BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Tidur - Pola Tidur pada Lansia di Puskesmas Payolansek Kota Payakumbuh Sumatera Barat Tahun 2012

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

  1. Pengertian Tidur

  Tidur merupakan suatu keadaan tidak sadar, dimana seseorang dapat dibangunkan oleh rangsang sensori atau stimulus lain dari lingkungan Guyton and Hall (1997), p.488 (dalam Karota-Bukit, 2005). Selama tidur, tubuh akan beristirahat dan tidak berespon terhadap lingkungan. Akan tetapi, seseorang dapat dibangunkan oleh stimulus lingkungan seperti : memanggil nama, menyentuh tubuhnya, rangsang suara, dan lampu. Sepertiga dari waktu dalam kehidupan manusia adalah untuk tidur, diyakini bahwa tidur sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan dan proses penyembuhan penyakit.

  2. Lanjut Usia

  Lanjut usia adalah suatu proses yang tidak dapat dihindari dan pasti akan dialami oleh siapapun juga. Lanjut usia menurut Organisasi Kesehatan Dunia adalah seseorang yang telah mencapai usia 45 tahun atau lebih dengan klasifikasi usia, yaitu : usia pertengahan (midlle age) yakni kelompok usia 45-59 tahun, usia lanjut (elderly) yakni kelompok usia 60-74 tahun, usia lanjut tua (old) antara 74-90 tahun, dan sangat tua (very old) 90 tahun keatas (Nugroho, 2008).

  2.1 Proses Menua

  Penuaan atau menua merupakan proses yang terus menerus atau berlanjut yang terjadi secara alamiah, merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari.

  Constantinides (1994) dalam Uliyah, (2006) menyebutkan bahwa menua adalah proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses menua pada lansia umumnya terjadi seiring dengan perubahan secara fisik, psikologis, mental, sosial dan ekonomi (Miller, 1995; Nugroho, 2008). Dari perubahan yang dialami secara fisik dapat berupa penyakit dalam, persendian, endokrin dan lain-lain. Sedangkan masalah psikososial pada lansia sering terjadi adalah stress, depresi, cemas, kehilangan, dan lain-lain (Miller, 1995).

  2.2 Teori-teori Penuaan

  Terdapat banyak teori tentang penuaan, yaitu teori-teori bilogis dan teori kejiwaan sosial. Teori-teori bilogis terdiri dari teori sintetis protein, teori keracunan oksigen, teori sistem immun, teori radikal bebas, teori rantai silang, teori reaksi kekebalan sendiri, dan lain-lain. Teori-teori kejiwaan sosial terdiri dari teori pengunduran diri, teori aktivitas, teori subkutural, teori kepribadian berlanjut, dan lain-lain.

  Teori sintetis protein. Tortora dan Anagnostakos (1990) dalam White (2003) menyebutkan bahwa observasi ini dilakukan pada jaringan, seperti kulit dan kartilago yang kehilangan elastisitasnya pada lansia. Proses kehilangan elastisitas ini dihubungkan dengan adanya perubahan kimia pada komponen protein dalam jaringan tersebut. Pada lansia, beberapa protein seperti kolagen pada kartilago dan elastin pada kulit dibuat oleh tubuh dengan bentuk dan struktur yang berbeda dari protein tubuh yang lebih muda. Contohnya banyak kolagen pada kartilago dan elastin pada kulit yang kehilangan fleksibilitas serta menjadi lebih tebal, seiring bertambahnya usia. Hal ini dapat lebih mudah dihubungkan dengan perubahan kulit yang kehilangan elastisitasnya dan cenderung berkerut, juga terjadi penurunan mobilitas dan kecepatan pada sistem musculoskeletal (White, 2003).

