Struktur Keluarga Masyarakat Agraris ke Masyarakat Industri

(1)

STRUKTUR KELUARGA

MASYARAKAT AGRARIS KE INDUSTRI DI JEPANG

D

I

S

U

S

U

N

OLEH :

AZWIN EFENDI

NIM : 082203056

PROGRAM STUDI DIII BAHASA JEPANG

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2013


(2)

STRUKTUR KELUARGA

MASYARAKAT AGRARIS KE INDUSTRI DI JEPANG

KERTAS KARYA

Kertas Karya ini diajukan kepada Panitia Ujian Program Pendidikan Non-Gelar Fakltas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian Diploma III dalam bidang studi Bahasa Jepang.

Dikerjakan

OLEH :

NIM : 082203056 AZWIN EFENDI

Pembimbing, Pembaca,

M. Pujiono, S.S, M.Hum.

NIP.132299344 NIP. 131763366 Nandi, S.S,

PROGRAM STUDI DIII BAHASA JEPANG

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2013


(3)

PENGESAHAN

Diterima Oleh

Panitia Ujian Program Pendidikan Non-Gelar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan,

Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Diploma III dalam bidang studi Bahasa Jepang.

Pada : Tanggal : Hari :

Program Diploma Sastra dan Budaya Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara

Dekan,

NIP. 195110131976031001 Dr. Syahron Lubis, M.A.

Panitia Ujian :

No. Nama Tanda Tangan 1. M. Pujiono, S.S, M.Hum ( ) 2. Nandi, S.S ( ) 3. Zulnaidi, S.S, M.Hum ( )


(4)

Disetujui oleh

Program Diploma Sastra dan Budaya Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara Medan

Program Studi DIII Bahasa Jepang

Ketua,

NIP. 196708072004011001 Zulnaidi, S.S, M.Hum


(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan kertas karya ini guna untuk melengkapi syarat untuk mencapai gelar Ahli Madya pada Universitas Sumatera Utara. Adapun judul kertas karya ini adalah “Struktur Keluarga

Masyarakat Agraris ke Masyarakat Industri”.

Penulis menyadari bahwa kertas karya ini jauh dari sempurna, baik dari pengkajian kalimat, penguraian materi dan pembahasan masalah. Tetapi berkat dan bimbingan berbagai pihak, penulis dapat menyelesaikan kertas karya ini.

Dengan segala kerendahan hati, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu terutama :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Zulnaidi, S.S, M.Hum. selaku ketua Program Studi Diploma III Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Muhammad Pujiono, S.S, M.Hum. Selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing dan memberikan petunjuk kepada penulis dalam menyelesaikan kertas karya ini.

4. Bapak / Ibu Dosen Bahasa Jepang yang telah membimbing akademik penulis selama perkuliahan

5. Kedua orang tuaku yang telah banyak membantu berupa dukungan moral dan materi.


(6)

6. Temanku Rocky Tanaka yang telah banyak membantu dan membimbing penulis dalam mengerjakan kertas karya ini

Penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam pembuatan kertas karya ini, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis menerima kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan kertas karya ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan atas semua bantuan yang telah diberikan kepada penulis. Akhirnya penulis berharap semoga kertas karya ini dapat menambah dan memperluas pengetahuan kita semua. Terima Kasih.

Medan, Januari 2013

Azwin Effendi NIM : 082203056


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...iii

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1.Alasan Pemilihan Judul...1

1.2. Tujuan Penulisan...2

1.3. Batasan Masalah...3

1.4.Metode Penulisan...3

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT AGRARIS DAN INDUSTRI...4

2.1. Masyarakat Agraris...4

2.2. Masyarakat Industri...5

BAB III STRUKTUR KELUARGA MASYARAKAT AGRARIS KE INDUSTRI DI JEPANG...10

3.1. Struktur Keluarga dalam Masyarakat Agraris...10


(8)

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN...22

4.1. Kesimpulan...22

4.2. Saran...23


(9)

ABSTRAK

Sejak zaman tokugawa sampai akhir perang dunia II, sistem keluarga Jepang diatur oleh konsep Ie dan bahkan mendapat pengakuan secara hukum dalam kode hukum sipil meiji ( 1868-1912 ) ( Fukute, 1988:37 ). Pada zaman Meiji, 80 persen dari kegiatan perekonomian adalah pertanian sehingga pada masa itu masyarakat Jepang dikatakan masyarakat Agraris. Oleh karena itu, konsep ie yang dibicarakan disini adalah konsep ie yang terdapat pada masyarakat agraris Jepang sebagai pekerjaan yang dominan pada masa itu.

Menurut Kizaemon Aruga ( Hiroyuki Torigoe, 1993:9 ) yang dimaksudkan dengan ie adalah adat kebiasaan yang khas Jepang, yang berbeda dengan perngertian kazoku ( keluarga ) secara umum. Ie adalah kelompok yang menjalankan usaha kekayaan keluarga, dalam pengertian di sini karena keberadaannya sebagai kesatuan kehidupan di masyarakat, keanggotaannya melampaui anggota yang hidup dan mati, sebagai sasaran kesinambungan. Ada tiga cara Ie ( Torigoe, 199:10-13 ), yaitu : Ie mempunyai Kasan ( harta kekayaan keluarga ) sebagai zaisan ( warisan keluarga ) agar terbentuk suatu usaha pengelolaan kagyou ( usaha keluarga ), Ie memuja leluhur yang berasal dari leluhur Ie yang terdahulu, Kesinambungan Ie bersifat terus-menerus melampaui generasi ke generasi dan menekankan kemakmuran bersama

Anak laki-laki yang muda, mungkin akan menerima bagian kecil dari kekayaan kalau ia ikut bekerja dan memberikan kontribusi secara ekonomi untuk ie-nya. Meskipun kecil, bagian tersebut cukup untuk membentuk bunke atau cabang keluarga apabila ia menikah kelak, sedangkan sisanya cukup untuk


(10)

mempertahankan ie asalnya. Apabila anak laki-laki yang muda tersebut mendapatkan pekerjaan di luar pertanian, keluarganya akan memberikan bantuan awal untuk kehidupannya. Di lain pihak, anak perempuan mendapatkan emas sebagai hadiah perkawinannya apabila ia menikah kelak.

Dalam beberapa kasus, seorang pelayan atau orang kepercayaan kepala ie diangkat menjadi anak atau menantunya. Dalam hubungan yang seperti ini, yang diperlukan adalah pengganti yang dapat meneruskan kelanggengan sebuah ie karena anak atau menantu angkat tersebut sama haknya dalam pewarisan seperti layaknya anak laki-laki kandung. Pada prinsipnya pengganti ini akan terus melanjutkan kelanggengan dan pengelolaan usaha ( pertanian ) ie.

