Mochammad Chaerani D

(1)

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2

Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Program Studi : Magister Ilmu Administrasi

Konsentrasi : Magister Administrasi Publik

Diajukan oleh :

MOCHAMMAD CHAERANI D. D4E004034

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2006


(2)

PADA KANTOR WILAYAH VI DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SEMARANG

Dipersiapkan dan disusun oleh : MOCHAMMAD CHAERANI D.

NIM : D4E004034

telah dipertahankan di depan Tim Penguji pada tanggal : 09 Mei 2006

Susunan Tim Penguji Ketua Penguji/Pembimbing I

( Prof. Drs. Y. Warella, MPA, Ph.D )

Anggota Tim Penguji 1.

( Drs. Wahyu Pujoyono, SU ) Sekretaris/Pembimbing II

( Dra. Susi Sulandari, M.Si )

2.

( Dra. Kismartini, M.Si )

Tesis ini telah diterima sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Sains

Tanggal, 30 Mei 2006 Ketua Program Studi MAP Universitas Diponegoro

Prof. Drs. Y. Warella, MPA, Ph.D NIP : 130 227 811


(3)

Tanjung Emas Semarang. Permasalahan yang diungkapkan adalah pertama, berkaitan dengan bagaimana kinerja pelayanan importasi jalur hijau pada Kantor Wilayah VI Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Semarang dan kedua, berkaitan dengan sejauh mana tingkat kepuasan pelanggan ditinjau dari tingkat kesesuaian antara pelayanan yang diterima dengan pelayanan yang diharapkan. Kemudian tujuan penelitian adalah untuk mengukur kinerja pelayanan importasi jalur hijau dan menganalisis sejauh mana tingkat kepuasan pelanggan Kantor Wilayah VI Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Semarang. Diharapkan hasilnya bermanfaat bagi perbaikan kinerja pelayanan publik pada Kantor Wilayah VI Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Semarang di masa yang akan datang.

Kemudian metode yang dipakai adalah menggunakan nilai indeks kepuasan masyarakat yang terdapat dalam Kepmen PAN No. KEP/25/M.PAN/2/2004 dengan menggunakan kuesioner dan indepth interview

terhadap 150 importer jalur hijau sebagai responden penelitian. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah accidental sampling, yaitu importer yang sedang mengurus importasinya di Kantor Wilayah VI Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Semarang saat ditemui peneliti di lapangan. Setelah itu data dikumpulkan, dikode, diedit dan ditabulasi kemudian dianalisis dengan mempergunakan teknik deskriptif kuantitatif-kualitatif.

Berdasarkan hasil temuan penelitian, dari 14 indikator yang diukur, 8 indikator berada dalam kondisi bagus sedangkan 6 indikator lainnya dalam kondisi kurang bagus. Delapan indikator yang tergolong kinerjanya bagus adalah indikator prosedur pelayanan, kejelasan petugas pelayanan, kedisiplinan petugas pelayanan, tanggung jawab petugas pelayanan, kemampuan petugas pelayanan, keadilan mendapatkan pelayanan, kesopanan dan keramahan petugas, dan keamanan lingkungan. Sedangkan enam indikator lainnya berada dalam kondisi tidak bagus yang meliputi indikator persyaratan pelayanan, kecepatan pelayanan, kewajaran biaya pelayanan, kepastian biaya pelayanan, kepastian jadwal pelayanan, dan kenyamanan lingkungan.

Kemudian, hasil penilaian tingkat kepuasan pelanggan yang ditampilkan dalam diagram Kartesius menunjukkan ada 7 item sub indikator (Kuadran B) yang perlu dipertahankan kinerjanya karena dianggap oleh pelanggan sangat penting dan kinerjanya sudah bagus. Ketujuh sub indikator tersebut adalah keterbukaan informasi mengenai prosedur pelayanan, kemampuan intelektual petugas, kesamaan perlakuan dalam mendapatkan pelayanan, kesopanan dan keramahan petugas pelayanan, penghormatan dan penghargaan antara petugas dengan masyarakat, keamanan lingkungan tempat pelayanan, dan keamanan sarana dan prasarana pelayanan yang digunakan. Apabila Kantor Wilayah VI DJBC Semarang ingin melakukan perbaikan kinerja ke depan, maka 7 item sub indikator di atas yang berada di kuadran B harus tetap dipertahankan kinerjanya.


(4)

kemampuan masyarakat, kejelasan rincian biaya pelayanan, keterbukaan mengenai rincian biaya pelayanan, kejelasan jadwal pelayanan, keandalan jadwal pelayanan, kebersihan dan kerapian lingkungan tempat pelayanan, ketersediaan fasilitas pendukung pelayanan, keamanan terhadap resiko-resiko yang diakibatkan dari pelaksanaan pelayanan. Apabila Kantor Wilayah VI DJBC Semarang ingin melakukan perbaikan kinerja ke depan, maka 11 item sub indikator yang berada di kuadran A seharusnya menjadi prioritas utama untuk diperbaiki guna peningkatan kinerjanya.


(5)

dipertahankan dan aspek-aspek yang menjadi prioritas untuk diperbaiki. Hal ini dikarenakan pada pelaksanaannya masih adanya potensi kerugian negara dan keluhan masyarakat terhadap terjadinya high cost pada pelayanan jenis ini.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah accidental sampling. Kuesioner disebar kepada 150 orang responden (importer). Teknik analisis data yang digunakan adalah deskripsi kuantitatif-kualitatif.

Temuan hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan kinerja Kantor Wilayah VI Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Semarang dapat dikategorikan baik. Akan tetapi, beberapa aspek masih harus diperbaiki, walaupun beberapa aspek lainnya sudah memperlihatkan kinerja yang bagus.

Beberapa aspek yang kinerjanya sudah bagus antara lain : keterbukaan informasi mengenai prosedur pelayanan, kemampuan intelektual petugas, kesamaan perlakuan dalam mendapatkan pelayanan, kesopanan dan keramahan petugas pelayanan, penghormatan dan penghargaan antara petugas dengan masyarakat, keamanan lingkungan tempat pelayanan, keamanan sarana dan prasarana pelayanan yang digunakan.

Kemudian beberapa aspek lainnya yang masih harus diperbaiki kinerjanya antara lain : kejelasan alur dalam prosedur pelayanan, kesederhanaan mengenai prosedur pelayanan, ketepatan waktu pelayanan, keterjangkauan biaya pelayanan oleh kemampuan masyarakat, kejelasan rincian biaya pelayanan, keterbukaan mengenai rincian biaya pelayanan, kejelasan jadwal pelayanan, kehandalan jadwal pelayanan, kebersihan dan kerapian lingkungan tempat pelayanan, ketersediaan fasilitas pendukung pelayanan, keamanan terhadap resiko-resiko yang diakibatkan dari pelaksanaan pelayanan.


(6)

6 of Customs Affairs at Semarang to know what aspects should be maintained and what aspects would be improved. Its because the potential losses of duties and taxes and the complainant from society in which cause high cost expenses of importation activities.

The sampling technic of this research was accedential sampling. Quessioners were delivered to 150 respondents (importers).The technic of data analysis that used in this research was descriptive quantitative-qualitative.

The result of this research indicated that all these performance of Regional Office 6 TH of Customs Affairs at Semarang had a good performance. Although several several aspects indicated the good performance, but the others should be improved.

There are several aspects that had good performance such as the transparency of procedure information, intellectual skill of officers, fairness of the public services, the politeness between officers and society, respectability between officers and society, the savety of the public place or office, the savety of the public facilities.

Then there are several aspects that should be improved such as it’s to be clear about flow chart of procedure, the simplicity of the procedure ,it’s to be on time at the service, the capability of the society to pay the service, it’s clearly information about detail cost of service, the transparency about detail cost of service, it’s to be clearly information about the schedule of service, the competitive advantage of schedule of service, the cleanness of the service’s places, the completeness of the public facilities, and savety of the consequence from service’s activities.


(7)

LEMBAR PENGESAHAN ...ii

KATA PENGANTAR ...iii

RINGKASAN ...v

ABSTRAKSI ...vii

DAFTAR ISI...ix

DAFTAR TABEL ...xi

DAFTAR GAMBAR ...xv

DAFTAR LAMPIRAN...xvi

BAB I PENDAHULUAN…..………..1

A.Latar Belakang Masalah ...1

B.Identifikasi dan Perumusan Masalah...12

C.Tujuan Penelitian...13

D.Kegunaan Penulisan ...13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA……….……….15

A.Landasan Teori ...15

1. Pengertian Kinerja dan Pengukuran Kinerja...18

2. Kualitas Pelayanan (Service Quality)...21

2.1Servqual oleh Zeithaml, Parasuraman dan Berry ...27

2.2Servqual for Citizen (NPS) ...34

3. Kualitas Pelayanan Publik Berdasarkan Kepmen PAN No.25/2004 ...41


(8)

D. Variabel Penelitian ...56

E.Jenis dan Sumber Data ...63

F. Instrumen Penelitian...64

G.Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel ...64

H.Teknik Pengumpulan Data ...64

I. Teknik Analisis Data ...65

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN…..………….……….71

A.Deskripsi Wilayah Penelitian ...71

B.Hasil Penelitian………82

1. Analisis Kinerja………82

2. Penilaian Tingkat Kepentingan...119

C.Analisis Hasil Penelitian………...152

1. Analisis Hasil Kinerja………152

2. Penilaian Tingkat Kepuasan Pelanggan.…………157

D.Diskusi………..………….166

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN…………..………..169

A. Kesimpulan………....169

B. Saran………..173

DAFTAR PUSTAKA………..177 LAMPIRAN


(9)

xi

1.1 Kasus Impor Ilegal yang Menjadi Sorotan Masyarakat ...3 1.2 Jumlah PIB di Kanwil VI DJBC Semarang tahun 2005 ...5 1.3 Sarana dan Prasarana Per 31 Desember 2005 ...7 3.1 Matriks Indikator, Sub Indikator dan Items Pertanyaan untuk

Menganalisis Kinerja Pelayanan Publik Kantor Wilayah VI DJBC Semarang ...60 3.2 Nilai Persepsi, Interval, dan Interval Konversi IKM ...66 4.1 Status Responden Penelitian ...84 4.2 Tingkat Keterbukaan Informasi mengenai Prosedur Pelayanan…..85 4.3 Tingkat Kejelasan Alur dalam Prosedur Pelayanan……….85 4.4 Tingkat Kesederhanaan Mengenai Prosedur Pelayanan…………..86 4.5 Tingkat Fleksibilitas Prosedur Pelayanan……….……...86 4.6 Tingkat Keterbukaan Mengenai Persyaratan Pelayanan…………..88 4.7 Tingkat Kemudahan Mengurus / Memenuhi Persyaratan

Pelayanan ...89 4.8 Tingkat Kejelasan Mengenai Persyaratan Pelayanan...89 4.9 Tingkat Kepastian Mengenai Identitas dan Tanggung Jawab

Petugas Pelayanan ...91 4.10 Tingkat Kemudahan Menemui dan Menghubungi Petugas

Pelayanan ...92 4.11 Tingkat Kredibilitas Petugas Pelayanan ……….……….93 4.12 Tingkat Ketepatan Waktu Petugas Menyelesaikan Pelayanan…….94 4.13 Tingkat Kejujuran Petugas dalam Memberikan Pelayanan………..94 4.14 Tingkat Kejelasan Tanggung Jawab Petugas Pelayanan…………..96 4.15 Tingkat Kepastian Tanggung Jawab Petugas Pelayanan…………..96 4.16 Tingkat Keterbukaan Tanggung Jawab Petugas Pelayanan……….97 4.17 Tingkat Kemampuan Fisik petugas………..98


