BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP MASYARAKAT AGRARIS, INDUSTRI DAN KEHIDUPAN LANSIA DI JEPANG 2.1 Struktur Keluarga Masyarakat Agraris - Dampak Perubahan Masyarakat Agraris Ke Industri Terhadap Lansia Di Jepang Nihon De No Koureika Shakai No Nomin Shakai E Ko

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP MASYARAKAT AGRARIS, INDUSTRI DAN KEHIDUPAN LANSIA DI JEPANG

2.1 Struktur Keluarga Masyarakat Agraris

  Sejak zaman Tokugawa sampai akhir perang dunia II, sistem keluarga Jepang diatur oleh konsep ie dan bahkan mendapat pengakuan secara hukum dalam kode hukum sipil Meiji (1868-1912) (Fukute, 1988:37). Pada zaman Meiji, 80 persen dari kegiatan perekonomiannya adalah pertanian sehingga pada masa itu masyarakat Jepang dikatakan masyarakat agraris.

  Oleh karena itu, konsep ie yang dibicarakan di sini adalah konsep ie yang terdapat pada masyarakat agraris Jepang sebagai pekerjaan yang dominan pada masa itu.

  Konsep ie menerangkan hakikat dari keluarga sebagai suatu wujud yang berlangsung terus lewat garis keturunan ayah dari generasi ke generasi dan menjadi inti dari sistem keluarga tradisional.

  Menurut Kizaemon Aruga (Hiroyuki Torigoe, 1993:9), yang dimaksud dengan ie adalah adat kebiasaan yang khas Jepang, yang berbeda dengan pengertian kazoku (keluarga) secara umum. Ie adalah kelompok yang menjalankan usaha kekayaan keluarga, dalam pengertian di sini karena keberadaannya sebagai kesatuan kehidupan di masyarakat, keanggotaannya melampaui anggota yang hidup dan mati, sebagai sasaran kesinambungan.

  Ada tiga ciri khas dari ie (Torigoe, 1993:10-13). Pertama, ie mempunyai kasan (harta kekayaan keluarga) sebagai zaisan (warisan keluarga). Berdasarkan kasan ini, terbentuk suatu usaha yang mengelola kagyou (usaha keluarga). Kedua, ie memuja leluhur yang berasal dari leluhur ie yang terdahulu. Ketiga, kesinambungan ie bersifat terus-menerus melampaui generasi ke generasi dan menekankan kemakmuran bersama.

  Dari uraian di atas, menurut Torigoe, ciri khas pertama terlihat dalam ie petani, nelayan, dan pedagang. Contohnya pada ie petani yang mempunyai warisan berupa tanah atau lahan pertanian, maka pengelolahan pertanian berdasarkan lahan pertanian ini. Ciri khas kedua ie sebagai pemujaan terhadap leluhur terlihat dari butsudan (altar budha) yang terdapat hampir di setiap rumah (honke) di Jepang, dan ciri khas yang ketiga mempunyai makna bahwa masyarakat Jepang sangat mementingkan kesinambungan ie tersebut.

  Harumi Befu (dalam Putri Elsy, 2012) yang menggunakan istilah ie dalam bahasa Inggris dengan stem family, mengatakan , ie terdiri dari semua orang yang tinggal bersama dalam suatu tempat tinggal dan berbagi dalam kehidupan sosial dan ekonomi. Anggota ie terdiri dari kerabat dekat sebagai inti, tetapi dapat juga kerabat jauh dan bukan kerabat, seperti para pegawai yang tinggal bersama-sama dengan kerabat inti dan berpartisipasi menjalankan kehidupan sosial dan ekonomi bersama. Ie sebagai suatu bentuk corporate

  

group (kelompok usaha) kelanggengannya akan terus diusahakan oleh anggotanya secara

  turun-temurun. Setelah kepala ie pensiun atau meninggal, kelangsungan ie tersebut dilanjutkan melalui penggantian dan pewarisan, biasanya oleh salah seorang keturunan yang akan tinggal dengan orang tuanya setelah ia menikah dan menjaga garis keturunannya.

  Lebih lanjut Befu mengatakan, perbedaan terpenting antara ie dan keluarga Barat adalah perlakuan terhadap anggota bukan kerabat. Di Barat, anggota yang bukan kerabat atau kerabat jauh yang tinggal dengan suatu keluarga tidak dianggap sebagai anggota keluarga, dan perbedaan yang tajam terjadi antara anggota keluarga dan yang bukan, antara kerabat dan bukan kerabat.