  Teori keracunan oksigen. Tortora dan Anagnostakos (1990) dalam White (2003) menyatakan bahwa teori ini membahas tentang adanya sejumlah penurunan kemampuan sel di dalam tubuh untuk mempertahankan diri dari oksigen yang mengandung zat racun dengan kadar yang tinggi, tanpa mekanisme pertahanan diri tertentu. Kemampuan untuk mempertahankan diri dari toksik tersebut membuat struktur membran sel mengalami perubahan dan rigid, serta terjadi kesalahan genetik. Membran sel tersebut merupakan alat untuk memfasilitasi sel dalam berkomunikasi dengan lingkungannya yang juga mengontrol proses pengambilan nutrisi dan proses ekskresi zat toksik di dalam tubuh. Fungsi komponen protein pada membran sel sangat penting bagi kelangsungan proses diatas, dipengaruhi oleh rigiditas membran tersebut. Konsekuensi dari kesalahan genetik adalah adanya penurunan reproduksi sel oleh mitosis yang mengakibatkan jumlah sel anak di semua jaringan dan organ berkurang. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan kerusakan sistem tubuh (White, 2003).

  Teori sistem immun. Teori imunitas menggambarkan suatu kemunduran dalam sistem imun yang berhubungan dengan penuaan. Ketika orang bertambah tua, pertahanan mereka terhadap organisme asing mengalami penurunan, sehingga mereka lebih rentan untuk menderita berbagai penyakit seperti kanker dan infeksi. Seiring dengan berkurangnya fungsi imun, terjadilah peningkatan dalam respons autoimun tubuh. Ketika orang mengalami penuaan, mereka mungkin mengalami penyakit autoimun seperti arthritis rheumatoid dan alergi terhadap makanan dan faktor lingkungan yang lain (Stanley and Beare, 2007).

  Teori radikal bebas. Radikal bebas adalah produk metabolisme selular yang merupakan bagian molekul yang sangat reaktif. Molekul ini memiliki muatan

  

ekstraselular kuat yang dapat menciptakan reaksi dengan protein, mengubah bentuk

  dan sifatnya; molekul ini juga dapat bereaksi dengan lipit yang berada dalam membran sel, mempengaruhi permeabilitasnya, atau dapat berikatan dengan organel sel Christiansen and Grzybowski, (1993) dalam Potter and Perry, (2005). Secara spesifik, oksidasi lemak, protein, dan karbohidrat dalam tubuh menyebabkan formasi radikal bebas. Polutan lingkungan merupakan sumber eksternal radikal bebas, Ebersole and Hess, (1994) dalam Potter and Perry, (2005). Teori ini menyatakan bahwa penuaan disebabkan akumulasi kerusakan ireversibel akibat senyawa pengosidasi ini Potter and Perry, (2005).

  Teori rantai silang. Sel-sel yang telah tua atau using, reaksi kimianya menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen. Ikatan ini menyebabkan kurangnya elastik, kekacauan, dan hilangnya fungsi (Uliyah, 2006).

  Teori reaksi dari kekebalan tubuh sendiri. Goldteris and Brocklehurust (1998) dalam Uliyah (2006) menyatakan di dalam proses metabolisme tubuh, suatu saat diproduksi zat khusus. Ada jaringan tubuh tertentu yang tidak tahan terhadap zat tersebut sehingga jaringan tubuh menjadi lemah dan sakit. Sebagai contoh adanya tambahan kelenjar timus yang pada usia dewasa berinvolusi dan semenjak itu terjadinya kelainan autoimun.

  Teori pengunduran diri. Teori ini menyatakan bahwa usia lanjut merupakan saat terjadinya pengunduran diri secara timbal balik sehingga mengakibatkan penurunan interaksi antara lanjut usia dan lingkungan sosialnya. Proses ini dapat dimulai oleh lanjut usia sendiri atau oleh orang lain di lingkungannya. Teori ini memberikan pandangan bahwa penyesuaian diri lansia merupakan suatu proses yang secara berangsur-angsur sengaja dilakukan mereka untuk melepaskan diri dari masyarakat (White, 2003).

  Teori kegiatan. Teori ini mengemukakan pada saat seseorang menginjak usia lanjut, maka ia tetap memiliki kebutuhan keinginan yang sama-sama seperti pada masa-masa sebelumnya. Mereka tak ingin mengundurkan diri dari lingkungan sosialnya. Usia lanjut optimal akan dijalani oleh orang-orang yang tetap aktif melaksanakan peranan-peranannya di dalam masyarakat sehingga semangatnya tetaplah tinggi. Teori ini berpandangan bahwa walaupun lansia pasti terbebas dari aktivitas, tetapi mereka secara bertahap waktu luangnya dengan melakukan aktivitas lain sebagai kompensasi dari penyesuaian (White, 2003).