(10)

xii

4.22 Tingkat Keterbukaan Waktu Penyelesaian Pelayanan………102 4.23 Tingkat Kesamaan Perlakuan dalam Mendapatkan Pelayanan…...103 4.24 Tingkat Kemerataan Jangkauan / Cakupan dalam Pelaksanaan

Pelayanan ...104 4.25 Tingkat Kesopanan dan Keramahan oleh Petugas Pelayanan……..105 4.26 Tingkat Penghormatan dan Penghargaan antara Petugas

dengan Masyarakat ...106 4.27 Tingkat keterjangkauan Biaya Pelayanan oleh Kemampuan

Masyarakat ...107 4.28 Tingkat Kewajaran Besarnya Biaya Pelayanan dengan Hasil

Pelayanan ...108 4.29 Tingkat Kejelasan Rincian Biaya Pelayanan………....109 4.30 Tingkat Keterbukaan Mengenai Rincian Biaya Pelayanan………..110 4.31 Tingkat Kejelasan Jadwal Pelayanan………...111 4.32 Tingkat Kehandalan Jadwal Pelayanan………112 4.33 Tingkat Kebersihan, Kerapian dan Keteraturan

Sarana/Prasarana ...113 4.34 Tingkat Ketersediaan Fasilitas Pendukung Sarana dan

Prasarana ...114 4.35 Tingkat Kemutahiran dan Kelengkapan Sarana/Prasarana ...114 4.36 Tingkat Keamanan Lingkungan Tempat Pelayanan……….116 4.37 Tingkat Keamanan Sarana dan Prasarana Pelayanan yang

digunakan ...116 4.38 Tingkat Keamanan terhadap Resiko-Resiko yang Diakibatkan


(11)

xiii

4.41 Kejelasan Alur dalam Prosedur Pelayanan...………...….121

4.42 Kesederhanaan Mengenai Prosedur Pelayanan...……….122

4.43 Fleksibilitas Prosedur Pelayanan...……….………..122

4.44 Keterbukaan Mengenai Persyaratan Pelayanan....………123

4.45 Kemudahan Mengurus / Memenuhi Persyaratan Pelayanan ...124

4.46 Kejelasan Mengenai Persyaratan Pelayanan...125

4.47 Kepastian Mengenai Identitas dan Tanggung Jawab Petugas Pelayanan ...126

4.48 Kemudahan Menemui dan Menghubungi Petugas Pelayanan ...126

4.49 Kredibilitas Petugas Pelayanan ...………….………..…….127

4.50 Ketepatan Waktu Petugas Menyelesaikan Pelayanan………….….128

4.51 Kejujuran Petugas dalam Memberikan Pelayanan……….…..129

4.52 Kejelasan Tanggung Jawab Petugas Pelayanan...………130

4.53 Kepastian Tanggung Jawab Petugas Pelayanan...………130

4.54 Keterbukaan Tanggung Jawab Petugas Pelayanan...………131

4.55 Kemampuan Fisik petugas...……….……...132

4.56 Kemampuan Intelektual petugas….……….…....133

4.57 Kemampuan Konseptual petugas….………...133

4.58 Kemampuan Administrasi petugas….……….134

4.59 Ketepatan Waktu Proses Pelayanan……….………...135

4.60 Keterbukaan Waktu Penyelesaian Pelayanan……….……….135

4.61 Kesamaan Perlakuan dalam Mendapatkan Pelayanan....…….…....136

4.62 Kemerataan Jangkauan / Cakupan dalam Pelaksanaan Pelayanan ...137

4.63 Kesopanan dan Keramahan oleh Petugas Pelayanan……….……..138

4.64 Penghormatan dan Penghargaan antara Petugas dengan Masyarakat ...139


(12)

xiv

4.67 Kejelasan Rincian Biaya Pelayanan………..………...141

4.68 Keterbukaan Mengenai Rincian Biaya Pelayanan……….………..142

4.69 Kejelasan Jadwal Pelayanan……….………...143

4.70 Kehandalan Jadwal Pelayanan……….………143

4.71 Kebersihan, Kerapian dan Keteraturan Sarana/Prasarana ...145

4.72 Ketersediaan Fasilitas Pendukung Sarana dan Prasarana ...145

4.73 Tingkat Kemutahiran dan Kelengkapan Sarana/Prasarana ...146

4.74 Keamanan Lingkungan Tempat Pelayanan……….….147

4.75 Keamanan Sarana dan Prasarana Pelayanan yang digunakan ...148

4.76 Keamanan terhadap Resiko-Resiko yang Diakibatkan dari Pelaksanaan Pelayanan ...148

4.77 Penilaian Tingkat Kesesuaian terhadap Aspek-aspek Pelayanan Publik Kantor Wilayah VI DJBC Semarang ...150

4.78 Hasil Pengukuran Kinerja Secara Keseluruhan………154

4.79 Perhitungan Rata-rata dari Penilaian Kinerja dan Penilaian Kepentingan pada Aspek-aspek yang Mempengaruhi Pelanggan Kantor Wilayah VI DJBC Semarang ...158


(13)

xv

2.1 Penilaian Kualitas Pelayanan menurut Konsumen ...30

2.2 Conceptual Model of Service Quality ...33

2.3 Model Analisis Kinerja Pelayanan Berdasarkan Kep Men PAN No.25/2004 ...52

3.1 Diagram Kartesius ...69

4.1 Denah Ruang Kantor Wilayah VI DJBC Semarang ...74

4.2 Flow Chart Tata Kerja PIB EDI………....79

4.3 Struktur Organisasi Kantor Wilayah VI DJBC Semarang..………..81

4.4 Diagram Kartesius dari Aspek-aspek yang Mempengaruhi Pelayanan Impor Jalur Hijau Pada Kantor Wilayah VI DJBC Semarang ...161

4.5 Diagram Kartesius dari Aspek-aspek yang Mempengaruhi Pelayanan Impor Jalur Hijau Pada Kantor Wilayah VI DJBC Semarang ...162


(14)

xvi

2. Jawaban 150 Responden tentang Kepentingan 3. Kuesioner


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang Masalah

Di Indonesia, sejak ada gerakan reformasi tahun 1998, paradigma yang berkembang dalam administrasi publik adalah tuntutan pelayanan publik yang lebih baik dari sebelumnya. Tuntutan akan pelayanan yang baik dan memuaskan telah menjadi suatu kebutuhan yang harus dipenuhi oleh instansi pemerintah penyelenggara pelayanan publik. Tuntutan tersebut muncul seiring dengan berkembangnya era kebebasan berpendapat sejak tumbangnya kekuasaan rezim orde baru sampai masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sekarang ini.

Pemerintah di dalam menyelenggarakan pelayanan publik masih banyak dijumpai kekurangan sehingga jika dilihat dari segi kualitas masih jauh dari yang diharapkan masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan masih munculnya berbagai keluhan masyarakat melalui media massa. Jika kondisi ini tidak direspon oleh pemerintah maka akan dapat menimbulkan citra yang kurang baik terhadap pemerintah sendiri. Mengingat fungsi utama pemerintah adalah melayani masyarakat maka pemerintah perlu terus berupaya meningkatkan kualitas pelayanan publik ( Men PAN, 2004 : 5 )

Kemudian berdasarkan beberapa survey yang dilakukan kalangan akademisi dan birokrat tentang pelayanan publik di Indonesia, ternyata kondisinya masih seringkali “ dianggap “ belum baik dan memuaskan. Hal ini ditunjukkan dari


(16)

kesimpulan yang dibuat oleh Agus Dwiyanto, dkk dalam GDS (Governance and Decentralization ) 2002 di 20 propinsi di Indonesia tentang kinerja pelayanan publik menyebutkan “… secara umum praktek penyelenggaraan pelayanan publik masih jauh dari prinsip – prinsip tata pemerintahan yang baik “ ( 2003 : 102 ). Kemudian kinerja pelayanan birokrasi publik di Indonesia, berdasarkan laporan dari The World Competitiveness Yearbook tahun 1999 berada pada kelompok Negara-negara yang memiliki indeks competitiveness paling rendah antara 100 negara paling kompetitif di dunia (Cullen dan Cushman, dalam Dwiyanto, dkk., 2002: 15).

Sementara itu, dalam dalam pidato pelantikannya pada tanggal 20 Oktober 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebutkan bahwa salah satu unit pelayanan publik yang sampai saat ini masih menjadi sorotan masyarakat dan menjadi instansi publik dengan kinerja yang masih kurang baik dan terkorup nomor 3 di Indonesia setelah lembaga Peradilan dan Kepolisian adalah instansi Pajak yang di dalamnya termasuk Bea dan Cukai (Media Indonesia, 21 Oktober 2004). Kemudian menurut laporan data survey dari Indonesian Corruption Watch menyatakan bahwa praktek suap dan pungutan liar yang melibatkan aparat Bea dan Cukai di seluruh Indonesia diperkirakan mencapai Rp. 7 triliun lebih per tahunnya serta dari 4 juta jumlah pegawai negeri keseluruhan secara nasional saat ini hanya 47% yang memiliki kinerja yang baik sementara yang lainnya hanya makan gaji buta (Tempo, 14 Mei 2003).

Kemudian dalam bidang Kepabeanan, masih ada beberapa kasus yang sampai saat ini masih hangat dibicarakan yaitu antara lain kasus penyelundupan gula


(17)

sebanyak 560 ribu ton yang merugikan negara sekitar 100 milyar lebih (Kompas, 10 April 2003), penyelundupan handphone sebanyak 2 container 40” yang diperkirakan merugikan negara sekitar 11 milyar lebih (Suara Merdeka, 26 Januari 2005) serta pemalsuan dokumen impor di kawasan berikat yang merugikan negara sekitar 7 milyar lebih (Jawa Pos, 30 Januari 2006) yang dapat dilihat pada tabel 1.1 di bawah ini.

Tabel 1.1

Kasus Impor Ilegal yang Menjadi Sorotan Masyarakat

No Kasus Kerugian Negara

1 Penyelundupan gula impor tahun 2003 sebanyak 560 ton asal Thailand.

100 Milyar lebih

2 Penyelundupan handphone asal Singapura sebanyak 2 kontainer.

11 Milyar lebih

3 Pemalsuan Dokumen Impor di Kawasan Berikat untuk tujuan ekspor.

7 Milyar lebih

Sumber : Data diolah dari berbagai sumber

Hal ini terjadi, tentunya tidak terlepas dari kurang baiknya kinerja pelayanan sehingga terjadi pemalsuan dokumen serta menimbulkan kerugian negara yang cukup besar. Beberapa hal yang dapat dicatat atas kasus pelayanan publik yang diberikan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tersebut adalah tentang masih adanya kasus uang


(18)

pelican, paternalisme dalam memberikan pelayanan serta ketidakpastian masalah waktu dan biaya pelayanan.

