Unduh IERO | Macroeconomic Dashboard

(1)

INDONESIAN ECONOMIC

REVIEW AND OUTLOOK

Menggapai Harapan dan Perubahan

dari Wakil Rakyat Baru


(2)

Kata Pengantar

Selamat membaca

Prof. Dr. Sri Adiningsih, M.Sc Head of Researcher Macroeconomic Dashboard Indonesian Economic Review and Outlook (IERO) adalah buletin kuartalan yang membahas gambaran umum terkini tentang perekonomian Indonesia dan prospeknya di masa mendatang, serta ulasan makroekonomi regional Asia Tenggara. Buletin ini diterbitkan oleh Macroeceonomic Dashboard bekerjasama dengan PT Bank Mandiri, Tbk. Dashboard ini merupakan laboratorium ekonomi yang berada di bawah jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada. IERO kuartal I-2014 hadir dengan tema “Menggapai Harapan dan Perubahan dari Wakil Rakyat Baru”. Tahun 2014 ini akan spesial karena pelaksanaan Pemilu untuk legislatif dan presiden. Hal sama yang akan menyebabkan tahun ini penuh harapan dan/atau rasa ketidakpastian. Proses dan hasil Pemilu akan banyak memengaruhi kondisi ekonomi ke depan. Jika Pemilu berjalan lancar, aman dan damai, serta menghasilkan wakil rakyat yang diyakini mampu membawa perbaikan, maka kita bisa berharap bahwa instabilitas ekonomi makro akan semakin membaik, demikian juga laju pertumbuhan ekonomi meningkat karena investasi dan konsumsi akan tumbuh lagi.

Sementara itu, GAMA Leading Economic Indicator (GAMA LEI) kali ini memprediksi terjadinya penurunan siklus PDB, meski tetap memperkirakan peningkatan tipis untuk pertumbuhan PDB 2014:Q1 (y-o-y dan q-t-q). GAMA LEI ini merupakan model yang dikembangkan oleh tim Macroeconomic Dashboard untuk memberikan prediksi kondisi ekonomi Indonesia di masa depan, sehingga diharapkan dapat membantu para pemangku kepentingan dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan ekonomi yang terjadi.

Edisi IERO kali ini tampil dengan format baru yang disusun untuk semakin memudahkan pembaca. Kami berharap ulasan-ulasan kami ini senantiasa memberi manfaat untuk para pengambil kebijakan publik, kelompok bisnis, akademisi dan masyarakat secara umum.


(3)

RINGKASAN EKSEKUTIF ... 1

A. PERKEMBANGAN EKONOMI DAN FISKAL

1. Terdapat peningkatan kinerja perekonomian yang didorong oleh pertumbuhan sektor jasa dan ekspor neto... 3 2. Masih terdapat tantangan dalam perdagangan internasional... 5 3. Fiscal space pemerintah masih ketat dan kemampuan

membayar hutang melemah... 10 4. Tingkat kemiskinan dan pengangguran memburuk... 16

B. SITUASI MONETER DAN PASAR KEUANGAN

1. Nilai rupiah menurun... 19 2. Pasar keuangan menunjukkan optimisme di akhir tahun... 24

C. GAMA LEI DAN KONSENSUS PROYEKSI EKONOMI

1. GAMA Leading Economic Indicator (GAMA LEI)... 28 2. Konsensus Proyeksi Indikator Makroekonomi... 29

D. ASEAN: Meraih Potensi Perekonomian Optimum di Tengah Instabilitas Global dan Regional... 31

E. ISU TERKINI... 38


(4)

Daftar Istilah

APBN Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara

ASEAN Association of South East Asian Nations

BI Bank Indonesia

BPS Badan Pusat Statistik

CLMV Cambodia, Lao PDR, Myanmar and Viet Nam

cq Casu Quo (dalam hal ini)

DIY Daerah Istimewa Yogyakarta

DPD Dewan Perwakilan Daerah

DPR Dewan Perwakilan Rakyat

DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

DSR Debt Service Ratio (Rasio Pembayaran Pokok Pinjaman dan Bunga terhadap Nilai Ekspor)

GAMA LEI Gadjah Mada Leading Economic Indicator

IDR Rupiah

IHK Indeks Harga Konsumen

IHSG Indeks Harga Saham Gabungan

JISDOR Jakarta Interbank Spot Dollar Rate

LHS Sisi vertikal kiri

LPG Liquified Petroleum Gas

LPS Lembaga Penjamin Simpanan

MAS Monetary Authority of Singapore (Bank Sentral Singapura)

m-t-m Bulan-ke-bulan

NAD Nangroe Aceh Darussalam

PBI Peraturan Bank Indonesia

PDB Produk Domestik Bruto

q-to-q Kuartal-ke-kuartal

RHS Sumbu vertikal kanan

SUN Surat Utang Negara

The Fed The Federal Reserve (Bank Sentral Amerika)

USD Dolar Amerika

Year-to-Date Tahun-ke-hari


(5)

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal keempat tahun 2013 lalu yang meningkat tipis dari kuartal sebelumnya masih belum cukup tinggi untuk mengatasi tingkat kemiskinan dan pengangguran yang juga naik pada September tahun lalu. Pertumbuhan ekonomi yang didorong sektor jasa cenderung kurang labor-intensive, hal ini mengakibatkan berkurangnya pekerja sektor pertanian sebanyak 6 juta orang antara 2011-2013. Dari sisi pengeluaran, kinerja positif ekspor neto pada akhir tahun lalu (yang sebagian didorong oleh antisipasi industri mineral dan barang tambang atas UU Minerba yang diluncurkan awal tahun ini) tidak mampu bertahan lama dan defisit neraca perdagangan kembali terjadi pada Januari 2014.

Selain defisit neraca perdagangan terdapat pula tekanan atas rupiah yang terjadi dalam dua front: tingkat inflasi yang meningkat dan kurs rupiah yang melemah. Hal ini memberi tekanan pada cadangan devisa yang kemudian direspon oleh Bank Indonesia sebagai otoritas moneter dengan menerbitkan Peraturan BI tentang Transaksi Swap Lindung Nilai dan memperkenalkan JISDOR (Jakarta Interbank Spot Dollar Rate) sebagai rate resmi untuk denominasi rupiah pada pasar uang di Singapura.

Sementara itu pemerintah cq Kementerian Keuangan sebagai otoritas fiskal terus mengupayakan pendanaan pembangunan dari sumber domestik, seperti menetapkan enam langkah strategis untuk meningkatkan penerimaan pajak, maupun dari luar negeri seperti penerbitan Global Bonds dan melakukan pinjaman luar negeri. Menarik untuk dilihat di sini adalah makin tingginya debt-to-service ratio (DSR, rasio pembayaran pokok pinjaman dan bunga terhadap nilai ekspor) yang salah satunya disebabkan oleh kurang optimalnya ekspor Indonesia. Sebagai satu indikator kemampuan membayar pinjaman, naiknya DSR harus diwaspadai oleh pemerintah terutama Kementerian Keuangan.

Setelah memperhatikan berbagai dinamika perekonomian Indonesia, GAMA LEI memprediksi akan adanya kecenderungan penurunan siklus perekonomian (PDB) Indonesia. Meskipun demikian, jika melihat


(6)

pergerakan dan pola perekonomian baik year-on-year maupun quarter-to-quarter, keduanya mengindikasikan adanya kenaikan tipis pada pertumbuhan ekonomi di 2014:Q1.

Beranjak dari perekonomian domestik, kinerja perekonomian kawasan ASEAN cenderung mixed. Instabilitas politik di sejumlah negara ASEAN, terutama Thailand, mengakibatkan berkembangnya kawasan ini menjadi kurang optimal. Namun di sisi lain, sejumlah negara menunjukkan performa yang impresif seperti yang dialami Filipina dan CLMV (Cambodia-Lao PDR-Myanmar-Viet Nam). Hal ini tentu menjadi kabar gembira di tengah suramnya nilai tukar mata uang negara-negara ASEAN pasca tapering-off yang dilakukan oleh Amerika Serikat.

Terakhir, IERO terbitan kali ini mengangkat isu pemilihan umum legislatif di mana pemilih dihadapkan pada dua kemungkinan: wakil rakyat terpilih tidak akan membawa perubahan berarti atau justru sebaliknya, mereka akan membawa angin perubahan. Sebagai sebuah negara demokratis yang masih terus belajar, proses demokrasi yang baik tidak bisa hanya dipasrahkan kepada pemerintah dan wakil rakyat terpilih yang duduk di DPR. Sebaliknya, dalam sebuah bangsa yang dewasa, masyarakat harus aktif berpartisipasi dalam memberikan insentif bagi wakil rakyat untuk berbuat seperti yang diharapkan rakyat. Tanpa adanya reward dan punishment dari rakyat ke wakilnya akan sia-sialah kebebasan berpolitik yang telah diraih pada reformasi lalu.


(7)

1. Terdapat peningkatan kinerja perekonomian yang didorong oleh pertumbuhan sektor jasa dan ekspor neto

Perekonomian Indonesia pada kuartal IV-2013 sedikit membaik dengan mencatat laju pertumbuhan year-on-year menjadi 5,72% meski lebih rendah jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya yaitu 6,18%. Hal ini terutama disebabkan oleh tekanan pada transaksi berjalan dan pelemahan nilai tukar rupiah yang dibarengi dengan kenaikan laju inflasi. Tekanan pada transaksi berjalan yang mengalami defisit selama tiga kuartal terakhir mendorong peningkatan suku bunga acuan sehingga menekan investasi. Meski defisit transaksi berjalan menurun signifikan dari USD 8,5 miliar pada kuartal sebelumnya menjadi USD 4 miliar pada kuartal IV-2013, laju pertumbuhan ekonomi tahun 2013 hanya mencapai 5,78% lebih rendah dari laju pertumbuhan ekonomi tahun 2012 yang mencapai 6,23%.

Sektor Jasa masih dominan dalam mendorong pertumbuhan pada kuartal IV-2013. Meskipun demikian, sektor ini mengalami penurunan laju pertumbuhan dan sektor Primer dan sektor Industri mulai merangkak naik. Sektor Jasa menunjukkan pertumbuhan yang lebih lambat, dengan pertumbuhan yang hanya tercatat sebesar 6,48% lebih rendah jika dibandingkan dengan kinerja kuartal IV-2012 yaitu 7,66%. Sementara itu, sektor Primer tumbuh mencapai 3,86% (y-o-y). Hal itu didorong oleh pertumbuhan pada sektor Pertambangan dan Penggalian yang tercatat sebesar 3,91% (y-o-y). Meskipun sektor Primer mengalami peningkatan, laju pertumbuhan sektor Primer lambat laun semakin rendah. Selanjutnya, sektor Industri juga menunjukkan pertumbuhan yang tercatat sebesar 5,60% (y-o-y) sejalan dengan laju pertumbuhan ekspor terutama pada ekspor non-migas. Secara keseluruhan, pertumbuhan tertinggi terjadi pada sektor Pengangkutan dan Komunikasi yang mencapai 10,32% (y-o-y), diikuti oleh sektor Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan 6,79% (y-o-y) dan sektor Konstruksi 6,68% ( y-o-y).


(8)

Pada sisi pengeluaran, penggerak pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV-2013 didominasi oleh kenaikan tingkat ekspor neto, menggeser peranan pengeluaran domestik yang melambat. Kenaikan tingkat ekspor neto pada kuartal IV-2013 disebabkan karena nilai ekspor tumbuh tinggi yang tercatat sebesar 7,40% (y-o-y) dan pertumbuhan nilai impor yang menurun menjadi -0,60% (y-o-y). Hal ini didorong oleh meningkatnya ekspor non-migas ke negara-negara mitra dagang terutama Cina, Amerika Serikat dan Jepang. Selanjutnya, pertumbuhan konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah dan investasi menurun masing-masing menjadi 5,25% (y-o-y), 6,45% (y-o-y) dan 4,37 (y-o-y). Padahal pada kuartal sebelumnya, konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah dan investasi dapat tumbuh masing-masing sebesar 5,48% (y-o-y) 8,91% (y-o-y) dan 4,54% (y-o-y). Perlambatan investasi tersebut di antaranya terkait dengan kebijakan BI dalam meningkatkan suku bunga acuan dari 7,25% pada Oktober 2013 menjadi 7,50% pada November 2013 dan ketidakpastian politik terkait dengan Pemilu.