  Teori kepribadian berlanjut. Pada teori ini menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada seseorang yang lanjut usia dipengaruhi oleh tipe personalitas yang dimilikinya. Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam siklus kehidupan lansia. Dengan demikian, pengalaman hidup seseorang pada suatu saat merupakan gambarannya kelak pada saat ia menjadi lansia. Hal ini dapat dilihat dari gaya hidup, perilaku, dan harapan seseorang ternyata tidak berubah, walaupun ia telah lansia Nugroho, (2008).

3. Fisiologi Tidur

  

Tidur adalah bagian dari ritme biologis yang bekerja selama 24 jam dengan

  tujuan mengembalikan stamina dan restorasi energi tubuh. Pengaturan tidur dan terbangun diatur oleh batang otak / Reticular Activating System (RAS) dan Bulbal

  

Synchronizing Region (BSR), thalamus dan berbagai hormon yang diproduksi oleh

hypothalamus. Beberapa neurohormon dan neurotransmitter juga dihubungkan dengan proses tidur dan terbangun. Produksi yang dihasilkan oleh dua mekanisme serebral dalam batang otak ini menghasilkan serotonin dalam sirkulasi darah.

  

Serotonin merupakan neurotransmitter yang bertanggung jawab terhadap transfer

  impuls-impuls syaraf ke otak yang berperan sangat spesifik dalam menginduksi rasa kantuk dan keinginan untuk tidur, serta sebagai modulator kapasitas kerja otak.

  Dalam tubuh serotonin diubah menjadi melatonin, dimana melatonin merupakan hormon kotekolamin yang diproduksi secara alami dalam tubuh tanpa bantuan cahaya. Pada lansia hormon melatonin ini akan menurun seiring dengan bertambahnya usia, penurunan hormon ini akan berpengaruh terhadap proses tidur lansia, bahkan pola tidur pada lansia bisa berubah dari kondisi yang normal karena kesulitan tidur sehubungan dengan penurunan produksi serotonin dan melatonin.

  Sehubungan dengan hal tersebut seringkali lansia mencoba meningkatkan melatonin dengan sinar matahari pagi agar ritme cicardian (siklus tidur-bangun) menjadi lebih kuat dan seimbang. Namun demikian masalah tidaklah sesederhana tersebut, adanya lesi pada pusat pengaturan tidur terbangun dibagian hipotalamus anterior juga dapat menyebabkan keadaan seseorang menjadi terus siaga dari tidur. Kemudian itu,

  

katekolamin yang dilepaskan dari neuron-neuron Reticular Activating System akan

  menghasilkan hormon norepineprin, yang umumnya hormon ini akan merangsang otak untuk melakukan peningkatan aktivitas. Pada orang dalam keadaan stress atau cemas, kadar hormon ini akan meningkat dalam darah dan akan merangsang sistem saraf simpatetik sehingga seseorang akan terus terjaga.

  Hal ini menyatakan bahwa pelepasan prostaglandin dari hipotalamus menyebabkan peningkatan gelombang lambat tidur dan kesadaran. Prostaglandin adalah mediator kimiawi yang berperan dalam potogenesis nyeri, yang akan memicu pusat syaraf nyeri diotak pada daerah korteks parentalis tepatnya girus posterior

  

sentralis . Rangsang nyeri ini akan diteruskan pada derajat tertentu dan berpengaruh

  pada pusat tidur yang terletak pada substansia retikularis medulla oblongata sehingga akan mengacaukan proses sinkronisasi neuron-neuron pada batang otak yang sebenarnya merupakan bentuk terjadinya proses tidur, dan kemudian merangsang proses dekronisasi neuron-neuron substansi retikularis tersebut sehingga proses tidur terganggu yang berlanjut munculnya sinyal dalam bentuk keadaan waspada dan pada akhirnya akan bermanifestasi sebagai insomnia (Guyton, 2006; Perry, 2001)

