Dampak Perubahan Masyarakat Agraris Ke Industri Terhadap Lansia Di Jepang

(1)

DAMPAK PERUBAHAN MASYARAKAT AGRARIS KE INDUSTRI TERHADAP LANSIA DI JEPANG

NIHON DE NO KOUREIKA SHAKAI NO NOMIN SHAKAI E KOOGYOO SHAKAI NO HENKA NO KEKKA

SKRIPSI

Skripsi Ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh:

ROMI HARDIANSYAH NIM : 070708041

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(2)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan Alhamdulillahi rabbil ’alamin, segala puji hanya milik Allah SWT yang telah memberi rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah saw, keluarganya, para sahabatnya, dan siapa saja

Skripsi ini berjudul : Dampak Perubahan Masyarakat Agraris ke Masyarakat Industri Terhadap Lansia di Jepang. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan dan meraih gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum, selaku Ketua Jurusan Sastra Jepang dan dosen pembimbing II.

3. Bapak Zulnaidi, SS, M. Hum, selaku dosen pembimbing I yang telah meluangkan waktu dalam membimbing penulis.

4. Seluruh staf pengajar Fakultas Ilmu Budaya USU, khususnya pada Jurusan Sastra Jepang yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis.

5. Ayahanda Ramli (alm), Ibunda Rohani (alm), Abahku (Dani, Dika, Ambun), dan Adikku (Roma dan Sarah) yang telah menjadi penyemangat bagi penulis.

6. Teman-temanku yang tergabung dalam ”Liga” David (Edgar), Fitri (Bronk), Rifki (Kiki), Romi (Kaka) yang dengan senang hati membantu penulis dalam proses pembuatan skripsi ini.


(3)

7. Rekan-rekan Sastra Jepang Stambuk 2007 yang telah memberi banyak bantuan dan dukungan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi kita semua.

Medan, Oktober 2012 Penulis,


(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang Masalah... 1

1.2. Perumusan Masalah... 6

1.3. Ruang Lingkup Pembahasan... 8

1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori... 8

1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 13

1.6. Metode Penelitian... 13

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP MASYARAKAT AGRARIS, INDUSTRI DAN KEHIDUPAN LANSIA DI JEPANG 2.1. Struktur Keluarga Masyarakat Agraris... 15

2.2. Struktur Keluarga Masyarakat Industri... 21

2.3. Kehidupan Lansia di Jepang... 26

BAB III DAMPAK PERUBAHAN MASYARAKAT AGRARIS KE MASYARAKAT INDUSTRI TERHADAP LANSIA DI JEPANG 3.1. Keberadaan Lansia di Jepang... 33

3.2. Peningkatan Lansia di Jepang... 35

3.2.1. Menurunnya Angka kelahiran... 37


(5)

3.3. Penanganan Lansia di Jepang... 41

3.3.1. Keluarga... 41

3.3.2. Masyarakat... 46

3.3.3. Negara... 48

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan... 53

4.1. Saran... 55

DAFTAR PUSTAKA


(6)

ABSTRAK

Di Jepang, istilah yang dipakai untuk lansia adalah(roujin). Karakter kanji (rou) berarti berumur atau tua, sedangkan karakter kanji (jin) berarti orang. Jadi, roujin secara harafiah berarti orang tua atau orang yang sudah berumur. Seiring dengan meningkatnya populasi roujin ini dan berkembangnya masalah roujin, untuk menghindari kesan suram dari istilah digunakan istilah koreisha yang secara harafiah berarti orang yang berusia tinggi atau lanjut. Dewasa ini masyarakat Jepang dikenal dengan koureika shakai (masyarakat yang menua).

Perubahan besar dan cepat terjadi dalam kehidupan keluarga di Jepang khususnya sesudah perang. Industrialisasi mempercepat perubahan struktur keluarga. Perubahan struktur keluarga di sini adalah struktur keluarga Jepang dalam konsep ie menjadi struktur keluarga kaku kazoku (keluarga inti). Selain industrialisasi, penyebab lainnya adalah dengan dihapuskannya sistem ie, konsep keluarga inti menjadi konsep keluarga baru di Jepang. Berbeda dengan sistem keluarga tradisional ie dimana anggota keluarga terdiri dari kerabat dan nonkerabat dan memungkinkan dua atau tiga generasi tinggal bersama, keluarga inti hanya beranggotakan ayah,ibu, dan anak-anak yang belum menikah.

Sistem keluarga ie berubah mengikuti perkembangan zaman menjadi kaku kazoku yaitu keluarga nuklir. Sistem ini telah berhasil menggeser pola perawaatan lansia dari yang tadinya di rumah dengan penuh kehangatan kasih sayang anak, menantu dan cucu, kini beralih menuju roujinhomu atau panti jompo.

Di dalam sistem keluarga tradisional ie, orang tua dihari tuanya menjadi tanggung jawab chonan yaitu anak sulung laki-laki atau anak laki-laki satu satunya di dalam keluarga bersama-sama dengan menantunya di rumah, tapi tidak demikian halnya zaman sekarang, chonan dan keluarganya sulit bisa diharapkan untuk merawat orang tuanya.


(7)

Sementara itu, jika orang tua tadi tetap di rumah, tidak dititipkan di panti jompo, maka sebagai pengganti anggota keluarga yang bisa diharapkan untuk membantu merawat orang tua tadi adalah houmon kango yaitu perawat yang datang ke rumah, atau houmu herupa yaitu pembantu yang datang untuk merawat lansia di rumah dibantu oleh peralatan yang serba mengandalkan kecanggihan teknologi.

Dalam perawatan lansia timbul berbagai macam masalah diantaranya adalah sulitnya para lansia diurus karena faktor umur, dan dari diri perawat sendiri yang merasa lelah dalam merawat para lansia tersebut.

Banyak masyarakat yang lebih cendrung menitipkan para orang tuanya ke tempat penitipan lansia apabila mereka sibuk bekerja. Hal lain yang dilakukan adalah dengan mengundang perawat ke rumah ataupun merawat orang tuanya itu sendiri di rumah bersama keluarganya.

Perekonomian Jepang setelah perang meningkat dengan pesat sejak tahun 1950-an sampai tahun 1960-an. Seiring dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi, sejak pertengahan tahun 1960-an seluruh keluarga mulai berurbanisasi ke kota, menjual atau meninggalkan seluruh harta kekayaannya. Salah satu alasan urbanisasi ini adalah perkembangan ekonomi yang cepat dan standar hidup yang tinggi, menyebabkan para petani tidak mampu menggarap tanah pertaniannya dengan biaya yang tinggi. Faktor ini telah mendorong petani miskin untuk meninggalkan pekerjaan warisan nenek moyangnya dan pergi ke kota.

Dengan kata lain, setelah sistem ie dihapuskan dan sejalan dengan perkembangan teknologi dan industrialisasi, struktur rumah tangga Jepang mengalami perubahan dengan pesat. Konsep ie dalam struktur rumah tangga diganti dengan konsep family (keluarga) seperti di Barat.


(8)

Selain berubahnya sistem keluarga ini, jumlah anggota keluarga juga cenderung menurun. Sebelum perang, rata-rata jumlah anak dalam keluarga adalah lima orang dan anak berfungsi sebagai tenaga kerja pertanian. Akan tetapi, setelah perang, jumlah anak cenderung menurun. Meningkatnya jumlah keluarga inti dan berkurangnya jumlah anggota keluarga disertai dengan meningkatnya usia harapan hidup menimbulkan permasalahan terhadap pemeliharaan dan perawatan lansia . Banyak orang Jepang sekarang yang mencemaskan nasibnya dalam menghadapi hari tuanya kelak.

Masalah perawatan lansia mulai mendapat perhatian sejak tahun 1975. Hal ini disebabkan oleh semakin bertambah panjangnya usia harapan hidup orang Jepang. Sebelum perang, usia harapan hidup rata-rata orang Jepang kurang dari 55 tahun, dan setiap keluarga mempunyai beberapa anak. Akan tetapi, setelah perang, usia harapan hidup orang Jepang meningkat dengan tajam.

Penyebab terbesar dari bertambah besarnya jumlah penduduk yang menua lainnya adalah menurunnya angka kelahiran dan kematian. Menurunnya angka kelahiran menyebabkan bawah dari piramida penduduk menyempit. Selanjutnya, menurunnya angka kematian menyebabkan meningkatnya persentase orang mencapai usia tua, memperbesar piramida penduduk bagian atas. Dengan sendirinya sedikit tingkat kelahiran dan kematian ini menyebabkan meningkatnya penduduk yang menua.

Dengan meningkatnya jumlah lansia dan bertambah panjangnya usia harapan hidupnya, tanggung jawab merawat orang tua yang dulu menjadi tanggung jawab keluarga serta kerabat saat ini menjadi tanggung jawab semua pihak. Masyarakat dan pemerintah turut berpartisipasi dalam menanganinya. Tidak dapat disangkal, dengan panjangnya usia harapan hidup ini, timbul industri dan pekerjaan baru yang berhubungan dengan perawatan lansia.


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Masa isolasi Jepang berlangsung selama kurang lebih 250 tahun pada zaman Edo yang dikenal juga dengan masa Tokugawa. Zaman Edo (1603-1867) adalah

zaman dimana Jepang diperintah oleh keluarga Tokugawa. Disebut zaman Edo karena pemerintahan keshogunan Tokugawa waktu itu berpusat di kota Edo (Tokyo) (Situmorang), 1995:41).

Masa Tokugawa ditandai oleh suatu sistem stratifikasi sosial yang resmi dan turun temurun. Kekuasaanlah yang menentukan status bukan kekayaan. Tingkat kedudukan rakyat jelata diatur sesuai pandangan tradisional yaitu, berdasarkan produktivitas mereka. Dan yang menjadi penguasa dalam sistem ini adalah kaisar, Shogun dan Tuan tanah feodal. Satu tingkat dibawahnya adalah samurai (bushi), yang berkedudukan tinggi karena dia melaksanakan kekuasaan politik baik dalam bidang politik, maupun dalam jabatan sipil. (Robert. N. Bellah;1992:35)

Pada masa Ini Jepang mengisolasi diri dari hubungan dengan bangsa-bangsa lain oleh kekuasaan shogun Tokugawa. Hanya kepulauan Okinawa yang masih diperbolehkan berhubungan keluar, dan diberikan izin kepada Belanda untuk berdagang melalui pulau Deshima yang terletak di depan Nagasaki. Tetapi, ketika Amerika Serikat meningkatkan hubungan perdagangan dengan Cina, maka diperlukan pelabuhan-pelabuhan yang terletak antara Amerika Serikat dan Cina. Kemudian terjadinya perkembangan atau revolusi industri dan teknologi di Barat yang menghasilkan kapal-kapal bertenaga uap yang memungkinkan


(10)

meluasnya daerah operasi negara-negara Barat, sehingga kepulauan Jepang menjadi daerah lintasan kapal-kapal. Akhirnya lambat laun politik isolasi tak dapat dipertahankan.

Para ahli sejarah sepakat bahwa modernisasi di Jepang dimulai sejak Restorasi Meiji tahun 1868. Restorasi ini ditandai dengan penyerahan kekuasaan dari keshogunan Tokugawa kepada kaisar Meiji. Restorasi ini sekaligus membuka jalan bagi modernisasi dan merupakan peristiwa penting dalam perkembangan sejarah Jepang. Karena pada zaman ini, Jepang mengakhiri pengasingan diri, serta tampil maju ke dunia internasional sebagai bangsa modern.

Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintahan Meiji untuk mengejar ketertinggalan mereka selama jaman Feodal. Salah satu diantaranya adalah pemerintah mengeluarkan dekrit yang dikenal dengan gokajonogo seimon (lima dekrit kaisar) yang salah satu isinya adalah mempelajari ilmu pengetahuan dari seluruh dunia untuk digunakan demi kemuliaan negara. Pendidikan merupakan sarana untuk menghasilkan tenaga kerja industri modern. Bukan hanya itu, untuk mendongkrak semangat juang rakyatnya pemerintah menggunakan semboyan “oitsuki oikuse”, yang artinya “mengejar dan melampaui”. Dengan semboyan ini dalam kurun waktu yang tidak begitu lama Jepang sudah dapat mengejar ketertinggalan mereka dari negara-negara Eropa (Situmorang, 2000:22)

Kebijakan lain yang dikeluarkan Meiji adalah mencanangkan industrialisasai dan peningkatan produksi, kemakmuran nasional, kekuatan militer; akibatnya ekonomi kapitalis Jepang mulai tumbuh dengan cepat. Kota-kota benteng pada zaman Tokugawa disulap dan berubah menjadi kota prefektur. Kemudian, daerah-daerah yang sebelumnya adalah desa-desa pertanian atau perikanan berkembang menjadi kota-kota baru. Kota-kota industri seperti Yawata, Kawasaki, dan Hitachi, yang baru berkembang setelah zaman Restorasi Meiji, merupakan contoh kongkrit dari pengaruh industrialisasi. Kota lain seperti Yokohama,


(11)

Niigata, dan Aomori berkembang menjadi kota-kota penting setelah pembukaan pelabuhan-pelabuhan Jepang bagi perdagangan luar negeri.

