian juga utang luar negeri swasta yang semakin besar jumlahnya ternyata sebagian besar adalah jangka pendek, sehingga meningkatkan permintaan dolar karena banyak yang jatuh tempo. Padahal defisit transaksi berjalan terus meningkat, padahal FDI mulai menurun, membuat neraca pembayaran defisit. Sehingga nilai tukar rupiah terus menurun, demikian juga IHSG juga terus merosot, yang menimbulkan kepanikkan di pasar. Padahal kemerosotan nilai tukar rupiah diperkirakan masih akan berlanjut karena utang swasta yang jatuh tempo cukup besar dalam setahun ini, serta capital outflow yang diperkirakan masih akan berlanjut karena kebijakan tapering bank sentral AS. Dengan demikian volatilitas pasar modal diperkirakan masih akan berlanjut dan inflasi masih akan meningkat sehingga daya beli masyarakat merosot. Padahal investasi akan melemah seiring dengan menghangatnya suhu politik mendekati Pemilu. Sehingga Gama Leading Economic Indicator meramalkan tren pemburukkan ekonomi Indonesia masih akan berlanjut. Ekonomi Indonesia dalam situasi kritis pada saat ini. Instabilitas ekonomi makro jika terus berlangsung bahkan meningkat, bisa menyeret ekonomi Indonesia masuk krisis lagi. Namun demikian jika otoritas ekonomi bisa segera menstabilkan ekonomi makro sehingga laju pertumbuhan ekonomi bisa meningkat lagi maka Indonesia bisa selamat. Oleh karena itu diharapkan otoritas ekonomi bisa mengambil kebijakan yang tepat dengan cepat untuk mengatasi instabilitas ekonomi makro yang terjadi.


(38)

(39)

(40)

INDONESIAN ECONOMIC REVIEW AND OUTLOOK

MACROECONOMIC DASHBOARD TEAM

MACROECONOMIC DASHBOARD

FAKULTAS EKONOMIKA dan BISNIS

UNIVERSITAS GADJAH MADA

th

Pertamina Tower Building 4 fl. Room 4.1

Jl. Humaniora No. 1 Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Phone : +62 274 548 517 ext 373

Email :

iero@macroeconomicdashboard.com

Website :

www.macroeconomicdashboard.com

Prof. Dr. Sri Adiningsih, M.Sc.

Head of Researcher

sadining@macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373

Prof. Dr. Samsubar Saleh, M.Soc. Sc.

Senior Researcher

samsubar@macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373

Azka Khairina, S.E.

Junior Researcher

azkakhairina@macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373

Ganendra Widigdya

Research Assistant

ganendra@macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373

Fandi Gunawan, S.E.

Web Developer and Layout

fandi@macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373

Prof. Dr. Tri Widodo, M.Ec.Dev.

Senior Researcher

triwidodo@macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373

Rosa Kristiadi, M.Comm

Researcher

rosa.kristiadimacroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373

Galih Adhidharma, S.E.

Junior Researcher

galih@macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373

Reinardus Adhiputra Suryandaru

Research Assistant

reinardus@macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373

Ade Febriady

Research Assistant

adefebriady@macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373


(1)

Indonesian Economic Review and Outlook

11 miliar menjadi USD 12,7 miliar, sementara impor migas menurun sebesar USD 0,3 miliar atau 7,7%. Celakanya lagi, impor kita saat ini tidak hanya di barang-barang modal, bahan baku dan penolong tetapi juga barang-barang konsumsi. Ekspor turun dari USD 15,02 miliar menjadi USD 14,7 miliar turut menyumbang defisit neraca perdagangan pada April 2013. Ini adalah pertanda masalah struktural daya saing bangsa.

Transaksi modal dan finansial dinilai memburuk pada kuartal I 2013. Transaksi modal dan finansial tercatat turun tajam menjadi defisit USD 0,3 miliar pada kuartal I 2013 setelah sebelumnya mengalami surplus USD 12,08 miliar pada kuartal IV 2012. Defisit di transaksi berjalan dan tansaksi modal dan finansial secara otomatis menyebabkan defisit neraca pembayaran USD 6,6 miliar pada kuartal II 2013 setelah sebelumnya surplus USD 3,2 pada kuartal IV 2012. Defisit neraca pembayaran ini mendekati kondisi krisis tahun 1998 yang defisit sebesar USD 9,3 milyar.

