Bali Shakai De No Kentongan No Yakuwari

(1)

BALI SHAKAI DE NO KENTONGAN NO YAKUWARI

KERTAS KARYA DIKERJAKAN

O L E H

DIVA FITRIA ASKARI

NIM. 072203033

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

PROGRAM PENDIDIKAN NON-GELAR SASTRA BUDAYA

DALAM BIDANG STUDI BAHASA JEPANG

MEDAN

2010


(2)

BALI SHAKAI DE NO KENTONGAN NO YAKUWARI

KERTAS KARYA Dikerjakan

O L E H

DIVA FITRIA ASKARI

NIM. 072203033

Dosen Pembimbing Dosen Pembaca

(Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum)

NIP. 19600919 1988 03 1 001 NIP. 19600827 1991 03 1 001

(Drs. H. Yuddi Adrian Maulana, M.MA

Kertas karya ini diajukan kepada panitia ujian

Program pendidikan Non-Gelar Fakultas Sastra USU Medan Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Diploma III Dalam Bidang Studi Bahasa Jepang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA PROGRAM PENDIDIKAN NON-GELAR SASTRA BUDAYA DALAM BIDANG STUDI BAHASA JEPANG

MEDAN 2010


(3)

Disetujui Oleh :

Program Diploma Sastra dan Budaya

Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara

Medan

Program Studi D3 Bahasa Jepang

Ketua,

NIP 19620727 1987 03 2 005

Adriana Hasibuan, S.S., M.Hum


(4)

PENGESAHAN

Diterima oleh :

Panitia Ujian Program Pendidikan Non-Gelar Sastra Budaya

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian Diploma III Bidang Studi Bahasa Jepang

Pada : Tanggal : Hari :

Program Diploma Sastra Budaya Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara

Dekan,

NIP 19650909 1994 03 1 004 Prof. Syaifuddin, M.A., Ph.D.

Panitia :

No. Nama Tanda Tangan

1. Adriana Hasibuan, S.S., M. Hum ( )

2. Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum ( )

3. Drs. H. Yuddi Adrian Maulana, M.MA. ( )


(5)

KATA PENGANTAR

Kepada Engkau yang memiliki jiwa, kuhaturkan ribuan sujud padaMu atas syukur yang tak berucap, juga pada Rasulullah SAW, yang menyampaikan kalamMu dengan perjuangannya. Terima kasih untuk ibuku yang mengajarkan tentang penghargaan dan kehidupan.

Kertas karya ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Ahli Madya pada Universitas Sumatera Utara membahas “Peran Kentongan Pada Masyarakat Bali”.

Sebagai pemula penulis menyadari bahwa pasti masih terdapat beberapa kelemahan dan kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun guna kesempurnaan kertas karya ini. Sesungguhnya kebenaran hanya datang dari Allah semata dan kesalahan adalah milik hambanya yang dhaif.

Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih pada seluruh pihak yang telah membantu dan memberi dukungan serta bimbingan hingga selesainya kertas karya ini.

Penulis ucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Syaifuddin, M.A,, Ph.D selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Adriana Hasibuan, S.S., M.Hum , selaku Ketua Jurusan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Eman Kusdiyana M.Hum, selaku Dosen Pembimbing yang dengan ikhlas meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis sehingga kertas karya ini selesai.


(6)

5. Bapak Drs. H. Yuddi Adrian Maulana, M.MA , selaku Dosen Wali.

6. Staf Pengajar Jurusan Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera

Utara.

7. Teristimewa kepada Kedua Orang Tuaku Ayahanda H. Irland Askari, S.H

dan Ibunda Hj. Islah, S.Ag. Saudara-saudaraku Elistiana Askari, S.P, Iqbal Fasya Askari, S.T, Sony Ristanta Askari, A. Ade Husnanda A, S.T, Lismawita Askari, S.Sos yang telah memberikan dukungan moril maupun Doa sehingga terselesainya kertas karya ini.

8. Yang selalu di hatiku Alm. Kuntoro Setiawan Nst, yang telah memberikan

pelajaran yang amat berarti di hidupku. Kamu tak tergantikan, sayang kamu.

9. Yang terkasih Chairul Azmi, yang selalu sabar. Terima kasih untuk

pengertiannya sayang. Luv U.

10. Sahabat-sahabatku, Yuni yang selalu panikan, Mutia yang cerewet , Nana si Miss Slowly, Jhiki yang cuek, Mitha si hoby belanja, Sarah, Fia dan semua orang yang tak bisa kusebutkan satu persatu. Thanks!

