Unduh IERO | Macroeconomic Dashboard

(1)

INDONESIAN ECONOMIC

REVIEW AND OUTLOOK

Macroeconomic Dashboard

Fakultas Ekonomika dan Bisnis

Kemacetan di Yogyakarta Antrian pembelian BBM


(2)

Dashboard, Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada (FEB-UGM) yang bekerja sama dengan PT Bank Mandiri, Tbk.

IERO kali ini mengangkat tema “Ekonomi Indonesia Tersandera BBM” di tengah tekanan terhadap perekenomian Indonesia yang masih besar, dibayangi oleh ketidakpastian ekonomi global. Selain itu, ketidakpastian akan dinaikkannya harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi kian membuat perekonomian Indonesia tersandera. Kenaikan harga BBM bersubsidi ini bagaikan buah simalakama. Jika harga BBM bersubsidi dinaikkan, inflasi yang tinggi akan mengancam, namun jika tidak dinaikkan, keuangan negara akan terbebani, sehingga Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bisa jebol. Kondisi ekonomi global yang masih penuh ketidakpastian serta posisi Indonesia yang terjebak dalam dilema BBM bersubsidi akan memberikan dampak negatif bagi perekonomian Indonesia. Hal ini sejalan dengan hasil prediksi GAMA Leading Economic Indicator (GAMA LEI).

GAMA LEI merupakan acuan yang dihasilkan Macroeconomic Dashboard untuk memprediksi keadaan ekonomi Indonesia di masa yang akan datang. Prediksi yang dihasilkan GAMA LEI telah terbukti benar dan menjadi kenyataan. Dalam edisi-edisi IERO yang lampau, GAMA LEI telah memprediksi perlambatan pertumbuhan ekonomi yang akan dialami Indonesia. Prediksi GAMA LEI saat itu sangat bertolak belakang dengan proyeksi pemerintah Indonesia, termasuk Bank Indonesia, maupun organisasi internasional seperti Asian Development Bank, yang menyatakan bahwa perekonomian Indonesia akan membaik. Realitasnya, prediksi GAMA LEI terbukti benar. GAMA LEI bertujuan agar para pembuat kebijakan publik dan pengambil keputusan bisnis dapat memantau kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di masa depan, sehingga mereka dapat mengantisipasi keadaan ekonomi.

Penerbitan IERO yang menyajikan tema-tema hangat diharapkan dapat membantu para pembuat kebijakan publik dan pengambil keputusan bisnis serta civitas academica dalam mendapatkan informasi yang aktual terkait perekonomian Indonesia.

Selamat membaca

Prof. Dr. Sri Adiningsih, M.Sc Head of Researcher Macroeconomic Dashboard


(3)

I. Perkembangan Ekonomi Terkini

ertumbuhan ekonomi Indonesia atas dasar berlaku meningkat dari IDR 1.975,5 triliun pada kuartal I 2012 menjadi IDR 2.146,4

P

triliun di kuartal I 2013. Sejalan dengan Produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga berlaku, PDB atas harga konstan 2000 juga mengalami peningkatan dari kuartal I 2012 sebesar IDR 633,2 triliun menjadi IDR 662,0 triliun pada kuartal I 2013.

Namun, sebagaimana telah diperkirakan oleh GAMA LEI, acuan yang dihasilkan Macroeconomic Dashboard untuk memprediksi keadaan ekonomi Indonesia di masa mendatang, laju pertumbuhan ekonomi kuartal I 2013 hanya mencapai 6,02%, lebih rendah dibandingkan dari periode yang sama tahun 2012 yang tercatat sebesar 6,29% ataupun dibandingkan dengan kuartal IV 2012 yang mencapai 6,1%. Ini sudah kedua kalinya GAMA LEI mampu memprediksi secara tepat mengenai pertumbuhan ekonomi Indonesia yang melambat. Padahal saat itu pemerintah Indonesia memperkirakan bahwa ekonomi Indonesia akan menguat. Bank Indonesia bahkan memprediksi perekonomian Indonesia akan tumbuh 6,2% pada kuartal I 2013 karena ditopang investasi dan konsumsi rumah tangga yang tetap kuat. Selain itu, GAMA LEI juga berhasil mematahkan prediksi Asian Development Bank yang menyatakan bahwa perekonomian Indonesia di tahun 2013 akan membaik dan tumbuh mencapai 6,4%. Kenyataannya, perekonomian Indonesia di kuartal I 2013 justru lebih rendah dari perkiraan para analis, sesuai dengan hasil penelitian GAMA LEI bahwa perekonomian Indonesia di awal tahun 2013 lebih buruk dari tahun sebelumnya.

Selanjutnya, dari sisi lapangan usaha, pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2013 didorong oleh hampir semua sektor kecuali sektor Pertambangan dan Penggalian yang tumbuh sebesar -0,43% (YoY). Sementara itu, sektor yang mengalami pertumbuhan tertinggi secara year on year pada kuartal I 2013 adalah sektor Pengangkutan dan Komunikasi (9,98%), diikuti sektor Keuangan, Real Estat dan Jasa Perusahaan (8,35%), dan sektor Konstruksi (7,19%).

Dari sisi pengeluaran, perlambatan pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2013 bersumber dari permintaan domestik yang menurun dan ekspor yang lemah. Konsumsi Rumah Tangga tumbuh melambat


(4)

sejalan dengan menurunnya daya beli akibat inflasi bahan makanan dan meningkatnya ekspektasi inflasi terkait dengan ketidakpastian kebijakan subsidi bahan bakar minyak. Sementara Konsumsi Pemerintah tumbuh rendah di awal tahun karena masih terbatasnya serapan belanja, khususnya belanja barang. Di sisi lain, investasi cenderung melambat karena prospek permintaan domestik dan internasional yang lemah. Selain itu, investor diperkirakan mulai bersikap “wait and see” sejalan dengan mendekatnya Pemilu. Dengan melambatnya pertumbuhan investasi dan konsumsi, maka impor mengalami kontraksi. Secara year on year, sepanjang kuartal I 2013 Konsumsi Rumah Tangga tumbuh sebesar 5,17%, Konsumsi Pemerintah 0,42%, Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) 5,90%, Ekspor 3,39%, dan Impor -0,44% .

Ada beberapa alternatif kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2013. Salah satunya adalah mendorong percepatan penyerapan anggaran pemerintah yang selama ini masih hanya berkontribusi tipis terhadap pertumbuhan ekonomi. Selain itu, pemerintah harus mampu menjaga consumer confidence dari masyarakat dengan menjaga daya beli masyarakat disertai inflasi yang rendah.

Gambar 1: Laju Pertumbuhan PDB Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000. Menurut Lapangan Usaha, Tahun 2005 – 2013* (YoY, dalam %)

Pertumbuhan ekonomi kuartal I 2013 hanya mencapai 6,02%, tercatat paling rendah dalam tiga tahun terakhir.


(5)

Pemerintah juga perlu fokus dalam revitalisasi infrastruktur untuk meningkatkan investasi. Hal ini sangat mendesak untuk dilakukan karena investasi tidak semata-mata hanya berkaitan dengan masalah insentif namun juga berkaitan dengan ketersediaan infrastruktur yang memadai, kelembagaan yang mendukung, serta kondisi makro ekonomi yang baik.

Meskipun pertumbuhan ekonomi melamban, tingkat pengangguran terbuka (TPT) hingga Februari 2013 mencapai 5,92% atau turun dibandingkan TPT Agustus 2012 yang tercatat sebesar 6,14%. Begitu juga bila dibandingkan dengan TPT Februari 2012 yang tercatat mencapai 6,32%. Penurunan tersebut sebenarnya tidak terlalu besar, hanya 440 ribu orang, dari 7,61 juta orang pada Februari 2012 menjadi 7,17 juta pada Februari 2013. Apalagi jumlah penduduk setengah menganggur meningkat, tercatat sebesar 12,77 juta orang pada Agustus 2012 menjadi 13,56 juta orang pada Februari 2013. Dari sisi jumlah angkatan kerja, sepanjang Februari 2012 hingga Februari 2013 tercatat peningkatan angkatan kerja di Indonesia sebesar 780 ribu orang, dimana pada Februari 2012 angkatan kerja tercatat sebesar 120,41 juta sedangkan di bulan Februari 2013 jumlahnya naik menjadi 121,19 juta orang. Meskipun jumlah

Gambar 2 : Laju Pertumbuhan PDB Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000. Menurut Pengeluaran, Tahun 2005 – 2013* (YoY, dalam %)

Perlambatan PDB Kuartal I 2013 karena ada moderasi pada permintaan domestik dan investasi di tengah pemulihan ekspor yang masih terbatas


(6)

angkatan kerja meningkat, dalam satu tahun terakhir (Februari 2012 hingga Februari 2013) terjadi penurunan tingkat partisipasi angkatan kerja sebesar 0,45%.

Tingkat partisipasi angkata kerja pada Februari 2013 sebesar 69,2 % menurun tipis dibanding Februari 2012 sebesar 69,66%. Sementara bila dibandingkan dengan Agustus 2012 masih cenderung naik karena pada periode itu tingkat partisipasi angkatan kerja tercatat sebesar 67,88%.

Gambar 3 : Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja dan Tingkat Pengangguran Indonesia, Febuari 2005 – Febuari 2013 (dalam %)

Kondisi ketenagakerjaan di Indonesia menunjukkan perbaikan dalam hal jumlah angkatan kerja maupun penurunan tingkat pengangguran, meskipun jumlah penduduk setengah menganggur meningkat.

Sumber: BPS dan CEIC (2013)

2013 Febuari Agustus Febuari Agustus Febuari

Pertanian 42,48 39,33 41,20 38,88 39,96

Industri 13,70 14,54 14,21 15,37 14,78

Konstruksi 5,59 6,34 6,10 6,79 6,89

Perdagangan 23,24 23,40 24,02 23,16 24,81

Transportasi, Pergudangan, dan Komunikasi 5,58 5,08 5,20 5,00 5,23

Keuangan 2,06 2,63 2,78 2,66 3,01

Jasa Kemasyarakatan 17,02 16,65 17,37 17,10 17,53

Lainnya 1,61 1,70 1,92 1,85 1,81

T O T A L 111,28 109,67 112,80 110,81 114,02

2011 2012

Lapangan Pekerjaan Utama

Tabel 1 : Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama, Tahun 2011 – 2013* (dalam juta orang)

Hinggal Februari 2013, penyerapan tenaga kerja terbesar masih dikontribusikan oleh sektor Pertanian, Perdagangan, Jasa Kemasyarakatan, dan sektor Industri .


(7)

Dilihat dari struktur lapangan pekerjaan hingga Februari 2013 belum ada perubahan yang signifikan, penyerapan tenaga kerja terbesar masih dikontribusikan dari sektor Pertanian, Perdagangan, Jasa Kemasyarakatan, dan sektor Industri .