  Dalam ie, kata Befu, meskipun perbedaan itu ada, tidak dapat perbedaan yang tajam seperti di Barat. Perlakuan terhadap anggota yang bukan kerabat sama halnya dengan anggota kerabat. Yang paling penting adalah bagaimana setiap anggota ie tersebut dapat memberikan konstribusinya terhadap kelangsungan ie dari pada memikirkan hubungan kekerabatan di antara setiap anggota. Dalam hal ini konstribusinya sebagai tenaga kerja dalam pengelolaan pertanian pada ie tersebut.

  Dengan kata lain, dilihat dari struktur anggotanya, pembentukan sebuah ie tidak ditentukan pada ikatan perkawinan dan hubungan darah, tetapi lebih ditekankan pada kelompok yang menyelenggarakan kehidupan ekonomi dan sosial secara bersama.

  Nakane Chie (1967:1-2) menggunakan istilah household untuk istilah ie ini. Menurut Nakane, istilah ie sering digunakan dalam literatur sosiologi yang sama artinya dengan family, tetapi menurutnya istilah household dalam bahasa Inggris lebih dekat artinya dengan konsep ie. Menurut Nakane, ie adalah unit sosial dasar dari tempat tinggal bersama anggota suatu rumah tangga yang anggotanya terdiri dari kerabat dan nonkerabat. Setiap anggota dalam ie memiliki kesadaran akan ie dilukiskan dengan istilah seperti “hidup di bawah atap yang sama” atau “hubungan di mana anggotanya berbagai makanan dalam dandang yang sama”. Dalam etimologi bahasa Jepang, ie berarti kamado atau tungku (yaitu tempat memasak, merupakan simbol dari anggota keluarga karena disinilah mereka berkumpul dan makan bersama). Selain itu, bangunan rumah itu sendiri disebut dengan ie.

  Pengertian ie tidak sama dengan rumah tangga biasa. Dalam konsep ie yang berlangsung dari dulu hingga sekarang dinyatakan bahwa ie meliputi tidak hanya tempat tinggal anggotanya yang masih hidup, tetapi juga anggotanya yang sudah mati, dengan beberapa proyeksi terhadap yang belum lahir. Dengan kata lain, konsep ie selalu dipahami berlangsung terus sepanjang waktu atau turun-temurun dari pergantian anggotanya. Oleh karena itu, pengertian ie ini tidak sederhana seperti pengertian rumah tangga atau household dalam bahasa Inggris. Sebab, yang dimaksud dengan rumah tangga, menurut Soerjono Soekanto (1983:225), adalah semua orang yang tinggal di satu tempat kediaman dengan rumah tangga sendiri.

  Sebuah ie dipimpin oleh seorang kepala ie yang disebut kacho. Posisi kacho biasanya dipegang oleh ayah pada sebuah keluarga. Seorang kacho atau pemimpin ie memiliki peran baik di dalam maupun di luar ie-nya. Menurut Nakane, secara internal, kacho berperan mengelola pertanian, mengontrol atau menjaga kekayaan ie, dan secara eksternal mewakili ie tersebut. Kekayaan dan hak-hak penting lainnya yang berguna untuk pertanian dalam ie pengoperasiannya secara ekslusif dipegang oleh kepala ie.

  Menurut Fukutake (1989;33), kekuasaan kacho yang besar dalam ie adalah, pertama, ia mempunyai kekuasaan terakhir untuk memberikan keputusan tentang semua hal yang berkaitan dengan milik keluarga. Kedua, ie merupakan pribadi yang terpenting dalam hal upacara keagamaan dan adat keluarga yang harus dilaksanakan untuk menghormati nenek moyang (bertanggung jawab terhadap ritus-ritus pemujaan terhadap nenek moyang), dan akhirnya ia mengontrol dan mengawasi semua usaha anggotanya dan membagi tugas untuk setiap anggotanya.

  Fukutake (1989:35) menyatakan, ada aturan pokok dalam penggantian seorang kepala

  

ie yang biasa dilakukan di Jepang. Kepala ie harus digantikan oleh seorang anak laki-laki

  yang biasanya adalah anak laki-laki tertua(chonan). Chonan tersebut akan mengambil alih milik ie secara keseluruhan atau memiliki prioritas dalam menentukan pembagiannya.