Semoga kita selalu menjadi orang-orang yang menang!

Terima kasih banyak untuk semua bantuan dan dukungan yang diberikan sedikit banyaknya telah membantu penulisan kertas karya ini.

Medan, Juni 2010 Penulis

NIM. 072203033 Diva Fitria Askari


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Alasan Pemilihan Judul... 1

1.2. Tujuan Penulisan ... 1

1.3. Batasan Masalah ... 2

1.4. Metode Penulisan ... 2

BAB II GAMBARAN UMUM KENTONGAN ... 3

2.1. Pengertian Kentongan ... 3

2.2. Bahan Kentongan ... 3

2.3. Kode Suara Pada Kentongan ... 4

2.4. Klasifikasi Simbolik ... 5

2.5. Organisasi Tradisional Yang Menggunakan Kentongan ... 5

BAB III PERAN KENTONGAN PADA MASYARAKAT BALI ... 6

3.1 Peran Kentongan Pada Tingkat Kesakralan ... 6

3.2 Peran Kentongan Pada Lingkungan Masyarakat Bali ... 7

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 9

4.1 Kesimpulan ... 9

4.2 Saran ... 10 DAFTAR PUSTAKA


(8)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Alasan Pemilihan Judul

Kentongan jika diamati sepintas seolah-olah tidak ada artinya. Ia merupakan kayu yang dilubangi hampir sama dengan panjang dan besarnya kentongan. Kunci untuk membedakan dilihat dari kode suara dan penabuhnya.

Dari kentongan ini banyak sekali pelajaran yang dapat diambil. Kentongan merupakan alat komunikasi tradisional yang unik, khususnya pada masyarakat Bali. Di Bali pada umumnya kentongan yang digantung pada Bale kulkul ada dua buah. Ini maksudnya untuk mencerminkan dari jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Apabila kegiatan itu hanya melibatkan anggota perempuan, maka yang akan dibunyikan adalah kentongan yang beridentitas perempuan. Begitu juga sebaliknya. Tetapi jika kegiatan melibatkan laki-perempuan, maka kedua-dua kentongan yang dibunyikan. Untuk membedakan antara kedua jenis kentongan menurut identitasnya dapat dilihat dari ukuran besar kecil, suara penabuhannya.

Selain keunikan yang terdapat pada alat komunikasi tradisional kentongan ini, penulis juga tertarik akan bahan dan ukuran kentongan yang dibuat sesuai dengan ketentuan dari Agama Hindu. Begitu juga pada kode suara dan klasifikasi pada kentongan tersebut.

1.2Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan kertas karya ini adalah :

a. Untuk melestarikan kebudayaan Indonesia.

b. Sebagai salah satu langkah dalam upaya menginformasikan peran alat

komunikasi tradisional yang disebut orang Bali “Kulkul” (Kentongan), yang masih bertahan cukup unik di Bali.

c. Untuk memperluas wawasan pembaca tentang alat komunikasi


(9)

1.3Batasan Masalah

Dalam mengkaji secara singkat “ Peran Kentongan Pada Masyarakat Bali” ini, penulis hanya membahas tentang pengertian kentongan, bahan kentongan, kode suara pada kentongan, klasifikasi simbolik, organisasi tradisional yang menggunakan kentongan, dan peran kentongan pada masyarakat Bali.

1.4Metode Penulisan

Pada penulisan kertas karya ini, penulis menggunakan metode Library Research. Yaitu metode pengumpulan data dan informasi dengan membaca buku-buku atau referensi yang berhubungan erat dengan tema kertas karya ini. Kemudian data-data yang sudah terkumpul diidentifikasikan, dirangkum dan selanjutnya didistribusikan di setiap bab dan sub bab dalam kertas karya ini.


(10)

BAB II

GAMBARAN UMUM KENTONGAN

2.1 Pengertian Kentongan

Kentongan adalah alat bunyian (alat komunikasi tradisional) yang merupakan alat kuno dan tersebar luas di kepulauan Indonesia, sehingga pada pemerintah Belanda kentongan ini lebih populer dengan nama “Tongtong” tetapi nampaknya kurang lazim di Jawa pada istilah tongtongan tersebut. Sedangkan lebih lazim dipergunakan pada Zaman Jawa-Hindu hanya di khususkan untuk menyebutkan “ Slit-drum”, tabuhan dengan lubang memanjang yang dibuat dari perunggu.