Jika dibandingkan dengan kondisi pada Februari 2012, jumlah penduduk yang bekerja pada Februari 2013 mengalami kenaikan terutama di sektor Perdagangan, tercatat naik sebesar 790 ribu orang (tumbuh sebesar 3,29%). Serupa dengan kondisi sektor Perdagangan, jumlah penduduk yang bekerja di sektor Konstruksi pada Februari 2013 juga mengalami peningkatan dibandingkan Februari tahun sebelumnya, tumbuh sebesar 12,95%. Penduduk yang bekerja di sektor Industri juga meningkat, dari 14,21 juta orang pada Februari 2012 menjadi 14,78 juta orang pada Februari 2013, atau tumbuh sebesar 4,01%. Sedangkan sektor-sektor yang mengalami penurunan pada Februari 2013 adalah sektor Pertanian dan sektor Lainnya yang masing-masing mengalami penurunan sebesar 3,01% dan 5,73% dibandingkan Februari 2012.

Sejalan dengan menurunnya tingkat pengangguran di Indonesia, jumlah penduduk miskin turut berkurang. Berdasarkan data terbaru dari BPS, penduduk miskin di Indonesia pada September 2012 sebanyak 28,59 juta orang (11,66%), turun dibandingkan pada Febuari 2004 yang mencapai 36,1 juta orang (16,66%). Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin pada Maret 2012, maka selama satu semester berikutnya terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 0,54 juta orang.

Namun demikian, perlu diingat bahwa garis kemiskinan yang dipakai pada September 2012 sebesar IDR 259.520 per kapita per bulan, naik sebesar 4,35% dibandingkan Maret 2012, jika dicermati secara kritis tidak mengindikasikan penduduk miskin berkurang. Sebagai ilustrasi, berdasarkan garis kemiskinan yang ditetapkan sebesar IDR 259.520 per bulan, berarti satu keluarga yang memiliki satu orang anak dengan penghasilan tunggal sebesar IDR 800.000 per bulan sudah tidak dikatakan miskin. Padahal, jelas terlihat bahwa kehidupan keluarga tersebut tentu sangat tidak layak. Berdasarkan daerah tempat tinggal, pada periode Maret 2012 – September 2012, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan dan pedesaan sama-sama mengalami penurunan, masing-masing


(8)

Tabel 2 : Perkembangan Kemiskinan di Indonesia, Tahun 2004 – 2012

Jumlah penduduk miskin di Indonesia telah menurun selama 5 tahun terakhir. Namun, kenaikan harga BBM bersubsidi dikhawatirkan akan menyebabkan jumlah penduduk miskin kembali “meroket”.

Sumber : Berita Statistik BPS No 35/05/Th.XVI, 6 Mei 2013

tercatat sebesar 0,14 juta orang (0,18%) dan 0,40 juta orang (0,42%). Jika jumlah pengangguran dan penduduk miskin turun, pendapatan per kapita Indonesia mengalami peningkatan dari USD 3.004,9 di tahun 2010 menjadi USD 3.596,27 di tahun 2012 (CEIC, 2013).

Namun demikian, kondisi ini tidak boleh membuat kita, khususnya pemerintah berpuas diri, apalagi kenaikan harga BBM bersubsidi akan diterapkan dalam waktu dekat. Hal ini tentu saja akan mendorong naiknya harga, termasuk harga kebutuhan pokok masyarakat, dan dikhawatirkan akan berimplikasi terhadap meningkatnya angka kemiskinan di Indonesia. Meskipun saat ini pemerintah telah memiliki strategi untuk menekan bertambahnya angka kemiskinan di Indonesia akibat kenaikan harga BBM bersubsidi yang rencananya melalui berbagai paket kompensasi, antara lain bantuan langsung masyarakat miskin (BLSM), penyaluran beras bersubsidi (raskin), program keluarga harapan (PKH), serta beasiswa miskin (BSM). Paket bantuan ini ditujukan untuk melindungi masyarakat yang paling rentan terhadap dampak kenaikan harga BBM. Namun keefektifan paket kompensasi ini masih diragukan khalayak ramai. Kompensasi tersebut sering dianggap sebagai manuver partai politik yang kadernya menjabat di sejumlah Kementrian.

Tidak ada salahnya kita melihat kembali pengalaman Indonesia di masa lampau pada saat pemerintah menaikkan harga BBM


(9)

bersubsidi dari IDR 1.810/liter pada 1 Januari 2003 menjadi IDR 4.500/liter pada 1 Oktober 2005. Kebijakan tersebut berdampak terhadap daya beli masyarakat. Daya beli terpukul akibat kenaikan sejumlah harga yang dipicu oleh meningkatnya ongkos transportasi. Akibatnya, jumlah penduduk miskin Indonesia turut meningkat tercatat mencapai 39,3 juta orang (17,75%) pada Maret 2006 naik signifikan dibandingkan dengan periode Febuari 2005 yang hanya mencapai 35,1 juta orang (15,97%). Pada saat itu pemerintah juga telah menjalankan program Bantuan Tunai Langsung (BLT) untuk membantu rakyat miskin yang terkena imbas naiknya harga BBM. Namun, upaya tersebut belum memadai untuk mengatasi masalah kemiskinan secara menyeluruh.

II. Perkembangan Moneter

A. Jumlah Uang Beredar

Secara umum, bank sentral mencatat adanya peningkatan dalam jumlah uang beredar M1 dan M2 menjadi IDR 836,51 triliun dan IDR 3.364,12 triliun pada April 2013. Jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, M1 dan M2 meningkat masing-masing sebesar 16% dan 15%.

Semakin banyak jumlah uang yang beredar maka nilai tukar Rupiah cenderung akan melemah dan harga-harga akan meningkat. Pertumbuhan jumlah uang beredar yang tinggi sering kali juga menjadi penyebab tingginya inflasi karena meningkatnya jumlah

Sumber : Bank Indonesia dan CEIC (2013)

Gambar 4 : Jumlah Uang Beredar, Tahun 2009 – 2013* (dalam IDR Triliun) Pada April 2013 M1 meningkat 16% dan M2 naik 15% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000

M1 M2 IDR TRILYUN


(10)

uang beredar akan menaikkan permintaan yang pada akhirnya jika tidak diikuti oleh pertumbuhan di sektor riil akan menyebabkan naiknya harga.

Laju inflasi Indonesia melambat pada Mei 2013, dipicu oleh turunnya beberapa harga komoditas. Berdasarkan data yang dirilis BPS, inflasi umum year on year pada Mei 2013 tercatat mencapai 5,47%, turun dibandingkan bulan Maret 2013 yang tercatat sebesar 5,57%. Perlambatan inflasi di bulan Mei 2013 tidak lepas dari kebijakan Kementrian Perdagangan melalui Peraturan Kementrian Perdagangan Nomor 16/M-DAG/PER/4/2013 tentang Ketentuan Impor Produk Holtikultura. Inti dari peraturan tersebut adalah melonggarkan batasan-batasan untuk beberapa impor produk pertanian, termasuk bawang putih karena terjadinya kelangkaan berbagai produk holtikultura. Selain itu, peraturan tersebut dicanangkan oleh Kementrian Perdagangan Indonesia setelah Amerika Serikat melaporkan kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) bahwa sistem perizinan impor di Indonesia rumit dan tidak jelas, sehingga mempengaruhi ekspor pertanian dan perkebunan Amerika. Sebagaimana diungkapkan oleh Duta Perdagangan

B. Tingkat Inflasi

Gambar 5: Tingkat Inflasi, Tahun 2009 – 2013* (YoY, dalam %)

Indonesia mencatat perlambatan inflasi tahunan setelah pemerintah melonggarkan batasan impor untuk beberapa produk pertanian.

Sumber : BPS dan CEIC (2013) -10

-5 0 5 10 15 20

UMUM INTI HARGA DIATUR PEMERINTAH BERGEJOLAK (%)


(11)

Sumber : BPS dan CEIC (2013)

Gambar 6: Tingkat Inflasi Tahun 2009 - 2013* Menurut Kelompok Pengeluaran (MoM, dalam %)

Deflasi yang terjadi pada bulan Mei 2013 karena adanya penurunan harga pada kelompok bahan makanan dan sandang

-3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6

MAKANAN JADI, MINUMAN, ROKOK DAN TEMBAKAU BAHAN MAKANAN PERUMAHAN, AIR, LISTRIK, GAS DAN BAHAN BAKAR SANDANG KESEHATAN PENDIDIKAN, REKREASI DAN OLAHRAGA TRANSPOR, KOMUNIKASI DAN JASA KEUANGAN

(%)

Amerika Serikat (2013), “peraturan impor Indonesia telah melanggar kewajiban anggota WTO termasuk perjanjian dalam Tarif dan Perdagangan tahun 1994”.

Sementara itu, inflasi inti dan bergejolak secara year on year pada Mei

2013 juga mengalami perlambatan masing-masing tercatat sebesar 3,99% dan 12,06% dibandingkan dengan posisinya pada bulan April 2013 yang mencapai 4,12% untuk inflasi inti serta 12,06% untuk bergejolak.

Jika dibandingkan dengan April 2013, inflasi umum pada Mei 2013 menunjukkan adanya deflasi, tercatat sebesar 0,03% atau terjadi penurunan Indeks Harga Konsumen dari 138,64 pada April 2013 menjadi 138,60 pada Mei 2013. Deflasi terjadi karena adanya penurunan harga pada kelompok bahan makanan dan kelompok sandang, masing-masing tercatat tumbuh sebesar -0,83% dan -1,22% pada Mei 2013.

Meskipun saat ini laju inflasi mengalami penurunan, dampak dari kenaikan harga BBM harus diwaspadai jika jadi dinaikkan. Sebagaimana diprediksi Bank Indonesia, laju inflasi akan bergerak menjadi 7,76% jika BBM bersubsidi jadi naik. Rencananya, harga


(12)

bensin premiun naik menjadi IDR 6.500/liter, sementara solar naik menjadi IDR 5.500/liter. Namun, hingga saat ini masih belum ada kepastian terkait respon apa yang akan diambil oleh bank sentral untuk meredam laju inflasi tersebut.

Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 13 Juni 2013 memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan pada level 6%. Seiring keputusan Bank Indonesia (BI) yang menaikkan BI rate sebesar 25 basis poin, Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) memutuskan ikut menaikkan tingat bunga penjaminan sebesar 25 bps untuk periode 15 Juni 2013 hingga 14 September 2013. Dengan demikian, tingkat bunga penjaminan untuk denominasi rupiah naik menjadi 5,75%. Keputusan LPS menaikkan tingkat penjaminan simpanan didasarkan pada kenaikan BI rate sebagai respons peningkatan ekspektasi inflasi serta untuk memelihara kestabilan makroekonomi dan sistem keuangan.