Seorang ayah menjadi kacho mempunyai kedudukan yang istimewa dalam struktur ie. Posisi istimewa ayah sebagai kepala ie terlihat dalam berbagai aspek kehidupan rumah tangga. Hak istimewa lain pada sang ayah adalah ia mendapatkan pelayanan ketika makan dan mendapatkan bagian pertama dan terbaik dari makanan tersebut. Ia pun mendapatkan kesempatan pertama untuk masuk ofuro atau mandi air panas. Figur ayah sering disamakan sebagai hal yang ditakuti oleh anggota ie lainnya, seperti jishin (gempa), kaminari (petir), kaji (kebakaran), dan oyaji (ayah) ( Nakane, 1967:19 ).

Kepentingan sosial ibu dalam ie sangat kecil. Ibu yang meninggalkan ie karena bercerai tidak mempunyai hak hukum untuk membawa anaknya. “kandungan adalah alat untuk dipinjam” telah menjadi ungkapan orang Jepang sejak masa feodal. Pemikiran ini telah menempatkan wanita pada posisi yang rendah.


(11)

Chuukou itchi adalah filosofi dalam ajaran konfusianisme. Chuukou adalah singkatan dari chuu yang berasal dari kata chuugi yang berarti melayanidengan sepenuh hati kepada tuan ( kaisar ) dan kata kou berasal dari kata koukou yang berarti merawat dan hormat kepada orang tua.

Menurut Kawashima ( Soichi Nasu dan Yasuko Yazawa, 1985:30 ) dalam ideologi koukou, konsep kou menyatakan empat kewajiban anak kepada orang tuanya, yaitu : Menghormati orang tua dan mempunyai perasaan kyoujun ( rasa hormat ), Berkewajiban mengangkat nama ie atau mengangkat nama keluarga maupun diri sendiri melalui prestasi atau risshin shusse ( sukses dalam hidup ), Kewajiban merawat orang tua, elemen terpenting dalam kou adalah kewajiban menyokong kehidupan orang tua, khususnya merawat orang tua di masa tua setelah inkyo ( pensiun ), Kou ( merawat dan hormat kepada orang tua ) tidak hanya ditujukan kepada orang tua, tetapi juga termasuk kewajiban terhadap leluhur orang tua.

Perkawinan merupakan ikatan yang menciptakan hubungan diantara dua keluarga. Apabila seseorang telah tiba waktunya untuk menikah, sanak saudara dan teman-teman sering bertindak sebagai perantara untuk mencari pasangan yang cocok bagi anak laki-laki atau anak perempuan. Perantara yang mencarikan jodoh bagi anak laki-laki atau perempuan ini disebut dengan nakodo, si calon istri fungsinya hanya untuk dilihat dan ia hampir sama sekali tidak mempunyai kesempatan mengungkapkan keinginannya tentang perkawinannya.

Nakodo akan berusaha mencari jodoh bagi sebuah keluarga yang kira-kira sejajar kedudukan sosialnya atau menemukan calon pengantin wanita yang sedikit


(12)

di bawah kekayaan calon pengantin pria. Cara ini bertujuan untuk menjamin agar menantu perempuan hormat dan tunduk kepada ie suaminya.

Pertumbuhan ekonomi yang pesat diperkuat oleh urbanisasi dan industrialisasi membawa dampak besar terhadap kehidupan rumah tangga. Salah satu perubahan yang mencolok adalah meningkatnya jumlah orang yang tinggal di dalam keluarga inti, yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Pada tahun 1955, sebanyak 44 persen dari semua rumah tangga terdiri dari keluarga besar, tetapi rasio ini berangsur-angsur menurun dan merosot menjadi 19 persen pada tahun 1970, 16,2 persen pada tahun 1980 dan 15,2 persen pada tahun 1985. Rasio keluarga inti meningkat menjadi 61,1 persen dari jumlah seluruh rumah tangga pada tahun 1985 ( Jepang dewasa ini, 1989:79 ).


(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Alasan Pemilihan Judul

Sebagai mahluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendiri. Sejak kecil ia memerlukan perawatan dan kasih sayang seorang ibu, setelah besar dan dewasa butuh seorang teman untuk mendampingi hidupnya sehingga terbentuklah sebuah keluarga. Setelah tua atau jompo serta kondisi yang lemah, kembali lagi ia membutuhkan perawatan untuk membantu kelangsungan hidup pada hari tuanya. Pada masyarakat tradisional yang umumnya terdiri dari keluarga luas, memasuki usia lanjut tidak perlu dirisaukan. Mereka merasa aman karena anak dan saudara lainnya masih merupakan jaminan yang paling baik bagi orang tuanya. Anak masih merasa berkewajiban dan mempunyai loyalitas menyantuni orang tua mereka yang sudah tidak dapat mengurus diri sendiri.

Sistem keluarga pada masyarakat tradisional Jepang dikenal dengan istilah ie. Sistem ini berlangsung sejak zaman Tokugawa sampai akhir Perang Dunia II. Pada zaman Meiji ( 1986-1912 ) sistem ini dikukuhkan dalam Undang-Undang Meiji. Pada zaman Meiji, sekitar 80 persen dari aktivitas perekonomian adalah pertanian sehingga pada masa itu masyarakat Jepang dikatakan masyarakat agraris, sebuah ie mempunyai fungsi penting sebagai organisasi manajemen ekonomi dalam lingkungan keluarga.


(14)

Konsep ie menerangkan hakikat dari keluarga sebagai suatu wujud yang berlangsung terus lewat garis keturunan ayah dari generasi ke generasi dan menjadi inti dari sistem keluarga tradisional.

Pada zaman sekarang pertumbuhan ekonomi yang pesat diperkuat oleh urbanisasi dan industrialisasi membawa dampak besar terhadap kehidupan rumah tangga. Salah satu perubahan yang mencolok adalah meningkatnya jumlah orang yang tinggal di dalam keluarga inti, yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Pada tahun 1955, sebanyak 44 persen dari semua rumah tangga terdiri dari keluarga besar, tetapi rasio ini berangsur-angsur menurun dan merosot menjadi 19 persen pada tahun 1970, 16,2 persen pada tahun 1980 dan 15,2 persen pada tahun 1985. Rasio keluarga inti meningkat menjadi 61,1 persen dari jumlah seluruh rumah tangga pada tahun 1985 ( Jepang dewasa ini, 1989:79 ). Setelah sistem ie dihapuskan, kedudukan pria dan wanita menjadi setara dalam undang-undang.

Pokok permasalahan inilah yang membuat penulis tertarik untuk dijadikan sebagai kertas karya.

1.2. Tujuan Penulisan

Berdasarkan pemilihan judul, maka tujuan penulisan dalam kertas karya ini, yaitu :

1. Untuk memahami kehidupan masyarakat Jepang zaman dahulu

2. Untuk mengetahui kehidupan masyarakat Jepang dari masyarakat Agraris menjadi masyarakat Industri


(15)

1.3. Batasan Masalah

Dalam penulisan kertas karya ini, perlu diberikan batasan masalah yang jelas agar tujuan pembahasan tercapai. Adapun masalah yang dibahas dalam kertas karya ini adalah struktur keluarga masyarakat agraris ke masyarakat industri di Jepang.

