BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis 1. Definisi Kesejahteraan Psikologis - Hubungan Persepsi Dukungan Organisasi Dengan Kesejahteraan Psikologis Di Kalangan Perawat

BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis

1. Definisi Kesejahteraan Psikologis

  Ryff (1995) mengatakan kesejahteraan psikologis dapat disebut dengan

  

psychological well being yang merupakan pencapaian penuh dari potensi

  psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan hubungan positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, dan terus tumbuh secara personal. Menurut Ryff (1989) gambaran dari karakteristik seseorang yang memiliki kesejahteraan psikologis merujuk pada pandangan Roger mengenai individu yang berfungsi secara penuh (fully functioning person), pandangan Maslow mengenai aktualisasi diri (self-actualization), pandangan Jung mengenai individuasi (individuation), konsep Allport mengenai maturasi

  

(maturation), dan konsep Erickson mengenai pencapaian individu pada

integrasi dibandingkan putus asa.

  Bradburn (1969) menjelaskan bahwa kebahagiaan (happiness) merupakan hasil dari kesejahteraan psikologis dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap manusia. Ryff (1989) menyebutkan bahwa kesejahteraan psikologis memiliki enam dimensi, yaitu penerimaan diri, memiliki hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, memiliki tujuan hidup, serta pertumbuhan pribadi. Selain itu, setiap dimensi dari kesejahteraan psikologis menjelaskan tantangan yang berbeda yang harus dihadapi individu untuk berusaha berfungsi positif (Ryff & Keyes, 1995). Berdasarkan uraian di atas, maka pengertian dari kesejahteraan psikologis adalah pencapaian potensi psikologis individu di mana individu mengaktualisasikan potensi dirinya dan dapat berfungsi secara penuh serta dapat menerima diri apa adanya, memiliki tujuan hidup, berhubungan positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, dan terus tumbuh secara personal tanpa adanya perasaan negatif di dalam diri individu.

2. Perspektif Kesejahteraan

  Perspektif mengenai kesejahteraan dibagi menjadi dua macam, yaitu hedonistik dan eudaimonik (Ryan & Deci, 2008). Perspektif yang pertama adalah hedonistik yang menjelaskan kesejahteraan sebagai munculnya perasaan positif dan tidak adanya perasaan negatif (Kahneman, Diener, & Schwarz, 1999). Perspektif yang kedua adalah eudaimonik yang menjelaskan bahwa kesejahteraan tidak terdiri dari memaksimalkan pengalaman positif dan meminimalkan pengalaman negatif (Ryan & Deci, 2001) tetapi merujuk pada hidup sepenuhnya atau memungkinkan seseorang untuk mengaktualisasikan potensi dirinya (Ryan, Huta, & Deci, 2008). Perspektif hedonistik berawal dari filsuf Yunani dan Epicurus yang mengatakan ide dasar dari tujuan hidup adalah untuk mendapatkan pengalaman menyenangkan sebanyak mungkin (berorientasi pada kebahagiaan) (McMahon, 2006). Pendekatan hedonistik pada kesejahteraan diasosiasikan dengan kesejahteraan subjektif (Subjective well-being) (Kahneman, Diener, & Schwarz, 1999). Kesejahteraan subjektif mempunyai dua elemen, yaitu keseimbangan afektif (Affective Balance), yang didapatkan melalui pengurangan frekuensi perasaan negatif daripada perasaan positif, dan persepsi kepuasan hidup (Perceived Life Satisfaction) yang merupakan komponen kognitif yang lebih baik dan lebih stabil (Lucas, Diener, & Suh, 1996). Meskipun keseimbangan afektif dan kepuasan hidup menyiratkan waktu yang berbeda dari kesejahteraan subjektif, seperti kepuasan hidup yang merupakan penilaian keseluruhan dari kehidupan, dan keseimbangan afektif yang membuat acuan mengenai frekuensi perasaan yang menyenangkan dan tidak menyenangkan dari pengalaman langsung (Keyes, Shmotkin, & Ryff, 2002). hal ini dapat dipahami sebagai konsep yang berhubungan dengan perspektif hedonistik (Vazquez, 2009).