Cadangan devisa Indonesia kembali menguat mencapai posisi USD 107,27 miliar pada April 2013, naik dibandingkan bulan sebelumnya yang hanya tercatat sebesar USD 104,80 miliar. Kenaikan cadangan devisa tersebut dipicu oleh penerbitan surat utang internasional (global bond) milik pemerintah pada bulan April 2013. Total penerbitan surat utang internasional tersebut adalah sebesar USD 3 miliar yang terbagi atas USD 1,5 miliar untuk tenor 10 tahun dengan kupon 3,34%, dan USD 1,5 miliar untuk tenor 30 tahun dengan kupon 4,63%.

Meskipun cadangan devisa kembali menguat pada April 2013, namun posisinya masih lebih rendah dibandingkan pada Agustus 2011. Saat itu cadangan devisa Indonesia mencapai USD 124,6 miliar, rekor tertinggi sejak Indonesia merdeka. Namun pada akhir Mei 2013 kembali turun pada posisi USD 105,149 miliar.

Hingga Mei 2013, pergerakan nilai tukar rupiah dipengaruhi oleh faktor domestik dan eksternal. Dari sisi eksternal, tekanan terhadap rupiah berasal dari ketidakpastian kondisi ekonomi negara maju serta revisi pertumbuhan ekonomi dunia yang dilakukan IMF pada April 2013. IMF memprediksi ekonomi global akan tumbuh dengan rata-rata 3,3% pada tahun 2013, turun dari perkiran sebelumnya


(13)

Gambar 8 : Cadangan Devisa Indonesia Tahun 2009 - 2013* (dalam USD Milyar)

Peningkatan cadangan devisa hingga April 2013 ditopang oleh penerbitan obligasi valuta asing oleh pemerintah

Sumber : Bank Indonesia dan CEIC (2013)

Gambar 7: Perkembangan BI Rate, Suku Bunga SBI, Deposito, dan Penjaminan, Tahun 2009 - 2013* (dalam % )

Mengikuti pergerakan BI rate, bunga penjaminan simpanan LPS juga naik sebagai respon peningkatan ekspektasi inflasi dan memelihara kestabilan makroekonomi dan sistem keuangan.

Sumber : Bank Indonesia dan CEIC (2013)

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Time Deposit N ominal 1 Bulan Tingkat Bunga Penjam inan 3 Bulan BI Rate SBI 9 Bulan (% )

Catatan : BI rate dan suku bunga penjaminan : Oktober 2009 – Juni 2013 SBI rate dan suku bunga deposito : Oktober 2009 – Mei 2013


(14)

sebesar 3,5%. Bahkan Bank Dunia merevisi proyeksi pertumbuhan global untuk tahun 2013 dari 2,4% pada Januari 2013 menjadi 2,2% pada Juni 2013. Revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global itu mengindikasikan pemulihan ekonomi yang belum stabil.

Dari sisi domestik, sentimen negatif berasal dari meningkatnya harga pada Maret 2013 akibat tersendatnya pasokan bahan pangan dan ketidakpastian kebijakan BBM bersubsidi. Investor asing melihat ketidakpastian pemerintah Indonesia dalam menaikkan harga BBM, menyebabkan rupiah kehilangan daya saingnya. Pada akhir Mei 2013 nilai tukar rupiah secara point to point melemah sebesar 0,82% (mtm) mencapai IDR 9802 per USD.

Sementara itu, pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan di bulan Mei 2013 menunjukkan penguatan. Pada periode tersebut, IHSG bergerak di kisaran perdagangan di level 5068, meningkat dibandingkan awal tahun 2013 yang hanya mencapai level 4453, atau tumbuh sebesar 13,8%. Namun demikian, IHSG masih berpotensi melemah karena pasar masih diwarnai ketidakpastian akan penerapan kebijakan BBM subsidi.

Gambar 9 : Nilai Tukar dan Harga Saham, Tahun 2009 - 2013*

Ketidakpastian kenaikan harga BBM subsidi menjadi salah satu penyebab melemahnya nilai tukar Rupiah

Sumber : Bursa Efek Indonesia, Bank Indonesia dan CEIC (2013)

0 2 000 4 000 6 000 8 000 1 0000 1 2000 1 4000

0 1 000 2 000 3 000 4 000 5 000 6 000

IDX ID R per USD (RH S) IDX


(15)

III. Perkembangan Fiskal dan Utang Negara

A. Perkembangan Fiskal

Pada kuartal I tahun 2013 pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat sebesar 6,02%, lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 6,29%. Perlambatan pertumbuhan ekonomi ini disebabkan oleh masih rendahnya penyerapan APBN pada kuartal I 2013, berada di bawah 10%. Turunnya kinerja neraca perdagangan akibat penurunan harga komoditas dunia juga menjadi penyebab rendahnya pertumbuhan ekonomi kuartal I 2013. Kondisi ini kemudian menyebabkan perubahan asumsi makro yang kemudian diajukan dalam RAPBN-P 2013.

Terdapat perubahan asumsi ekonomi makro yang diajukan dalam RAPBN-P 2013, pertumbuhan ekonomi turun dari 6,8% menjadi 6,3% yang disebabkan oleh kondisi ekonomi global yang belum membaik. Rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) meningkatkan asumsi inflasi dari 4,9% menjadi 7,2%. Indonesia Crude Price (ICP) meningkat dari USD 100 menjadi USD 108, lifting minyak dari 900 ribu barel per hari menjadi 840 ribu barel per hari, dan lifting gas dari 1,36 juta barel menjadi 1,24 juta barel per hari. Selanjutnya, pendapatan negara dalam RAPBN-P 2013 yang akhirnya disepakati oleh Badan Anggaran DPR dan pemerintah hingga 14 Juni 2013 juga berubah dari pengajuan pemerintah sebelumnya. Dalam postur RAPBN-P 2013 yang disepakati, pendapatan negara ditetapkan sebesar IDR 1.502 triliun, lebih besar dari pengajuan pemerintah sebelumnya yang tercatat sebesar IDR 1.488 triliun. Dengan demikian, dibandingkan dengan RAPBN-P

Tabel 3 : RAPBN-P 2013

Rencana kenaikan harga BBM menyebabkan peningkatan asumsi inflasi dalam RAPBN-P


(16)

2013 yang pertama kali diajukan, DPR berhasil meminta pemerintah menambah penerimaan negara sebesar IDR 13,679 triliun. Selain itu, belanja negara dalam RAPBN-P 2013 disepakati sebesar IDR1.726,19 triliun.

Terkait dengan BBM bersubsidi, penggunaan BBM bersubsidi pada bulan Maret 2013 sudah 6% melewati kuota yang ditetapkan. Diperkirakan kuota BBM akan kembali jebol tahun ini hingga mencapai 48,5 juta kiloliter, padahal dalam APBN 2013 kuota BBM ditetapkan sebesar 46 juta kiloliter. Hal ini menjadi salah satu alasan pemerintah untuk menetapkan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi, mengurangi subsidi BBM untuk menciptakan ruang fiskal yang lebih sehat dan terjaga.

Pada APBN 2013, total anggaran yang dialokasikan untuk subsidi BBM sebesar IDR 193,8 triliun. Jumlah ini melebihi separuh dari seluruh alokasi dana untuk subsidi. Pemerintah pusat menghabiskan 16,7% belanjanya untuk subsidi BBM. Bahkan jika dikombinasikan dengan subsidi listrik, jumlahnya mencapai 23,8% dari APBN. Dana untuk subsidi ini hampir pasti akan lebih besar dari yang dianggarkan akibat konsumsi yang jauh melebihi kuota. Hingga pertengahan Juni, pemerintah dan DPR masih membahas RAPBN-P 2013 terkait wacana penaikan harga BBM.

Alokasi dana untuk subsidi BBM dinilai sudah terlalu besar dan mengancam keberlanjutan fiskal. Isu keadilan dalam pembelanjaan anggaran negara turut mencuat. Bayangkan saja, penerimaan negara yang dihabiskan untuk subsidi BBM yang notabene tidak tepat sasaran jauh melebihi belanja modal dan bantuan sosial yang masing-masing hanya IDR184,4 triliun dan IDR73,6 triliun dalam APBN 2013. Sebagai perbandingan, dana yang dihabiskan untuk subsidi BBM setara dengan biaya pembangunan 43 Jembatan Suramadu, 15 proyek MRT di Jakarta, atau 4.845 kilometer jalan tol. Konsumsi yang membengkak juga kemungkinan besar meningkatkan defisit APBN yang akan ditutup dengan penerbitan surat utang.

Terkait dengan wacana kenaikan harga BBM, pemerintah mengajukan skema kompensasi bagi rakyat miskin. Skema baru ini diberi nama Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) yang


(17)

Gambar 10 : Belanja Pemerintah Pusat

Subsidi energi naik dalam RAPBNP 2013

Sumber: Kementerian Keuangan (2013)

pada intinya tidak berbeda dengan BLT yang pernah diberikan terkait persoalan yang sama. Meskipun program pemerintah ini rawan diboncengi muatan politik, pemerintah nampaknya tetap akan melakukannya.

BLSM rencananya akan diberikan kepada rumah tangga miskin, tujuannya adalah untuk mempertahankan tingkat konsumsi yang rentan terhadap kemungkinan adanya kenaikan harga kebutuhan dasar serta penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat miskin akibat dari gejolak yang ditimbulkan setelah diterapkannya kenaikan harga BBM. Alokasi BLSM pada RAPBN-P 2013 dianggarkan sebesar IDR 11,6 triliun yang nantinya akan dibagikan kepada 15,5 juta rumah tangga sangat miskin (RTSM) sebesar IDR 150 ribu selama 5 bulan. Namun Badan Anggaran DPR memutuskan BLSM sebesar IDR 9,3 triliun,sehingga tiap RTSM dapat dana sebesar IDR 150 ribu per bulan selama 4 bulan.

Penerimaan pajak selama ini merupakan andalan utama penerimaan negara. Namun, target penerimaan pajak pada tahun 2013 diperkirakan mengalami penurunan dari IDR 1.193 triliun sebagaimana ditetapkan dalam APBN 2013 menjadi IDR 1.139,3 triliun dalam RAPBN-P 2013. Penurunan ini disebabkan antara lain oleh lambatnya laju ekspor dan melemahnya pertumbuhan ekonomi nasional akibat tekanan dari ketidakpastian kondisi ekonomi global.


(18)

Tabel 4 : Penerimaan Pajak dalam Negeri Periode 1 Januari hingga 30 April Tahun 2013 (dalam IDR Miliar)

Penghasilan pajak dalam negeri meningkat sebesar 9,04% pada periode 1 Januari hingga 30 April 2013 dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2012.

