Jawa Shakai De No Ruwatan Gishiki No Dentou

(1)

Abdul Rahman : Jawa Shakai De No Ruwatan Gishiki No Dentou, 2010.

JAWA SHAKAI DE NO RUWATAN GISHIKI NO DENTOU

KERTAS KARYA

Dikerjakan

O L E H

ABDUL RAHMAN NIM 062203022

Pembimbing Pembaca

Adriana Hasibuan, S.S., M.Hum Hj. Muhibbah, S.S. NIP. 19620727 198703 2 005

Kertas karya ini diajukan kepada panitia ujian pendidikan Non-Gelar Fakultas Sastra USU Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian Diploma III Bidang Studi Bahasa Jepang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA PROGRAM PENDIDIKAN NON-GELAR SASTRA BUDAYA

BIDANG STUDI BAHASA JEPANG MEDAN


(2)

Abdul Rahman : Jawa Shakai De No Ruwatan Gishiki No Dentou, 2010.

JAWA SHAKAI DE NO RUWATAN GISHIKI NO DENTOU

KERTAS KARYA

Dikerjakan

O L E H

ABDUL RAHMAN NIM 062203022

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA PROGRAM PENDIDIKAN NON-GELAR SASTRA BUDAYA

BIDANG STUDI BAHASA JEPANG MEDAN


(3)

Abdul Rahman : Jawa Shakai De No Ruwatan Gishiki No Dentou, 2010.

Disetujui Oleh :

Program Diploma Bahasa Jepang

Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara

Medan

Program Studi D3 Bahasa

Jepang

Ketua,

Adriana Hasibuan, S.S.,

M.Hum.

NIP. 19620727 198703 2 005


(4)

Abdul Rahman : Jawa Shakai De No Ruwatan Gishiki No Dentou, 2010.

PENGESAHAN

Diterima Oleh :

Panitia Ujian Program Pendidikan Non-Gelar Sastra Budaya Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan, untuk Melengkapi salah satu syarat Ujian Diploma III Bidang Studi Bahasa Jepang

Pada : Tanggal : Hari :

Program Diploma Sastra Budaya Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara

Dekan,

3. Hj. Muhibbah, S.S. ( ) Prof. Syaifuddin, M.A., Ph.D.

NIP. 19650909 199403 1 004

Panitia :

No Nama Tanda Tangan

1. Adriana Hasibuan, S.S., M.Hum. ( )


(5)

Abdul Rahman : Jawa Shakai De No Ruwatan Gishiki No Dentou, 2010.

JAWA SHAKAI DE NO RUWATAN GISHIKI NO DENTOU

KERTAS KARYA

Dikerjakan

O L E H

ABDUL RAHMAN NIM 062203022

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA PROGRAM PENDIDIKAN NON-GELAR SASTRA BUDAYA

BIDANG STUDI BAHASA JEPANG MEDAN


(6)

Abdul Rahman : Jawa Shakai De No Ruwatan Gishiki No Dentou, 2010.

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Alasan Pemilihan Judul

Ruwat sendiri adalah merupakan sebuah kebudayaan yang ada sebelum Islam masuk ke Jawa. Oleh karena itu masih banyak hal yang berhubungan dengan kepercayaan yang ada pada waktu sebelumnya. Karena waktu yang terus berjalan dalam berubahnya kebudayaan dengan adanya tekhnologi modern, maka keberadaan ruwatan sedikit tergeser.

Berdasarkan hal tersebut penulis merasa tertarik untuk membahas tentang Ritual Ruwatan pada masyarakat Jawa ini, kemudian menuangkan hasil bahasannya kedalam kertas karya ini.

1. 2 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan kertas karya ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk memperkenalkan salah satu tradisi suku Jawa yang ada di Indonesia.

2. Untuk menambah wawasan tentang salah satu tradisi suku Jawa yang ada di Indonesia.

3. Untuk pengetahuan baik terhadap pembaca dan juga penulis.

4. Melengkapi persyaratan untuk dapat lulus dari D – III Bahasa Jepang Universitas Sumatera Utara.


(7)

Abdul Rahman : Jawa Shakai De No Ruwatan Gishiki No Dentou, 2010.

