Hubungan Antara Obat Anti Epilepsi Dengan Kognitif Dan Behavior Pada Pasien Epilepsi

(1)

HUBUNGAN ANTARA OBAT ANTI EPILEPSI DENGAN

KOGNITIF DAN

BEHAVIOR

PADA PASIEN EPILEPSI

TESIS

SISKA IMELDA TAMBUNAN

NIM: 107112006

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK

SPESIALIS ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

HUBUNGAN ANTARA OBAT ANTI EPILEPSI DENGAN KOGNITIF DAN

BEHAVIOR

PADA PASIEN EPILEPSI

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Klinis Spesialis Saraf Pada

Program Studi Magister Kedokteran Klinik Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

Oleh

SISKA IMELDA TAMBUNAN

NIM: 107112006

PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK

SPESIALIS ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

Judul Tesis

:

Hubungan Antara Obat Anti Epilepsi

Dengan Kognitif Dan

Behavior

Pada

Pasien Epilepsi

Nama Mahasiswa

:

Siska Imelda Tambunan

Nomor Induk Mahasiswa

:

107112006

Program Magister

:

Magister Kedokteran Klinik

Konsentrasi

:

Ilmu Penyakit Saraf

Menyetujui

Komisi Pembimbing

Prof. DR. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S (K)

Ketua

Ketua Program Studi

dr. Yuneldi Anwar, Sp.S (K)

Ketua TKP PPDS I

dr. Zainuddin Amir,Sp.P (K)


(4)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis

: HUBUNGAN ANTARA OBAT ANTI EPILEPSI

DENGAN KOGNITIF DAN

BEHAVIOR

PADA

PASIEN EPILEPSI

Nama

: SISKA IMELDA TAMBUNAN

NIM

: 107112006

Program Studi

: ILMU PENYAKIT SARAF

Menyetujui

Pembimbing I

: Dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K) ...

Pembimbing II

:

Dr. Kiki M. Iqbal, SpS ...

Pembimbing III

:

Dr. Alfansuri Kadri, SpS ...

Mengetahui / Mengesahkan :

Ketua Departemen / SMF

Ilmu Penyakit Saraf

FK USU/RSUPHAM Medan

dr. Rusli Dhanu, Sp.S (K)

NIP. 19530916 198203 1 003

Ketua Program Studi/ SMF

Ilmu Penyakit Saraf

FK USU/ RSUP HAM Medan

dr. Yuneldi Anwar , Sp.S (K)

NIP. 19530601 198103 1 004


(5)

Telah diuji pada

Tanggal : Selasa, 02 April 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

1. Prof. DR. dr. Hasan Sjahrir,Sp.S(K)

2. Prof. dr. Darulkutni Nasution,Sp.S(K)

(Penguji)

3. dr. Darlan Djali Chan,Sp.S

4. dr. Yuneldi Anwar,Sp.S(K)

(Penguji)

5. dr. Rusli Dhanu,Sp.S(K)

6. dr. Kiking Ritarwan,MKT,Sp.S(K)

(Penguji)

7. dr. Aldy S Rambe,Sp.S(K)

(Penguji)

8. dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S

9. dr. Khairul P. Surbakti,Sp.S

10. dr. Cut Aria Arina,Sp.S

11. dr. Kiki M. Iqbal,Sp.S

12. dr. Alfansuri Kadri,Sp.S

13. dr. Aida Fithrie, Sp.S

14. dr.Irina Kemala Nasution, Sp.S

15. dr.Haflin Soraya Hutagalung, Sp.S


(6)

PERNYATAAN

HUBUNGAN ANTARA OBAT ANTI EPILEPSI DENGAN KOGNITIF

DAN

BEHAVIOR

PADA PASIEN EPILEPSI

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya

yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu

perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat

karya atau pendapat yang pernah dituliskan atau diterbitkan oleh orang

lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan

dalam daftar pustaka.

Medan, 02 April 2013


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa

atas penyertaan segala berkat dan kasihNYA sehingga penulis dapat

menyelesaikan tesis magister kedokteran klinik ini.

Tesis ini dibuat untuk memenuhi persyaratan penyelesaian program

magister kedokteran klinik pada Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu

Penyakit Saraf di Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan.

Dengan segala keterbatasan, penulis menyadari dalam penelitian

ini dan penulisan tesis ini masih dijumpai banyak kekurangan. Oleh sebab

itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan masukan yang

berharga dari semua pihak untuk kebaikan dimasa yang akan datang.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan

penghargaan dan ucapan terimakasih yang sebesar – besarnya kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara, dan Ketua TKP PPDS I Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan

kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Magister

Kedokteran Klinik Spesialis Ilmu Penyakit Saraf di Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. DR. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K), selaku Guru Besar Tetap

Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera

Utara/ RSUP H. Adam Malik Medan yang telah banyak memberi


(8)

bimbingan dan masukan yang berharga dengan penuh kesabaran

dan ketelitian kepada penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

3. Dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K), Ketua Departemen/ SMF Ilmu Penyakit

Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ RSUP H.

Adam Malik Medan saat tesis ini disusun dan sebagai pembimbing

pertama tesis, yang dengan sepenuh hati telah mendorong,

mengarahkan serta membimbing dan mengoreksi dengan penuh

kesabaran dan ketelitian sehingga penulis dapat menyelesaian

tesis ini.

4. Dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K), Ketua Program Studi Departemen/

SMF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan masukan

berharga kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

5. Dr. Kiki M. Iqbal, Sp.S selaku pembimbing kedua yang dengan

sepenuh hati , kesabaran dan ketelitian telah membimbing,

mendorong dan mengarahkan penulis mulai dari perencanaan,

pembuatan dan penyelesaian tesis magister ini.

6. Dr. Alfansuri Kadri, Sp.S selaku pembimbing ketiga yang dengan

sepenuh hati, kesabaran dan ketelitian telah membimbing,

mendorong dan mengarahkan penulis mulai dari perencanaan,

pembuatan dan penyelesaian tesis magister ini.

7. Guru-guru penulis: Prof. dr. Darulkutni Nasution, Sp.S(K), dr.

Darlan Djali Chan, Sp.S, dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S(K), dr.


(9)

Aldy S. Rambe, Sp.S(K), dr. Irsan NHN Lubis,Sp.S, dr. Puji Pinta

O. Sinurat, Sp.S, dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S, Alm.dr, S.

Irwansyah, Sp.S, dr. Iskandar Nasution, Sp.S, dr. Cut Aria Arina,

Sp.S, dr. Aida Fithrie, Sp.S, dr. Dina Listyanigrum, Sp.S, Msi,med,

dr. Irina Kemala Nasution, Sp.S, dr. Haflin Soraya Hutagalung,

Sp.S, dr. Fasifah Irfani Fitri, Sp.S dan lain – lain yang tidak dapat

penulis sebutkan satu persatu, baik di Departemen Ilmu Penyakit

Saraf, maupun Departemen/SMF lainnya di lingkungan FK – USU/

RSUP H. Adam Malik Medan, terima kasih yang setulus – tulusnya

saya ucapkan atas segala bimbingan selama ini.

8. Drs. Abdul Jalil A. A, M.Kes, selaku pembimbing statistik yang telah

membimbing, membantu dan meluangkan waktunya dalam

pembuatan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih.

9. Direktur RSUP. H. Adam Malik Medan, yang telah memberikan

kesempatan, fasilitas dan suasana kerja yang baik sehingga

penulis dapat mengikuti pendidikan magister ini sampai selesai.

10. Ucapan terima kasih penulis kepada Bapak Amran Sitorus dan

Syafrizal serta seluruh perawat dan pegawai yang tidak dapat

penulis sebutkan satu persatu.

11. Semua pasien epilepsi yang berobat jalan di poli epilepsi

RSUP.H.Adam Malik, Medan yang telah bersedia berpartisipasi

dalam penelitian ini, penulis ucapkan terima kasih yang mendalam.


(10)

12. Rekan-rekan sejawat peserta PPDS-1 Departemen Ilmu Penyakit

Saraf FK-USU/RSUP. H. Adam Malik, Medan, yang telah banyak

memberikan masukkan berharga kepada penulis melalui

diskusi-diskusi kritis, serta selalu memberikan dorongan kepada penulis

untuk menyelesaikan tesis magister ini.

13. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis ucapkan

kepada kedua orang tua saya: Eclon Tambunan dan Netty

Nainggolan serta ibu mertua saya, Nellys Simamora, yang selalu

memberikan dorongan, semangat dan nasehat serta doa yang

tulus agar tetap sabar dan semangat dalam mengikuti pendidikan

magister sampai selesai.

14. Teristimewa kepada suami tercinta Kardat Arnes Sihotang, ST,

yang sangat membantu saya dengan penuh kesabaran dan

pengertian, setia mendampingi dengan luapan cinta dan kasih

sayang dalam suka maupun duka dalam menjalani pendidikan dan

menyelesaikan tesis ini, saya ucapkan terima kasih yang

setulus-tulusnya.