  Anak laki-laki yang muda, menurut Fukutake, mungkin akan menerima bagian kecil dari kekayaan kalau ikut bekerja dan memberikan konstribusi secara ekonomi untuk ie-nya.

  Meskipun kecil, bagian tersebut cukup untuk membentuk bunke atau cabang keluarga apabila ia kelak menikah, sedangkan sisanya cukup untuk mempertahankan ie asalnya. Apabila anak memberikan bantuan awal untuk kehidupannya. Di lain pihak, anak perempuan mendapatkan emas sebagai hadiah perkawinannya apabila ia menikah kelak.

  Lebih lanjut Fukutake menyatakan, kedudukan anak-anak dalam ie petani dilukiskan dengan pepatah “seorang dijual, seorang menjadi ahli waris, dan seorang lagi menjadi cadangan”. Maksudnya, dalam satu keluarga, idealnya anak tertua adalah anak perempuan, yaitu seseorang yang akan pergi atau akan menjadi anggota ie suaminya apabila ia menikah.

  Selanjutnya, anak kedua adalah anak laki-laki yang akan menjadi ahli waris, dan yang terakhir adalah anak laki-laki yang akan menjadi cadangan apabila anak laki-laki yang akan menjadi ahli waris mati muda. Anak laki-laki tertua sering diperlakukan berbeda dengan saudaranya yang lain, dan semua orang diberi tahu bawa ia lebih penting. Selain ditakdirkan untuk menjadi pengganti kepala Ie, anak laki-laki tertua ini juga akan menerima tanggung jawab untuk merawat orang tuanya kelak.

  Akan tetapi, pengganti dari kacho ini tidak mutlak harus anak kandung. Laki-laki lain, apakah ia memiliki hubungan keluarga atau tidak dengan kepala ie, dapat diangkat menjadi anak yang ditetapkan secara resmi sehingga ia menjadi anggota ie tersebut.

  Menurut Nakane, ada aturan umum yang mengatur seseorang bisa dijadikan sebagai kepala ie apabila sebuah ie tidak memiliki seorang anak laki-laki atau hanya ada anak perempuan. Pertama, mengangkat seorang anak laki-laki apabila keluarga tersebut tidak memiliki anak laki-laki. Kedua, mengangkat suami anak perempuan (menantu) sebagai anak, dan pada waktunya kelak menantu ini akan mewarisi ie beserta kekayaannya. Anak menantu angkat ini dikenal dengan istilah mukoyoshi. Apabila ie tersebut tidak memiliki anak laki-laki atau anak perempuan, kepala ie dapat mengangkat pasangan muda sebagai menantunya.

  Dengan pengankatan atau adopsi ini, hubungan “ayah” dan “anak” (oyako kankei) nama keluarganya. Anak laki-laki angkat ini bisa diambil dari anak saudara kepala ie seperti adik laki-laki, sepupu, atau saudaranya yang lain (termasuk keluarga istri). Akan tetapi, sering diambil anak laki-laki yang tidak punya hubungan kerabat dengan kepala ie.

  Dalam beberapa kasus, seorang pelayan atau orang kepercayaan kepala ie dapat diangkat menjadi anak atau menantunya. Dalam hubungan yang seperti ini, yang diperlukan adalah pengganti yang dapat meneruskan kelanggengan sebuah ie karena anak atau menantu angkat tersebut sama haknya dalam pewarisan seperti layaknya anak laki-laki kandung. Pada prinsipnya pengganti ini akan terus melanjutkan kelanggengan dan pengelolahan usaha (pertanian) ie.

2.2 Struktur Keluarga Masyarakat Industri

  Perubahan-perubahan setelah perang dalam keluarga, kelihatannya secara umum telah dianggap sesuatu yang lazim. Gagasan mengenai perubahan dari ie menuju keluarga inti adalah salah satu contohnya.

  Permasalahan-permasalahan yang terjadi pada saat ini dalam keluarga Jepang dapat dibagi secara luas ke dalam dua tipe. Pertama adalah masalah yang berhubungan dengan perubahan komposisi populasi, yang membuktikan bahwa jumlah anak-anak menurun dan proporsi orang-orang yang sudah tua semakin meningkat, adalah merupakan kasus di beberapa negara industri lainnya. Kedua adalah masalah yang berhubungan dengan diversitas pertumbuhan keluarga. Dalam masyarakat yang semakin makmur, lebih banyak orang yang ingin mengadopsi gaya hidup yang lebih berbeda, dan kebimbangan tertuju pada apa yang dianggap sebagai keluarga standar.