Berkaitan dengan penyelenggaraan kegiatan importasi untuk wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, Kantor Wilayah VI Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam hal ini menangani atau melayani salah satu bidang pelayanan publik yaitu kegiatan importasi. Dalam proses pelayanan itu, ternyata masih banyak muncul tuntutan dari berbagai kalangan agar pelayanan yang diberikan dapat merangsang daya saing industri dalam negeri. Tuntutan itu antara lain adalah peningkatan kelancaran arus barang impor, penyederhanaan proses birokrasi yang masih panjang, penghapusan pungutan liar yang menimbulkan biaya tinggi serta membantu meningkatkan daya saing industri dalam negeri, peningkatan pemberantasan penyelundupan dan pengoptimalan pemungutan bea masuk serta sosialisasi informasi yang cepat mengenai peraturan teknis sehingga dapat membantu terciptanya pelayanan yang transparan. Berikut ini data tentang jumlah pemberitahuan impor barang (PIB) di Kantor wilayah VI Direktorat jenderal Bea dan Cukai selama tahun 2005 :


(19)

Tabel 1.2

Jumlah PIB di Kanwil VI DJBC Semarang Tahun 2005

Pemberitahuam Impor Barang Jalur Hijau

No Periode Bulan

Elektronik % Manual %

Total

1 Januari-Maret 1977 23 537 21 2514

2 April-Juni 2107 24 591 23 2708

3 Juli-September 2204 26 622 24 2816

4 Oktober-Desember 2341 27 834 32 3175

Jumlah 8629 100 2584 100 11213

Sumber : Data diolah dari Bidang Verifikasi Tahun 2005

Tabel 1.2 menunjukkan bahwa dari kegiatan impor di Kantor Wilayah VI Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Semarang mengalami peningkatan dari triwulan I sampai triwulan IV. Dari tabel di atas dapat memberikan informasi bahwa setiap triwulan jumlah importasi baik manual maupun elektronik yang harus dilayani semakin meningkat.

Sedangkan impor jalur hijau sendiri merupakan kegiatan memasukkan barang dari luar negeri ke dalam negeri dengan proses yang cepat dimana barang impor dikeluarkan dahulu dari pelabuhan ke gudang importer setelah itu baru dilakukan pengurusan dokumen hard copy dan kelengkapannya ke Kantor Wilayah VI


(20)

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Semarang guna penelitian kelengkapan, validitas dan kebenaran pembayaran bea masuk.

Kemudian Meningkatnya jumlah dan volume impor jalur hijau, dimaksudkan agar mendukung kelancaran arus barang impor di pelabuhan, untuk menekan biaya sewa, serta meningkatkan daya saing industri dalam negeri karena diketahui bahwa banyak bahan baku yang berasal dari barang impor.

Sementara itu jumlah sarana dan prasarana pendukung pelayanan tetap atau tidak mengalami peningkatan, sehingga sering ditemuinya hambatan-hambatan dalam melaksanakan pelayanan serta kelancaran arus barang impor yang baik jumlah maupun volumenya semakin meningkat. Berikut ini data tentang jumlah sarana dan prasarana di Kantor Wilayah VI Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Semarang sampai tahun 2005 sebagai berikut :


(21)

Tabel 1.3 Sarana dan Prasarana Per 31 Desember 2005

NO

JENIS SARANA/

PRASARANA JUMLAH

TAHUN PEROLEHAN 1. Tanah Persil 58.974 m2 1960 s/d 1985 2. Bangunan Air Pasang Surut 2 buah 1972 s.d. 1995 3. INSTALASI

• Instalasi Pembangkit Listrik

• Isntalasi Gardu Listrik

10 buah 1 buah

1967 s.d. 2000 1986 4. BANGUNAN GEDUNG

• Bangunan Gedung Tempat Kerja

• Bangunan Gedung Tempat Tinggal

1 buah 102 buah

1985 s/d 1995 1950 s/d 1990

5. ALAT ANGKUTAN

• Alat Angkutan Darat Bermotor

• Alat Angkut Apung Bermotor

19 buah 1

1981 s/d 2000 1962 s/d 2000

6. Alat Ukur 6 buah 1985 s/d 2000

7. ALAT KANTOR DAN RUMAH TANGGA

• Komputer

• Alat Kantor lainnya

• Alat Rumah Tangga

23 buah 307 buah 1208 buah

1985 s/d 2000 1970 s/d 2000 1970 s/d 2000 8. Unit Alat laboratorium 9 buah 1980 s/d 2000 9. Barang-barang Kebudayaan 6 buah 1980 s/d 2000

10 Senjata api 19 buah 1960 s/d 2000

Sumber : Lakip 2005 KWBC VI Semarang

Dari sini kemudian timbul pertanyaan yaitu bagaimanakah kineja pelayanan dalam melayani dokumen impor khususnya jalur hijau serta upaya optimalisasi


(22)

pemungutan bea masuk di Kantor Wilayah VI Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Semarang?

Kemudian bagi sektor publik pelayanan kepada customer ini adalah pendekatan baru yang diadaptasi dari sektor private. Ada dua alasan yang menyebabkan mengapa sektor publik memalingkan diri ke arah service quality (Rahayu, 1996 : 7). Pertama, selama ini pelayanan sektor publik mendapat image yang buruk dari para pengguna jasa sektor publik. Era serqual mengajarkan untuk menghargai external constituencies, yaitu masyarakat yang dilayani. Kedua, mengingat tidak sedikit organisasi sektor publik yang bergerak pada profit oriented di samping non profit oriented. Kemudian penulis dalam melakukan analisa tentang kinerja pelayanan kepada customer, banyak menggunakan konsep – konsep tentang servqual yang dikemukakan oleh para ahli ilmu administrasi diantaranya Zeithaml-Parasuraman-Berry, Gaspersz, Morgan dan Murgatroyd, Carlson dan Schwarz serta Tjiptono dalam mengukur servqual untuk mengefektifkan tujuan pelayanan kepada publik.

Kesadaran perlunya pelayanan publik yang baik dan memuaskan sebenarnya telah tumbuh dari diri pemerintah sebelum era reformasi. Namun belum diikuti dengan pelaksanaan di instansi penyelenggara pelayanan publik untuk melakukan pelayanan seperti diharapkan. Semua itu menunjukkan betapa pentingnya penyelenggaraan pelayanan yang baik dan memuaskan diwujudkan dan menjadi perhatian utama pemerintah di era sekarang ini, era reformasi dan otonomi daerah. Agus Dwiyanto ( 2003 : 81 ) menyebut kinerja pelayanan publik menjadi salah satu


(23)

dimensi yang strategis dalam menilai keberhasilan pelaksanaan reformasi tata pemerintahan

Tahun 1993 ketika orde baru masih berkuasa telah keluar Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara nomor 81 tentang Pedoman Umum Tata Laksana Pelayanan Umum. Selanjutnya keluar lagi Instruksi Presiden nomor 1 tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah kepada Masyarakat. Pada tahun 2003, Kepmen PAN No. 81 tahun 1993 disempurnakan lagi dalam Kepmen PAN No. 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Tahun 2004 keluar lagi Kepmen PAN No. 25 Tahun 2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi pemerintah.

Apabila dikaji dimensi–dimensi pelayanan publik yang ada, di dalam Kepmen PAN No. 25 tahun 2004, ada 14 dimensi yang dianggap relevan, valid dan reliable yang dapat digunakan sebagai unsur minimal untuk dasar pengukuran keberhasilan kinerja pelayanan untuk mengetahui kinerja pelayanan yang diberikan dan kepuasan masyarakat sebagai pengguna jasa sebagai bagian dari dimensi–dimensi pelayanan publik secara keseluruhan. Artinya, dimensi–dimensi tersebut kemudian bisa dikembangkan dengan teori-teori administrasi tentang pelayanan yang dikemukakan para ahli administrasi di atas agar mendapatkan hasil pengukuran yang komprehensif dan mendekati kondisi yang sebenarnya. Tentunya harapan penulis, pengembangan dari 14 dimensi menjadi sub-sub dimensi menjadikan penelitian ini lebih mengarah ke kondisi yang sebenarnya serta hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai


(24)

masukan guna perbaikan kinerja pelayanan publik di Kantor Wilayah VI Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Semarang ke arah yang lebih baik sesuai dengan tuntutan perubahan. Hal ini penting dilakukan mengingat sudah saatnya pemerintahan yang baik mulai ditata.

Khusus mengenai pelayanan impor barang di wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, sejak tahun 2003 disusunlah Standar Pelayanan Minimal (SPM). Kantor Wilayah VI Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Semarang dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. SPM tersebut disusun berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No. KEP 07/BC/2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tatalaksana Kepabenan Di Bidang Impor yang merupakan tindak lanjut dari Kepment PAN No. 63/Kep/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.

SPM Kantor Wilayah VI Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Semarang tersebut memuat tentang “ prosedur, persyaratan waktu penyelesaian dan biaya “ pelayanan impor barang jalur hijau. Berikut uraian singkat tentang SPM Kantor Wilayah VI Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Semarang :

a. Prosedur

Prosedur pelayanan impor ini mengacu pada UU No.10 tentang Kepabeanan dan Peraturan No.19 tahun 2005 tentang Revisi Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No. KEP 07/BC/2003 . Sesuai peraturan tersebut, loket pelayanan jalur hijau dilaksanakan oleh Bidang Verifikasi Kantor Wilayah VI Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.


(25)

b. Persyaratan

Persyaratan untuk pelayanan impor jalur hijau telah tercantum dalam SPM Kantor Wilayah VI Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Cukai sesuai dengan jenis pelayanan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Artinya, persyaratan untuk mengurus impor jalur hijau bagi masyarakat sebenarnya sudah jelas, sehingga ada kejelasan mengenai syarat apa yang dibutuhkan untuk mengurus pengeluaran barang impor. Selain itu, masyarakat dapat bertanya ke Bidang Verifikasi Kantor Wilayah VI Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Cukai untuk informasi mengenai persyaratan yang dibutuhkan.

c. Waktu Penyelesaian

Waktu penyelesaian impor jalur hijau seperti termuat dalam SPM Kantor Wilayah VI Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Cukai, mulai dari 3 hari ( penyerahan hard copy pemberitahuan impor barang ) sampai dengan 1 bulan (penelitian dokumen oleh pejabat pemeriksa dokumen).

d. Biaya

Biaya untuk pengurusan impor jalur hijau manual sebesar Rp. 50.000,- sedangkan secara elektronik sebesar Rp. 100.000,-.

Secara mendasar, maksud dengan diterbitkannya SPM pada Kantor Wilayah VI Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Semarang adalah untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik. Apapun hasil dari penelitian ini nantinya, Apakah kinerja pelayanan publik Kantor Wilayah VI Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Semarang ternyata bagus atau sebaliknya, yang menjadi perhatian adalah bagaimana usaha


(26)

memperbaiki atau terus meningkatkan kinerja pelayanan publik instansi pemerintah, khususnya Kantor Wilayah VI Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Semarang dalam kerangka memenuhi tuntutan untuk mewujudkan good governance.

B. Identifikasi dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian sebelumnya ada beberapa hal yang menyebabkan mengapa masalah kinerja pelayanan publik Kantor Wilayah VI Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Semarang menjadi menarik untuk diteliti. Beberapa alasan tersebut antara lain :

a. Kuatnya keinginan Pemerintah untuk memberikan pelayanan yang baik kepada publik/masyarakat seiring dengan berkembangnya era servqual. Tetapi ditingkat implementasi masih terdapat banyak kelemahan–kelemahan untuk mewujudkan keinginan tersebut.

b. Penting dan strategisnya masalah importasi, karena seringkali menimbulkan efek/dampak ekonomis bagi masyarakat. Tetapi di sisi lain, gaung kurang memuaskannya pelayanan di bidang ini masih terdengar.

2. Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

a. Bagaimana kinerja pelayanan publik yang diberikan Kantor Wilayah VI Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Semarang kepada publik / masyarakat ?


(27)

b. Sejauh mana tingkat kepuasan pelanggan terhadap kinerja pelayanan publik Kantor Wilayah VI Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Semarang ditinjau dari tingkat kesesuaian antara pelayanan yang diterima dengan pelayanan yang diharapkan ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengukur kinerja pelayanan publik instansi pemerintah dalam hal ini kinerja pelayanan yang diberikan Kantor Wilayah VI Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Semarang kepada publik / masyarakat.