Munculnya kota-kota baru di Jepang setelah Restorasi Meiji disusul oleh pendiri pusat-pusat industri. Berbagai perusahaan didirikan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan upaya peningkatan hubungan dengan negara luar. Pergeseran dari batu bara terhadap minyak sebagai sumber energi mempunyai pengaruh yang sangat besar pada penempatan industri. Selain itu, keputusan Jepang untuk melakukan invasi keberbagai tempat juga menuntut industri peralatan Jepang.

Tidak dapat disangkal lagi kehadiran kota-kota sebagai pusat industri dan perdagangan ini merupakan faktor utama yang mendorong terjadinya perubahan keluarga. Banyak teori yang mengemukakan bahwa perubahan keluarga pada masa ini seiring dengan kemajuan yang didatangkan oleh “industrialisasi dan urbanisasi”.

Perubahan besar dan cepat terjadi dalam kehidupan keluarga di Jepang khususnya sesudah perang. Industrialisasi mempercepat perubahan struktur keluarga. Perubahan struktur keluarga di sini adalah struktur keluarga Jepang dalam konsep ie menjadi struktur keluarga kaku kazoku (keluarga inti). Selain industrialisasi, penyebab lainnya adalah dengan dihapuskannya sistem ie, konsep keluarga inti menjadi konsep keluarga baru di Jepang. Berbeda dengan sistem keluarga tradisional ie dimana anggota keluarga terdiri dari kerabat dan nonkerabat dan memungkinkan dua atau tiga generasi tinggal bersama, keluarga inti hanya beranggotakan ayah,ibu, dan anak-anak yang belum menikah.

Kehadiran suatu industri di dalam masyarakat agraris yang belum mengenal industri, dan secara langsung kehidupannya tidak tergantung pada industri, merupakan pertemuan dua pola kebudayaan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Pertemuan dua bentuk kebudayaan ini melahirkan satu proses perubahan, dari masyarakat agraris menuju kepada terbentuknya


(12)

masyarakat industri yang hidup dalam masyarakat luas, terbuka, dan heterogen. Kegiatan ekonomi yang semula sekedar untuk memenuhi permintaan pasar guna mengejar keuntungan materi. Untuk itu diterapkan teknologi maju yang eksploitatif dan ekspansif demi efisiensi dan produktivitas.

Perubahan dari masyarakat agraris ke masyarakat industri memberikan dampak psikologis bagi para orang tua lansia. Yang tadinya dirawat oleh keluarganya sendiri, kini mereka di titipkan di panti jompo atau dirawat oleh orang lain yang datang kerumah. Perasaan tidak dibutuhkan, diabaikan, tidak didengarkan, tidak berguna, dan merasa menantu tidak menginginkan keberadaannya sering dialami lansia.

Faktor psikologis adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan dalam seorang manusia, termasuk lansia. Faktor emosional erat kaitannya dengan kesehatan mental lansia. Aspek emosional yang mengganggu serta kecemasan dan stres berat dapat secara tidak langsung menimbulkan gangguan terhadap kesehatan fisik yang dapat berakibat buruk terhadap stabilitas emosi. Rasa tersisih, tidak dibutuhkan lagi, penyakit yang tidak kunjung sembuh dan kematian pasangan, depresi post power syndrome, dan the empty nest adalah masalah psikologis yang makin memberatkan kehidupan lansia (Agoes Achir, 2001:198).

Dalam perawatan lansia tentu akan menimbulkan rasa lelah yang akan menimbulkan konflik yang dapat mengganggu hubungan antar anggota keluarga. Merawat orang tua yang lemah atau sudah jompo memerlukan perhatian penuh, bukan hanya karena mereka sudah pikun dan harus terus diawasi dengan alasan keselamatannya, tetapi juga karena kondisi fisik mereka yang juga memerlukan perhatian khusus.

Tinggal bersama di antara tiga generasi dalam satu rumah perlu penyesuaian satu sama lain, khususnya antara generasi tua dan generasi anak. Perubahan nilai-nilai budaya antara generasi tua dan generasi muda perlu dijaga agar tidak menimbulkan konflik dan dapat


(13)

menjaga ketenangan keluarga. Untuk itu, lansia pun diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan perubahan nilai-nilai budaya yang berbeda, dengan nilai-nilai yang dianutnya dulu, agar tercipta hubungan yang harmonis dengan keluarga anaknya, khususnya dalam hubungan antara mertua dan menantu.

Agar keluarga yang merawat lansia di rumah dapat beristirahat, maka meninggalkan lansia sementara di panti jompo, jasa-jasa pemandian, dan jasa day care service (jasa perawatan harian) sedikit membantu dalam mengangkat beberapa ketegangan fisik dan emosi dari perawat lansia.

Untuk memberikan dukungan kepada anggota keluarga yang merawat lansia di rumah, dengan tujuan untuk memberikan informasi dan dukungan secara emosi, dibentuklah Asosiasi Keluarga Lansia yang Pikun dan Asosiasi Lansia Netakiri (yang tidak dapat beranjak dari tempat tidur). Kedua asosiai ini telah mempunyai banyak cabang.

Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk membahas tentang “DAMPAK PERUBAHAN MASYARAKAT AGRARIS KE MASYARAKAT INDUSTRI TERHADAP LANSIA DI JEPANG”.

1.2Perumusan Masalah

Kehadiaran suatu industri di dalam masyarakat agraris yang belum mengenal industri, dan secara langsung kehidupannya tidak tergantung pada industri, merupakan pertemuan dua pola kebudayaan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Pertemuan dua bentuk kebudayaan ini melahirkan suatu proses perubahan, dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri yang hidup dalam masyarakat luas, terbuka, dan heterogen. Hal ini mempengaruhi sistem keluarga di Jepang, yang tadinya menggunakan sistem ie sekarang menjadi sistem kaku kazoku.


(14)

Sistem keluarga ie berubah mengikuti perkebangan zaman menjadi kaku kazoku yaitu keluarga nuklir. Sistem ini telah berhasil menggeser pola perawaatan lansia dari yang tadinya di rumah dengan penuh kehangatan kasih sayang anak, menantu dan cucu, kini beralih menuju roujinhomu atau panti jompo.

Di dalam sistem keluarga tradisional ie, orang tua dihari tuanya menjadi tanggung jawab chonan yaitu anak sulung laki-laki atau anak laki-laki satu satunya di dalam keluarga bersama-sama dengan menantunya di rumah, tapi tidak demikian halnya zaman sekarang, chonan dan keluarganya sulit bisa diharapkan untuk merawat orang tuanya.

Sementara itu, jika orang tua tadi tetap di rumah, tidak dititipkan di panti jompo, maka sebagai pengganti anggota keluarga yang bisa diharapkan untuk membantu merawat orang tua tadi adalah houmon kango yaitu perawat yang datang ke rumah, atau houmu herupa yaitu pembantu yang datang untuk merawat lansia di rumah dibantu oleh peralatan yang serba mengandalkan kecanggihan teknologi.

Perubahan cara perawatan ini sering membuat para lansia mengalami beban psikologis. Mereka merasa sedih karena tidak merasakan kehangatan keluarga dan kebersamaan dengan anak-anak dan cucunya. Hal ini membuat para lansia mengalami beban dalam hidupnya.

Dalam perawatan lansia timbul berbagai macam masalah diantaranya adalah sulitnya para lansia diurus karena faktor umur, dan dari diri perawat sendiri yang merasa lelah dalam merawat para lansia tersebut.

Banyak masyarakat yang lebih cendrung menitipkan para orang tuanya ke tempat penitipan lansia apabila mereka sibuk bekerja. Hal lain yang dilakukan adalah dengan


(15)

mengundang perawat ke rumah ataupun merawat orang tuanya itu sendiri di rumah bersama keluarganya.

Jumlah penduduk lansia yang semakin membengkak dari tahun ke tahun, merupakan masalah yang sangat serius di Jepang dewasa ini.

Dengan demikian penulis menetapkan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana kehidupan dan perawatan lansia yang ada di Jepang dewasa ini?

2. Bagaimana dampak perubahan masyarakat agraris ke masyarakat industri terhadap lansia? 1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Dalam skripsi ini penulis membatasi pembahasannya mengenai dampak dari perubahan masyarakat agraris ke masyarakat industri terhadap lansia di Jepang dewasa ini. Di sini akan dijelaskan bagaimana perawatan lansia pada saat sekarang sebagai akibat dari perubahan tersebut. Supaya pembahasannya lebih jelas dan akurat, maka penulis dalam bab II akan membahas tentang struktur keluarga masyarakat agraris, struktur keluarga masyarakat industri, dan kehidupan lansia di Jepang.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

a. Tinjauan Pustaka

Menua merupakan fenomena universal, tetapi derapnya berbeda-beda antar individu. Dengan meningkatnya usia terjadi beberapa perubahan pada tubuh, seperti kulit keriput, rambut memutih dan menipis, gigi berlubang dan copot, tinggi badan cendrung berkurang, ketajaman penglihatan dan pendengaran menurun, dan indra pengecap pun berkurang (Lumbantobing, 1997:1).


(16)

Di Jepang, istilah yang dipakai untuk lansia adalah(roujin). Karakter kanji (rou) berarti berumur atau tua, sedangkan karakter kanji (jin) berarti orang. Jadi, roujin secara harafiah berarti orang tua atau orang yang sudah berumur. Seiring dengan meningkatnya populasi roujin ini dan berkembangnya masalah roujin, untuk menghindari kesan suram dari istilah roujin (dilihat dari karakter kanji tersebut), menurut Sodei Takako dalam New Encyclopedia of Sociology (1993:448), sebagai ganti istilah roujin digunakan istilah koreisha yang secara harafiah berarti orang yang berusia tinggi atau lanjut. Dewasa ini masyarakat Jepang dikenal dengan koureika shakai (masyarakat yang menua).

Memasuki masa lansia berarti memasuki kehidupan fisik dengan daya tahan dan fungsi yang telah menurun. Bertambah tua berarti pula bertambah besar kemungkinan menderita berbagai penyakit tua. Apabila seseorang memasuki usia tua, berarti status dan perannya dalam lingkungan keluarga dan masyarakat pun mulai berubah. Untuk itu, ia diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan kondisnya ini.

Faktor psikologis adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan dalam seseorang manusia, termasuk lansia. Faktor emosional erat kaitannya dengan kesehatan mental lansia. Aspek emosional yang mengganggu serta kecemasan dan stres berat dapat secara tidak langsung menimbulkan gangguan terhadap kesehatan fisik yang dapat berakibat buruk terhadap stabilitas emosi. Rasa tersisih, tidak dibutuhkan lagi, penyakit yang tidak kunjung sembuh dan kematian pasangan, depresi post power syndrome, dan the empty nest adalah masalah psikologis yang makin memberatkan kehidupan lansia (Agoes Achir,2001 :198).

Dalam bahasa Jepang, ada beberapa istilah yang dapat digunakan untuk mengacu kepada perawatan orang tua lansia ini. Pertama, istilah Fuyou. Dalam Shin Kanwa Jiten (Kamus Baru Kanji Bahasa Jepang) (1994:414 dan 1006) karakter kanji (fu) bisa berarti


(17)

membantu atau menolong dan (you) bisa berarti menjaga atau mengurus. Jadi, secara harafiah fuyou bisa berarti membantu menjaga atau mengurus.

Menurut Sodei Takako dalam Shin Shakai Gaku Jiten (Kamus Baru Sosiologi) (1993:1270), yang dimaksud dengan fuyou adalah bantuan yang diberikan kepada orang yang tidak mampu atau tidak dapat hidup sendiri disebabkan oleh tidak adanya sumber penghasilan dan ketidakmampuan kerja sendiri. Penyebab ketidakmampuan tersebut ada yang bersifat alami, seperti usia tua, anak-anak, fisik yang lemah, dan cacat, dan ketidakmampuan yang bersifat sosial, seperti pengangguran dan bangkrut.