Dalam kertas karya ini penulis membahas mengenai tentang gambaran umum Tradisi Ruwatan, yaitu tujuan dilakukannya ruwatan pada masyarakat Jawa. Sistem ritual ruawatannya pada diri sendiri, lingkungan dan untuk desa atau wilayah yang luas.

1. 4 Metode Penelitian

Dalam kertas karya ini penulis menggunakan metode kepustakaan. Yaitu pengumpulan data atau informasi dengan membaca buku sebagai referensi yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam kertas karya ini. Selanjutnya data analisa dan dirangkum untuk kemudian dideskripsikan kedalam kertas karya ini.


(8)

Abdul Rahman : Jawa Shakai De No Ruwatan Gishiki No Dentou, 2010.

BAB II

GAMBARAN UMUM TRADISI RUWATAN

2.1 Pengertian Ruwatan

Ruwat sebenarnya memiliki arti pelepasan, dan maksud dilakukannya ruwat adalah untuk membebaskan atau melepaskan manusia yang sudah tergolong sebagai sukerta. Sukerta adalah sosok anak yang terdapat kesialan karena menjadi mangsa dari Bethara kala ( sosok dewa yang baik tetapi buruk). Karena bersifat upacara pelepasan, maka upacara tersebut selalu berhubungan dengan mistis dan pengaruh gaib. Dalam kepercayaan Jawa, orang yang telah di ruwat dipercaya akan terlepas dari segala kesialan.

Kepercayaan yang ada dalam masyarakat Jawa ini memiliki keragaman, baik berbentuk ritual atau upacara, maupun bersifat spiritual. Sedikit berbeda dengan masyarakat Jawa saat ini, kepercayaan tentang mitos – mitos atau cerita mistis sudah banyak dilupakan dan sebagian besar masyarakat Jawa memilih teknologi sebagai pilihan yang lebih ilmiah. Saat ini cerita atau mitos lebih cenderung pada sentuhan spiritual yang hanya dapat dirasakan oleh orang – orang yang masih mempercayainya, yang tidak mempercayainya tidak akan mempengaruhi dirinya sama sekali. Salah satu keyakinan masyarakat Jawa yang cukup penting adalah ruwat. Ruwat dapat di bagi dalam tiga jenis ritual yang paling umum dan sering dilakukan dalam masyarakat Jawa yaitu :


(9)

Abdul Rahman : Jawa Shakai De No Ruwatan Gishiki No Dentou, 2010. 1. Ruwat diri sendiri.

Ruwatan dilakukan dengan tujuan menghindarkan diri dari kesialan yang ada dalam dirinya. Ruwat semacam ini biasanya dilakukan oleh sang spiritualis.

2. Ruwat untuk lingkungan

Di sini sang spiritualis melakukan ruwatan pada lingkungan. 3. Ruwat untuk umum.

Ruwatan semacam ini biasanya dilakukan untuk meruwat suatu wilayah, atau pekarangan dan menghilangkan kekuatan unsur alam yang ada di dalamnya.

2. 2 Tujuan dilakukannya Ruwatan

Tujuan dilakukannya upacara ruwatan adalah sebagai berikut :

1. Untuk menghindarkan diri dari ketidak keberuntungan. Keberadaan Bethara Kala ini sebenarnya tidak selalu mutlak ada di saat dilakukannya ruwatan, tetapi nama Bethara Kala sendiri sering disebutkan sebagai simbol keberadaan dalam hidup manusia.

2. Bethara Kala tidak harus ada dalam sebuah ritual ruwatan karena tidak semua ruwatan memiliki tujuan untuk menghindarkan diri dari Bethara Kala, tetapi terkadang memiliki tujuan untuk menghindarkan diri dari pengaruh jahat yang ditimbulkan oleh makhluk halus.