2. Mengetahui dan menganalisis sampai sejauh mana tingkat kepuasan pelanggan ditinjau dari kesesuaian antara tingkat kepentingan dan kinerja pelayanan publik yang telah diberikan oleh Kantor Wilayah VI Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Semarang menurut perspektif pelanggan yang dilayani.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian tentang kinerja pelayanan pada instansi pemerintah ini diharapkan dapat bermanfaat antara lain :

1. Diketahui kinerja pelayanan instansi pemerintah, khususnya Kantor Wilayah VI Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Semarang. Pada tahap ini dapat diketahui kekurangan dan kelebihan kinerja pelayanan publik


(28)

instansi pemerintah, khususnya Kantor Wilayah VI Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Semarang.

2. Diketahuinya faktor-faktor atau dimensi-dimensi yang merupakan prestasi pelayanan instans pemerintah, khususnya Kantor Wilayah VI Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Semarang dan faktor-faktor yang merupakan kekurangan dari pelayanan publik tersebut. Hal ini diharapakan bisa dijadikan bahan masukan ke depan bagi instansi pemerintah agar dapat lebih meningkatkan kinerja pelayanannya kepada publik/masyarakat. 3. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberi kontribusi bagi kajian di

bidang administrasi publik, khususnya pelayanan kepada publik. Selanjutnya penelitian ini dapat dijadikan dasar bagi penelitian selanjutnya.


(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

Kepemerintahan yang baik (good governance) merupakan issue yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini. Tuntutan gencar yang dilakukan oleh masyarakat kepada pemerintah untuk melaksanakan peyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah sejalan dengan meningkatnya tingkat pengetahuan masyarakat, disamping adanya pengaruh globalisasi. Pola-pola lama penyelenggaraan pemerintah tidak sesuai lagi bagi tuntutan itu merupakan hal yang wajar dan sudah seharusnya direspon oleh pemerintah dengan melakukan perubahan-perubahan yang terarah pada terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang baik.

Good governance berorientasi pada pertama, orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional; kedua, pemerintahan yang berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif dan efisien dalam melakukan upaya mencapai tujuan nasional. Orientasi pertama mengacu pada demokrasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen-elemen konstituennya seperti : legitimacy apakah pemerintah dipilih dan mendapat kepercayaan dari rakyatnya, accountability (akuntabilitas), securing of human rights, autonomy and devolution of power, dan assurance of civilian control. Sedangkan orientasi kedua, tergantung pada sejauh mana pemerintahan mempunyai kompetensi, dan sejauh mana struktur serta mekanisme politik serta administrasi berfungsi secara efektif dan efisien.


(30)

World Bank mensinonimkan good governance dengan penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien, mengoptimalkan salah alokasi dana investasi yang langka, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political frameworks bagi tumbuhnya aktivitas kepariwisataan. Sedangkan UNDP sendiri memberikan definisi good governance sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara negara, sektor swasta dan masyarakat (society). Berdasarkan hal ini UNDP dalam Ismail Mohammad Dkk, 2000; kemudian mengajukan karakteristik good governance, sebagai berikut :

a. Participation. Setiap warga mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi instusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruksi.

b. Rule of law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk hak azasi manusia.

c. Transparency. Transparasi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses-proses, lembaga-lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitor. d. Responsiveness. Lembaga-lembaga dan proses-proses harus mencoba untuk


(31)

e. Consensus orientation. Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas baik dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur.

f. Equity. Semua warga negara, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.

g. Effetiveness and efficiency. Proses-proses dan lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin.

h. Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada publik dan lembaga-lembaga stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.

i. Strategic vision. Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini.

Berdasarkan karakterisrik-karasteristik di atas, maka dapat disimpulkan bahwa wujud good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga kesinergisan interaksi yang konstruktif diantara domain-domain negara, sektor swasta dan masyarakat (society). Oleh karena good governance meliputi juga upaya melakukan penyempurnaan pada sistem administrasi negara yang berlaku pada suatu negara


(32)

secara menyeluruh. Kemudian dari aspek pemerintah (government), good governance dapat dilihat melalui aspek-aspek :

1. Hukum / kebijakan. Hukum / kebijakan ditujukan pada perlindungan kebebasan sosial, politik dan ekonomi.

2. Administratif competence and transparency. Kemampuan membuat perencanaan dan melakukan penyederhanaan organisasi, penciptaan disiplin dan model administratif, keterbukaan dan informasi.

3. Desentralisasi. Desentralisasi regional dan dekonsentrasi di dalam departemen. 4. Penciptaan pasar yang kompetitif. Penyempurnaan mekanisme pasar, peningkatan

peran pengusaha kecil dan segmen lain dalam sektor swasta, deregulasi dan kemampuan pemerintah dalam mengelola kebijakan makro ekonomi.

Dari hal-hal yang dikemukakan di atas, maka dapat diketahui bahwa betapa pentingnya kinerja pelayanan publik yang baik dan memuaskan dan menjadi perhatian utama pemerintah di era sekarang ini. Hal senada juga di kemukakan oleh Agus Dwiyanto (2003 : 81) yang menyebutkan kinerja pelayanan publik menjadi salah satu dimensi yang strategis dalam menilai keberhasilan pelaksanaan reformasi tata pemerintahan. Semakin tinggi kepedulian pemerintah terhadap tata pemerintahan yang baik (good overnance), maka kinerja pelayanan publik akan menjadi semakin baik.

1. Pengertian Kinerja dan Pengukuran Kinerja

Istilah kinerja (performance) dapat diartikan sebagai tingkat pencapaian hasil atau “ the degree of accomplishment “, atau dengan kata lain kinerja merupakan


(33)

tingkat pencapaian tujuan organisasi. Semakin tinggi kinerja organisasi, semakin tinggi tingkat pencapaian tujuan organisasi ( Keban dalam Tangkilisan : 2003).

Berhubungan dengan penelitian ini, kinerja atau tingkat pencapaian hasil atau tujuan organisasi yang dimaksud adalah tingkat pencapaian hasil (kinerja) pelayanan publik yang dilakukan oleh instansi pemerintah dalam hal ini Kantor Wilayah VI Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Semarang. Tentu saja harus dilakukan suatu pengamatan yang mendalam atau penelitian untuk mengetahui atau mengukur kinerja suatu organisasi. Salah satu maksud diadakannya penelitian ini adalah untuk mengukur kinerja pelayanan publik Kantor Wilayah VI Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Semarang tersebut.

Pengukuran kinerja pelayanan publik instansi pemerintah, khususnya Kantor Wilayah VI Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Semarang, dimaksudkan untuk pertama mengetahui seberapa tinggi kinerja pelayanan publik Kantor Wilayah VI Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Semarang. Selanjutnya, dengan mengetahui tingkatan kinerja tersebut kemudian bisa dilakukan hal-hal lainnya. Seperti diungkapkan oleh Gerson, manfaat utama dari program pengukuran adalah tersedianya umpan balik yang segera, berarti dan obyektif bagi organisasi yang bersangkutan (Gerson:2002 : 30).

Secara spesifik, manfaat pengukuran ini adalah (Gerson, 2002 : 33):

1. Pengukuran menyebabkan orang memiliki rasa berhasil dan berprestasi, yang kemudian diterjemahkannya menjadi pelayanan yang prima kepada pelanggan.


(34)

2. Pengukuran bisa dijadikan dasar menentukan standar kinerja dan standar prestasi yang harus dicapai, yang akan mengarahkan mereka menuju mutu yang semakin baik dan kepuasan pelanggan yang meningkat.

3. Pengukuran memberikan umpan balik segera kepada pelaksana, terutama bila pelanggan sendiri yang mengukur kinerja pelaksana atau perusahaan yang memberi pelayanan.

4. Pengukuran memberitahu anda apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki mutu dan kepuasan pelanggan serta bagaimana harus melakukannya. Informasi ini juga bisa datang langsung dari pelanggan.

5. Pengukuran memotivasi orang untuk melakukan dan mencapai tingkat produktifitas yang lebih tinggi.

Selanjutnya, apabila kinerja pelayanan dikaitkan dengan harapan (expectation) dan kepuasan (satisfaction) (Zeithaml-Parasuaman-Berry:1994, Lovelock:1993, Barata:2002, Lukman:1999), maka dapat diilustrasikan sebagai berikut :

a. Kinerja <Harapan (Performance<Expectation)

Apabila kinerja pelayanan menunjukkan keadaan di bawah harapan pelanggan dianggap tidak memuaskan dan pelanggan akan merasa kecewa.

b. Kinerja = Harapan (Performance = Expectation)

Apabila kinerja pelayanan menunjukkan sama atau sesuai dengan yang diharapkan pelanggan, maka pelayanan dianggap memuaskan walaupun tingkat kepuasannya adalah minimal.


(35)

c. Kinerja > harapan (Performance > Harapan)

Apabila kinerja pelayanan menunjukkan lebih dari yang diharapkan pelanggan, maka pelayanan dianggap istimewa atau sangat memuaskan dan pelanggan akan merasa senang, gembira, atau sering juga disebut sebagai Service Excellent.

2. Kualitas Pelayanan ( Service Quality)

Kualitas (quality) menurut Montgomery ( dalam Supranto : 2001) adalah “the extent to which products meet the requirements of people who use them “. Jadi suatu produk (apakah itu bentuknya barang atau jasa) dikatakan bermutu bagi seseorang kalau produk tersebut dapat memenuhi kebutuhannya.

Kemudian pelayanannya ( service ) oleh banyak penulis tentang kualitas pelayanan mendefisikan pelayanan sebagai suatu perbuatan (deed). Suatu kinerja (performance) atau suatu usaha ( effort ) ( Warella, 1997:18).

Sementara itu menurut Zeithaml, dkk dan Haywood Farmer ( dalam Warella, 1997:17), ada tiga karakteristik utama tentang pelayanan yaitu tentang intangibility, heterogeneity dan inseparability. Intangibility berarti bahwa pelayanan pada dasarnya bersifat performance dan hasil pengalaman dan bukannya obyek. Kebanyakan pelayanan tidak dapat dihitung, diukur, diraba atau dites sebelum disampaikan untuk menjamin kualitas. Berbeda dengan barang yang dihasilkan oleh suatu pabrik yang dapat dites kualitasnya sebelum disampaikan pada pelanggan.

Heterogeinity berarti pemakai jasa atau klien atau pelanggan memiliki kebutuhan yang sangat heterogen. Pelanggan dengan pelayanan yang sama mungkin


(36)

mempunyai prioritas berbeda. Demikian pula performance sering bervariasi dari satu produser ke produser lainnya bahkan dari waktu ke waktu.

Inseparability berarti bahwa produksi dan konsumsi suatu pelayanan tidak terpisahkan. Konsekuensinya di dalam industri pelayanan kualitas tidak direkayasa ke dalam produksi di sektor pabrik dan kemudian disampaikan kepada pelanggan. Kualitas terjadi selama penyampaian pelayanan, bisaanya selama interaksi antara klien dan penyedia jasa.

Selanjutnya menurut Gaspersz (1997 : 2) yang mengatakan bahwa beberapa dimensi atau atribut yang harus diperhatikan dalam perbaikan kualitas pelayanan antara lain :

1. Ketepatan waktu pelayanan. Hal-hal yang perlu diperhatikan disini berkaitan dengan waktu tunggu dan waktu proses.

2. Akurasi pelayanan. Berkaitan dengan reliabilitas pelayanan dan bebas dari kesalahan-kesalahan.

3. Kesopanan dan keramahan di dalam memberikan pelayanan. Ini terutama bagi mereka yang berinteraksi langsung dengan pelanggan eksternal.