1.4. Metode Penulisan

Metode yang digunakan dalam penulisan kertas karya ini adalah metode kepustakaan ( Library Research ). Metode Kepustakaan adalah teknik pengumpulan bahan atau data dengan membaca buku-buku terkait dengan pengambilan judul. Kemudian data-data tersebut dikumpulkan, dianalisis dan dituliskan dalam masing-masing bab. Selain itu, penulis juga memanfaatkaninformasi teknologi internet sebagai referensi tambahan agar data yang didapatkan menjadi lebih akurat dan lebih jelas.


(16)

BAB II

GAMBARAN UMUM

TENTANG MASYARAKAT AGRARIS DAN INDUSTRI

2.1. Masyarakat Agraris

Sejak zaman tokugawa sampai akhir perang dunia II, sistem keluarga Jepang diatur oleh konsep Ie dan bahkan mendapat pengakuan secara hukum dalam kode hukum sipil meiji ( 1868-1912 ) ( Fukute, 1988:37 ). Pada zaman Meiji, 80 persen dari kegiatan perekonomian adalah pertanian sehingga pada masa itu masyarakat Jepang dikatakan masyarakat Agraris. Oleh karena itu, konsep ie yang dibicarakan disini adalah konsep ie yang terdapat pada masyarakat agraris Jepang sebagai pekerjaan yang dominan pada masa itu.

Konsep ie menerangkan hakikat dari keluarga sebagai suatu wujud yang berlangsung terus lewat garis keturunan ayah dari generasi ke generasi dan menjadi inti dari sistem keluarga tradisional.

Harumi Befu ( 1971:38 ), yang menggunakan istilah ie dalam bahasa Inggris dengan sebutan stem family, mengatakan ie terdiri dari semua orang yang tinggal bersama dalam suatu tempat tinggal dan berbagi dalam kehidupan sosial dan ekonomi. Anggota ie terdiri dari kerabat dekat sebagai inti, tetapi dapat juga kerabat jauh dan bukan kerabat, seperti para pegawai yang tinggal bersama-sama dengan kerabat inti dan berpartisipasi menjalankan kehidupan sosial dan ekonomi bersama. Ie sebagai suatu bentuk corporate group ( kelompok usaha ) kelanggengannya akan terus diusahakan oleh anggotanya secara turun temurun.


(17)

Setelah kepala ie pensiun atau meninggal, kelangsungan ie tersebut dilanjutkan melalui pergantian dan pewarisan, biasanya oleh salah seorang keturunan yang akan tinggal dengan orang tuanya setelah ia menikah dan menjaga garis keturunannya.

Dengan kata lain, dilihat dari struktur anggotanya, pembentukan sebuah ie tidak ditekankan pada ikatan perkawinan dan hubungan darah, tetapi lebih ditekankan pada kelompok yang menyelenggarakan kehidupan ekonomi dan sosial secara bersama.

2.2. Masyarakat Industri

Perubahan besar dan cepat terjadi dalam kehidupan keluarga petani setelah sistem ie dihapuskan. Revisi terhadap kode hukum sipil setelah perang menolak dominasi ie secara hukum atas individu. Pasal 24 dalamm undang-undang dasar secara tegas menyatakan pentingnya martabat individu dan kesamaan derajat antara pria dan wanita dalam kehidupan keluarga. Perkawinan dilaksanakan berdasarkan kesetiaan kedua belah pihak yang bersangkutan. Ini berarti asa-asa baru keluarga dalam pembentukan kode hukum sipil. Undang-undang baru ini melambangkan suatu revolusi dalam kehidupan keluarga Jepang ( Fukutake, 1989:44 ).

Kazuo aoi dalam kazoku to wa Nanika ( 1974:67 ) menyatakan ada beberapa hal sebagai akibat langsung dari adanya perubahan undang-undang ini. Pertama, penghapusan mengenai ie dan kepala keluarga. Kedua, anak yang telah dewasa dapat menikah sesuai dengan keinginannya sendiri. Ketiga, penghapusan


(18)

ketidakmampuan istri. Keempat, tanpa melihat ketidaksetiaan istri, suami yang tidak setia pun dapat menjadi alasan terjadi perceraian. Kelima, urutan fuyou gimu ( kewajiban siapa-siapa yang memberikan fuyou ) hilang, diantara kerabat langsung saudara laki-laki atau perempuan saling bekerja sama dalam memberikan fuyou. Keenam, suksesi dalam pewarisan hilang, istri pun punya hak waris dan baik anak laki-laki maupun perempuan punya hak waris yang sama.

Undang-undang dasar yang mendeklarasikan persamaan jenis kelamin, memberikan persamaan hak dalam pewarisan terhadap anak laki-laki dan perempuan, juga mempunyai pengaruh besar dalam menaikkan posisi anak laki-laki bungsu dan anak perempuan. Kepala keluarga mulai mengurangi kekuasaannya, dan menantu perempuan mulai menerima perlakuan yang baik dari mertuanya. Pada saat bersamaan perubahan ekonomi mulai meruntuhkan struktur keluarga tradisional ( ie ) ( Befu, 1971:81 ).

Berkembangnya teknologi pertanian menyebabkan petani Jepang telah sanggup meningkatkan produktivitasnya dalam presentase besar sejak permulaan era modern. Hal ini terlihat dari kurang drastisnya proporsi rumah tangga pertanian adri 44,2 persen tahun 1930 menjadi 29,6 persen tahun 1960. Dalam tahun 1967 tenaga pertanian turun menjadi 19,3 persen dari total tenaga kerja seluruh Jepang.

Perekonomian Jepang setelah perang meningkat dengan pesat sejak tahun 1950-an sampai tahun 1960-an. Seiring dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi, sejak pertengahan tahun 1960-an seluruh keluarga mulai berurbanisasi ke kota, menjual atau meninggalkan seluruh harta kekayaannya. Salah satu alasan urbanisasi ini adalah perkembangan ekonomi yang cepat dan


(19)

standar hidup yang tinggi, menyebabkan para petani tidak mampu menggarap tanah pertaniannya dengan biaya yang tinggi. Faktor ini telah mendorong petani miskin untuk meninggalkan pekerjaan warisan nenek moyangnya dan pergi ke kota ( Befu, 1971:71 ).

Gejala pindahya penduduk meninggalkan desanya untuk mencari kerja atau nafkah di kota ini dikenal dengan istilah dekasegi. Berdasarkan statisik pertanian dalam Nihon no Nogyou ( Sensus pekerja Pertanian Sedunia Tahun 1970 ), jumlah pekerja dekasegi meningkat tajam dari sekitar 180.000 orang pada tahun 1960 menjadi sekitar 550.000 orang pada tahun 1965. Dengan kata lain terjadi peningkatan sebanyak 370.000 orang dalam jangka waktu lima tahun. Pekerja dekasegi ini umumnya pergi ke kota-kota besar seperti Tokyo, Osaka, dan Nagoya serta ke kota industri lainnya ( Yamamoto, 1974:118 ).