3. Alam merupakan sebuah bencana, yang sudah memberi tanda akan datang pada waktu tertentu. Ketakutan semacam menjadikan manusia merasa


(10)

Abdul Rahman : Jawa Shakai De No Ruwatan Gishiki No Dentou, 2010.

dekatnya dengan kematian. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, bencana dapat dihindarkan dengan melakukan acara ruwatan. Jika bencana tetap datang, kemungkinan akan menelan korban jiwa yang sedikit jika di bandingkan tidak melakukan ruwatan.

2.3 Ruwatan Pada Masyarakat Jawa

Ruwatan merupakan ritual khusus yang wajib dilakukan pada zaman dahulu oleh masyarakat Jawa. Pada zaman sekarang, ruwatan sudah jarang dilakukan karena masyarakat Jawa sebagian merasakan hal ini tidak diperlukan lagi. Pandangan modern menjadikan kebudayaan ini tersingkir dari kehidupan masyarakat Jawa. Tidak hanya ritual ruwatan saja yang mengalami pergeseran, tetapi masih banyak lagi ritual-ritual lain yang tersingkir dari kehidupan masyarakat Jawa. Hal ini karena dirasakan acara-acara yang berhubungan dengan dunia spiritual ini adalah sesuatu yang tidak masuk akal dan sesuatu yang sia-sia untuk dilakukan. Namun dari berbagai kalangan yang ada dalam masyarakat Jawa, memiliki pendapat yang bermacam-macam sebagai perwujudan dari daya imajinasi dan daya pikir mereka masing-masing.

Masyarakat Jawa yang senantiasa mengilhami dan mempercayai mitos – mitos tersebut kemudian menjadikan acara ruwatan sebagai acara yang wajib dilakukan dalam menghubungkan diri manusia dengan Tuhan dan dunia gaib. Namun pelaksanaan ritual ruawatan yang ada di dalam masyarakat Jawa sudah sangat jarang dilakukan pada zaman sekarang ini. Masyarakat jawa sekarang berpikir realistis, tetapi bukan berarti masyarakat Jawa pada zaman dahulu tidak berpikir secara realistis. Banyak masyarakat Jawa pada zaman sekarang ini telah meninggalkan adat istiadat Jawa yang dianggap sebagai suatu hal yang terlalu


(11)

Abdul Rahman : Jawa Shakai De No Ruwatan Gishiki No Dentou, 2010.

rumit untuk dijalankan. Sebagai contoh banyak orang Jawa tidak lagi mengenal aksara Hanacaraka yaitu huruf atau aksara Jawa yang mempunyai nilai tinggi dalam budaya. Dari beberapa kebudayaan yang ditinggalkan oleh masyarakat Jawa adalah kebudayaan yang bersifat spiritual.

Para pelaku ritualpun beranggapan bahwa acara ruwatan merupakan hal yang logis. Sehingga hal ini ditinggalkan sebagai bentuk kepercayaan, kebudayaan dan ritual. Tetapi bagi masyarakat Jawa yang masih memiliki kepercayaan tentang Bethara Kala dan Sukerta pelaksanaan ruwatan masih penting.


(12)

Abdul Rahman : Jawa Shakai De No Ruwatan Gishiki No Dentou, 2010.

BAB III

RITUAL RUWATAN

Dalam masyarakat Jawa, ritual ruwat dibedakan dalam tiga golongan besar yaitu :

1. Ritual ruwat untuk diri sendiri 2. Ritual ruwat untuk lingkungan 3. Ritual ruwat untuk wilayah

Dalam masyarakat Jawa, ruwatan tergantung pada siapa yang melaksanakannya. Jika ruwatan dilakukan oleh orang yang memang memiliki kemampuan ekonomi yang memadai, maka biasanya dilakukan secara besar – besaran yaitu dengan mengadakan pegelaran pewayangan. Pegelaran pewayangan ini berbeda dengan pegelaran yang pada umumnya dilakukan. Pagelaran pewayangan dilakukan pada siang hari dan khusus dilakukan oleh dalang ruwat. 3. 1 Ruwatan Diri Sendiri

Ruwatan dilakukan dengan cara – cara tertentu seperti melakukan puasa dan melakukan selamatan. Dalam masyarakat Jawa bertapa merupakan bentuk laku atau sering disebut lelaku. Lelaku sebagai wujud untuk membersihkan diri dari hal – hal yang bersifat gaib negatif juga termasuk dalam ruwatan. Dengan memasukkan kekuatan gaib dalam diri yang bersifat positif ( baik ), akan memberikan keseimbangan energi dalam tubuh. Hal ini sering dikemukakan oleh


(13)

Abdul Rahman : Jawa Shakai De No Ruwatan Gishiki No Dentou, 2010.

para spiritualis Jawa sebagai nasehat untuk mempelajari hal – hal yang bersifat baik.