4. Tanggung jawab. Berkaitan dengan penerimaan pelayanan dan penanganan keluhan dari pelanggan eksternal.

5. Kelengkapan. Menyangkut lingkup pelayanan dan ketersediaan sarana pendukung serta pelayanan kontemporer lainnya.

6. Kemudahan mendapatkan pelayanan. Berkaitan dengan kejelasan dan kemudahan petugas yang melayani.

7. Variasi model pelayanan. Berkaitan dengan inovasi untuk memberikan pola-pola baru pelayanan.

8. Pelayanan pribadi. Berkaitan dengan fleksibilitas, penanganan permintaan khusus dan lain-lain.

9. Kenyamanan dalam memperoleh pelayanan. Berkaitan dengan lokasi, ruang dan tempat pelayanan, kemudahan menjangkau, ketersediaan informasi, dan lain-lain. 10.Atribut pendukung pelayanan lainnya. Berkaitan dengan lingkungan, kebersihan,


(37)

Apabila aparatur pelayanan berkeinginan menciptakan kepuasan total pelanggan, maka dimensi-dimensi di atas sangat penting untuk diperhatikan selain penetapan biaya yang harus jelas dan transparan.

Kemudian menurut Moenir (2000 : 98) mengatakan bahwa faktor penting yang sangat menentukan baik buruknya penyelenggaraan pelayanan publik adalah faktor organisasi yang terdiri dari sistem, prosedur dan metode yang berfungsi sebagai tata cara atau tata kerja agar pelaksanaan pelayanan dapat berjalan lancar. Selanjutnya Stoner (1986 : 18) mengatakan prosedur adalah program yang telah teruji untuk menyempurnakan metode kerja agar mendapat suatu cara yang lebih baik, mendapat pekerjaan yang lebih baik dengan sedikit usaha atau waktu. Kemudian menurut Soedjadi (1995 : 15), prosedur adalah sebagai suatu cara atau pola pelaksanaan tugas yang seefisien mungkin dengan melihat segi-segi tujuan, tenaga kerja, biaya, fasilitas, peralatan, waktu dan ruang. Selanjutnya LAN RI (1997 : 136) memberikan pengertian prosedur sebagai rangkaian yang berkaitan satu sama lain sehingga menunjukkan adanya urutan tahap demi tahap secara jelas dan pasti serta jalan yang ditempuh dalam penyelesaian suatu pekerjaan. Sedangkan Siagian (1992 : 229) mengatakan bahwa prosedur adalah merupakan suatu kebutuhan nyata dan berperan penting dalam kehidupan organisasi karena peranannya sebagai peraturan permainan yang disepakati oleh semua anggota dan ditaati.

Keuntungan dari adanya prosedur menurut Moekijat (1998 : 113) antara lain adalah memberikan urutan dan cara pekerjaan, mengakibatkan penghematan dalam biaya pelaksanaan, keseragaman tindakan serta dapat menyelesaikan pekerjaan tepat


(38)

waktu dan dalam bentuk yang baik. Menurut penulis secara sederhana prosedur dapat diartikan sebagai urut-urutan dalam tata cara pelaksanaan pekerjaan agar dapat diselesaikan pekerjaan tersebut secara efisien dan tepat waktu. Jadi dapat disimpulkan bahwa prosedur adalah rangkaian urutan tata kerja yang ditetapkan dalam rangka melaksanakan tugas dengan menggunakan metode kerja yang terencana, jelas dan mudah dipahami dengan maksud untuk mengefisienkan tenaga, waktu, biaya, pikiran, ruang serta benda

Beberapa penulis mengatakan sesungguhnya banyak faktor yang menentukan baik buruknya kualitas pelayanan. Moenir (2000 : 88-162) mengatakan bahwa faktor-faktor tersebut meliputi faktor-faktor kesadaran selaku petugas pelayanan, faktor-faktor aturan, faktor wewenang, faktor organisasi termasuk didalamnya sistem dan prosedur, faktor kemampuan dan keterampilan kerja, faktor sarana pelayanan serta faktor pendapatan. Sejalan dengan Moenir di atas, The Liang Gie dan Budi Ibrahim (dalam suwarsono, 1999 : 17) juga mengatakan bahwa faktor kemampuan merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi kualitas pelayanan disamping faktor lainnya seperti faktor motivasi kerja, struktur, misi organisasi, praktek manajemen, prosedur, budaya perubahan, kinerja individu, iklim organisasi, kepemimpinan dan lingkungan eksternal

Selanjutnya masyarakat sebagai pelanggan dari pelayanan publik akan menilai kualitas pelayanan publik berdasarkan persepsi mereka menurut 10 (sepuluh) kriteria persepsi pelanggan seperti yang dikemukakan oleh Morgan dan Murgatroyd (1994) dalam Warella (1997 : 18) sebagai berikut :


(39)

a. Reliability, yaitu kemampuan untuk melaksanakan pelayanan yang telah dijanjikan dengan tepat waktu.

b. Responsiveness, yaitu kesediaan untuk membantu pelanggan dengan menyediakan pelayanan yang cocok seperti yang mereka inginkan.

c. Competence, yaitu menyangkut pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk melaksanakan pelayanan.

d. Access, yaitu kemudahan untuk mengontak dengan lembaga penyedia jasa.

e. Courtessy, yaitu sikap sopan, menghargai orang lain, penuh pertimbangan dan penuh persahabatan.

f. Communication, yaitu selalu memberikan informasi yang tepat kepada pelanggan dalam bahasa yang mereka pahami, mau mendengarkan mereka yang berarti menjelaskan tentang pelayanan, kemungkinan pilihan, biaya, jaminan pada pelanggan bahwa masalah mereka akan ditangani.

g. Credibility, yaitu dapat dipercaya, jujur, dan mengutamakan kepentingan pelanggan.

h. Security, yaitu bebas dari resiko, bahaya dan keragu-raguan.

i. Understanding the customer, yaitu berusaha mengenal dan memahami kebutuhan pelanggan dan menaruh perhatian pada mereka secara individu.

j. Appearance presentation, yaitu penampilan fasilitas fisik, penampilan personil dan peralatan yang digunakan.

( dalam Warella, 1997 : 18)

Kemudian mengetahui seberapa tinggi kualitas pelayanan yang diberikan oleh suatu organisasi penting karena seperti diungkapkan sebelumnya dapat memberikan manfaat bagi organisasi yang bersangkutan. Kalau ini dilakukan paling tidak organisasi atau instansi yang bersangkutan sudah punya “concern” pada pelanggannya. Pada akhirnya, bisa jadi berusaha maksimal untuk memenuhi kepuasan pelanggan yang dilayani.

Kualitas pelayanan yang diberikan oleh suatu organisasi atau instansi bisa ditinjau dari dua sudut, yaitu kualitas pelayanan ditinjau dari sudut internal organisasi dan kualitas pelayanan ditinjau dari sudut eksternal organisasi. Ditinjau dari dua sudut ini mana yang lebih utama atau lebih didahulukan dalam upaya mencapai kinerja pelayanan yang tinggi (prima) juga perlu mendapat perhatian.


(40)

Pelayanan berkualitas atau pelayanan prima yang berorientasi pada pelanggan sangat tergantung pada kepuasan pelanggan. Lukman (1999) menyebut salah satu ukuran keberhasilan menyajikan pelayanan yang dilayani. Pendapat tersebut artinya merujuk kepada pelayanan eksternal, dari perspektif pelanggan, lebih utama atau lebih didahulukan apabila ingin mencapai kineja pelayanan yang tinggi.

Sementara itu Gerson (2002:55) menyatakan pengukuran kualitas internal memang penting. Tetapi semua itu tidak ada artinya jika pelanggan tidak puas dengan yang diberikan. Untuk membuat pengukuran kualitas lebih berarti dan sesuai, “tanyakan” kepada pelanggan apa yang mereka inginkan, yang bisa memuaskan mereka.

Pendapat tersebut dengan kata lain bisa diartikan bahwa kedua sudut pandang tentang pelayanan itu penting, karena bagaimanapun pelayanan internal adalah langkah awal dilakukannya suatu pelayanan. Akan tetapi pelayanan tersebut harus sesuai dengan keinginan pelanggan yang dilayani. Artinya, bagaimanapun upaya untuk memperbaiki kinerja internal harus mengarah atau merujuk pada apa yang diinginkan pelanggan (eksternal).

Kalau tidak demikian bagaimanapun performa suatu organisasi, tetapi tidak sesuai dengan keinginan pelanggan atau tidak memuaskan, citra kinerja organisasi tersebut akan dinilai tetap tidak bagus. Oleh karena itu pertama-tama penting untuk mengetahui kualias pelayanan dari perspektif pelanggan, selain agar organisasi tersebut survive juga agar kinerjanya dapat lebih ditingkatkan lagi.


(41)

Sudah banyak model tentang kualitas pelayanan ( service quality) yang dikemukakan. Serqual ini asal mulanya adalah dari dunia bisnis, walaupun kemudian tidak sedikit adopsi untuk orgaisasi publik. Walaupun konsep tentang service quality (serqual) yang dikemukakan para ahli tersebut secara universal tidak seragam, tetapi semua itu dapat menambah pemahaman kita secara mendalam tentang servqual tersebut.

Salah satu teori tentang servqual yang banyak dikenal adalah servqual yang dikemukakan oleh Zeithaml-Parasuraman-Berry. Ada juga yang dikemukakan khusus untuk organisasi publik (pemerintah), yang disebut servqual for citizen. Dan tentu saja ada juga kualitas pelayanan yang dikembangkan oleh pemerintah untuk instansi pemerintah.

Semua servqual yang disebut itu selanjutnya akan dikemukakan satu persatu dalam rangka menggabungkan dimensi-dimensi yang ada untuk kepentingan penelitian ini. Artinya, di dalam penelitian yang dilakukan penulis nanti, dimensi-dimensi yang dikembangkan untuk mengukur kinerja pelayanan publik Kanwil VI DJBC Semarang adalah dimensi baru yang merupakan gabungan antara servqual, servqual for citizen dan kualitas pelayanan publik instansi pemerintah.

2.1. Servqual oleh Zeithaml, Parasuraman dan Berry

Menurut Zeithaml dkk, keputusan seseorang konsumen untuk mengkonsumsi atau tidak mengkonsumsi suatu barang atau jasa dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain adalah persepsinya terhadap kualitas pelayanan. Dengan kata lain, baik buruknya kualitas pelayanan yang diberikan oleh provider tergantung dari persepsi konsumen


(42)

atas pelayanan yang diberikan. Pernyataan ini menunjukkan adanya interaksi yang kuat antara “kepuasan konsumen” dengan “ kualitas pelayanan “.

Zeithaml, Parasuraman dan Berry dalam bukunya “Delivering Quality Service Balancing Customer Perceptions and Expectetions” (1990) menyebutkan bahwa kualitas pelayanan yang baik adalah pertemuan atau melebihi apa yang diharapkan konsumen dari pelayanan yang diberikan. Tinggi rendahnya kualitas pelayanan tergantung pada kinerja yang diberikan dalam konteks apa yang mereka harapkan. Berdasarkan persepsi konsumen, servqual dapat didefinisikan sebagai tingkat kesenjangan antara harapan-harapan atau keinginan-keinginan konsumen dengan kenyataan yang mereka alami (Zeithaml, et.al,1990:19).

Disebutkan selanjutnya bahwa harapan konsumen terhadap kualitas pelayanan sangat dipengaruhi oleh informasi yang diperolehnya dari mulut ke mulut, kebutuhan-kebutuhan konsumen itu sendiri, pengalaman masa lalu dalam mengkonsumsi suatu produk, dan komunikasi eksternal melalui media.