Dengan meningkat pesatnya pekerjaan di bidang industri ini, anak laki-laki bungsu dan anak perempuan mulai meninggalkan tanah pertanian keluarganya dan tinggal jauh dari wewenang atau kekuasaan ayahnya. Perkembangan ini telah memperlemah struktur corporate keluarga sebagai suatu grup yang berorientasi pada pertanian. Beberapa kewajiban terdahulu dari kepala keluarga, seperti mengelola tanah pertanian, mengontrol anggota keluarga, dan memohon bantuan nenek moyang untuk pekerjaan-pekerjaan keluarga mulai kehilangan arti ( Befu, 1971:81 ).

Bidang pertanian tidak lagi menjadi prioritas ketika perhatian bergeser kepada kemajuan ekonomi. Kota telah menjadi daya tarik bagi anak muda. Orang-orang muda pada usia produktif pergi meninggalkan desanya untuk mencari pekerjaan di tempat lain, dan meninggalkan wanita dan orang tuanya bekerja di


(20)

ladang. Pertambahan jumlah rumah tangga, dimana ibu dan laki-laki tua menjadi tenaga kerja pertanian, diikuti oleh penurunan jumlah rumah tangga yang mengandalkan pendapatannya dari pertanian ( Fukutake, 1989:13 ).

Dengan kata lain, setelah sistem ie dihapuskan dan sejalan dengan perkembangan teknologi dan industrialisasi, struktur rumah tangga Jepang mengalami perubahan dengan pesat. Konsep ie dalam struktur rumah tangga diganti dengan konsep family ( keluarga ) seperti di Barat. Konsep family sebagai unit kekerabatan diperkenalkan oleh G.P. Murdock ( 1971:358 ) sebagai berikut :

“Keluarga adalah suatu kelompok sosial yang dicirikan oleh tempat tinggal bersama, kerja sama ekonomi dan reproduksi. Di dalamnya termasuk kedua jenis kelamin dewasa, sedikitnya dua orang yang menjaga hubungan secara seksual yang diakui oleh masyarakat dan satu atau lebih anak, anak kandung atau anak angkat, secara seksual tinggal bersama sebagaipasangan suami istri. Keluarga dibedakan dari perkawinan, yaitu suatu adat kebiasaan kompleks yang berpusat pada hubungan antar satu pasangan dewasa yang bergaul secara seksual dalam keluarga. Perkawinan menetapkan tata cara membentuk dan mengakhiri hubungan seperti itu, tingkah laku normatif dan kewajiban timbal balik di dalamnya dan secara lokal menerima pembatasan terhadap personalnya”.

Adapun yang dimaksud dengan nuclear family ( keluarga inti ) menurut Murdock, secara khusus adalah perkawinan pria dan wanita dengan keturunannya, meskipun dalam kasus-kasus perseorangan satu atau lebih anggota tambahan mungkin tinggi dengan mereka.


(21)

Dari pendapat Murdock itu terlihat perbedaan yang mendasar antara konsep ie dan nuclear family ( keluarga inti ) atau yang dikenal dengan istilah kakukazoku dalam bahasa Jepang. Keluarga dalam konsep Barat lebih menekankan pada hubungan pria dan wanita atau suami-istri yang disahkan dengan perkawinan beserta dengan anak-anaknya, sedangkan ie sebagai unit kerja sama lebih menekankan pada hubungan anggotanya yang tinggal bersama tanpa memandang hubungan perkawinan dan kerabat atau nonkerabat.


(22)

BAB III

STRUKTUR KELUARGA MASYARAKAT AGRARIS KE INDUSTRI DI JEPANG

3.1. Struktur Keluarga dalam Masyarakat Agraris a. Struktur Ie atau Keluarga Tradisional Jepang

Sejak zaman tokugawa sampai akhir perang dunia II, sistem keluarga Jepang diatur oleh konsep Ie dan bahkan mendapat pengakuan secara hukum dalam kode hukum sipil meiji ( 1868-1912 ) ( Fukute, 1988:37 ). Pada zaman Meiji, 80 persen dari kegiatan perekonomian adalah pertanian sehingga pada masa itu masyarakat Jepang dikatakan masyarakat Agraris. Oleh karena itu, konsep ie yang dibicarakan disini adalah konsep ie yang terdapat pada masyarakat agraris Jepang sebagai pekerjaan yang dominan pada masa itu.

Konsep ie menerangkan hakikat dari keluarga sebagai suatu wujud yang berlangsung terus lewat garis keturunan ayah dari generasi ke generasi dan menjadi inti dari sistem keluarga tradisional.

Menurut Kizaemon Aruga ( Torigoe, 1993:9 ) yang dimaksudkan dengan ie adalah adat kebiasaan yang khas Jepang, yang berbeda dengan perngertian kazoku ( keluarga ) secara umum. Ie adalah kelompok yang menjalankan usaha kekayaan keluarga, dalam pengertian di sini karena keberadaannya sebagai kesatuan kehidupan di masyarakat, keanggotaannya melampaui anggota yang hidup dan mati, sebagai sasaran kesinambungan.


(23)

Ada tiga cara Ie ( Torigoe, 199:10-13 ), yaitu :

- Ie mempunyai Kasan ( harta kekayaan keluarga ) sebagai zaisan ( warisan keluarga ) agar terbentuk suatu usaha pengelolaan kagyou ( usaha keluarga)

- Ie memuja leluhur yang berasal dari leluhur Ie yang terdahulu

- Kesinambungan Ie bersifat terus-menerus melampaui generasi ke generasi dan menekankan kemakmuran bersama

Dari uraian di atas, menurut Torigoe, ciri khas pertama terlihat dalam Ie petani, nelayan dan pedagang. Contohnya pada petani yang mempunyai warisan berupa tanah atau lahan pertanian, maka pengelolaan pertanian berdasarkan lahan pertanian ini. Ciri khas kedua Ie sebagai pemujaan terhadap leluhur terlihat dari butsudan ( altar Buddha ) yang terdapat hampir di setiap rumah ( honke ) di Jepang, dan ciri yang ketiga mempunyai makna bahwa masyarakat Jepang sangat mementingkan kesinambungan Ie tersebut.

Fukutake ( 1989:33 ) menyatakan, ada aturan pokok dalam pergantian seorang kepala Ie yang biasa dilakukan di jepang. Kepala Ie harus digantikan oleh seorang anak laki-laki yang biasanya adalah anak laki-laki tertua ( chonan ). Chonan tersebut akan mengambil alih milik Ie secara keseluruhan atau memiliki prioritas dalam menentukan pembagiannya.