Tingkat inflasi pada Juli 2013 tercatat 3,29%, ini dapat dikatakan tidak buruk meskipun melenceng jauh lebih tinggi dari target yang ditetapkan pemerintah. Jika dibandingkan dengan tahun krisis sebelumnya, inflasi Indonesia tahun 2013 yang sebesar 8,79 jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun 1998 yang mencapai 54,54% dan tahun 2008 sebesar 11,06%. Kondisi cadangan devisa Indonesia pada tahun 2013 ini menjadi yang terbaik dibandingkan dengan masa krisis sebelumnya. Pada tahun 1998 Indonesia hanya memiliki cadangan devisa sebesar USD14,44 milyar dan pada tahun 2008 sebesar USD 57,108 milyar.

Cadangan devisa Indonesia kembali meningkat menjadi USD 107,27 miliar pada April 2013 dibandingkan bulan sebelumnya yang hanya tercatat sebesar USD 104,80 miliar. Namun, cadangan tersebut tidak dibangun dari surplus perdagangan seperti yang terjadi di Cina. Cadangan devisa tersebut dari sumber yang rapuh hot money yang bisa hengkang dalam jangka pendek, seperti penerbitan surat utang internasional (global bond) milik pemerintah pada bulan April 2013. Total penerbitan tersebut adalah sebesar USD 3 miliar yang terbagi atas USD 1,5 miliar untuk tenor 10 tahun dengan kupon 3,34%, dan USD 1,5 miliar untuk tenor 30 tahun dengan kupon 4,63%. Sehingga, jika pasar Amerika dan Eropa yang saat ini dalam krisis - lebih menarik maka siap-siap saja Indonesia kehilangan devisa tersebut.


(2)

Untuk rasio utang pemerintah, tahun 2013 menjadi tahun terburuk dibandingkan dengan tahun-tahun krisis 1998 dan 2008. Angka ini dapat dikatakan terlalu tinggi dari batas normal 20 persen. Tahun 1998 dan tahun 2008 DSR Indonesia masih dalam batas wajar yaitu sebesar 12,84 persen dan 15,3 persen. Di tahun 2013 ini, angka tersebut melebihi batas mencapai 41,4%. Kondisi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika pun mengalami kemerosotan tajam pada periode berjalan 2013. Pada tahun 1998 mata uang rupiah anjlok hingga IDR 17.000,00/USD. Hal ini bisa dipahami, karena kurs masih mencari tingkat ekulibrium pasar setelah sekian lama terkungkung dalam rejim sistem kurs mengambang terkendali. Fluktuasi kurs 2008 dan 2013 menunjukkan mekanisme pasar, sehingga anjloknya rupiah di 2008 dan 2013 yang masing-masing IDR 11.711,00/USD dan IDR 11.200,00/USD memang benar-benar kekuatan riil pasar. Tidak ada alasan untuk tidak mengatakan, Indonesia di tengah bayang-bayang “sindrom” krisis. Indikator melemahnya pertumbuhan dan meningkatnya ketidakstabilan menunjukkan hal ini. Logika sederhana seperti “si miskin” harus mencuri karena sudah terdesak kebutuhan hidup, jika pengambil keputusan sudah memilih kebijakan-kebijakan kritis berarti memang kondisi kritis. Seperti, Bank Indonesia telah membuat kesepakatan perpanjangan Bilateral Swap Agreement dengan Bank of Japan. Celakanya, dari sisi pemerintah dan politisi senayan tidak akan melakukan apa-apa “do nothing” di tahun politik ini. Mereka mencari aman, membangun citra dengan “omong kosong”, dan tidak akan memikirkan apalagi mencari terobosan-terobosan pemecahan masalah. Jika krisis benar-benar terjadi maka untuk bangkit kembali akan lebih berat karena latar belakang krisis kali ini lebih fundamental dibanding krisis-krisis sebelumnya: akumulasi mis-manajemen yang menyebabkan masalah ketidakunggulan bangsa. Terlebih, kebijakan domestik akan relatif kurang efektif ketika pasar domestik sudah terbuka. Tahun 2015 Masyakat Ekonomi ASEAN yang membuka pasar domestik kita untuk berkompetisi secara bebas. Siapkah Indonesia? Tanpa penanganan yang cepat dan tepat Indonesia bisa terperosok dalam jurang krisis.