Berikutnya istilah perawatan lain untuk lansia dapat diartikan dengan kaigo. Dalam Kamus Baru Kanji Bahasa Jepang (1999:50 dan 870) karakter kanji dapat berarti ‘berpartisipasi’, sedangkan karakter kanji (go) dapat berarti ‘menjaga’. Adapun pengertian istilah kaigo itu sendiri menurut Kamus Baru Kanji Bahasa Jepang adalah Bantuan yang diberikan dalam kehidupan sehari-hari kepada orang cacat, usia lanjut, dan orang sakit yang tidak bisa makan, mandi, memakai baju sendiri, dan lain-lain.

b. Kerangka Teori

Setiap penelitian memerlukan landasan atau kejelasan berfikir dalam memecahkan masalah atau menyorotinya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disoroti menurut Nawawi dalam Sangidu (2007 : 39-4).

Kerangka teori menurut Koentjaraningrat (1976:11) berfungsi sebagai pendorong proses berpikir dedukatif yang bergerak dari alam abstrak ke alam kongkrit. Suatu teori dipakai oleh peneliti sebagai kerangka yang memberi pembatasan terhadap fakta-fakta kongkrit yang tidak terbilang banyaknya dalam kehidupan masyarakat. Begitupun dalam


(18)

tulisan yang menggunakan kerangka berpikir sehingga dalam penulisannya dapat terarah dan hal yang dibahas juga dapat dibatasi sehingga tidak meluas.

Sebagai mahkluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendiri. Sejak kecil memerlukan perawatan dan kasih sayang seorang ibu, setelah besar dan dewasa butuh seorang teman untuk mendampingi hidupnya sehingga terbentuklah sebuah keluarga. Setelah tua atau jompo, serta dalam kondisi yang lemah, kembali lagi ia membutuhkan perawatan untuk membantu kelangsungan hidup pada hari tua.

Kecenderungan terjadinya perubahan-perubahan sosial merupakan gejala yang wajar yang timbul dari pergaulan hidup manusia di dalam masyarakat. Perubahan-perubahan sosial akan terus berlangsung sepanjang masih terjadi interaksi antarmanusia dan antarmasyarakat. Perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur yang mempertahankan keseimbangan masyarakat, seperti perubahan dalam unsur-unsur geografis, biologis, ekonomis, dan kebudayaan. Perubahan-perubahan tersebut dilakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang dinamis.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan konsep pendekatan sosiologis. Narwoko(2010:3) menjelaskan bahwa sosiologis mempelajari tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat, tidak sebagai individu yang terlepas dari kehidupan manusia. Fokus pembahasan sosiologi adalah interaksi manusia yaitu pada pengaruh timbal balik antara dua orang atau lebih dalam perasaan, sikap dan tindakan.

Selain itu penulis memakai teori perubahan sosial yang berkaitan dengan konsep cultural lag (kesenjangan budaya). Konsep ini mendukung Teori Fungsionalis untuk menjelaskan bahwa perubahan sosial tidak lepas dari hubungan antara unsur-unsur kebudayaan dalam masyarakat. Menurut teori ini (William Ogburn), beberapa unsur kebudayaan bisa saja berubah dengan sangat cepat sementara unsur yang lainnya tidak dapat


(19)

mengikuti kecepatan perubahan unsur tersebut. Maka, yang terjadi adalah ketertinggalan unsur yang berubah secara perlahan tersebut. Ketertinggalan ini menyebabkan kesenjangan sosial atau cultural lag .

Perubahan dari masyarakat agraris ke masyarakat industri memberikan dampak terhadap lansia. Perubahan itu bisa saja terhadap lansia maupun perawat lansia tersebut. Banyak hal yang berubah dari perawatan lansia pada masyarakat agraris dengan perawatan lansia pada masyarakat industri. Hal ini bisa dilihat dari proses perawatan lansia dan kehidupan lansia tersebut yang tadinya menggunakan sistem ie sekarang beralih ke sistem kakukazoku.

Para penganut Teori Fungsionalis lebih menerima perubahan sosial sebagai sesuatu yang konstan dan tidak memerlukan penjelasan. Perubahan dianggap sebagai suatu hal yang mengacaukan keseimbangan masyarakat. Proses pengacauan ini berhenti pada saat perubahan itu telah diintegrasikan dalam kebudayaan. Apabila perubahan itu ternyata bermanfaat, maka perubahan itu bersifat fungsional dan akhirnya diterima oleh masyarakat, tetapi apabila terbukti disfungsional atau tidak bermanfaat, perubahan akan ditolak.

Pada masyarakat agraris yang menggunakan sistem ie perawatan lansia dilakukan oleh keluarganya sendiri, sedangkan pada masyarakat industri yang menggunakan sistem kakukazoku para orang tua lansia lebih banyak dirawat oleh orang lain dari pada keluarganya sendiri. Pada masyarakat industri hal ini bermanfaat karena lebih memudahkan mereka dalam melaksanakan kesibukan mereka sehari-hari. Tetapi, bagi para lansia hal ini tidak begitu menyenangkan bagi mereka karena mereka tidak bisa merasakan kehangatan dalam keluarga yang mereka rasakan sebelumnya. Hal ini penulis jelaskan pada bagian bab III tentang dampak perubahan yang terjadi dari masyarakat agraris ke masyarakat industri terhadap lansia.


(20)

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian

a. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pembahasan di atas, penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui tentang kehidupan para lansia di Jepang

2. Untuk mengetahui dampak perubahan dari masyarakat agraris ke masyarakat industri terhadap lansia.

b. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi para pembaca diharapkan dapat menambah wawasan mengenai keidupan orang tua lansia yang ada di Jepang.

2. Agar dapat memahami budaya Jepang, khususnya bagi pelajar bahasa Jepang. 1.6 Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan yang dilandaskan pada analisis dan konstruksi. Analisis dan konstruksi dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten. Tujuannya adalah untuk mengungkapkan kebenaran sebagai salah satu manifestasi hasrat manusia untuk mengetahui apa yang dihadapinya dalam kehidupan (Soekanto, 2003 : 410).

Metode yang penulis gunakan adalah metode deskriptif. Menurut Koentjaraningrat (1976 : 30), bahwa penelitian yang bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang memberikan gambaran secermat mungkin mengenai individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu. Metode deskriptif juga merupakan suatu metode yang menggambarkan keadaan atau objek penelitian yang dilakukan pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya dan dipakai untuk memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan, mengkaji, dan menginterpretasikan data.


(21)

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka (library research) yaitu dengan menyelusuri sumber-sumber kepustakaan dengan buku-buku dan referensi yang berkaitan dengan masalah yang akan dipecahkan. Data yang diperoleh dari berbagai referensi tersebut kemudian dianalisa untuk mendapatkan kesimpulan dan saran.

Dalam memecahkan permasalahan penelitian ini, penulis mengumpulkan keseluruhan data yang ada yang berupa data tulisan. Data ini dapat berupa buku-buku, artikel, informasi baik dari media elektronik maupun tulisan, selain itu penulis juga memanfaatkan berbagai fasilitas seperti Perpustakaan Umum Universitas Sumatera Utara, pemanfaatan buku-buku pribadi penulis, serta website atau situs-situs yang menunjang dalam proses pengumpulan data-data dalam penelitian ini.


(22)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP MASYARAKAT AGRARIS, INDUSTRI DAN KEHIDUPAN LANSIA DI JEPANG

2.1 Struktur Keluarga Masyarakat Agraris

Sejak zaman Tokugawa sampai akhir perang dunia II, sistem keluarga Jepang diatur oleh konsep ie dan bahkan mendapat pengakuan secara hukum dalam kode hukum sipil Meiji (1868-1912) (Fukute, 1988:37). Pada zaman Meiji, 80 persen dari kegiatan perekonomiannya adalah pertanian sehingga pada masa itu masyarakat Jepang dikatakan masyarakat agraris. Oleh karena itu, konsep ie yang dibicarakan di sini adalah konsep ie yang terdapat pada masyarakat agraris Jepang sebagai pekerjaan yang dominan pada masa itu.

Konsep ie menerangkan hakikat dari keluarga sebagai suatu wujud yang berlangsung terus lewat garis keturunan ayah dari generasi ke generasi dan menjadi inti dari sistem keluarga tradisional.

Menurut Kizaemon Aruga (Hiroyuki Torigoe, 1993:9), yang dimaksud dengan ie adalah adat kebiasaan yang khas Jepang, yang berbeda dengan pengertian kazoku (keluarga) secara umum. Ie adalah kelompok yang menjalankan usaha kekayaan keluarga, dalam pengertian di sini karena keberadaannya sebagai kesatuan kehidupan di masyarakat, keanggotaannya melampaui anggota yang hidup dan mati, sebagai sasaran kesinambungan.

Ada tiga ciri khas dari ie (Torigoe, 1993:10-13). Pertama, ie mempunyai kasan (harta kekayaan keluarga) sebagai zaisan (warisan keluarga). Berdasarkan kasan ini, terbentuk suatu usaha yang mengelola kagyou (usaha keluarga). Kedua, ie memuja leluhur yang berasal dari leluhur ie yang terdahulu. Ketiga, kesinambungan ie bersifat terus-menerus melampaui generasi ke generasi dan menekankan kemakmuran bersama.


(23)

Dari uraian di atas, menurut Torigoe, ciri khas pertama terlihat dalam ie petani, nelayan, dan pedagang. Contohnya pada ie petani yang mempunyai warisan berupa tanah atau lahan pertanian, maka pengelolahan pertanian berdasarkan lahan pertanian ini. Ciri khas kedua ie sebagai pemujaan terhadap leluhur terlihat dari butsudan (altar budha) yang terdapat hampir di setiap rumah (honke) di Jepang, dan ciri khas yang ketiga mempunyai makna bahwa masyarakat Jepang sangat mementingkan kesinambungan ie tersebut.

Harumi Befu (dalam Putri Elsy, 2012) yang menggunakan istilah ie dalam bahasa Inggris dengan stem family, mengatakan , ie terdiri dari semua orang yang tinggal bersama dalam suatu tempat tinggal dan berbagi dalam kehidupan sosial dan ekonomi. Anggota ie terdiri dari kerabat dekat sebagai inti, tetapi dapat juga kerabat jauh dan bukan kerabat, seperti para pegawai yang tinggal bersama-sama dengan kerabat inti dan berpartisipasi menjalankan kehidupan sosial dan ekonomi bersama. Ie sebagai suatu bentuk corporate group (kelompok usaha) kelanggengannya akan terus diusahakan oleh anggotanya secara turun-temurun. Setelah kepala ie pensiun atau meninggal, kelangsungan ie tersebut dilanjutkan melalui penggantian dan pewarisan, biasanya oleh salah seorang keturunan yang akan tinggal dengan orang tuanya setelah ia menikah dan menjaga garis keturunannya.

Lebih lanjut Befu mengatakan, perbedaan terpenting antara ie dan keluarga Barat adalah perlakuan terhadap anggota bukan kerabat. Di Barat, anggota yang bukan kerabat atau kerabat jauh yang tinggal dengan suatu keluarga tidak dianggap sebagai anggota keluarga, dan perbedaan yang tajam terjadi antara anggota keluarga dan yang bukan, antara kerabat dan bukan kerabat.

Dalam ie, kata Befu, meskipun perbedaan itu ada, tidak dapat perbedaan yang tajam seperti di Barat. Perlakuan terhadap anggota yang bukan kerabat sama halnya dengan anggota kerabat. Yang paling penting adalah bagaimana setiap anggota ie tersebut dapat memberikan


(24)

konstribusinya terhadap kelangsungan ie dari pada memikirkan hubungan kekerabatan di antara setiap anggota. Dalam hal ini konstribusinya sebagai tenaga kerja dalam pengelolaan pertanian pada ie tersebut.

Dengan kata lain, dilihat dari struktur anggotanya, pembentukan sebuah ie tidak ditentukan pada ikatan perkawinan dan hubungan darah, tetapi lebih ditekankan pada kelompok yang menyelenggarakan kehidupan ekonomi dan sosial secara bersama.

Nakane Chie (1967:1-2) menggunakan istilah household untuk istilah ie ini. Menurut Nakane, istilah ie sering digunakan dalam literatur sosiologi yang sama artinya dengan family, tetapi menurutnya istilah household dalam bahasa Inggris lebih dekat artinya dengan konsep ie. Menurut Nakane, ie adalah unit sosial dasar dari tempat tinggal bersama anggota suatu rumah tangga yang anggotanya terdiri dari kerabat dan nonkerabat. Setiap anggota dalam ie memiliki kesadaran akan ie dilukiskan dengan istilah seperti “hidup di bawah atap yang sama” atau “hubungan di mana anggotanya berbagai makanan dalam dandang yang sama”. Dalam etimologi bahasa Jepang, ie berarti kamado atau tungku (yaitu tempat memasak, merupakan simbol dari anggota keluarga karena disinilah mereka berkumpul dan makan bersama). Selain itu, bangunan rumah itu sendiri disebut dengan ie.