Anak laki-laki yang muda, mungkin akan menerima bagian kecil dari kekayaan kalau ia ikut bekerja dan memberikan kontribusi secara ekonomi untuk ie-nya. Meskipun kecil, bagian tersebut cukup untuk membentuk bunke atau cabang keluarga apabila ia menikah kelak, sedangkan sisanya cukup untuk mempertahankan ie asalnya. Apabila anak laki-laki yang muda tersebut


(24)

mendapatkan pekerjaan di luar pertanian, keluarganya akan memberikan bantuan awal untuk kehidupannya. Di lain pihak, anak perempuan mendapatkan emas sebagai hadiah perkawinannya apabila ia menikah kelak.

Lebih lanjut Fukutake menyatakan, kedudukan anak-anak dalam Ie petani dilukiskan dengan pepatah “seorang dijual, seorang menjadi ahli waris, dan seorang lagi menjadi cadangan”. Maksudnya, dalam suatu keluarga idealnya anak tertua adalah anak perempuan, yaitu seorang yang akan pergi atau akan menjadi anggota Ie suaminya apabila ia menikah. Selanjutnya, anak kedua adalah laki-laki yang akan menjadi ahli waris dan yang terakhir adalah anak laki-laki yang akan menjadi cadangan apabila anak laki-laki yang akan menjadi ahli waris mati muda. Anak laki-laki tertua sering diperlakukan berbeda dengan saudaranya yang lain, dan semua orang diberi tahu bahwa Ie lebih penting. Selain ditakdirkan untuk menjadi pengganti kepala Ie, anak laki-laki tertua ini juga akan menerima tanggung jawab untuk merawat orang tuanya kelak.

Akan tetapi, pengganti dari kacho ini tidak mutlak harus anak kandung. Laki-laki lain, apakah ia memiliki hubungan keluarga atau tidak dengan kepala Ie, dapat diangkat menjadi anak yang ditetapkan secara resmi sehingga ia menjadi anggota Ie tersebut.

Menurut Nakane, ada aturan umum yang mengatur seseorang bisa dijadikan sebagai kepala ie apabila sebuah ie tidak memilikiseorang anak laki-laki atau hanya ada anak perempuan. Pertama, mengangkat seorang anak laki-laki apabila keluarga tersebut tidak memiliki anak laki-laki. Kedua, mengangkat suami anak perempuan ( menantu ) sebagai anak dan pada waktunya kelak menantu akan mewarisi ie beserta kekayaannya. Anak menantu angkat ini dikenal dengan istilah


(25)

mukoyoshi. Apabila ie tersebut tidak memiliki anak laki-laki anak perempuan, kepala ie dapat mengangkat pasangan muda sebagai menantunya.

Dengan pengangkatan atau adopsi ini, hubungan “ayah” dan “anak” ( oyako kankei ) dikukuhkan dan si anak angkat ini pun akan mengambil nama keluarga ie tersebut sebagai nama keluarganya. Anak laki-laki angkat ini bisa diambil dari sanak saudaranya yang lain ( termasuk keluarga istri ). Akan tetapi, sering diambil anak laki-laki yang tidak punya hubungan kerabat dengan kepala Ie.

Dalam beberapa kasus, seorang pelayan atau orang kepercayaan kepala ie diangkat menjadi anak atau menantunya. Dalam hubungan yang seperti ini, yang diperlukan adalah pengganti yang dapat meneruskan kelanggengan sebuah ie karena anak atau menantu angkat tersebut sama haknya dalam pewarisan seperti layaknya anak laki-laki kandung. Pada prinsipnya pengganti ini akan terus melanjutkan kelanggengan dan pengelolaan usaha ( pertanian ) ie.

b. Posisi Orang Tua dan Kondisi Perawatannya

seorang ayah menjadi kacho mempunyai kedudukan yang istimewa dalam struktur ie. Posisi istimewa ayah sebagai kepala ie terlihat dalam berbagai aspek kehidupan rumah tangga. Misalnya ada kursi khusus untuk ayah di ruang makan yang disebut yokoza. Tidak seorang pun boleh menempati kursi itu selain ayah meskipun ia tidak berada di rumah.

Hak istimewa lain pada sang ayah adalah ia mendapatkan pelayanan ketika makan dan mendapatkan bagian pertama dan terbaik dari makanan tersebut. Ia


(26)

pun mendapatkan kesempatan pertama untuk masuk ofuro atau mandi air panas. Figur ayah sering disamakan sebagai hal yang ditakuti oleh anggota ie lainnya,

seperti jishin (gempa), kaminari (petir), kaji (kebakaran), dan oyaji (ayah) ( Nakane, 1967:19 )

Kebalikan dengan posisi kuat ayah sebagai kacho, posisi ibu kurang penting dalam struktur ie. Ia dapat digantikan setiap saat tanpa menimbulkan kekacauan atau putusnya struktur ie. Sebelum undang-undang sipil ditentang, status sah atau hukum anak dalam ie tidak perlu dikukuhkan dari rahim seorang ibu. Setiap anak menjadi anak sah dari ie jika hubungan yang sah antara anak dan kepala ie dikukuhkan. Dengan kata lain, meskipun lahir dari wanita simpanan atau wanita lain, seorang anak tidak mendapatkan perbedaan secara hukum dan sosial dari anak yang lahir dari istri kepala ie sepanjang kepala ie mengakuinya sebagai anaknya. Anak lebih dipertimbangkan sebagai anggota ie dari keturunan pasangan tertentu.

Kepentingan sosial ibu dalam ie sangat kecil. Ibu yang meninggalkan ie karena bercerai tidak mempunyai hak hukum untuk membawa anaknya. “kandungan adalah alat untuk dipinjam” telah menjadi ungkapan orang Jepang sejak masa feodal. Pemikiran ini telah menempatkan wanita pada posisi yang rendah.

Anak-anak diajar untuk patuh dan hormat kepada orang tua dan saudaranya yang tua sejak bayi. Dalam ideologi chuukou itchi yang dianut masyarakat Jepang dari zaman Meiji dan menjadi landasan dalam ie sampai perang Perang Dunia II ditekankan kewajiban fuyou ( merawat atau memelihara ) kepada orang tua. Tanggung jawab sosial anak kepada orang tua seperti dituntut


(27)

dalam ajaran shitsuke, yaitu ajaran yang berupa didikan dalam keluarga yang dimasukkan dalam adat istiadat untuk membentuk keluarga.

Chuukou itchi adalah filosofi dalam ajaran konfusianisme. Chuukou adalah singkatan dari chuu yang berasal dari kata chuugi yang berarti melayanidengan sepenuh hati kepada tuan ( kaisar ) dan kata kou berasal dari kata koukou yang berarti merawat dan hormat kepada orang tua.