  Terdapat berbagai tahap dalam tidur, dari tidur yang sangat ringan sampai tidur yang sangat dalam, para peneliti tidur juga membagi tidur dalam dua tipe yang secara keseluruhan berbeda, yang memiliki kualitas yang berbeda pula, yaitu : NREM

  

(Non Rapid Eye Movement), tahap tidur ini dapat juga disebut sebagai gelombang

  lambat. Dinamakan tidur gelombang lambat karena pada tahap ini gelombang otaknya sangat lambat, yang dapat dihubungkan dengan penurunan tonus, penurunan darah perifer dan fungsi-fungsi vegetatif tubuh lainnya. Selain itu, tekanan darah, frekuensi pernapasan, dan kecepatan metabolisme basal akan berkurang 10%-30%.

  Ciri-ciri tidur Non Rem, yaitu betul-betul istirahat penuh, tekanan darah menurun, frekuensi napas menurun, pergerakan bola mata melambat, mimpi berkurang, dan metabolisme menurun Guyton and Hall, (2006).

  Perubahan selama proses tidur gelombang lambat adalah melalui

  

elektroenchephalografi dengan memperlihatkan gelombang otak berada pada setiap

  tahap tidur, yaitu : pertama, kewaspadaan penuh dengan gelombang betha yang berfrekuensi tinggi dan bervoltase rendah; kedua, istirahat tenang yang diperlihatkan pada gelombang alpha; ketiga, tidur ringan karena terjadi perlambatan gelombang alpha sejenis tetha atau delta yang bervoltase rendah; dan keempat, tidur nyenyak karena gelombang lambat dengan gelombang delta bervoltase tinggi dengan kecepatan 1-2/detik Alimul, (2006).

  Tidur NREM menurut Tarwoto (2006) terdiri dari empat tahapan. Pada tahap pertama merupakan tingkat transisi antara terjaga dan tidur. Pada tahap ini berlangsung beberapa menit dan mudah terbangun dengan adanya rangsangan. Sedangkan tahap kedua merupakan permulaan tidur yang sebenarnya. Terdiri dari periode suara tidur, relaksasi otot yang menurun dan berlangsung 10-20 menit. Dan tahap ketiga serta tahap keempat merupakan tidur dalam. Selama fase NREM terjadi penurunan tonus otot, tekanan darah, dan metabolisme tubuh. Pada tahap ini dibutuhkan rangsangan yang lebih kuat untuk membangunkan.

  REM (Rapit Eye Movement) disebut juga sebagai tidur paradox yang dapat berlangsung pada tidur malam selama 5-20 menit, dan rata-rata tidur 90 menit. Periode pertama terjadi selama 80-100 menit, akan tetapi apabila kondisi orang sangat lelah, maka awal tidur sangat cepat bahkan jenis tidur ini tidak ada. Ciri-ciri tidur jenis ini adalah : biasanya disertai dengan mimpi aktif, lebih sulit dibangunkan dari pada selama tidur nyenyak gelombang lambat, tonus otot selama tidur nyenyak sangat tertekan, menunjukkan inhibisi kuat proyeksi spinal atas sistem pengaktifasi

  

retikularis , frekuensi jantung dan pernapasan menjadi tidak teratur, pada otot perifer

  terjadi beberapa gerakan otot yang tidak teratur, mata cepat menutup dan terbuka, nadi cepat dan irregular, tekanan darah meningkat atau berfluktuasi, sekresi gaster meningkat, dan metabolisme meningkat, tidur ini penting untuk keseimbangan mental, emosi, juga berperan dalam belajar, memori dan adaptasi (Alimul, 2006).