  Perspektif eudaimonik pada awalnya diperkenalkan dari filosofi aristoteles mengenai kebahagiaan dalam Nicomachian Ethics (Broadie & Rowe, 2002). Aristoteles mengatakan manusia hidup berdasarkan daimon, yang merupakan ide atau kriteria kesempurnaan bahwa seseorang berharap dan memberikan makna dalam kehidupannya. Semua usaha untuk kehidupan didasari oleh daimon dan dalam memenuhi serta mendapatkan potensi penuh diperkirakan akan menimbulkan keadaan optimal, yang dinamakan

  eudaimonia (Avia & Vazquez, 1998). Eudaimonik menetapkan bahwa

  kesejahteraan terletak pada performa tindakan nyata dengan nilai yang dalam serta menyiratkan komitmen penuh dimana manusia merasa hidup dan nyata (Waterman, 1993). Ryff sebagai tokoh dalam perspektif eudaimonik yang paling penting mengajukan istilah kesejahteraan psikologis untuk membedakan dari konsep kesejahteraan subjektif yang memiliki kekhasan konsep hedonistik. Ryff mencoba untuk mengatasi batasan dan mendefinisikan kesejahteraan sebagai pengembangan potensi nyata manusia (Ryff, 1995). Kebahagian atau kesejahteraan psikologis bukan motivasi utama dari manusia melainkan hasil dari menjalani hidup dengan baik (Ryff & Keyes, 1995; Ryff & Singer, 1998).

  Teori self-determination juga berhubungan dengan ide eudaimonia dan realisasi diri sebagai aspek utama untuk menjelaskan kesejahteraan (Ryan & Deci, 2000). Teori ini berdasarkan salah satu premis dasar humanis, dimana kesejahteraan merupakan konsekuensi utama dari fungsi psikologis yang optimal. Teori self-determination mengatakan bahwa fungsi psikologis yang sehat menyiratkan kepuasan yang memadai tiga kebutuhan dasar psikologis, yaitu otonomi, kompetensi dan keterkaitan, dan sistem tujuan yang sama dan terarah (Ryan & Deci, 2000). Komponen pertama, pemuasan kebutuhan dasar terdiri dari mempertahankan keseimbangan hidup dimana menjamin kepuasan yang memadai di setiap area secara bebas. Komponen kedua, untuk mengembangkan kesejahteraan eudaimonik setiap manusia perlu untuk menetapkan tujuan. Contohnya, tujuan ini seharusnya bersifat intrinsik daripada ekstrinsik, terarah antara satu dengan yang lainnya, terarah berdasarkan nilai dan ketertarikan dirinya serta kebutuhan dasar psikologisnya (Vazquez & Hervas, 2008).

  Kebutuhan dasar psikologis yang diajukan oleh teori self-determination hampir bertepatan dengan dimensi otonomi, penguasaan lingkungan, dan hubungan dengan orang lain dari model kesejahteraan psikologis Ryff meskipun ada perbedaan konseptual antara kedua model ini (Lent, 2003).

  Berdasarkan teori self-determination, pemenuhan kebutuhan dasar psikologis meningkatkan kesejahteraan subjektif dan kesejahteraan psikologis (Ryan & Deci, 2001). Perspektif eudaimonik fokus pada konten dari kehidupan dan proses kehidupan yang baik, dimana perspektif hedonik fokus pada hasil yang spesifik, yaitu mendapatkan perasaan positif serta tidak hadirnya perasaan negatif dan juga perasaan menyeluruh mengenai kepuasan hidup. Dapat dikatakan kedua model ini mempunyai cara yang berbeda untuk mencapai kebahagiaan (Seligman, 2002).

3. Dimensi Kesejahteraan Psikologis

  Ryff (1989) menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis mempunyai enam dimensi, yaitu: a)

  Self acceptance (penerimaan diri), merupakan dimensi yang menekankan pada penerimaan terhadap diri sendiri dan masa lalu. Individu yang memiliki sikap positif terhadap dirinya memperlihatkan fungsi psikologis yang positif. Dimensi ini merupakan ciri-ciri utama kesehatan mental dan juga karakteristik utama dalam aktualisasi diri, berfungsi optimal, dan kematangan. Penerimaan diri yang baik dapat ditandai dengan kemampuan menerima diri apa adanya. Kemampuan tersebut memungkinkan seseorang untuk bersikap positif terhadap diri sendiri dan kehidupan yang dijalaninya. Individu yang memiliki penerimaan diri yang baik ditandai dengan bersipak positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek yang ada dalam dirinya, baik positif maupun negatif, dan memiliki pandangan positif terhadap masa lalu. Demikian sebaliknya, seseorang yang memiliki tingkat penerimaan diri yang kurang baik akan memunculkan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, merasa kecewa dengan pengalaman masa lalu, dan mempunyai pengharapan untuk tidak menjadi dirinya saat ini.