Pengertian ie tidak sama dengan rumah tangga biasa. Dalam konsep ie yang berlangsung dari dulu hingga sekarang dinyatakan bahwa ie meliputi tidak hanya tempat tinggal anggotanya yang masih hidup, tetapi juga anggotanya yang sudah mati, dengan beberapa proyeksi terhadap yang belum lahir. Dengan kata lain, konsep ie selalu dipahami berlangsung terus sepanjang waktu atau turun-temurun dari pergantian anggotanya. Oleh karena itu, pengertian ie ini tidak sederhana seperti pengertian rumah tangga atau household dalam bahasa Inggris. Sebab, yang dimaksud dengan rumah tangga, menurut Soerjono


(25)

Soekanto (1983:225), adalah semua orang yang tinggal di satu tempat kediaman dengan rumah tangga sendiri.

Sebuah ie dipimpin oleh seorang kepala ie yang disebut kacho. Posisi kacho biasanya dipegang oleh ayah pada sebuah keluarga. Seorang kacho atau pemimpin ie memiliki peran baik di dalam maupun di luar ie-nya. Menurut Nakane, secara internal, kacho berperan mengelola pertanian, mengontrol atau menjaga kekayaan ie, dan secara eksternal mewakili ie tersebut. Kekayaan dan hak-hak penting lainnya yang berguna untuk pertanian dalam ie pengoperasiannya secara ekslusif dipegang oleh kepala ie.

Menurut Fukutake (1989;33), kekuasaan kacho yang besar dalam ie adalah, pertama, ia mempunyai kekuasaan terakhir untuk memberikan keputusan tentang semua hal yang berkaitan dengan milik keluarga. Kedua, ie merupakan pribadi yang terpenting dalam hal upacara keagamaan dan adat keluarga yang harus dilaksanakan untuk menghormati nenek moyang (bertanggung jawab terhadap ritus-ritus pemujaan terhadap nenek moyang), dan akhirnya ia mengontrol dan mengawasi semua usaha anggotanya dan membagi tugas untuk setiap anggotanya.

Fukutake (1989:35) menyatakan, ada aturan pokok dalam penggantian seorang kepala ie yang biasa dilakukan di Jepang. Kepala ie harus digantikan oleh seorang anak laki-laki yang biasanya adalah anak laki-laki tertua(chonan). Chonan tersebut akan mengambil alih milik ie secara keseluruhan atau memiliki prioritas dalam menentukan pembagiannya.

Anak laki-laki yang muda, menurut Fukutake, mungkin akan menerima bagian kecil dari kekayaan kalau ikut bekerja dan memberikan konstribusi secara ekonomi untuk ie-nya. Meskipun kecil, bagian tersebut cukup untuk membentuk bunke atau cabang keluarga apabila ia kelak menikah, sedangkan sisanya cukup untuk mempertahankan ie asalnya. Apabila anak laki-laki yang muda tersebut mendapatkan pekerjaan di luar pertanian, keluarganya akan


(26)

memberikan bantuan awal untuk kehidupannya. Di lain pihak, anak perempuan mendapatkan emas sebagai hadiah perkawinannya apabila ia menikah kelak.

Lebih lanjut Fukutake menyatakan, kedudukan anak-anak dalam ie petani dilukiskan dengan pepatah “seorang dijual, seorang menjadi ahli waris, dan seorang lagi menjadi cadangan”. Maksudnya, dalam satu keluarga, idealnya anak tertua adalah anak perempuan, yaitu seseorang yang akan pergi atau akan menjadi anggota ie suaminya apabila ia menikah. Selanjutnya, anak kedua adalah anak laki-laki yang akan menjadi ahli waris, dan yang terakhir adalah anak laki-laki yang akan menjadi cadangan apabila anak laki-laki yang akan menjadi ahli waris mati muda. Anak laki-laki tertua sering diperlakukan berbeda dengan saudaranya yang lain, dan semua orang diberi tahu bawa ia lebih penting. Selain ditakdirkan untuk menjadi pengganti kepala Ie, anak laki-laki tertua ini juga akan menerima tanggung jawab untuk merawat orang tuanya kelak.

Akan tetapi, pengganti dari kacho ini tidak mutlak harus anak kandung. Laki-laki lain, apakah ia memiliki hubungan keluarga atau tidak dengan kepala ie, dapat diangkat menjadi anak yang ditetapkan secara resmi sehingga ia menjadi anggota ie tersebut.

Menurut Nakane, ada aturan umum yang mengatur seseorang bisa dijadikan sebagai kepala ie apabila sebuah ie tidak memiliki seorang anak laki-laki atau hanya ada anak perempuan. Pertama, mengangkat seorang anak laki-laki apabila keluarga tersebut tidak memiliki anak laki-laki. Kedua, mengangkat suami anak perempuan (menantu) sebagai anak, dan pada waktunya kelak menantu ini akan mewarisi ie beserta kekayaannya. Anak menantu angkat ini dikenal dengan istilah mukoyoshi. Apabila ie tersebut tidak memiliki anak laki-laki atau anak perempuan, kepala ie dapat mengangkat pasangan muda sebagai menantunya.

Dengan pengankatan atau adopsi ini, hubungan “ayah” dan “anak” (oyako kankei) dikukuhkan dan si anak angkat ini pun akan mengambil nama keluarga ie tersebut sebagai


(27)

nama keluarganya. Anak laki-laki angkat ini bisa diambil dari anak saudara kepala ie seperti adik laki-laki, sepupu, atau saudaranya yang lain (termasuk keluarga istri). Akan tetapi, sering diambil anak laki-laki yang tidak punya hubungan kerabat dengan kepala ie.

Dalam beberapa kasus, seorang pelayan atau orang kepercayaan kepala ie dapat diangkat menjadi anak atau menantunya. Dalam hubungan yang seperti ini, yang diperlukan adalah pengganti yang dapat meneruskan kelanggengan sebuah ie karena anak atau menantu angkat tersebut sama haknya dalam pewarisan seperti layaknya anak laki-laki kandung. Pada prinsipnya pengganti ini akan terus melanjutkan kelanggengan dan pengelolahan usaha (pertanian) ie.

2.2 Struktur Keluarga Masyarakat Industri

Perubahan-perubahan setelah perang dalam keluarga, kelihatannya secara umum telah dianggap sesuatu yang lazim. Gagasan mengenai perubahan dari ie menuju keluarga inti adalah salah satu contohnya.

Permasalahan-permasalahan yang terjadi pada saat ini dalam keluarga Jepang dapat dibagi secara luas ke dalam dua tipe. Pertama adalah masalah yang berhubungan dengan perubahan komposisi populasi, yang membuktikan bahwa jumlah anak-anak menurun dan proporsi orang-orang yang sudah tua semakin meningkat, adalah merupakan kasus di beberapa negara industri lainnya. Kedua adalah masalah yang berhubungan dengan diversitas pertumbuhan keluarga. Dalam masyarakat yang semakin makmur, lebih banyak orang yang ingin mengadopsi gaya hidup yang lebih berbeda, dan kebimbangan tertuju pada apa yang dianggap sebagai keluarga standar.

Secara langsung maupun tidak langsung industrialisasi, demokratisasi, perkembangan ekonomi dan kemajuan teknologi telah memicu terjadinya perubahan sistem keluarga


(28)

tradisional (ie) Jepang yang mengarah kepada terbentuknya sistem keluarga inti. Perubahan sistem keluarga Jepang tidak terjadi secara serta-merta atau sekaligus. Tetapi diawali dengan menurunnya jumlah anggota keluarga dan hubungan yang menjadi lebih sederhana dalam sebuah keluarga. Kemudian, disusul oleh perubahan fungsi keluarga.

Pada keluarga petani, dimana sistem keluarga besar masih berlaku, penyusutan besarnya keluarga disebabkan oleh makin sedikitnya anak-anak yang dilahirkan dan sebab lainnya adalah kepergian anak-anak mereka yang bukan anak sulung, meninggalkan ie pada waktu lebih awal. Pada kota-kota besar, kecendrungan anak laki-laki sulung untuk mendirikan keluarga sendiri, lepas dari orang tuanya setelah mereka menikah, merupakan sebab utama terjadinya penurunan jumlah anggota keluarga.

Perubahan besar dan cepat terjadi dalam kehidupan keluarga petani setelah sistem ie dihapuskan. Revisi terhadap kode hukum sipil setelah perang menolak dominasi ie secara hukum atas individu. Pasal 24 dalam undang-undang dasar secara tegas menyatakan pentingnya martabat individu dan kesamaan derajat antara pria dan wanita dalam kehidupan keluarga. Perkawinan dilaksanakan berdasarkan kesetiaan keduah belah pihak yang bersangkutan. Ini berarti asas-asas baru keluarga dalam pembentukan kode hukum sipil. Undang-undang baru ini melambangkan suatu revolusi dalam kehidupan keluarga Jepang (Fukutake, 1989:44).

Ada beberapa hal sebagai akibat langsung dari adanya perubahan undang-undang ini. Pertama, pengapusan mengenai ie dan kepala keluarga. Kedua, anak yang telah dewasa dapat menikah sesuai dengan keinginannya sendiri. Ketiga, penghapusan ketidakmampuan istri. Keempat, tanpa melihat ketidaksetiaan istri, suami yang tidak setia pun dapat menjadi alasan terjadinya perceraian. Kelima, urutan fuyou gimu (kewajiban siapa-siapa yang memberikan fuyou) hilang, di antara kerabat langsung saudara laki-laki perempuan saling bekerja sama


(29)

dalam memberikan fuyou. Keenam, suksesi dalam pewarisan hilang, istri pun punya hak waris, dan baik anak laki-laki maupun perempuan punya hak waris yang sama.

Undang-undang dasar yang mendeklarasikan persamaan jenis kelamin, memberikan persamaan hak dalam pewarisan terhadap anak laki-laki dan perempuan, juga mempunyai pengaruh besar dalam menaikkan posisi anak laki-laki bungsu dan anak perempuan. Kepala keluarga mulai mengurangi kekuasaannya, dan menantu perempuan mulai menerima perlakuan yang baik dari mertuanya. Pada saat bersamaan perubahan ekonomi mulai meruntuhkan struktur keluarga tradisional (ie) (Befu, 1971:81).

Berkembangnya teknologi pertanian menyebabkan petani Jepang telah sanggup meningkatkan produktivitasnya dalam persentase besar sejak permulaan era modern. Hal ini terlihat dari berkurang dratisnya proporsi rumah tangga pertanian dari 44,2 persen tahun 1930 menjadi 29,6 persen tahun 1960. Dalam tahun 1967 tenaga pertanian turun menjadi 19,3 persen dari total tenaga kerja seluruh Jepang.

Perekonomian Jepang setelah perang meningkat dengan pesat sejak tahun 1950-an sampai tahun 1960-an. Seiring dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi, sejak pertengahan tahun 1960-an seluruh keluarga mulai berurbanisasi ke kota, menjual atau meninggalkan seluruh harta kekayaannya. Salah satu alasan urbanisasi ini adalah perkembangan ekonomi yang cepat dan standar hidup yang tinggi, menyebabkan para petani tidak mampu menggarap tanah pertaniannya dengan biaya yang tinggi. Faktor ini telah mendorong petani miskin untuk meninggalkan pekerjaan warisan nenek moyangnya dan pergi ke kota (Befu, 1971:71)

Gejala pindahnya penduduk meninggalkan desanya untuk mencari kerja atau nafkah di kota ini dikenal dengan istilah dekasegi. Berdasarkan statistik pertanian dalam Nihon no Nogyou (Sensus Pekerja Pertanian Sedunia Tahun 1970), jumlah pekerja dekasegi meningkat


(30)

tajam, dari 180.000 orang pada tahun 1960 menjadi sekitar 550.000 orang pada tahun 1965. Dengan kata lain terjadi peningkatan sebanyak 370.000 orang dalam jangka waktu lima tahun. Pekerja dekasegi ini umumnya pergi ke kota-kota besar seperti Tokyo, Osaka, dan Nagoya serta ke kota industri lainnya (Yamamoto dalam Putri Elssy:2012)

Dengan meningkat pesatnya pekerjaan di bidang industri ini, anak laki-laki bungsu dan anak perempuan mulai meninggalkan tanah pertanian keluarganya dan tinggal jauh dari wewenang atau kekuasaan ayahnya. Perkembangan ini telah memperlemah struktur corporate keluarga sebagai suatu grup yang berorientasi pada pertanian. Beberapa kewajiban terdahulu dari kepala keluarga, seperti mengelola tanah pertanian, mengontrol anggota keluarga, dan memohon bantuan nenek moyang untuk pekerjaan-pekerjaan keluarga, mulai kehilangan arti (Befu, 1971:81).