Kentongan berfungsi sebagai tanda bahaya dan untuk menentukan adanya kerja biasa yang telah direncanakan sebelumnya. Pada Zaman yang maju serta didukung oleh majunya teknologi, kentongan juga berfungsi sebagai tanda pembukaan suatu seminar atau peresmian proyek yang mana kentongan itu dipukul oleh pejabat negara (Pemerintah), hal itu berarti peresmian proyek atau seminar dilaksanakan secara resmi yang ditandai dengan pemukulan kentongan.

2.2 Bahan Kentongan

Ditinjau dari segi bahan kentongan (kulkul) dapat dibuat dari berbagai macam kayu. Adapun kayu yang dapat dipergunakan sebagai kentongan adalah : kayu nangka, kayu jati, kayu camplung, kayu intaran gading, batang pohon pandan yang sudah tua serta ada kentongan yang bahannya terbuat dari bambu. Untuk mendapatkan kentongan yang baik, maka dipilihlah kayu atau bahan yang baik pula. Karena dengan bahan yang baik dapat memberikan kualitas suara yang baik pula Kayu yang baik dipergunakan sebagai bahan kentongan adalah sebagai berikut : Kayu nangka, karena kayu ini disebut kayu Prabu seperti disebutkan dalam naskah Janantaka (lembar 26b).

Di samping itu ada juga kentongan yang dikenal sekarang ini yang dibuat dari bambu yang khusus dipakai oleh organisasi-organisasi tertentu seperti Siskamling. Agar kentongan dapat tahan lama dan berumur panjang sehingga dapat diwarisi oleh generasi


(11)

2.3 Kode Suara Pada Kentongan

Pada dasarnya kode suara kentongan sangat menentukan gerak dan langkah bagi masyarakat pendukungnya. Karena kentongan merupakan alat komunikasi tradisional antara sesama masyarakat terutama masyarakat di Bali. Dalam keadaan aman dan lebih-lebih dalam menghadapi bahaya yang terjadi secara tiba-tiba di lingkungan masyarakat pendukungnya. Kode suara (bunyi kentongan) yang dipergunakan untuk melakukan kegiatan oleh masyarakat pendukungnya telah disepakati bersama oleh masyarakat di Bali lazim disebut dengan tulud atau tuludun. Tulud (tuludun) adalah pukulan kentongan pertama cukup panjang makin lama makin cepat, sampai pada pukulan tertentu menjadi agak lambat sampai pada pukulan terakhir.

Kode (bunyi) kentongan yang telah disepakati bersama oleh masyarakat pendukungnya. Adapun bahaya-bahaya itu meliputi :

a. Bahaya orang ngamuk, bunyi kulkul (kentongan) tiga periode (tiga tulud) terus

menerus dan saling timbal balik antara banjar yang satu dengan banjar yang lainya.

b. Bahaya ada pencuri, bunyi kentongan dua periode (dua tulud) antara banjar yang

satu dengan banjar yang lainya.

c. Bahaya kebakaran, bunyi kentongan empat periode (empat tulud) antara banjar yang satu dengan banjar yang lainya.

d. Bahaya banjir, tenggelam, bunyi kentongan satu periode (satu tulud) yang saling timbal di antara banjar yang satu dengan banjar yang lain.

e. Apabila ada orang kawin, kentongan dibunyikan bila musyawarah antara pihak

keluarga si gadis dan pihak laki-laki telah disepakati, maka membunyikan kentongan yang berstatus lelaki kemudian dilanjutkan kentongan yang berstatus perempuan.

f. Kerja biasa, kentongan dibunyikan untuk keserentakan kehadiran berlaku umum.

Namun harus diingat sebelum memukul kentongan apakah akan mengumpulkan anggota yang laki-laki atau perempuan atau kedua-duanya.

g. Kulkul (kentongan) kematian, bunyi kentongan antara banjar satu dengan yang

lainya tidak sama kodenya. Salah satunya yaitu : Pukulan tiga kali lambat hal tersebut menandakan adanya anak kecil yang meninggal. Pukulan tujuh kali lambat menandakan anak remaja meninggal dunia, pukulan sembilan kali lambat, orang tua yang meninggal dunia.