  b) Positive relation with others (berhubungan positif dengan orang lain), merupakan dimensi yang menekankan pada pentingnya kehangatan, hubungan saling percaya, dan bersahabat dengan orang lain. Dimensi ini berulang kali ditekankan sebagai dimensi yang penting dalam konsep kesejahteraan psikologis karena pentingnya menjalin hubungan saling percaya dan hangat dengan orang lain. Dimensi ini juga menekankan pada kemampuan untuk mencintai orang lain. Individu yang memiliki nilai yang tinggi pada dimensi ini ditandai dengan hubungan yang hangat, memuaskan dan saling percaya dengan orang lain. Ia juga mempunyai rasa empati yang kuat. Sebaliknya, individu yang memiliki nilai yang rendah pada dimensi ini mempunyai sedikit hubungan dengan orang lain dan sulit untuk bersikap hangat dan enggan untuk mempunyai ikatan dengan orang lain. c) Autonomy (otonomi), merupakan dimensi yang menekankan pada kemandirian, kemampuan untuk mengatur diri sendiri, melakukan evaluasi dari dalam diri, dan tidak bergantung pada orang lain. Seseorang yang memiliki nilai yang tinggi pada dimensi ini mampu menolak tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara-cara tertentu, serta dapat mengevaluasi diri sendiri dengan standar personal.

  Sebaliknya, individu yang memiliki nilai rendah pada dimensi ini akan memperhatikan harapan dan evaluasi dari orang lain, membuat keputusan berdasarkan penilaian orang lain dan cenderung konformis.

  d) Enviromental mastery (penguasaan lingkungan), merupakan kemampuan individu untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan diri sendiri dan mampu untuk mengembangkan diri sendiri. Seseorang yang memiliki nilai yang tinggi dalam dimensi ini mempunyai kemampuan dalam menghadapi kejadian di luar dirinya. Hal ini yang dimaksud dalam dimensi ini mampu untuk memanipulasi keadaan sehingga sesuai dengan kebutuhan dan nilai pribadi yang dianut dan mampu untuk mengembangkan diri sendiri secara kreatif melalui aktifitas fisik maupun mental. Sebaliknya seseorang yang memiliki nilai rendah dalam dimensi ini akan menampakkan ketidakmampuan untuk mengatur kehidupan sehari-hari dan kurang control terhadap lingkungan di luar dirinya.

  e) Purpose in life (tujuan hidup), merupakan keyakinan bahwa individu memiliki tujuan hidup dan makna dalam hidupnya. Adanya tujuan yang ingin dicapai serta mengetahui arah yang ingin dituju juga merupakan ciri-ciri dari tujuan hidup. Seseorang yang memiliki nilai yang tinggi dalam dimensi ini mempunyai rasa keterarahan dalam hidup, memiliki perasaan bahwa kehidupan saat ini dan masa lalu mempunyai keberartian, memegang kepercayaan yang memberikan tujuan hidup, dan memiliki target yang ingin dicapai dalam hidup. Sebaliknya, seseorang yang memiliki nilai rendah dalam dimensi ini mempunyai perasaan bahwa tidak ada tujuan yang ingin dicapai dalam hidup, tidak melihat adanya manfaat dalam masa lalu kehidupannya, dan tidak mempunyai kepercayaan yang dapat membuat hidup lebih berarti.

  f) Personal growth (pertumbuhan pribadi), merupakan kemampuan untuk mengembangkan potensi diri dan terus berkembang secara positif sehingga menjadi individu yang berfungsi secara penuh. Dimensi ini dibutuhkan oleh seseorang agar dapat berfungsi optimal secara psikologis. Salah satu hal penting dalam dimensi ini adalah adanya kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri, misalnya dengan keterbukaan terhadap pengalaman baru. Seseorang yang memiliki nilai yang tinggi dalam dimensi ini mempunyai perasaan untuk terus berkembang, melihat diri sendiri sebagai sesuatu yang bertumbuh, menyadari potensi yang terdapat dalam dirinya, dan mampu melihat peningkatan dalam diri dan tingkah laku dari waktu ke waktu. Sebaliknya, seseorang yang memiliki nilai yang rendah dalam dimensi ini akan menampilkan ketidakmampuan untuk mengembangkan sikap dan tingkah laku baru dan mempunyai perasaan bahwa ia adalah seorang pribadi yang stagnan dan tidak tertarik dengan kehidupan yang dijalaninya.

