BAB II TINJAUAN PUSTAKA Universitas Sumatera Utara - Hubungan Antara Obat Anti Epilepsi Dengan Kognitif Dan Behavior Pada Pasien Epilepsi

  Dengan mengetahui hubungan antara obat anti epilepsi dengan kognitif dan behavior bisa menjadi dasar pertimbangan dalam pemilihan jenis obat anti epilepsi demi tercapai kualitas hidup penderita yang lebih baik.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1. FUNGSI KOGNITIF

  Kognitif berasal dari bahasa latin ”cognoscere” yang artinya

together (co) dan know (nos). Kognitif termasuk sebagai sifat sensasi,

berpikir, persepsi, arousal dan kesadaran.(Whitehouse, 2006) Fungsi Kognitif adalah merupakan aktivitas mental secara sadar

seperti berpikir, mengingat, belajar, dan menggunakan bahasa. Fungsi

kognitif juga merupakan kemampuan atensi, memori, pertimbangan,

pemecahan masalah, serta kemampuan eksekutif seperti merencanakan,

menilai, mengawasi, dan melakukan evaluasi.(Strub dkk, 2000; Rizzo dkk, 2004).

  Fungsi kognitif terdiri dari :

1. Atensi

  Atensi merupakan kemampuan untuk bereaksi atau memperhatikan satu stimulus tertentu (spesifik) dengan mampu mengabaikan stimulus lain baik internal atau eksternal yang tidak dibutuhkan. Setelah menentukan kesadaran, pemeriksaan atensi harus dilakukan saat awal pemeriksaan neurobehavior karena pemeriksaan modalitas kognitif lainnya sangat dipengaruhi oleh atensi yang cukup terjaga. (Rizzo dkk, 2004)

  Atensi dan konsentrasi sangat penting dalam mempertahankan fungsi kognitif, terutama dalam proses belajar. Gangguan atensi dan konsentrasi akan mempengaruhi fungsi kognitif lain seperti memori, bahasa dan fungsi eksekutif. Gangguan atensi dapat berupa dua kondisi klinik berbeda. Pertama ketidakmampuan mempertahankan atensi maupun atensi yang terpecah atau tidak atensi sama sekali, dan kedua inatensi spesifik unilateral terhadap stimulus pada sisi tubuh kontralateral lesi otak.(Rizzo dkk, 2004)

  2. Bahasa Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi dan modalitas dasar yang membangun kemampuan fungsi kognitif. Oleh karena itu pemeriksaan bahasa harus dilakukan pada awal pemeriksaan neurobehavior. Jika terdapat gangguan bahasa, pemeriksaan kognitif seperti memori verbal, fungsi eksekutif akan mengalami kesulitan atau tidak mungkin dilakukan.(Rizzo dkk, 2004)

  Gangguan bahasa (afasia) sering terlihat pada lesi otak fokal maupun difus, sehingga merupakan gejala patognomonik disfungsi otak. Penting bagi klinikus untuk mengenal gangguan bahasa karena hubungan yang spesifik antara sindroma afasia dengan lesi neuroanatomi. Kemampuan berkomunikasi menggunakan bahasa penting, sehingga setiap gangguan berbahasa akan menyebabkan hendaya fungsional.(Rizzo dkk, 2004)

  3. Memori Memori adalah proses bertingkat dimana informasi pertama kali harus dicatat dalam area korteks sensorik kemudian diproses melalui sistem limbik untuk terjadinya pembelajaran baru. Secara klinik memori dibagi menjadi tiga tipe dasar : immediate, recent, dan remote memory berdasarkan rentang waktu antara stimulus dan recall (Rizzo dkk, 2004)

a. Immediate memory merupakan kemampuan untuk merecall stimulus dalam interval waktu beberapa detik.

  b. Recent memory merupakan kemampuan untuk mengingat kejadian sehari-hari

  (misalnya tanggal, nama dokter, apa yang dimakan saat sarapan, atau kejadian- kejadian baru) dan mempelajari materi baru serta mencari materi dalam rentang waktu menit, jam, hari, bulan, tahun.

  

c. Remote memory merupakan rekoleksi kejadian yang terjadi bertahun tahun

yang lalu (misalnya tanggal lahir, sejarah, nama teman).