Sumber: Direktorat Jenderal Pajak (2013)

Tabel 4 menjelaskan penerimaan pajak dalam negeri hingga April 2013, tanpa penerimaan cukai. Dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2012, penghasilan pajak dalam negeri meningkat sebesar 9,04% pada periode 1 Januari hingga 30 April 2013. Secara umum Pajak Penghasilan (PPh) Migas dan Non Migas, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), serta Pajak Lainnya mengalami peningkatan pada periode 1 Januari hingga 30 April 2013 dibandingkan periode yang sama tahun 2012. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) menjadi satu-satunya sumber pajak yang mengalami penurunan sebesar 59%.

Potensi penerimaan negara yang berkurang disertai dengan kuota subsidi BBM yang melebar perlu diwaspadai. Untuk mengantisipasi defisit yang semakin besar, penyesuaian anggaran pada APBN-P 2013 dilakukan. Dalam RAPBN-P 2013 pemerintah mengajukan target defisit sebesar 2,48% dari PDB. Target ini lebih tinggi dibandingkan dengan defisit anggaran pada APBN 2013 yang ditetapkan sebesar 1,65% dari PDB.

Tabel 5: Defisit Anggaran dalam APBN dan RAPBN-P 2013 (dalam IDR Miliar)

Defisit anggaran diperkirakan meningkat menjadi 2,48% terhadap PDB


(19)

Dalam Nota Keuangan dan RAPBN-P 2013, perkiraan penurunan pendapatan negara diperkirakan sebesar IDR 41.347,7 miliar (2,7%). Defisit anggaran semakin memburuk karena disertai dengan peningkatan belanja negara sebesar IDR 39.019,3 miliar (2,3%). Rencana pembiayaan defisit tersebut akan dibiayai dari peningkatan pembiayaan dalam negeri sebesar IDR 77.782,7 miliar, meningkat dari rencana semula sebesar IDR 172.792,1 miliar dalam APBN 2013 menjadi sebesar IDR 250.574,8 miliar. Sedangkan pembiayaan luar negeri neto akan turun IDR 2.584,3 miliar, dari defisit IDR 19.454,2 miliar menjadi defisit IDR 16.869,8 miliar. Penurunan ini disebabkan peningkatan penarikan pinjaman luar negeri yang lebih besar dibanding kenaikan penerusan pinjaman dan pembayaran cicilan pokok utang.

B. Perkembangan Utang Negara

Total Surat Berharga Negara (SBN) outstanding yang dapat

diperdagangkan per 31 Mei 2013 mencapai IDR 1.191,22 triliun meningkat sebesar IDR 124.92 triliun dibandingkan dengan SBN outstanding per 30 April 2013 yang tercatat sebesar IDR 1.066,30 triliun.

Komposisi SBN outstanding periode Mei 2013 paling besar adalah

obligasi negara dengan tingkat bunga tetap, tercatat sebesar IDR 672,39 triliun. Sementara itu, Surat Perbendaharaan Negara

(SPN/Treasury Bill) pada Mei 2013 tercatat sebesar IDR 22,47 triliun

menunjukkan peningkatan dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat mencapai IDR 21,02 triliun. Sedangkan, obligasi negara Gambar 11 : Komposisi Surat Berharga Negara

Obligasi negara dengan tingkat bunga tetap masih mendominasi penerbitan SBN Indonesia

Sumber: Bank Indonesia, Kementerian Keuangan dan CEIC (2013)

0 1 0 0 2 0 0 3 0 0 4 0 0 5 0 0 6 0 0 7 0 0 8 0 0 9 0 0

S u ra t U ta n g N eg a ra (S U N ) S u ra t P erb en d a h a ra a n N eg a ra (S PN ) O b lig a si N eg a ra (O N )

O N : Ta n p a K u p o n O N : T in g k a t B u n g a Teta p O N : T in g k a t B u n g a M en g am ba ng ID R T riliu n


(20)

Gambar 12 : Kepemilikan Asing atas Surat Berharga

Total kepemilikan asing atas surat berharga meningkat.

Sumber: Bank Indonesia, Kementerian Keuangan dan CEIC (2013)

0 500 1000 1500 2000 2500

Kepemilikan Asing Atas SBI Kepemilikan Asing Atas Surat Berharga Negara Kepemilikan Asing Atas Ekuitas Saham Total Kepemilikan Asing

IDR Triliun

Catatan : Kepemilikan Asing Atas SBI dan SBN : Mei 2010 s/d Mei 2013 Kepemilikan Asing Atas Ekuitas Saham : Mei 2010 s/d April 2013

dengan tingkat bunga mengambang tidak mengalami perubahan sepanjang awal tahun 2013 hingga Mei 2013, tercatat mencapai IDR 122,75 triliun.

Total kepemilikan asing atas SBN dan ekuitas saham menunjukkan peningkatan sepanjang awal tahun 2013 hingga Mei 2013. Total kepemilikan asing di SBN pada Januari 2013 tercatat sebesar IDR 273,2 triliun, naik menjadi IDR 302,94 triliun di bulan Mei 2013. Jika dibandingkan dengan Mei 2012, total kepemilikan asing untuk SBN meningkat sebesar IDR 78,44 triliun pada Mei 2013.

Terkait kepemilikan asing atas SBI, pada Mei 2013 nilai kepemilikannya mencapai IDR 1.02 triliun, menurun dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat mencapai IDR 1.65 triliun. Begitu pula jika dibandingkan dengan keadaan pada Mei 2012, kepemilikan asing atas SBI pada Mei 2013 tercatat turun sebesar IDR 0,63 triliun. Hal ini nampaknya masih dipengaruhi oleh 6 months holding period yang telah diterapkan oleh Bank Sentral sejak 13 Mei 2011.

IV. Perkembangan

nternasional

Kinerja neraca perdagangan Indonesia mengalami penurunan pada April 2013. Neraca perdagangan Indonesia yang semula surplus USD 0,1 miliar pada Maret 2013, menurun menjadi defisit USD 1,6


(21)

miliar pada April 2013. Penurunan kinerja neraca perdagangan pada April 2013 terutama disebabkan oleh meningkatnya nilai impor sebesar 9,6%. Peningkatan nilai impor ditopang oleh peningkatan impor non migas dari USD 11 miliar menjadi USD 12,7 miliar, sementara impor migas menurun sebesar USD 0,3 miliar atau 7,7%. Penurunan ekspor dari USD 15,02 miliar menjadi USD 14,7 miliar turut menyumbang penurunan neraca perdagangan pada April 2013.

Dibandingkan dengan April 2012, neraca perdagangan Indonesia memburuk pada April 2013. Defisit neraca perdagangan meningkat dari USD 0,8 miliar menjadi USD 1,6 miliar. Memburuknya kinerja neraca perdagangan disebabkan oleh penurunan ekspor sebesar 9,1% yang ditopang oleh penurunan ekspor migas sebesar 32,9% dan ekspor non migas sebesar 2,4%.

Secara keseluruhan kinerja neraca perdagangan pada periode Januari - April 2013 mengalami penurunan dibandingkan periode Januari - April 2012. Neraca perdagangan yang semula surplus USD 2 miliarpada Januari – April 2012 turun menjadi defisit USD 1,9 miliar pada Januari – April 2013. Penurunan neraca perdagangan masih disebabkan oleh menurunnya nilai ekspor dari USD 64,7 miliar pada Januari – April 2012 menjadi USD 60,1 miliar pada periode yang sama tahun 2013. Penurunan nilai ekspor ini menunjukkan bahwa rendahnya daya saing internasional dan pelemahan perekonomian global masih memukul ekspor Indonesia. Gambar 13: Neraca Perdagangan Indonesia, Januari 2008 - April 2013

Neraca perdagangan Indonesia kembali defisit.


(22)

Kinerja neraca perdagangan migas pada April 2013 terus mengalami penurunan. Defisit neraca perdagangan migas meningkat dari USD 1 miliar pada Maret 2013, menjadi USD 1,2 miliar pada April 2013. Peningkatan defisit neraca perdagangan migas disebabkan oleh penurunan nilai ekspor migas dari USD 2,9 miliar pada Maret 2013 menjadi USD 2,4 miliar pada April 2013. Penurunan ekspor migas disebabkan oleh menurunnya ekspor minyak mentah sebesar 21,9%, ekspor hasil minyak sebesar 20,47%, dan ekspor gas sebesar 15,9%. Sementara itu, neraca perdagangan migas pada April 2013 juga dinilai memburuk jika dibandingkan dengan kondisinya pada periode yang sama tahun sebelumnya. Defisit neraca perdagangan migas meningkat dari USD 0,5 miliar pada April 2012 menjadi USD 1,2 miliar pada April 2013.

Sementara itu, penurunan juga terjadi pada harga minyak mentah Indonesia di pasar dunia yang menurun dari USD 107,42 per barel pada Maret 2013 menjadi USD 104,19 per barel pada April 2013. Rata-rata harga minyak mentah utama di pasar internasional pada April 2013 juga mengalami penurunan, seperti WTI (Nymex) yang turun dari USD 92,96 per barel menjadi USD 92,07 per barel atau Brent (ICE) yang turun dari USD 109,54 per barel menjadi USD 103,43 per barel dibandingkan bulan sebelumnya. Penurunan harga minyak dunia ini sebagai dampak dari kenaikan pasokan minyak mentah dunia. Produksi minyak dunia meningkat dari 90,83 juta barel per hari pada Maret 2013 menjadi 91,26 juta barel per hari pada April 2013. Bagi Indonesia, meskipun masih dibawah target produksi minyak yaitu 900.000 barel per hari, namun produksi minyak

rata-Gambar 14: Neraca Perdagangan Migas Indonesia, Januari 2008 – April 2013

Defisit neraca perdagangan migas masih terus berlangsung.


(23)

rata meningkat menjadi 890.000 barel per hari pada kuartal I 2013. Secara keseluruhan, terjadi peningkatan defisit neraca perdagangan migas dari USD 1,1 miliar pada periode Januari-April 2012 menjadi USD 4,6 miliar pada periode Januari-April 2013. Peningkatan defisit neraca perdagangan migas ini ditopang oleh meningkatnya impor migas sebesar 3,2% dan menurunnya ekspor migas sebesar 22,2%.

Neraca perdagangan non migas tercatat defisit USD 0,41 miliar pada April 2013, memburuk setelah sebelumnya surplus USD 1,1 miliar pada Maret 2013. Penurunan neraca perdagangan non migas ini ditopang oleh meningkatnya impor non migas sebesar 15,8%, meskipun pada bulan yang sama ekspor non migas juga meningkat sebesar 1,7% .