(12)

2.4 Klasifikasi Simbolik

Kentongan dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis yaitu :

1. Kentongan Dewa, adalah kentongan yang khusus dipergunakan waktu mengadakan

upacara Dewa Yadnya dan kentongan Dewa ini sebagai sarana upacara Dewa Yadnya.

2. Kentongan Bhuta, adalah kentongan yang khusus dipergunakan pada waktu upacara

Bhuta Yadnya atau mencaru. Yaitu sebagai alat komunikasi para Bhuta Kala dan untuk menetralisir sehingga keadaan alam dapat tentram dan aman.

3. Kentongan Manusa, adalah kentongan yang khusus dipergunakan untuk

melaksanakan kegiatan kemanusiaan baik untuk menyatakan bahaya maupun dalam melaksanakan kegiatan biasa yang sudah direncanakan sebelumnya oleh masyarakat pendukungnya.

4. Kentongan Hiasan, adalah kentongan yang terbuat dari kayu di mana pembuat

kentongan ini diberikan hiasan-hiasan sesuai dengan kehendak pemesan dari pada kentongan tersebut.

2.5 Organisasi Tradisional Yang Menggunakan Kentongan

Kentongan merupakan sarana yang utama dalam suatu organisasi kemasyarakatan di Bali, terutama dalam rangka mengumpulkan anggota masyarakat pendukungnya. Dalam kehidupan masyarakat Bali organisasi tradisional yang mempergunakan kentongan adalah : Desa, Banjar, tempekan-tempekan, sekeha-sekeha dan lain sebagainya. Organisasi tersebut berdiri dalam jangka waktu yang lama, bahkan dapat meliputi dari satu generasi ke generasi berikutnya yang diterima secara turun-temurun, tetapi ada juga yang bersifat sementara. Organisasi Tradisional yang menggunakan kentongan di Bali seperti, pemaksan-pemaksan pura, Desa, Banjar, sekeha-sekeha, pos kamling, puri, subak.


(13)

BAB III

PERAN KENTONGAN PADA MASYARAKAT BALI

3.1 Peran Kentongan Pada Tingkat Kesakralan

Sebagian besar atau hampir semua umat Hindu di Bali, dalam membuat suatu bangunan yang berupa apa saja dan lebih-lebih dalam pembuatan kentongan selalu didahului dengan upacara yang tujuannya adalah memohon perlindungan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam pembuatan kentongan ini dari mencari bahan sampai proses pembuatannya selalu didahului dengan upacara dan lebih-lebih lagi setelah selesai membuat kentongan yang akan dipergunakan untuk banyak orang maka kentongan itu akan dipelaspas dan dimohonkan tirta (air suci) di Pura Ulun Kulkul di Besakih, sehingga kentongan itu angker dan disucikan oleh masyarakat pendukungnya.

Interaksi yang demikian erat menyebabkan kebudayaan Bali mempunyai corak yang berbeda dengan kebudayaan yang ada di luar Bali. Umat Hindu begitu taat kepada wadahnya yaitu desa adat yang teratur rapi serta merupakan adil yang besar dalam menentukan perkembangan dan kelangsungan hidup seni budaya berupa kentongan yang disucikan atau disakralkan dalam bentuk upacara yang seperlunya. Ajaran Agama Hindu yang begitu luhur, harus ditanamkan kepada setiap umatnya melalu berbagai macam pengembangan agar benar-benar kentongan itu diyakini kesakralannya dan tidak menyimpang dari fungsinya. Mensucikan kentongan merupakan wujud riil sehingga tidak ada yang salah dalam penggunaan fungsi kentongan, maka kentongan itu akan disucikan lagi bagi mereka yang menyalahgunakan, sehingga kentongan itu benar-benar dijaga kesakralanya atau kesucian dari pada kentongan yang dipergunakan oleh masyarakat pendukungnya.


(14)

3.2 Peran Kentongan Pada Lingkungan Masyarakat Bali

Yaitu meliputi, yang pertama peran kentongan dalam rapat ; yaitu untuk keserentakan hadir warga masyarakat pendukungnya yang akan melaksanakan rapat maka dibunyikan kentongan sesuai dengan ritme-ritme yang telah ditentukan untuk melaksanakan kerja biasa atau rapat. Suatu kebiasaan adat yang telah diterima secara turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya, bahwa rapat itu dilaksanakan satu bulan sekali secara rutin oleh Banjar atau Desa di Bali. Bagi mereka yang tidak datang atau tidak hadir dalam suatu rapat, maka ia akan dikenakan sangsi berupa dosa (denda) yang sudah ditentukan besar kecilnya berupa uang.