15. Tersangat istimewa kepada anak saya tercinta, Bramantio Praja

Sihotang untuk semua pengertian dan kemandiriannya serta telah

menjadi penyemangat, penghilang rasa penat, sumber motivasi

dan inspirasi dalam menjalani program pendidikan dan

penyelesaian tesis magister ini.


(11)

16. Kepada semua keluarga, rekan dan sahabat yang tidak mungkin

saya sebutkan satu persatu yang telah membantu saya sekecil

apapun, saya haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih membalas semua jasa

dan budi baik mereka yang telah membantu penulis tanpa pamrih

dalam mewujudkan cita-cita penulis. Akhirnya penulis

mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini dapat bermanfaat

bagi kita semua, Amin.

Medan, 02 April 2013


(12)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I.IDENTITAS

1. Nama

: dr. Siska Imelda Tambunan

2. Tempat/Tgl.Lahir

: Sidikalang, 07 Mei 1979

3. Agama

: Protestan

4. Pekerjaan

: PNS di RSUD dr. F.L. Tobing, Sibolga

5. Nama Ayah

: Eclon Tambunan

6. Nama Ibu

: Netty Nainggolan

7. Nama Suami

: Kardat Arnes Sihotang, ST

8. Nama Anak

: Bramantio Praja Sihotang

II. RIWAYAT PENDIDIKAN

1. 1985-1991

: SD Negeri 030277

- Sidikalang

2. 1991-1994

: SMP Negeri 1 - Sidikalang

3. 1994-1997

: SMU Negeri 1 - Medan

4. 1998 - 2005

: Fakultas Kedokteran UKI – Jakarta

5. 2010 - sekarang

: PPDS Ilmu Penyakit Saraf FK USU - Medan

III. RIWAYAT PEKERJAAN

1. 2005 – 2006

: Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FK UKI.

2. 2006 – 2007

: PTT Puskesmas di Kec. Bawolatu, Nias.

3. 2007 – 2008

: IBU Foundation, Nias.

4. 2008 - sekarang

: PNS RSUD dr. F.L. Tobing, Sibolga.

III. KEANGGOTAAN PROFESI

1. 2005 – 2008

: Anggota IDI Cabang Jakarta Timur

2. 2008 – 2010

: Anggota IDI Cabang Tapteng-Sibolga

3. 2010 - Sekarang

: Anggota IDI Cabang Medan


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

PANITIA PENGUJI TESIS

ii

LEMBARAN PERNYATAAN

iii

KATA PENGANTAR

iv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

ix

DAFTAR ISI

x

DAFTAR SINGKATAN

xiv

DAFTAR LAMBANG

xvi

DAFTAR TABEL

xvii

DAFTAR GAMBAR

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

xix

ABSTRAK

xx

ABSTRACT

xxi

BAB.I

PENDAHULUAN

1

I.1. Latar Belakang

1

I.2. Perumusan Masalah

6

I.3. Tujuan Penelitian

6

I.3.1. Tujuan Umum

6

I.3.2. Tujuan Khusus

6

I.4. Hipotesa

7


(14)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

9

II.1. Fungsi kognitif

9

1. Atensi

9

2. Bahasa

10

3. Memori

10

4. Visuospatial

11

5. Fungsi eksekutif

12

II.1.1. Assesmen kognitif

13

1.

Mini-Mental State Examination

13

2.

Digit Span

14

II.2.

Behavior

15

II.2.1.

The Beck Scale

17

II.3. Epilepsi

18

II.3.1. DefInisi

18

II.3.2. Epidemiologi

19

II.3.3. Klasifikasi

20

II.3.4. Hubungan epilepsi dengan kognitif &

behavior

21

II.4. Obat anti epilepsi

22

II.4.1. Sejarah Obat Anti epilepsi

22

II.4.2. Farmakologi Dasar Obat Anti epilepsi

24

II.4.3. Mekanisme kerja Obat Anti epilepsi

26

II.4.4.

Adverse Effect

Obat Anti epilepsi

28

II.5. Hubungan obat anti epilepsi dengan kognitif dan

behavior

30


(15)

II.6. Kerangka Teori

35

II.7. Kerangka Konsepsional

36

BAB III.

METODE PENELITIAN

37

III.1. Tempat dan Waktu

37

III.2. Subjek Penelitian

37

III.2.1. Populasi sasaran

37

III.2.2. Populasi terjangkau

37

III.2.3. Besar sampel

38

III.2.4. Kriteria inklusi

38

III.2.5. Kriteria eksklusi

39

III.2.6. Instrumen Penelitian

39

III.3. Batasan Operasional

39

III.4. Rancangan Penelitian

42

III.5. Pelaksanaan Penelitian

42

III.5.1. Pengambilan sampel

42

III.5.2. Variabel yang diamati

43

III.5.3. Kerangka operasional

44

III.5.4. Analisa statistik

45

III.5.5. Jadwal penelitian

46

III.5.6. Biaya Penelitian

46

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

47

IV.1. Hasil penelitian

47


(16)

IV.1.2. Distribusi kognitif dan

behavior

subjek penelitian.

50

IV.1.3. Hubungan jenis obat anti epilepsi dengan kognitif. 51

IV.1.4. Hubungan jumlah obat anti epilepsi dengan kognitif.

52

IV.1.5. Hubungan durasi obat anti epilepsi dengan kognitif.

53

IV.1.6. Hubungan jenis obat anti epilepsi dengan

behavior.

57

IV.1.7. Hubungan jumlah obat anti epilepsi dengan

behavior.

58

IV.1.8. Hubungan durasi obat anti epilepsi dengan

behavior.

60

IV.2. Pembahasan

63

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

70

V.1. Kesimpulan

70

V.2. Saran

72

DAFTAR PUSTAKA

73


(17)

DAFTAR SINGKATAN

AMPA

:

Amino-methyl-propanoic acid

APT

: Amnesia pasca trauma

BAI

:

Beck Anxiety Inventory

BDI

:

Beck Depression Inventory

Ca

2+

cAMP

:

Cyclic adenosine monophosphate

:

Calsium

CBZ

; Carbamazepine

CLB

: Clobazam

CNS

:

Central nervous system

ETS

: Ethosuximide

EEG

:

Electroencephalography

FBM

: Felbamate

fMRI

:

Fungsional magnetic resonance imaging

GABA

:

Gamma-aminobutyric acid

GBP

: Gabapentine

IQ

:

Intelligence quotient

K

+

LEV

: Levetiracetam

: Kalium

LTG

: Lamotrigine

Na

+

MMSE

:

Mini Mental Status Examination

: Natrium


(18)

NMDA

:

N-methyl D-aspartate

OAE

: Obat anti epilepsi

OXC

: Oxcarbazepine

PB

: Phenobarbital

PERDOSSI : Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia

PGB

: Pregabalin

PHT

: Phenitoin

SKG

: Skala koma

Glascow

TGB

: Tiagabine

TPM

: Topiramate

VGB

: Vigabatrin

VPA

: Sodium valproat

WHO

:

World health organization

ZNS

: Zonisamide


(19)

DAFTAR LAMBANG

n

: Besar sampel

α

: Alfa

β

: Beta

(1−β)

Z

: Power, ditetapkan 0,10 1,282

      −

2 1 α

Z

: Kesalahan tipe 1, ditetapkan 0,05 1,96

P

: Hasil jumlah proporsi sasaran dan proporsi yang diteliti dibagi dua

P

1

P

: Proporsi sasaran

2

p

: Tingkat kemaknaan

: Proporsi yang diteliti


(20)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Skor median MMSE

adjustment

pada usia dan lama pendidikan

14

Tabel 2

Skor median MMSE

14

Tabel 3

Klasifikasi epilepsy

21

Tabel 4 Parameter Farmakokinetik obat anti epilepsy

25

Tabel 5

Dosis obat anti epilepsy

26

Tabel 6

Mekanisme kerja obat anti epilepsi

27

Tabel 7

Adverse effect

pemakaian obat anti epilepsi jangka panjang

29

Tabel 8

Efek kejiwaan dan

behavior

OAE

29

Tabel 9

Jadwal kegiatan penelitian

46

Tabel 10 Karakteristik subjek penelitian

48

Tabel 11 Hubungan antara jenis dan jumlah obat anti epilepsi dengan

kognitif pada pasien epilepsi

53

Tabel 12 Hubungan antara durasi konsumsi obat anti epilepsi dengan

kognitif pada pasien epilepsi

56

Tabel 13 Hubungan antara jenis obat anti epilepsi dengan

behavior

pada

pasien epilepsi

57

Tabel 14 Hubungan antara jumlah obat anti epilepsi dengan

behavior

pada

pasien epilepsi

59

Tabel 15 Hubungan antara durasi konsumsi obat anti epilepsi dengan

behavior

pada pasien epilepsi


(21)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1

Struktur kimiawi obat anti epilepsi

24

Gambar 2.

Aksi obat anti epilepsI pada inhibisi dan eksitasi

28

Gambar 3.

Diagram jenis kelamin sampel penelitian

47

Gambar 4.

Diagram lama pendidikan sampel penelitian

48

Gambar 5.

Diagram jenis bangkitan sampel penelitian

48

Gambar 6.