Bidang pertanian tidak lagi menjadi perioritas ketika perhatian bergeser kepada kemajuan ekonomi. Kota telah menjadi daya tarik bagi anak muda. Orang-orang muda pada usia produktif pergi meninggalkan desanya untuk mencari pekerjaan di tempat lain, dan meninggalkan wanita dan orang tua bekerja di ladang. Pertambahan jumlah rumah tangga, di mana ibu dan laki-laki tua menjadi tenaga kerja pertanian, diikuti oleh penurunan jumlah rumah tangga yang mengandalkan pendapatannya dari pertanian (Fukutake, 1989:12).

Dengan kata lain, setelah sistem ie dihapuskan dan sejalan dengan perkembangan teknologi dan industrialisasi, struktur rumah tangga Jepang mengalami perubahan dengan pesat. Konsep ie dalam struktur rumah tangga diganti dengan konsep family (keluarga) seperti di Barat. Konsep family atau keluarga sebagai unit kekerabatan diperkenalkan oleh G.P. Murdock (1971:358) sebagai berikut:

“Keluarga adalah suatu kelompok sosial yang dicirikan oleh tempat tinggal bersama, kerja sama ekonomi, dan reproduksi (perkembangbiakan). Di dalamnya termasuk kedua jenis


(31)

kelamin dewasa, sedikitnya dua orang yang menjaga hubungan secara seksual yang diakui oleh masyarakat, dan satu atau lebih anak, anak kandung atau anak angkat, secara seksual tinggal bersama sebagai pasangan suami istri. Keluarga dibedakan dari perkawinan, yaitu suatu adat kebiasaan kompleks yang berpusat pada hubungan antara suatu pasangan dewasa yang bergaul secara seksual dalam keluarga. Perkawinan menetapkan tata cara membentuk dan mengakhiri hubungan seperti itu, tingkah laku normatif dan kewajiban timbal balik di dalamnya, dan secara lokal menerima pembatasan terhadap personalnya”.

Adapun yang dimaksud dengan nuclear family (keluarga inti), menurut Murdock, secara khusus adalah perkawinan pria dan wanita dengan keturunannya, meskipun dalam kasus-kasus perseorangan satu atau lebih anggota tambahan mungkin tinggal dengan mereka.

Murdock (dalam Alimansyar:2004)) mendefinisikan keluarga inti sebagai : keluarga yang terdiri dari sepasang suami istri dan anak-anak yang belum menikah. Secara lebih detail Ishikawa menjabarkan bahwa keluarga inti memiliki ciri : (1) Kelompok yang tinggal bersama dalam satu rumah.(2) Kelompok ini memiliki hubungan terkecil di antara sesama anggota keluarga yaitu : suami-istri, orang tua-anak, dan saudara kandung (abang-adik, kakak-adik). Secara lengkap dapat dibagi menjadi delapan kelompok yaitu : Suami-istri, ayah-putra, ayah-putri, ibu-putra, ibu-putri, saudara laki-laki-saudara laki-laki, saudara perempuan-saudara perempuan, saudara laki-laki-saudara perempuan.(3) Kelompok ini melaksanakan empat fungsi sebagai syarat untuk kelangsungan hidup sebagai bagian dari masyarakat yaitu : seks, ekonomi, reproduksi dan pendidikan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa anggota keluarga inti terdiri dari anggota yang memiliki hubungan darah yaitu : ayah, ibu dan anak (belum dewasa atau belum menikah). Anak yang sudah menikah biasanya akan membentuk keluarga baru dan memisahkan diri dari orang tuanya.


(32)

Dari pendapat Murdock itu terlihat perbedaan yang mendasar antara konsep ie dan nuclear family (keluarga inti) atau yang dikenal dengan istilah kaku kazoku dalam bahasa Jepang. Keluarga dalam konsep Barat lebih menekankan pada hubungan pria dan wanita atau suami-istri yang disahkan dengan perkawinan beserta dengan anak-anaknya, sedangkan ie sebagai unit kerja sama lebih menekankan pada hubungan anggotanya yang tinggal bersama tanpa memandang hubungan perkawinan dan kerabat atau nonkerabat.

2.3 Kehidupan Lansia di Jepang

Perubahan besar dan cepat terjadi dalam kehidupan keluarga di Jepang khususnya sesudah perang. Industrialisasi mempercepat perubahan struktur keluarga. Perubahan struktur keluarga di sini adalah struktur keluarga Jepang dalam konsep ie menjadi struktur keluarga kaku kazoku (keluarga inti). Selain industrialisasi, penyebab lainnya adalah dengan dihapuskannya sisstem ie, konsep keluarga inti menjadi konsep keluarga baru di Jepang. Berbeda dengan sistem keluarga tradisional ie di mana anggota keluarga terdiri dari kerabat dan nonkerabat dan memungkinkan dua atau tiga generasi tinggal bersama, keluarga inti hanya beranggotakan ayah, ibu, dan anak-anak yang belum menikah.

Pertumbuhan ekonomi yang pesat, urbanisasi yang disebabkan oleh kecendrungan kaum muda mencari kerja di kota dan hidup sendiri, majunya pendidikan dan perkembangan teknologi membawa perubahan terhadap keluarga dan masyarakat. Modernisasi di bidang teknologi merupakan salah satu faktor pendorong berkembangnya industri. Berbeda dengan masyarakat agraris yang kehidupannya bergantung pada tanah sebagai sarana produksi, dan belum dapat melahirkan lapangan kerja yang bervariasi, sebaliknya, pembangunan industri memberikan kemungkinan tersedianya lapangan kerja yang bervariasi (Putri Elsy:2012).

Kehadiran suatu industri di dalam masyarakat agraris yang belum mengenal industri, dan secara langsung kehidupannya tidak tergantung pada industri, merupakan pertemuan dua


(33)

pola kebudayaan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Pertemuan dua bentuk kebudayaan ini melahirkan satu proses perubahan, dari masyarakat agraris menuju kepada terbentuknya masyarakat industri yang hidup dalam masyarakat luas, terbuka, dan heterogen. Kegiatan ekonomi yang semula sekedar untuk memenuhi permintaan pasar guna mengejar keuntungan materi. Untuk itu diterapkan teknologi maju yang eksploitatif dan ekspansif demi efisiensi dan produktivitas.

Perubahan kehidupan ini mempengaruhi pula struktur sosial, pola-pola interaksi dan nilai-nilai budaya masyarakat setempat, sampai kepada unsur yang paling mendasar, yaitu sistem hubungan dalam keluarga, khususnya dalam perawatan lansia.

Pertumbuhan ekonomi, urbanisasi, dan industrialisasi menyebabkan harga tanah dan rumah di perkotaan menjadi mahal. Banyak dari kaum urban ini tinggal di apartemen kecil yang hanya cukup menampung anggota inti mereka. Hal ini menyebabkan orang tua lansia mereka hidup terpisah dengan anak-anaknya.

Selain berubahnya sistem keluarga ini, jumlah anggota keluarga juga cenderung menurun. Sebelum perang, rata-rata jumlah anak dalam keluarga adalah lima orang dan anak berfungsi sebagai tenaga kerja pertanian. Akan tetapi, setelah perang, jumlah anak cenderung menurun. Meningkatnya jumlah keluarga inti dan berkurangnya jumlah anggota keluarga disertai dengan meningkatnya usia harapan hidup menimbulkan permasalahan terhadap pemeliharaan dan perawatan lansia. Banyak orang Jepang sekarang yang mencemaskan nasibnya dalam menghadapi hari tuanya kelak.

Sampai sekitar tahun 1975, masalah perawatan lansia belum menjadi masalah utama, baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat Jepang. Hal ini disebabkan masih rendahnya usia harapan hidup dan rendahnya tingkat kesehatan pada waktu itu, di mana sedikit orang tua lanjut usia yang membutuhkan perawatan. Usia hidup rata-rata pada


(34)

tahun 1947 adalah 50,06 tahun untuk pria dan 53,96 tahun untuk wanita. Banyak orang tua yang meninggal sebelum mencapai usia tua sehingga masa merawat orang tua dalam keluarga sangat pendek dan tidak memberatkan (Yamada dalam Putri Elsy:2012)

Sejak tahun 1975, usia harapan hidup orang Jepang bertambah panjang, tingkat kesehatan meningkat, dan jumlah lansia yang memerlukan perawatan juga meningkat. Masalah perawatan lansia mulai menjadi wacana dalam masyarakat.

Meskipun belum ada aturan yang menyatukan umur berapa seseorang disebut lanjut usia, biasanya sesesorang dikatakan lanjut usia apabila ia telah berusia 65 tahun ke atas. Bahkan ada pula yang menyatakan seseorang lanjut usia apabila ia telah berusia di atas 70 atau 75 tahun.

Karena usia 65 tahun ke atas batasannya terlalu besar, usia tersebut dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu usia 65-74 tahun di sebut zenkikoureisha (masa sebelum lansia) dan usia 75 tahun ke atas disebut gokikoureisha (masa setelah lansia). Selain ini, ada yang membagi tiga, yaitu usia 65-74 tahun, 75-84 tahun, dan 85 tahun ke atas.

Berdasarkan uraian di atas, yang akan dijadikan patokan usia lansia dalam hal ini adalah seseorang yang telah berusia 65 tahun ke atas. Di Jepang, istilah yang dipakai untuk lansia adalah(roujin). Karakter kanji (rou) berarti berumur atau tua, sedangkan karakter kanji (jin) berarti orang. Jadi, roujin secara harafiah berarti orang tua atau orang yang sudah berumur. Seiring dengan meningkatnya populasi roujin ini dan berkembangnya masalah roujin, untuk menghindari kesan suram dari istilah roujin (dilihat dari karakter kanji tersebut), menurut Sodei Takako dalam New Encyclopedia of Sociology (1993:448), sebagai ganti istilah roujin digunakan istilah koreisha yang secara harafiah berarti orang yang berusia tinggi atau lanjut. Dewasa ini masyarakat Jepang dikenal dengan koureika shakai (masyarakat yang menua).


(35)

Menurut Makizono kiyoko(1993:448), sebuah negara dapat disebut sebagai koureika shakai apabila persentase penduduk lansianya (persentase penduduk usia 65 tahun ke atas dari seluruh jumlah penduduk) mencapai 7 persen dan indeks penduduk lansia (indeks penduduk 65 tahun ke atas terhadap penduduk usia produktif di atas 15 tahun di bawah 64 tahun) melewati sekitar 12,0. Jepang pada tahun 1970 persentase lansianya adalah 7 persen dan indeks lansianya 12,0 pada tahun 1975. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Jepang menjadi koreika shakai sejak tahun 1970-an.

Seperti telah disebutkan di atas, masalah perawatan lansia mulai mendapat perhatian sejak tahun 1975. Hal ini disebabkan oleh semakin bertambah panjangnya usia harapan hidup orang Jepang. Sebelum perang, usia harapan hidup rata-rata orang Jepang kurang dari 55 tahun, dan setiap keluarga mempunyai beberapa anak. Akan tetapi, setelah perang, usia harapan hidup orang Jepang meningkat dengan tajam.

Menurut data yang dikeluarkan Keizai Koho Center (Pusat Informasi Ekonomi) (1999:13), tahun 1950-1955 usia harapan hidup rata-rata pria adalah 62,1 tahun dan wanita adalah 65,9 tahun. Pada tahun 1995-2000 usia harapan hidup pria adalah 76,8 tahun dan wanita 86,9 tahun, dan diperkirakan pada tahun 2045-2050 usia harapan hidup pria 80,8 tahun dan wanita 88,9 tahun. Dari jumlah total penduduk, pada tahun 1950 jumlah penduduk yang berusia 65 tahun ke atas adalah 4,9 persen, meningkat dengan tajam menjadi 17,2 persen pada tahun 2000 dan diperkirakan menjadi 32,3 persen pada tahun 2050. Dengan kata lain, selama 50 tahun, yaitu dari tahun 1950 sampai tahun 2000, terjadi peningkatan jumlah lansia sebanyak 12,3 persen dan sebanyak 15,1 persen dari tahun 2000-2050. Meningkatnya jumlah lansia dengan usia harapan hidupnya yang panjang ini menjadi masalah dan beban sosial dalam masyarakat.