Catatan:

Sektor Primer: Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan; Sektor Pertambangan dan Penggalian

Sektor Industri: Sektor Industri Pengolahan; Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih ; Sektor Konstruksi Sektor Jasa: Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran; Sektor Pengangkutan dan Komunikasi; Sektor Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan; Sektor Jasa-jasa

Sumber: BPS dan CEIC (2014)

Gambar 1: Laju Pertumbuhan PDB Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha, 2011 – 2013 (y-o-y, dalam %)

Pertumbuhan ekonomi didorong terutama oleh sektor Komunikasi dan Transportasi, Demikian juga sektor primer mengalami peningkatan namun dengan laju pertumbuhan yang semakin rendah.

VLTT VLUX VLTY VLTT VLSS VLST VLRQ VLQX VLPS

ULWV ULVS ULWR

P Q R S T U V W X Y


(9)

2. Masih terdapat tantangan dalam perdagangan internasional

Setelah surplus selama tiga bulan berturut-turut (Oktober - Desember 2013), pada Januari 2014 neraca perdagangan Indonesia kembali mengalami defisit. Sepanjang tahun 2013, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit sebesar USD 4,06 miliar. Angka tersebut menunjukkan secara tahunan kinerja neraca perdagangan Indonesia juga memburuk. Pada tahun 2012, defisit neraca perdagangan Indonesia hanya sebesar USD 1,66 miliar. Membesarnya defisit neraca perdagangan Indonesia pada tahun 2013 dikarenakan kenaikan surplus neraca perdagangan non-migas tidak mampu mengimbangi kenaikan defisit neraca perdagangan migas. Secara month-to-month, besaran nilai neraca perdagangan Indonesia turun sebesar 128% dari surplus USD 1,53 miliar di bulan Desember 2013 menjadi defisit USD 0,43 miliar pada Januari 2014. Kondisi ini terjadi terutama disebabkan karena penurunan ekspor Indonesia yang lebih besar daripada penurunan impornya yakni 14% berbanding 3%.

Neraca perdagangan migas sepanjang tahun 2013 memburuk. Neraca perdagangan migas yang defisit USD 5,6 miliar pada tahun 2012, naik menjadi defisit USD 12,6 miliar pada tahun 2013. Memburuknya neraca perdagangan

Gambar 2: Laju Pertumbuhan PDB Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Pengeluaran, Tahun 2011 – 2013 (y-o-y, dalam %)

Meningkatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk kuartal empat tahun 2013 ditopang oleh kenaikan net ekspor.

Sumber: BPS dan CEIC (2014) -5

0 5 10 15


(10)

migas pada tahun 2013 disebabkan karena jumlah ekspor migas yang lebih kecil dan impor migas yang lebih besar dibanding tahun 2012. Sementara itu, pada Desember 2013, defisit perdagangan migas sebesar USD 0,82 miliar dan meningkat tipis menjadi USD 1,06 miliar pada Januari 2014. Kenaikan defisit dikarenakan ekspor migas turun sebesar USD 0,9 miliar sedangkan impor migas turun lebih kecil sebesar USD 0,7 miliar.

Ekspor migas pada Januari 2014 menurun. Secara month-to-month, ekspor migas turun dari USD 3,41 miliar pada Desember 2013 menjadi USD 2,5 miliar pada Januari 2014. Perubahan terbesar terjadi pada ekspor minyak mentah yang menurun sebanyak 42,1%. Kemudian diikuti dengan ekspor hasil minyak dan gas yang masing-masing turun sebesar 23,28% dan 16,66%. Secara keseluruhan ekspor migas turun 26,7% pada Januari 2014. Pada Desember 2013, impor migas Indonesia tercatat sebesar USD 4,22 miliar. Namun nilainya menurun pada Januari 2014 menjadi USD 3,56 miliar (nilai impor turun 15,7% antara Desember 2013 dan Januari 2014).

Secara kumulatif, kinerja neraca perdagangan non-migas tahun 2013 lebih baik daripada 2012. Pada tahun 2013, surplus perdagangan non-migas sebesar USD 8,57 miliar, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi surplus pada tahun 2012 yang hanya sebesar USD 3,93 miliar, angka tersebut meningkat Gambar 3: Neraca Perdagangan Indonesia, Januari 2012 – Januari 2014 (USD miliar)

Neraca perdagangan Indonesia kembali mengalami defisit di awal tahun

Sumber: BPS dan CEIC (2014) -20

-15 -10 -5 0 5 10 15 20

Jan-12 Apr-12 Jul-12 Oct-12 Jan-13 Apr-13 Jul-13 Oct-13 Jan-14 Ekspor Impor Neraca Perdagangan


(11)

pesat sebesar 118,9%. Kenaikan surplus perdagangan non-migas terutama ditopang oleh penurunan impor non-migas sebesar 5,21% atau secara absolut sebesar USD 7,78 miliar. Adapun dari sisi ekspor, pada tahun 2013 ekspor non-migas Indonesia turun sebesar 3,12 miliar USD dari tahun 2012.

Seiring dengan neraca perdagangan migas, kinerja neraca perdagangan non migas juga memburuk. Pada kuartal IV-2013, kinerja neraca perdagangan non-migas sempat menunjukkan tren positif. Namun seiring dengan menurunnya ekspor non-migas dan naiknya impor non-migas, surplus perdagangan non-migas turun sebesar 73,1% pada Januari 2014. Semula suplus perdagangan non-migas Desember 2013 adalah sebesar USD 2,34 miliar. Kemudian jumlah tersebut turun menjadi USD 0,63 miliar pada bulan berikutnya.

Penurunan ekspor non-migas dipicu oleh penurunan ekspor komoditas mineral. Ekspor non-migas turun 11,6% dari USD 13,58 miliar pada Desember 2013 menjadi USD 11,99 pada Januari 2014. Secara month-to-month, Data dari BPS menunjukkan perubahan drastis terjadi pada komoditas bijih, kerak, dan abu logam yang turun sebesar 70,13% dari Desember 2013 ke Januari 2014 setelah sebelumnya naik 40,18% dari November ke Desember 2013. Demikian pula dengan komoditas bahan bakar mineral yang juga kembali menurun

Gambar 4: Neraca Perdagangan Migas Indonesia, Januari 2012 – Januari 2014 (USD miliar)

Neraca perdagangan migas tetap mengalami defisit

Sumber: BPS dan CEIC (2014) MRP

MQU MQP MU P U QP QU RP

ĊÏ ŃMQR ĂÑÒMQR ĊÕŁMQR ÉĬÔMQR ĊÏ ŃMQS ĂÑÒMQS ĊÕŁMQS ÉĬÔMQS ĊÏ ŃMQT ÆĻÓÑŇÒ ĐĹĴ Ï Ó ČĿ ÑŇÒ Đ ĹĴ Ï Ó ÆĻÓÑŇÒ ČĿ ÑŇÒ ÈĮ ÒÏ ĬÏ ÊĮ Òİ Ï Ĵ Ï ŃĴ Ï Ń ĐĹĴ Ï Ó


(12)

sebesar 17,13% pada Januari 2014 setelah sebelumnya pada Desember 2013 hanya turun sebesar 1,27%. Menurut laporan kuartalan Bank Indonesia, penurunan ekspor komoditas mineral secara umum disebabkan oleh pemberlakuan UU Mineral dan Batu Bara pada Januari 2014. Sementara itu, impor non-migas Indonesia naik dari USD 11,24 miliar menjadi USD 11,36 miliar pada Januari 2014 atau tumbuh sebesar 1,13% dari bulan Desember 2013. Kenaikan impor terbesar terjadi pada komoditas mesin dan peralatan listrik yang tumbuh mencapai 24,64% (m-t-m).

Surplus neraca perdagangan barang meningkat drastis pada kuartal IV-2013. Besaran surplus melonjak dari USD 0,2 miliar pada kuartal III-2013 menjadi sebesar USD 4,9 miliar di kuartal berikutnya. Melonjaknya surplus neraca perdagangan barang disebabkan oleh naiknya surplus perdagangan non-migas dan turunnya defisit perdagangan non-migas. Pada kuartal III-2013 neraca perdagangan non-migas hanya surplus sebesar USD 2,8 miliar sedangkan di kuartal IV-2013 surplus perdagangan non-migas mencapai USD 7 miliar. Adapun defisit perdagangan migas turun sebesar USD 0,5 miliar dari kuartal sebelumnya menjadi defisit USD 2,2 miliar. Kenaikan surplus non-migas terjadi karena dipengaruhi oleh tren melemahnya nilai tukar rupiah sepanjang periode November hingga Desember 2013 sehingga ekspor komoditas non-migas Indonesia naik sebesar USD 4,3 miliar pada kuartal IV-2013. Pemberlakuan UU Gambar 5: Neraca Perdagangan Non-Migas Indonesia, Januari 2012 – Januari 2014 (USD miliar)

Surplus neraca perdagangan non-migas menurun pada Januari 2014

Sumber: BPS dan CEIC (2014) -20

-15 -10 -5 0 5 10 15 20

Jan-12 Apr-12 Jul-12 Oct-12 Jan-13 Apr-13 Jul-13 Oct-13 Jan-14

Ekspor Non-Migas Impor Non-Migas

Ekspor Impor


(13)

No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara serta Permen ESDM nomor 7 Tahun 2012 pada Januari 2014 berdampak terhadap ekspansi surplus neraca perdagangan barang. Penurunan defisit migas dipengaruhi oleh dua hal yaitu kenaikan surplus perdagangan gas dan penurunan defisit perdagangan minyak.

Secara year-on-year, transaksi berjalan memperlihatkan perbaikan kinerja. Pada tahun 2012 di kuartal yang sama, transaksi berjalan Indonesia mengalami defisit USD 7,8 miliar. Kuartal IV-2013, defisit transaksi berjalan turun sebesar 48,7% menjadi USD 4 miliar. Kinerja transaksi berjalan Indonesia pada kuartal IV-2013 membaik. Hal ini terlihat dari menurunnya besaran defisit dari USD 8,5 miliar pada kuartal III-2013 menjadi USD 4 miliar di kuartal IV-2013. Perbaikan kinerja terjadi karena surplus neraca perdagangan barang dan transfer berjalan lebih besar daripada defisit neraca perdagangan jasa dan neraca pendapatan.

Kondisi neraca perdagangan jasa, neraca pendapatan, dan transfer berjalan tidak banyak berubah. Pada kuartal IV-2013 neraca perdagangan jasa dan neraca pendapatan tetap defisit yaitu sebesar USD 2,9 dan 7,1 miliar. Dilihat dari tingkat pertumbuhan, defisit neraca perdagangan jasa dan neraca pendapatan naik sebesar 7,6% dan 3% dari kuartal sebelumnya. Sementara Gambar 6: Neraca Perdagangan dan Pendapatan 2010:Q1-2013:Q4 (USD miliar)

Defisit transaksi berjalan kembali menunjukkan perbaikan

Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2014) MQU

MQP MU P U QP QU

RPQPZĚQ RPQPZĚT RPQQZĚS RPQRZĚR RPQSZĚQ RPQSZĚT

ÈĮ ÒÏ ĬÏ ÊĮ Òİ Ï Ĵ Ï ŃĴ Ï Ń ÅÏ ÒÏ ŃĴ ÈĮ ÒÏ ĬÏ ÊĮ Òİ Ï Ĵ Ï ŃĴ Ï Ń ĊÏ ÓÏ ÈĮ ÒÏ ĬÏ ÊĮ Ńİ Ï ÑÏ ÔÏ Ń ĔÒÏ ŃÓIJĮ Ò ÅĮ ÒĽÏ ŁÏ Ń ĔÒÏ ŃÓÏ ĻÓĹ ÅĮ ÒĽÏ ŁÏ Ń


(14)

transfer berjalan mengalami perbaikan sedikit dari surplus USD 0,9 miliar pada kuartal III-2013 menjadi surplus USD 1,6 miliar atau tumbuh sebesar 19,6%.