Menurut Zeithaml-Parasuraman-Berry untuk mengetahui kualitas pelayanan yang dirasakan secara nyata oleh konsumen, ada indikator ukuran kepuasan konsumen yang terletak pada 5 dimensi kualitas pelayanan menurut apa yang dikatakan konsumen. Kelima dimensi servqual itu mencakup beberapa sub dimensi sebagai berikut :

1. Tangibles (kualitas pelayanan yang berupa sarana fisik perkantoran, komputerisasi administrasi, ruang tunggu dan tempat informasi). Dimensi ini berkaitan dengan kemodernan peralatan yang digunakan, daya tarik fasilitas yang


(43)

digunakan, kerapian petugas serta kelengkapan peralatan penunjang (pamlet atau flow chart).

2. Reliability (kemampuan dan keandalan untuk menyediakan pelayanan yang terpercaya). Dimensi berkaitan dengan janji menyelesaikan sesuatu seperti diinginkan, penanganan keluhan konsumen, kinerja pelayanan yang tepat, menyediakan pelayanan sesuai waktu yang dijanjikan serta tuntutan pada kesalahan pencatatan.

3. Responsiveness (kesanggupan untuk membantu dan menyediakan pelayanan secara cepat dan tepat, serta tanggap terhadap keinginan konsumen). Dimensi responsiveness mencakup antara lain : pemberitahuan petugas kepada konsumen tentang pelayanan yang diberikan, pemberian pelayanan dengan cepat, kesediaan petugas memberi bantuan kepada konsumen serta petugas tidak pernah merasa sibuk untuk melayani permintaan konsumen.

4. Assurance (kemampuan dan keramahan serta sopan sanun pegawai dalam meyakinkan kepercayaan konsumen). Dimensi assurance berkaitan dengan perilaku petugas yang tetap percaya diri pada konsumen, perasaan aman konsumen dan kemampuan (ilmu pengetahuan) petugas untuk menjawab pertanyaan konsumen.

5. Emphaty (sikap tegas tetapi penuh perhatian dari pegawai terhadap konsumen). Dimensi emphaty memuat antara lain : pemberian perhatian individual kepada konsumen, ketepatan waktu pelayanan bagi semua konsumen, peusahaan memiliki petugas yang memberikan perhatian khusus pada konsumen, pelayanan


(44)

yang melekat di hati konsumen dan petugas yang memahami kebutuhan spesifik dari pelanggannya.

Apabila digambarkan penilaian konsumen pada kualitas pelayanan (servqual) adalah sebagai berikut :

Gambar 2.1

Penilaian Kualitas Pelayanan Menurut Konsumen

Sumber : Zeithaml, dkk (1990 : 23)

Servqual atau kualitas pelayanan mengkaitkan dua dimensi sekaligus, yaitu satu pihak penilaian servqual pada dimensi konsumen ( customer ). Sedangkan di pihak lain juga dapat dilakukan pada dimensi provider atau secara lebih dekat lagi adalah terletak pada kemampuan kualitas pelayanan yang diberikan oleh “ orang-orang yang melayani “ dari tingkat manajerial sampai ke tingkat front line service.

Dari mulut ke mulut

Kebutuhan individu

Pengalaman masa lalu

Komunikasi eksternal

5 Dimensi Kualitas Pelayanan Tangibles Reliability Responsiveness Assurance Emphaty

Harapan konsumen terhadap pelayanan

Kenyataan pelayanan yang dirasakan oleh knsumen

Kualitas pelayanan

yang dinilai oleh


(45)

Kedua dimensi tersebut dapat saja terjadi kesenjangan atau gap antara harapan-harapan dan kenyataan-kenyataan yang dirasakan konsumen dengan persepsi manajemen terhadap harapan-harapan konsumen tersebut. Hasil penelitian Zeithaml, dkk menggambarkan adanya 4 kesenjangan atau gap tersebut.

Gap 1 disebut juga “ketidaktahuan tentang apa yang konsumen harapkan” (not knowing what customers expect). Gap ini terjadi pada dimensi konsumen dengan dimensi manajemen tingkat atas. Faktor-faktor kunci yang menjadi penyebab adalah : 1) Perusahaan atau organisasi kurang orientasi pada riset pasar atau kurang menggunakan temuan-temuan riset yang berfungsi untuk pengambilan keputusan tentang keinginan ataupun keluhan konsumen, 2) Ketidakcukupan komunikasi ke atas, yaitu arus informasi yang menghubungkan pelayanan di tingkat front line service dengan kemauan di tingkat atas (misscommunication), 3) terlalu banyaknya tingkatan atau hierarki manajemen.

Gap 2 disebut sebagai “ kesalahan standarisasi kualitas pelayanan “ (the wrong quality service standars). Faktor-faktor kunci yang menjadi penyebab pada gap ini adalah: 1) komitmen pada manajemen belum memadai terhadap kualitas pelayanan, 2) Persepsi mengenai ketidaklayakan, 3) Tidak adanya standarisasi tugas, 4) Tidak terdapatnya penentuan tujuan.

Gap 3 disebut sebagai kesenjangan kinerja pelayanan (the service performance gap). Tidak terdapatnya spesifikasi atau suatu citra pelayanan yang khas pada suatu organisasi akan menyebabkan kesenjangan pada penyampaian pelayanan pada konsumen. Faktor kunci yang menjadi penyebab utama antara lain : 1) Ketidakjelasan


(46)

peran (role ambiguity) atau kecenderungan yang menimpa pegawai pemberi pelayanan terhadap kondisi bimbang dalam memberikan pelayanan karena tidak terdapatnya kepastian/standarisasi tugas-tugas mereka, 2) Konflik peran (role conflict), kecenderungan pegawai merasa tidak memiliki kemampuan untuk memuaskan pelanggan, 3) Ketidakcocokkan antara pegawai dengan tugas yang dikerjakan, 4) Ketidakcocokkan antara teknologi dengan tugas yang dikerjakan, 5) Ketidakcocokkan system pengendalian atasan, 6) Kekurangan pengawasan, dan 7) Kekurangan kerja tim.

Gap 4 disebut sebagai Ketidaksesuaian antara janji yang diberikan dengan pelayanan yang diberikan (when promises do not macth delivery). Faktor-faktor kunci yang berperan sebagai penyebab gap ini adalah : 1) Tidak memadainya komunikasi horizontal, 2) Kecenderungan memberikan janji kepada konsumen secara berlebihan (muluk-muluk).

Secara keseluruhan gap atau kesenjangan pada kedua dimensi (customer dan provider) digambarkan dalam skema sebagai berikut :


(47)

Gambar 2.2

Conceptual Model Of Service Quality

Sumber : Zeithaml, dkk (1990 : 46)

Personal Needs Past Experience Word of Mouth

Communications

Expected Service

Perceived Service

Service Delivery

Service Quality Specifications

Management Perceptions of Customer Expectations

External Communication

to Customer

CUSTOMER

PROVIDER

Gap 1

Gap 3

Gap 2 Gap 5


(48)

Mengapa publik dari sektor pelayanan publik instansi pemerintah juga harus dipuaskan layaknya sektor privat agar kinerjanya bagus? Barata (2002:16) menyebut kalau itu yang ditanyakan jawabannya bisa karena konsumen (publik) harus dipuaskan untuk memberikan andil dalam rangka mensejahterakan rakyat sebagai mana diamanatkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Atau harus memuaskan publik karena mereka telah membayar pajak atau karena masyarakat adalah warga negara yang berhak atas pelayanan tertentu dari pemerintah.

Karena masyarakat adalah “warga negara “ yang berhak atas pelayanan tertentu dari pemerintah seperti dikemukakan Barata tersebut tampaknya sejalan dengan paradigma baru dalam administrasi publik yaitu the new public service (NPS) yang dikemukakan oleh Denhardi (2003).

2.2 Servqual for Citizen (New Public Service)

The New Public Service adalah paradigma baru dalam administrasi publik yang berkaitan dengan pelayanan kepada publik. Denhardi (2003) dalam bukunya yang berjudul “The New Public Sevice:Serving,not Steering”,pada halaman pendahuluan menyatakan NPS lebih diarahkan pada democracy, pride and citizen daripada market , competition, and customer seperti pada sektor privat.Beliau menyatakan “Public servants do not deliver customer service, they deliver democracy”. Oleh sebab itu, nilai-nilai demokrasi, kewarganegaraan dan pelayanan untuk kepentingan publik sebagai norma mendasar dalam lapangan administrasi publik.

Denhardi (2003:60) menyebut kalitas pelayanan (servqual) dalam NPS adalah servqual “for citizen”. Beliau menyebut:


(49)

The New Public Service recognizes that those who interact with government are not simply customer but rather citizen…….Citizen are described a bearers of right and duties within contxt of wider community. Customer are different in that do not share common purpose but rather seek to optimize their own indivual benefits”

NPS memberi pengetahuan bahwa pemerintah bergerak bukan layaknya bisnis, tapi sebagai sebuah demokrasi. Aparatur pelayanan publik bertindak atas dasar prinsip-prinsip tersebut dan memperbaharui komitmen dalam mengekspresikan prinsip-prinsip dalam kepentingan publik, proses pemerintahan dan mencurahkannya dalam prinsip kewarganegaraan yang demokratis.

Sebagai akibat dari hal tersebut, aparatur pelayan publik akan belajar keahlian-keahlian baru dalam pelaksanaan kebijakan pembangunan, menyadari dan menerima betapa kompleksnya tantangan yang mereka hadapi dan memperlakukan anggota para pelayanan publik dan warga negara dengan rasa hormat dan harga diri mereka. Para administrator menyadari bahwa mereka harus banyak “mendengar “ publik daripada “memberitahu“ dan “melayani “ daripada “mengendalikan “. Warga negara dan para pejabat publik bekerja bersama menetapkan dan mengarahkan masalah bersama dalam kerjasama yang saling menguntungkan. Inilah yang dikatakan Denhardt sebagai perilaku dan keterlibatan baru dalam pergerakan administrasi publik yang disebutnya sebagai the new public service.

Pengertian dari Denhardt tentang bahwasanya aparatur pelayan publik harus banyak “mendengar“ daripada “memberitahu“ dan “melayani“ daripada “menyetir/mengendalikan“ tersebut bisa juga dipahami bahwa walaupun New Public


(50)

Service orientasinya warga negara bukan pelanggan, tetapi “keinginan “ warga juga masih menjadi perhatian sebagaimana layaknya pelanggan dalam dunia privat itu tersirat dari kata bahwa aparatur pelayan publik harusnya banyak “ mendengar “ (listening) dan “melayani “ (serving) daripada “ memberitahu “ (telling) dan “mengendalikan “ (steering). Lebih dari itu, ide pokok dari the new public service mengemukakan bahwa pelayanan publik tidak hanya memuaskan pelanggan, tetapi lebih fokus pada membangun hubungan kepercayaan dan kolaborasi dengan dan antara warga (citizen).

Kalau di dalam New Public Management (NPM), pelayanan publik kepada warga (citizen) lebih menggunakan mekanisme pasar dengan orientasi sebagai pelanggan (customer), yang seharusnya dipuaskan, maka Denhardt dalam The New Public Service memuat ide pokok sebagai berikut :

1. Serve citizen Not Customer

Kepentingan publik adalah hasil dari sebuah dialog tentang pembagian tentang pembagian nilai daripada kumpulan dari kepentingan individu. Oleh karena itu, aparatur pelayan publik tidak hanya merespon keinginan pelanggan (customer), tapi lebih fokus pada pembangunan hubungan kepercayaan dan kolaborasi dengan dan di antara warga (citizen).

2. Seek the public interest

Administrasi publik harus memberi kontribusi untuk membangun sebuah kebersamaan, membagi gagasan dari kepentingan publik. Tujuannya adalah tidak untuk menemukan pemecahan yang cepat yang dikendalikan oleh pilihan-pilihan


(51)

individu. Lebih dari itu, adalah kreasi dari pembagian kepentingan dan tanggung jawab.