(36)

Seiring dengan bertambah panjangnya usia harapan hidupnya, lingkaran hidup (life cycle) orang Jepang, khususnya masa perawatan pada usia lanjutpun mengalami perubahan. Ketika membandingkan perubahan lingkaran hidup orang Jepang pada tahun 1920 dan 1991, Okamoto Yuzo dalam bukunya, Otoshiyori Shiryoushu (Kumpulan Bahan Mengenai Lansia) menemukan terjadinya perubahan kehidupan antara pria dan wanita Jepang.

Pada tahun 1920, misalnya, pria menikah pada usia 25,0 tahun dan wanita pada usia 21,2 tahun, sedangkan pada tahun 1991 pria menikah pada usia 28,4 tahun dan wanita pada usia 25,9 tahun. Itu berarti terjadi kenaikan usia menikah antara pria dan wanita.

Pada tahun 1920 adalah biasa setiap keluarga memiliki anak sampai lima orang sehingga masa melahirkan seorang ibu berkisa 14,7 tahun. Kebalikannya, pada tahun 1991, jumlah anak dalam sebuah keluarga adalah dua orang sehingga waktu yang dibutuhkan ibu untuk melahirkan relatif pendek, yaitu 4,5 tahun.

Masa merawat anak dalam arti mengasuh, mendidik, dan menyekolahkan anak berlangsung dalam jangka yang sama pada kedua tahun di atas, yaitu selama 27,3 tahun. Bedanya adalah apabila pada tahun 1920 sebelum anak bungsu lulus sekolah, anak laki-laki tertua sudah menikah, pada tahun 1991 anak laki-laki tertua kawin setelah anak bungsu lulus sekolah.

Pada tahun 1920 suami pensiun pada usia 55 tahun dan mengundurkan diri dari segala urusan rumah tangga dan menyerahkan pekerjaan dan ekonomi keluarganya kepada chonan (anak laki-laki pertama) pada usia 60 tahun. Anak laki-laki pertama ini, karena menggantikan posisi kepala keluarga yang pensiun, berkewajiban merawat orang tuanya pada masa tuanya, yang berlangsung selama lebih kurang 5,3 tahun. Adapun waktu yang dibutuhkan oleh tiga generasi ini untuk hidup bersama adalah 10,5 tahun sampai sang ibu meninggal pada usia lebih kurang 61,5 tahun.


(37)

Pada tahun 1991, masa pensiun berada di usia 60 tahun dan masa pengunduran diri kepala keluarga pada usia 65 tahun. Jarak antara masa pensiun dan usia kematian (77,2 tahun) adalah 17,2 tahun. Dengan semakin panjangnya usia harapan hidup pada tahun 1991, waktu yang digunakan untuk merawat lansiapun bertambah, yaitu 20,3 tahun sampai sang ibu meninggal pada usia 82,8 tahun.

Di samping itu, masa tiga generasi tinggal bersamapun bertambah panjang, yaitu 25,5 tahun, sedangkan masa menjanda sang ibu yang 4,2 tahun pada tahun 1920 menjadi 8,1 tahun pada 1991.

Dari perbandingan tersebut terlihatlah adanya perbedaan yang mencolok terhadap perawatan lansia . Dengan kata lain, pada tahun 1920 hanya dibutuhkan waktu 5,3 tahun untuk merawat lansia, sedangkan pada tahun 1991 (masa sekarang) seiring dengan bertambah panjangnya usia harapan hidup dibutuhkan waktu 20,3 tahun untuk merawat lansia (Putri Elsy:2012).


(38)

BAB III

DAMPAK PERUBAHAN MASYARAKAT AGRARIS KE MASYARAKAT INDUSTRI TERHADAP LANSIA DI JEPANG

3.1 Keberadaan Lansia di Jepang

Lansia di Jepang dikenal sangat mandiri. Semua pekerjaan dapat mereka lakukan sendiri walau dengan usia yang cukup senja. Kebiasaan berpikir positif membuat para lansia di Jepang nampak lebih awet muda dibandingkan dengan lansia di negara lain. Bahkan dengan usia yang tua seperti itu mereka masih dapat bekerja dengan produktif. Bangsa Jepang menanamkan kemandirian ini pada masyarakatnya secara umum.Tujuannya agar seluruh waktu dapat dimanfaatkan untuk hal-hal yang berguna. Pada usia muda mereka bekerja di kantor, dan saat sudah tua mereka mengisi waktu dengan bekerja paruh waktu. Walau sebenarnya rata-rata para lansia di Jepang telah memiliki tabungan hari tua yang dapat mencukupi hidup, namun mereka sangat percaya pada keteraturan yang sudah turun-temurun ini. Mereka telah merasakan sendiri gunanya memanfaatkan waktu luang dalam usia yang sudah cukup tua. Mereka tidak akan merasa kesepian walau hidup sendiri.

Kemandirian lansia di Jepang memang patut diacungi jempol. Budaya tidak bergantung pada orang lain memang selalu ditanamkan dalam masyarakat Jepang. Di Jepang ada lansia yang memilih hidup sendiri karena tidak ingin merepotkan anaknya.Ia bisa memilih tinggal di panti jompo atau tinggal di rumah sendiri, karena memang pada budaya Jepang, setelah anak menikah (terutama anak perempuan), anak tersebut akan mengikuti kemana suaminya pergi. Namun di beberapa keluarga juga masih ada yang hidup bersama para kakek dan nenek ini (lansia).Walau tinggal bersama keluarga besar, para lansia ini tidak lantas memangkukan tangan dan mengharapkan segala sesuatu dari anak-anak


(39)

mereka.Mereka justru lebih kreatif dan tetap bergaul. Mereka membuka usaha bahkan menjadikan usaha mereka turun-temurun pada anak-anaknya.

Baik dari keluarga kaya maupun miskin, kehidupan masyarakat Jepang relatif makmur. Pemerintah Jepang juga tidak memberikan batasan usia bagi para lansia ini untuk terus berkarya. Membuka usaha sendiri atau bekerja paruh waktu pada perusahaan tidak menjadikan mereka dibeda-bedakan. Baik menjadi petugas kebersihan, supir angkutan, maupun pelayan restoran, sejauh mereka dapat bekerja dengan baik tidak akan menjadi permasalahan bagi pemerintah maupun pemilik usaha.

Untuk mengatasi masalah perawatan orang tua yang sudah lanjut usia di rumah, alternatif tempat tinggal yang sekarang justru cenderung meningkat atau yang menjadi pilihan adalah yang disebut dengan nisetai jutaku atau tempat tinggal dua rumah tangga. Maksudnya adalah dua generasi, yaitu orang tua dan anak yang telah menikah, tinggal pada rumah masing-masing di perumahan yang sama, di mana tinggal anak dan tempat tinggal orang tua berada dalam satu lahan yang sama atau letaknya bersebelahan dari rumah induk. Orang tua mempunyai cukup banyak uang akan memperbesar rumahnya atau membangun rumah dua lantai. Orang tua tersebut tinggal di lantai dasar dan keluarga anak tinggal di lantai dua dengan pintu masuk yang berbeda. Masing-masing punya kehidupan yang terpisah dengan dapur dan ruangan sendiri-sendiri. Saat ini banyak bank yang memberikan pinjaman untuk keluarga yang ingin mendirikan tempat tinggal nisetai jutaku ini.

Alternatif lain adalah tinggal dengan jarak yang dekat atau tidak terlalu jauh dari rumah yang sama, mereka bisa saling memperhatikan dan menjaga satu sama lain. Selain ditujukan untuk dapat merawat dan menjaga orang tua di masa tuanya, pemilihan tempat tinggal seperti ini juga dilakukan dengan merujuk kepada latar belakang masalah hubungan mertua dan menantu, di mana hubungan antara menantu dan ibu mertua dari dulu merupakan


(40)

konflik yang utama dalam keluarga di Jepang. Adapun jarak yang ideal adalah berjarak su-pu no samenai kyori atau dengan jarak yang tidak akan membuat sup menjadi dingin (Osada Hisao dalam Putri Elsy:2012)

Dengan meningkatnya usia harapan hidup dan jumlah lansia, diperkirakan pilihan baru yang rasional dalam pengaturan tempat tinggal adalah tinggal dekat dengan orang tua. Hal ini berdasarkan kompromi dari hasil keuntungan dan kerugian tinggal bersama dan tinggal terpisah dari orang tua dalam kaitannya dengan bantuan perawatan orang tua pada usia lanjutnya.

3.2 Peningkatan Lansia di Jepang

Seiring dengan bertambahnya usia harapan hidup manusia di Jepang, laju pertumbuhan lansia yang hidup di Jepang pun meningkat secara drastis. Pada tahun 1990 satu dari delapan orang adalah lansia yang berusia 65 tahun ke atas. Jumlah lansia ini diperkirakan mencapai puncaknya sekitar tahun 2020, di mana lebih dari satu dari empat orang Jepang akan menjadi lansia. Meningkatnya penduduk lansia ini menjadi persoalan yang penting di Jepang pada abad ke-21 ini. Meningkatnya penduduk lansia dengan usia harapan hidup yang panjang akan menjadi beban bagi orang yang menanggung kehidupannya.

Menurut data yang dikeluarkan Keizai Koho Center (Pusat Informasi Ekonomi) (1999:13), pada tahun 1995-2000 usia harapan hidup pria adalah 76,8 tahun dan wanita 86,9 tahun, dan diperkirakan pada tahun 2045-2050 usia harapan hidup pria adalah 80,8 tahundan wanita 88,9 tahun. Meningkatnya persentase kaum lansia ini dari tahun ke tahun menyebabkan masyarakat Jepang dikenal dengan istilah korekai shakai. Adapun yang dimaksud dengan koreika shakai adalah rasio penduduk lansia pada suatu masyarakat meninggi dan pada kondisi seperti itu timbul macam-macam persoalan pada masyarakat. Menurut data dari Keizai Koho Center, jumlah penduduk lansia yang berusia 65 tahun ke atas


(41)

pada tahun 2000 adalah 17,2 persen dari jumlah penduduk dan diperkirakan pada tahun 2050 adalah 32,3 persen, jumlah tertinggi kedua di dunia setelah Italia(34,9 persen).

Karena tingginya usia harapan hidup orang Jepang, menurut Sagasa Haruo dalam Gendai Ejingu Jiten (Kamus Mengenai Lansia Dewasa Ini) (1996:128), usia lansia ini ada yang membaginya dalam dua golongan, yaitu usia 62-74 tahun yang disebut dengan zenkikoreisha (lansia muda atau masa sebelum lansia) dan usia 75 tahun ke atas yang disebut dengan gokikoreisha (lansia tua atau masa setelah lansia). Ada juga yang membagi usia lansia ini dalam tiga golongan, yaitu usia 65-74 tahun, 75-85 tahun, dan 85 tahun ke atas.

Meningkatnya penduduk lansia disebabkan oleh meningkatnya jumlah penduduk yang menua. Faktor lain yang menyebabkan timbulnya kasus meningkatnya penduduk yang menua terjadi di daerah Kaso, yaitu daerah tempat para pemuda di daerah tersebut pergi meninggalkan desanya untuk mencari pekerjaan ke kota atau ke daerah lain sehingga yang tinggal di desa tersebut hanya kaum lansia. Pada daerah tersebut para pemuda desa tersebut pergi ke luar atau meninggalkan desanya, penduduk yang menua pun kelihatannya bertambah.

Dari masa sebelum Perang Dunia II sampai sekitar tahun 1995, komposisi usia hampir tidak mengalami perubahan dasar, dan persentase lansia berhenti pada angka standar 5 persen. Akan tetapi, setelah tahun 1955, komposisi usia mulai mengalami perubahan, persentase lansia sedikit demi sedikit mulai meninggi. Pada tahun 1970 bertambah menjadi 7,1 persen Katsumi (1995:9). Sejak saat itu tempo dari penduduk lansia perlahan-lahan meningkat: tahun 1985 bertambah menjadi 10 persen dan tahun 1990 naik menjadi 12 persen. Penyebab terbesar dari bertambah besarnya jumlah penduduk yang menua lainnya adalah menurunnya angka kelahiran dan kematian. Menurunnya angka kelahiran menyebabkan bawah dari piramida penduduk menyempit. Selanjutnya, menurunnya angka


(42)

kematian menyebabkan meningkatnya persentase orang mencapai usia tua, memperbesar piramida penduduk bagian atas. Dengan sendirinya sedikit tingkat kelahiran dan kematian ini menyebabkan meningkatnya penduduk yang menua.