Kedua, peran kentongan dalam pengarahan tenaga kerja ; yaitu dibedakan menjadi dua, antara lain :

a. Peran kentongan dalam pengarahan tenaga kerja biasa yang telah direncanakan

sebelumnya baik itu melaksanakan rapat guna membahas sutu hal yang telah direncanakan maupun melaksanakan gotong royong.

b. Peran kentongan dalam pengarahan tenaga kerja yang sifatnya mendadak, yaitu

sebagi pusat kegiatan dalam menanggulangi bahaya yang terjadi dilingkungan masyarakat pendukungnya, maka diserentakan hadirnya dengan isyarat bunyi kentongan betalu-talu sebagai pertanda ada bahaya.

Ketiga, peran kentongan pada upacara keagamaan ; yaitu sesuai dengan upacara keagamaan yang dilaksanakan oleh masyarakat pendukungnya yaitu kentongan Dewa dibunyikan tatkala melaksanakan Dewa Yadnya. Fungsinya untuk mengumpulkan masyarakat pendukungnya tatkala melaksanakan upacara tersebut, untuk keserentakan kehadirannya maka dibunyikan kentongan sebagai alat komunikasi sesama manusia atau banjar.

Keempat, peran kentongan pada gejala Alam ; yaitu gejala alam yang sering disambut dengan suara kentongan adalah gejala alam gerhana bulan. Dengan membunyikan kentongan akan segera melepas bulan, paling tidak ia akan terganggu oleh suara kentongan sehingga di saat gerhana bulan suasana di Bali diramaikan dengan suara kentongan.


(15)

perjanjian yang telah dituangkan dengan ritma-ritma atau isyarat sehingga tidak ada kebosanan menunggu, karena pada umumnya dengan dibunyikan kentongan berselang beberapa saat kemudian acara atau kerja sudah dapat dimulai. Disamping itu juga peran kentongan dalam pembangunan sebagai alat komunikasi bagi masyarakat pendukungnya baik dalam keadaan bahaya atau menyatakan hal-hal yang sudah direncanakan sebelumnya.


(16)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Kentongan adalah alat komunikasi tradisional yang dipergunakan untuk hal-hal

yang bersifat mendadak (bahaya) maupun kerja biasa yang sudah direncanakan sebelumnya oleh masyarakat pendukungnya.

2. Untuk membuat kentongan yang baik diperlukan bahan yang baik pula serta

berpatokan pada sastra yang ada.

3. Kode suara kentongan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu :

a. Untuk menyatakan hal-hal yang bersifat mendadak atau bahaya seperti

kebakaran, orang ngamuk, bahaya pencurian, maupun banjir, sifatnya tidak terduga.

b. Untuk menyatakan kerja biasa, untuk keserentakan hadir masyarakat

pendukungnya maka dibunyikan kentongan.

4. Kentongan di gantung di Bale kulkul ada 2 buah, ini mencerminkan dari jenis

kelamin laki-laki dan perempuan. Bila suatu kegiatan hanya melibatkan anggota perempuan saja maka yang di bunyikan kentongan yang beridentitas perempuan. Begitu juga sebaliknya. Tetapi bila melibatkan laki-perempian, maka kedua-dua kentongan bunyikan. Kentongan ini dibedakan dari ukuran besar kecilnya dan suara penabuhannya.

5. Mensucikan kentongan merupakan wujud rill sehingga tidak ada yang salah dalam

penggunaan fungsi kentongan. Maka kentongan itu akan disucikan lagi bagi mereka yang menyalahgunakan, sehingga kentongan itu benar-benar dijaga kesakralannya atau kesucian kentongan tersebut.

6. Kentongan dalam lingkungan masyarakat digunakan pada saat : rapat, dalam

pengarahan tenaga kerja, dalam upacara keagamaan, petunjuk gejala alam, dan dalam pembangunan.