  Gangguan memori merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan pasien. Amnesia secara umum merupakan efek fungsi memori. Ketidak mampuan untuk mempelajari materi baru setelah brain insult disebut amnesia anterograd. Amnesia anterograd merujuk pada amnesia kejadian yang terjadi sebelum brain insult. Hampir semua pasien demensia menunjukkan masalah memori pada awal perjalanan penyakitnya. Tidak semua gangguan memori merupakan gangguan organik. Pasien depresi dan ansietas sering mengalami kesulitan memori. Amnesia psikogenik jika amnesia hanya pada satu periode tertentu, dan pada pemeriksaan tidak dijumpai defek pada recent memory.(Rizzo dkk, 2004)

4. Visuospasial

  Kemampuan visuospasial dapat dievaluasi melalui kemampuan kontruksional seperti menggambar atau meniru berbagai macam gambar (misal : lingkaran, kubus) dan menyusun balok-balok. Semua lobus berperan dalam kemampuan konstruksi ini tetapi lobus parietal terutama hemisfer kanan mempunyai peran yang paling dominan. Menggambar jam sering digunakan untuk skrining kemampuan visuospasial dan fungsi eksekutif dimana berkaitan dengan gangguan di lobus frontal dan parietal.(Rizzo dkk, 2004)

  5. Fungsi Eksekutif Fungsi eksekutif adalah kemampuan kognitif tinggi seperti cara berpikir dan kemampuan pemecahan masalah. Kemampuan eksekusi diperankan oleh lobus frontal, tetapi pengalaman klinis menunjukkan bahwa semua sirkuit yang terkait dengan lobus frontal juga menyebabkan sindroma lobus frontal.

  Diperlukan atensi, bahasa, memori dan visuospasial sebagai dasar untuk menyusun kemampuan kognitif. (Kolegium Neurologi Indonesia, 2008a ) Pemburukkan kognitif ada yang bersifat normal yang banyak ditemukan pada warga usia lanjut secara fisiologis karena faktor penuaan dan dianggap tidak ada hubungannya dengan Alzheimer, yang disebut forgetfulness. (Sjahrir,1999) Dan kondisi ini disebut juga Age-associated memory impairment, dimana salah satu kriteria diagnostik inti adalah usia paling sedikit 50 tahun.

  (Crook, 2006) Berbagai penelitian menemukan angka kejadian forgetfulness 39% pada usia 50-59 tahun. (Sjahrir, 1999) sedangkan menurut Thomas Crook angka kejadian Age-associated memory impairment adalah 46%.(Crook, 2006)

II.1.1. Assesmen kognitif

  Beberapa instrumen skiring tersedia untuk membantu klinisi dalam penilaian status mental, yaitu:

  1. Mini-mental state examination

  Pemeriksaan dikembangkan pada pertengahan 1970-an oleh Folstein.

  

Mini-mental state examination telah digunakan secara luas untuk literatur klinik

  atau epidemiologi sehingga MMSE merupakan instrumen skrining kognitif yang paling luas digunakan. Dimana lama tes ini hanya membutuhkan waktu sekitar 5 menit dan menilai enam domain yaitu: orientasi, bahasa, atensi/konsentrasi,

  

working memory, memori jangka pendek dan constructional copy.(Rizzo dkk,

  2004) Sensitifitas MMSE untuk mendeteksi pemburukkan kognitif meningkat ketika skor cut-off (26-28) digunakan atau ketika dilakukan adjustment terhadap umur dan pendidikan. Walaupun skor cut-off untuk dementia secara umum adalah dibawah 24, skor median bervariasi tergantung umur dan lama pendidikan.(Fink, 2004)

  Tabel 1. Skor median MMSE adjustment terhadap usia dan lama pendidikan.

  Usia (tahun) Lama pendidikan 18 - 69 70 – 79 > 79

  Tingkat keempat 22 - 25 21 – 22 19 - 20 Tingkat kedelapan 26 - 27 25 23 - 25 Sekolah tingkat atas 28 - 29 27 25 - 26 Perguruan tinggi 28 - 29

  28

  27 Dikutip dari: Fink, Vivian. 2004. “Mild Cognitive Impairment : Pre-Alzheimers disease state provides opportunity for early detection and possible treatment”.

  The Institute For medical Education Bulletin V(6):1-11

  Sebuah studi yang dilakukan pada 473 orang sehat yang berumur lebih dari 15 tahun dengan latar belakang pekerjaan dan pendidikan yang beragam di Medan didapatkan skor median MMSE berdasarkan usia dan lama pendidikan sebagai berikut:(Sjahrir dkk, 2001)

  Tabel 2. Skor median MMSE

  Median Lama pendidikan: 0 - 6 tahun

  24 7 - 9 tahun 26 10 - 12 tahun

  26 > 12 tahun

  28 Usia: < 20 tahun

  27 21 - 30 tahun 28 31 - 40 tahun 28 41 - 50 tahun 26 51 - 60 tahun

  27 > 60 tahun

  21 Dikutip dari: Sjahrir, H., Ritarwan, K., Tarigan, S., Rambe, A.S., Lubis, I.D., Bhakti, I. 2001. “The Mini Mental State Examination in healthy individuals in Medan, Indonesia by age and education level”. Neurol J Southeast Asia;6:19-22