3. Value Citizenship Over Intrepreneurship

Kepentingan publik adalah lebih dimajukan oleh komitmen aparatur pelayan publik dan warga negara untuk membuat kontribusi lebih berarti daripada oleh gerakan para manajer swasta sebagai dari keuntungan publik yang menjadi milik mereka.

4. Think Strategically, Act Democracally

Pertemuan antara kebijakan dan program agar bisa dicapai secara lebih efektif dan berhasil secara bertanggung jawab mengikuti upaya bersama dan proses-proses kebersamaan.

5. Recognized that Accountability Is Not Simple

Aparatur pelayan publik seharusnya penuh perhatian lebih baik daripada pasar. Mereka juga harus mengikuti peraturan perundangan dan kontitusi, nilai-nilai masyarakat, norma-norma politik, standar-standar professional dan kepentingan warga negara.

6. Serve Rather than Steer

Semakin bertambah penting bagi pelayan publik untuk menggunakan andil, nilai kepemimpinan mendasar dalam membantu warga mengartikulasikan dan mempertemukan kepentingan yang menjadi bagian mereka lebih daripada berusaha untuk mengontrol atau mengendalikan masyarakat pada petunjuk-petunjuk baru.


(52)

7. Value People Not Just Productivity

Organisasi publik dan kerangka kerjanya dimana mereka berpartisipasi akan lebih sukses dalam kegiatannya kalau mereka mengoperasikannya sesuai proses kebersamaan dan mendasarkan diri pada kepemimpinan yang hormat pada semua orang.

Seandainya ketujuh ide pokok dalam NPS tersebut benar-benar dapat dihayati dan diimplementasikan oleh para aparatur pelayan publik, rasanya pelayanan publik instansi pemerintah tidak kalah dengan pemberian pelayanan yang dilakukan oleh sektor privat. Masalahnya sekarang adalah bagaimana para pejabat publik dan aparatur pelayan publik di front line service dapat memahami dan menerima nilai-nilai dalam NPS tersebut. Kemudian bagaimana dengan sepenuh hati dapat mengimplementasikannya di lapangan sebagaimana keinginan publik yang harus “ didengar “ dan “dilayaninya “.

Mengukur kinerja pelayanan publik instansi pemerintah agar diketahui tingkat kinerja pelayanan publiknya dapat dilakukan dengan banyak ukuran. Ada banyak variasi dalam upaya mendifinisikan servqual sektor publik. Namun menurut Denhardt, satu yang istimewa adalah dikembangkanya daftar (ukuran) yang komprehensif untuk pemerintah daerah seperti dikemukakan oleh Carlson dan Schwarz (dalam Denhardt, 2003:61). Ukuran yang komprehensif untuk servqual sektor publik tersebut sebagai berikut :

1. Convenience (kemudahan), yaitu ukuran tingkat dimana pelayanan pemerintah adalah mudah diperoleh dan didapat masyarakat.


(53)

2. Security (keamanan), yaitu ukuran tingkat dimana pelayanan yang telah disediakan membuat masyarakat merasa aman dan yakin ketika mereka menerimanya

3. Reliability (keandalan), yaitu menilai tingkat dimana pelayanan pemerintah disediakan secara benar dan tepat waktu.

4. Personal attention (perhatian kepada orang), ukuran tingkat dimana aparat menyediakan informasi kepada masyarakat dan bekerja dengan mereka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka.

5. Problem solving approach (pendekatan pemecahan masalah).

6. Fairness (keadilan), yaitu ukuran tingkat dimana masyarakat percaya bahwa pelayanan pemerintah disediakan sama untuk semua orang.

7. Fiscal Responsibility (tanggung jawab keuangan), yaitu ukuran tingkat dimana masyarakat percaya bahwa pemerintah daerah menyediakan pelayanan sebagaimana mestinya yang menggunakan uang secara bertanggung jawab.

8. Citizen Influence (pengaruh masyarakat), yaitu ukuran tingkat dimana masyarakat percaya bahwa mereka dapat mempengaruhi kualitas pelayanan yang mereka terima dari pemerintah.

Selanjutnya untuk menilai pelayanan publik yang berkualitas digunakan kriteria kualitatif dan kuantitatif yang mengacu pada sendi-sendi pelayanan prima seperti yang dikutip oleh Warella (1997 : 31) adalah sebagai berikut :

1. Kriteria kualitatif dengan cakupan :

a. Kesederhanaan, yaitu bahwa prosedur atau tata cara pelayanan diselengarakan secara mudah, lancar, cepat tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan dilaksanakan oleh yang meminta pelayanan.

b. Kejelasan dan kepastian yaitu yang menyangkut : 1). Prosedur atau tatacara pelayanan.

2). Persyaratan pelayanan, baik persyaratan teknis maupun administrasi. 3). Unit kerja atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam

memberikan pelayanan.

4). Rincian biaya/tariff pelayanan dan tata cara pembayarannya. 5). Jadwal waktu penyelesaian pelayanan.

c. Keamann yaitu bahwa proses serta hasil pelayanan dapat memberikan keamanan, kenyamanan dan memberikan kepastian hokum bagi masyarakat. d. Keterbukaan, yaitu prosedur/tatacara, persyaratan, satuan kerja/pejabat

penanggungjawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian biaya/tariff serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan agar mudah diketahui oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta.


(54)

1). Persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan yang diberikan.

2). Dicegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan, dalam hal proses pelayanan masyarakat yang bersangkutan mempersyaratkan adanya kelengkapan persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait.

f. Ekonomis, yaitu bahwa pengenaan biaya pelayanan harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan :

g. Keadilan yang merata, yaitu bahwa cakupan/jangkauan pelayanan harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diberlakukan. h. Ketepatan waktu, yaitu bahwa pelaksanaan pelayanan publik dapat

diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan. 2. Kriteria kuantitatif

Disamping kriteria-kriteria kualitatif di atas, dalam melakukan penilaian kualitas pelayanan digunakan pula kriteria-kriteria kuantitatif yang antara lain :

a. Jumlah warga/masyarakat yang meminta pelayanan (per hari, per bulan, per tahun) serta perkembangan pelayanan dari waktu ke waktu, apakah menunjukkan peningkatan atau tidak.

b. Lamanya waktu pemberian pelayanan.

c. Ratio/perbandingan antara jumlah pegawai/tenaga yang ada dengan jumlah warga/masyarakat yang meminta pelayanan untuk menunjukkan tingkat produktivitas kerja.

d. Penggunaan perangkat-perangkat modern untuk mempercepat dan mempermudah pelayanan.

e. Frekuansi keluhan dan/ atau pujian dari masyarakat mengenai kinerja pelayanan yang diberikan, baik yang melalui mass media maupun melalui kotak-kotak saran yang disediakan.

f. Penilaian fisik lainnya misalnya kebersihan dan kesejukan lingkungan, motivasi kerja pegawai dan lain-lain aspek yang mempunyai pengaruh langsung terhadap kinerja pelayanan masyarakat.

Kemudian menurut Tjiptono (2002 : 14) mengembangkan enam unsur pokok dalam menilai kualitas jasa yaitu

1. Profesionalism and Skill; Pelanggan menyadari bahwa penyedia jasa, karyawan, system operasional, dan sumber daya fisik, memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah pelanggan secara prifesional.


(55)

2. Attitudes and Behavior; Pelanggan merasa bahwa karyawan perusahaan menaruh perhatian (contact personnel) terhadap mereka dan berusaha membantu dalam memecahkan masalah mereka dengan spontan dan senang hati.

3. Accessibility and Flexibility; Pelanggan merasa bahwa penyedia jasa, lokasi, jam kerja, karyawan dan system operasionalnya dirancang dan dioperasikan sedemikian rupa sehingga pelanggan dapat melakukan akses dengan mudah. Selain itu juga dirancang dengan maksud agar dapat bersifat fleksibel dalam menyesuaikan permintaan dan keinginan pelanggan.

4. Reability and Trustworthiness; Pelanggan memahami bahwa apapun yang terjadi, mereka bisa percaya segala sesuatunya kepada penyedia jasa besrta karyawan dan sistemnya.

5. Recovery; Pelanggan menyadari bahwa bila ada kesalahan atau bila terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, maka penyedia jasa akan segera mengambil tindakan untuk mengendalikan situasi dan mencari solusi pemecahan yang tepat. 6. Reputation and Credibility; Pelanggan menyakini bahwa opersi dari penyedia jasa

dapat dipercaya dan memberikan nilai atau imbalan yang sesuai dengan pengorbanannya.

3. Kualitas Pelayanan Publik Berdasarkan Kepmen PAN No.25/2004

Seperti telah dikemukakan sebelumnya servqual dari Zeithaml dkk walaupun berasal dari dunia bisnis tetapi dapat dipakai untuk pelayanan sektor publik. Tidak bisa dipungkiri servqual dari Zeithaml dkk tersebut banyak dipakai dan menjadi inspirasi baik untuk kajian teoritis maupun kegiatan praktis. Walaupun demikian konsep tersebut tidak sepenuhnya dapat diterapkan untuk pelayanan sektor publik. Ada beberapa item yang perlu disinkronkan dengan kondisi pelayanan sektor publik.

Kalau servqual berasal dari dunia bisnis dan dilakukan oleh dunia usaha pada para pelanggannya, maka pelayanan publik instansi pemerintah tentu saja adalah pelayanan yang diberikan oleh aparatur atau instansi atau unit pelayanan dari birokrasi pemerintah sesuai tata aturan dalam instansi atau unit pelayanan publik agar


(56)

dapat dilaksanakan sesuai harapan , pemerintah lazimnya mengeluarkan kebijakan atau peraturan tentang pelayanan publik tersebut.

Berkembangnya era servqual juga memberi inspirasi pemerintah Indonesia untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja pelayanan sektor publik. Salah satu produk peraturan pemerintah terbaru tentang pelayanan publik yang telah dikeluarkan untuk melakukan penilaian dan evaluasi terhadap kinerja unit pelayanan publik instansi pemerintah adalah Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : KEP- 25/M.PAN/2/2004 tanggal 24 Pebruari 2004 tentang Pedoman Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah.

Sesuai tujuan penelitian ini, penulis mengacu pada Kepmen PAN di atas yang meliputi 14 indikator yang relevan, valid, dan reliable untuk melakukan pengukuran kinerja pelayanan publik di Kantor Wilayah VI Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Semarang.

Adapun alasan mengapa penelitian ini menggunakan indikator-indikator dalam keputusan menteri pendayagunaan aparatur negara di atas antara lain, pertama, karena paling tidak mencakup unsur-unsur yang dapat dijadikan instrumen penilaian dan evaluasi kinerja pelayanan publik instansi pemerintah yang telah teruji dari hasil penelitian dan pengujian akademis/ilmiah yang dilakukan Badan Pusat Statistik bekerja sama dengan Kementerian PAN. Kedua, instrumen-instrumen tersebut dapat digunakan sebagai tolok ukur kinerja pelayanan publik instansi pemerintah sehingga menghasilkan penilaian yang obyektif dan periodik terhadap perkembangan kinerja unit pelayanan publik. Kemudian yang ketiga adalah dapat memberikan gambaran


(57)

secara umum mengenai aspek-aspek minimal yang harus ada dalam melakukan pengukuran kinerja pelayanan publik sehingga dapat dijadikan sebagai bahan penilaian terhadap unsur pelayanan yang masih perlu diperbaiki dan menjadi pendorong setiap unit penyelenggara pelayanan untuk meningkatkan kualitas pelayanannya.