Pada saat ini, ruwatan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa jauh berbeda dengan kebudayaan peninggalan pada zaman Hinda – Budha. Ruwatan lebih cenderung dilakukan dengan tidak mengatas namakan ruwatan, tetapi pada dasarnya memiliki tujuan yang sama. Lelaku sebagai wujud atau bentuk dari ruwatan bagi diri sendiri ini juga sering dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa agar mendapatkan kebersihan jiwa. Jika ada orang merasa sial, dalam kepercayaan Jawa harus melakukan upacara ruwatan terhadap diri sendiri. Ritual ruwatan ini memiliki banyak sebutan, antara lain adalah Ruwatan Anggara Kencana. Kesialan yang ada dalam diri manusia dipercaya timbul dari kekuatan lain (makhluk halus), keberadaan ini dapat dilakukan dengan pendeteksian.

Pendeteksian yang dilakukan adalah melalui perhitungan ( petungan ) Jawa yaitu Ha: 1, Na: 2, Ca: 3, Ra: 4 dan seterusnya. Pendeteksian dilakukan dengan menjumlahkan neptu ( umur menurut penanggalan Jawa ) orang tuanya dengan orang yang akan melakukan ritual ini. Jumlah keduanya kemudian dibagi 9 dan diambilah sisanya.

1. Bersemayam di sebelah kiri – kanan mata kanan 2. Bersemayam di sebelah kiri – kanan mata kiri 3. Bersemayam di telinga kanan

4. Bersemayam di telinga kiri

5. Bersemayam di sebelah hidung kanan 6. Bersemayam di sebelah hidung kiri 7. Bersemayam di mulut


(14)

Abdul Rahman : Jawa Shakai De No Ruwatan Gishiki No Dentou, 2010. 8. Bersemayam di sekeliling pusar

9. Bersemayam di kemaluan

Sebagai syarat dari ritual ini adalah mengambil sebagian darah di sekitar tempat keberadaan bersemayamnya. Darah ini akan dilabuh (dilarung ). Cara mengambil darah ini adalah dengan menggunakan duri yang kemudian dioleskan pada kapas putih. Duri dan kapas nantinya akan dilabuh bersama – sama dengan syarat yang lain, berupa:

1. Beras 4 kg

2. Slawat 1 Dirham ( uang senilai emas 1 gram ) 3. Ayam

4. Teklek ( sandal dari kayu, atau pada zaman sekarang biasa digantikan

sandal biasa )

5. Benang Lawe satu gulung

6. Telur ayam yang baru saja keluar ( belum ada sehari ) 7. Gula setangkep ( gula Jawa satu pasang ), gula pasir 1 kg 8. Kelapa 1 butir

Selain beberapa benda yang dilarung atau dilabuh tersebut, diikrarkan untuk disedekahkan kepada siapa yang dikehendakinya, sebaiknya sodaqoh kepada orang yang membutuhkannya.

3. 2 Ruwatan Untuk Lingkungan

Ruwatan yang dilakukan untuk lingkup lingkungan biasanya dilakukan dengan sebutan mageri atau memberikan pagar gaib pada sebuah lokasi.


(15)

Abdul Rahman : Jawa Shakai De No Ruwatan Gishiki No Dentou, 2010.