  Pada lansia, perubahan fase ini terjadi pada NREM, dimana tahap II tidur tidak terjadi perubahan yang berarti. Namun, memasuki tahap III tidur perubahan mulai semakin nampak kemudian tahap IV tidur terjadi penurunan bahkan kadang tidak ada, sedangkan tidur fase REM tidak terdapat perubahan yang menurun (Miller, 1995). Skema 1 : Tahapan Tidur (dikutip dari Fundamental of Nursing (Potter and Perry, 2005)

  Mengantuk ↓

  Stadium 1 NREM → Stadium 2 NREM → Stadium 3 NREM

  ↑ ↓ REM Stadium 4 NREM

  ↑ ↓ Stadium 2 NREM

  ← Stadium 3 NREM

4. Fungsi dan tujuan tidur

  Fungsi dan tujuan tidur secara jelas tidak diketahui, akan tetapi diyakini bahwa tidur dipercaya mengkontribusi pemulihan fisiologis dan psikologis (Oswald, 1984; Anch dkk, 1998 dalam Potter and Perry, (2005). Menurut teori, tidur adalah waktu perbaikan dan persiapan untuk periode terjaga berikutnya. Selama tidur NREM, fungsi biologis menurun. Laju denyut jantung normal pada orang dewasa sehat sepanjang hari rata-rata 70 hingga 80 denyut permenit atau lebih rendah jika individu berada pada kondisi fisik yang sempurna. Akan tetapi selama tidur laju denyut jantung turun sampai 60 denyut permenit atau lebih rendah. Hal ini berarti bahwa denyut jantung 10 hingga 20 kali lebih sedikit dalam setiap jam. Secara jelas, tidur yang nyenyak bermanfaat dalam memelihara fungsi jantung. Penelitian lain menunjukkan bahwa sintetis protein dan pembagian sel untuk pembaharuan jaringan seperti pada kulit, sumsum tulang, mukosa lambung, atau otak terjadi selama istirahat dan tidur Oswald, (1994) dalam Potter and Perry, (2005).

  Secara umum terdapat dua efek fisiologis dari tidur, yaitu : efek pada sistem saraf, yang diperkirakan dapat memulihkan kepekaan normal dan keseimbangan diantara berbagai susunan saraf, efek pada struktur tubuh, dengan memulihkan kesegaran dan fungsi dalam organ tubuh, karena selama tidur terjadi penurunan (Alimul, 2006).

5. Pola tidur pada lansia Dengan bertambahnya usia terdapat penurunan dalam periode tidur.

  Kebutuhan tidur akan berkurang dengan berlanjutnya usia. Pada usia 12 tahun kebutuhan tidur sampai 8,5 jam, berkurang menjadi 8 jam pada usia 20 tahun, 7 jam pada usia 40 tahun, 6 jam pada usia 60 tahun atau lebih (Alimul, 2006). Selain itu perubahan juga terjadi pada ritme circadian yang menghasilkan peningkatan tidur lebih awal, terbangun lebih awal, disertai dengan peningkatan bangun yang sering dimalam hari. Alasan-alasan yang juga menyertai terbangunnya lanjut usia pada malam hari meliputi jalan ke kamar mandi, susah bernapas, kram kaki, dan suara gaduh. Dengan bertambahnya usia, frekuensi terbangun meningkat dari 1 atau 2 sampai 6 kali dalam semalam.

  Semakin bertambah usia efisiensi tidur semakin berkurang. Efisiensi tidur diartikan sebagai jumlah waktu tidur berbanding dengan waktu berbaring ditempat tidur. Kebutuhan tidur pun semakin menurun karena dorongan homeostatik untuk tidur pun berkurang. Hal ini dialami oleh para lansia. Pada lansia, wanita lebih banyak mengalami insomnia dibandingkan pria yang lebih banyak menderita sleep

  

apnea atau kondisi medis lainnya yang dapat mengganggu tidur. Tidur lansia kurang

dalam, lebih sering terbangun, tidur delta berkurang, dan tidurnya tidak efektif.

  Mengantuk disiang hari sering terjadi pada lansia. Keadaan ini dapat mempengaruhi jadual tidur bangunnya dimalam hari. Perubahan yang sangat menonjol yaitu terjadi pengurangan pada gelombang lambat, terutama stadium 4 gelombang alfa menurun, dan meningkatnya frekuensi terbangun dimalam hari atau meningkatnya fragmentasi tidur karena sering terbangun. Gangguan juga terjadi dalamnya tidur sehingga lansia sangat sensitif terhadap stimulus lingkungan. Ritmik circadian tidur-bangun lansia juga sering terganggu. Jam biologik lansia lebih pendek dan fase tidurnya lebih maju. Seringnya terbangun malam hari menyebabkan keletihan, mengantuk, dan mudah jatuh tidur pada siang hari.