  2. Digit span atau Digit repetition Level dasar atensi pasien dapat dengan mudah ditentukan dengan menggunakan tes ini. Penampilan prima pada tes ini menjamin bahwa pasien mampu memusatkan perhatian terhadap stimulus verbal dan atensi terus- menerus untuk periode waktu yang dibutuhkan untuk mengulang deretan angka tersebut. Tes ini tidak dapat dilakukan pada pasien yang mengalami gangguan bahasa. Penilaian digit span berdasarkan berapa banyak angka yang dapat diulang dengan urutan yang benar. Pasien dengan intelegensia rata-rata dapat mengulang angka dengan akurat lima hingga tujuh angka tanpa kesulitan. Pasien non-retardasi mental tidak dapat mengulang lebih atau sama dengan lima mengindikasikan atensi kurang baik.(Strub dkk, 2000)

II.2. BEHAVIOR

  Otak manusia merupakan suatu organ yang merupakan dasar apakah pikiran seseorang sehat, yang harus dikerjakan, merasakan, dan berpikir atau pada istilah yang lebih formal adalah pengalaman sensori kita, behavioral,

  

affective dan kognitif. Dengan memproses stimulus eksternal kedalam impuls

  neuronal, sistem sensori menciptakan suatu representation internal dunia eksternal. Sistem motorik memampukan seseorang untuk mengerakkan (manipulate) lingkungan mereka dan untuk mempengaruhi behavior yang lain melalui komunikasi. Pada otak, input sensori, representing dunia eksternal diintegrasikan dengan drivers stimulus internal, memori dan emosional di

  

association units, dimana akan memberi umpan balik pada aktifitas motorik. Bila

  terjadi distorsi yang diintrodusir oleh psikopatologi pada fungsi asosiasi otak maka akan terjadi gangguan psikiatri.(Sadock dkk, 2007)

  Behavior adalah respon total jiwa termasuk gerak hati, motivasi, hasrat,

drives, insting dan idaman seperti diekspresikan dengan tingkah laku seseorang

  dan aktivitas motorik (konasi), sedangkan emosi adalah suatu kompleks keadaan perasaan dengan komponen psikis, somatik dan perilaku yang berhubungan dengan afek dan mood.(Sadock dkk, 2007)

  Kehidupan mental diekspesikannya secara kelihatan sebagai tingkah laku verbal dan gestural dan perubahan somatik dimana secara kolektif dihubungkan sebagai behavior. Tingkah laku gestural pada konteks ini mencakup behavior

  

non-verbal dan motorik. Behavior merupakan manisfestasi pikiran orang lain

  maka ia jelas dapat diamati dan dinilai. Kognitif, emosi dan motivasi merupakan dasar kehidupan mental normal. Kognitif mengacu pada proses informasi, yang mana pengetahuan diperoleh, disimpan, dimanipulasi, didapat kembali dan digunakan oleh individu sebagai instrumen dan adaptasi dalam lingkungan yang kompleks. Mind dan behavior merupakan produk interaksi kompleks yang melibatkan sistem proyeksi neural regional dan yang luas.(Rizzo dkk, 2004)

  Mood adalah suatu emosi yang meresap dan dipertahanan, yang dialami secara subjektif dan dilaporkan oleh pasien dan terlihat oleh orang lain, seperti depresi dan iritabel. Mood yang irritabel adalah dengan mudah diganggu atau dibuat marah sedangkan depresi adalah perasaan kesedihan yang psikopatologis.(Sadock dkk, 2007) Gejala emosi yang lain adalah ansietas yaitu perasaan ketakutan yang disebabkan oleh dugaan bahaya / anticipation of danger, yang mungkin berasal dari dalam atau luar.(Sadock dkk, 2007) II.2.1.

  The Beck Scales

  Dua buah inventori self-report ditulis oleh Aaron Beck memperoleh popularitas diseluruh dunia sebagai alat ukur yang informatif dan cocok aspek mood dan emosi. The beck Depression Inventory (BDI, 1987) memberikan suatu metode mudah dan cepat untuk mengukur beragam gejala dan keluhan depresi termasuk kognitif, behavioral dan masalah somatik. Beck Depression Inventory sangat berguna dalam menetapkan kehadiran dan keparahan keluhan depresi walaupun tidak memberikan informasi mengenai durasinya. The Beck Anxiety

  

Inventory (BAI) merupakan paralel dalam bentuk terhadap BDI, dan berfokus

  khusus pada keluhan yang berhubungan dengan ansietas. Sama seperti BDI, BAI mudah dan cepat untuk dilakukan dan memberikan informasi yang berguna tentang pasien dan partisipan penelitian mengenai status terkini ansietas dan kerentanan umum terhadap ansietas.(Rizzo dkk, 2004)

  The beck Depression Inventory adalah kuisioner self-rated, dimana

  kemungkinan tidak dapat dijawab oleh pasien dengan masalah pemahaman sedang hingga berat. Beberapa soal dalam skala, seperti penampilan diri sendiri, kemampuan bekerja dan kekuatiran tentang kesehatan mungkin secara jelas dipengaruhi oleh keluhan kelainan neurologi.(Rizzo dkk, 2004)

  II.3. EPILEPSI

  II.3.1. Definisi

  Epilepsi merupakan suatu kumpulan penyakit kompleks otak dimana melibatkan rentang lebar manifestasi klinis dan banyak variasi penyebabnya.