Memberikan pagar gaib pada sebuah lokasi ( anggap saja rumah ) ditujukan untuk beberapa hal, antara lain:

1. Memberikan daya magis yang dapat menahan, menolak, atau memindahkan daya ( energi ) negatif yang berbeda dalam rumah atau hendak masuk ke dalam rumah. Metode semacam ini biasanya dilakukan dengan menanam beberapa tumbal, misalnya kepala kerbau atau kepala kambing.

2. Memberikan pagar agar tidak dimasuki oleh orang yang hendak berniat jahat. 3. Memberikan kekuatan gaib yang dapat mengusir atau mengurung makhluk

halus yang berada dalam lingkup pagar gaib.

Berbagai cara untuk memberikan pagar gaib ini dapat dilihat pada buku – buku kuno yang menceritakan pemagaran diri manusia, lingkungan dan wilayah cukup luas dengan kepercayaan masyarakat Jawa. Tujuan utama yang dilakukannya pemagaran gaib pada manusia dan lingkungannya ini apabila tercapai, menurut kepercayaan masyarakat Jawa akan menjadikan lingkungan yang aman, sejahtera, jauh dari gangguan makhluk halus. Ritual ruwatan yang ditujukan untuk memagari sebuah lokasi ini kemudian berubah dalam pelaksanaannya karena sebagian masyarakat Jawa sekarang sudah cenderung mempercayai hal – hal yang bersifat ilmiah.

Ritual ruwatan dalam masyarakat Jawa yang masih berlaku biasanya adalah pemagaran gaib yang dilakukan dengan menyediakan berbagai jenis sesaji dan melakukan ritual itu sendiri. Penerapan tujuan ritual ruwatan tidak jauh berbeda tujuan ruwatan yang lain. Pelaksanaan yang umum dilakukan dalam masyarakat Jawa adalah dengan menggelar lakon pewayangan yang berisi tentang ruwatan itu sendiri.


(16)

Abdul Rahman : Jawa Shakai De No Ruwatan Gishiki No Dentou, 2010. 3. 3 Ruwatan Untuk Desa atau Wilayah yang Luas

Pada umumnya, pengruwatan bagi desa atau wilayah yang luas dilakukan dengan pegelaran pewayangan yang memberikan cerita dan dilakukan oleh dalang yang khususnya memiliki kemampuan dalam bidang ruwatan. Pada ritual pengruwatan, bocah sukerta dipotong rambutnya dan menurut kepercayaan masyarakat Jawa, kesialan sudah menjadi tanggungan dari dalang karena anak sukerta sudah menjadi anak dari dalang. Karena pegelaran wayang merupakan acara yang dianggap sakral dan memerlukan biaya yang cukup banyak, maka pelaksanaan ruwatan pada zaman sekarang ini dengan pagelaran wayang dilakukan dalam lingkup pedesaan atau pedusunan. Proses ruwatan bisa juga dilakukan untuk seseorang yang akan diruwat. Namun pelaksanaannya pada siang hari sedangkan untuk meruwat lingkup lingkungan, biasanya dilakukan pada malam hari. Perbedaan pemilihan waktu pelaksanaan pagelaran di tentukan melalui perhitungan hari dan pasaran ( Primbon ).


(17)

Abdul Rahman : Jawa Shakai De No Ruwatan Gishiki No Dentou, 2010.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4. 1 Kesimpulan

Dari pembahasan di atas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Ruwat merupakan warisan kebudayaan yang sudah dikenal masyarakat

Indonesia khususnya Jawa sejak dari dulu hingga sekarang.

2. Tradisi ruwat sebenarnya memiliki arti “ pelepasan”, dan dimaksudkan untuk membebaskan manusia dari segala nasib buruk, sial, serta mara bahaya melalui penyelenggaraan sebuah upacara. Ruwat amat dekat dengan dunia mistis dan tidak bisa lepas dari pangaruh gaib dalam pelaksanaannya.

4. 2 Saran

Penulis mengharapkan agar para pembaca dapat lebih mengenal budaya Indonesia khususnya budaya Jawa tentang ruwatan. Selain itu, supaya tidak punah sebaiknya acara ruwatan ini selalu dilakukan dan dilestarikan.


(18)

Abdul Rahman : Jawa Shakai De No Ruwatan Gishiki No Dentou, 2010.