Menurut Kawashima, Soichi Nasu dan Yasuko Yazawa ( 1985:30 ) dalam ideologi koukou, konsep kou menyatakan empat kewajiban anak kepada orang tuanya, yaitu :

- Menghormati orang tua dan mempunyai perasaan kyoujun ( rasa hormat )

- Berkewajiban mengangkat nama ie atau mengangkat nama keluarga maupun diri sendiri melalui prestasi atau risshin shusse ( sukses dalam hidup )

- Kewajiban merawat orang tua, elemen terpenting dalam kou adalah kewajiban menyokong kehidupan orang tua, khususnya merawat orang tua di masa tua setelah inkyo ( pensiun ).

- Kou ( merawat dan hormat kepada orang tua ) tidak hanya ditujukan kepada orang tua, tetapi juga termasuk kewajiban terhadap leluhur orang tua.

Sikap patuh dan hormat kepada orang tua, selain dari ideologi koukou di atas, juga ditanamkan melalui bermacam-macam makna yang melembaga, diantaranya melalui penanaman nilai on.


(28)

Konsep on menurut Benedict ( 1979:105 ), mengandung arti suatu beban, suatu utang, sesuatu yang harus dipikul oleh seseorang sebaik mungkin. On anak kepada orang tua dijabarkan sebagai utang anak kepada orang tuanya dan untuk itu mereka harus membalas atau menebusnya. Salah satu wujudnya adalah patuh dan berbakti kepada orang tua.

Bangsa Jepang menurut Benedict ( 1979:107-108), sangat realistis terhadap bakti dan hormat filial ini, dan mereka mempunyai ungkapan mengenai on yang diterima dari orang tuanya dengan menyatakan bahwa kalau seseorang telah menjadi tua, barulah ia tahu berapa besar utangnya kepada orang tuanya.

Maksudnya, on dari orang tua adalah pemeliharaan sehari-hari orang tua kepada anaknya dengan segala kerepotannya.

Menurut Befu ( 1971:54-55 ), konsep on menyatakan utang dalam pengertian sosial dan juga hubungan hierarki antara pemberi dan penerima on. Dalam konsep ini yang membenarkan hubungan hierarki tidak hanya antara orang tua dan anak, tetapi juga antara kaisar dan rakyat, guru dan murid, majikan dan pekerja, dan pasngan yang berada dalam hubungan vertikal satu sama lain. Konsep on ditanamkan pertama kali kepada individu melalui sosialisasi hubungan orang tua-anak.

Seperti utang uang, utang sosial kepada orang tua harus dibayar. Pembayarannya dilakukan dalam berbagai bentuk. Dalam hubungan orang tua-anak, pembayaran dirasionalkan oleh konsep bakti filial dari ajaran konfusius. Bakti filial dalam pengertian luas berarti berbakti kepada orang tua dan menyenangkan mereka dengan merawat atau membantu mereka pada usia tuanya.


(29)

c. Perkawinan dan Kedudukan Wanita

Menurut Fukutake ( 1989:31 ), perkawinan dalam sistem ie tidak dengan sendirinya merupakan awal pembentukan keluarga baru, tetapi lebih merupakan masuknya anggota baru, yaitu pengantin wanita ke dalam ie suaminya. Dalam ie pertanian, keluarga petani mempunyai prinsip bahwa keluarga baru yang akan mewarisi ladang kelak harus hidup bersama satu atap dengan keluarga yang lebih tua, orang tua suami, serta kakek dan nenek pihak ayah.

Perkawinan merupakan ikatan yang menciptakan hubungan diantara dua keluarga. Apabila seseorang telah tiba waktunya untuk menikah, sanak saudara dan teman-teman sering bertindak sebagai perantara untuk mencari pasangan yang cocok bagi anak laki-laki atau anak perempuan. Perantara yang mencarikan jodoh bagi anak laki-laki atau perempuan ini disebut dengan nakodo, si calon istri fungsinya hanya untuk dilihat dan ia hampir sama sekali tidak mempunyai kesempatan mengungkapkan keinginannya tentang perkawinannya.

Nakodo akan berusaha mencari jodoh bagi sebuah keluarga yang kira-kira sejajar kedudukan sosialnya atau menemukan calon pengantin wanita yang sedikit di bawah kekayaan calon pengantin pria. Cara ini bertujuan untuk menjamin agar menantu perempuan hormat dan tunduk kepada ie suaminya. Hal lain yang penting dlam menentukan calon jodoh bagi pria, terutama untuk kelas menengah dan bawah, adalah keterampilan dan kesanggupan mengatur wanita untuk bekerja keras. Fungsi wanita dalam sebuah ie secara praktis adalah untuk melahirkan ahli waris berikutnya dan menambah tenaga kerja keluarga ( Fukutake,1989:39-40 ).


(30)

Wanita yang telah menikah yang telah diterima oleh keluarga suami hanyalah dianggap sebagai bagian dari anggota ie, yaitu sebagai istri anaknya. Dengan kata lain, seorang calon pengantin wanita harus lebih tunduk kepada kepala ie daripada kepada suaminya. Ia harus menyesuaikan diri dengan “kebiasaan keluarga” sebagai menantu perempuan bukan sekedar istri, dan apabila ia gagal, kepala ie atau orang tua suami dapat secara sepihak meminta cerai. Statusnya sebagai istri akan susah dipertahankan, kecuali kalau ia dapat melayani mertua perempuan dengan baik. Adakalanya bagi seorang wanita yang masuk ke dalam keluarga ie suami, kelahiran anak adalah langkah pertama untuk menjamin kelanggengan dengan keluarga itu ( Fukutake, 1989:41 ).

3.2. Struktur Keluarga dalam Masyarakat Industri a. Komposisi Rumah Tangga Jepang Saat Ini

Pertumbuhan ekonomi yang pesat diperkuat oleh urbanisasi dan industrialisasi membawa dampak besar terhadap kehidupan rumah tangga. Salah satu perubahan yang mencolok adalah meningkatnya jumlah orang yang tinggal di dalam keluarga inti, yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Pada tahun 1955, sebanyak 44 persen dari semua rumah tangga terdiri dari keluarga besar, tetapi rasio ini berangsur-angsur menurun dan merosot menjadi 19 persen pada tahun 1970, 16,2 persen pada tahun 1980 dan 15,2 persen pada tahun 1985. Rasio keluarga inti meningkat menjadi 61,1 persen dari jumlah seluruh rumah tangga pada tahun 1985 ( Jepang dewasa ini, 1989:79 )

Menurut Sodei (1995:219-230),ada beberapa faktor penyebab menurunnya proporsi jumlah generasi muda yang tinggal bersama dengan orang tua.


(31)

Pertama, menurunnya jumlah anak perpasangan. Pada zaman Meiji ( 1868-1912 ) jumlah anak dalam satu keluarga adalah lima orang. Salah satu penyebabnya adalah anak berfungsi sebagai tenaga kerja pertanian mereka. Akan tetapi, seiring dengan industrialisasi, jumlah ini terus menurun menjadi tiga sampai dua orang dalam satu keluarga pada masa Showa ( 1926-1989 ).