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis

  Ip (2008) mengemukakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kesejahteraan karyawan di tempat kerja yaitu : a)

  Karakteristik pekerjaan (Job characteristic) : design dan struktur pekerjaan secara signifikan dapan mempengaruhi kesejahteraan karyawan di tempat kerja. Design pekerjaan yang baik dapat memberikan karyawan tiga keuntungan, yaitu pengalaman yang bermakna pada pekerjaannya, pengalaman bertanggung jawab terhadap hasil pekerjaan, dan pengetahuan terhadap hasil kerja.

  b) Peran pekerjaan (Job roles): peran pekerjaan menentukan batas tanggung jawab yang berhubungan dengan pekerjaan yang diberikan kepada karyawan dalam proses produksi dan sebagai dasar pertanggungjawaban karyawan atas kinerjanya. Peran pekerjaan yang jelas memungkinkan karyawan untuk lebih memahami tanggung jawab mereka dan tugas-tugas yang diminta kepada mereka. Peran yang tidak jelas sering memicu konflik peran, ketegangan kerja, dan ketidakharmonisan sehingga mempengaruhi kinerja dan kesejahteraan karyawan. Pertimbangan yang lebih besar dalam memberikan peran pekerjaan berkorelasi dengan identitas dan sikap kerja yang lebih baik. c) Keadilan organisasi (Organizational Justice): karyawan di dalam organisasi memperhatikan mengenai keadilan. Mereka memperhatikan hasil dari keadilan dan prosedur yang dilakukan oleh organisasi dalam memberikan keadilan. Persepsi karyawan bahwa mereka diperlakukan dengan adil akan mempengaruhi bagaimana mereka bereaksi terhadap perlakuan dan keputusan organisasi. Hasil dari keadilan mengacu pada kewajaran hasil masukan dari pekerjaan mereka dibanding dengan hasil pekerjaan karyawan lain. Dengan demikian, hasil dari keadilan merupakan semacam keadilan distributif. Prosedur dalam memberikan keadilan fokus pada keadilan dalam proses pengambilan keputusan atau prosedur manajerial lainnya. Hasil dan prosedur dalam memberikan keadilan yang positif mempengaruhi perilaku dan kinerja karyawan.

  Persepsi mengenai hasil dari ketidakadilan akan menurunkan kepuasan terhadap gaji dan akan merugikan kepuasan kerja karyawan.

  d) Kesesuaian karyawan dengan pekerjaannya (Person-organization fit): tingkat kesesuaian antara karakter karyawan dan karakter dari organisasi.

  Ciri-ciri kepribadian, sikap, keyakinan, nilai-nilai, preferensi, dan kepentingan karyawan berada di satu sisi serta tujuan, norma, budaya dan tradisi, iklim organisasi berada di sisi lainnya. Ketika karakter kedua belah pihak sesuai, maka kesesuaian akan terjadi. Kesesuaian akan menghasilkan hubungan kerja yang lebih harmonis dan perilaku yang menghasilkan hasil yang positif. Kesesuaian nilai dan tujuan mewakili dua hal yang penting untuk mencapai keberhasilan organisasi dan kesejahteraan karyawan. Kesesuaian nilai antara karyawan dan organisasi merupakan hal penting karena nilai-nilai organisasi berada pada inti dari budaya organisasi yang mempengaruhi nilai karyawan.

  e) Konflik pekerjaan – keluarga (Work – family conflict): tempat kerja yang memiliki tingkat stres yang tinggi merupakan salah satu sumber penting dari stres yang terjadi dari ketegangan yang tercipta antara tuntutan pekerjaan dan anggota keluarga. Konflik pekerjaan

  • – keluarga mengacu pada konflik antara tanggung jawab peran di tempat kerja dan anggota keluarga. Akibat dari konflik ini, tingkat kepuasan kerja dan kehidupan karyawan menurun. Konflik ini juga bertanggung jawab terhadap perilaku absen, keterlambatan, dan turnover.

  f) Perilaku kewargaan organisasi (Organization citizenship behavior) : perilaku karyawan yang memberikan keuntungan di dalam organisasi yang berkontribusi terhadap keberhasilan organisasi dengan menciptakan hubungan saling mendukung dan kooperatif, kepercayaan, dan keterlibatan aktif di tempat kerja. Perilaku ini mencakup perilaku saling membantu, pengambilan peran lebih di antara karyawan.