  

International League Againts Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for

Epilepsy (IBE) menetapkan definisi epilepsi sebagai suatu kejadian sementara

  gejala dan/atau keluhan yang berhubungan dengan aktifitas neuron berlebihan atau synchronous yang abnormal di otak. Walaupun terdapat perselisihan kecil dengan definisi ini, terdapat catatan berharga bahwa bangkitan epilepsi tidaklah sesederhana hasil langsung dari eksitasi yang meningkat.(Panayiotopoulos, 2010)

  Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan epilepsi berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi. Sedangkan bangkitan epilepsi adalah manisfestasi klinik yang disebabkan oleh aktivitas listrik otak yang abnormal dan berlebihan dari sekelompok neuron. Manisfestasi klinik ini terjadi secara tiba-tiba dan sementara berupa perubahan perilaku yang stereotipik, dapat menimbulkan gangguan kesadaran, gangguan motorik, sensorik, otonom ataupun psikik. Sindrom epilepsi merupakan kumpulan gejala dan tanda klinik yang unik untuk suatu epilepsi. Dikenal juga istilah penyakit epilepsi yang merupakan suatu keadaan patologik dengan satu etiologi yang spesifik.(Kelompok studi epilepsI, 2011).

II.3.2. Epidemiologi

  Pada tahun 2004, WHO memperkirakan bahwa hampir 80% dari beban epilepsi di seluruh dunia ditanggung oleh sumber daya di negara miskin. Di negara maju, angka prevalensi seumur hidup untuk epilepsi berkisar 3,5-10,7 per 1.000 orang/tahun, dan rentang angka insiden 24-53 per 100.000 orang/tahun.

  Pada systemic review terkini, angka prevalensi seumur hidup untuk epilepsi aktif bervariasi 1,5 -14 per 1.000 orang/tahun di Asia, 5,1-57,0 per 1.000 orang/tahun di Amerika Latin, dan 5,2-74,4 per 1.000 orang/tahun di Afrika. Angka median prevalensi seumur hidup di Asia (6 per 1.000 orang/tahun) lebih rendah daripada di Afrika dan Amerika Latin (masing-masing 15 dan 18 per 1.000 orang/tahun). Angka insiden tahunan untuk epilepsi di Asia (29-60 per 100.000 orang/tahun) tidak berbeda secara signifikan dengan negara maju.(Meyer dkk, 2010)

  Berapa banyak pasien epilepsi di Indonesia, sampai sekarang belum tersedia data hasil studi berbasis populasi. Bila dibandingkan dengan negara berkembang lain dengan tingkat ekonomi sejajar, probabilitas penyandang epilepsi di Indonesia sekitar 0,7-1,0% dan bila jumlah penduduk sekitar 220 juta maka 1,5-2 juta orang kemungkinan mengidap epilepsi dengan kasus baru 250.000 pertahun.(Hawari, 2012)

  Hasil survei population-based ditemukan bahwa dua per tiga kasus diklasifikasikan sebagai idiopatik atau kriptogenik. Satu dari tiga orang dengan bangkitan tunggal unprovoked akan mengalami bangkitan kedua diatas lima tahun berikutnya. Tanpa terapi, setelah bangkitan kedua, sekitar 75% akan mengalami bangkitan yang lain dalam satu atau dua tahun berikutnya. Epilepsi simtomatik mempunyai rasio mortalitas lebih tinggi dibanding epilepsi idiopatik.(Nadir dkk, 2005)

  Bangkitan secara dependen umur, pola bimodal dengan puncak awal pada insiden selama tahun pertama kehidupan dan kemudian terus menerus meningkat pada insiden sekitar umur 60 tahun dimana jauh melebihi insiden pada semua golongan umur yang lain.(Hiba, 2010)

II.3.3. Klasifikasi

  Klasifikasi yang dipakai adalah klasifikasi menurut ILAE, dimana terdiri dari dua macam klasifikasi, yaitu jenis bangkitan epilepsi dan sindrom epilepsi.(Kelompok studi epilepsi, 2011)

  Tabel 3. Klasifikasi Epilepsi Dikutip dari: Habibi, Mitra. 2009. Refractory Epilepsy. US Pharm. 34:8-14

II.3.4. Hubungan antara Epilepsi dengan Kognitif dan

  behavior

  Pemburukkan kognitif dan behavior telah diobservasi sebagai konsekuensi adanya bangkitan. Adanya pemburukkan kognitif dan gangguan

  

behavior sering berhubungan dengan kerusakkan struktur otak. Penting secara

  khusus pada epilepsi simtomatik dimana terdapat penyebab yang mendasari kerusakkan otak tersebut seperti trauma kepala, stroke atau alcoholism-related