  Secara langsung maupun tidak langsung industrialisasi, demokratisasi, perkembangan ekonomi dan kemajuan teknologi telah memicu terjadinya perubahan sistem keluarga tradisional (ie) Jepang yang mengarah kepada terbentuknya sistem keluarga inti. Perubahan sistem keluarga Jepang tidak terjadi secara serta-merta atau sekaligus. Tetapi diawali dengan menurunnya jumlah anggota keluarga dan hubungan yang menjadi lebih sederhana dalam sebuah keluarga. Kemudian, disusul oleh perubahan fungsi keluarga.

  Pada keluarga petani, dimana sistem keluarga besar masih berlaku, penyusutan besarnya keluarga disebabkan oleh makin sedikitnya anak-anak yang dilahirkan dan sebab lainnya adalah kepergian anak-anak mereka yang bukan anak sulung, meninggalkan ie pada waktu lebih awal. Pada kota-kota besar, kecendrungan anak laki-laki sulung untuk mendirikan keluarga sendiri, lepas dari orang tuanya setelah mereka menikah, merupakan sebab utama terjadinya penurunan jumlah anggota keluarga.

  Perubahan besar dan cepat terjadi dalam kehidupan keluarga petani setelah sistem ie dihapuskan. Revisi terhadap kode hukum sipil setelah perang menolak dominasi ie secara hukum atas individu. Pasal 24 dalam undang-undang dasar secara tegas menyatakan pentingnya martabat individu dan kesamaan derajat antara pria dan wanita dalam kehidupan keluarga. Perkawinan dilaksanakan berdasarkan kesetiaan keduah belah pihak yang bersangkutan. Ini berarti asas-asas baru keluarga dalam pembentukan kode hukum sipil.

  Undang-undang baru ini melambangkan suatu revolusi dalam kehidupan keluarga Jepang (Fukutake, 1989:44).

  Ada beberapa hal sebagai akibat langsung dari adanya perubahan undang-undang ini. Pertama, pengapusan mengenai ie dan kepala keluarga. Kedua, anak yang telah dewasa dapat menikah sesuai dengan keinginannya sendiri. Ketiga, penghapusan ketidakmampuan istri.

  Keempat, tanpa melihat ketidaksetiaan istri, suami yang tidak setia pun dapat menjadi alasan terjadinya perceraian. Kelima, urutan fuyou gimu (kewajiban siapa-siapa yang memberikan fuyou) hilang, di antara kerabat langsung saudara laki-laki perempuan saling bekerja sama dalam memberikan fuyou. Keenam, suksesi dalam pewarisan hilang, istri pun punya hak waris, dan baik anak laki-laki maupun perempuan punya hak waris yang sama.

  Undang-undang dasar yang mendeklarasikan persamaan jenis kelamin, memberikan persamaan hak dalam pewarisan terhadap anak laki-laki dan perempuan, juga mempunyai pengaruh besar dalam menaikkan posisi anak laki-laki bungsu dan anak perempuan. Kepala keluarga mulai mengurangi kekuasaannya, dan menantu perempuan mulai menerima perlakuan yang baik dari mertuanya. Pada saat bersamaan perubahan ekonomi mulai meruntuhkan struktur keluarga tradisional (ie) (Befu, 1971:81).

  Berkembangnya teknologi pertanian menyebabkan petani Jepang telah sanggup meningkatkan produktivitasnya dalam persentase besar sejak permulaan era modern. Hal ini terlihat dari berkurang dratisnya proporsi rumah tangga pertanian dari 44,2 persen tahun 1930 menjadi 29,6 persen tahun 1960. Dalam tahun 1967 tenaga pertanian turun menjadi 19,3 persen dari total tenaga kerja seluruh Jepang.