Kedua, meningkatnya mobilitas penduduk dari desa ke kota, khususnya pada tahun 1960, yang ditandai dengan perkembangan teknologi dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pertumbuhan ekonomi yang cepat menyebabkan meningkatnya permintaan untuk tenaga kerja dalam sektor industri dan jasa. Sektor ini membutuhkan tenaga kerja yang banyak. Banyak pemuda yang semula bekerja di bidang pertanian ( primer ) pindah pekerjaan ke industri sekunder atau tersier. Untuk mendukung pekerjaannya, mereka juga pindah dari desa ke kota. Keinginan bekerja di bidang industri yang tidak ada di desanya menyebabkan anak laki-laki pertama yang mungkin juga anak laki-laki satu-satunya meninggalkan rumah. Oleh karena itu, di wilayah pedesaan kaum tua atau lansia menjadi orang yang kesepian karena ditinggalkan oleh anak-anaknya.

Ketiga, perubahan sikap terhadap pengaturan tempat tinggalindustrialisasi, modernisasi, dan urbanisasi mempunyai hubungan langsung dalam mengubah sikap terhadap living arrangement ( pengaturan tempat tinggal ) ini.

Keempat, kurangnya perumahan di wilayah perkotaan. Tingginya harga tanah menyulitkan pasangan muda untuk memiliki rumah sendiri. Perumahan dengan sewa murah cenderung berada di luar kota, sehingga tidak mudah untuk menemukan ukuran rumah atau apartemen yang memadai bila pasangan muda dan orang tuanya ingin hidup bersama.


(32)

b. Posisi Orang Tua dan Kondisi Perawatannya Pada Zaman Sekarang

Setelah sistem ie dihapuskan, kedudukan pria dan wanita menjadi setara dalam undang-undang. Dalam hal kewajiban fuyou terhadap orang tua, terdapat perubahan dari undang-undang sebelumnya.

Berikut undang-undang baru Showa berkenaan dengan roushin fuyou, yaitu : - Pasal 877 :

1. Kerabat langsung berdasarkan hubungan darah dan saudara laki-laki dan perempuan mempunyai kewajiban untuk memberi fuyou satu sama lain.

2. Jika ada kondisi khusus, pengadilan keluarga dapat membebankan kewajiban untuk memberikan fuyou diantara shinzoku ( kerabat dekat ) dalam tiga shinto ( tingkat kekerabatan ) selain dari yang diterangkan dalam paragraf sebelumnya.

3. Jika keputusan menurut ketetapan paragraf sebelumnya telah dibuat, apabila telah terjadi perubahan keadaan, pengadilan keluarga dapat mencabut kembali keputusannya.

- Pasal 878 :

Jika dalam kasus dimana ada dua orang atau lebih yang berkewajiban untuk memberikan fuyou, tidak terdapat persetujuan yang dicapai untuk memungkinkan antara pihak yang berhubungan dan perintah pemberian fuyou, perintah tersebut akan diputuskan melalui pengadilan keluarga.


(33)

Dalam kasus dimana ada dua orang atau lebih berhak untuk diberi fuyou, jika kemampuan keuangan orang yang berkewajiban memberikan fuyou tidak mencukupi untuk membantu mereka semua, caranya sama seperti ditetapkan di atas.

- Pasal 879 :

Jika tidak ada persetujuan yang dicapai atau memungkinkan antara pihak yang berhubungan dengan cara dan standar fuyou, pengadilan keluarga akan memutuskan persoalan seperti itu, dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan orang yang berkewajiban memberikan fuyou dan seluruh keadaan lainnya ( Soichi Nasu, 1985:24-26 ).

Pada pasal 887 ayat 2 di atas, dikatakan bahwa kewajiban untuk melakukan perawatan dapat dibebankan dalam kekerabatan tiga shinto. Shinto adalah wilayah kekerabatan dalam shinzoku. Shinzoku mempunyai arti hubungan kekerabatan yang dipusatkan pada ego sebagai titik tolak dan hubungan dengan para kerabatnya baik yang bersifat ketsuzoku ( berdasarkan hubungan darah atau keturunan dengan ego ) maupun inzoku ( hubungan kekerabatan yang terjadi antara ego dengan keluarga istri dan suami ).


(34)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

1. Sejak zaman tokugawa sampai akhir perang dunia II, sistem keluarga Jepang diatur oleh konsep Ie dan bahkan mendapat pengakuan secara hukum dalam kode hukum sipil Meiji ( 1868-1912 ).

2. pembentukan sebuah ie tidak ditekankan pada ikatan perkawinan dan hubungan darah, tetapi lebih ditekankan pada kelompok yang menyelenggarakan kehidupan ekonomi dan sosial secara bersama. 3. Pada zaman Meiji, hampir seluruh kegiatan masyarakat Jepang adalah

pertanian. Sehingga masyarakat Jepang dikatakan masyarakat agraris. 4. Pada zaman dahulu, Figur ayah sering disamakan sebagai hal yang ditakuti

oleh anggota ie lainnya, seperti jishin (gempa), kaminari (petir), kaji (kebakaran), dan oyaji (ayah).

5. Setelah sistem ie dihapuskan, kedudukan pria dan wanita menjadi setara dalam undang-undang.


(35)

5.2.Saran

Setelah mempelajari kehidupan masyarakat Jepang dari zaman dahulu sampai sekarang. Saya menyarankan bahwasannya segala sesuatu yang sudah menjadi tradisi dari dahulu, hendaknya dilestarikan dan diterapkan pada masa sekarang. Karena semua yang sudah ditradisikan itu tujuannya untuk membuat masyarakat Jepang hidup lebih baik dan terarah.


(36)

DAFTAR PUSTAKA

Befu. 1971:18.

Benedict. 1979:105. Konsep On.

Fukutake, Tadashi. 1989. Rural Society in Japan ( Masyarakat Pedesaan di Jepang ). Terjemahan haryono. Jakarta : PT. Gramedia.

Http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Jepang Kazuo, Aoi. 1974:67. Kazoku To Wa Nanika.

Murdock, G.P. 1971:358. Konsep Family Sebagai Kekerabatan.

Mientosih, Sri ( dkk ). 1995. Perubahan Nilai Hubungan Anak dan Orang Tua pada Masyarakat Peralihan dari Kebudayaan Agraris kepada Kebudayaan Masyarakat Industri. Studi Kasus Perubahan Sosial Masyarakat Sunda di Bandung. Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional

Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Nakane, Chie. 1967. Kiship and Economic Organization in Rural Japan. London : the Atholone Press, University of London.

Sodei. 1995:219-230. Faktor Penyebab Menurunnya Proporsi Jumlah Generasi Muda yang Tinggal Bersama Orang Tua.