Jika dibandingkan dengan neraca perdagangan non migas pada April tahun sebelumnya, maka defisit neraca perdagangan non migas meningkat dari USD 0,2 miliar pada April 2012 menjadi USD 0,4 miliar pada April 2013. Memburuknya kinerja neraca perdagangan non migas tersebut disebabkan oleh penurunan kinerja ekspor sebesar 2,4% dalam kurun waktu April 2012 hingga April 2013.

Secara keseluruhan, kinerja neraca perdagangan non migas pada April 2013 mengalami penurunan dibandingkan kinerja neraca perdagangan periode yang sama tahun sebelumnya. Pada Januari-April 2013, neraca perdagangan non migas tercatat surplus USD 2,7 Gambar 15: Neraca Perdagangan Non-Migas Indonesia, Januari 2008 – April 2013

Kinerja neraca perdagangan non migas kembali memburuk


(24)

miliar, menurun dari neraca perdagangan non migas pada Januari-April 2012 yaitu surplus USD 3,1 miliar. Penurunan surplus tersebut didukung oleh penurunan ekspor non migas sebesar 3% dibandingkan nilai ekspor pada Januari-April 2012.

Selama Januari – April 2013, ekspor dari 10 golongan barang yang terdiri dari bahan bakar minyak; lemak dan minyak nabati; mesin/peralayan listrik; karet dan barang dari karet; mesin-mesin/ pesawat mekanik; bijih, kerak dan abu logam; kendaraan dan bagiannya; pakaian jadi bukan rajutan; alas kaki; dan kayu, barang dari kayu memberikan kontribusi sebesar 62,10% terhadap total ekspor non migas.

Pada kuartal I 2013 terjadi penurunan defisit transaksi berjalan sebesar 31% dari kuartal sebelumnya. Defisit transaksi berjalan Indonesia tercatat USD 5,3 miliar pada kuartal I-2013, turun dibandingkan defisit transaksi berjalan pada kuartal IV 2012 yaitu USD 7,6 miliar. Menurunnya defisit transaksi berjalan ini disebabkan oleh meningkatnya surplus neraca perdagangan barang dari USD 0,8 miliar pada kuartal IV 2012 menjadi USD 1,6 miliar pada kuartal I 2013. Penurunan defisit neraca perdagangan jasa dan defisit neraca pendapatan menopang perbaikan kinerja transaksi berjalan.

Jika dibandingkan dengan kuartal I 2012, maka kinerja transaksi berjalan dinilai memburuk pada kuartal 1 2013. Defisit transaksi berjalan meningkat dari USD 3,1 miliar pada kuartal I-2012 menjadi USD 5,3 miliar pada kuartal I-2013. Meningkatnya defisit transaksi berjalan pada kuartal I-2013 ditopang oleh penurunan surplus neraca perdagangan barang sebesar 57% (YoY) dan meningkatnya defisit neraca perdagangan jasa sebesar 11,5% (YoY).

Kinerja transaksi modal dan finansial dinilai memburuk pada kuartal I 2013. Transaksi modal dan finansial tercatat turun tajam menjadi defisit USD 1,4 miliar pada kuartal I 2013 setelah sebelumnya mengalami surplus USD 11,9 miliar pada kuartal IV 2012. Penyebab memburuknya kinerja transaksi modal dan finansial disebabkan oleh menurunnya kinerja investasi lainnya dari surplus USD 7,2 miliar pada kuartal IV 2012 menjadi defisit USD 7,7 miliar sebagai dampak dari kenaikan simpanan perbankan domestik di luar negeri.


(25)

Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2013)

Gambar 17: Transaksi Modal dan Finansial, 2006:Q1 – 2013:Q1

Transaksi Modal dan Finansial yang semula surplus menurun drastis menjadi deficit

Sumber: Bank Indonesia dan CEIC (2013)

Gambar 16: Transaksi Berjalan Indonesia, 2006:Q1 – 2013:Q1

Defisit transaksi berjalan kembali menurun

Gambar 18: Neraca Pembayaran Indonesia, 2006:Q1 – 2013:Q1

Neraca pembayaran yang surplus mulai defisit lagi


(26)

Meningkatnya aset valas perbankan di luar negeri merupakan respon dari kebijakan BIyang mengambil alih penyediaan sebagian besar kebutuhan valuta asing (valas) untuk pembayaran impor minyak. Oleh karena itu, BI melakukan intervensi mengurangi permintaan valas di pasar sehingga akan mengurangi tekanan pada Rupiah dan memungkinkan BImemasok valas ke Pertamina dengan kurs tertentu agar stabilitas rupiah tetap terjaga. Kebijakan BI ini membuat perbankan memiliki kelebihan likuiditas valas dan menempatkan likuiditas valasnya ke luar negeri.

Kinerja transaksi modal dan finansial pada kuartal I 2012 dinilai lebih baik daripada kuartal I 2013. Pada kuartal I 2012 transaksi modal dan finansial tercatat surplus USD 2,1 miliar. Penyebab utama memburuknya kinerja transaksi modal dan finansial pada kuartal I 2013 dibandingkan tahun sebelumnya adalah meningkatnya defisit investasi lainnya dari USD 2 miliar pada kuartal I 2012 menjadi defisit USD 7,7 miliar pada kuartal I 2013.

Kinerja neraca pembayaran Indonesia tercatat mengalami defisit USD 6,6 miliar pada kuartal I 2013 setelah sebelumnya surplus USD 3,2 pada kuartal IV 2012. Memburuknya kinerja neraca pembayaran pada kuartal I 2013 disebabkan oleh memburuknya kinerja transaksi modal dan finansial yaitu defisit USD 1,4 miliar setelah pada kuartal sebelumnya mengalami surplus USD 11,8 miliar.

Dibandingkan dengan kuartal I 2012, kinerja neraca pembayaran pada kuartal I 2013 dinilai memburuk. Defisit neraca pembayaran meningkat dari USD 1 miliar pada kuartal I 2012 menjadi defisit USD 6,6 miliar pada kuartal I 2013. Memburuknya kinerja neraca pembayaran pada kuartal I 2013 disebabkan oleh memburuknya kinerja transaksi berjalan dari defisit USD 3,1 miliar pada kuartal I 2012 menjadi defisit USD 5,3 miliar pada kuartal I 2013, serta memburuknya kinerja transaksi modal dan finansial dari surplus USD 2,1 miliar menjadi defisit USD 1,4 miliar pada kuartal I 2013.

V. GAMA Leading Economic Indicator

GAMA LEI sebelumnya telah berhasil memprediksi perlambatan ekonomi Indonesia sebanyak 2 kali, yaitu pada kuartal IV tahun 2012 dan kuartal I 2013 yang masing-masing year-on-year sebesar 6,11% dan 6,01%. Prediksi dari GAMA LEI ini berbeda dari prediksi para


(27)

Gambar 19 : GAMA LEI Indonesia Tahun 2000:Q1 – 2013:Q1

analis pada umumnya di mana para analisis memprediksikan percepatan pada perekonomian Indonesia. GAMA LEI saat ini masih memprediksikan kinerja perekonomian Indonesia yang menunjukkan perlambatan pada kuartal II tahun 2013.

Tahun 2013 yang masih diwarnai dengan ketidakpastian ekonomi global sekaligus merupakan tahun politik bagi Indonesia, saat ini diwarnai pula oleh ketidakpastian kenaikan harga BBM . Belanja persiapan pemilihan umum kuartal depan hanya akan menahan sementara pertumbuhan ekonomi, artinya pertumbuhan tidak berdasarkan pada pijakan yang kuat. Besaran inflasi sebelum dan setelah kenaikan harga BBM tahun ini juga patut untuk diwaspadai. Hal tersebut akan menambah tekanan pada pertumbuhan ekonomi ke depan. Apalagi proyeksi GAMA LEI periode ini belum menunjukan titik balik yang mengisyaratkan perekonomian masih akan bergerak turun semenjak kuartal IV 2012. Nilai tukar rupiah terhadap dolar yang hampir menembus IDR 10.000 per USD karena impor migas semakin tinggi, disebabkan jumlah permintaan BBM dalam negeri semakin tinggi. Tingginya permintaan disebabkan oleh harga BBM yang murah. Makin tinggi permintaan BBM, makin banyak impor migas yang dibutuhkan. Dengan demikian kebutuhan dolar semakin tinggi untuk mengimpor BBM. Akibatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar semakin melemah.

Apabila para pembuat kebijakan masih belum memberikan kebijakan riil yang pro-pertumbuhan dan kondisi masih sama dengan periode sebelumnyya, sesuai dengan prediksi LEI, perekonomian Indonesia kuartal depan diprediksi masih akan terus melambat. Tentu hal yang diharapkan adalah pertumbuhan ekonomi ke depan akan berubah arah dan mengalami percepatan.


(28)

GAMA LEI merupakan siklus dari indikator komposit yang terdiri dari indikator-indikator pilihan yang memiliki gerak siklus yang mendahului gerak siklus bisnis Indonesia (Indonesian Economic Review and Outlook, Maret 2013). Pembentukan GAMA LEI dilakukan dengan menganalisis ratusan indikator makro Indonesia baik internal maupun eksternal. Pemilihan indikator-indikator makro dilakukan secara ketat, sehingga terbentuk GAMA LEI. Setiap kuartal selalu diadakan pembaruan indikator, sehingga LEI yang dibentuk semakin berkembang dan akurat. Siklus bisnis Indonesia yang didekati dengan menggunakan data terbaru kuartalan PDB Indonesia tahun 2000–2013 menunjukan pergerakan yang cukup fluktuatif. GAMA LEI ini mampu memprediksi titik balik dari suatu siklus bisnis perekonomian. Pada saat krisis ekonomi global 2008, sinyalemen dari titik balik LEI pada kuartal IV 2007 ini mampu memprediksi adanya penurunan kinerja perekonomian Indonesia pada kuartal I 2008

Hasil survey yang melibatkan responden dari dosen-dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM memberikan gambaran perkiraan angka indikator ekonomi makro utama yaitu pertumbuhan PDB, inflasi, dan nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika, dari kuartal II tahun 2013 hingga tahun 2014. Perkiraan pertumbuhan PDB riil YoY secara umum masih tidak menunjukan optimisme. Untuk periode kuartal II dan III tahun 2013 pertumbuhan PDB riil diperkirakan sebesar masing-masing 6,02% ± 0,2% dan 6,05% ± 0,2%. Perkiraan pertumbuhan PDB dengan melihat perkembangan perekonomian Indonesia terbaru pada tahun 2013 dan 2014 masing-masing diprediksi sebesar 6,13% ± 0,22% dan 6,19% ± 0,21%.

Sementara itu, inflasi secara year on year secara umum diperkirakan meningkat. Hasil survey ini menunjukkan bahwa inflasi untuk periode kuartal II dan III di tahun 2013 diperkirakan masing-masing sebesar 5,93% dan 6,12%. Sedangkan, inflasi tahun 2013 diprediksi mencapai 5,71% dan 5,66% pada tahun 2014.