Grafik distribusi jenis obat anti epilepsi

49

Gambar 7.

Grafik distribusi kognitif

50

Gambar 8.

Grafik distribusi

behavior

51


(22)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar Penjelasan Kepada Subjek penelitian

Lampiran 2. Surat Persetujuan ikut dalam Penelitian

Lampiran 3. Lembar Pengumpul Data Penelitian

Lampiran 4. Nilai skor Mini Mental State Examination

Lampiran 5.

Digit Span

Lampiran 6.

Beck Depression Inventory II

Lampiran 7.

Beck Anxiety Inventory

Lampiran 8. Surat Komite Etik Penelitian Bidang Kesehatan FK-USU

Lampiran 9. Data Dasar Sampel Penelitian


(23)

ABSTRAK

Latar Belakang dan Tujuan:

Epilepsi adalah penyakit kronis yang

merupakan masalah medik dan sosial, dimana masalah medik bisa

berdampak pada gangguan kognitif dan mental. Di lain pihak, obat anti

epilepsi dapat mempengaruhi fungsi kognitif dan

behavior

dengan

menekan eksitabilitas neuron atau meningkatkan neurotransmiter inhibitor.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara obat anti epilepsi

dengan kognitif dan

behavior

pada pasien epilepsi.

Metode:

Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan

terhadap pasien epilepsi umum idiopatik yang berobat ke poliklinik epilepsi

bagian Neurologi RSUP H. Adam Malik Medan periode 10 September

sampai 31 Desember 2012. Pada pasien yang telah mengkomsumsi obat

anti epilepsi lebih dari 4 minggu dilakukan pemeriksaan MMSE dan

digit

span

untuk menilai kognitif serta pengisian kuisioner

Beck Depresion

Inventory

(BDI) dan

Beck Anxiety Inventory

(BAI) untuk mendeteksi

depresi dan ansietas terhadap 57 penderita yang memenuhi kriteria inklusi

penelitian.

Hasil:

Terdapat 57 pasien dalam penelitian ini, terdiri dari 35 org (61,4%)

perempuan dan 22 (38,6%) lelaki. Jenis bangkitan terdiri dari 47 (92,5%)

tonik-klonik dan 10 (17,5%) absence. Terdapat hubungan yang signifikan

antara jenis obat anti epilepsi dengan gangguan kognitif (

p

=0,003)

sedangkan terhadap

behavior

diperoleh hubungan yang signifikan antara

jenis obat anti epilepsi dengan depresi (

p

0,001) namun tidak ada

hubungan yang signifikan dengan ansietas (

p

0,469). Terhadap jumlah

obat anti epilepsi diperoleh hubungan yang signifikan antara jumlah obat

anti epilepsi dengan gangguan kognitif tetapi tidak ada hubungan yang

signifikan dengan

behavior

. Tidak terdapat hubungan yang signifikan

antara durasi konsumsi obat anti epilepsi dengan gangguan kognitif dan

behavior

kecuali hubungan antara durasi konsumsi phenitoin dengan

MMSE (

p

=0,027) dan depresi (

p=

0,021).

Kesimpulan:

Ada hubungan yang signifikan antara jenis dan jumlah obat

anti epilepsi dengan gangguan kognitif. Sedangkan

adverse effect

obat

anti epilepsi dengan

behavior

diperoleh hubungan yang signifikan antara

jenis obat anti epilepsi dengan depresi.


(24)

ABSTRACT

Backgound and Purpose

:

Epilepsy is a chronic disease which is a

medical and social problem, where medical problems can affect the

cognitive and mental disorder. On the other hand, antiepileptic drugs can

adversely affect cognitive function and behavior by suppressing neuronal

excitability or enhancing inhibitory neurotransmission. The aim of this

study is to determine the association between antiepileptic drugs with

cognitive and behavior in epilepsy patient.

Methods:

This is a cross sectional study which is perform to idiopathic

generalized epileptic patients in the epileptic clinic of H. Adam Malik

hospital from period September 10 until December 31, 2012. Fifty seven

patients whom comsumption antiepileptic drugs more than four weeks and

fulfil the inclusion criteria will done investigate of MMSE and digit span to

assess the cognitive and then admission filling the questionnaire of Beck

Depression Inventory (BDI) and Beck Anxiety Inventory (BAI) to detect

depression and anxiety.

Result

:

Fifty seven patients are participating in this study; consist of 35

(61.4%) women and 22 (38.6%) men. Seizure type consist 47 (92.5%)

tonic-clonic and 10 (17.5%) absence. There is significant association

between kind of antiepileptic drugs with cognitive impairment (p=0,003),

while towards behavior got significant association between kind of

antiepilepstic drugs with depression (p=0,001) but no significant

association with anxiety (p=0,469). There is significant association

between numbers of antiepileptic drugs with cognitive impairment but no

significant association with behavior. There are no significant association

between duration of antiepileptic drugs with cognitive impairment and

behavior except significant association between comsumption duration of

Phenitoin with MMSE (p=0,027) and depression (p=0,021).

Conclusions:

There are significant associations between number and

kind of antiepileptic drugs with cognitive impairment. While the behavior

adverse effect of antiepileptic drugs get the significant association

between kinds of antiepileptic drugs with depression.

Key words:

Antiepileptic drugs-cognitive-behavior-idiopathic generalized

epileptic.


(25)

ABSTRAK

Latar Belakang dan Tujuan:

Epilepsi adalah penyakit kronis yang

merupakan masalah medik dan sosial, dimana masalah medik bisa

berdampak pada gangguan kognitif dan mental. Di lain pihak, obat anti

epilepsi dapat mempengaruhi fungsi kognitif dan

behavior

dengan

menekan eksitabilitas neuron atau meningkatkan neurotransmiter inhibitor.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara obat anti epilepsi

dengan kognitif dan

behavior

pada pasien epilepsi.

Metode:

Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan

terhadap pasien epilepsi umum idiopatik yang berobat ke poliklinik epilepsi

bagian Neurologi RSUP H. Adam Malik Medan periode 10 September

sampai 31 Desember 2012. Pada pasien yang telah mengkomsumsi obat

anti epilepsi lebih dari 4 minggu dilakukan pemeriksaan MMSE dan

digit

span

untuk menilai kognitif serta pengisian kuisioner

Beck Depresion

Inventory

(BDI) dan

Beck Anxiety Inventory

(BAI) untuk mendeteksi

depresi dan ansietas terhadap 57 penderita yang memenuhi kriteria inklusi

penelitian.

Hasil:

Terdapat 57 pasien dalam penelitian ini, terdiri dari 35 org (61,4%)

perempuan dan 22 (38,6%) lelaki. Jenis bangkitan terdiri dari 47 (92,5%)

tonik-klonik dan 10 (17,5%) absence. Terdapat hubungan yang signifikan

antara jenis obat anti epilepsi dengan gangguan kognitif (

p

=0,003)

sedangkan terhadap

behavior

diperoleh hubungan yang signifikan antara

jenis obat anti epilepsi dengan depresi (

p

0,001) namun tidak ada

hubungan yang signifikan dengan ansietas (

p

0,469). Terhadap jumlah

obat anti epilepsi diperoleh hubungan yang signifikan antara jumlah obat

anti epilepsi dengan gangguan kognitif tetapi tidak ada hubungan yang

signifikan dengan

behavior

. Tidak terdapat hubungan yang signifikan

antara durasi konsumsi obat anti epilepsi dengan gangguan kognitif dan

behavior

kecuali hubungan antara durasi konsumsi phenitoin dengan

MMSE (

p

=0,027) dan depresi (

p=

0,021).

Kesimpulan:

Ada hubungan yang signifikan antara jenis dan jumlah obat

anti epilepsi dengan gangguan kognitif. Sedangkan

adverse effect

obat

anti epilepsi dengan

behavior

diperoleh hubungan yang signifikan antara

jenis obat anti epilepsi dengan depresi.


(26)

ABSTRACT

Backgound and Purpose

:

Epilepsy is a chronic disease which is a

medical and social problem, where medical problems can affect the

cognitive and mental disorder. On the other hand, antiepileptic drugs can

adversely affect cognitive function and behavior by suppressing neuronal

excitability or enhancing inhibitory neurotransmission. The aim of this

study is to determine the association between antiepileptic drugs with

cognitive and behavior in epilepsy patient.

Methods:

This is a cross sectional study which is perform to idiopathic

generalized epileptic patients in the epileptic clinic of H. Adam Malik

hospital from period September 10 until December 31, 2012. Fifty seven

patients whom comsumption antiepileptic drugs more than four weeks and

fulfil the inclusion criteria will done investigate of MMSE and digit span to

assess the cognitive and then admission filling the questionnaire of Beck

Depression Inventory (BDI) and Beck Anxiety Inventory (BAI) to detect

depression and anxiety.