B. Persepsi Dukungan Organisasi

1. Definisi Persepsi Dukungan Organisasi

  Persepsi dukungan organisasi didasari oleh alasan bahwa karyawan mengembangkan keyakinan mengenai seberapa besar penghargaan dan kepedulian organisasi terhadap kesejahteraan karyawannya (Eisenberger, Huntington, Hutchison, & Sowa, 1986). Menurut Rhoades dan Eisenberger (2002) persepsi dukungan organisasi mengacu pada persepsi karyawan mengenai sejauh mana organisasi menilai kontribusi mereka dan peduli pada kesejahteraan mereka. Jika karyawan menganggap bahwa dukungan organisasi yang diterimanya tinggi, maka karyawan tersebut akan menyatukan keanggotaan sebagai anggota organisasi ke dalam identitas diri mereka dan kemudian mengembangkan hubungan dan persepsi yang lebih positif terhadap organisasi tersebut.

  Selanjutnya, Erdogan dan Enders (2007) mengatakan persepsi dukungan organisasi merujuk pada keyakinan karyawan mengenai kepedulian organisasi terhadap karyawan, menghargai usaha yang dilakukan karyawan, dan menyediakan pertolongan serta dukungan kepada karyawan. Persepsi dukungan organisasi dipengaruhi oleh perlakuan organisasi kepada karyawan dan hal ini dapat mempengaruhi interpretasi mereka mengenai motivasi organisasi (Tansky & Cohen, 2001).

  Persepsi dukungan organisasi akan mempengaruhi ekspektasi karyawan terhadap organisasi pada berbagai situasi, seperti ketelitian dalam melaksanakan tanggung jawab pekerjaan, mengekspresikan perasaan, komitmen terhadap organisasi (Eisenberger, Huntington, Hutchison, Sowa, 1986). Rhoades dan Eisenberger (2002) menemukan bahwa persepsi dukungan organisasi mempunyai hubungan negatif dengan keamanan kerja, ambiguitas peran, suasana ditempat kerja, dan tekanan psikologis secara umum.

  Berdasarkan uraian di atas, maka pengertian dari persepsi dukungan organisasi adalah persepsi karyawan mengenai seberapa besar penghargaan, kepedulian, dan perlakuan organisasi terhadap kesejahteraan karyawannya yang akan mempengaruhi interpretasi karyawan terhadap organisasi.

2. Aspek - Aspek Persepsi Dukungan Organisasi

  Menurut Rhoades dan Eisenberger (2002), ada tiga aspek persepsi dukungan organisasi, yaitu : a)

  Penghargaan organisasi dan kondisi pekerjaan (Organizational reward

  

and working condition ): penghargaan dan kondisi pekerjaan yang

  menyenangkan memiliki hubungan yang positif dengan persepsi dukungan organisasi, seperti mengizinkan karyawan untuk mengembangkan kemampuannya, otonomi mengenai bagaimana pekerjaan dilakukan, dan pengakuan dari atasan. Bentuk penghargaan organisasi yang diterima oleh karyawan dari organisasi dapat berupa gaji, tunjangan, bonus, promosi, pelatihan/pengembangan diri. Salah satu bentuk dukungan organisasi terhadap karyawannya adalah kondisi kerja yang nyaman dan aman bagi karyawan.

  b) Dukungan yang diterima dari atasan (support received from supervisor): merupakan keyakinan karyawan bahwa atasan peduli terhadap karyawannya dan menghargai kontribusi mereka. Atasan sebagai wakil organisasi bertanggung jawab dan secara berkelanjutan mengevaluasi kinerja karyawan serta mengkomunikasikan tujuan dari organisasi kepada karyawan, sehingga menyebabkan karyawan melihat perlakuan dari atasan mereka sebagai bentuk dukungan organisasi.

  c) Keadilan prosedural (procedural justice): melibatkan kebijakan organisasi formal yang adil dan prosedur dalam mendistribusikan sumber daya yang ada dalam organisasi. Terjadinya keadilan dalam membuat keputusan mengenai distribusi sumber daya akan memiliki pengaruh yang kuat terhadap dukungan organisasi yang dirasakan karyawan yang diperlihatkan dengan adanya perhatian pada kesejahteraan karyawan.