Selanjutnya, pada edisi IERO sebelumnya, hasil survey menunjukkan bahwa nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika pada kuartal II 2013 diprediksi akan berada pada kisaran IDR 9.776 per USD. Namun, hasil survey kali ini memperkirakan nilai tukar


(29)

Rupiah terhadap dolar Amerika semakin melemah. Hal ini tidak lepas dari tekanan yang dihadapi perekonomian Indonesia serta ekonomi global yang masih diwarnai ketidakpastian. Sehubungan dengan hal itu, hasil survey kali ini memperkirakan nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika untuk kuartal II 2013 mencapai IDR 9.837 per USD, sedangkan pada kuartal III 2013 diprediksi berada pada kisaran IDR 9.834 per USD. Sedangkan, nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika untuk tahun 2013 diperkirakan berada dalam kisaran IDR 9.818 per USD dan IDR 9.831 per USD pada tahun 2014.

Tabel 6 : Estimasi PDB (YoY, dalam %)

Sumber: Data primer, diolah (2013)

Tabel 7 : Estimasi Inflasi (YoY, dalam %)

Sumber: Data primer, diolah (2013)

Tabel 8 : Estimasi Nilai Tukar rupiah terhadap dolar AS (IDR per USD)

Sumber: Data primer, diolah (2013)

VI. Isu Terkini

Sejarah Berulang

Untuk kesekian kali, pasca reformasi, bangsa Indonesia terjebak pada dilemma penurunan subsidi BBM. Berbagai road map penurunan subsidi BBM telah dibuat oleh para birokrat sejak tahun 2008, namun berbagai road map tersebut bukanlah apa yang

1

Oleh Dr. Rimawan Pradiptyo

Menunda Bukanlah Pilihan; Perekonomian Tersandera “Bom Waktu” Subsidi BBM yang Terus Tumbuh

1 Dr. Deputi Penelitian dan Koordinator Publikasi & Data Penelitian


(30)

diinginkan oleh para politisi. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana pemerintah berencana melakukan pengaturan konsumsi BBM di tahun 2010 dan mulai dilakukan terbatas di Jakarta pada 2011, dan diharapkan terlaksana di seluruh Indonesia pada akhir 2013. Meski demikian rencana ini kandas di tahun 2011 setelah diketahui banyak SPBU mengalami keterbatasan lahan untuk instalasi tambahan tanki timbun, ditambah penolakan dari DPR terhadap hasil penelitian tiga Universitas UGM-ITB-UI.

Tim peneliti UGM-ITB-UI menyatakan bahwa proposal para birokrat untuk mengatur konsumsi BBM bersubsidi, ataupun keinginan para politisi untuk membatasi konsumsi BBM bersubsidi, adalah tidak efisien dan tidak efektif. Biaya pelaksanaan kedua kebijakan tersebut diestimasi lebih tinggi daripada manfaat penurunan subsidi BBM yang akan diperoleh. Di sisi lain, kedua rencana tersebut berpotensi menciptakan konflik horizontal di tiap-tiap SPBU, antara konsumen dengan pihak pengelola SPBU. Kedua rencana tersebut memiliki implikasi negatif yaitu pengalihan potensi konflik dan demonstrasi dari depan Istana Negara dan gedung DPR/MPR ke SPBU dari Sabang sampai Merauke.

Tim peneliti UGM-ITB-UI mengusulkan penurunan subsidi BBM sebesar Rp500 rupiah dan dan terus dilakukan secara bertahap (misalnya 6-12 bulan sekali) hingga harga Premium mencapai harga keekonomian disertai kompensasi subsidi ke keluarga miskin. Angka Rp500/liter ditentukan untuk mengakomodasi kepentingan ekonomi dan juga politik pada saat yang bersamaan. Rencana ini

ditolak oleh DPR, dan para stake holders, termasuk partai politik yang

berkuasa, belum memberikan dukungan yang penuh terhadap usulan ini.

Di awal 2012, mencuat kembali masalah beban keuangan negara yang diakibatkan oleh subsidi BBM. Kembali tiga universitas diminta melakukan kajian kali ini adalah Tim Unpad-ITB-UI dan diusulkan harga Premium naik Rp1500/liter. Usulan ini ditentang banyak kalangan, terutama mahasiswa, dan timbullah aksi demonstrasi di berbagai kota menentang rencana tersebut. Maraknya reaksi masyarakat saat itu adalah akibat tidak dipertimbangkannya faktor politik dalam rencana penetapan kenaikan harga Rp1500/liter. Hal ini berbeda dengan rekomendasi Tim UGM-ITB-UI yang mempertimbangkan unsur politik dalam


(31)

rekomendasi mereka sehingga usul yang diajukan peningkatan harga Premium sebesar Rp500/liter dan dilakukan pengurangan subsidi secara berkala.

Kembali, di tahun 2012, partai yang berkuasa ragu-ragu dalam mengambil kebijakan, dan akhirnya rencana peningkatan harga subsidi BBM tidak jadi dilakukan. tingginya intensitas diskusi mengenai rencana peningkatan harga Premium tanpa realisasi yang jelas, justru memicu laju inflasi yang didasarkan pada expected inflation yang terbentuk di tingkat pelaku ekonomi, khususnya pedagang. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Pradiptyo dkk (2010) yang menunjukkan bahwa informasi utama pembentuk asa

inflasi (expected inflation) di tingkat pedagang adalah isu tentang

kenaikan harga BBM.

Sejak bulan Februari 2013, kembali beban subsidi BBM terhadap anggaran pemerintah kembali menyeruak. Defisit APBN di tahun 2011 dan 2012 berturut-turut adalah 1,1% dan 1,84% dari PDB, lebih rendah daripada pagu maksimal 3% dari PDB. Tahun ini, jika tidak ada kebijakan penurunan subsidi BBM, maka defisit APBN diperkirakan mencapai 3,83% dari PDB. Di sisi lain, fakta bahwa Indonesia adalah negara net importir minyak sejak 2004, peningkatan konsumsi BBM bersubsidi tentu akan meningkatkan tekanan terhadap neraca pembayaran karena impor Pertamax tentu

2

akan meningkat .

Meski masalah subsidi BBM berulang minimal selama tiga tahun terakhir, upaya penurunan subsidi BBM ternyata tidak mudah dilakukan. Pola penanganan selama tiga tahun tidak menunjukkan perubahan yang signifikan, yaitu selalu bersifat myopic dan

kebijakan didasarkan lebih pada anecdotal evidence (mitos)

dibandingkan dengan hard evidence (realitas).

Kebijakan subsidi BBM pada dasarnya adalah kebijakan yang memanjakan konsumsi masyarakat golongan menengah ke atas, dengan dalih melindungi masyarakat berpenghasilan rendah.

Konsumsi BBM bersubsidi adalah fenonema compensated

consumption, artinya berapapun konsumsi BBM bersubsidi, untuk

Subsidi BBM adalah Bom Waktu yang Tumbuh

2. Di pasar international, standar minimum untuk bensin adalah RON 92 atau setara dengan Pertamax. Dengan


(32)

kegunaan apapun dan oleh siapapun, akan selalu dipenuhi oleh pemerintah. Berapapun volume BBM bersubsidi yang keluar dari tanki Pertamina, di akhir tahun pasti akan ditutup pendanaannya oleh Pemerintah.

Fenomena compensated consumption dapat digambarkan sebagai

berikut. Bayangkan jika anda memiliki kartu kredit dengan nilai

3

kredit yang tidak terbatas . Lalu berikan kartu kredit tersebut kepada seorang remaja, yang di pagi hari, remaja tersebut diantar ke

4

mall yang paling mewah di negeri ini . Berilah pesan kepada remaja tersebut, bahwa yang bersangkutkan diperkenankan membeli barang apapun dengan harga berapapun dengan kartu kredit tersebut, dan nantinya seluruh tagihan kartu kredit akan ditanggung oleh anda. Di malam hari, ketika mall tersebut akan tutup dan si remaja anda jemput dan anda mengumpulkan bukti pembelian dari remaja tersebut, adakah ada orang di muka bumi ini yang mampu mengestimasi dengan tepat nilai pembelian yang dilakukan remaja tersebut selama sehari itu? Tentu saja jawabannya adalah negatif. Ilustrasi ini menggambarkan kompleksitas yang dihadapi oleh birokrat dalam mengestimasi konsumsi BBM bersubsidi yang selalu meningkat. Tidaklah mengherankan jika setiap tahun kuota BBM bersubsidi tidak mudah diperkirakan dan cenderung selalu melebihi kuota yang telah ditetapkan.

Permasalahannya, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi peningkatan konsumsi BBM bersubsidi? Beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan konsumsi BBM bersubsidi adalah: 1) peningkatan aktivitas ekonomi akibat pertumbuhan ekonomi; 2) kenaikan harga minyak dunia; 3) penguatan nilai tukar mata uang asing; 4) pengalihan konsumsi dari Pertamax ke Premium; 5) peningkatan aktivitas pasar gelap untuk keperluan industri; dan 6) penyelundupan BBM bersubsidi ke negara lain.

Dari enam faktor di atas, hanya faktor pertumbuhan ekonomi yang merupakan faktor endogen, yang dapat dipengaruhi oleh pemerintah. Selain itu, kelima faktor lain merupakan faktor eksogen yang tidak dapat dipengaruhi oleh pemerintah sama sekali. Artinya, tanpa perubahan kebijakan terhadap subsidi BBM, maka beban subsidi BBM bukanlah dalam kendali pemerintah, namun justru

3 Jenis kartu kredit seperti ini biasanya berwarna hitam dengan nomor akun yang tidak panjang seperti layaknya

kartu kredit biasa. Keberadaan kartu seperti ini biasanya dimiliki oleh nasabah-nasabah tertentu saja.


(33)

dikendalikan oleh pasar internasional, perilaku masyarakat dalam mengkonsumsi BBM bersubsidi dan bahkan oleh perilaku pelaku di pasar gelap dan penyelundup BBM bersubsidi. Artinya, upaya mempertahankan subsidi BBM justru meletakkan kedaulatan penyusunan anggaran pembangunan (APBN) kepada pihak asing dan bahkan kepada para pelaku pasar gelap serta para penyelundup BBM bersubsidi. Pertanyaan yang harus dijawab kemudian adalah, bagaimana dengan upaya meningkatkan kemandirian bangsa dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan?

Tidak berlebihan kiranya jika pertumbuhan beban subsidi BBM terhadap keuangan negara dapat digambarkan sebagai 'bom waktu yang terus bertumbuh dan siap meledak kapan saja'. Dalam menghadapi masalah kompleks seperti ini, tentu saja berdiam diri bukanlah strategi yang optimal, mengingat dampak subsidi BBM terhadap APBN akan terus tumbuh dan membebani perekonomian. Di sisi lain, pertumbuhan konsumsi BBM bersubsidi menciptakan kerentanan ekonomi karena permintaan terhadap Pertamax impor akan meningkat sehingga akan memberikan tekanan terhadap neraca pembayaran dan nilai tukar rupiah.