  Perekonomian Jepang setelah perang meningkat dengan pesat sejak tahun 1950-an sampai tahun 1960-an. Seiring dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi, sejak pertengahan tahun 1960-an seluruh keluarga mulai berurbanisasi ke kota, menjual atau meninggalkan seluruh harta kekayaannya. Salah satu alasan urbanisasi ini adalah perkembangan ekonomi yang cepat dan standar hidup yang tinggi, menyebabkan para petani tidak mampu menggarap tanah pertaniannya dengan biaya yang tinggi. Faktor ini telah mendorong petani miskin untuk meninggalkan pekerjaan warisan nenek moyangnya dan pergi ke kota (Befu, 1971:71)

  Gejala pindahnya penduduk meninggalkan desanya untuk mencari kerja atau nafkah di kota ini dikenal dengan istilah dekasegi. Berdasarkan statistik pertanian dalam Nihon no tajam, dari 180.000 orang pada tahun 1960 menjadi sekitar 550.000 orang pada tahun 1965. Dengan kata lain terjadi peningkatan sebanyak 370.000 orang dalam jangka waktu lima tahun. Pekerja dekasegi ini umumnya pergi ke kota-kota besar seperti Tokyo, Osaka, dan Nagoya serta ke kota industri lainnya (Yamamoto dalam Putri Elssy:2012)

  Dengan meningkat pesatnya pekerjaan di bidang industri ini, anak laki-laki bungsu dan anak perempuan mulai meninggalkan tanah pertanian keluarganya dan tinggal jauh dari wewenang atau kekuasaan ayahnya. Perkembangan ini telah memperlemah struktur

  

corporate keluarga sebagai suatu grup yang berorientasi pada pertanian. Beberapa kewajiban

  terdahulu dari kepala keluarga, seperti mengelola tanah pertanian, mengontrol anggota keluarga, dan memohon bantuan nenek moyang untuk pekerjaan-pekerjaan keluarga, mulai kehilangan arti (Befu, 1971:81).

  Bidang pertanian tidak lagi menjadi perioritas ketika perhatian bergeser kepada kemajuan ekonomi. Kota telah menjadi daya tarik bagi anak muda. Orang-orang muda pada usia produktif pergi meninggalkan desanya untuk mencari pekerjaan di tempat lain, dan meninggalkan wanita dan orang tua bekerja di ladang. Pertambahan jumlah rumah tangga, di mana ibu dan laki-laki tua menjadi tenaga kerja pertanian, diikuti oleh penurunan jumlah rumah tangga yang mengandalkan pendapatannya dari pertanian (Fukutake, 1989:12).

  Dengan kata lain, setelah sistem ie dihapuskan dan sejalan dengan perkembangan teknologi dan industrialisasi, struktur rumah tangga Jepang mengalami perubahan dengan pesat. Konsep ie dalam struktur rumah tangga diganti dengan konsep family (keluarga) seperti di Barat. Konsep family atau keluarga sebagai unit kekerabatan diperkenalkan oleh G.P. Murdock (1971:358) sebagai berikut: “Keluarga adalah suatu kelompok sosial yang dicirikan oleh tempat tinggal bersama, kerja kelamin dewasa, sedikitnya dua orang yang menjaga hubungan secara seksual yang diakui oleh masyarakat, dan satu atau lebih anak, anak kandung atau anak angkat, secara seksual tinggal bersama sebagai pasangan suami istri. Keluarga dibedakan dari perkawinan, yaitu suatu adat kebiasaan kompleks yang berpusat pada hubungan antara suatu pasangan dewasa yang bergaul secara seksual dalam keluarga. Perkawinan menetapkan tata cara membentuk dan mengakhiri hubungan seperti itu, tingkah laku normatif dan kewajiban timbal balik di dalamnya, dan secara lokal menerima pembatasan terhadap personalnya”.

  Adapun yang dimaksud dengan nuclear family (keluarga inti), menurut Murdock, secara khusus adalah perkawinan pria dan wanita dengan keturunannya, meskipun dalam kasus-kasus perseorangan satu atau lebih anggota tambahan mungkin tinggal dengan mereka.

  Murdock (dalam Alimansyar:2004)) mendefinisikan keluarga inti sebagai : keluarga yang terdiri dari sepasang suami istri dan anak-anak yang belum menikah. Secara lebih detail Ishikawa menjabarkan bahwa keluarga inti memiliki ciri : (1) Kelompok yang tinggal bersama dalam satu rumah.(2) Kelompok ini memiliki hubungan terkecil di antara sesama anggota keluarga yaitu : suami-istri, orang tua-anak, dan saudara kandung (abang-adik, kakak-adik). Secara lengkap dapat dibagi menjadi delapan kelompok yaitu : Suami-istri, ayah-putra, ayah-putri, ibu-putra, ibu-putri, saudara laki-laki-saudara laki-laki, saudara perempuan-saudara perempuan, saudara laki-laki-saudara perempuan.(3) Kelompok ini melaksanakan empat fungsi sebagai syarat untuk kelangsungan hidup sebagai bagian dari masyarakat yaitu : seks, ekonomi, reproduksi dan pendidikan.

  Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa anggota keluarga inti terdiri dari anggota yang memiliki hubungan darah yaitu : ayah, ibu dan anak (belum dewasa atau belum menikah). Anak yang sudah menikah biasanya akan membentuk keluarga baru dan memisahkan diri dari orang tuanya.

  Dari pendapat Murdock itu terlihat perbedaan yang mendasar antara konsep ie dan

  

nuclear family (keluarga inti) atau yang dikenal dengan istilah kaku kazoku dalam bahasa

  Jepang. Keluarga dalam konsep Barat lebih menekankan pada hubungan pria dan wanita atau suami-istri yang disahkan dengan perkawinan beserta dengan anak-anaknya, sedangkan ie sebagai unit kerja sama lebih menekankan pada hubungan anggotanya yang tinggal bersama tanpa memandang hubungan perkawinan dan kerabat atau nonkerabat.

2.3 Kehidupan Lansia di Jepang

  Perubahan besar dan cepat terjadi dalam kehidupan keluarga di Jepang khususnya sesudah perang. Industrialisasi mempercepat perubahan struktur keluarga. Perubahan struktur keluarga di sini adalah struktur keluarga Jepang dalam konsep ie menjadi struktur keluarga

  (keluarga inti). Selain industrialisasi, penyebab lainnya adalah dengan

  kaku kazoku dihapuskannya sisstem ie, konsep keluarga inti menjadi konsep keluarga baru di Jepang.

  Berbeda dengan sistem keluarga tradisional ie di mana anggota keluarga terdiri dari kerabat dan nonkerabat dan memungkinkan dua atau tiga generasi tinggal bersama, keluarga inti hanya beranggotakan ayah, ibu, dan anak-anak yang belum menikah.

  Pertumbuhan ekonomi yang pesat, urbanisasi yang disebabkan oleh kecendrungan kaum muda mencari kerja di kota dan hidup sendiri, majunya pendidikan dan perkembangan teknologi membawa perubahan terhadap keluarga dan masyarakat. Modernisasi di bidang teknologi merupakan salah satu faktor pendorong berkembangnya industri. Berbeda dengan masyarakat agraris yang kehidupannya bergantung pada tanah sebagai sarana produksi, dan belum dapat melahirkan lapangan kerja yang bervariasi, sebaliknya, pembangunan industri memberikan kemungkinan tersedianya lapangan kerja yang bervariasi (Putri Elsy:2012).

  Kehadiran suatu industri di dalam masyarakat agraris yang belum mengenal industri, pola kebudayaan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Pertemuan dua bentuk kebudayaan ini melahirkan satu proses perubahan, dari masyarakat agraris menuju kepada terbentuknya masyarakat industri yang hidup dalam masyarakat luas, terbuka, dan heterogen. Kegiatan ekonomi yang semula sekedar untuk memenuhi permintaan pasar guna mengejar keuntungan materi. Untuk itu diterapkan teknologi maju yang eksploitatif dan ekspansif demi efisiensi dan produktivitas.

  Perubahan kehidupan ini mempengaruhi pula struktur sosial, pola-pola interaksi dan nilai-nilai budaya masyarakat setempat, sampai kepada unsur yang paling mendasar, yaitu sistem hubungan dalam keluarga, khususnya dalam perawatan lansia.

  Pertumbuhan ekonomi, urbanisasi, dan industrialisasi menyebabkan harga tanah dan rumah di perkotaan menjadi mahal. Banyak dari kaum urban ini tinggal di apartemen kecil yang hanya cukup menampung anggota inti mereka. Hal ini menyebabkan orang tua lansia mereka hidup terpisah dengan anak-anaknya.