  

epilepsy. Kerusakkan otak juga dapat disebabkan oleh bangkitan kejang yang

  tidak terkontrol. (Aldenkamp dkk, 2005) Lokalisasi fokus epilepsi juga merupakan faktor penting adanya penurunan kognitif atau gangguan behavior, misalnya, epilepsi lobus temporalis sering berhubungan dengan defek memori dan epilepsi lobus frontalis dengan defisit fungsi eksekutif sedangkan masalah bahasa lebih sering terlihat pada epilepsi fokal dimana berlokasi pada hemisfer dominan. Berbeda dengan epilepsi umum idiopatik lebih jarang berhubungan dengan pemburukkan intelektual.(Aldenkamp dkk, 2005)

  Umur saat onset juga tampaknya menjadi faktor yang krusial pada dampak epileps terhadap kognitif dan behavior , dimana onset bangkitan sebelum berumur 5 tahun tampaknya menjadi faktor resiko untuk IQ rendah sementara berbeda dengan keluhan behavior yang muncul pada late seizure

  onset.(Aldenkamp dkk, 2005)

  Depresi interiktal merupakan keadaan yang biasa, namum prevalensi yang pasti belum diketahui. Tampaknya depresi cenderung timbul sekitar sepuluh tahun setelah onset epilepsi. Beragam faktor penyebab telah diajukan terhadap perkembangan depresi tetapi etiologinya kebanyakkan adalah multifaktorial. Riwayat keluarga depresi telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Beberapa studi menemukan depresi lebih sering pada penderita bangkitan parsial kompleks khususnya epilepsi lobus temporal.(Rizzo dkk, 2004)

  II.4. OBAT ANTI EPILEPSI (OAE)

  II.4.1. Sejarah Obat Anti Epilepsi

  Sebelum obat anti epilepsi ditemukan dan dikembangkan, pengobatan epilepsi dengan pemberian obat herbal dan ekstrak hewan. Pada tahun 1857, Sir Charles Locock melaporkan kesuskesan penggunaan potassium bromide pada pengobatan epilepsi. Pada tahun 1912, phenobarbital pertama kali digunakan untuk terapi epilepsi, dan 25 tahun berikutnya, 35 analog phenobarbital dipelajari sebagai antikejang. Pada tahun 1938, phenitoin ditemukan efektif melawan bangkitan pada kucing.(Porter dkk, 2001)

  Antara 1935 dan 1960, langkah hebat diciptakan pada pengembangan model eksperimental dan metode untuk skrining dan tes obat ati epilepsi baru.

  Selama periode tersebut, 13 obat anti epilepsi dikembangkan dan dipasarkan. Menyusul pengumunan kewajiban untuk membuktikan drug efficacy pada tahun 1962, pengembangan obat anti kejang menurun dramatis, dan hanya sedikit obat baru yang ditemukan dan dipasarkan dalam 3 dekade berikutnya. Namun, serentetan komposisi obat baru bermunculan pada era tahun 1990-an.(Porter dkk, 2001)

  Obat anti epilepsi sering dikelompokkan menjadi agen lama (berkembang sebelum tahun 1990-an) dan agen terbaru (dikenalkan selama tahun 1990-an atau kemudian). Dimana OAE agen lama/klasik adalah phenitoin (PHT), carbamazepine (CBZ), sodium valproat (VPA), phenobarbital (PB) dan benzodiazepine sementara agen terbaru adalah felbamate (FBM), gabapentin (GBP), lamotrigine (LTG), oxcarbazepine (OXC), topiramate (TPM), tiagabine (TGB), vigabatrin (VGB), zonisamide (ZNS), pregabalin (PGB) dan levetiracetam (LEV).(Sung-Pa dkk, 2008)

II.4.2. Farmakologi Dasar Obat Anti Epilepsi

  Hingga tahun 1990, 16 anti epilepsi telah ada, dan 13 diantaranya diklasifikasikan kedalam 5 kel. kimiawi, yaitu: barbiturat, hydantoin,

  oxazolidinediones, succinimides dan acetylureas.(Porter dkk, 2001) Gambar 1. Struktur kimiawi obat anti epilepsi .

  Dikutip dari: Lullmann, H., Mohr, K., Ziegler, A., Bieger, D. 2000. Color Atlas of Pharmacology. New York. Theme Stuutgart.

  Obat anti epilepsi menunjukkan beberapa sifat farmakokinetik sama walaupun struktur dan sifat kimiawi lumayan berbeda. Walaupun, beberapa komposisi mudah larut hanya sedikit, absorbsi biasanya baik dengan 80-100% dosis sudah mencapai sirkukasi.(Porter dkk, 2001)

  Tabel 4. Parameter farmakokinetik obat anti epilepsi.