Permasalahan menjadi semakin kompleks, ketika BBM bersubsidi tersedia di mana saja dan bisa diakses siapa saja. Tentu saja semakin tinggi kemampuan daya beli seseorang, semakin besar konsumsi terhadap bahan bakar, sehingga tidak pelak subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh masyarakat berpenghasilan menengah ke atas dibandingkan dengan masyarakat berpenghasilan rendah.

5

Berbagai hasil penelitian menunjukkan fakta nyata (hard evidence)

bahwa subsidi BBM meningkatkan ketimpangan pendapatan. Data Kementerian ESDM menunjukkan bahwa proporsi BBM bersubsidi dinikmati oleh: 1) pemilik mobil (53%) dibandingkan pemilik motor (47%); 2) masyarakat di Jawa dan Bali (59%); dan 3) angkutan darat (89%). Tercatat 25% rumah tangga berpenghasilan tertinggi menikmati 77% subsidi BBM dibandingkan dengan 25% rumah tangga berpenghasilan terendah yang hanya menikmati 15% subsidi BBM (Kementerian Keuangan, 2008). 111

Fakta menunjukkan volume konsumsi BBM bersubsidi dan besarnya subsidi BBM juga ditentukan oleh aktivitas di pasar gelap


(34)

dan penyelundupan BBM bersubsidi. Kensekuensi dari fakta ini adalah, semakin besar subsidi BBM yang dikucurkan, semakin besar subsidi yang diterima oleh para penyelundup dan pelaku di pasar gelap.

Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa subsidi BBM adalah salah sasaran. Tidaklah berlebihan jika setiap upaya mempertahankan subsidi BBM dapat dimaknai sebagai upaya untuk mempertahankan subsidi kepada rumah tangga berpendapatan menengah ke atas, dan juga mempertahankan subsidi kepada para penyelundup dan pelaku pasar gelap BBM bersubsidi. Hal ini sekaligus menepis anggapan bahwa menaikan harga BBM bersubsidi adalah mendzolimi rakyat. Fakta menunjukkan masyarakat miskin hanya menikmati sebagian kecil dari subsidi BBM. Fakta di atas juga menunjukkan bahwa segala upaya untuk mempertahankan kebijakan subsidi BBM yang tidak tepat sasaran tersebut justru mencederai dan sekaligus mengabaikan rasa keadilan.

Pradiptyo dan Sahadewo (2012) melakukan laboratory-based survey kepada 335 rumah tangga di Yogyakarta, baik yang tidak memiliki kendaraan bermotor apapun hingga yang memiliki mobil lebih dari satu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa subyek yang tidak memiliki kendaraan bermotor, yang notabene berpendapatan rendah, lebih mudah menerima penurunan subsidi BBM daripada subyek yang memiliki mobil. Bagi subyek yang tidak memiliki kendaraan bermotor, penurunan subsidi BBM secara bertahap ataupun seketika tidaklah menjadi masalah asal realokasi penurunan subsidi tersebut dilakukan pada program-program subsidi spesifik (misalnya vaksin, infrastruktu dan transportasi) yang manfaatnya bisa dirasakan langsung oleh rumah tangga. Sebaliknya, subyek yang memiliki mobil tidak peduli bagaimana realokasi yang dihasilkan dari penghematan subsidi BBM, yang mereka pentingkan adalah kebijakan penurunan subsidi BBM harus dilakukan secara bertahap. Dapat disimpulkan bahwa rumah tangga dengan pendapatan yang tinggi, yang notabene menikmati lebih banyak BBM bersubsidi, lebih sulit menerima kebijakan penurunan subsidi BBM daripada rumah tangga dengan pendapatan rendah. Pradiptyo (2012a,b) melaporkan bahwa ternyata, di Indonesia, para koruptor-pun menikmati 'subsidi' akibat hukuman maksimal dalam UU Anti Korupsi yang terlalu ringan. Didasarkan pada putusan MA


(35)

dari tahun 2001-2012 diperoleh hasil bahwa biaya eksplisit korupsi adalah Rp 168,19 triliun, sementara nilai hukuman finansial hanyalah Rp 15,09 triliun (harga konstan 2012). Dengan demikian, selisih diantara kedua nilai tersebut, yaitu sebesar Rp 153,1 triliun, harus ditanggung oleh masyarakat atau dengan kata lain di negeri ini para koruptor disubsidi oleh masyarakat

Lengkaplah sudah penderitaan rakyat Indonesia, terutama mereka yang memiliki penghasilan menengah ke bawah. Idealnya, subsidi diberikan kepada kelompok masyarakat yang kurang beruntung dengan pendapatan rendah. Namun fakta di Indonesia justru sebaliknya. Kebijakan subsidi BBM telah membuat rumah tangga berpendapatan menengah ke atas, para pelaku pasar gelap dan penyelundup BBM bersubsidi menikmati sebagian besar subsidi BBM. Di sisi lain, akibat UU Anti Korupsi, para pembayar pajak yang budiman, harus menyubsidi para koruptor, yang notabene berpenghasilan menengah ke atas.

Beban subsidi BBM terhadap perekonomian sebenarnya bisa diminimasi jika pemerintah dan terutama partai politik memiliki komitmen kuat untuk memandirikan perekonomian bangsa ini. Upaya untuk memandirikan perekonomian negara, seringkali ditundukkan oleh kepentingan politik yang berorientasi jangka pendek. Di tahun 2005 pemerintah telah meningkatkan harga Premium hingga 160%, namun di tahun 2008 menjelang Pemilu 2009, harga Premium dikembalikan lagi ke posisi semula yaitu Rp4500 hingga saat ini.

Adalah akibat faktor kepentingan politik pulalah yang menjadi pemicu utama mengapa rekomendasi Tim Peneliti UGM-ITB-UI ditolak oleh DPR di tahun 2011 dan tidak ada komitmen lebih lanjut dari partai yang berkuasa untuk memperjuangkannya. Hal serupa berulang lagi di tahun 2012. Saat inipun, upaya untuk menurunkan subsidi BBM masih terkendala perbedaan pandangan antar partai politik di Senayan, sehingga prosesnya berlarut-larut dan beresiko kehilangan momentum yang tepat untuk menurunkan subsidi tersebut.

Marilah kita berhitung, berapa nilai subsidi yang bisa dihemat apabila rekomendasi Tim Peneliti UGM-ITB-UI, yaitu peningkatan


(36)

harga BBM bersubsidi sebesar Rp500/liter dan dilakukan kenaikan bertahap setiap tahun (misalnya setiap tanggal 1 April)? Jika kebijakan ini dilakukan mulai tahun 2011, maka pada saat ini, harga Premium tidak lagi Rp4500/liter namun sudah mencapai Rp6000/liter. Apabila kebijakan ini ditempuh, dengan mempertimbangkan bahwa elastisitas premium adalah -0,16, dan diasumsikan elastisitas yang sama terjadi untuk solar, maka total susbidi yang bisa dihemat mencapai Rp134,23 triliun, dengan catatan hingga Desember 2013 pemerintah tidak melakukan kebijakan apapun terkait dengan harga BBM bersubsidi. Apabila di bulan Juli 2013 Pemerintah meningkatkan harga BBM bersubsidi menjadi Rp6000/liter, baik untuk solar dan premium, maka penerapan peningkatan harga Rp500/liter sejak 2011 akan menghemat sebesar Rp97,42 triliun.

Mari kita bandingkan potensi penghematan tersebut dengan subsidi pangan dan subsidi pupuk, yang di APBN 2013 berturut-turut hanya dialokasikan sebesar Rp17,2 triliun dan Rp16,2 triliun. Biaya operasional UGM sebagai Universitas terbesar di Indonesia dengan jumlah mahasiswa lebih dari 52.000 mahasiswa, dari D3 hingga S3, hanyalah sebesar Rp2 triliun/tahun. Marilah kita asumsikan bahwa biaya operasional ini dinaikkan menjadi Rp3 triliun/tahun untuk perbaikan sarana dan prasarana pendidikan agar UGM memiliki kemampuan bersaing dengan universitas-universitas di negara maju. Didasarkan scenario ini, hanya diperlukan Rp30 triliun/tahun untuk membuat 10 universitas terbaik di negeri ini berskala sama dengan UGM mampu menyelenggarakan pendidikan dari D3 hingga S3 gratis!! Bayangkan, hanya dengan Rp30 triliun per tahun, 520 ribu mahasiswa terbaik di negeri ini akan mengenyam pendidikan gratis!! Inilah biaya minimal yang harus ditanggung oleh perekonomian akibat keragu-raguan para pengambil keputusan di negeri ini.

Waktu yang paling tepat untuk menurunkan subsidi BBM adalah pada bulan Maret, April dan Mei. Didasarkan pada pola inflasi dari tahun ke tahun, di bulan April tingkat inflasi mencapai titik terendah, dan mulai meningkat di bulan Mei. Dengan demikian, di kedua bulan itulah dampak inflasi dari penurunan subsidi BBM paling layak dilakukan.


(37)

Saat ini, upaya penurunan subsidi BBM rencananya akan dilakukan di bulan Juni, yang sebenarnya bukanlah momen yang ideal untuk menurunkan subsidi BBM mengingat bulan Ramadhan sudah dekat. Namun demikian, defisit terhadap APBN dan tenanan neraca pembayaran tidak lagi memberikan ruang gerak bagi pemerintah untuk menunda kembali penurunan subsidi BBM untuk ketiga kalinya berturut-turut. .

Ekonomi Indonesia pada kuartal II 2013 menghadapi banyak ujian baik yang berasal dari dalam negeri ataupun luar negeri yang meningkatkan instabilitas ekonomi makro. Aroma pertempuran politik menghangat dalam pengambilan kebijakan ekonomi sehingga pemerintah maju mundur dalam memutuskan penurunan subsidi BBM sampai pertengahan Juni 2013 (batas akhir cetak IERO), menimbulkan banyak ketidak pastian dalam perekonomian, menyandera ekonomi Indonesia. Suasana seperti itu ibaratnya seperti “bom waktu yang tumbuh” menurut Dr. Rimawan Pradiptyo yang disampaikan dalam Current Issue kali ini. Apalagi menghangatnya ekonomi politik domestik ditengah kondisi ekonomi global yang menghadapi ketidak pastian tentang kelanjutan kebijakan moneter longgar dari bank sentral AS ataupun Jepang, serta ketidak pastian ekonomi Eropa telah memberikan dampak yang negatip pada ekonomi Indonesia. Apalagi Bank Dunia memangkas lagi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia 2013 dari 2,4% pada Januari 2013 menjadi 2,2% pada Juni 2013, demikian juga ekonomi RRC yang menjadi motor penggerak utama ekonomi dunia dipangkas proyeksi laju pertumbuhannya dari 8,4% menjadi 7,7% pada periode yang sama, proyeksi laju pertumbuhan ekonomi Indonesia juga diturunkan dari 6,3% menjadi 6,2%.