Result

:

Fifty seven patients are participating in this study; consist of 35

(61.4%) women and 22 (38.6%) men. Seizure type consist 47 (92.5%)

tonic-clonic and 10 (17.5%) absence. There is significant association

between kind of antiepileptic drugs with cognitive impairment (p=0,003),

while towards behavior got significant association between kind of

antiepilepstic drugs with depression (p=0,001) but no significant

association with anxiety (p=0,469). There is significant association

between numbers of antiepileptic drugs with cognitive impairment but no

significant association with behavior. There are no significant association

between duration of antiepileptic drugs with cognitive impairment and

behavior except significant association between comsumption duration of

Phenitoin with MMSE (p=0,027) and depression (p=0,021).

Conclusions:

There are significant associations between number and

kind of antiepileptic drugs with cognitive impairment. While the behavior

adverse effect of antiepileptic drugs get the significant association

between kinds of antiepileptic drugs with depression.

Key words:

Antiepileptic drugs-cognitive-behavior-idiopathic generalized

epileptic.


(27)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG

Epilepsi yang merupakan penyakit kronik masih tetap merupakan masalah medik dan sosial. Masalah medik yang disebabkan oleh gangguan komunikasi neuron bisa berdampak pada gangguan kognitif dan mental. Dilain pihak obat-obatan anti epilepsi juga bisa berefek terhadap gangguan kognitif dan behavior. Oleh sebab itu pertimbangan untuk pemberian obat yang tepat adalah penting mengingat efek obat yang bertujuan untuk menginhibisi bangkitan listrik tapi juga bisa berefek pada gangguan kognitif dan behavior.

Epilepsi terjadi di seluruh dunia, hampir di seluruh daerah tidak kurang dari tiga kejadian tiap 1000 orang. Setiap tahunnya, diantara setiap 100.000 orang akan terdapat 40-70 kasus baru. Epilepsi mempengaruhi 50 juta orang diseluruh dunia, dan 80% dari mereka tinggal di negara berkembang. Epilepsi lebih sering timbul pada usia anak-anak atau orang tua diatas 65 tahun, namum epilepsi dapat muncul kapan saja. Pada systemic review terkini, angka prevalensi untuk epilepsi aktif bervariasi dari 1,5-14 per 1.000 orang/tahun di Asia, Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki sedikit lebih besar kemungkinan terkena epilepsi daripada perempuan.(Meyer dkk, 2010)

Berapa banyak pasien epilepsi di Indonesia, sampai sekarang belum tersedia data hasil studi berbasis populasi. Bila dibandingkan dengan negara berkembang lain dengan tingkat ekonomi sejajar, probabilitas penyandang


(28)

epilepsi di Indonesia sekitar 0,7-1,0% dan bila jumlah penduduk Indonesia sekitar 220 juta maka sekitar 1,5-2 juta orang kemungkinan mengidap epilepsi dan kasus baru sekitar 250.000 pertahun.(Hawari, 2012)

Epilepsi diterapi dengan obat-obatan anti epilepsi jangka panjang dimana akan dititrasi hingga berhenti jika minimal selama 2 tahun bebas kejang. Sementara obat anti epilepsi dapat menyebabkan perburukkan kognitif dan gangguan behavior yang nantinya dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien.(Eddy dkk, 2011)

Kerja obat anti epilepsi (OAE) akan menurunkan irritability neuron dimana mungkin menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan seperti penurunan fungsi kognitif dan efek behavior dimana terhadap behavior mungkin memberikan rentang efek mulai dari iritabel dan hiperaktifitas hingga efek psikotropik positif pada mood.(Loring dkk, 2007)

Suatu studi yang membandingkan fungsi kognitif antara pasien epilepsi yang belum mendapat terapi dengan kelompok yang telah diterapi selama setahun menemukan bahwa pasien yang telah diterapi obat anti epilepsi (OAE) menunjukkan hasil cognitive perfomance buruk dengan pemeriksaan MMSE Adanya pemburukkan kognitif secara langsung akan mempengaruhi kualitas hidup pasien.(Palanisamy dkk, 2011)

Adverse effects obat anti epilepsi dapat mengakibatkan gangguan

behavior, dimana yang tersering adalah depresi (phenobarbital, vigabatrin, tiagabine, topiramat); ansietas (lamotrigine, felbamate, levetiracetam).(Marco, 2009)


(29)

Studi parallel yang dilakukan untuk membandingkan efek kognitif carbamazepine, phenobarbital, phenitoin dan pirimidone pada pasien dengan onset baru epilepsi menemukan tidak konsekuennya pola semua obat anti epilepsi dan sedikit perubahan pada kognitif setelah terapi obat anti epilepsi (OAE). Studi lain yang membandingkan carbamazepine (CBZ) dan valproat acid (VPA) menemukan efek negatif pada kognitif untuk keduanya. Berbeda dengan phenobarbital (PB) bermakna mengakibatkan gangguan kognitif lebih jelek dibandingkan yang lain. Obat anti epilepsi terbaru tampaknya memberikan adverse effect kognitif lebih sedikit seperti gabapentine (GBP), lamotrigine (LTG) dan levetiracetam (LEV) dibandingkan carbamazepine (CBZ) sedangkan topiramat (TPM) menunjukkan asosiasi dengan resiko gangguan kognitif yang lebih besar.(Sung-Pa dkk, 2008)

Penelitian Ogunrin Olubunmi dkk di afrika terhadap carbamazepine (CBZ), phenitoin (PHT) dan phenobarbital (PB) menunjukkan bahwa efek obat pada kognitif memperlihatkan pemburukan bermakna pada mental speed dengan pengecualian pada hasil kelompok PHT yang menunjukkan perbaikan pada auditory reaction time; CBZ tidak signifikan mempengaruhi memori verbal. Ketiga obat anti epilepsi tersebut signifikan menurunkan kemampuan atensi pasien. PB menunjukkan skor yang buruk pada memori verbal dan non-verbal.(Olubunmi dkk, 2005)

Penelitian yang membandingkan keefektipan beberapa obat anti epilepsi pada 417 orang tua yang berumur ≥ 55 tahun dengan epilepsi, Hi ba Arif dkk, menemukan bahwa topiramat (TPM) terbanyak menyebabkan adverse effect terhadap kognitif dan pskiatri; clobazam (CLB), oxcarbazepine (OXC) dan valproat acid (VPA) menyebabkan gangguan psikiatri masing-masing 10-19,9%,


(30)

5-9,9% dan 2-4,9% namun tidak menyebabkan pemburukan kognitif; carbamazepine (CBZ) tidak menganggu fungsi kognitif dan psikiatri. Secara keseluruhan dari kesepuluh OAE tersebut terhadap 417 sampel menyebabkan pemburukan kognitif 5-9,9% dan gangguan psikiatri 2-4,9%. Dimana pemburukan kognitif yang dilaporkan adalah afasia, konsentrasi rendah, memori buruk, perlambatan psikomotor, perlambatan kognitif, bingung/disorientasi sementara gangguan psikiatri adalah ansietas, iritabel, psikosis, depresi.(Hiba dkk, 2010)

Suatu studi kasus kontrol pada pasien-pasien dengan bangkitan onset baru, dibandingkan antara kelompok yang mendapat obat anti epilepsi lebih dari 4 minggu (212 kasus) dengan kelompok tanpa pengobatan (206 kontrol). Hasilnya menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan adverse event profile di antara kelompok kasus dengan monoterapi (valproat acid, carbamazepine, phenitoin, levetiracetam, lamotrigine) dengan kelompok kontrol.(Perucca dkk, 2011)

Menurut Christian E. Elger, dkk menulis bahwa obat anti epilepsi menimbulkan adverse effect depresi rendah (carbamazepine, clobazam, felbamate, gabapentine, levetiracetam, lamotrigine, pregabalin, topiramat, valproat acid, zonisamide) dan tinggi (ethosuximide, phenobarbital, phenitoin, tiagabine, vigabatrin); pemburukan kognitif rendah (ethosuximide, felbamate, gabapentine, levetiracetam, lamotrigine, oxcarbazepine, pregabalin, tiagabine, vigabatrin, valproat acid) dan tinggi (carbamazepine, clobazam, phenobarbital, phenitoin, topiramat, zonisamide).(Elger dkk, 2008)

Penelitian Ghaydaa tahun 2009 menemukan bahwa pasien epilepsi yang belum diterapi dan mendapat terapi menunjukkan hasil kinerja lebih jelek pada


(31)

kognitif yang berbeda dan tes behavior dibandingkan dengan kelompok kontrol (populasi normal). Pasein yang mendapat terapi obat anti epilepsi mempunyai skor buruk pada memori untuk digit forward and backward, memori jangka pendek. Durasi asupan obat anti epilepsi berhubungan dengan memori objek, memori non-verbal jangka pendek. Pasien epilepsi belum diterapi dan sudah diterapi mempunyai kinerja buruk pada tingkat sama pada tes fungsi behavior. Dosis obat anti epilepsi berkorelasi dengan skor agresi verbal dan non-verbal sedangkan durasi asupan obat anti epilepsi berkorelasi dengan skor agresi non-verbal.(Ghaydaa, 2009)

Efek negatif obat anti epilepsi terhadap kognitif seperti phenobarbital dapat menyebabkan penurunan atensi; carbamazepine dan phenitoin menganggu memori; sedangkan valproat acid paling kecil mempengaruhi kognitif.(Loring dkk, 2004)

I.2. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang penelitian-penelitian terdahulu seperti yang telah diuraikan di atas, dirumuskan masalah sebagai berikut:

Bagaimanakah hubungan antara obat anti epilepsi dengan kognitif dan behavior pada pasien epilepsi?