(17)

4.2 Saran

Dewasa sekarang ini nilai-nilai tradisional sudah banyak mengalami berbagai pertimbangan, apakah nilai itu diteruskan kepada generasi berikutnya ataukah dimatikan keberadaannya. Sikap-sikap yang bimbang itu perlu diberi pengertian maupun wawasan. Maka dari itu kulkul sebagai warisan budaya leluhur perlu dilestarikan baik fisik maupun makna simbol yang dimisikan. Ada cara untuk merealisasikan pelestarian kulkul tersebut, diantaranya : Jika ingin kembali menunjukkan budi daya yang dihubungkan dengan nilai dan fungsi keuntungan bagi masyarakat Bali sebagai perlambangan penyatuan pemikiran baik bagi pemukulnya maupun pendengarnya, maka disarankan setiap pembukaan suatu peristiwa seperti penataran,seminar dan lain sebagainya harus ditandai dengan pemukulan kentongan. Untuk memulai pembukaan maupun mengakhiri suatu peristiwa penggunaan kentongan adalah sangat bijaksana.


(18)

DAFTAR PUSTAKA

Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, 1994/1995, Nilai dan Fungsi Kentongan Pada Masyarakat Bali

Raka Dherana, Tjokorda, Hubungan Agama Hindu dengan Adat


(1)

BAB III

PERAN KENTONGAN PADA MASYARAKAT BALI

3.1 Peran Kentongan Pada Tingkat Kesakralan

Sebagian besar atau hampir semua umat Hindu di Bali, dalam membuat suatu bangunan yang berupa apa saja dan lebih-lebih dalam pembuatan kentongan selalu didahului dengan upacara yang tujuannya adalah memohon perlindungan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Dalam pembuatan kentongan ini dari mencari bahan sampai proses pembuatannya selalu didahului dengan upacara dan lebih-lebih lagi setelah selesai membuat kentongan yang akan dipergunakan untuk banyak orang maka kentongan itu akan dipelaspas dan dimohonkan tirta (air suci) di Pura Ulun Kulkul di Besakih, sehingga kentongan itu angker dan disucikan oleh masyarakat pendukungnya.

Interaksi yang demikian erat menyebabkan kebudayaan Bali mempunyai corak yang berbeda dengan kebudayaan yang ada di luar Bali. Umat Hindu begitu taat kepada wadahnya yaitu desa adat yang teratur rapi serta merupakan adil yang besar dalam menentukan perkembangan dan kelangsungan hidup seni budaya berupa kentongan yang disucikan atau disakralkan dalam bentuk upacara yang seperlunya. Ajaran Agama Hindu yang begitu luhur, harus ditanamkan kepada setiap umatnya melalu berbagai macam pengembangan agar benar-benar kentongan itu diyakini kesakralannya dan tidak menyimpang dari fungsinya. Mensucikan kentongan merupakan wujud riil sehingga tidak ada yang salah dalam penggunaan fungsi kentongan, maka kentongan itu akan disucikan lagi bagi mereka yang menyalahgunakan, sehingga kentongan itu benar-benar dijaga kesakralanya atau kesucian dari pada kentongan yang dipergunakan oleh masyarakat pendukungnya.


(2)

3.2 Peran Kentongan Pada Lingkungan Masyarakat Bali

Yaitu meliputi, yang pertama peran kentongan dalam rapat ; yaitu untuk keserentakan hadir warga masyarakat pendukungnya yang akan melaksanakan rapat maka dibunyikan kentongan sesuai dengan ritme-ritme yang telah ditentukan untuk melaksanakan kerja biasa atau rapat. Suatu kebiasaan adat yang telah diterima secara turun-temurun dari generasi ke generasi berikutnya, bahwa rapat itu dilaksanakan satu bulan sekali secara rutin oleh Banjar atau Desa di Bali. Bagi mereka yang tidak datang atau tidak hadir dalam suatu rapat, maka ia akan dikenakan sangsi berupa dosa (denda) yang sudah ditentukan besar kecilnya berupa uang.

Kedua, peran kentongan dalam pengarahan tenaga kerja ; yaitu dibedakan menjadi dua, antara lain :

a. Peran kentongan dalam pengarahan tenaga kerja biasa yang telah direncanakan sebelumnya baik itu melaksanakan rapat guna membahas sutu hal yang telah direncanakan maupun melaksanakan gotong royong.

b. Peran kentongan dalam pengarahan tenaga kerja yang sifatnya mendadak, yaitu sebagi pusat kegiatan dalam menanggulangi bahaya yang terjadi dilingkungan masyarakat pendukungnya, maka diserentakan hadirnya dengan isyarat bunyi kentongan betalu-talu sebagai pertanda ada bahaya.