  Selain berubahnya sistem keluarga ini, jumlah anggota keluarga juga cenderung menurun. Sebelum perang, rata-rata jumlah anak dalam keluarga adalah lima orang dan anak berfungsi sebagai tenaga kerja pertanian. Akan tetapi, setelah perang, jumlah anak cenderung menurun. Meningkatnya jumlah keluarga inti dan berkurangnya jumlah anggota keluarga disertai dengan meningkatnya usia harapan hidup menimbulkan permasalahan terhadap pemeliharaan dan perawatan lansia. Banyak orang Jepang sekarang yang mencemaskan nasibnya dalam menghadapi hari tuanya kelak.

  Sampai sekitar tahun 1975, masalah perawatan lansia belum menjadi masalah utama, baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat Jepang. Hal ini disebabkan masih rendahnya usia harapan hidup dan rendahnya tingkat kesehatan pada waktu itu, di tahun 1947 adalah 50,06 tahun untuk pria dan 53,96 tahun untuk wanita. Banyak orang tua yang meninggal sebelum mencapai usia tua sehingga masa merawat orang tua dalam keluarga sangat pendek dan tidak memberatkan (Yamada dalam Putri Elsy:2012)

  Sejak tahun 1975, usia harapan hidup orang Jepang bertambah panjang, tingkat kesehatan meningkat, dan jumlah lansia yang memerlukan perawatan juga meningkat.

  Masalah perawatan lansia mulai menjadi wacana dalam masyarakat.

  Meskipun belum ada aturan yang menyatukan umur berapa seseorang disebut lanjut usia, biasanya sesesorang dikatakan lanjut usia apabila ia telah berusia 65 tahun ke atas.

  Bahkan ada pula yang menyatakan seseorang lanjut usia apabila ia telah berusia di atas 70 atau 75 tahun.

  Karena usia 65 tahun ke atas batasannya terlalu besar, usia tersebut dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu usia 65-74 tahun di sebut zenkikoureisha (masa sebelum lansia) dan usia 75 tahun ke atas disebut gokikoureisha (masa setelah lansia). Selain ini, ada yang membagi tiga, yaitu usia 65-74 tahun, 75-84 tahun, dan 85 tahun ke atas.

  Berdasarkan uraian di atas, yang akan dijadikan patokan usia lansia dalam hal ini adalah seseorang yang telah berusia 65 tahun ke atas. Di Jepang, istilah yang dipakai untuk lansia adalah(roujin). Karakter kanji (rou) berarti berumur atau tua, sedangkan karakter kanji (jin) berarti orang. Jadi, roujin secara harafiah berarti orang tua atau orang yang sudah berumur. Seiring dengan meningkatnya populasi roujin ini dan berkembangnya masalah

  

roujin , untuk menghindari kesan suram dari istilah roujin (dilihat dari karakter kanji

  tersebut), menurut Sodei Takako dalam New Encyclopedia of Sociology (1993:448), sebagai ganti istilah roujin digunakan istilah koreisha yang secara harafiah berarti orang yang berusia tinggi atau lanjut. Dewasa ini masyarakat Jepang dikenal dengan koureika shakai

  Menurut Makizono kiyoko(1993:448), sebuah negara dapat disebut sebagai koureika

  

shakai apabila persentase penduduk lansianya (persentase penduduk usia 65 tahun ke atas

  dari seluruh jumlah penduduk) mencapai 7 persen dan indeks penduduk lansia (indeks penduduk 65 tahun ke atas terhadap penduduk usia produktif di atas 15 tahun di bawah 64 tahun) melewati sekitar 12,0. Jepang pada tahun 1970 persentase lansianya adalah 7 persen dan indeks lansianya 12,0 pada tahun 1975. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Jepang menjadi koreika shakai sejak tahun 1970-an.

  Seperti telah disebutkan di atas, masalah perawatan lansia mulai mendapat perhatian sejak tahun 1975. Hal ini disebabkan oleh semakin bertambah panjangnya usia harapan hidup orang Jepang. Sebelum perang, usia harapan hidup rata-rata orang Jepang kurang dari 55 tahun, dan setiap keluarga mempunyai beberapa anak. Akan tetapi, setelah perang, usia harapan hidup orang Jepang meningkat dengan tajam.