I.3. TUJUAN PENELITIAN


(32)

I.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan antara obat anti epilepsi dengan kognitif dan behavior pada pasien epilepsi.

I.3.2. Tujuan Khusus

I.3.2.1. Untuk mengetahui hubungan antara jenis obat anti epilepsi dengan kognitif pada pasien epilepsi di RSUP H. Adam Malik.

1.3.2.2. Untuk mengetahui hubungan antara jenis obat anti epilepsi dengan behavior pada pasien epilepsi di RSUP H.Adam Malik

I.3.2.3. Untuk mengetahui hubungan antara jumlah obat anti epilepsi dengan kognitif pada pasien epilepsi di RSUP H.Adam Malik.

I.3.2.4. Untuk mengetahui hubungan antara jumlah obat anti epilepsi dengan behavior pada pasien epilepsi di RSUP H.Adam Malik.

I.3.2.5. Untuk mengetahui hubungan antara durasi konsumsi obat anti epilepsi dengan kognitif pada pasien epilepsi di RSUP H.Adam Malik.

I.3.2.6. Untuk mengetahui hubungan antara durasi konsumsi obat anti epilepsi dengan behavior pada pasien epilepsi di RSUP H.Adam Malik.

I.3.2.7. Untuk mengetahui karakteristik demografi (umur, jenis kelamin, pendidikan), onset dan tipe bangkitan epilepsi, variabel obat anti


(33)

epilepsi (jenis, dosis dan jumlah OAE) pada pasien epilepsi di RSUP H.Adam Malik Medan.

I.4. HIPOTESIS

Terdapat hubungan antara obat anti epilepsi dengan kognitif dan behavior pada pasien epilepsi.

I.5. MANFAAT PENELITIAN

I.5.1. Manfaat penelitian untuk ilmu pengetahuan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi secara keilmuwan tentang hubungan antara obat anti epilepsi dengan kognitif dan behavior pada pasien epilepsi, dimana perlunya pemeriksaan fungsi kognitif dan behavior secara berkala.

I.5.2. Manfaat penelitian untuk penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya tentang hubungan antara obat anti epilepsi dengan kognitif dan behavior secara farmakologi.


(34)

Dengan mengetahui hubungan antara obat anti epilepsi dengan kognitif

dan behavior bisa menjadi dasar pertimbangan dalam pemilihan jenis

obat anti epilepsi demi tercapai kualitas hidup penderita yang lebih baik.

BAB II


(35)

Dengan mengetahui hubungan antara obat anti epilepsi dengan kognitif

dan behavior bisa menjadi dasar pertimbangan dalam pemilihan jenis

obat anti epilepsi demi tercapai kualitas hidup penderita yang lebih baik.

BAB II


(36)

II.1. FUNGSI KOGNITIF

Kognitif berasal dari bahasa latin ”cognoscere” yang artinya

together

(co) dan

know

(nos). Kognitif termasuk sebagai sifat sensasi,

berpikir, persepsi,

arousal

dan kesadaran.(Whitehouse, 2006)

Fungsi Kognitif adalah merupakan aktivitas mental secara sadar

seperti berpikir, mengingat, belajar, dan menggunakan bahasa. Fungsi

kognitif juga merupakan kemampuan atensi, memori, pertimbangan,

pemecahan masalah, serta kemampuan eksekutif seperti merencanakan,

menilai, mengawasi, dan melakukan evaluasi.(Strub dkk, 2000; Rizzo dkk,

2004).

Fungsi kognitif terdiri dari :

1. Atensi

Atensi merupakan kemampuan untuk bereaksi atau memperhatikan satu stimulus tertentu (spesifik) dengan mampu mengabaikan stimulus lain baik internal atau eksternal yang tidak dibutuhkan. Setelah menentukan kesadaran, pemeriksaan atensi harus dilakukan saat awal pemeriksaan neurobehavior karena pemeriksaan modalitas kognitif lainnya sangat dipengaruhi oleh atensi yang cukup terjaga. (Rizzo dkk, 2004)

Atensi dan konsentrasi sangat penting dalam mempertahankan fungsi kognitif, terutama dalam proses belajar. Gangguan atensi dan konsentrasi akan mempengaruhi fungsi kognitif lain seperti memori, bahasa dan fungsi eksekutif. Gangguan atensi dapat berupa dua kondisi klinik berbeda. Pertama ketidakmampuan mempertahankan atensi maupun atensi yang terpecah atau


(37)

tidak atensi sama sekali, dan kedua inatensi spesifik unilateral terhadap stimulus pada sisi tubuh kontralateral lesi otak.(Rizzo dkk, 2004)

2. Bahasa

Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi dan modalitas dasar yang membangun kemampuan fungsi kognitif. Oleh karena itu pemeriksaan bahasa harus dilakukan pada awal pemeriksaan neurobehavior. Jika terdapat gangguan bahasa, pemeriksaan kognitif seperti memori verbal, fungsi eksekutif akan mengalami kesulitan atau tidak mungkin dilakukan.(Rizzo dkk, 2004)

Gangguan bahasa (afasia) sering terlihat pada lesi otak fokal maupun difus, sehingga merupakan gejala patognomonik disfungsi otak. Penting bagi klinikus untuk mengenal gangguan bahasa karena hubungan yang spesifik antara sindroma afasia dengan lesi neuroanatomi. Kemampuan berkomunikasi menggunakan bahasa penting, sehingga setiap gangguan berbahasa akan menyebabkan hendaya fungsional.(Rizzo dkk, 2004)

3. Memori

Memori adalah proses bertingkat dimana informasi pertama kali harus dicatat dalam area korteks sensorik kemudian diproses melalui sistem limbik untuk terjadinya pembelajaran baru. Secara klinik memori dibagi menjadi tiga tipe dasar : immediate, recent, dan remote memory berdasarkan rentang waktu antara stimulus dan recall (Rizzo dkk, 2004)

a. Immediate memory merupakan kemampuan untuk merecall stimulus dalam interval waktu beberapa detik.


(38)

b. Recent memory merupakan kemampuan untuk mengingat kejadian sehari-hari (misalnya tanggal, nama dokter, apa yang dimakan saat sarapan, atau kejadian-kejadian baru) dan mempelajari materi baru serta mencari materi dalam rentang waktu menit, jam, hari, bulan, tahun.

c. Remote memory merupakan rekoleksi kejadian yang terjadi bertahun tahun yang lalu (misalnya tanggal lahir, sejarah, nama teman).

Gangguan memori merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan pasien. Amnesia secara umum merupakan efek fungsi memori. Ketidak mampuan untuk mempelajari materi baru setelah brain insult disebut amnesia anterograd. Amnesia anterograd merujuk pada amnesia kejadian yang terjadi sebelum brain insult. Hampir semua pasien demensia menunjukkan masalah memori pada awal perjalanan penyakitnya. Tidak semua gangguan memori merupakan gangguan organik. Pasien depresi dan ansietas sering mengalami kesulitan memori. Amnesia psikogenik jika amnesia hanya pada satu periode tertentu, dan pada pemeriksaan tidak dijumpai defek pada recent memory.(Rizzo dkk, 2004)

4. Visuospasial

Kemampuan visuospasial dapat dievaluasi melalui kemampuan kontruksional seperti menggambar atau meniru berbagai macam gambar (misal : lingkaran, kubus) dan menyusun balok-balok. Semua lobus berperan dalam kemampuan konstruksi ini tetapi lobus parietal terutama hemisfer kanan


(39)

mempunyai peran yang paling dominan. Menggambar jam sering digunakan untuk skrining kemampuan visuospasial dan fungsi eksekutif dimana berkaitan dengan gangguan di lobus frontal dan parietal.(Rizzo dkk, 2004)

5. Fungsi Eksekutif

Fungsi eksekutif adalah kemampuan kognitif tinggi seperti cara berpikir dan kemampuan pemecahan masalah. Kemampuan eksekusi diperankan oleh lobus frontal, tetapi pengalaman klinis menunjukkan bahwa semua sirkuit yang terkait dengan lobus frontal juga menyebabkan sindroma lobus frontal. Diperlukan atensi, bahasa, memori dan visuospasial sebagai dasar untuk menyusun kemampuan kognitif. (Kolegium Neurologi Indonesia, 2008a )

Pemburukkan kognitif ada yang bersifat normal yang banyak ditemukan pada warga usia lanjut secara fisiologis karena faktor penuaan dan dianggap tidak ada hubungannya dengan Alzheimer, yang disebut forgetfulness. (Sjahrir,1999) Dan kondisi ini disebut juga Age-associated memory impairment, dimana salah satu kriteria diagnostik inti adalah usia paling sedikit 50 tahun. (Crook, 2006) Berbagai penelitian menemukan angka kejadian forgetfulness 39% pada usia 50-59 tahun. (Sjahrir, 1999) sedangkan menurut Thomas Crook angka kejadian Age-associated memory impairment adalah 46%.(Crook, 2006)

II.1.1. Assesmen kognitif

Beberapa instrumen skiring tersedia untuk membantu klinisi dalam penilaian status mental, yaitu:


(40)

Pemeriksaan dikembangkan pada pertengahan 1970-an oleh Folstein. Mini-mental state examination telah digunakan secara luas untuk literatur klinik atau epidemiologi sehingga MMSE merupakan instrumen skrining kognitif yang paling luas digunakan. Dimana lama tes ini hanya membutuhkan waktu sekitar 5 menit dan menilai enam domain yaitu: orientasi, bahasa, atensi/konsentrasi, working memory, memori jangka pendek dan constructional copy.(Rizzo dkk, 2004)

Sensitifitas MMSE untuk mendeteksi pemburukkan kognitif meningkat ketika skor cut-off (26-28) digunakan atau ketika dilakukan adjustment terhadap umur dan pendidikan. Walaupun skor cut-off untuk dementia secara umum adalah dibawah 24, skor median bervariasi tergantung umur dan lama pendidikan.(Fink, 2004)

Tabel 1. Skor median MMSE adjustment terhadap usia dan lama pendidikan.