  Terdapat dua aspek keadilan prosedural, yaitu Keadilan struktural dan prosedural yang menyangkut cara yang digunakan untuk menentukan pendistribusian sumber daya manusia diantara karyawan, keadilan yang berkaitan dengan aturan-aturan formal dan kebijakan bagi karyawan, serta keadilan dalam penerimaan informasi yang akurat. Kemudian, Keadilan sosial yang dapat disebut juga keadilan interaksional, karena hal ini berkaitan dengan cara organisasi memperlakukan karyawan dengan hormat dan bermartabat.

3. Manfaat Dukungan Organisasi

  Menurut Eisenberger dan Rhoades (2002), berdasarkan norma timbal balik, dukungan organisasi memiliki beberapa manfaat, yaitu: a)

  Dukungan organisasi akan menghasilkan kewajiban untuk peduli terhadap kesejahteraan organisasi pada karyawan dan membuat karyawan bekerja lebih keras untuk membantu organisasi dalam mencapai tujuannya. b) Kepedulian, persetujuan, dan penghormatan yang dinyatakan sebagai dukungan organisasi akan memenuhi kebutuhan sosioemosional karyawan dan menyebabkan karyawan menggabungkan keanggotaannya ke dalam organisasi serta menjadikan status peran mereka di dalam organisasi menjadi identitas sosial mereka.

  c) Dukungan organisasi akan memperkuat keyakinan bahwa pengakuan organisasi dan penghargaan dari organisasi terhadap usaha dan loyalitas karyawan akan meningkatkan performa (contohnya, performa akan menghasilkan ekspektasi terhadap penghargaan).

C. Perawat

  Sebagai pekerja, perawat merupakan bagian dari pelayanan kesehatan di rumah sakit atau klinik karena jumlah waktu dan intensitas memberikan pelayanan kesehatan lebih banyak dibandingkan dengan profesi medis lainnya. Menurut Elis & Hartley (1980) perawat adalah orang yang mengasuh, merawat dan melindungi, yang merawat orang sakit, luka dan lanjut usia. Sebagian besar perawat adalah pegawai rumah sakit, perawat merupakan tenaga kesehatan yang dominan di rumah sakit baik dari segi jumlah maupun keberedaannya dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien, perawat mempunyai hubungan langsung dengan pasien (Praptiningsih, 2006).

  Kalangan Profesi keperawatan telah menetapkan lingkup tugas keperawatan yaitu dengan adanya standar asuhan keperawatan. Standar asuhan keperawatan ini mencakup pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan dan pelaksanaan tindakan keperawatan serta evaluasi keperawatan. Sedangkan yang menyangkut tindakan keperawatan meliputi intervensi keperawatan, observasi serta konseling kesehatan. Hal inilah yang menjadi kewenangan profesional yang melekat dalam diri perawat (Yahmono, 2000).

D. Dinamika Persepsi Dukungan Organisasi Dan Kesejahteraan Psikologis

  Ryff (1995) mengatakan kesejahteraan psikologis merupakan pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan hubungan positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, dan terus tumbuh secara personal.

  Selanjutnya, Sirgy, Reilly, Wu, dan Efraty (2008) menjelaskan bahwa lingkungan kerja menjadi tempat pertemuan sosial untuk berbincang, bertukar pikiran, bertemu dan bertukar pengalaman dengan rekan-rekan kerja. Hal ini tentu saja menjelaskan bahwa karyawan tidak lepas dari keadaan sosial atau hubungan interpersonal yang dapat mempengaruhi performanya dalam bekerja. Lingkungan kerja yang sehat akan memunculkan perasan positif pada karyawan sehingga karyawan akan lebih bahagia dan produktif (Harter, Schmidt, & Keyes, 2002).

  Hasil penelitian Ryff & Keyes (1995) memperlihatkan pengalaman kerja yang positif mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu. Rhoades dan Eisenberger (2002) juga menjelaskan penghargaan organisasi dan kondisi pekerjaan merupakan aspek yang mempengaruhi pengalaman kerja. Keyakinan karyawan mengenai penghargaan dan kepedulian organisasi terhadap kesejahteraan karyawannya mempengaruhi persepsi dukungan organisasi (Eisenberger, Huntington, Hutchison, & Sowa, 1986).