3. Fiscal space pemerintah masih ketat dan kemampuan membayar hutang melemah

Realisasi pendapatan dan hibah negara mencapai 5,5% dari target dalam APBN 2014 sebesar IDR 1.667,1 triliun dan realisasi belanja negara per Januari 2014 sebesar 5,3%. Target pendapatan dan hibah tersebut terdiri atas penerimaan dalam negeri sebesar IDR 1.665,78 triliun dan hibah IDR 1,36 triliun. Sejauh ini penerimaan perpajakan sudah mencapai 6,5% dari target IDR 1.280,4 triliun dan penerimaan bukan pajak baru 2% dari IDR 385,4 triliun. Total belanja negara dalam APBN 2014 sejumlah IDR 1.842,5 triliun dengan rincian IDR 1.249,9 triliun untuk belanja pemerintah pusat dan IDR 592,6 triliun untuk transfer ke daerah. Belanja pemerintah pusat yang sudah terealisasi per Januari 2014 sebesar 3,2%, sedangkan transfer daerah sudah mencapai 9,6%. Pembayaran utang dan bantuan sosial sejauh ini merupakan komponen belanja yang tertinggi realisasinya, masing-masing sebesar 10,8% dan 10,1%.

Termasuk dalam belanja negara adalah transfer ke daerah yang salah satunya berupa pemberian dana otonomi khusus dan penyesuaian yang

5,5

94,5

Realisasi Total

5,3

94,7

Realisasi Total

(a) Penerimaan dan Hibah (b) Belanja

Gambar 7: Realisasi Penerimaan, Hibah, dan Belanja Negara per Januari 2014 (%)

Realisasi penerimaan dan hibah sebesar 5,5%, realisasi belanja negara sebesar 5,3%


(15)

dalam APBN 2014 meningkat 24,8% dari tahun sebelumnya. Porsinya terhadap total transfer ke daerah pun meningkat menjadi 17,66%. Salah satu yang baru adalah dana keistimewaan yang resmi dianggarkan untuk Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sejumlah IDR 520 miliar. Namun, jika dibandingkan dengan daerah-daerah penerima dana otonomi khusus, jumlah tersebut masih jauh lebih kecil.

Penerimaan dari pajak masih menjadi andalan pemerintah dalam membiayai belanja negara. Selama tiga tahun terakhir ini, pajak selalu menyumbang lebih dari 75% penerimaan negara. Meski peranannya dalam penerimaan APBN mulai menurun, realisasi penerimaan pajak ini sangat penting untuk menjaga keberlanjutan fiskal.

Dalam rangka mengamankan target penerimaan pajak di tahun ini, Direktorat Jenderal Pajak menyusun langkah optimalisasi. Langkah tersebut diterjemahkan dalam enam program strategis: (i) penyempurnaan sistem administrasi perpajakan; (ii) ekstensifikasi wajib pajak pribadi; (iii) perluasan basis pajak, termasuk usaha kecil menengah (UKM); (iv) optimalisasi pemanfaatan data dan informasi dari institusi lain; (v) penguatan penegakan hukum bagi penghindar pajak; dan (vi) penyempurnaan peraturan perpajakan Gambar 8: Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian (IDR triliun)

Dana otonomi khusus dan penyesuaian tumbuh 24,8% di 2014 (y-o-y); DIY menerima IDR 520 miliar dana keistimewaan

Sumber: Direktorat Jenderal Anggaran dan CEIC (2014, diolah) 14,97% 15,86% 17,66% 20,06% 19,04% 24,80% 0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 0 50 100 150

2012 2013 2014

Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian

Jumlah (LHS)

Persentase dari Total Transfer Daerah (RHS) Pertumbuhan (RHS) 6,78 2,55 6,82 0,52 1 2 3 4 5 6 7 8


(16)

dengan membuat tim harmonisasi.

Selain itu, intensifikasi pajak finansial dan penetapan tarif pajak final juga diwacanakan sebagai solusi menggenjot penerimaan pajak. Ide Intensifikasi pajak finansial adalah mengenakan pajak pada berbagai transaksi moneter seperti saham, obligasi dan future. Alasannya adalah sektor finansial menghasilkan keuntungan yang besar dan juga bisa menikmati dana pemerintah saat terjadi krisis melalui mekanisme bail-out. Sedangkan penetapan tarif pajak final adalah salah satu solusi untuk mengefektifkan sistem

self-assessment tanpa melakukan penambahan pegawai pajak.

Demi mencukupi kebutuhan pembiayaan dalam negeri, Kementerian Keuangan RI menerbitkan Global Bond sebesar IDR 50,5 triliun pada Januari 2014. Peningkatan tersebut sempat meningkatkan total surat berharga negara outstanding Januari 2014. Namun pada Februari 2014, Total SBN turun sebesar IDR 3,45 triliun dari Januari 2014 menjadi IDR 1.459,29 triliun dan meningkat sebesar IDR 339,22 triliun dari Februari 2013 (lihat Gambar 13). Obligasi bunga tetap naik sebesar IDR 22,25 triliun menjadi IDR 793,07 triliun dan naik sebesar IDR 153,47 triliun dari Februari 2013. Surat Berharga Syariah Negara turun sebesar IDR 5,98 triliun menjadi IDR 77,15 triliun dari Januari

Gambar 9: Target Penerimaan Perpajakan dan Persentase Pajak dalam APBN 2012-2014

Meski tetap sebagai sumber utama penerimaan negara, peran pajak dalam APBN mulai sedikit menurun.

Sumber: Direktorat Jenderal Anggaran dan CEIC (2014, diolah)

1.033 1.193 1.280

78,74%

77,99%

76,80%

69% 71% 73% 75% 77% 79% 81%

0 200 400 600 800 1.000 1.200 1.400

2012 2013 2014

Target Pajak (LHS, IDR triliun)


(17)

2014 dan naik sebesar IDR 4,63 triliun dari Februari 2013. Obligasi denominasi Valuta Asing Februari 2014 juga mengalami penurunan sebesar IDR 21,72 triliun menjadi IDR 428,26 triliun dari Januari 2014, meningkat sebesar IDR 164,57 triliun dari Februari 2013. Peningkatan terjadi pada surat perbendaharaan negara sebesar IDR 2 triliun dari Januari 2014 menjadi IDR 38,5 triliun dan meningkat sebesar IDR 16,53 triliun dari Februari 2013.

Total utang luar negeri Indonesia secara umum meningkat dan peningkatan tertinggi dari utang luar negeri swasta. Rasio utang luar negeri swasta terhadap total utang luar negeri mencapai 53,21%, sedangkan proporsi utang luar negeri pemerintah dan bank sentral sebesar 46,79%. Total utang luar negeri Indonesia Desember 2013 meningkat sebesar USD 2,6 miliar menjadi USD 264,06 miliar dari November 2013 (naik 1%). Meningkat sebesar USD 12,6 miliar (5%) dari Januari 2013 dan USD 11,17 miliar (4,6%) dari Desember 2012. Utang luar negeri swasta Desember 2013 meningkat sebesar USD 2,3 miliar menjadi USD 140,5 miliar dari November 2013 atau sebesar 2%.

Utang luar negeri pemerintah Desember 2013 meningkat sebesar USD 212 juta menjadi USD 114,29 miliar dari November 2013 atau sebesar 0,2%. Turun sebesar USD 914 juta 1%) dari Januari 2013 dan USD 1,8 miliar (-1,6%) dari bulan Desember 2012. Utang luar negeri jangka pendek swasta by

Gambar 10: Utang Luar Negeri Pemerintah dan Swasta Indonesia, September 2011 – Desember 2013 (USD miliar)

Utang luar negeri swasta meningkat


(18)

original maturity Desember 2013 meningkat sebesar USD 1,9 miliar menjadi USD 40,67 miliar dari November 2013 atau sebesar 4,9%. Meningkat sebesar USD 4,84 miliar (14%) dari Januari 2013 dan sebesar USD 3,8 miliar (1,04%) dari Desember 2012. Utang luar negeri jangka pendek swasta by remaining maturity Desember 2013 turun sebesar USD 338 juta menjadi USD 41,159 miliar dari November 2013 atau sebesar -0,8%. Meningkat sebesar USD 2,3 miliar (6%) dari Januari 2013 dan sebesar USD 1,09 miliar (2,7%) dari Desember 2012.

Debt Service Ratio yang menunjukkan tren yang meningkat telah mengalami peningkatan tajam pada kuartal IV-2013. Pada kuartal terakhir 2013 ini DSR Indonesia mencapai 52,7%. Angka yang tinggi ini menunjukkan kemampuan membayar utang Indonesia melemah dari kuartal ke kuartal yang menyebabkan peningkatan risiko pada perekonomian Indonesia.

Kepemilikan asing atas surat berharga meningkat. Kepemilikan asing atas obligasi pemerintah pada Januari 2014 meningkat sebesar IDR 4,8 triliun menjadi IDR 328,65 triliun dari Desember 2013 dan naik sebesar IDR 55,45 triliun dari Januari 2013. Hal ini seiring dengan penerbitan Global Bond Januari lalu. Sementara itu, kepemilikan asing atas ekuitas pada Desember 2013 sebesar IDR 1.475,45 triliun naik menjadi IDR 1,7 triliun dari November 2013. Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2014)

Gambar 11: Debt Service Ratio Indonesia, Desember 2007 – Desember 2013 (%)


(19)

Turun sebesar IDR 87,4 triliun dari Januari 2013 dan IDR 71,6 triliun dari Desember 2012. Kepemilikan asing atas SBI pada Januari 2014 sebesar IDR 3,9 triliun telah meningkat IDR 180 miliar dari Desember 2013 dan naik sebesar IDR 3,7 trilun dari Januari 2013.

Gambar 12: Kepemilikan Asing atas Surat Berharga, Oktober 2011 – Februari 2014 (IDR triliun)

Kepemilikan asing atas surat berharga Indonesia meningkat

Sumber: Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, OJK, dan CEIC (2014)

Gambar 13: Komposisi Surat Berharga Negara, November 2011 – Februari 2014 (IDR triliun)

Surat berharga negara outstanding sedikit mengalami penurunan

Sumber: DJPU Kementerian Keuangan dan CEIC (2014)

0 5 10 15 20 25 30 35

0 200 400 600 800 1.000 1.200 1.400 1.600 1.800 2.000

Kepemilikan Asing atas Ekuitas (LHS)

Kepemilikan Asing atas Obligasi Pemerintah (LHS) Kepemilikan Asing atas SBI (RHS)


(20)

4. Tingkat kemiskinan dan pengangguran memburuk

Meskipun secara keseluruhan perekonomian pada kuartal-IV 2013 mengalami sedikit peningkatan, namun justru terjadi peningkatan angka pengangguran pada Agustus 2013. Tingkat pengangguran terbuka naik menjadi 6,3% pada Agustus 2013 dari 6,1% pada periode yang sama tahun sebelumnya. Di samping itu, menurut publikasi BPS, jumlah angkatan kerja di Indonesia naik 150.000 orang dari 118,05 juta orang menjadi 118,19 juta orang. Dari sisi gender, tingkat partisipasi laki-laki maupun perempuan dalam lapangan kerja menurun, dimana pada Agustus 2012 tingkat partisipasi laki-laki dan perempuan masing-masing sebesar 84,42% dan 51,39% yang berubah menjadi 83,58% dan 50,28% pada Agustus 2013. Sementara itu, jika dibandingkan dengan laki-laki, tingkat partisipasi perempuan masih lebih rendah.