3.2.1 Menurunnya Angka Kelahiran

Persentase kelahiran di Jepang telah mengalami penurunan secara perlahan sejak sekitar tahun 1920. Namun, penurunan yang penting terjadi setelah berakhirnya masa baby boom (bayi yang dilahirkan meledak dengan jumlah yang besar) yang terjadi dari tahun 1947 sampai tahun 1949. Baby boom ini terjadi karena banyak prajurit yang kembali dari medan perang, dan mereka melangsungkan perkawinan yang ditunda karena perang.

Jumlah kelahiran pada tahun itu adalah 2.600.000-2.700.000 orang, dan tingkat kelahiran dari 1.000 orang adalah 33-34 persen. Jumlah anak yang dilahirkan oleh seorang wanita pada masa itu adalah 4,3 sampai 4,5 orang. Akan tetapi, kira-kira 10 tahun kemudian, yaitu setelah pertengahan tahun 1960-an, angka kelahiran adalah 1.500.000-1.600.000 orang, tingkat kelahiran 17 persen dari 1.000 orang, dan total angka kelahiran atau total fertility rate (TFR) menjadi 2,0 Katsumi (1995:9).

Faktor penyebab rendahnya tingkat kelahiran pada masa ini adalah karena, pertama, setelah kalah perang, keinginan untuk membatasi kelahiran di antara penduduk menjadi kuat karena alasan ekonomi. Kedua, tahun 1948 pemerintah menetapkan yuuseihogoho, di mana aborsi menjadi legal dan sah. Ketiga, tahun 1953 dibuat rincian intisari pelaksanaan pengaturan fertilisasi dengan tujuan menjaga atau melindungi si ibu oleh Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial dengan kata lain dimulainya gerakan Keluarga Berencana (KB).

Pada pertengahan tahun 1950, setelah terjadi perbaikan standar kehidupan dalam masyarakat Jepang, pertumbuhan ekonomi meningkat dengan pesat, dan tingkat kelahiran turun ke bawah standar. Dari pertengahan tahun 1950-an sampai sebelum pertengahan tahun


(43)

1970-an tingkat kelahiran adalah 17-18 persen dari 1.000 penduduk, TFR stabil dengan standar 2,0. Hanya saja, tingkat kelahiran sebelum pertengahan tahun 1970-an sedikit meningkat. Gejala ini disebabkan mulai hamilnya generasi baby boom yang telah memasuki usia menikah.

Dalam kondisi perbaikan kehidupan rakyat yang prima dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, selama pertengahan tahun 1950 sampai sebelum pertengahan tahun 1970-an seperti ini, tingkat kelahiran pada umumnya stabil dan tidak ada perubahan.

Ada tiga faktor penyebabnya. Pertama, biaya pendidikan dan pengasuhan anak, yang diikuti dengan perbaikan standar hidup, menjadi mahal. Kedua, gelombang kogakurekika, di mana pendidikan tingkat SMA ke atas menjadi perhatian, meningkat, sehingga biaya pendidikan dan pengasuhan anak pun menjadi besar. Ketiga, struktur industri dan pertanian ke pekerjaan pabrik dan pekerjaan jasa yang memakai sistem shift menjadi penyebab terbatasnya jumlah anak.

Akan tetapi, sekitar pertengahan tahun 1970-an tingkat kelahiran mulai menurun. Pada tahun 1975 TFR adalah 1,91 dan pada tahun 1990 menjadi 1,54. Menurut buku Statistik Gerakan Penduduk yang dikeluarkan Kementerian Kesejahteraan Sosial, jumlah kelahiran menurun terdapat pada kelompok umur 20-an tahun. Pada tahun 1975 jumlah kelahiran oleh ibu yang berusia 20-an adalah 1.490.000 orang dan pada tahun 1990 berkurang sebanyak 740.000 orang.

Salah satu penyebab menurunnya jumlah anak yang dilahirkan (dikenal dengan shoshika) ini adalah tingginya tingkat usia yang belum menikah (penundaan usia menikah) yang dikenal dengan istilah bankonka, di mana terjadi penundaan usia menikah wanita dari sebelumnya menjadi 25-29 tahun dan pria pada usia 30-34 tahun. Telatnya perkawinan dan tingginya tingkat usia yang belum menikah ini pada wanita yang disebabkan gerakan kagokurekika di atas, bertambah banyaknya wanita yang bekerja diikuti dengan membaiknya


(44)

kondisi finansial atau kemampuan ekonomi yang didapat dari hasil pekerjaannya sendiri. Kehidupan lajang yang menyenangkan dibandingkan dengan perasaan tanggung jawab yang berat apabila menikah dan memelihara anak juga merupakan faktor lain yang menyebabkan berubahnya kesadaran kaum muda terhadap perkawinan.

3.2.2 Menurunnya Angka Kematian

Setelah perang, tingkat kematian menurun dengan tajam di Jepang. Tingkat kematian setelah perang (dari 1.000 penduduk) adalah dari 14,6 persen pada tahun 1947 menjadi 7,1 persen pada tahun 1965, dan pada tahun 1990 menjadi 6,7 persen. Sebagai refleksi dari menurunnya tingkat kematian ini, usia rata-rata harapan hidup orang Jepang bertambah panjang. Berdasarkan data pertama yang dikeluarkan Kementerian Kesejahteraan Sosial setelah perang tahun 1947, usia harapan hidup pria adalah 50,1 tahun dan wanita 54,0 tahun. Tahun-tahun selanjutnya usia harapan hidup meningkat. Pada tahun 1990 usia harapan hidup pria 74,9 tahun dan wanita 81,9 tahun.

Menurut Katsumi (1995:9), faktor penyebab menurun drastisnya tingkat kematian ini adalah, pertama, adanya perbaikan standar kehidupan seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Kedua, majunya teknologi kedokteran, serta menyebar dan berkembangnya alat-alat kedokteran yang canggih dan antibiotik. Ketiga, meluasnya sistem asuransi perawatan medis, berkurangnya kematian yang disebabkan TBC, radang paru-paru, bronkitis, radang lambung, dan lain-lain.

Berdasarkan faktor di atas, usia harapan hidup orang Jepang makin panjang. Dengan kata lain, dengan canggihnya alat-alat dan teknologi kedokteran, serta meluasnya sistem asuransi kesehatan, masalah kesehatan bukan menjadi masalah yang mengkhawatirkan. Selain itu, dengan semakin tingginya tingkat pendidikan mereka, tingkat pengetahuan mereka akan pemeliharaan kesehatan juga meningkat. Dengan standar ekonomi yang tinggi, mereka dapat memilih makanan yang bergizi sesuai dengan kebutuhannya.


(45)

3.3 Penanganan Lansia di Jepang

Dengan meningkatnya jumlah lansia dan bertambah panjangnya usia harapan hidupnya, tanggung jawab merawat orang tua yang dulu menjadi tanggung jawab keluarga serta kerabat saat ini menjadi tanggung jawab semua pihak. Masyarakat dan pemerintah turut berpartisipasi dalam menanganinya. Tidak dapat disangkal, dengan panjangnya usia harapan hidup ini, timbul industri dan pekerjaan baru yang berhubungan dengan perawatan lansia.

3.3.1 Keluarga

Meskipun telah terjadi perubahan struktur keluarga di Jepang, keluarga masih merupakan tempat ideal dalam merawat orang tua lansia di Jepang. Dibandingkan dengan negara maju lainnya, banyak orang Jepang yang masih memilih untuk tinggal bersama anaknya pada hari tuanya. Sebagai alasan utama tinggal bersama adalah menghilangkan kesepian dan berjaga-jaga kalau terjadi sesuatu, seperti sakit di saat kondisi fisiknya telah lemah. Pada tahun 1991, 57,6 persen lansia yang berusia 65 tahun ke atas tinggal bersama dengan anaknya (Sodei Takako dalam Putri Elsy:2012)).

Di lain pihak, tinggalnya orang tua bersama anak dianggap sebagai ryoushin fuyou, yaitu kewajiban anak untuk membantu, mengurus, atau menanggung orang tuanya. Fuyou atau bantuan anak terhadap orang tua ini dapat dibagi tiga, yaitu bantuan yang bersifat ekonomi atau keuangan, bantuan secara fisik (merawat ketika sakit), dan bantuan bersifat batin (menghibur terhadap perasaan sendiri dan kesepian). Perlu tidaknya orang tua mendapatkan bantuan ekonomi tergantung dari kemampuan ekonomi orang tua itu sendiri. Sampai sekitar 1970, masalah yang dirisaukan oleh lansia adalah masalah ekonomi untuk kelangsungan hidup di hari tuanya. Akan tetapi, dengan matangnya sistem pensiun dan meningkatnya kemampuan ekonomi orang tua, masalah ini lambat laun dapat diatasi sehingga tidak terlalu mengkhawatirkan.


(46)

Dengan semakin panjang usia harapan hidupnya, kondisi yang paling dikhawatirkan oleh orang Jepang di masa tuanya adalah netakiri (tidak dapat beranjak dari tempat tidur) dan boke (pikun). Baik pria maupun wanita usia di bawah 60 tahun lebih mencemaskan kehidupan ekonominya dibandingkan dengan mereka yang berusia 60 tahunan. Hal ini mungkin disebabkan oleh masih banyaknya tuntutan pengeluaran yang harus mereka penuhi serta dana yang harus mereka siapkan untuk pendidikan serta biaya perkawinan anak, untuk perumahan, dan dana untuk tabungan di masa tua sendiri.

Pendapat dari survei yang dilakukan terhadap orang Jepang usia dewasa menyatakan bahwa mereka memilih keluarga sebagai tempat merawat lansia yang berada dalam kondisi fisik yang lemah sebagai rasa tanggung jawab mereka untuk melakukan perawatan tersebut. Pada kenyataannya permintaan lansia untuk dirawat oleh keluarga adalah permintaan yang sah. Setiap anak diharapkan untuk berbagi tanggung jawab untuk merawat orang tuanya. Merawat orang tua juga tetap merupakan suatu norma yang berlaku dalam masyarakat Jepang. Hal ini terlihat dalam penelitian bahwa kurang dari 2 persen dari lansia yang berusia 65 tahun ke atas berada di nursing homes (panti jompo atau tempat perawatan lainnya) dan 90 persen lansia yang berada dalam kondisi lemah, baik fisik maupun mental, menerima perawatan di lingkungan keluarga (Long, 1996:167).

Kenyataan di atas sesuai dengan pendapat Pasurdi Suparlan (1986:96) mengenai salah satu fungsi keluarga, yaitu merawat orangtua yang jompo. Katanya”Para antropolog melihat keluarga sebagai satuan sosial terkecil yang dipunyai oleh manusia sebagai makhluk sosial. Pendapat ini didasarkan atas kenyataan bahwa keluarga adalah satu satuan kekerabatan yang juga merupakan satuan tempat tinggal yang ditandai oleh adanya ekonomi dan mempunyai fungsi untuk berkembang biak, menyosialisasikan atau mendidik anak, dan menolong serta melindungi yang lemah, khususnya merawat orang tua yang jompo”.


(47)

Wanita dari dulu sampai sekarang merupakan perawat utama dalam keluarga. Menurut Spitze dan Logan yang dikutip oleh Evelyn Suleeman (1999:108), ada dua alasan kenapa lebih banyak wanita yang merawat orang tuanya dibandingkan pria.

Pertama, baik pria maupun wanita percaya bahwa anak perempuan secara alamiah mempunyai sifat merawat sehingga tugas wanita berkisar di bidang perawatan dan pengasuhan. Sebelum menikah ia akan mengasuh adiknya, dan setelah menikah ia akan merawat anak, suami, dan orang tua mereka yang sudah lanjut usia.

Kedua, wanita biasanya tidak bekerja mencari nafkah, atau kalaupun mereka mencari nafkah, biasanya mereka bekerja part time (paruh waktu), sehingga mereka mempunyai waktu lebih banyak untuk merawat orang tua mereka dibandingkan dengan pria.

Menurut Sodei dalam Putri Elsy , ada beberapa alasan kenapa wanita Jepang berperan sebagai perawat di rumah. Alasan itu antara lain adalah, pertama, adanya perbedaan gender dari masyarakat. Secara tradisional telah ada pola pemikiran terhadap pembagian peran dalam keluarga di mana suami mencari uang dan bertanggung jawab terhadap sesuatu yang ada di rumah. Oleh sebab itu, tugas merawat anak dan lansia berada di tangan wanita.

Kedua, adanya ideologi atau pemikiran ie. Meskipun sistem ie telah di hapus setelah perang di Jepang, nilai-nilai yang terdapat dalam ie masih tetap dianut orang Jepang. Ideologi ie yang berdasarkan ajaran Konfusius yang menekankan kepatuhan wanita kepada pria, yang muda kepada yang tua, dan menantu perempuan kepada ibu mertua mempunyai tekanan yang kuat kepada menantu perempuan untuk berperan merawat dan mengurus mertuanya di hari tua.