DAFTAR PUSTAKA

1. Swardi, Endraswara. 2004. Dunia Hantu Masyarakat Jawa. Yogyakarta: Narasi.


(1)

Abdul Rahman : Jawa Shakai De No Ruwatan Gishiki No Dentou, 2010.

para spiritualis Jawa sebagai nasehat untuk mempelajari hal – hal yang bersifat baik.

Pada saat ini, ruwatan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa jauh berbeda dengan kebudayaan peninggalan pada zaman Hinda – Budha. Ruwatan lebih cenderung dilakukan dengan tidak mengatas namakan ruwatan, tetapi pada dasarnya memiliki tujuan yang sama. Lelaku sebagai wujud atau bentuk dari ruwatan bagi diri sendiri ini juga sering dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa agar mendapatkan kebersihan jiwa. Jika ada orang merasa sial, dalam kepercayaan Jawa harus melakukan upacara ruwatan terhadap diri sendiri. Ritual ruwatan ini memiliki banyak sebutan, antara lain adalah Ruwatan Anggara Kencana. Kesialan yang ada dalam diri manusia dipercaya timbul dari kekuatan lain (makhluk halus), keberadaan ini dapat dilakukan dengan pendeteksian.

Pendeteksian yang dilakukan adalah melalui perhitungan ( petungan ) Jawa yaitu Ha: 1, Na: 2, Ca: 3, Ra: 4 dan seterusnya. Pendeteksian dilakukan dengan menjumlahkan neptu ( umur menurut penanggalan Jawa ) orang tuanya dengan orang yang akan melakukan ritual ini. Jumlah keduanya kemudian dibagi 9 dan diambilah sisanya.

1. Bersemayam di sebelah kiri – kanan mata kanan 2. Bersemayam di sebelah kiri – kanan mata kiri 3. Bersemayam di telinga kanan

4. Bersemayam di telinga kiri

5. Bersemayam di sebelah hidung kanan 6. Bersemayam di sebelah hidung kiri 7. Bersemayam di mulut


(2)

Abdul Rahman : Jawa Shakai De No Ruwatan Gishiki No Dentou, 2010.

8. Bersemayam di sekeliling pusar 9. Bersemayam di kemaluan

Sebagai syarat dari ritual ini adalah mengambil sebagian darah di sekitar tempat keberadaan bersemayamnya. Darah ini akan dilabuh (dilarung ). Cara mengambil darah ini adalah dengan menggunakan duri yang kemudian dioleskan pada kapas putih. Duri dan kapas nantinya akan dilabuh bersama – sama dengan syarat yang lain, berupa:

1. Beras 4 kg

2. Slawat 1 Dirham ( uang senilai emas 1 gram )

3. Ayam

4. Teklek ( sandal dari kayu, atau pada zaman sekarang biasa digantikan

sandal biasa )

5. Benang Lawe satu gulung

6. Telur ayam yang baru saja keluar ( belum ada sehari ) 7. Gula setangkep ( gula Jawa satu pasang ), gula pasir 1 kg 8. Kelapa 1 butir

Selain beberapa benda yang dilarung atau dilabuh tersebut, diikrarkan untuk disedekahkan kepada siapa yang dikehendakinya, sebaiknya sodaqoh kepada orang yang membutuhkannya.

3. 2 Ruwatan Untuk Lingkungan

Ruwatan yang dilakukan untuk lingkup lingkungan biasanya dilakukan dengan sebutan mageri atau memberikan pagar gaib pada sebuah lokasi.


(3)

Abdul Rahman : Jawa Shakai De No Ruwatan Gishiki No Dentou, 2010.

Memberikan pagar gaib pada sebuah lokasi ( anggap saja rumah ) ditujukan untuk beberapa hal, antara lain:

1. Memberikan daya magis yang dapat menahan, menolak, atau memindahkan daya ( energi ) negatif yang berbeda dalam rumah atau hendak masuk ke dalam rumah. Metode semacam ini biasanya dilakukan dengan menanam beberapa tumbal, misalnya kepala kerbau atau kepala kambing.