Sementara itu, dilihat dari struktur lapangan pekerjaan hingga Agustus 2013, kontribusi penduduk yang bekerja di sektor pertanian terus mengalami penurunan. Pada Agustus 2012 sektor Pertanian berkontribusi sebesar 35,09% turun pada Agustus 2013 menjadi 34,36%. Penurunan

Gambar 14: Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Menurut Jenis Kelamin dan Pengangguran Terbuka di Indonesia, Februari 2011 – Agustus 2013 (dalam %)

Tingkat pengangguran terbuka meningkat

Sumber: BPS dan CEIC (2014)

84,86 84,30 85,67 84,42 85,12 83,58

55,13 52,44 53,71 51,39 53,36 50,28

6,8 6,6

6,3

6,1 5,9 6,3

0 2 4 6 8

0 20 40 60 80 100

Feb-11 Agust-11 Feb-12 Agust-12 Feb-13 Agust-13

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Laki-Laki (LHS) Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Perempuan (LHS) Tingkat Pengangguran Terbuka (RHS)


(21)

tenaga kerja di sektor pertanian tersebut juga tak lepas dari faktor tingkat upah yang lebih tinggi di sektor-sektor lain seperti industri atau perdagangan. Meski mengalami penurunan, porsi tenaga kerja sektor Pertanian masih mendominasi sebagai penyumbang terbesar penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Selain dari sektor Pertanian, sektor yang juga ikut berkontribusi tinggi dalam penyerapan tenaga kerja secara berurutan adalah sektor Perdagangan, Jasa Kemasyarakatan dan Industri. Serupa dengan kondisi pada sektor Pertanian yang mengalami penurunan, jumlah angkatan kerja pada sektor Konstruksi dan Industri juga menurun masing-masing menjadi 5,67% dan 13,43% dari 6,13% dan 13,87% pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Sejalan dengan meningkatnya tingkat pengangguran terbuka, tingkat kemiskinan juga bertambah. Penduduk miskin pada September 2013 berjumlah 28,55 (11,47% dari jumlah penduduk) meningkat dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin pada Maret 2013 yaitu 28,07 juta orang (11,37% dari jumlah penduduk). Lonjakan angka kemiskinan tersebut salah satunya disebabkan laju inflasi pasca kenaikan harga BBM pada bulan Juni Tabel 1: Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama, Tahun 2011-2013 (dalam %)

Kontribusi penduduk yang bekerja di sektor pertanian terus mengalami penurunan sementara pada sektor Industri meningkat.

Sumber: BPS dan CEIC (2014)

Feb Agst Feb Agst Feb Agst

Pertanian 38,17 35,86 36,52 35,09 35,05 34,36

Industri 12,31 13,26 12,6 13,87 12,96 13,43

Konstruksi 5,02 5,78 5,41 6,13 6,04 5,67

Perdagangan 20,88 21,34 21,29 20,9 21,76 21,43

Transportasi, Pergudangan dan

Komunikasi 5,01 4,63 4,61 4,51 4,59 4,55

Keuangan 1,85 2,4 2,46 2,4 2,64 2,63

Jasa Kemasyarakatan 15,29 15,18 15,4 15,43 15,37 16,44

Lainnya 1,45 1,55 1,7 1,67 1,59 1,51

TOTAL 100 100 100 100 100 100


(22)

2013 dan tingkat pengangguran terbuka di Indonesia yang mencapai 6,3% pada Agustus 2013, mengalami peningkatan dibandingkan Februari 2013 yaitu sebesar 5,9%. Bertambahnya angka kemiskinan tahun ini diperparah dengan peningkatan ketimpangan distribusi pendapatan masyarakat atau Gini Ratio, yaitu 0,413 dari 0,410 pada tahun 2012. Hal ini mencerminkan pemerataan ekonomi di Indonesia bermasalah. Ketidakmerataan pendapatan masyarakat terus meningkat sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu pemerintah harus lebih memfokuskan kepada pemerataan pembangunan dan bukan hanya sekedar pertumbuhan ekonomi.

Tabel 2: Perkembangan Kemiskinan dan Ketimpangan di Indonesia, 2011-2013

Angka kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di Indonesia meningkat.

Sumber: BPS dan CEIC (2014)

(juta orang) (%)

11-Mar 30,02 12,49

11-Sep 29,89 12,36

12-Mar 29,13 11,96

12-Sep 28,59 11,66

13-Mar 28,07 11,37

13-Sep 28,55 11,47

Tahun Jumlah penduduk miskin Indeks Gini

0,41 0,41


(23)

1. Nilai rupiah menurun

Tingginya tekanan inflasi di Indonesia seringkali dipicu oleh faktor non-moneter seperti infrastruktur yang buruk, banjir, serta bencana alam. Serangkaian kejadian ini mendorong naiknya harga pangan, akibatnya inflasi Januari 2014 melonjak dibandingkan inflasi Desember 2013 yang tercatat sebesar 8,08% (y-o-y). Selain itu, naiknya harga komoditi yang diatur pemerintah—seperti naiknya harga gas LPG di awal tahun—turut mendorong terjadinya lonjakan inflasi.

Pada bulan Februari 2014, tingkat inflasi mampu ditekan pemerintah, tercatat sebesar 7,75% (y-o-y), menurun dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 8,22% (y-o-y). Terkendalinya inflasi di bulan Februari 2014 tidak lepas dari upaya pemerintah menerapkan kebijakan kuota impor pangan dengan sistem buka tutup yang masih diberlakukan hingga saat ini. Kuota impor pangan terus dijalankan hingga harga-harga cukup stabil. Jika pasokan pangan telah mencukupi, kuota impor kembali ditutup.

Gambar 15: Tingkat Inflasi, Februari 2011 – Februari 2014 (y-o-y, dalam %) Inflasi Februari 2014 mencapai 7,75% (y-o-y)

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

02/2011 08/2011 02/2012 08/2012 02/2013 08/2013 02/2014 Inflasi, 2012=100 Inti Harga Diatur Pemerintah Bergejolak


(24)

Untuk mengendalikan tekanan inflasi, pemerintah harus menjaga distribusi pangan agar tidak terganggu serta harus segera memperbaiki sarana dan prasarana infrastruktur nasional.Pada bulan Februari 2014, secara year-on-year, inflasi inti mencapai 5,26%, harga diatur pemerintah tercatat sebesar 16,76%, dan harga bergejolak sebesar 8,73%. Sementara itu, secara month-to-month, angka inflasi Februari 2014 tercatat sebesar 0,26%, lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 1,07%.

Untuk mengendalikan tekanan inflasi, pemerintah harus menjaga distribusi pangan agar tidak terganggu serta harus segera memperbaiki sarana dan prasarana infrastruktur nasional. Pada bulan Februari 2014, secara year-on-year, inflasi inti mencapai 5,26%, harga diatur pemerintah tercatat sebesar 16,76%, dan harga bergejolak sebesar 8,73%. Sementara itu, secara month-to-month, angka inflasi Februari 2014 tercatat sebesar 0,26%, lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 1,07%.

Tabel 3: Tingkat Inflasi Menurut Kelompok Pengeluaran, Tahun 2010 – 2014 (2012=100, m-t-m, dalam %)

Harga makanan masih tinggi, inflasi bulan Februari 2014 mencapai 0,26% (5) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

15,64 6,96 4,08 6,51 2,19 3,29 2,69

3,64 4,51 3,47 7,57 4,26 5,16 1,92

5,68 6,11 3,35 4,67 2,91 4,21 2,2

Jan 3,39 0,46 0,56 0,25 0,29 0,05 -0,28

Feb 2,08 0,47 0,82 -0,59 0,56 0,19 0,08

Mar 2,04 0,4 0,21 -0,7 0,24 0,12 0,19

Apr -0,8 0,3 0,41 -1,13 0,22 0,15 0,1

Mei -0,83 0,35 0,75 -1,22 0,23 0,06 0,05

Jun 1,17 0,67 0,21 -0,29 0,23 0,04 3,8

Jul 5,46 1,55 0,44 -0,09 0,4 0,69 9,6

Ags 1,75 0,68 0,66 1,81 0,37 1,36 0,95

Sep -2,88 0,78 0,61 2,99 0,27 0,71 -0,79

Okt -0,62 0,55 0,26 -0,56 0,33 0,31 0,53

Nov -0,47 0,27 0,68 -0,03 0,34 0,11 0,02

Des 0,79 0,73 0,44 0,17 0,16 0,06 0,56

Jan 2,77 0,72 1,01 0,55 0,72 0,28 0,2

Feb 0,36 0,43 0,17 0,57 0,28 0,17 0,15

Tahun 2010 2011 2012

2013

2014

Catatan: (1) Makanan; (2) Makanan Olahan, Minuman, Tembakau; (3) Perumahan, Listrik, Gas, dan Bahan Bakar; (4) Sandang; (5) Kesehatan; (6) Pendidikan, Rekreasi, dan Olah Raga; (7) Transportasi, Komunikasi, dan Jasa Keuangan


(25)

Komposisi inflasi Februari 2014 relatif lebih merata pada semua kelompok barang, dibandingkan pada bulan sebelumnya yang didominasi oleh kelompok Bahan Makanan. Komponen inflasi terbesar pada Februari 2014 adalah kelompok Makanan Jadi, Minuman, Rokok, dan Tembakau. Kelompok pengeluaran ini menyumbang 0,08% dari total inflasi Januari 2014 yang sebesar 0,26%. Sedangkan inflasinya sebesar 0,36% ( m-t-m) atau 9,62 % (y-o-y). Komponen inflasi bulan Januari 2014 terbesar adalah kelompok Bahan Makanan dengan share sebesar 0,56% dari inflasi Januari 2014 dengan tingkat inflasi sebesar 11,43% (y-o-y) atau 2,77% (m-t-m). Selain itu, kelompok pengeluaran Perumahan, Air, Listrik, Gas, dan Bahan Bakar juga turut mendorong inflasi Januari 2014. Kelompok pengeluaran ini menyumbang 0,25%, dengan inflasi sebesar 7,63% (y-o-y) atau 1,01% ( m-t-m).

Sementara itu, dilihat dari 82 kota besar di Indonesia, sebagian besar kota di Indonesia mengalami inflasi pada Januari dan Februari 2014.

Dari data yang dirilis BPS, Februari 2014 terjadi inflasi di 55 kota. Pontianak menjadi kota dengan tingkat inflasi tertinggi dengan sebesar 2,73% (m-t-m). Namun, deflasi juga terjadi di 27 kota pada Februari 2014. Sibolga menjadi kota dengan deflasi tertinggi, tercatat sebesar 2,43% (m-t-m). Sedangkan pada Januari 2014, 78 kota mengalami inflasi. Inflasi tertinggi dari 78 kota tersebut terjadi di Pangkal Pinang, tercatat sebesar 3,79%. Sedangkan, deflasi dialami oleh empat kota. Kota dengan tingkat deflasi tertinggi adalah Sorong, yang tercatat sebesar 0,17%.

Tingginya inflasi diikuti oleh cadangan devisa yang masih di bawah tahun-tahun sebelumnya dan nilai tukar rupiah yang masih lemah.

Posisi cadangan devisa Indonesia per Januari 2014 tercatat USD 100,65 miliar, atau naik USD 1,26 miliar dibandingkan bulan sebelumnya. Sedangkan per Februari 2014, cadangan devisa melonjak mencapai USD 102,74 miliar, naik sebesar USD 2,09 miliar. Tren positif ini berlanjut sejak Agustus 2013. Meskipun demikian, pada level tersebut cadangan devisa Indonesia telah melebihi standar kecukupan. Peningkatan cadangan devisa pada Januari dan Februari 2014 tidak lepas dari upaya Bank Indonesia memperbaiki neraca perdagangan dengan memberlakukan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.15/17/PBI/2013 terkait Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia, serta penerbitan SUN oleh pemerintah pada akhir Januari dan pertengahan Februari 2014 lalu.


(26)

Selain itu, PBI tentang Transaksi Swap Lindung Nilai juga merupakan strategi BI untuk melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah serta melakukan pendalaman pasar valuta asing. Hasilnya, rupiah mulai memunculkan sentimen positif dengan menguat 4,84% ke tingkat IDR11.643 per USD pada Februari. Hal tersebut mengakhiri tren pelemahan rupiah sejak November 2013. Pada Januari 2014, posisi rupiah berada di IDR 12.226 per USD melemah 0,3% dibandingkan pada Desember 2013. Penguatan rupiah ini juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah menerbitkan obligsi berdenominasi dolar senilai USD 4 miliar dalam upayanya menarik aliran dana masuk dari investor global. Penjualan obligasi tersebut juga ditujukan untuk memperkuat nilai tukar rupiah mengingat bank sentral Amerika Serikat (The Fed) mulai memangkas dana stimulusnya Januari 2014. Surat utang yang diterbitkan pemerintah terdiri dari obligasi bertenor 10 tahun dengan kupon 5,95% dan obligasi bertenor 20 tahun dengan kupon 6,85%, masing-masing senilai USD 2 miliar.