  Menurut data yang dikeluarkan Keizai Koho Center (Pusat Informasi Ekonomi) (1999:13), tahun 1950-1955 usia harapan hidup rata-rata pria adalah 62,1 tahun dan wanita adalah 65,9 tahun. Pada tahun 1995-2000 usia harapan hidup pria adalah 76,8 tahun dan wanita 86,9 tahun, dan diperkirakan pada tahun 2045-2050 usia harapan hidup pria 80,8 tahun dan wanita 88,9 tahun. Dari jumlah total penduduk, pada tahun 1950 jumlah penduduk yang berusia 65 tahun ke atas adalah 4,9 persen, meningkat dengan tajam menjadi 17,2 persen pada tahun 2000 dan diperkirakan menjadi 32,3 persen pada tahun 2050. Dengan kata lain, selama 50 tahun, yaitu dari tahun 1950 sampai tahun 2000, terjadi peningkatan jumlah lansia sebanyak 12,3 persen dan sebanyak 15,1 persen dari tahun 2000-2050. Meningkatnya jumlah lansia dengan usia harapan hidupnya yang panjang ini menjadi masalah dan beban sosial dalam masyarakat.

  Seiring dengan bertambah panjangnya usia harapan hidupnya, lingkaran hidup (life cycle) orang Jepang, khususnya masa perawatan pada usia lanjutpun mengalami perubahan.

  Ketika membandingkan perubahan lingkaran hidup orang Jepang pada tahun 1920 dan 1991, Okamoto Yuzo dalam bukunya, Otoshiyori Shiryoushu (Kumpulan Bahan Mengenai Lansia) menemukan terjadinya perubahan kehidupan antara pria dan wanita Jepang.

  Pada tahun 1920, misalnya, pria menikah pada usia 25,0 tahun dan wanita pada usia 21,2 tahun, sedangkan pada tahun 1991 pria menikah pada usia 28,4 tahun dan wanita pada usia 25,9 tahun. Itu berarti terjadi kenaikan usia menikah antara pria dan wanita.

  Pada tahun 1920 adalah biasa setiap keluarga memiliki anak sampai lima orang sehingga masa melahirkan seorang ibu berkisa 14,7 tahun. Kebalikannya, pada tahun 1991, jumlah anak dalam sebuah keluarga adalah dua orang sehingga waktu yang dibutuhkan ibu untuk melahirkan relatif pendek, yaitu 4,5 tahun.

  Masa merawat anak dalam arti mengasuh, mendidik, dan menyekolahkan anak berlangsung dalam jangka yang sama pada kedua tahun di atas, yaitu selama 27,3 tahun.

  Bedanya adalah apabila pada tahun 1920 sebelum anak bungsu lulus sekolah, anak laki-laki tertua sudah menikah, pada tahun 1991 anak laki-laki tertua kawin setelah anak bungsu lulus sekolah.

  Pada tahun 1920 suami pensiun pada usia 55 tahun dan mengundurkan diri dari segala urusan rumah tangga dan menyerahkan pekerjaan dan ekonomi keluarganya kepada chonan (anak laki-laki pertama) pada usia 60 tahun. Anak laki-laki pertama ini, karena menggantikan posisi kepala keluarga yang pensiun, berkewajiban merawat orang tuanya pada masa tuanya, yang berlangsung selama lebih kurang 5,3 tahun. Adapun waktu yang dibutuhkan oleh tiga generasi ini untuk hidup bersama adalah 10,5 tahun sampai sang ibu meninggal pada usia

  Pada tahun 1991, masa pensiun berada di usia 60 tahun dan masa pengunduran diri kepala keluarga pada usia 65 tahun. Jarak antara masa pensiun dan usia kematian (77,2 tahun) adalah 17,2 tahun. Dengan semakin panjangnya usia harapan hidup pada tahun 1991, waktu yang digunakan untuk merawat lansiapun bertambah, yaitu 20,3 tahun sampai sang ibu meninggal pada usia 82,8 tahun.

  Di samping itu, masa tiga generasi tinggal bersamapun bertambah panjang, yaitu 25,5 tahun, sedangkan masa menjanda sang ibu yang 4,2 tahun pada tahun 1920 menjadi 8,1 tahun pada 1991.

  Dari perbandingan tersebut terlihatlah adanya perbedaan yang mencolok terhadap perawatan lansia . Dengan kata lain, pada tahun 1920 hanya dibutuhkan waktu 5,3 tahun untuk merawat lansia, sedangkan pada tahun 1991 (masa sekarang) seiring dengan bertambah panjangnya usia harapan hidup dibutuhkan waktu 20,3 tahun untuk merawat lansia (Putri Elsy:2012).