Kemudian definisi Pelayanan publik menurut Kepmen ini adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima layanan, maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal yang baru dalam keputusan ini antara lain mencantumkan kuesioner untuk melakukan survey, juga mencakup langkah-langkah penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) serta adanya ketentuan tentang “jumlah responden minimal 150 orang” yang dipilih secara acak, dengan dasar (“jumlah unsur” + 1) x 10 = ( 14 + 1 ) x 10 = 150 responden.

Selanjutnya penulis dalam mengumpulkan, mengolah dan menganalisis data penelitian menggunakan beberapa dimensi/atrubut atau kriteria mengenai kualitas pelayanan yang telah dikembangkan oleh beberapa ahli administrasi. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah menjabarkan 14 indikator dalam keputusan menteri pendayagunaan aparatur negara di atas ke dalam sub-sub indikator sehingga nantinya akan mempermudah pemahaman para responden dalam memberikan tanggapan atas pertanyaan yang berkaitan dengan indikator-indikator tersebut sebagai untuk dasar pengukuran Indeks Kepuasan Masyarakat. Kemudian Ke-14 indikator


(1)

Keluhan konsumen mengenai aspek ini adalah masalah kurangnya terbukanya petugas dalam menyampaikan rincian biaya, sehingga sering terjadi konsumen membayar lebih tidak diberikan restitusi atau pengembalian. Untuk ini, apabila terjadi kelebihan membayar semestinya upaya restitusi tetap dilayani dengan baik karena merupakan hak konsumen.

3. Kehandalan jadwal pelayanan.

Keluhan konsumen mengenai aspek ini adalah bahwa jadwal pelayanan masih kurang berdaya guna. Sering konsumen tidak dapat menggunakan jadwal pelayanan sebagaimana mestinya karena tidak didukung sistem yang pas dan relevan. Untuk ini, apabila ingin jadwal lebih berdaya guna, semestinya sistem pelayanannya disesuaikan sehingga akan lebih singkron dan pas misalnya sistem pelayanan satu atap.

4. Kejelasan mengenai rincian biaya pelayanan.

Keluhan konsumen mengenai aspek ini adalah masalah kurangnya jelasnnya petugas dalam menyampaikan rincian biaya, sehingga sering terjadi konsumen yang malakukan pembayaran tidak menerima rincian biayanya, tetapi hanya diberi kuitansi secara global (atau tidak dirinci secara detail). Untuk ini, pada setiap pembayaran harus disertakan rinciannya disamping diberi kuitansi secara global agar biayanya diketahui secara detail.

5. Kesederhanaan mengenai prosedur pelayanan.

Keluhan konsumen mengenai aspek ini adalah masalah panjang dan berbelit-belitnya birokrasi yang harus dilalui. Untuk ini, guna menghemat waktu dan


(2)

biaya semestinya alur dibuat simpel dan tidak berbelit-belit sehingga memudahkan konsumen atau pengguna jasa dalam melaksanakan pelayanan. 6. Kejelasan jadwal pelayanan.

Keluhan konsumen mengenai aspek ini adalah bahwa jadwal pelayanan masih sering berubah-rubah sesuai dengan kebijakan instansi terkait. Hal ini Sering membuat konsumen susah untuk melaksanakan jadwal pelayanan dengan cepat. Untuk ini, agar bisa beradaptasi dengan jadwal pelayanan dengan cepat , perlu disediakan informasi yang jelas mengenai perkembangan kebijakan yang up to date sehingga setiap perubahan kebijakan bisa cepat diikuti.

7. Kejelasan alur dalam prosedur pelayanan.

Keluhan konsumen mengenai aspek ini adalah masalah alur pelayanan yang kurang bisa diikuti dan susah dipahami. Di samping itu bagan atau flow chart juga tidak tersedia sehingga tidak bisa memberikan kejelasan mengenai alur pelayanan yang harus dilalui. Untuk ini, sebaiknya untuk memperjelas alur, bisa digunakan bagan atau denah yang mudah diikuti dan dipahami konsumen. 8. Ketersediaan fasilitas pendukung sarana dan prasarana.

Keluhan konsumen mengenai aspek ini adalah masih minimnya fasilitas penunjang seperti ruang tunggu dan kursi yang kurang memadai serta ketidaktersedianya fasilitas monitor. Untuk itu, sebaiknya fasilitas ditambah sebanding dengan rata-rata jumlah importer yang menggunakan pelayanan. 9. Ketepatan waktu pelayanan.

Keluhan konsumen mengenai aspek ini adalah sering waktu pelaksanaan pelayanan sesuai standard yang ada tidak sesuai dengan apa yang diterima


(3)

konsumen. Adanya indikasi yang kuat akibat “pelayanan tidak satu atap “ sehingga apabila terjadi kekurang lengkapan maka selesainya pelayanan akan molor. Untuk itu, sebaiknya ditingkatkannya koordinasi antar instansi terkait dan perlunya komitmen yang kuat dari pimpinan instansi terkait.

10. Keterjangkauan biaya pelayanan oleh kemampuan masyarakat.

Keluhan konsumen mengenai aspek ini adalah bagi para importer yang modalnya pas-pasan, dengan adanya regulasi perpajakan yang berakibat membengkaknya biaya, maka sering menghambat dan menurunkan daya saing importir industri kecil dan menengah. Untuk itu, sebaiknya dalam mengusukan regulasi perpajakan, perlu adanya insentif bagi importir kecil dan menengah agar tetap bisa bersaing.

11. Kebersihan, kerapian, dan keteraturan sarana dan prasarana.

Keluhan konsumen mengenai aspek ini adalah terutama masalah keadaan sarana dan prasarana yang terkesan seadanya dan menimbulkan perasaan tidak nyaman. Disamping itu, kurangnya perawatan terhadap sarana dan prasarana pelayanan sehingga kebersihan dan kerapiannya pun masih jauh dari kelayakan. Untuk itu, sebaiknya untuk kelayakan dan kenyamanan, petugas cleaning service perlu ditambah dan sarana dan prasarana yang sudah usang sebaiknya diganti dengan yang lebih layak pakai.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Barata, Atep Adya, 2003, Dasar-dasar Pelayanan Prima, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta.

Bryson, John M., 1995, Strategic Planning for Public and Non Profit Organizations, A Guide to Strengthening and Sustainin Organizational Achievement, Revisied Edition, Josey-Bass Publisher, San-Francisco. Cascio, Wayne F., 1992, Managing Human Resources : Produktivity, Quality, of

Work life, Profits, McGraw-Hill, Inc, New York.

Denhardt, Janet V. and Denhardt, Robert B.2003, The New Public Service : Serving, not Steering, New York, M.E. Sharpe, Inc.

Dwiyanto,Agus, 1995, Penilaian Kerja Organisasi Pelayanan Publik, Makalah disampaikan pada Seminar Kinerja Organisasi Publik, Fisipol UGM, Yogyakarta.

Dwiyanto, Agus, Partini, Ratmito, Wicaksono, Bambang, Tamtiari, Wini, Kusumasari, Beveola, nuh, Muhammad, 2002, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, diterbitkan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, Galang Printika, Yogyakarta.

Dwiyanto, Agus, dkk.2003, Reformasi Tata pemerintahan dan Otonomi Daerah, Pusat studi Kepedudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Gaspersz (eds.,) Indonesia, 1997, Maajemen Kualitas dalam Industri Jasa. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Gerson, Richard F., 2002, Mengukur Kepuasan Pelanggan, Terjemahan, PPM, Jakarta.

Gibson, James L., Ivancevich, John M., Donnely JR., James H., 1996, Organisasi, Perilaku, Struktur, Proses, Edisi Kedelapan, Binarupa Aksara, Jakarta. Handoko, 1988, Kinerja dan Tingkat Emosional, Pratama, Surabaya.

Keban, Yeremias T., 1995, Indikator Kinerja Pemerintah Daerah : Pendekatan Manajemen dan Kebijakan, Makalah disajikan pada seminar sehari Kinerja Organisasi Publik, Fisipol UGM, Yogyakarta.


(5)

Lane, Jan-Erik, 1995, The Public Sector, Concept, Models and Approaches, Second Edition, Sage Publication, London.

Laterner dan Levine, 1993, Strategic Planing for Public, Terjemahan oleh Budiono, Hastabuana, Jakarta.

Robbins, Stephen P., 1996, Perilaku Organisasi, Jilid I dan II, Edisi Kedelapan, PT. Prenhallindo, Jakarta.

Rahayu, Amy Y.S, Fenomena Sektor Publik dan Era ervice Quality (Servqual), dalam Bisnis dan Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, 1996, I : 1-19.

Salusu J., 1996, Pengambilan Keputusan Strategik untuk Organisasi Publik dan Organisasi Non Profit, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.

Siagian, Sondang P., 1994, Patologi Birokrasi, Bumi Aksara, Jakarta.

Singarimbun, Masri, dan Effendi, Sofian, 1995, Metode Penelitian Survey, Edisi Kedua, LP3ES, Jakarta.

Soeprihanto, John, 2001, Penilaian Kinerja dan Pengembangan Karyawan, BPFE, Edisi Pertama, Yogyakarta.

Steers, Richard M., 1985, Efektifitas Organisasi Kaidah Tingkah Laku (terjemahan), Erlangga, Jakarta.

Semil, Nurmah, 2005, Analisis Kinerja Pelayanan Instansi Pemerintah Studi Kasus di Kantor BPN Kota Semarang. Tesis. Semarang : MAP Undip. Supranto, J., 1997, Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan untuk Menaikkan

Pangsa Pasar, Rineka Cipta, Jakarta.

Suyanto, Bagong, 2000, Kemiskinan dan Kebijakan Pembangunan, Edisi Pertama, Erlangga, Jakarta.

Suyoto, 1997, Postmodernisme dan Masa Depan Peradaban, Aditya Media, Jakarta.

Tjiptono, Fandy, 2002, Manajemen Jasa, Cetkan ketiga, Penerbit Andi, Yogyakarta.

Thoha, Miftah, 1995, Birokrasi Indonesia Dalam Era Globalisasi, Pd. Batang Gadis, Jakarta.


(6)

---, 1997, Pembinaan Organisasi Proses Diagnosa dan Intervensi, PT. Grafindo Perada, Jakarta.

---, 2001, Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya, PT. Grafindo Persada, Jakarta.

---, 2003, Birokrasi & Politik di Indonesia, PT. Grafindo Persada, Jakarta.

---, 2004, Administrasi Negara dan Kualitas Pelayanan Publik, dalam Dialogue, Jurnal Ilmu Administrasi dan Kebijakan Publik. MAP-UNDIP, Semarang

Tangkilisan, Hassel Nogi S, 2003, Manajemen Modern untuk Sektor Publik. Yogyakarta: Balarairung & Co.

Warella, Y. 1997, Administrasi Negara dan Kualitas Pelayanan Publik Pidato Pengukuhan jabatan Guru Besar Madya ilmu Administrasi Negara. Semarang, Universitas Diponegoro.

Wirawan, 2002, Kapita Selekta Teori Kepemimpinan Pengantar untuk Praktek dan Penelitian, Yayasan Bangun Indonesia & Uhamka Press, Jakarta. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.

Kepmen PAN No. 25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah.

Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor KEP-07/BC/2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tatalaksana Kepabeanan Dibidang Impor.

Lakip tahun 2005 Kantor Wilayah VI Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Semarang.

Majalah Detikcom, 10 Januari 2003. Majalah Tempo, 14 Mei 2003. Media Indonesia, 21 Oktober 2004. Suara Merdeka, 26 januari 2005.

Warta Bea Cukai, Edisi bulan Januari 2006. Jawa Pos, 30 Januari 2006.