Torigoe. 1993:9. Pengertian Ie. Yamamoto. 1974:118.


(1)

Pertama, menurunnya jumlah anak perpasangan. Pada zaman Meiji ( 1868-1912 ) jumlah anak dalam satu keluarga adalah lima orang. Salah satu penyebabnya adalah anak berfungsi sebagai tenaga kerja pertanian mereka. Akan tetapi, seiring dengan industrialisasi, jumlah ini terus menurun menjadi tiga sampai dua orang dalam satu keluarga pada masa Showa ( 1926-1989 ).

Kedua, meningkatnya mobilitas penduduk dari desa ke kota, khususnya pada tahun 1960, yang ditandai dengan perkembangan teknologi dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pertumbuhan ekonomi yang cepat menyebabkan meningkatnya permintaan untuk tenaga kerja dalam sektor industri dan jasa. Sektor ini membutuhkan tenaga kerja yang banyak. Banyak pemuda yang semula bekerja di bidang pertanian ( primer ) pindah pekerjaan ke industri sekunder atau tersier. Untuk mendukung pekerjaannya, mereka juga pindah dari desa ke kota. Keinginan bekerja di bidang industri yang tidak ada di desanya menyebabkan anak laki-laki pertama yang mungkin juga anak laki-laki satu-satunya meninggalkan rumah. Oleh karena itu, di wilayah pedesaan kaum tua atau lansia menjadi orang yang kesepian karena ditinggalkan oleh anak-anaknya.

Ketiga, perubahan sikap terhadap pengaturan tempat tinggalindustrialisasi, modernisasi, dan urbanisasi mempunyai hubungan langsung dalam mengubah sikap terhadap living arrangement ( pengaturan tempat tinggal ) ini.

Keempat, kurangnya perumahan di wilayah perkotaan. Tingginya harga tanah menyulitkan pasangan muda untuk memiliki rumah sendiri. Perumahan dengan sewa murah cenderung berada di luar kota, sehingga tidak mudah untuk menemukan ukuran rumah atau apartemen yang memadai bila pasangan muda dan orang tuanya ingin hidup bersama.


(2)

b. Posisi Orang Tua dan Kondisi Perawatannya Pada Zaman Sekarang

Setelah sistem ie dihapuskan, kedudukan pria dan wanita menjadi setara dalam undang-undang. Dalam hal kewajiban fuyou terhadap orang tua, terdapat perubahan dari undang-undang sebelumnya.

Berikut undang-undang baru Showa berkenaan dengan roushin fuyou, yaitu : - Pasal 877 :

1. Kerabat langsung berdasarkan hubungan darah dan saudara laki-laki dan perempuan mempunyai kewajiban untuk memberi fuyou satu sama lain.

2. Jika ada kondisi khusus, pengadilan keluarga dapat membebankan kewajiban untuk memberikan fuyou diantara shinzoku ( kerabat dekat ) dalam tiga shinto ( tingkat kekerabatan ) selain dari yang diterangkan dalam paragraf sebelumnya.

3. Jika keputusan menurut ketetapan paragraf sebelumnya telah dibuat, apabila telah terjadi perubahan keadaan, pengadilan keluarga dapat mencabut kembali keputusannya.

- Pasal 878 :


(3)

Dalam kasus dimana ada dua orang atau lebih berhak untuk diberi fuyou, jika kemampuan keuangan orang yang berkewajiban memberikan fuyou tidak mencukupi untuk membantu mereka semua, caranya sama seperti ditetapkan di atas.

- Pasal 879 :

Jika tidak ada persetujuan yang dicapai atau memungkinkan antara pihak yang berhubungan dengan cara dan standar fuyou, pengadilan keluarga akan memutuskan persoalan seperti itu, dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan orang yang berkewajiban memberikan fuyou dan seluruh keadaan lainnya ( Soichi Nasu, 1985:24-26 ).

Pada pasal 887 ayat 2 di atas, dikatakan bahwa kewajiban untuk melakukan perawatan dapat dibebankan dalam kekerabatan tiga shinto. Shinto adalah wilayah kekerabatan dalam shinzoku. Shinzoku mempunyai arti hubungan kekerabatan yang dipusatkan pada ego sebagai titik tolak dan hubungan dengan para kerabatnya baik yang bersifat ketsuzoku ( berdasarkan hubungan darah atau keturunan dengan ego ) maupun inzoku ( hubungan kekerabatan yang terjadi antara ego dengan keluarga istri dan suami ).


(4)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

1. Sejak zaman tokugawa sampai akhir perang dunia II, sistem keluarga Jepang diatur oleh konsep Ie dan bahkan mendapat pengakuan secara hukum dalam kode hukum sipil Meiji ( 1868-1912 ).

2. pembentukan sebuah ie tidak ditekankan pada ikatan perkawinan dan hubungan darah, tetapi lebih ditekankan pada kelompok yang menyelenggarakan kehidupan ekonomi dan sosial secara bersama. 3. Pada zaman Meiji, hampir seluruh kegiatan masyarakat Jepang adalah

pertanian. Sehingga masyarakat Jepang dikatakan masyarakat agraris. 4. Pada zaman dahulu, Figur ayah sering disamakan sebagai hal yang ditakuti

oleh anggota ie lainnya, seperti jishin (gempa), kaminari (petir), kaji (kebakaran), dan oyaji (ayah).

5. Setelah sistem ie dihapuskan, kedudukan pria dan wanita menjadi setara dalam undang-undang.


(5)

5.2.Saran

Setelah mempelajari kehidupan masyarakat Jepang dari zaman dahulu sampai sekarang. Saya menyarankan bahwasannya segala sesuatu yang sudah menjadi tradisi dari dahulu, hendaknya dilestarikan dan diterapkan pada masa sekarang. Karena semua yang sudah ditradisikan itu tujuannya untuk membuat masyarakat Jepang hidup lebih baik dan terarah.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Befu. 1971:18.

Benedict. 1979:105. Konsep On.

Fukutake, Tadashi. 1989. Rural Society in Japan ( Masyarakat Pedesaan di Jepang ). Terjemahan haryono. Jakarta : PT. Gramedia.

Http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Jepang Kazuo, Aoi. 1974:67. Kazoku To Wa Nanika.

Murdock, G.P. 1971:358. Konsep Family Sebagai Kekerabatan.

Mientosih, Sri ( dkk ). 1995. Perubahan Nilai Hubungan Anak dan Orang Tua pada Masyarakat Peralihan dari Kebudayaan Agraris kepada Kebudayaan Masyarakat Industri. Studi Kasus Perubahan Sosial Masyarakat Sunda di Bandung. Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional

Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Nakane, Chie. 1967. Kiship and Economic Organization in Rural Japan. London : the Atholone Press, University of London.

Sodei. 1995:219-230. Faktor Penyebab Menurunnya Proporsi Jumlah Generasi Muda yang Tinggal Bersama Orang Tua.