Lama pendidikan

Usia (tahun)

18 - 69 70 – 79 > 79 Tingkat keempat 22 - 25 21 – 22 19 - 20

Tingkat kedelapan 26 - 27 25 23 - 25

Sekolah tingkat atas 28 - 29 27 25 - 26


(41)

Dikutip dari: Fink, Vivian. 2004. “Mild Cognitive Impairment : Pre-Alzheimers disease state provides opportunity for early detection and possible treatment”.

The Institute For medical Education Bulletin V(6):1-11

Sebuah studi yang dilakukan pada 473 orang sehat yang berumur lebih dari 15 tahun dengan latar belakang pekerjaan dan pendidikan yang beragam di Medan didapatkan skor median MMSE berdasarkan usia dan lama pendidikan sebagai berikut:(Sjahrir dkk, 2001)

Tabel 2. Skor median MMSE

Median

Lama pendidikan:

0 - 6 tahun 24

7 - 9 tahun 26

10 - 12 tahun 26

> 12 tahun 28

Usia:

< 20 tahun 27

21 - 30 tahun 28

31 - 40 tahun 28

41 - 50 tahun 26

51 - 60 tahun 27

> 60 tahun 21

Dikutip dari: Sjahrir, H., Ritarwan, K., Tarigan, S., Rambe, A.S., Lubis, I.D., Bhakti, I. 2001. “The Mini Mental State Examination in healthy individuals in Medan, Indonesia by age and education level”. Neurol J Southeast Asia;6:19-22


(42)

2. Digit span atau Digit repetition

Level dasar atensi pasien dapat dengan mudah ditentukan dengan menggunakan tes ini. Penampilan prima pada tes ini menjamin bahwa pasien mampu memusatkan perhatian terhadap stimulus verbal dan atensi terus-menerus untuk periode waktu yang dibutuhkan untuk mengulang deretan angka tersebut. Tes ini tidak dapat dilakukan pada pasien yang mengalami gangguan bahasa. Penilaian digit span berdasarkan berapa banyak angka yang dapat diulang dengan urutan yang benar. Pasien dengan intelegensia rata-rata dapat mengulang angka dengan akurat lima hingga tujuh angka tanpa kesulitan. Pasien non-retardasi mental tidak dapat mengulang lebih atau sama dengan lima mengindikasikan atensi kurang baik.(Strub dkk, 2000)

II.2. BEHAVIOR

Otak manusia merupakan suatu organ yang merupakan dasar apakah pikiran seseorang sehat, yang harus dikerjakan, merasakan, dan berpikir atau pada istilah yang lebih formal adalah pengalaman sensori kita, behavioral, affective dan kognitif. Dengan memproses stimulus eksternal kedalam impuls neuronal, sistem sensori menciptakan suatu representation internal dunia eksternal. Sistem motorik memampukan seseorang untuk mengerakkan (manipulate) lingkungan mereka dan untuk mempengaruhi behavior yang lain


(43)

melalui komunikasi. Pada otak, input sensori, representing dunia eksternal diintegrasikan dengan drivers stimulus internal, memori dan emosional di association units, dimana akan memberi umpan balik pada aktifitas motorik. Bila terjadi distorsi yang diintrodusir oleh psikopatologi pada fungsi asosiasi otak maka akan terjadi gangguan psikiatri.(Sadock dkk, 2007)

Behavior adalah respon total jiwa termasuk gerak hati, motivasi, hasrat,

drives, insting dan idaman seperti diekspresikan dengan tingkah laku seseorang dan aktivitas motorik (konasi), sedangkan emosi adalah suatu kompleks keadaan perasaan dengan komponen psikis, somatik dan perilaku yang berhubungan dengan afek dan mood.(Sadock dkk, 2007)

Kehidupan mental diekspesikannya secara kelihatan sebagai tingkah laku verbal dan gestural dan perubahan somatik dimana secara kolektif dihubungkan sebagai behavior. Tingkah laku gestural pada konteks ini mencakup behavior

non-verbal dan motorik. Behavior merupakan manisfestasi pikiran orang lain

maka ia jelas dapat diamati dan dinilai. Kognitif, emosi dan motivasi merupakan dasar kehidupan mental normal. Kognitif mengacu pada proses informasi, yang mana pengetahuan diperoleh, disimpan, dimanipulasi, didapat kembali dan digunakan oleh individu sebagai instrumen dan adaptasi dalam lingkungan yang kompleks. Mind dan behavior merupakan produk interaksi kompleks yang melibatkan sistem proyeksi neural regional dan yang luas.(Rizzo dkk, 2004)

Mood adalah suatu emosi yang meresap dan dipertahanan, yang dialami secara subjektif dan dilaporkan oleh pasien dan terlihat oleh orang lain, seperti depresi dan iritabel. Mood yang irritabel adalah dengan mudah diganggu atau


(44)

dibuat marah sedangkan depresi adalah perasaan kesedihan yang psikopatologis.(Sadock dkk, 2007)

Gejala emosi yang lain adalah ansietas yaitu perasaan ketakutan yang disebabkan oleh dugaan bahaya / anticipation of danger, yang mungkin berasal dari dalam atau luar.(Sadock dkk, 2007)

II.2.1. The Beck Scales

Dua buah inventori self-report ditulis oleh Aaron Beck memperoleh popularitas diseluruh dunia sebagai alat ukur yang informatif dan cocok aspek mood dan emosi. The beck Depression Inventory (BDI, 1987) memberikan suatu metode mudah dan cepat untuk mengukur beragam gejala dan keluhan depresi termasuk kognitif, behavioral dan masalah somatik. Beck Depression Inventory sangat berguna dalam menetapkan kehadiran dan keparahan keluhan depresi walaupun tidak memberikan informasi mengenai durasinya. The Beck Anxiety Inventory (BAI) merupakan paralel dalam bentuk terhadap BDI, dan berfokus khusus pada keluhan yang berhubungan dengan ansietas. Sama seperti BDI, BAI mudah dan cepat untuk dilakukan dan memberikan informasi yang berguna tentang pasien dan partisipan penelitian mengenai status terkini ansietas dan kerentanan umum terhadap ansietas.(Rizzo dkk, 2004)

The beck Depression Inventory adalah kuisioner self-rated, dimana kemungkinan tidak dapat dijawab oleh pasien dengan masalah pemahaman sedang hingga berat. Beberapa soal dalam skala, seperti penampilan diri sendiri,


(45)

kemampuan bekerja dan kekuatiran tentang kesehatan mungkin secara jelas dipengaruhi oleh keluhan kelainan neurologi.(Rizzo dkk, 2004)

II.3. EPILEPSI

II.3.1. Definisi

Epilepsi merupakan suatu kumpulan penyakit kompleks otak dimana melibatkan rentang lebar manifestasi klinis dan banyak variasi penyebabnya. International League Againts Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for

Epilepsy (IBE) menetapkan definisi epilepsi sebagai suatu kejadian sementara

gejala dan/atau keluhan yang berhubungan dengan aktifitas neuron berlebihan atau synchronous yang abnormal di otak. Walaupun terdapat perselisihan kecil dengan definisi ini, terdapat catatan berharga bahwa bangkitan epilepsi tidaklah sesederhana hasil langsung dari eksitasi yang meningkat.(Panayiotopoulos, 2010)

Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan epilepsi berulang berselang lebih dari 24 jam yang timbul tanpa provokasi. Sedangkan bangkitan epilepsi adalah manisfestasi klinik yang disebabkan oleh aktivitas listrik otak yang abnormal dan berlebihan dari sekelompok neuron. Manisfestasi klinik ini terjadi secara tiba-tiba dan sementara berupa perubahan perilaku yang stereotipik, dapat menimbulkan gangguan kesadaran, gangguan motorik, sensorik, otonom ataupun psikik. Sindrom epilepsi merupakan kumpulan gejala dan tanda klinik yang unik untuk suatu epilepsi.