  Dikutip dari: Henry, J.C., Gross, R.A. 2008. ”Epilepsy”. Principles of drugs theraphy in Neurology. Johnston, Michael. New York. Oxford Univesity Press.

  Untuk status penyakit dengan gangguan konsentrasi serum albumin (biasanya hipoalbunemia), dosis obat yang berikatan tinggi mungkin lebih pantas berdasarkan konsentrasi obat bebas. Dimana umumnya konsentrasi obat bebas tidak terganggu, konsentrasi total obat mungkin menurun menyebabkan klinisi menaikkan dosis; sementara peningkatan pada dosis akan menghasilkan level obat bebas lebih tinggi lagi dan kemungkinan akan terjadi toksisitas obat.(Porter dkk, 2001)

  Tabel 5. Dosis obat anti epilepsi

  Dikutip dari: Panayiotopoulos, C.P. 2010. Atlas of epilepsies. Springer-Verlag London Limited.

II.4.3. Mekanisme kerja Obat Anti Epilepsi

  Pengelompokkan OAE berdasarkan neurobiologi dibagi menjadi:

  a. Modulasi voltage gated ion channel atau membatasi cetusan yang lama bertahan (sustained repetitive neuronal firing) melalui blokage pada

  voltage dependent sodium channel.

  b. Meningkatkan inhibisi sinapsis atau meningkatkan inhibisi GABA. c. Inhibisi eksitasi sinaptik atau memblokade neurotransmiter eksitatorik glutamatergik.(Porter dkk, 2001)

  Tabel 6. Mekanisme kerja obat anti epilepsi

  Dikutip dari: Panayiotopoulos, C.P. 2010. Atlas of epilepsies. Springer-Verlag London Limited.

  Voltage gated ion channel (termasuk natrium, kalium dan kalsium)

  menentukan sub ambang perilaku listrik dari neuron, mengizinkan cetusan aksi potensial, mengatur respon pada signal sinaps, konstribusi pada pergeseran depolarisasi paroksismal, dan akhirnya perlu untuk melengkapi terjadinya letupan bangkitan. Sebagai tambahan, voltage gated ion channel merupakan elemen yang rumit pada pelepasan neurotransmiter sebagai syarat transmisi sinaps. Konsekuensinya, ada target kunci untuk obat anti epilepsi yang akan menghambat cetusan sinkronisasi dan penyebaran bangkitan. Inhibisi sinapsis dan eksitasi dimediasi oleh saluran regulasi neurotransmiter; saluran ini mengijinkan sinkronisasi gesekan neuron dan mengijinkan propagasi dari cetusan abnormal pada lokal yang jauh. Obat anti epilepsi yang memodifikasi neurotransmisi eksitasi dan inhibisi juga dapat menekan cetusan dan saat mereka menghambat eksitasi sinaptik, mempunyai efek yang menonjol dalam penyebaran bangkitan.(Bittigau dkk. 2002)

  Gambar 2. Aksi obat anti epilepsi pada inhibisi (A) dan eksitasi (B).

  Dikutip dari : Stafstrom, C.E. 1998. The pathophysiology of epileptic seizure: a primer for pediatrician. Pediatrics in review. 19(10):342-35

II.4.4. Adverse Effect Obat Anti Epilepsi

  Adverse effect obat anti epilepsi dapat dibagi berdasarkan sistem organ

  dan lebih secara kasar menjadi yang mempengaruhi susunan saraf pusat dan fungsinya dan yang mempengaruhi bagian tubuh lainnya. (Henry dkk, 2008).

  Tabel 7.

  

Adverse effect pemakaian obat anti epilepsi jangka panjang.

  Dikutip dari: Panayiotopoulos, C.P. 2010. Atlas of epilepsies. Springer-Verlag London Limited.

  Tabel 8. Efek kejiwaan dan behavior OAE.

  Dikutip dari: Panayiotopoulos, C.P. 2010. Atlas of epilepsies. Springer-Verlag London Limited.

  