Penutup

VIII. Economic Outlook


(3)

Indonesian Economic Review and Outlook

serta laju pertumbuhan ekonomi yang menurun telah menimbulkan kekhawatiran akan masa depan ekonomi Indonesia. Apalagi ekonomi dunia diperkirakan akan melemah pertumbuhannya, bahkan ekonomi Cina dan India yang selama ini tumbuh pesat mengalami pelemahan yang signifikan. Merosotnya pertumbuhan ekonomi global dan kawasan yang disertai dengan volatilitas ekonomi makro yang meningkat di emerging economies seperti India dan Thailand telah membuat volatilitas pasar keuangan Indonesia meningkat. Apalagi kekhawatiran bahwa bank sentral Amerika Serikat akan mengurangi ekspansi moneternya telah membuat capital outflow dari emerging economies meningkat, termasuk Indonesia. Kondisi pasar keuangan Indonesia mengkhawatirkan karena cadangan devisa yang dibangun dari hot money sudah semakin terkikis, sementara itu Debt Service Ratio jauh di atas 20 % yang dianggap aman. Demikian juga utang luar negeri swasta yang semakin besar jumlahnya ternyata sebagian besar adalah jangka pendek, sehingga meningkatkan permintaan dolar karena banyak yang jatuh tempo. Padahal defisit transaksi berjalan terus meningkat, padahal FDI mulai menurun, membuat neraca pembayaran defisit. Sehingga nilai tukar rupiah terus menurun, demikian juga IHSG juga terus merosot, yang menimbulkan kepanikkan di pasar. Padahal kemerosotan nilai tukar rupiah diperkirakan masih akan berlanjut karena utang swasta yang jatuh tempo cukup besar dalam setahun ini, serta capital outflow yang diperkirakan masih akan berlanjut karena kebijakan tapering bank sentral AS. Dengan demikian volatilitas pasar modal diperkirakan masih akan berlanjut dan inflasi masih akan meningkat sehingga daya beli masyarakat merosot. Padahal investasi akan melemah seiring dengan menghangatnya suhu politik mendekati Pemilu. Sehingga Gama Leading Economic Indicator meramalkan tren pemburukkan ekonomi Indonesia masih akan berlanjut. Ekonomi Indonesia dalam situasi kritis pada saat ini. Instabilitas ekonomi makro jika terus berlangsung bahkan meningkat, bisa menyeret ekonomi Indonesia masuk krisis lagi. Namun demikian jika otoritas ekonomi bisa segera menstabilkan ekonomi makro sehingga laju pertumbuhan ekonomi bisa meningkat lagi maka Indonesia bisa selamat. Oleh karena itu diharapkan otoritas ekonomi bisa mengambil kebijakan yang tepat dengan cepat untuk mengatasi instabilitas ekonomi makro yang terjadi.


(4)

(5)

Indonesian Economic Review and Outlook


(6)

MACROECONOMIC DASHBOARD

FAKULTAS EKONOMIKA dan BISNIS

UNIVERSITAS GADJAH MADA

th

Pertamina Tower Building 4 fl. Room 4.1

Jl. Humaniora No. 1 Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Prof. Dr. Sri Adiningsih, M.Sc.

Head of Researcher

sadining@macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373

Prof. Dr. Samsubar Saleh, M.Soc. Sc.

Senior Researcher

samsubar@macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373

Azka Khairina, S.E.

Junior Researcher

azkakhairina@macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373

Ganendra Widigdya

Research Assistant

ganendra@macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373

Fandi Gunawan, S.E.

Web Developer and Layout

fandi@macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373

Prof. Dr. Tri Widodo, M.Ec.Dev.

Senior Researcher

triwidodo@macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373

Rosa Kristiadi, M.Comm

Researcher

rosa.kristiadimacroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373

Galih Adhidharma, S.E.

Junior Researcher

galih@macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373

Reinardus Adhiputra Suryandaru

Research Assistant

reinardus@macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373

Ade Febriady

Research Assistant

adefebriady@macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373