Ketiga, peran kentongan pada upacara keagamaan ; yaitu sesuai dengan upacara keagamaan yang dilaksanakan oleh masyarakat pendukungnya yaitu kentongan Dewa dibunyikan tatkala melaksanakan Dewa Yadnya. Fungsinya untuk mengumpulkan masyarakat pendukungnya tatkala melaksanakan upacara tersebut, untuk keserentakan kehadirannya maka dibunyikan kentongan sebagai alat komunikasi sesama manusia atau banjar.

Keempat, peran kentongan pada gejala Alam ; yaitu gejala alam yang sering disambut dengan suara kentongan adalah gejala alam gerhana bulan. Dengan membunyikan kentongan akan segera melepas bulan, paling tidak ia akan terganggu oleh suara kentongan sehingga di saat gerhana bulan suasana di Bali diramaikan dengan suara kentongan.

Kelima, peran kentongan dalam pembangunan ; yaitu sebagai pengakhiran permakluman yang bertujuan memperingatkan masyarakat pendukungnya akan


(3)

perjanjian yang telah dituangkan dengan ritma-ritma atau isyarat sehingga tidak ada kebosanan menunggu, karena pada umumnya dengan dibunyikan kentongan berselang beberapa saat kemudian acara atau kerja sudah dapat dimulai. Disamping itu juga peran kentongan dalam pembangunan sebagai alat komunikasi bagi masyarakat pendukungnya baik dalam keadaan bahaya atau menyatakan hal-hal yang sudah direncanakan sebelumnya.


(4)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Kentongan adalah alat komunikasi tradisional yang dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat mendadak (bahaya) maupun kerja biasa yang sudah direncanakan sebelumnya oleh masyarakat pendukungnya.

2. Untuk membuat kentongan yang baik diperlukan bahan yang baik pula serta berpatokan pada sastra yang ada.

3. Kode suara kentongan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu :

a. Untuk menyatakan hal-hal yang bersifat mendadak atau bahaya seperti kebakaran, orang ngamuk, bahaya pencurian, maupun banjir, sifatnya tidak terduga.

b. Untuk menyatakan kerja biasa, untuk keserentakan hadir masyarakat pendukungnya maka dibunyikan kentongan.

4. Kentongan di gantung di Bale kulkul ada 2 buah, ini mencerminkan dari jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Bila suatu kegiatan hanya melibatkan anggota perempuan saja maka yang di bunyikan kentongan yang beridentitas perempuan. Begitu juga sebaliknya. Tetapi bila melibatkan laki-perempian, maka kedua-dua kentongan bunyikan. Kentongan ini dibedakan dari ukuran besar kecilnya dan suara penabuhannya.

5. Mensucikan kentongan merupakan wujud rill sehingga tidak ada yang salah dalam penggunaan fungsi kentongan. Maka kentongan itu akan disucikan lagi bagi mereka yang menyalahgunakan, sehingga kentongan itu benar-benar dijaga kesakralannya atau kesucian kentongan tersebut.

6. Kentongan dalam lingkungan masyarakat digunakan pada saat : rapat, dalam pengarahan tenaga kerja, dalam upacara keagamaan, petunjuk gejala alam, dan dalam pembangunan.


(5)

4.2 Saran

Dewasa sekarang ini nilai-nilai tradisional sudah banyak mengalami berbagai pertimbangan, apakah nilai itu diteruskan kepada generasi berikutnya ataukah dimatikan keberadaannya. Sikap-sikap yang bimbang itu perlu diberi pengertian maupun wawasan. Maka dari itu kulkul sebagai warisan budaya leluhur perlu dilestarikan baik fisik maupun makna simbol yang dimisikan. Ada cara untuk merealisasikan pelestarian kulkul tersebut, diantaranya : Jika ingin kembali menunjukkan budi daya yang dihubungkan dengan nilai dan fungsi keuntungan bagi masyarakat Bali sebagai perlambangan penyatuan pemikiran baik bagi pemukulnya maupun pendengarnya, maka disarankan setiap pembukaan suatu peristiwa seperti penataran,seminar dan lain sebagainya harus ditandai dengan pemukulan kentongan. Untuk memulai pembukaan maupun mengakhiri suatu peristiwa penggunaan kentongan adalah sangat bijaksana.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Dep. Pendidikan dan Kebudayaan, 1994/1995, Nilai dan Fungsi Kentongan Pada Masyarakat Bali

Raka Dherana, Tjokorda, Hubungan Agama Hindu dengan Adat