(46)

Dikenal juga istilah penyakit epilepsi yang merupakan suatu keadaan patologik dengan satu etiologi yang spesifik.(Kelompok studi epilepsI, 2011).

II.3.2. Epidemiologi

Pada tahun 2004, WHO memperkirakan bahwa hampir 80% dari beban epilepsi di seluruh dunia ditanggung oleh sumber daya di negara miskin. Di negara maju, angka prevalensi seumur hidup untuk epilepsi berkisar 3,5-10,7 per 1.000 orang/tahun, dan rentang angka insiden 24-53 per 100.000 orang/tahun. Pada systemic review terkini, angka prevalensi seumur hidup untuk epilepsi aktif bervariasi 1,5 -14 per 1.000 orang/tahun di Asia, 5,1-57,0 per 1.000 orang/tahun di Amerika Latin, dan 5,2-74,4 per 1.000 orang/tahun di Afrika. Angka median prevalensi seumur hidup di Asia (6 per 1.000 orang/tahun) lebih rendah daripada di Afrika dan Amerika Latin (masing-masing 15 dan 18 per 1.000 orang/tahun). Angka insiden tahunan untuk epilepsi di Asia (29-60 per 100.000 orang/tahun) tidak berbeda secara signifikan dengan negara maju.(Meyer dkk, 2010)

Berapa banyak pasien epilepsi di Indonesia, sampai sekarang belum tersedia data hasil studi berbasis populasi. Bila dibandingkan dengan negara berkembang lain dengan tingkat ekonomi sejajar, probabilitas penyandang epilepsi di Indonesia sekitar 0,7-1,0% dan bila jumlah penduduk sekitar 220 juta maka 1,5-2 juta orang kemungkinan mengidap epilepsi dengan kasus baru 250.000 pertahun.(Hawari, 2012)

Hasil survei population-based ditemukan bahwa dua per tiga kasus diklasifikasikan sebagai idiopatik atau kriptogenik. Satu dari tiga orang dengan


(47)

bangkitan tunggal unprovoked akan mengalami bangkitan kedua diatas lima tahun berikutnya. Tanpa terapi, setelah bangkitan kedua, sekitar 75% akan mengalami bangkitan yang lain dalam satu atau dua tahun berikutnya. Epilepsi simtomatik mempunyai rasio mortalitas lebih tinggi dibanding epilepsi idiopatik.(Nadir dkk, 2005)

Bangkitan secara dependen umur, pola bimodal dengan puncak awal pada insiden selama tahun pertama kehidupan dan kemudian terus menerus meningkat pada insiden sekitar umur 60 tahun dimana jauh melebihi insiden pada semua golongan umur yang lain.(Hiba, 2010)

II.3.3. Klasifikasi

Klasifikasi yang dipakai adalah klasifikasi menurut ILAE, dimana terdiri dari dua macam klasifikasi, yaitu jenis bangkitan epilepsi dan sindrom epilepsi.(Kelompok studi epilepsi, 2011)


(48)

Tabel 3. Klasifikasi Epilepsi

Dikutip dari: Habibi, Mitra. 2009. Refractory Epilepsy. US Pharm. 34:8-14

II.3.4. Hubungan antara Epilepsi dengan Kognitif dan behavior

Pemburukkan kognitif dan behavior telah diobservasi sebagai konsekuensi adanya bangkitan. Adanya pemburukkan kognitif dan gangguan behavior sering berhubungan dengan kerusakkan struktur otak. Penting secara khusus pada epilepsi simtomatik dimana terdapat penyebab yang mendasari kerusakkan otak tersebut seperti trauma kepala, stroke atau alcoholism-related epilepsy. Kerusakkan otak juga dapat disebabkan oleh bangkitan kejang yang tidak terkontrol. (Aldenkamp dkk, 2005)

Lokalisasi fokus epilepsi juga merupakan faktor penting adanya penurunan kognitif atau gangguan behavior, misalnya, epilepsi lobus temporalis


(49)

sering berhubungan dengan defek memori dan epilepsi lobus frontalis dengan defisit fungsi eksekutif sedangkan masalah bahasa lebih sering terlihat pada epilepsi fokal dimana berlokasi pada hemisfer dominan. Berbeda dengan epilepsi umum idiopatik lebih jarang berhubungan dengan pemburukkan intelektual.(Aldenkamp dkk, 2005)

Umur saat onset juga tampaknya menjadi faktor yang krusial pada dampak epileps terhadap kognitif dan behavior , dimana onset bangkitan sebelum berumur 5 tahun tampaknya menjadi faktor resiko untuk IQ rendah sementara berbeda dengan keluhan behavior yang muncul pada late seizure onset.(Aldenkamp dkk, 2005)

Depresi interiktal merupakan keadaan yang biasa, namum prevalensi yang pasti belum diketahui. Tampaknya depresi cenderung timbul sekitar sepuluh tahun setelah onset epilepsi. Beragam faktor penyebab telah diajukan terhadap perkembangan depresi tetapi etiologinya kebanyakkan adalah multifaktorial. Riwayat keluarga depresi telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Beberapa studi menemukan depresi lebih sering pada penderita bangkitan parsial kompleks khususnya epilepsi lobus temporal.(Rizzo dkk, 2004)

II.4. OBAT ANTI EPILEPSI (OAE)

II.4.1. Sejarah Obat Anti Epilepsi

Sebelum obat anti epilepsi ditemukan dan dikembangkan, pengobatan epilepsi dengan pemberian obat herbal dan ekstrak hewan. Pada tahun 1857, Sir Charles Locock melaporkan kesuskesan penggunaan potassium bromide pada


(50)

pengobatan epilepsi. Pada tahun 1912, phenobarbital pertama kali digunakan untuk terapi epilepsi, dan 25 tahun berikutnya, 35 analog phenobarbital dipelajari sebagai antikejang. Pada tahun 1938, phenitoin ditemukan efektif melawan bangkitan pada kucing.(Porter dkk, 2001)

Antara 1935 dan 1960, langkah hebat diciptakan pada pengembangan model eksperimental dan metode untuk skrining dan tes obat ati epilepsi baru. Selama periode tersebut, 13 obat anti epilepsi dikembangkan dan dipasarkan. Menyusul pengumunan kewajiban untuk membuktikan drug efficacy pada tahun 1962, pengembangan obat anti kejang menurun dramatis, dan hanya sedikit obat baru yang ditemukan dan dipasarkan dalam 3 dekade berikutnya. Namun, serentetan komposisi obat baru bermunculan pada era tahun 1990-an.(Porter dkk, 2001)

Obat anti epilepsi sering dikelompokkan menjadi agen lama (berkembang sebelum tahun 1990-an) dan agen terbaru (dikenalkan selama tahun 1990-an atau kemudian). Dimana OAE agen lama/klasik adalah phenitoin (PHT), carbamazepine (CBZ), sodium valproat (VPA), phenobarbital (PB) dan benzodiazepine sementara agen terbaru adalah felbamate (FBM), gabapentin (GBP), lamotrigine (LTG), oxcarbazepine (OXC), topiramate (TPM), tiagabine (TGB), vigabatrin (VGB), zonisamide (ZNS), pregabalin (PGB) dan levetiracetam (LEV).(Sung-Pa dkk, 2008)


(51)

Hingga tahun 1990, 16 anti epilepsi telah ada, dan 13 diantaranya diklasifikasikan kedalam 5 kel. kimiawi, yaitu: barbiturat, hydantoin, oxazolidinediones, succinimides dan acetylureas.(Porter dkk, 2001)

Gambar 1. Struktur kimiawi obat anti epilepsi.

Dikutip dari: Lullmann, H., Mohr, K., Ziegler, A., Bieger, D. 2000. Color Atlas of Pharmacology. New York. Theme Stuutgart.

Obat anti epilepsi menunjukkan beberapa sifat farmakokinetik sama walaupun struktur dan sifat kimiawi lumayan berbeda. Walaupun, beberapa komposisi mudah larut hanya sedikit, absorbsi biasanya baik dengan 80-100% dosis sudah mencapai sirkukasi.(Porter dkk, 2001)


(52)

Tabel 4. Parameter farmakokinetik obat anti epilepsi.

Dikutip dari: Henry, J.C., Gross, R.A. 2008. ”Epilepsy”. Principles of drugs theraphy in Neurology. Johnston, Michael. New York. Oxford Univesity Press.

Untuk status penyakit dengan gangguan konsentrasi serum albumin (biasanya hipoalbunemia), dosis obat yang berikatan tinggi mungkin lebih pantas berdasarkan konsentrasi obat bebas. Dimana umumnya konsentrasi obat bebas tidak terganggu, konsentrasi total obat mungkin menurun menyebabkan klinisi menaikkan dosis; sementara peningkatan pada dosis akan menghasilkan level obat bebas lebih tinggi lagi dan kemungkinan akan terjadi toksisitas obat.(Porter


(53)

Tabel 5. Dosis obat anti epilepsi

Dikutip dari: Panayiotopoulos, C.P. 2010. Atlas of epilepsies. Springer-Verlag London Limited.