Berkaitan dengan pengendalian kurs rupiah, Bank Indonesia melalui JISDOR (Jakarta Interbank Spot Dollar Rate) berhasil mendapatkan pengakuan internasional. Otoritas Moneter Singapura (MAS) mulai 27 Maret 2014 efektif mengadopsi JISDOR sebagai rate resmi untuk denominasi rupiah pada pasar uang di Singapura. Hal ini sejalan dengan tujuan Bank

Gambar 16: Cadangan Devisa Indonesia (miliar USD) dan Perkembangan Nilai Tukar (IDR/USD), Februari 2011 – Februari 2014

Level cadangan devisa Januari 2014 tertinggi selama 8 bulan terakhir.

Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2014)

6.000 7.000 8.000 9.000 10.000 11.000 12.000 13.000

60 70 80 90 100 110 120 130


(27)

Indonesia saat meluncurkan JISDOR pada 20 Mei 2013 lalu, untuk mengendalikan kurs rupiah pada rate yang wajar. Dengan begitu, efisiensi pasar dapat terjadi, financial deepening dapat tercapai.

Meskipun dalam tekanan inflasi dan pelemahan rupiah, Bank Indonesia memutuskan untuk tetap mempertahankan tingkat BI rate.

Berdasarkan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 13 Februari 2014, BI rate tetap dipertahankan pada level 7,5%. Kebijakan ini melanjutkan komitmen Bank Indonesia untuk mengendalikan inflasi dan memperbaiki neraca pembayaran Indonesia. Sebagai catatan, BI rate terakhir kali berubah pada November 2013 dengan kenaikan sebesar 0,25 basis poin.

Perkembangan tingkat suku bunga secara umum pada Januari dan Februari di tahun 2014 juga relatif tidak banyak berubah dibanding pada Desember 2013. Tingkat suku bunga penjaminan LPS naik 0,25 basis poin menjadi 7,5% (denominasi rupiah) dan 1,5% (denominasi mata uang asing) pada Januari 2014 dan tetap dipertahankan pada Februari 2014. Kenaikan tersebut sebagai upaya LPS menjamin simpanan nasabah perbankan di tengah kenaikan tingkat suku bunga secara umum di bulan Desember 2013. Di sisi lain, suku bunga deposito berjangka tiga bulan bergerak terus naik hingga melebihi tingkat suku bunga penjaminan serta BI

Gambar 17: Perkembangan BI Rate, Februari 2011 – Februari 2014 (dalam %)

BI rate dipertahankan tetap 7,5% pada Februari 2014

Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2014) 3

4 5 6 7 8 9


(28)

rate. Pada bulan Desember 2013, tingkat suku bunga deposito berjangka ada pada level 7,61%. Sedangkan pada Januari 2014 meningkat menjadi 7,96%. Hal ini bisa menjadi sinyalemen perbankan sedang menghadapi masalah likuiditas.

2. Pasar keuangan menunjukkan optimisme di akhir tahun Di pasar finansial, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menunjukkan pergerakan positif, dan obligasi Surat Utang Negara bergerak fluktuatif di bulan Januari dan Februari 2014. IHSG meningkat 3,38% ke level 4.418,757 (Desember 2013 – Januari 2014) kemudian 4,56% ke level 4.620,216 (Januari – Februari 2014). Penguatan IHSG pada Januari dan Februari 2014 bisa menjadi sinyal investor asing mulai masuk ke Indonesia. Di sisi lain, pergerakan imbal hasil (yield) obligasi SUN di pasar fluktuatif di kisaran 8,6% (Desember 2013), 9,01% (Januari 2014), dan terakhir 8,4% (Februari 2014). Hal tersebut dikarenakan yield SUN mengikuti perkembangan tingkat inflasi. Yield akan naik ketika inflasi meningkat,

Gambar 18: Perkembangan Tingkat Suku Bunga Penjaminan LPS dan Deposito, Februari 2011 – Februari 2014 (dalam %)

LPS menaikkan tingkat suku bunga penjaminan, deposito berjangka 3 bulan melebihi BI Rate dan suku bunga LPS

*= Januari 2014 (deposito berjangka) dan Februari 2014 (suku bunga penjaminan) Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2014)

4 5 6 7 8 9


(29)

seperti yang terjadi pada bulan Januari 2014, dan menurun pada Februari 2014. SUN dengan tenor menengah, seperti tenor 10 tahun, menjadi favorit investor sebagai investasi aman sebagai antisipasi terjadinya sentimen negatif di pasar finansial, selain cukup likuid di pasar sekunder.

Setelah sempat menurun pada kuartal III-2013, transaksi modal dan finansial kembali menunjukkan tren menaik di kuartal IV-2013. Surplus transaksi modal dan finansial naik dari USD 5,6 miliar menjadi USD 9,2 miliar dengan tingkat pertumbuhan quarter-to-quarter sebesar 65,4%. Peningkatan surplus ini dikarenakan terjadinya perubahan drastis pada komponen investasi lainnya yang pada kuartal III-2013 mengalami defisit berubah menjadi surplus pada kuartal berikutnya. Adapun investasi langsung dan portofolio mengalami penurunan meskipun tetap mengalami surplus.

Nilai investasi langsung dan portofolio menurun pada kuartal-IV 2013.

Penurunan terbesar terjadi pada investasi langsung, dari USD 5,7 miliar di kuartal III-2013 menjadi USD 1,6 miliar pada kuartal IV-2013. Sedangkan investasi portofolio hanya turun sedikit dari USD 1,9 miliar menjadi USD 1,8 miliar. Secara persentase nilai investasi langsung dan portofolio turun

Gambar 19: Pergerakan IHSG dan Indeks Imbal Hasil SUN Tenor 10 Tahun, Februari 2011- Februari 2014 (dalam %)

IHSG terus menguat sejak Desember hingga Februari; yield SUN turun di akhir Februari 2014

Sumber: IDX, CEIC, dan Bloomberg (2014)

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

0 1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 6.000


(30)

sebesar 71,9% dan 9,6% pada periode tersebut. Penurunan nilai investasi langsung dikarenakan defisit direct investment abroad naik menjadi USD 2,5 miliar pada kuartal IV-2013, kuartal sebelumnya hanya defisit sebesar USD 87 juta. Selain itu surplus foreign direct investment di Indonesia juga menurun sebesar USD 1,7 miliar dari kuartal sebelumnya.

Nilai investasi lainnya meningkat pesat di kuartal IV-2013. Pada kuartal III-2013 nilai investasi lainnya mengalami defisit USD 2 miliar. Kemudian nilainya melonjak menjadi surplus USD 5,9 miliar di kuartal berikutnya. Peningkatan pesat surplus investasi lainnya berdasarkan data dari Bank Indonesia disebabkan oleh penarikan simpanan bank di luar negeri dari sisi aset serta terjadinya surplus neto pada kewajiban sektor swasta.

Dibandingkan dengan kuartal-IV tahun 2012, kinerja transaksi modal dan finansial mengalami penurunan. Hal ini ditunjukkan nilai surplus yang lebih tinggi pada kuartal IV-2012 yaitu sebesar USD 12 miliar daripada kuartal IV-2013 yang hanya sebesar USD 9,2 miliar. Secara year-on-year, surplus transaksi modal dan finansial turun sebesar 23,1 %.

Kinerja neraca pembayaran pada kuartal IV-2013 membaik kembali.

Hal ini ditunjukkan dengan posisi neraca pembayaran yang mengalami

Gambar 20: Neraca Transaksi Modal dan Finansial, 2010:Q1-2013:Q4 (USD miliar)

Surplus transaksi modal dan finansial meningkat

Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2014) -15

-10 -5 0 5 10 15

2010:Q1 2010:Q4 2011:Q3 2012:Q2 2013:Q1 2013:Q4

Investasi Langsung Investasi Portofolio Investasi Lainnya Transaksi Modal dan Finansial Transaksi Berjalan


(31)

surplus USD 4,4 miliar pada kuartal IV-2013. Sebaliknya pada kuartal III-2013, neraca pembayaran Indonesia defisit USD 2,6 miliar. Perbaikan neraca pembayaran terjadi karena surplus transaksi modal dan finansial membesar sementara defisit transaksi berjalan mengecil.

Dibandingkan dengan kuartal IV-2012, Kinerja neraca pembayaran sedikit lebih baik. Pada kuartal IV-2012 neraca pembayaran mengalami surplus sebesar USD 3,2 miliar. Kemudian pada tahun 2013 kuartal yang sama, surplus neraca pembayaran meningkat menjadi USD 4,4 miliar. Secara year-on-year, surplus neraca pembayaran tumbuh sebesar 36,8%.

Gambar 21: Neraca Pembayaran 2010:Q1-2013:Q4 (USD miliar) Neraca pembayaran surplus pada kuartal IV-2013

Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2014) -15

-10 -5 0 5 10 15

2010:Q1 2010:Q4 2011:Q3 2012:Q2 2013:Q1 2013:Q4

Transaksi Berjalan Transaksi Modal dan Finansial


(32)

C. GAMA LEI DAN KONSENSUS PROYEKSI EKONOMI

1. GAMA Leading Economic Indicator (GAMA LEI)

Leading Economic Indicator merupakan salah satu model early warning system untuk memprediksi arah siklus ekonomi di masa depan. GAMA Leading Economic Indicator (GAMA LEI) merupakan model peramalan yang dikembangkan oleh Tim Macroeconomic Dashboard FEB UGM. Titik balik serta kenaikan/penurunan garis pada model GAMA LEI diharapkan mampu memprediksi siklus pergerakan perekonomian Indonesia dalam beberapa waktu ke depan. GAMA LEI dibentuk berdasarkan uji kuantitatif dan kualitatif untuk menghasilkan peramalan terbaik.

GAMA LEI mampu meramalkan siklus perekonomian (PDB) Indonesia dengan cukup akurat pada beberapa waktu sebelumnya. Peramalan model GAMA LEI mampu memprediksi arah siklus perekonomian Indonesia selama ini dengan baik. Pada saat ini GAMA LEI melihat adanya peningkatan kinerja pada beberapa indikator kunci perekonomian Indonesia yang menyebabkan perkembangan positif pergerakan siklus perekonomian

-4 -2 0 2 4 6 8 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3 Q1 Q3

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

-10 -5 0 5 10 15 20

Siklus PDB (LHS) GAMA LEI (RHS, IDR triliun) Growth YoY (RHS, %) Growth Q to Q (RHS, %)

Gambar 22: GAMA Leading Economic Indicator

GAMA LEI memprediksi kecenderungan penurunan siklus perekonomian Indonesia


(33)

(PDB). Dalam edisi ini, GAMA LEI memprediksi siklus perekonomian Indonesia dalam menghadapi tahun politik 2014.

GAMA LEI disusun dari berbagai macam indikator yang telah melewati uji statistik secara ketat. Adanya peningkatan kinerja pada variabel seperti ekspor ke dua wilayah ekonomi (China dan Eropa) dan cadangan devisa dari sisi ekonomi makro serta market capitalization dan IHSG dari pasar modal cukup berpengaruh pada kondisi perekonomian. Meskipun demikian, patut dicatat bahwa beberapa indikator ekonomi makro lainnya dapat berubah dengan cepat dalam beberapa waktu ke depan.