II.5. HUBUNGAN ANTARA OBAT ANTI EPILEPSI DENGAN KOGNITIF DAN

BEHAVIOR

  Pasien dengan epilepsi sering sekali mengalami disfungsi kognitif dan gangguan behavior. Beragam faktor dapat mempengaruhi kognitif pada epilepsi termasuk etiologi kejang, lesi serebral sebelum onset kejang, tipe kejang, umur saat onset kejang, frekuensi, durasi dan keparahan kejang, disfungsi fisiologi intraiktal dan interiktal, kerusakan struktur serebral disebabkan oleh kejang berulang atau memanjang, faktor hereditas, faktor psikososial dan sekuele pengobatan epilepsi termasuk obat anti epilepsi (OAE) dan operasi epilepsi. Semua faktor yang saling berhubungan ini berkonstribusi membuat kompleksnya defisit kognitif. Pasien dan beberapa klinikus cenderung menyalahkan masalah kognitif pada OAE karena lebih dapat diidentifikasi dibandingkan dengan faktor lain. Stigma epilepsi dan ketakutan akan serangan kejang didepan umum dapat menyebabkan kepercayaan diri rendah, isolasi sosial dan depresi, semua ini dapat mempengaruhi negatif fungsi kognitif. Obat anti epilepsi dapat memberikan pengaruh buruk terhadap fungsi kognitif dengan menekan perangsangan neuronal atau mempertinggi neurotransmisi inhibitor. Efek utama kognitif obat anti epilepsi adalah menganggu atensi, kewaspadaan dan kecepatan psikomotorik tapi efek sekunder dapat bermanisfestasi pada fungsi kognitif yang lain seperti memori. Walaupun, penggunaan jangka panjang OAE dapat secara pasti mendatangkan disfungsi kognitif pada pasien epilepsi, efek kognitifnya yang berakhir hingga setahun lamanya tidak memberikan bukti yang menyakinkan sehubungan dengan masalah metodologi.(Sung-Pa Park, 2008 dan Ghaydaa 2009)

  Kognitif dapat dipengaruhi secara kronik oleh obat anti epilepsi dengan mensupresi kemampuan eksibilitas neuronal atau peningkatan neurotansmiter inhibisi sehingga mengakibatkan pemburukkan atensi/konsentrasi, kewaspadaan dan gangguan kecepatan psikomotorik. Carbamazepine, asam valproat berhubungan dengan resiko yang lebih kecil terkena depresi dan dilain pihak dapat meningkatkan mood yang berhubungan dengan efek serotonergic pada obat ini.(Panaylotopoulos, 2010)

  Hampir tidak terdapat data yang sistematis pada efek samping psikiatri oleh obat anti epilepsi klasik. Pengetahuan yang ada sebagian besar berdasarkan empiris, serangkaian kasus kecil atau laporan anekdot. Beberapa penelitian menyatakan adanya hubungan phenobarbital dengan efek samping iritabel dan perilaku agresif. Bettina, 2006)

  Obat anti epilepsi memiliki keduanya efek negatif dan positif terhadap kognitif dan behavior. Obat anti epilepsi dapat meningkatkan kognitif dan

  

behavior dimana berkaitan dengan pengurangan aktifitas kejang dan efek

  modulasi pada neurotransmiter dan efek psikotropi. Obat anti epilepsi mengurangi iritabilitas neuron dan meningkatkan inhibisi postsinaptik atau mengubah sinkronisasi jaringan saraf untuk menurunkan eksitabilitas neuron yang berlebihan terkait dengan perkembangan bangkitan dan penyebaran sekunder aktifitas epilepsi ke sekitar jaringan otak normal. Namun, pengurangan berlebihan eksitabilitas neuronal dapat mengakibatkan kecepatan motorik dan psikomotorik melambat, dan atensi buruk dan terganggu pengolahan memori, yang merupakan efek samping umum pada blokade sodium channel dan peningkatan aktivitas inhibisi GABAergik (Ghaydaa, 2009)

  Suatu studi yang menilai kemunduran kognitif dengan menggunakan

  Sternberg test kemudian dilakukan fMRI menemukan bahwa working memory

  berhubungan dengan aktivasi spesifik korteks frontal dorsolateral, kortikal lainnya dan area thalamus juga teraktivasi saat melakukan tes tersebut termasuk korteks cingulate anterior yang berhubungan dengan fungsi eksekutif dan korteks parietal posterior berhubungan dengan attention. (Aldenkamp, 2005)

  Beberapa obat anti epilepsi meningkatkan konsentrasi GABA di kortikal serebral terutama di lobus frontal. Disfungsi GABAergic di korteks prefrontal dapat menyebabkan mental slowing dan berikutnya penyebaran disfungsi ini ke area dorsolateral termasuk area broca dapat sebagai penyebab pemburukkan produksi bahasa. Penggunaan obat anti epilepsi dengan aksi primer tidak pada

  

GABAergic neurotransmission seperti lamotrigine dapat berhubungan dengan

  pemburukkan kognitif dan behavior yang lebih kecil. (Aldenkamp, 2005) Terapi dengan obat anti epilepsi memberi efek terhadap behavior dan kejiwaan meskipun hubungan anatomi dan biokimiawi yang tepat belum dketahui sepenuhnya. Obat anti epilepsi secara umum diklasifikasikan oleh apakah mereka mempunyai efek positif dan negatif pada fungsi behavior dan kejiwaan.