  Perilaku mendukung dari organisasi menyebabkan karyawan menyimpulkan bahwa organisasi bangga dengan prestasi mereka dan percaya kepada mereka untuk melakukan tugasnya dengan baik sehingga meningkatkan perasaan kompetensi dan bernilai pada karyawan (Eisenberger, Armeli, Rexwinkel, Lynch, & Rhoades, 2001). Pengalaman kerja yang memberikan makna terhadap kehidupan individu berkontribusi terhadap kesejahteraan karyawan dengan memenuhi berbagai kebutuhan mereka (McGregor & Little, 1998). Persepsi terhadap dukungan mendorong emosi positif karyawan dan berhubungan dengan kesejahteraan psikologis mereka (Ryff & Singer, 1998).

  Karyawan yang merasa didukung oleh organisasi berhubungan positif dengan kepuasan hidup yang lebih besar (Richardsen, Burke, & Mikkelsen, 1999).

  Keyes, Hysom, dan Lupo (2000) mengatakan bahwa kesejahteraan psikologis karyawan dapat ditingkatkan dengan atasan yang efektif. Atasan yang bertindak efektif akan menghasilkan kepercayaan dan emosi positif pada karyawannya, dengan memberikan otonomi yang besar dalam melakukan pekerjaannya serta memberikan kesempatan kepada karyawan untuk mengembangkan kualitas (Keyes, Hysom, & Lupo, 2000). Perilaku atasan yang mendukung meningkatkan kesejahteraan karyawan dan membantu melindungi karyawan dari ketegangan, depresi, kelelahan emosional, dan gangguan kesehatan (Greller, Parsons, & Mitchell, 1992). Dukungan atasan dan kebijakan yang berhubungan dengan keseimbangan antara keluarga dan pekerjaan meningkatkan kontrol kerja dan personal yang dirasakan karyawan serta mengurangi depresi (Thomas & Ganster, 1995). Dukungan dari atasan berhubungan positif dengan kesejahteraan psikologis melalui makna pekerjaan, peran yang jelas, serta kesempatan untuk mengembangkan diri (Nielsen, Randall, Yarker, & Brenner, 2008).

  Teori self-determination telah memperlihatkan bahwa otonomi meningkatkan peran penting lingkungan dalam memberikan kontribusi bagi kesejahteraan psikologis, harga diri, kepuasan hidup, dan inisiatif karyawan (O’Connor & Vallerand, 1994). Sejauh mana karyawan merasa bahwa mereka memiliki otonomi dan kontrol dalam melakukan pekerjaannya secara signifikan berhubungan dengan kepuasan kerja, prestasi pribadi, kinerja, ketegangan yang berhubungan dengan pekerjaan, dan intensi turnover (Greenberger, Strasser, Cummings, & Dunham, 1989a). Bond, Flaxman, & Bunce (2008) menemukan bahwa otonomi kerja efektif dalam meningkatkan kesejahteraan karyawan terutama bagi karyawan yang memiliki fleksibilitas psikologis.

  Sumber daya pekerjaan seperti otonomi, pemanfaatan keterampilan, pengembangan professional, dan dukungan sosial terbukti berhubungan dengan kesejahteraan individu, seperti keterlibatan kerja, kepuasan kerja, dan kesehatan (Halbesleben, 2010). Jika karyawan merasa bahwa mereka sedang diperlakukan dengan adil, mereka lebih cenderung untuk mengembangkan perilaku dan sikap positif terhadap pekerjaan mereka. misalnya, keadilan distributif merupakan faktor pendukung kepuasan kerja atau kesejahteraan di tempat kerja (McFarlin & Rice, 1992). Dukungan emosi memiliki pengaruh paling kuat terhadap kesejahteraan psikologis dan emosi individu (Bolger, Zuckerman, & Kessler,

  2000). Persepsi dukungan organisasi efektif untuk memenuhi kebutuhan emosional akan persetujuan, penghargaan, dan rasa keterikatan, serta memiliki dampak positif terhadap kesejahteraan karyawan dan juga mengurangi kemungkinan karyawan untuk meninggalkan organisasi (Eisenberger, Huntington, Hutchison, & Sowa, 1986).

E. Hipotesis Penelitian

  Berdasarkan uraian di atas, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara persepsi dukungan organisasi dengan kesejahteraan psikologis dikalangan perawat.