  Perubahan pola tidur pada lansia banyak disebabkan oleh kemampuan fisik lansia yang semakin menurun. Kemampuan fisik menurun terkait oleh kemampuan organ dalam tubuh yang menurun juga seperti jantung, paru-paru dan ginjal. Penurunan tersebut mengakibatkan daya tahan tubuh dan kekebalan turut berpengaruh. Pada lansia biasanya insomnia lebih sering menyerang. Hal ini terjadi sebagai efek samping (sekunder) dari penyakit seperti nyeri sendi, osteoporosis, payah jantung, parkinson, dan depresi. Jika penyebab utamanya tidak diatasi, dengan sendirinya gangguan tidur tidak akan pernah teratasi. Pada kondisi seperti ini obat tidur bukanlah solusi yang tepat. Lansia amat mudah lelah sehingga tertidur pada siang hari (Narto, 2011).

  Adanya perubahan struktur fungsi tidur pada lansia karena proses penuaan yang berdampak pada : peningkatan jumlah jam tidur pada tahap I & II, penurunan jumlah jam tidur pada tahap III & IV, waktu yang lama untuk dapat tidur, sulit untuk tidur, sering terbangun pada malam hari, jumlah total jam tidur berkurang, mengantuk pada siang hari (Loftis and Glover, 1993 : Miller, 1995 dalam Karota-Bukit, 2005).

6. Kualitas Tidur Lansia

6.1 Pengkajian Kualitas Tidur

  Kualitas tidur adalah suatu keadaan yang dapat dilihat dari kemampuan individu dalam mempertahankan tidur dan mendapat kebutuhan tidur yang cukup dari tidur REM dan NREM (Kozier and Erb, 1987). Kualitas tidur dapat diketahui dengan melakukan pengkajian yang meliputi data subjektif dan objektif (Craven and Hirnle, 2000).

  Data subjektif merupakan kriteria yang sangat penting untuk menentukan kualitas tidur seseorang melalui pernyataan subjektif mengenai kualitas tidur yang dialaminya. Pernyataan subjektif ini sangat bervariasi pada individu (Potter and Perry, 2005). Dalam pernyataan subjektif, individu biasanya melaporkan pengalaman tidur yang dialami berkaitan dengan total waktu tidur, lamanya waktu yang dibutuhkan untuk tertidur, frekuensi seringnya terbangun pada malam hari dan waktu bangun dipagi hari (Craven and Hirnle, 2000).

  Data objektif dapat dilihat dari pemeriksaan fisik dan diagnostik (Tarwoto dan Wartonah, 2006). Pemeriksaan fisik dapat diobservasi dari penampilan wajah seperti adanya lingkaran hitam disekitar mata, mata sayu dan konjungtiva merah. Dapat juga dilihat dari perilaku dan tingkat energi individu seperti perilaku iritabel, kurang perhatian, respon lambat, sering menguap, menarik diri dan bingung, postur tubuh tidak stabil, tangan tremor dan kurang koordinasi. Dari pemeriksaan diagnostik dapat dilakukan dengan merekam proses tidur dengan alat-alat seperti EEG

  

(electroencephalogram) untuk melihat aktivitas listrik otak, EMG (electromyogram)

  untuk pengukuran tonus otot dan EOG (electrooculogram) untuk melihat pergerakan mata (Potter and Perry, 2001).

6.2 Kualitas Tidur pada Lansia

  