Ditengah-tengah ketidak pastian ekonomi domestik dan global,

GAMA Leading Economic Indicator masih mempredik penurunan laju

pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek ini. Nampaknya proses penurunan laju pertumbuhan ekonomi masih berlangsung, seperti proyeksi GAMA LEI pada dua kuartal berturut-turut yang lalu telah tepat memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang merosot. Demikian juga proyeksi indikator ekonomi utama hasil konsesus akademisi di Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM selaras dengan GAMA LEI mempredik memburuknya ekonomi


(38)

Indonesia, dimana instabilitas ekonomi meningkat dan laju pertumbuhan ekonomi menurun. Jika kondisi seperti ini terus berlangsung akan membahayakan pembangunan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu pemerintah diharapkan segera mengambil keputusan terkait dengan harga BBM bersubsidi, agar segera bisa menghentikan ketidak pastian yang telah menimbulkan berbagai spekulasi yang membawa dampak negatif pada perekonomian. Selain itu otoritas ekonomi serta semua otoritas yang terkait diharapkan lebih fokus dalam menjaga stabilitas ekonomi makro dalam jangka pendek ini, jangan sampai suasana politik yang mulai gaduh merembet ke ekonomi yang berpotensi menimbulkan instabilitas ekonomi makro dan pemburukan ekonomi.


(39)

(40)

MACROECONOMIC DASHBOARD

FAKULTAS EKONOMIKA dan BISNIS

UNIVERSITAS GADJAH MADA

th

Pertamina Tower Building 4 fl. Room 4.1

Jl. Humaniora No. 1 Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Phone : +62 274 548 517 ext 373

Email :

iero@macroeconomicdashboard.com

,S.E. S.E.


(1)

Indonesian Economic Review and Outlook

dari tahun 2001-2012 diperoleh hasil bahwa biaya eksplisit korupsi adalah Rp 168,19 triliun, sementara nilai hukuman finansial hanyalah Rp 15,09 triliun (harga konstan 2012). Dengan demikian, selisih diantara kedua nilai tersebut, yaitu sebesar Rp 153,1 triliun, harus ditanggung oleh masyarakat atau dengan kata lain di negeri ini para koruptor disubsidi oleh masyarakat

Lengkaplah sudah penderitaan rakyat Indonesia, terutama mereka yang memiliki penghasilan menengah ke bawah. Idealnya, subsidi diberikan kepada kelompok masyarakat yang kurang beruntung dengan pendapatan rendah. Namun fakta di Indonesia justru sebaliknya. Kebijakan subsidi BBM telah membuat rumah tangga berpendapatan menengah ke atas, para pelaku pasar gelap dan penyelundup BBM bersubsidi menikmati sebagian besar subsidi BBM. Di sisi lain, akibat UU Anti Korupsi, para pembayar pajak yang budiman, harus menyubsidi para koruptor, yang notabene berpenghasilan menengah ke atas.

Beban subsidi BBM terhadap perekonomian sebenarnya bisa diminimasi jika pemerintah dan terutama partai politik memiliki komitmen kuat untuk memandirikan perekonomian bangsa ini. Upaya untuk memandirikan perekonomian negara, seringkali ditundukkan oleh kepentingan politik yang berorientasi jangka pendek. Di tahun 2005 pemerintah telah meningkatkan harga Premium hingga 160%, namun di tahun 2008 menjelang Pemilu 2009, harga Premium dikembalikan lagi ke posisi semula yaitu Rp4500 hingga saat ini.

Adalah akibat faktor kepentingan politik pulalah yang menjadi pemicu utama mengapa rekomendasi Tim Peneliti UGM-ITB-UI ditolak oleh DPR di tahun 2011 dan tidak ada komitmen lebih lanjut dari partai yang berkuasa untuk memperjuangkannya. Hal serupa berulang lagi di tahun 2012. Saat inipun, upaya untuk menurunkan subsidi BBM masih terkendala perbedaan pandangan antar partai politik di Senayan, sehingga prosesnya berlarut-larut dan beresiko kehilangan momentum yang tepat untuk menurunkan subsidi tersebut.

Marilah kita berhitung, berapa nilai subsidi yang bisa dihemat Menjaga Momentum


(2)

harga BBM bersubsidi sebesar Rp500/liter dan dilakukan kenaikan bertahap setiap tahun (misalnya setiap tanggal 1 April)? Jika kebijakan ini dilakukan mulai tahun 2011, maka pada saat ini, harga Premium tidak lagi Rp4500/liter namun sudah mencapai Rp6000/liter. Apabila kebijakan ini ditempuh, dengan mempertimbangkan bahwa elastisitas premium adalah -0,16, dan diasumsikan elastisitas yang sama terjadi untuk solar, maka total susbidi yang bisa dihemat mencapai Rp134,23 triliun, dengan catatan hingga Desember 2013 pemerintah tidak melakukan kebijakan apapun terkait dengan harga BBM bersubsidi. Apabila di bulan Juli 2013 Pemerintah meningkatkan harga BBM bersubsidi menjadi Rp6000/liter, baik untuk solar dan premium, maka penerapan peningkatan harga Rp500/liter sejak 2011 akan menghemat sebesar Rp97,42 triliun.

Mari kita bandingkan potensi penghematan tersebut dengan subsidi pangan dan subsidi pupuk, yang di APBN 2013 berturut-turut hanya dialokasikan sebesar Rp17,2 triliun dan Rp16,2 triliun. Biaya operasional UGM sebagai Universitas terbesar di Indonesia dengan jumlah mahasiswa lebih dari 52.000 mahasiswa, dari D3 hingga S3, hanyalah sebesar Rp2 triliun/tahun. Marilah kita asumsikan bahwa biaya operasional ini dinaikkan menjadi Rp3 triliun/tahun untuk perbaikan sarana dan prasarana pendidikan agar UGM memiliki kemampuan bersaing dengan universitas-universitas di negara maju. Didasarkan scenario ini, hanya diperlukan Rp30 triliun/tahun untuk membuat 10 universitas terbaik di negeri ini berskala sama dengan UGM mampu menyelenggarakan pendidikan dari D3 hingga S3 gratis!! Bayangkan, hanya dengan Rp30 triliun per tahun, 520 ribu mahasiswa terbaik di negeri ini akan mengenyam pendidikan gratis!! Inilah biaya minimal yang harus ditanggung oleh perekonomian akibat keragu-raguan para pengambil keputusan di negeri ini.

Waktu yang paling tepat untuk menurunkan subsidi BBM adalah pada bulan Maret, April dan Mei. Didasarkan pada pola inflasi dari tahun ke tahun, di bulan April tingkat inflasi mencapai titik terendah, dan mulai meningkat di bulan Mei. Dengan demikian, di kedua bulan itulah dampak inflasi dari penurunan subsidi BBM paling layak dilakukan.


(3)

Indonesian Economic Review and Outlook

Saat ini, upaya penurunan subsidi BBM rencananya akan dilakukan di bulan Juni, yang sebenarnya bukanlah momen yang ideal untuk menurunkan subsidi BBM mengingat bulan Ramadhan sudah dekat. Namun demikian, defisit terhadap APBN dan tenanan neraca pembayaran tidak lagi memberikan ruang gerak bagi pemerintah untuk menunda kembali penurunan subsidi BBM untuk ketiga kalinya berturut-turut. .

Ekonomi Indonesia pada kuartal II 2013 menghadapi banyak ujian baik yang berasal dari dalam negeri ataupun luar negeri yang meningkatkan instabilitas ekonomi makro. Aroma pertempuran politik menghangat dalam pengambilan kebijakan ekonomi sehingga pemerintah maju mundur dalam memutuskan penurunan subsidi BBM sampai pertengahan Juni 2013 (batas akhir cetak IERO), menimbulkan banyak ketidak pastian dalam perekonomian, menyandera ekonomi Indonesia. Suasana seperti itu ibaratnya seperti “bom waktu yang tumbuh” menurut Dr. Rimawan Pradiptyo yang disampaikan dalam Current Issue kali ini. Apalagi menghangatnya ekonomi politik domestik ditengah kondisi ekonomi global yang menghadapi ketidak pastian tentang kelanjutan kebijakan moneter longgar dari bank sentral AS ataupun Jepang, serta ketidak pastian ekonomi Eropa telah memberikan dampak yang negatip pada ekonomi Indonesia. Apalagi Bank Dunia memangkas lagi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia 2013 dari 2,4% pada Januari 2013 menjadi 2,2% pada Juni 2013, demikian juga ekonomi RRC yang menjadi motor penggerak utama ekonomi dunia dipangkas proyeksi laju pertumbuhannya dari 8,4% menjadi 7,7% pada periode yang sama, proyeksi laju pertumbuhan ekonomi Indonesia juga diturunkan dari 6,3% menjadi 6,2%.

Ditengah-tengah ketidak pastian ekonomi domestik dan global, GAMA Leading Economic Indicator masih mempredik penurunan laju pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek ini. Nampaknya proses penurunan laju pertumbuhan ekonomi masih berlangsung, seperti proyeksi GAMA LEI pada dua kuartal berturut-turut yang lalu telah tepat memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang merosot. Demikian juga proyeksi indikator ekonomi utama hasil konsesus akademisi di Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM


(4)

Indonesia, dimana instabilitas ekonomi meningkat dan laju pertumbuhan ekonomi menurun. Jika kondisi seperti ini terus berlangsung akan membahayakan pembangunan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu pemerintah diharapkan segera mengambil keputusan terkait dengan harga BBM bersubsidi, agar segera bisa menghentikan ketidak pastian yang telah menimbulkan berbagai spekulasi yang membawa dampak negatif pada perekonomian. Selain itu otoritas ekonomi serta semua otoritas yang terkait diharapkan lebih fokus dalam menjaga stabilitas ekonomi makro dalam jangka pendek ini, jangan sampai suasana politik yang mulai gaduh merembet ke ekonomi yang berpotensi menimbulkan instabilitas ekonomi makro dan pemburukan ekonomi.


(5)

Indonesian Economic Review and Outlook


(6)

MACROECONOMIC DASHBOARD

FAKULTAS EKONOMIKA dan BISNIS

UNIVERSITAS GADJAH MADA

th

Pertamina Tower Building 4 fl. Room 4.1

Jl. Humaniora No. 1 Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Phone : +62 274 548 517 ext 373

,S.E. S.E.