Adanya keberagaman pola pada pertumbuhan ekonomi Indonesia serta proyeksi siklus perekonomian dalam model GAMA LEI menghasilkan peramalan yang komprehensif. Peramalan siklus bisnis menekankan pada pergerakan siklus perekonomian apakah berada pada fase ekspansi atau kontraksi dalam beberapa waktu ke depan. Siklus GAMA LEI 2013:Q4 berada pada fase ekspansi (pada kondisi di atas nol) meskipun mempunyai arah menurun. Sebagai contoh: pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2013:Q4 secara year-on-year tercatat meningkat, namun siklus PDB yang dihasilkan dalam model tersebut mengalami pergerakan menurun walaupun masih dalam fase ekspansi.

GAMA LEI pada edisi ke-5 ini memprediksi masih terdapat kecenderungan penurunan siklus perekonomian (PDB) Indonesia.

Meskipun demikian, dilihat dari pergerakan dan pola perekonomian baik year-on-year maupun quarter-to-quarter keduanya mengindikasikan adanya kenaikan tipis pada pertumbuhan ekonomi di 2014:Q1. Jika pemerintah tidak menjaga pertumbuhan ekonomi yang telah tercatat meningkat secara year-on-year di 2013:Q4, maka momentum perbaikan ekonomi tersebut akan terlewatkan.

2. Konsensus Proyeksi Indikator Makroekonomi

Hasil konsensus menunjukkan nilai ketiga indikator makro utama Indonesia yaitu pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan nilai tukar bergerak membaik dari tahun 2014 ke 2015. Konsensus diperoleh


(34)

berdasarkan survei yang dilakukan oleh tim Macroeconomic Dashboard dengan responden dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM.

Secara umum, pada tahun 2014 pertumbuhan PDB riil tidak jauh berbeda dengan tahun 2013. PDB riil (y-o-y) diprediksi tumbuh sebesar 5,85% ± 0,14% pada kuartal I-2014 dan 5,86% ± 0,14% pada kuartal II-2014. Adapun secara tahunan, prediksi pertumbuhan PDB riil 2014 dan 2015 masing-masing sebesar 5,91% ± 0,14% dan 6,3% ± 0,3% .

Nilai tukar rupiah diprediksi mulai membaik dan stabil pada tahun 2014. Pada kuartal I-2014 nilai tukar rupiah diperkirakan sebesar IDR/USD 11.680 ± IDR/USD 363. Di kuartal berikutnya, nilai tukar rupiah sedikit menguat menjadi IDR/USD 11.510 ± IDR/USD 404. Secara tahunan, nilai tukar rupiah tahun 2014 sebesar IDR/USD 11.550 ± IDR/USD 447 dan tahun 2015 menguat menjadi sebesar IDR/USD 11.130 ± IDR/USD 589.

Inflasi Indonesia tahun 2014-2015 diprediksi berada di atas lima persen. Tahun 2014, hasil prediksi inflasi Indonesia adalah sebesar 5,58% ± 3,19%. Tahun 2015 nilainya menurun sedikit menjadi 5,22% ± 3,17%. Sementara itu secara kuartalan, inflasi di Indonesia pada kuartal I-2014 dan II-2014 masing-masing sebesar 4,33% ± 3,46% dan 4,25% ± 3,26%.

Kuartal-I 2014 Kuartal-II 2014 Tahun 2014 Tahun 2015

Pertumbuhan 5,85 5,86 5,91 6,3

Rentang ± 0,14 0,14 0,14 0,3

Tabel 4: Estimasi Pertumbuhan PDB Riil (y-o-y, dalam %)

Kuartal-I 2014 Kuartal-II 2014 Tahun 2014 Tahun 2015

Nilai Tukar 11.680 11.510 11.550 11.130

Rentang ± 363 404 447 589

Tabel 5: Estimasi Inflasi (y-o-y, dalam %)

Tabel 6: Estimasi Nilai Tukar Rupiah (IDR/USD)

Kuartal-I 2014 Kuartal-II 2014 Tahun 2014 Tahun 2015

Inflasi 4,33 4,25 5,58 5,22

Rentang ± 3,46 3,26 3,19 3,17

Sumber: Data Primer, diolah (2014)

Sumber: Data Primer, diolah (2014)


(35)

Global dan Regional

Secara umum dengan berakhirnya tahun 2013, perekonomian kawasan negara-negara anggota ASEAN (Association of South East Asian Nations) mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang relatif masih lambat dan belum memenuhi potensi perekonomian yang dimiliki.

Perekonomian kawasan yang masih belum optimal ini terutama didorong oleh capaian perekonomian Indonesia dan Thailand, dua negara yang memiliki andil perekonomian yang besar di kawasan yang tercatat masih lebih rendah pada tahun 2013 dibandingkan dengan capaian yang diperoleh pada tahun 2012 lalu. Berdasarkan pertumbuhan year-on-year, pada tahun 2013 ini secara berturut-turut Indonesia dan Thailand mencatatkan pertumbuhan perekonomian sebesar 5,8% dan 2,9% lebih rendah daripada capaian perekonomian pada tahun 2012 yang secara berturut-turut tercatat 6,2% dan 6,4%. Situasi ini cukup meresahkan mengingat sebagai salah satu mesin pertumbuhan ekonomi Asia, ASEAN hanya mampu mencatatkan rerata pertumbuhan perekonomian sebesar 5% dalam satu dekade terakhir yang masih sangat rendah dibandingkan potensi perekonomian yang dimiliki di tengah tantangan perekonomian untuk memasuki komitmen bersama terkait ASEAN Economic Community 2015 yang akan datang.

Potensi pertumbuhan ekonomi kawasan mendapatkan tantangan baik dari sisi internal maupun dari sisi eksternal. Selain dikarenakan situasi global yang masih belum kembali normal, stabilitas politik yang relatif masih rapuh di kawasan adalah tantangan terkini yang dihadapi negara-negara di ASEAN, seperti yang saat ini sedang dialami oleh Thailand dan Myanmar atau bahkan hingga dinamika terkini menghangatnya hubungan antara Singapura dan Indonesia. Bahkan selain situasi lingkungan eksternal, tantangan secara internal juga dihadapi oleh pemerintah negara ASEAN yang dituntut untuk mampu mengambil kesempatan perekonomian di tengah kecenderungan pergeseran struktur perekonomian di kawasan. Menurut publikasi yang dirilis oleh Sekretariat ASEAN pada Oktober 2013, dinyatakan bahwa telah nampak adanya pergeseran struktur ekonomi yang mencolok di kawasan ASEAN terutama dikaitkan dengan semakin berkurangnya sumbangan


(36)

sektor pertanian pada perekonomian kawasan dan semakin berkembangnya sektor perekonomian yang berbasis jasa. Hal ini dapat terjadi selain dengan mulai tumbuhnya kota-kota besar berskala metropolitan dengan layanan jasa keuangan yang semakin berkembang di kawasan, perkembangan juga dialami pada tingkatan negara seperti Filipina yang telah menjadi negara yang akan menggantikan dominasi India secara global dalam hal tingkat pengiriman tenaga kerja ke luar negeri.

Pemerintah negara anggota ASEAN selain itu masih menemui tantangan untuk mampu menciptakan lapangan kerja yang cukup bagi pertumbuhan jumlah tenaga kerja dan penduduk akibat demographic boom serta kemampuan untuk menyediakan infrastruktur yang memadai guna mendorong produktivitas perekonomian. Sebagai contoh, Filipina, Malaysia Vietnam, Indonesia, Myanmar dan Kamboja adalah negara-negara yang saat ini sedang mengalami tingkat pertumbuhan penduduk usia aktif tinggi sementara tingkat dependency ratio yang memiliki kecenderungan untuk terus menurun, sehingga berpotensi untuk mendukung perekonomiannya. Modal perekonomian ini apabila tidak mampu dikelola secara seksama oleh pemerintahan di negara ASEAN hanya akan menjadi salah satu penyebab tambahan untuk mendorong semakin mundurnya perekonomian kawasan.

Tabel 4: Pertumbuhan GDP Negara ASEAN, 1998–2013 (y-o-y, %)

Filipina dan negara CLMV adalah pendorong utama pertumbuhan ekonomi kawasan

5³ ³ ² -5³ ³ ³ 2000-2007 2008-2009 Krisis Asia Masa tenang Krisis global

Brunei Darussalam 1,25 2,24 -1,85 2,6 2,2 1,6 1

Kamboja 8,5 9,93 3,4 6,1 7,1 7,2 7,2

Indonesia -6,15 5,04 5,3 6,2 6,5 6,2 5,8

Laos 4,25 6,75 7,65 8,1 8 8,1 8

Malaysia -0,65 5,5 1,65 7,1 5,1 5,6 6,8

Myanmar 8,35 12,88 4,35 5,3 5,4 6,3 6,5

Filipina 1,25 4,89 2,65 7,6 3,9 6,5 7,2

Singapura 2,05 6,36 0,5 14,8 5,1 1,2 3,7

Thailand -3,05 5,05 0,1 7,8 -0,1 6,4 2,9

Viet Nam 5,3 7,64 5,8 6,8 5,9 5 5,4

ASEAN -1,9 5,56 3,85 8,3 4,9 5,2 5,1

Negara 2010 2011 2012 2013

Catatan: rata-rata pertumbuhan untuk periode 1998-1999, 2000-2007, dan 2008-2009 Sumber: IMF dan CEIC (2014)


(37)

Filipina adalah negara di kawasan ASEAN dengan tingkat capaian ekonomi sepanjang tahun 2013 cukup menakjubkan dengan mencatatkan pertumbuhan ekonomi hingga 7,2% pada akhir tahun 2013. Capaian ini tidak hanya tinggi di kawasan ASEAN, tetapi juga salah satu negara dengan capaian pertumbuhan ekonomi tertinggi di Asia secara keseluruhan. Perekonomian Filipina yang berkembang sangat pesat ini, selain didorong dengan tercapainya Investment Grade oleh Moody's pada tahun 2013 ini, juga dikarenakan proporsi investasi swasta dan pengeluaran pemerintah yang tinggi pada struktur pertumbuhan ekonominya dibandingkan dengan negara lainnya di kawasan, selain rendahnya tingkat perekonomian negara ini pada aktivitas ekspor dan impor, sehingga meminimalisir dampak instabilitas perekonomian global pada perekonomian nasionalnya.

Capaian pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN juga didorong oleh tingkat pertumbuhan negara-negara CLMV (Kamboja, Lao PDR, Myanmar, Viet Nam). Negara anggota CLMV ini bahkan memperoleh capaian pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dari negara-negara anggota

Gambar 23: Indeks Harga Konsumen (IHK) Negara ASEAN, 2011 – 2014* (y-o-y, %)

Tingkat inflasi yang masih tinggi masih menjadi ancaman ekonomi kawasan

44 46 48 4⁰ 54 56 58 5⁰ 64

6455 6456 6457 Jan©58 (YoY)

Brunei Darussalam Cambodia Lao PDR Malaysia Myanmar The Philippines Singapore Thailand Viet Nam Indonesia

*= Data untuk Brunei Darussalam, Cambodia, Myanmar adalah posisi per-Desember 2013 (y-o-y). Data untuk Indonesia, Lao PDR. Malaysia, The Philippines, Singapore, Thailand, Viet Nam adalah posisi per-Januari 2014 (y-o-y)


(38)

ASEAN+6 (enam negara anggota awal ASEAN) yang dianggap memiliki sistem perekonomian yang lebih modern. Sepanjang tahun 2013 ini, negara-negara CLMV secara rata-rata mampu mencatatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8%, lebih tinggi dari rerata capaian negara ASEAN+6 (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand) yang hanya mampu mencapai tingkat pertumbuhan sebesar 4,57%. Hal ini diperkirakan selain karena potensi kapasitas perekonomian yang masih sangat luas bagi negara-negara anggota CLMV dengan stabilitas politik yang relatif stabil juga sangat didorong dengan komitmen pemerintah nasional yang tinggi pada upaya pembangunan fasilitas dan jejaring infrastruktur seiring mendukung komitmen kawasan pada Master Plan on ASEAN Connectivity 2015.