Tidur pada lansia mengalami perubahan seiring dengan terjadinya proses

  menua yang membawa perubahan fisik pada sistem saraf yang dapat mempengaruhi aktivasi dari sel-sel serebral. Jumlah saraf-saraf mulai menurun yang diikuti oleh penurunan efisiensi sistem saraf. Saraf perifer juga mengalami degenerasi yang menyebabkan penurunan kecepatan konduksi sensorik dan motorik. Perubahan sistem saraf lansia mengakibatkan sebuah kebutuhan terhadap stimulasi yang lebih besar untuk memperoleh respon dan dapat juga menimbulkan respon yang lambat terhadap stimuli. Terjadinya penurunan sensorik seperti kemampuan untuk melihat pada lansia mengurangi sensitivitas terhadap stimulus eksternal seperti cahaya atau gelap yang mempengaruhi pola tidur (Stabb and Hodges, 1996). Shneerson (2000) dalam Potter and Perry (2001) menyebutkan pada lansia juga mengalami perubahan irama sirkadian yang mempengaruhi denyut nadi, suhu tubuh, volume urin yang disekresikan dan ekskresi dari potasium urin. Perubahan fisiologis ini sering mengakibatkan perubahan irama tidur pada lansia. Perubahan irama ini berbeda pada masing-masing individu. Namun, pada umumnya lansia tidak memiliki kecukupan tidur selama 8 jam tanpa terganggu (Stabb and Hodges, 1996).

  Perubahan tidur pada lansia yang paling umum adalah terjadinya peningkatan jumlah waktu di tempat tidur namun efisiensi tidur kurang, peningkatan waktu latensi tidur, peningkatan frekuensi terbangun dari tidur dimalam hari

  (Foreman and Wykle, 1995). Hayter (1980) dalam Kozier and Erb (1987) juga melaporkan frekuensi terbangun pada lansia bisa sampai enam kali dalam satu malam dibandingkan dengan dewasa yang terbangun rata-rata satu kali dalam satu malam. Perubahan ini juga termasuk dalam penurunan tidur pada tahap stadium 3 dan stadium 4 NREM yang sangat bermanfaat bagi pemulihan tubuh (Thorpy, 1990).

  Lansia dapat dengan mudah lelah sehingga membutuhkan periode yang lebih panjang untuk tidur, sehingga kurangnya kebutuhan tidur dapat menyebabkan rendahnya tingkat energi (Stabb and Hodges, 1996).

  

Kesulitan tidur meningkat seiring dengan pertambahan usia (Rossman,

  1986). Lebih dari 50% individu dengan usia 65 tahun atau lebih mendapatkan masalah dengan tidur. Weinrich (1998) dalam Potter and Perry (2001), mengatakan penurunan kualitas tidur pada lansia mengakibatkan penurunan kepuasan tidur pada lansia. Penelitian terdahulu telah melaporkan keluhan-keluhan subjektif populasi lansia terhadap tidurnya, mereka merasa tidak puas dengan tidurnya bila dibandingkan dengan individu yang lebih muda, 25% sampai 40% lansia mengeluh tentang kualitas tidurnya termasuk seringnya terbangun dimalam hari dan waktu bangun yang terlalu awal dipagi hari (Thorpy, 1990). McGhie and Russel (1961) dalam Thorpy (1990) mensurvei lebih dari 2000 individu di Britania Raya, dibandingkan dengan individu yang lebih muda, lansia sering mengeluh mengalami waktu tidur yang pendek (kurang dari 5 jam) dan melaporkan panjangnya latensi tidur dan sering terbangun sangat awal dipagi hari.

7. Faktor yang mempengaruhi tidur

  Kualitas tidur seseorang sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kualitas dapat menunjukkan adanya kemampuan individu untuk tidur dan memperoleh jumlah istirahat sesuai dengan kebutuhannya. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tidur pada lansia adalah : penyakit, latihan dan kelelahan, stress psikologis, obat, nutrisi, lingkungan, dan motivasi. Penyakit. Faktor penyakit dapat mempengaruhi kebutuhan tidur seseorang dimana terjadi penurunan kualitas dan kuantitas tidur pada orang yang mengalami kondisi sakit. Banyak penyakit yang menambah jumlah kebutuhan tidur, misalnya penyakit yang disebabkan oleh infeksi (infeksi limfa) akan memerlukan lebih banyak waktu tidur untuk mengatasi keletihan, arthritis yang menyebabkan nyeri kronis dan rasa tidak nyaman yang mengganggu tidur, dan perubahan pada sistem

  

musculoskeletal, dan jaringan lain yang ada kaitannya dengan kemungkinan

  timbulnya beberapa golongan rematik. Disisi lain disampaikan bahwa banyak juga keadaan sakit menjadikan seseorang kurang tidur.