2. Memberikan pagar agar tidak dimasuki oleh orang yang hendak berniat jahat. 3. Memberikan kekuatan gaib yang dapat mengusir atau mengurung makhluk

halus yang berada dalam lingkup pagar gaib.

Berbagai cara untuk memberikan pagar gaib ini dapat dilihat pada buku – buku kuno yang menceritakan pemagaran diri manusia, lingkungan dan wilayah cukup luas dengan kepercayaan masyarakat Jawa. Tujuan utama yang dilakukannya pemagaran gaib pada manusia dan lingkungannya ini apabila tercapai, menurut kepercayaan masyarakat Jawa akan menjadikan lingkungan yang aman, sejahtera, jauh dari gangguan makhluk halus. Ritual ruwatan yang ditujukan untuk memagari sebuah lokasi ini kemudian berubah dalam pelaksanaannya karena sebagian masyarakat Jawa sekarang sudah cenderung mempercayai hal – hal yang bersifat ilmiah.

Ritual ruwatan dalam masyarakat Jawa yang masih berlaku biasanya adalah pemagaran gaib yang dilakukan dengan menyediakan berbagai jenis sesaji dan melakukan ritual itu sendiri. Penerapan tujuan ritual ruwatan tidak jauh berbeda tujuan ruwatan yang lain. Pelaksanaan yang umum dilakukan dalam masyarakat Jawa adalah dengan menggelar lakon pewayangan yang berisi tentang ruwatan itu sendiri.


(4)

Abdul Rahman : Jawa Shakai De No Ruwatan Gishiki No Dentou, 2010. 3. 3 Ruwatan Untuk Desa atau Wilayah yang Luas

Pada umumnya, pengruwatan bagi desa atau wilayah yang luas dilakukan dengan pegelaran pewayangan yang memberikan cerita dan dilakukan oleh dalang yang khususnya memiliki kemampuan dalam bidang ruwatan. Pada ritual pengruwatan, bocah sukerta dipotong rambutnya dan menurut kepercayaan masyarakat Jawa, kesialan sudah menjadi tanggungan dari dalang karena anak

sukerta sudah menjadi anak dari dalang. Karena pegelaran wayang merupakan

acara yang dianggap sakral dan memerlukan biaya yang cukup banyak, maka pelaksanaan ruwatan pada zaman sekarang ini dengan pagelaran wayang dilakukan dalam lingkup pedesaan atau pedusunan. Proses ruwatan bisa juga dilakukan untuk seseorang yang akan diruwat. Namun pelaksanaannya pada siang hari sedangkan untuk meruwat lingkup lingkungan, biasanya dilakukan pada malam hari. Perbedaan pemilihan waktu pelaksanaan pagelaran di tentukan melalui perhitungan hari dan pasaran ( Primbon ).


(5)

Abdul Rahman : Jawa Shakai De No Ruwatan Gishiki No Dentou, 2010.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4. 1 Kesimpulan

Dari pembahasan di atas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Ruwat merupakan warisan kebudayaan yang sudah dikenal masyarakat

Indonesia khususnya Jawa sejak dari dulu hingga sekarang.

2. Tradisi ruwat sebenarnya memiliki arti “ pelepasan”, dan dimaksudkan untuk membebaskan manusia dari segala nasib buruk, sial, serta mara bahaya melalui penyelenggaraan sebuah upacara. Ruwat amat dekat dengan dunia mistis dan tidak bisa lepas dari pangaruh gaib dalam pelaksanaannya.

4. 2 Saran

Penulis mengharapkan agar para pembaca dapat lebih mengenal budaya Indonesia khususnya budaya Jawa tentang ruwatan. Selain itu, supaya tidak punah sebaiknya acara ruwatan ini selalu dilakukan dan dilestarikan.


(6)

Abdul Rahman : Jawa Shakai De No Ruwatan Gishiki No Dentou, 2010.

DAFTAR PUSTAKA

1. Swardi, Endraswara. 2004. Dunia Hantu Masyarakat Jawa. Yogyakarta: Narasi.