  Kemungkinan efek negatif yaitu depresi (Levetiracetam, Tiagabine, Topiramat dan Vigabatrin), irritabilitas (Felbamate Levetiracetam dan Vigabatrin), hiperaktifitas & impulsif (Phenobarbital), aggresif (Lamotrigine, Phenobarbital, Topiramat dan Vigabatrin) dan psikosis (Levetiracetam dan Topiramat) sedangkan efek positif yaitu stabilisasi mood (Carbamazepine, Lamotrigine), anti- mania (Carbamazepine dan Asam valproat) dan menurunkan ansietas (Gabapentin, Phenobarbital dan Pregabaline). Efek obat anti epilepsi pada kejiwaan pasien dapat berhubungan dengan dosis atau idiosinkronisasi dan mungkin muncul secara bebas dari efeknya terhadap frekuensi bangkitan dan keparahan epilepsinya.(Panayiotopoulo, 2010)

  Walaupun mekanisme bagaimana OAE dapat mempengaruhi behavior masih belum diketahui secara pasti. Namun, terdapat beberapa teori yang mendukung hal diatas. Phenitoin dapat menginduksi perburukkan fungsi behavior oleh karena penurunan aktifitas enzim asetilkolinesterase di hippokampus, serebellum dan korpus striatum. Efek phenobarbital terhadap behavior akibat penurunan pelepasan neurotransmiter dan eksitasi postsinaptik dengan cara

  2+

  memblok ca memasuki neuron dan dengan peninggian maksimal respon

  GABA. Efek carbamazepine terhadap behavior yang menguntungkan disebabkan beberapa faktor, yaitu: 1) Struktur CBZ yang mirip dengan tricyclic

  

antidepresant, 2) Efek stabilisasi pada sistem limbik yang dimediasi oleh

  pelemahan neurotransmiter eksitatorik glutamanergik dan pengurangan

  discharge neuronal paroksismal di sistem limbik. 3) Penuruanan turnover

  dopamin dan norepinefrin, 4) Efek meningkat pada serotonin. Sedangkan efek asam valproat yang menguntungkan behavior adalah 1) Efek GABA-ergic dimana terjadi peningkatan neurotransmisi dan regulasi reseptor b GABA yang memodulasi aktifitas noradrenergik yang memegang peranan penting gangguan afek bipolar, 2) Pengurangan aktifitas glutamat dekarbosilase di korteks frontal, 3) Pengurangan GABA di cairan liquor serebri. (Kantoush dkk, 1998)

  Obat anti epilepsi GABAergic dapat berhubungan dengan perkembangan sedasi, depresi, hiperaktiftas, agresif, impulsiveness dan gangguan tidur dan efek positifnya adalah anxiogenic dan anti-mania. Sedangkan obat anti-glutamatergic dapat sebagai anxiogenic dan anti depresan. Pada tahun 2008, US Food and

  

Drug administration (FDA) mengeluarkan peringatan bahwa obat anti epilepsi

dapat meningkatkan pikiran dan tindakan bunuh diri pada pasien-pasien epilepsi.

  Hal ini didasarkan pada studi meta-analysis yang mereka lakukan dimana pada sebelas penelitian secara konsisten ditemukan peningkatan resiko pikiran maupun tindakan bunuh diri.(Panayiotopoulos, 2010)

II.6. KERANGKA TEORI EPILEPSI OBAT ANTI EPILEPSI

  Ghaydaa, 2009 Loring, 2007 Buruk → digit forward, Penurunan irritability neuron memberikan immeddiate memory. efek behavior dan penurunan kognitif Durasi OAE

  → memori objek PENURUNAN

  IRRITABILITY Sung-Pa, 2008 Clare, 2011 Penurunan kognitif & gangguan behavior Studi paralel pada onset baru epilepsi → sedikit perubahan → menurunkan kualitas hidup pasien. kognitif setelah di th/ OAE. MENGURANGI

  EKSITASI Loring dan Meador, 2009 Marco, 2009 CBZ, PHT → gangguan Depresi, psikosis, memori Perucca dkk, 2011 ansietas dan

  Tidak terdapat perbedaan perubahan prilaku. Palanisamy dkk, 2011 adverse effect profile signifikan setelah pasien MMSE lebih buruk pada epilepsi diterapi OAE. pasein epilepsi telah th/

  Hiba dkk, 2010 Gangguan psikiatri 2 - 4,9%. Carbamazepine tidak menyebabkan gangguan psikiatri. Asam valproat → Kognitif

  MENINGKATKAN

  INHIBISI Loring & Meador, 2009 PB → gangguan

  BEHAVIOR KOGNITIF atensi Olubunmi, 2005 PB → Skor buruk memori

  Elger, 2008 ↓ kognitif rendah → VPA. ↓ kognitif tinggi → CBZ, PB, PHT

  Elger, 2008 Depresi rendah → CBZ Depresi tinggi

  → PB Olubunmi, Hiba dkk, 2005 2010 CBZ & PHT GBP → → menurunkan psikiatri atensi.

  Panaylotopoulos, 2010 CBZ & PHT → resiko lebih kecil terkena depresi

  & meningkatkan mood

II.7. KERANGKA KONSEP Epilepsi Obat Anti Epilepsi

  Kognitif Behavior