Tingkat inflasi yang masih relatif tinggi di ASEAN adalah salah satu penyebab utama yang menyebabkan hambatan bagi perekonomian untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang optimal dan tingkat perbaikan kesejahteraan yang signifikan. Sepanjang tahun 2013, Indonesia tercatat sebagai negara dengan tingkat inflasi tertinggi di kawasan yang menyebabkannya berada di dalam kelompok negara-negara yang mencatat tingkat inflasi yang tinggi seperti Lao PDR dan Vietnam. Berbeda dengan negara-negara lain di kawasan yang relatif sukses menekan laju inflasi pada kisaran

Tabel 5: Pertumbuhan Indeks Pasar Saham Negara ASEAN, 2009 – 2014 (y-o-y, %)

Pasar saham di ASEAN menunjukkan capaian yang beragam

Negara 2009 2010 2011 2012 2013 6² -Feb-58

Brunei Darussalam

Kamboja -17,74 -1,57

Indonesia 87,9 46,9 3 13,3 0,25 6,77

Laos 35,1 3,86 3,09

Malaysia 45 19,5 0,8 10,3 10,54 -1,68

Myanmar

Filipina 60,3 55,7 1,9 21,1 62,3 7,36

Singapura 64,5 10,1 -17,1 19,7 0,24 -2,01

Thailand 66,1 39,2 -0,9 35,9 -11,58 7,68

Viet Nam 56,6 -2,8 -20,9 7,7 23,06 16,25

Tidak memiliki pasar saham Tidak memiliki pasar saham

Tidak memiliki pasar saham

Tidak memiliki pasar saham

Catatan: Data tersaji pada posisi 28 Februari 2014 adalah pertumbuhan berbasis Year-to-Date


(39)

dibawah 3%, pemerintah Indonesia, Lao PDR dan Vietnam terbukti b e l u m m a m p u m e n e ka n l a j u i n f l a s i d i d a l a m s i s te m perekonomiannya.

Pada perkembangan terkini melalui rilis tingkat inflasi pada bulan Januari 2014 yang lalu, bahkan Indonesia tetap menjadi negara dengan tingkat inflasi year-on-year tertinggi di kawasan. Indonesia memperoleh capaian IHK yang tercatat 8,22% berbeda signifikan dengan pencatat inflasi tertinggi berikutnya yaitu Lao PDR (5,99%) dan Viet Nam (5,45%). Tekanan inflasi pada perekonomian kawasan ini hendaknya menjadi perhatian yang serius oleh negara-negara anggota ASEAN karena hal ini akan sangat mempengaruhi kesiapan mereka secara kolektif untuk menyongsong ASEAN Economic Community 2015.

Negara-negara anggota ASEAN memiliki potensi tumbuh lebih tinggi dengan fenomena demographic boom yang terjadi. Pertumbuhan jumlah penduduk usia kerja produktif yang signifikan diiringi dengan tingkat kesejahteraan yang relatif lebih baik akan memacu terjadinya pertumbuhan tingkat konsumsi industri dan rumah tangga yang meningkat. Namun sayangnya, mayoritas pertumbuhan tingkat konsumsi itu masih didominasi oleh barang-barang impor yang tidak saja akan mempengaruhi keseimbangan nilai tukar tapi juga berpotensi mendorong membesarnya potensi terjadinya imported inflation.

Perkembangan pasar saham di kawasan negara ASEAN menunjukkan capaian yang beragam. Sebagian negara sepanjang tahun 2013 mencatatkan penurunan yang tajam sebagaimana yang dicatat oleh Kamboja (-17,74%) dan Thailand (-11,58%), sebagian mengalami pertumbuhan yang tajam sebagaimana yang dicatat oleh Filipina (62,30%) dan Viet Nam (23,06%), sementara sebagian negara lainnya mengalami mencatatkan pertumbuhan dengan tingkat yang sangat tipis seperti yang dialami Indonesia, Lao PDR dan Singapura.

Pertumbuhan pasar saham menunjukkan optimisme pelaku pasar pada perekonomian ASEAN namun hal itu juga diiringi dengan potensi kerapuhan sistem keuangan kawasan. Melimpahnya dana asing masuk yang dikategorikan sebagai hot money memicu potensi penarikan dana secara tiba-tiba yang pada akhirnya dapat menggerus kestabilan sistem


(40)

keuangan negara di kawasan yang saat ini sedang mengalami momentum pertumbuhan. Ancaman terhadap kestabilan sistem keuangan negara-negara anggota ASEAN secara umum juga datang dari kecenderungan peningkatan pada utang sektor perumahan akibat kecenderungan peningkatan tingkat konsumsi masyarakat terutama golongan menengah pada konsumsi benda-benda yang bersifat komplementer dan mewah. Melimpahnya dana asing masuk di kawasan ASEAN sepanjang tahun 2013 ini ditunjukkan dengan dana masuk hingga sebesar USD 144 miliar, tidak terlalu jauh dibandingkan dengan negara sebesar Cina yang mencatatkan dana masuk hingga sebesar USD 121 miliar.

Beberapa pengamat investasi dan pelaku pasar menyatakan bahwa mereka masih cukup optimis bahwa dana asing yang masuk ke kawasan ASEAN ini tidak akan segera berpindah dalam waktu dekat.

Hal itu dikarenakan para investor masih belum menemukan tempat lain yang aman dan nyaman sebagai alternatif menarik untuk lokasi pemindahan dana-dana tersebut dalam situasi perekonomian global seperti saat ini. Para pengamat tersebut juga percaya bahwa walaupun hot money tersebut terjadi penarikan dana yang massal dan tiba-tiba, dampaknya tidak akan terlalu berat sebagaimana yang dialami pada saat Krisis Keuangan Asia 1998 terdahulu dikarenakan berdasarkan pengalaman itu sistem keuangan di

Tabel 6: Nilai Tukar Mata Uang ASEAN Terhadap USD, 2009 – 2014 (y-o-y, %)

Pada tahun 2013, seluruh nilai tukar mata uang di kawasan melemah terhadap USD

Negara 2009 2010 2011 2012 2013 6² -Feb-58

Brunei Darussalam 4,17 7,97 0 4,72 -2,48 -0,8

Kamboja -2,21 0,81 0,3 1,76 -0,33 0,25

Indonesia 14 5,79 0,36 -8,72 -26,92 4,51

Laos -0,05 3,53 0,56 1,77 -2,07 0,12

Malaysia 0,59 9,17 -3,26 4,42 -8,58 0,3

Myanmar 0,32 0,16 0,48 -13360* -14,93 0,45

Filipina 1,44 5,73 0,09 7,05 -9,03 -0,54

Singapura 3,45 8,57 -0,78 5,43 -3,28 0

Thailand 4,52 9,32 -6,26 4,25 -7,96 0,79

Viet Nam 6,7 -5,71 -7,97 2,05 -2,36 0,02

*= Pada tahun 2012 Myanmar mengalami penyesuaian nilai mata uang

Catatan: Data tersaji pada posisi 28 Februari 2014 adalah pertumbuhab berbasis Year-to-Date


(41)

ASEAN sudah lebih diregulasi dengan lebih baik dan dengan posisi cadangan devisa yang juga lebih memadai untuk menghadapi kemungkinan terjadinya potensi kejatuhan mata uang dengan drastis.

Neraca perdagangan di kawasan ASEAN saat ini mengalami tekanan dari berbagai arah. Seiring dengan dampak resesi perekonomian yang di negara-negara belahan Barat yang masih dirasakan hingga saat ini dan diikuti dengan perlambatan pertumbuhan perekonomian Cina dalam beberapa tahun terakhir menyebabkan negara-negara di kawasan Asia Tenggara mencatatkan penurunan dalam tingkat ekspor maupun penurunan nilai produk-produk ekspor akibat menurunnya tingkat permintaan global. Bahkan perdagangan antara negara Selatan-Selatan yang biasanya menjadi penyangga bagi kawasan dalam mengkompensasi penurunan permintaan dari negara-negara maju ternyata belum mampu menyelamatkan, mengingat adanya kecenderungan “pendinginan” ekonomi di Brasil sebagai negara besar di kawasan Selatan maupun pada negara-negara berkembang lainnya yang juga sedang mengalami permasalahan perekonomiannya sendiri.

Penurunan pada tingkat keseimbangan neraca perdagangan di kawasan pada kelanjutannya berdampak pada melemahnya seluruh nilai tukar mata uang negara-negara anggota di kawasan terhadap Dolar Amerika Serikat (USD). Potensi tertekannya nilai tukar negara di kawasan ini akan berpotensi untuk terus terjadi dikarenakan adanya rencana The Fed untuk melakukan program pengurangan quantitative easing (tapering off) yang berpotensi untuk menyebabkan terjadinya dampak instabilitas pada kerapuhan sektor pasar uang maupun pasar saham di kawasan.

Pertumbuhan secara tipis yang terjadi di pasar saham ASEAN sebagaimana yang telah diulas sebelumnya ternyata tidak berbanding lurus dengan situasi yang tercatat pada pasar uang. Hal itu sebagaimana yang diwujudkan dalam pertumbuhan negatif seluruh nilai tukar mata uang negara anggota di kawasan sepanjang tahun 2013. Penurunan tersebut paling besar dialami oleh Indonesia “Rupiah” dengan depresiasi sebesar 26,92% dan Myanmar “Kyat” yang mengalami depresiasi sebesar 14,93% sebagai dua negara yang utama yang belum mampu mengendalikan penurunan nilai tukar mata uang di bawah 10%, layaknya yang dialami oleh negara-negara lainnya di kawasan selama tahun 2013.


(42)

E. Isu Terkini

Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) 2014 tinggal dalam hitungan hari. Berdasarkan tahapan-tahapan yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), proses pemungutan suara untuk memilih calon-calon anggota DPD, DPR dan DPRD akan dilaksanakan pada tanggal 9 April 2014. Tercatat, di samping individu-individu calon anggota DPD, ada 12 partai politik yang bersaing memperebutkan kursi-kursi DPR dan DPRD, di mana 11 di antaranya merupakan partai politik lama dan satu partai merupakan partai politik baru.

Pertanyaannya, seberapa jauh kita bisa berharap bahwa Pileg 2014 akan menghasilkan wakil-wakil rakyat yang lebih baik? Mungkinkah Pileg kali ini akan berbeda dengan pemilu-pemilu legislatif sebelumnya dan menjadi awal bagi sebuah perubahan?

Bagi saya, pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak mudah untuk dijawab. Bukan karena saya tak setuju dengan sebagian besar masyarakat yang kecewa dengan kinerja wakil-wakil rakyat hasil pemilu-pemilu legislatif sebelumnya. Begitu juga, bukan karena saya terlalu percaya bahwa perubahan mungkin akan terjadi hanya dengan bekal hitung-hitungan sederhana jumlah pemilih muda melek informasi yang konon mencapai 40 juta. Tetapi, karena menurut saya jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan di atas bersifat endogenous.

Seperti diajarkan para dosen kepada mahasiswa-mahasiswa baru yang menghadiri pertemuan pertama kuliah dengan topik “10 Principles of Economics”, perilaku individu-individu dalam perekonomian bergantung antara lain pada insentif. Baik atau buruknya kinerja anggota legislatif hasil Pileg 2014 bukan hanya akan ditentukan oleh preferensi calon-calon yang terpilih, tetapi juga rentetan rewards dan punishments dari masyarakat kepada mereka, sejak awal masa pencalonan hingga akhir masa jabatan lima tahun ke depan.

Pemilu Legislatif dan Harapan Perubahan Akhmad Akbar Susamto


(43)

Sayangnya, insentif yang diberikan masyarakat cenderung salah. Di awal masa pencalonan, masyarakat sudah menghukum calon-calon wakil rakyat yang sebenarnya potensial dan memiliki catatan masa lalu yang baik dengan ungkapan-ungkapan sinis tentang perebutan kekuasaan, praktik-praktik politik kotor dan korupsi. Hanya dalam waktu satu detik setelah seseorang memutuskan terjun ke politik, semua catatan masa lalunya yang positif seakan luruh menjadi negatif: Independensi menjadi partisanship, obyektivitas menjadi subyektivitas kelompok dan akal sehat menjadi akal jahat. Adverse selection pun terjadi, di mana individu-individu yang bersih enggan terjun ke politik, sementara individu-individu yang memang tak bersih justru dengan bebas masuk ke politik mengingat risiko pengorbanan reputasi yang rendah.