  Latihan dan Kelelahan. Keletihan akibat aktivitas yang tinggi dapat memerlukan lebih banyak tidur untuk menjaga keseimbangan energi yang telah dikeluarkan. Hal ini terlihat pada seseorang yang telah melakukan aktivitas dan mencapai kelelahan. Maka, orang tersebut akan lebih cepat untuk dapat tidur karena tahap tidur gelombang lambatnya diperpendek.

  Stress Psikologis. Kondisi psikologis dapat terjadi pada seseorang akibat ketegangan jiwa. Hal tersebut terlihat ketika seseorang yang memiliki masalah psikologi mengalami kegelisahan sehingga sulit untuk tidur. Obat. Obat dapat juga mempengaruhi proses tidur. Beberapa jenis obat yang dapat mempengaruhi proses tidur adalah jenis golongan obat diuretik yang menyebabkan seseorang insomnia, anti depresan dapat menekan REM (Rapid Eye

  

Movement) , kafein dapat meningkatkan saraf simpatis yang menyebabkan kesulitan

  untuk tidur, golongan beta bloker dapat berefek pada timbulnya insomnia, dan golongan narkotik dapat menekan REM (Rapid Eye Movement) sehingga mudah mengantuk. Nutrisi. Terpenuhinya kebutuhan nutrisi yang cukup dapat mempercepat terjadinya proses tidur, karena adanya tryptophan yang merupakan asam amino dari protein yang dicerna. Demikian sebaliknya, kebutuhan gizi yang kurang dapat juga mempengaruhi proses tidur, bahkan terkadang sulit untuk tidur.

  Lingkungan. Keadaan lingkungan yang aman dan nyaman bagi seseorang dapat mempercepat terjadinya proses tidur. Suara gaduh, cahaya, dan temperatur dapat mengganggu tidur. Lansia sangat sensitif terhadap stimulus lingkungannya. Motivasi. Motivasi merupakan suatu dorongan atau keinginan seseorang untuk tidur, yang dapat mempengaruhi proses tidur. Selain itu adanya keinginan untuk menahan tidak tidur dapat menimbulkan gangguan proses tidur (Alimul, 2006).

Dokumen yang terkait

Pola Tidur pada Lansia di Puskesmas Payolansek Kota Payakumbuh Sumatera Barat Tahun 2012

6 91 78

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Tidur - Perbandingan Kualitas Tidur pada Pasien Diabetes Melitus Laki-laki dan Perempuan di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar

0 2 35

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Stres dan Kualitas Tidur pada Lansia di Kecamatan Porsea dapat diselesaikan dengan baik

1 4 22

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Tidur - Kualitas Tidur Perawat Ketika Tidak Bertugas Malam Dan Setelah Bertugas Malam Di Rumah Sakit Umum Sidikalang

0 1 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi 2.4.6 Definisi Persepsi - Persepsi Lansia tentang Pelayanan Posyandu Lansia di Puskesmas Tarok Kecamatan Payakumbuh Utara Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.

0 0 22

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tidur 2.1.1. Definisi Tidur - Gambaran Kualitas Tidur pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Tahun Akademik 2013/2014

1 2 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Indeks Massa Tubuh (IMT) - Hubungan Pola Tidur dengan Indeks Massa Tubuh pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara pada Angkatan 2010, 2011 dan 2012

0 0 16

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tidur 2.1.1 Pengertian Tidur - Gambaran Kualitas Tidur Dan Gangguan Tidur Pada Lansia Di Unit Pelaksana Teknis Pelayanan Sosial Lanjut Usia Dan Anak Balita Wilayah Binjai Dan Medan

1 4 20

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Tidur 1.1. Defenisi Tidur - Kualitas Tidur Dan Faktor-Faktor Gangguan Tidur Pada Penderita Hipertensi Di Wilayah Kerja Puskesmas Medan Johor

0 3 17

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kafein 2.1.1. Pengertian dan struktur kimia kafein - Pengaruh Penggunaan Kafein Terhadap Kualitas Tidur Mahasiswa Semester VII Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Tahun 2012

0 0 21