Dari kedua alasan itu, yaitu perbedaan jenis kelamin dan dianutnya nilai-nilai dari sistem ie, secara alami wanita masih tetap diharapkan menjadi perawat dalam keluarga.


(48)

Ketika salah seorang anggota keluarga sakit, saudara dekat, teman-teman, tetangga, teman kantor, dan bahkan pekerja-pekerja sosial mengharapkan wanita melayaninya sebagai perawat. Dengan kata lain, masyarkat mengharapkan wanita berperan sebagai perawat di Jepang. Tekanan dari masyarakat sangat kuat, khususnya ditujukan kepada wanita yang berada dalam posisi sebagai menantu, karena banyak yang masih percaya bahwa menantu harus bertanggung jawab dalam merawat mertuanya.

Dalam kenyataannya, sekarang ini sangat sulit bagi wanita yang juga mempunyai pekerjaan di luar rumah untuk dapat melaksanakan perannya dengan baik dalam hal merawat mertuanya yang berada dalam kondisi fisik yang lemah di rumah. Peran yang diharapkan masyarakat untuk merawat mertuanya kadangkala membuat wanita merasa bersalah apabila tidak melakukan apa yang dianggap menjadi kewajibannya. Pada akhirnya mereka merasa bahwa hal tersebut merupakan peran yang wajar bagi mereka, dan menerima nasibnya. Dalam usaha melepaskan konflik peran antara kerja dan merawat, banyak dari wanita pekerja yang memilih melepaskan karier mereka.

Merawat anak dan merawat lansia, meskipun pekerjaannya sama-sama merawat dan keduanya dilakukan di rumah, merupakan dua hal yang berbeda. Merawat anak dilakukan oleh ibu berdasarkan cinta dan kasih sayang, tetapi merawat lansia yang dilakukan oleh anak perempuan atau menantu perempuan berdasarkan cinta dan kewajiban.

Ketergantungan anak terhadap ibunya tidaklah lama, tetapi merawat lansia tidak dapat dilihat sebagai masa depan yang cerah. Lansia yang berada dalam kondisi fisik yang lemah akan terus melemah dan akan menjadi lebih tergantung. Pada akhirnya kematian akan menunggu mereka.

Dalam suatu penyelidikan terhadap 75 orang yang merawat lansia di prefektur Shiga, 86 persen dari orang yang memberikan perawatan adalah wanita. Perawat ini menerima


(49)

bantuan dari suami (khususnya pekerjaan berat seperti menjemur kasur, memandikan anggota keluarga yang tua, dan membawa mereka ke dokter), anak-anak, saudara kandung, dan lain-lain, tetapi sering bantuan ini dilakukan hanya ketika perawat utama harus pergi atau dibutuhkan dalam waktu tugas memberi makan lansia.

3.3.2 Masyarakat

Untuk menghindari kesepian pada lansia, mereka perlu membangun ikatan dengan anggota dari kelompok usia mereka. Mereka juga diharapkan mencari kegiatan untuk mengganti tugas-tugas terdahulu yang menghabiskan sebagian besar waktunya di kala mereka masih muda (Hurlock, 1980:385). Dewasa ini kegiatan yang ditujukan untuk lansia ini, atau yang melibatkan lansia, sudah banyak dilakukan di Jepang.

Tahun 1962 di Jepang dibentuk organisasi roujin kurabu (klub lansia) seluruh Jepang. Tujuan pokok dari roujin kurabu ini adalah untuk memanfaatkan pengalaman dan pengetahuan lansia, menjaga kesehatan, dan memotivasi hidup melalui bermacam kehidupan atau aktivitas sosial, membuat masyarakat usia panjang yang cerah dengan kehidupan usia tua yang menyenangkan. Syarat menjadi anggota klub ini adalah lansia yang berusia 60 tahun ke atas. Sebuah wilayah dapat membentuk roujin kurabu apabila jumlah anggotanya mencapai 50 orang atau lebih. Sampai tahun 1993, jumlah roujin kurabu di seluruh jepang adalah 130.000, dengan jumlah keseluruhan anggotanya sebanyak 8.500.000 orang (Uchida Ken dalam Putri Elsy:2012).

Meningkatnya rumah tangga inti dan rumah tangga yang anggotanya hidup sendiri, serta berkurangnya jumlah anak yang lahir, menyebabkan kesempatan berhubungan langsung antara lansia dan anak-anak pun berkurang. Untuk itu perlu diadakan bermacam-macam pertemuan yang bersifat positif, dan yang terpenting adalah diadakan kegiatan pertukaran antar generasi. Salah satu caranya adalah dengan melakukan kunjungan ke fasilitas-fasilitas


(1)

Gambaran dari sistem kaigo hoken tersebut adalah sebagai berikut:

1. Insurer atau penjamin asuransi adalah pemerintah kota. Pemerintah kota bertugas mengelola pelayanan dan mengumpulkan uang asuransi dari tertanggung. Pemerintah kota didukung oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, penjamin asuransi perawatan kesehatan, dan lain-lain.

2. Hikokensha (orang yang diasuransikan, atau tertanggung) adalah warga negara yang berusia 40 tahun ke atas yang membayar asuransi. Tertanggung dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah orang yang berusia 65 tahun ke atas, dan kelompok kedua adalah orang yang berusia 40 sampai 64 tahun. Biaya asuransi pada kelompok pertama diambil dari uang pensiun, sedangkan biaya asuransi kedua ditagih dari biaya asuransi kaigo hoken ditambah dari biaya asuransi kesehatan yang dimilikinya. Ia dapat menerima pelayanan kaigo pada saat cacat dan sakit seiring dengan penuaan dan masa pertama mengalami kepikunan.

3. Riyousha (pengguna kaigo) membayar biaya perawatan sebesar 10 persen.

4. Setengah dari biaya 90 persen di luar (10 persen) yang dibyar oleh pemakai kaigo berasal dari biaya asuransi dan setengahnya lagi berasal dari kouhi (dana publik). Setengah dari dana publik berasal dari pemerintah pusat (50 persen) dan setengahnya lagi dibebankan pada todoufuken (pemerintah wilayah) sebanyak 12,5 persen dan pemerintah kota sebanyak 12,5 persen (Arioka, 2000:353).


(2)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

1. Perubahan kehidupan dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri turut mempengaruhi perubahan struktur keluarga di Jepang. Adapun perubahan struktur keluarga di sini adalah perubahan struktur keluarga ie menjadi struktur keluarga kaku kazoku (inti). Dinamika dari perubahan struktur keluarga ini mengakibatkan pula berubahnya pola perawatan lansia.

2. Menurut Nakane, ie adalah unit sosial dasar dari tempat tinggal bersama anggota suatu rumah tangga yang anggotanya terdiri dari kerabat dan nonkerabat. Setiap anggota dalam ie memiliki kesadaran akan ie dilukiskan dengan istilah seperti “hidup di bawah atap yang sama” atau “hubungan di mana anggotanya berbagai makanan dalam dandang yang sama”. Dalam etimologi bahasa Jepang, ie berarti kamado atau tungku (yaitu tempat memasak, merupakan simbol dari anggota keluarga karena disinilah mereka berkumpul dan makan bersama). Selain itu, bangunan rumah itu sendiri disebut dengan ie.

3. Dalam konsep ie, apabila seseorang sudah tua dan pensiun dari pekerjaannya, maka ia akan dirawat di rumah dan diurus oleh chonan (anak laki-laki sulung) beserta isinya. Dalam perepsi tradisional orang Jepang, usia tua adalah waktu ketika anak laki-laki tertua memikul tanggung jawab untuk orang tuanya di hari tua mereka.

4. Nuclear family (keluarga inti), menurut Murdock, secara khusus adalah perkawinan pria dan wanita dengan keturunannya, meskipun dalam kasus-kasus perseorangan satu atau lebih anggota tambahan mungkin tinggal dengan mereka.


(3)

5. Untuk mengatasi masalah perawatan lansia di rumah, alternatif tempat tinggal yang sekarang cenderung meningkat atau menjadi pilihan adalah yang disebut dengan nisetai jutaku, yaitu rumah tangga dua generasi, di mana orang tua dan anak yang sudah menikah tinggal pada masing-masing rumah di perumahan atau lahan yang sama.

6. Berubahnya sistem keluarga menjadi nuclear, dan berkurangnya anggota keluarga yang merawat lansia, menyebabkan lansia dituntut untuk dapat hidup mandiri terpisah dari keluarganya. Untuk mengaktualisasikan keberadaannya, mencari kehangatan yang tidak didapat dalam keluarga, mencari tempat berbicara, mereka berkumpul bersama dan bersosialisasi dengan teman-teman seumur dan senasib dengan tinggal di panti jompo atau dengan teman sesama lansia.

7. Dengan meningkatnya jumlah lansia dan bertambah panjangnya usia harapan hidupnya, tanggung jawab merawat orang tua yang dulu menjadi tanggung jawab keluarga serta kerabat saat ini menjadi tanggung jawab semua pihak. Masyarakat dan pemerintah turut berpartisipasi dalam menanganinya. Tidak dapat disangkal, dengan panjangnya usia harapan hidup ini, timbul industri dan pekerjaan baru yang berhubungan dengan perawatan lansia.

4.2. Saran

1. Agar lansia dapat menikmati usia panjang dengan baik, tidak cepat pikun, dan tidak merasa menjadi orang yang sudah tidak berguna dalam menghadapi usia tuanya, mereka perlu diberdayakan. Salah satu caranya adalah dengan tetap memberikan aktivitas pekerjaan kepadanya.


(4)

2. Sistem perawatan lansia yang ada di Jepang sangat baik di terapkan di Indonesia agar para lansia yang ada lebih baik.


(5)

Agoes Achir, Yaumil C.2001.”Problematik dan Sosial Lansia Indonesia Menyongsong Abad Ke-21” dalam Rampai Psikologi Pribadi dari Bayi Sampai Lanjut Usia. Editor S.C. Utami Munandar: Jakarta: UI-Press.

Alimansyar. 2004. Sistem Keluarga Jepang Pasca Perang Dunia II. Medan: USU Press.

Arioka, Jirou. 2000. “Koreika Shakai” dalam Asahi Gendai Yougo (The Asahi Encyclopedia of Current Terms 2000). Jepang:Asahi Shimbunsha.

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Edisi Revisi V). Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Befu, Harumi. 1971. Japan an Anthropological Introduction. New York: Chandler Publishing Company.

Bellah, Robert, N. 1992. Religi Tokugawa – Akar-akar Budaya Jepang (Tokugawa Religion – The Values of Pre-Industrial Japan). Terjemahan : Wardah Hafidz dan Wiladi Buduharga. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Elsy, Putri. 2012. Dinamika Lansia Jepang. Jakarta: Iluni KWJ Press.

Fukutake, Tadashi. 1989. Rural Society in Japan (Masyarakat Pedesaan di Jepang). Terjemahan Haryono. Jakarta:PT Gramedia.

Hurlock, Elizabet B. 1980. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (Terjemahan dari Developmental Psycology. A Life-spam Approach). Jakarta: Erlangga.

Katsumi, Nakashima dan Rin Tsuon chi (Editor). 1995. Nihon no Koreika o Kangaeru. Minerva Shoten.


(6)

Long, Susan Orpett. 1996”Nurturing and feminity, The Ideal of Caregiving in Postwar Japan” dalam Re-Imaging Japanese Women, diedit oleh Anne E. Imamura. University of California Press.

Lumbantobing. 1997. Kecerdasan paada Usia Lanjut dan Demensia. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Nakane, Chie. 1971. Kiship and Economic Organization in Rulal Japan. London: The Atholone Press, University of london.

Narwoko, J. Dwi dan Bagong Suyanto. 2010. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana

Rianto,Adi. 1999.”Kelompok Usia Lanjut” dalam Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Editor T.O Ihromi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Situmorang, Hamzon. 1995. Perubahan kesetiaan Bushi dari Tuan kepada Keshogunan dalam Feodalisme Zaman Edo (1603-1868) di Jepang. Medan : USU Press.

Soekanto, Soerjono. 2003. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Soichi, Nasu dan Yasuko Yuzawa (Editor). 1985. Roujin Fuyou no Kenkyuu. Tokyo: Kakiuchi.

Sodei, Takako. 1993.”Roushin Fuyou” dalam Shin Shakai Gaku Jiten (New Enylopedia of Sociology).

Suparlan, Pasurdi.1986.”Keluarga dan Kerabat” dalam Manusia Indonesia Individu, Keluarga, dan Masyarakat. Editor A.W.Widjaja. Jakarta: Akademi Presindo.