Menjelang hari pemungutan suara, polarisasi muncul. Di satu sisi, ada sebagian masyarakat yang memilih untuk menjadi golput. Mungkin dengan alasan semua kandidat atau semua partai politik peserta pileg sama buruknya, mungkin juga dengan alasan kecewa pada pelaksanaan pileg yang dianggap tak jujur dan tak adil. Di sisi lain, ada sebagian masyarakat yang mengikatkan pilihan pada kandidat atau partai politik tertentu tanpa memandang apakah kandidat atau partai politik yang dipilihnya bersih atau tidak. Masih lumayan jika ikatan tersebut didasarkan pada alasan ideologis. Tetapi, yang lebih jamak adalah ikatan yang didasarkan pada alasan pragmatis, termasuk janji-janji pembagian rente dan money politics. Dalam hal ini, yang terjadi bukan semacam corollary Mancur Olson (1965),¹ tetapi ujian dan godaan bagi calon-calon wakil rakyat yang bersih. Meyakinkan sebagian masyarakat yang kritis agar tak golput terasa sulit, sementara merebut hati sebagian masyarakat lain yang mendasarkan ikatan pada alasan pragmatis juga tak mudah. Pilihannya, ikut-ikutan pragmatis termasuk menebar janji-janji pembagian rente dan money politics atau terlempar dari persaingan mendulang suara. Terlebih sistem perwakilan dalam lembaga legislatif kita lebih mengarah pada representasi proporsional daripada representasi pluralitas sehingga suara-suara untuk kandidat atau partai politik minor pun tetap berarti.

¹ Mancur Olson menyebut pemungutan suara sebagai barang publik. Seseorang dapat tetap mendapatkan manfaat dari hasil pemungutan suara meskipun tidak ikut memilih. Hanya saja, sebagai konsekuensi (corollary), akan ada kelompok-kelompok kepentingan khusus yang terorganisasi dengan baik yang akan mempunyai pengaruh lebih besar dalam pengambilan keputusan politik. Lihat Mancur Olson (1965), The Logic of Collective Action: Public Goods and


(1)

Sayangnya, insentif yang diberikan masyarakat cenderung salah. Di awal masa pencalonan, masyarakat sudah menghukum calon-calon wakil rakyat yang sebenarnya potensial dan memiliki catatan masa lalu yang baik dengan ungkapan-ungkapan sinis tentang perebutan kekuasaan, praktik-praktik politik kotor dan korupsi. Hanya dalam waktu satu detik setelah seseorang memutuskan terjun ke politik, semua catatan masa lalunya yang positif seakan luruh menjadi negatif: Independensi menjadi partisanship, obyektivitas menjadi subyektivitas kelompok dan akal sehat menjadi akal jahat. Adverse selection pun terjadi, di mana individu-individu yang bersih enggan terjun ke politik, sementara individu-individu yang memang tak bersih justru dengan bebas masuk ke politik mengingat risiko pengorbanan reputasi yang rendah.

Menjelang hari pemungutan suara, polarisasi muncul. Di satu sisi, ada sebagian masyarakat yang memilih untuk menjadi golput. Mungkin dengan alasan semua kandidat atau semua partai politik peserta pileg sama buruknya, mungkin juga dengan alasan kecewa pada pelaksanaan pileg yang dianggap tak jujur dan tak adil. Di sisi lain, ada sebagian masyarakat yang mengikatkan pilihan pada kandidat atau partai politik tertentu tanpa memandang apakah kandidat atau partai politik yang dipilihnya bersih atau tidak. Masih lumayan jika ikatan tersebut didasarkan pada alasan ideologis. Tetapi, yang lebih jamak adalah ikatan yang didasarkan pada alasan pragmatis, termasuk janji-janji pembagian rente dan money politics. Dalam hal ini, yang terjadi bukan semacam corollary Mancur Olson (1965),¹ tetapi ujian dan godaan bagi calon-calon wakil rakyat yang bersih. Meyakinkan sebagian masyarakat yang kritis agar tak golput terasa sulit, sementara merebut hati sebagian masyarakat lain yang mendasarkan ikatan pada alasan pragmatis juga tak mudah. Pilihannya, ikut-ikutan pragmatis termasuk menebar janji-janji pembagian rente dan money politics atau terlempar dari persaingan mendulang suara. Terlebih sistem perwakilan dalam lembaga legislatif kita lebih mengarah pada representasi proporsional daripada representasi pluralitas sehingga suara-suara untuk kandidat atau partai politik minor pun tetap berarti.

¹ Mancur Olson menyebut pemungutan suara sebagai barang publik. Seseorang dapat tetap mendapatkan manfaat dari hasil pemungutan suara meskipun tidak ikut memilih. Hanya saja, sebagai konsekuensi (corollary), akan ada kelompok-kelompok kepentingan khusus yang terorganisasi dengan baik yang akan mempunyai pengaruh lebih besar dalam pengambilan keputusan politik. Lihat Mancur Olson (1965), The Logic of Collective Action: Public Goods and the Theory of Groups, Cambridge, MA, Harvard University Press.


(2)

Setelah pelantikan, penilaian masyarakat atas kinerja anggota-anggota legislatif pada umumnya overgeneralized. Bagi sebagian besar masyarakat, apapun yang dilakukan dan diupayakan wakil-wakil rakyat di parlemen terlihat buruk. Tidak ada perbedaan antara anggota-anggota legislatif yang bersih, yang kurang bersih dan yang busuk. Tidak ada perbedaan antara satu urusan dengan urusan lain, antara satu kebijakan dengan kebijakan yang lain. “Pokoknya semua buruk.” Kesalahan insentif pun terjadi, di mana wakil-wakil rakyat yang bersih dan berkinerja baik tak mendapatkan rewards, dan sebaliknya justru mendapatkan punishments dengan cara diperlakukan sama seperti wakil-wakil rakyat yang tidak bersih dan berkinerja buruk. Insentif kepada wakil-wakil rakyat bisa salah terutama karena berjangkitnya rational apathy dan rational ignorance. Rational apathy mencerminkan kecenderungan untuk mengabaikan persoalan dan pasrah di tengah keadaan yang sulit untuk diubah. Sementara, rational ignorance mencerminkan kecenderungan untuk tak mau tahu, dalam arti belum tahu dan tak ingin mencari tahu (Down, 1957).²

Insentif kepada wakil-wakil rakyat hanya bisa ditata ulang bila kita dari sekarang mau “berkorban” dengan sedikit lebih peduli, mengumpulkan informasi dan membedakan antara calon-calon wakil rakyat yang bersih dan yang tidak bersih. Di hari pemungutan suara, pemilih yang terdaftar dapat berkontribusi dengan sedikit “berkorban” memilih calon yang dianggap paling baik. Setidak-tidaknya, peraturan KPU tentang penetapan calon-calon anggota legislatif terpilih berdasarkan suara terbanyak masih memungkinkan kita untuk memilah-milah kandidat-kandidat yang bersih dan tak bersih dalam satu partai yang sama. Sesudah pelantikan, kita dapat berkontribusi dengan menahan diri untuk tidak gebyah-uyah dalam mengkritik anggota-anggota legislatif, dan bila memang yang mereka lakukan benar, memberi sedikit pujian atas pekerjaannya. Meskipun tidak selalu mudah, pembedaan antara anggota-anggota legislatif yang berprestasi dan tidak berprestasi akan menjadi insentif yang benar bagi mereka.

Jadi, kembali ke pertanyaan awal tentang seberapa jauh Pileg 2014 akan bisa menjadi awal bagi sebuah perubahan, jawabannya tergantung pada sikap kita! Masalahnya, siapkah kita untuk berubah?


(3)

F. Economic Outlook

Stabilitas ekonomi makro Indonesia yang membaik di awal tahun 2014 masih menghadapi potensi instabilitas yang tinggi seiring dengan kebijakan tapering off dari bank sentral Amerika Serikat ataupun pelemahan pertumbuhan ekonomi di Jepang, China ataupun India, juga dampak yang bisa timbul dari perkembangan masalah Ukraina. Apalagi cadangan devisa yang meningkat banyak didukung oleh hasil penerbitan Surat Berharga Negara global sebesar USD 4 miliar pada Januari 2014. Demikian juga laju pertumbuhan ekonomi yang meningkat tipis pada kuartal IV-2013 sehingga mencapai 5,72% masih akan menghadapi tantangan dan ancaman yang berat karena neraca perdagangan barang yang sejak Oktober hingga Desember 2013 surplus mulai defisit lagi yang disebabkan oleh karena kebijakan pelarangan ekspor minerba mentah serta defisit neraca perdagangan migas yang meningkat, serta surplus neraca perdagangan non-migas yang menurun lagi pada Januari 2014. Apalagi pertumbuhan investasi juga mengalami tekanan pada kuartal-IV 2013 seiring dengan mendekatnya Pemilu. Meskipun laju pertumbuhan sektor Industri Pengolahan mulai meningkat lagi. Penyelenggaraan Pemilu sendiri juga akan mendorong peningkatkan belanja konsumsi sehingga akan meningkatkan permintaan. Berbagai perkembangan politik dan ekonomi terakhir diperkirakan akan membuat instabilitas ekonomi Indonesia ke depan masih menghadapi ancaman volatilitas yang tinggi meskipun demikian menurut GAMA LEI pertumbuhan ekonomi akan meningkat tipis. Namun demikian proses dan hasil Pemilu akan banyak memengaruhi kondisi ekonomi Indonesia ke depan. Jika Pemilu berjalan lancar, aman dan damai, serta hasil Pemilu legislatif menghasilkan wakil rakyat yang diyakini akan mampu membawa perbaikkan bagi Indonesia, maka kita bisa berharap bahwa instabilitas ekonomi makro akan semakin membaik, demikian juga laju pertumbuhan ekonomi meningkat dengan signifikan karena investasi akan tumbuh lagi. Oleh karena itu, kita doakan saja agar Pemilu 2014 berjalan dengan lancar, aman, dan damai serta menghasilkan wakil rakyat yang diyakini bisa membawa perbaikkan pada Indonesia, sehingga ekonomi akan tumbuh dan berkembang, bangsa Indonesia akan semakin maju, adil dan sejahtera. Semoga.


(4)

(5)

(6)

INDONESIAN ECONOMIC REVIEW AND OUTLOOK

TIM MACROECONOMIC DASHBOARD

MACROECONOMIC DASHBOARD FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pertamina Tower Building Lt. 4 Ruang 4.1 Jl. Humaniora No. 1 Bulaksumur, Yogyakarta 55281 Telp: +62 274 548 517 ext 373 Email: iero@email.macroeconomicdashboard.com Website: www.macroeconomicdashboard.com Prof. Dr. Sri Adiningsih, M.Sc.

Head of Researcher sadining@ugm.ac.id +62 274 548 517 ext 373

Prof. Dr. Samsubar Saleh, M.Soc. Sc.

Senior Researcher samsubar@ugm.ac.id +62 274 548 517 ext 373

Rosa Kristiadi, M.Comm

Researcher

rosa.kristiadi@email.macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373

Reinardus Adhiputra Suryandaru, S.E.

Junior Researcher

reinardus@email.macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373

Ade Febriady

Research Assistant

febriady@email.macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373

Zira Brenda Wiranti

Research Assistant

zirabrenda@email.macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373

Prof. Dr. Tri Widodo, M.Ec.Dev.

Senior Researcher triwidodo@feb.ugm.ac.id +62 274 548 517 ext 373

Muhammad Ryan Sanjaya, MIntDevEc.

Researcher

m.ryan.sanjaya@ugm.ac.id +62 274 548 517 ext 373

Galih Adhidharma, S.E.

Junior Researcher

galih@email.macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373

Ganendra Widigdya

Research Assistant

ganendra@email.macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373

Traheka Erdyas Bimanatya

Research Assistant

traheka@email.macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373

Mohammad Rizki Hutomo

Research Assistant, Web Developer and Layout hutomo.mr@email.macroeconomicdashboard.com +62 274 548 517 ext 373