II.4.3. Mekanisme kerja Obat Anti Epilepsi

Pengelompokkan OAE berdasarkan neurobiologi dibagi menjadi:

a. Modulasi voltage gated ion channel atau membatasi cetusan yang lama bertahan (sustained repetitive neuronal firing) melalui blokage pada voltage dependent sodium channel.


(54)

c. Inhibisi eksitasi sinaptik atau memblokade neurotransmiter eksitatorik glutamatergik.(Porter dkk, 2001)

Tabel 6. Mekanisme kerja obat anti epilepsi

Dikutip dari: Panayiotopoulos, C.P. 2010. Atlas of epilepsies. Springer-Verlag London Limited.

Voltage gated ion channel (termasuk natrium, kalium dan kalsium) menentukan sub ambang perilaku listrik dari neuron, mengizinkan cetusan aksi potensial, mengatur respon pada signal sinaps, konstribusi pada pergeseran depolarisasi paroksismal, dan akhirnya perlu untuk melengkapi terjadinya letupan bangkitan. Sebagai tambahan, voltage gated ion channel merupakan elemen yang rumit pada pelepasan neurotransmiter sebagai syarat transmisi sinaps. Konsekuensinya, ada target kunci untuk obat anti epilepsi yang akan menghambat cetusan sinkronisasi dan penyebaran bangkitan. Inhibisi sinapsis dan eksitasi dimediasi oleh saluran regulasi neurotransmiter; saluran ini mengijinkan sinkronisasi gesekan neuron dan mengijinkan propagasi dari cetusan abnormal pada lokal yang jauh. Obat anti epilepsi yang memodifikasi neurotransmisi eksitasi dan inhibisi juga dapat menekan cetusan dan saat


(55)

mereka menghambat eksitasi sinaptik, mempunyai efek yang menonjol dalam penyebaran bangkitan.(Bittigau dkk. 2002)

Gambar 2. Aksi obat anti epilepsi pada inhibisi (A) dan eksitasi (B).

Dikutip dari : Stafstrom, C.E. 1998. The pathophysiology of epileptic seizure: a primer for pediatrician. Pediatrics in review. 19(10):342-35


(56)

Adverse effect obat anti epilepsi dapat dibagi berdasarkan sistem organ dan lebih secara kasar menjadi yang mempengaruhi susunan saraf pusat dan fungsinya dan yang mempengaruhi bagian tubuh lainnya. (Henry dkk, 2008).

Tabel 7. Adverse effect pemakaian obat anti epilepsi jangka panjang.

Dikutip dari: Panayiotopoulos, C.P. 2010. Atlas of epilepsies. Springer-Verlag London Limited.


(57)

Tabel 8. Efek kejiwaan dan behavior OAE.

Dikutip dari: Panayiotopoulos, C.P. 2010. Atlas of epilepsies. Springer-Verlag London Limited.

II.5. HUBUNGAN ANTARA OBAT ANTI EPILEPSI DENGAN KOGNITIF DAN BEHAVIOR

Pasien dengan epilepsi sering sekali mengalami disfungsi kognitif dan gangguan behavior. Beragam faktor dapat mempengaruhi kognitif pada epilepsi termasuk etiologi kejang, lesi serebral sebelum onset kejang, tipe kejang, umur saat onset kejang, frekuensi, durasi dan keparahan kejang, disfungsi fisiologi intraiktal dan interiktal, kerusakan struktur serebral disebabkan oleh kejang berulang atau memanjang, faktor hereditas, faktor psikososial dan sekuele


(58)

pengobatan epilepsi termasuk obat anti epilepsi (OAE) dan operasi epilepsi. Semua faktor yang saling berhubungan ini berkonstribusi membuat kompleksnya defisit kognitif. Pasien dan beberapa klinikus cenderung menyalahkan masalah kognitif pada OAE karena lebih dapat diidentifikasi dibandingkan dengan faktor lain. Stigma epilepsi dan ketakutan akan serangan kejang didepan umum dapat menyebabkan kepercayaan diri rendah, isolasi sosial dan depresi, semua ini dapat mempengaruhi negatif fungsi kognitif. Obat anti epilepsi dapat memberikan pengaruh buruk terhadap fungsi kognitif dengan menekan perangsangan neuronal atau mempertinggi neurotransmisi inhibitor. Efek utama kognitif obat anti epilepsi adalah menganggu atensi, kewaspadaan dan kecepatan psikomotorik tapi efek sekunder dapat bermanisfestasi pada fungsi kognitif yang lain seperti memori. Walaupun, penggunaan jangka panjang OAE dapat secara pasti mendatangkan disfungsi kognitif pada pasien epilepsi, efek kognitifnya yang berakhir hingga setahun lamanya tidak memberikan bukti yang menyakinkan sehubungan dengan masalah metodologi.(Sung-Pa Park, 2008 dan Ghaydaa 2009)

Kognitif dapat dipengaruhi secara kronik oleh obat anti epilepsi dengan mensupresi kemampuan eksibilitas neuronal atau peningkatan neurotansmiter inhibisi sehingga mengakibatkan pemburukkan atensi/konsentrasi, kewaspadaan dan gangguan kecepatan psikomotorik. Carbamazepine, asam valproat berhubungan dengan resiko yang lebih kecil terkena depresi dan dilain pihak dapat meningkatkan mood yang berhubungan dengan efek serotonergic pada obat ini.(Panaylotopoulos, 2010)


(59)

berdasarkan empiris, serangkaian kasus kecil atau laporan anekdot. Beberapa penelitian menyatakan adanya hubungan phenobarbital dengan efek samping iritabel dan perilaku agresif. Bettina, 2006)

Obat anti epilepsi memiliki keduanya efek negatif dan positif terhadap kognitif dan behavior. Obat anti epilepsi dapat meningkatkan kognitif dan behavior dimana berkaitan dengan pengurangan aktifitas kejang dan efek modulasi pada neurotransmiter dan efek psikotropi. Obat anti epilepsi mengurangi iritabilitas neuron dan meningkatkan inhibisi postsinaptik atau mengubah sinkronisasi jaringan saraf untuk menurunkan eksitabilitas neuron yang berlebihan terkait dengan perkembangan bangkitan dan penyebaran sekunder aktifitas epilepsi ke sekitar jaringan otak normal. Namun, pengurangan berlebihan eksitabilitas neuronal dapat mengakibatkan kecepatan motorik dan psikomotorik melambat, dan atensi buruk dan terganggu pengolahan memori, yang merupakan efek samping umum pada blokade sodium channel dan peningkatan aktivitas inhibisi GABAergik (Ghaydaa, 2009)

Suatu studi yang menilai kemunduran kognitif dengan menggunakan Sternberg test kemudian dilakukan fMRI menemukan bahwa working memory berhubungan dengan aktivasi spesifik korteks frontal dorsolateral, kortikal lainnya dan area thalamus juga teraktivasi saat melakukan tes tersebut termasuk korteks cingulate anterior yang berhubungan dengan fungsi eksekutif dan korteks parietal posterior berhubungan dengan attention. (Aldenkamp, 2005)

Beberapa obat anti epilepsi meningkatkan konsentrasi GABA di kortikal serebral terutama di lobus frontal. Disfungsi GABAergic di korteks prefrontal dapat menyebabkan mental slowing dan berikutnya penyebaran disfungsi ini ke


(60)

area dorsolateral termasuk area broca dapat sebagai penyebab pemburukkan produksi bahasa. Penggunaan obat anti epilepsi dengan aksi primer tidak pada GABAergic neurotransmission seperti lamotrigine dapat berhubungan dengan pemburukkan kognitif dan behavior yang lebih kecil. (Aldenkamp, 2005)

Terapi dengan obat anti epilepsi memberi efek terhadap behavior dan kejiwaan meskipun hubungan anatomi dan biokimiawi yang tepat belum dketahui sepenuhnya. Obat anti epilepsi secara umum diklasifikasikan oleh apakah mereka mempunyai efek positif dan negatif pada fungsi behavior dan kejiwaan. Kemungkinan efek negatif yaitu depresi (Levetiracetam, Tiagabine, Topiramat dan Vigabatrin), irritabilitas (Felbamate Levetiracetam dan Vigabatrin), hiperaktifitas & impulsif (Phenobarbital), aggresif (Lamotrigine, Phenobarbital, Topiramat dan Vigabatrin) dan psikosis (Levetiracetam dan Topiramat) sedangkan efek positif yaitu stabilisasi mood (Carbamazepine, Lamotrigine), anti-mania (Carbamazepine dan Asam valproat) dan menurunkan ansietas (Gabapentin, Phenobarbital dan Pregabaline). Efek obat anti epilepsi pada kejiwaan pasien dapat berhubungan dengan dosis atau idiosinkronisasi dan mungkin muncul secara bebas dari efeknya terhadap frekuensi bangkitan dan keparahan epilepsinya.(Panayiotopoulo, 2010)

Walaupun mekanisme bagaimana OAE dapat mempengaruhi behavior masih belum diketahui secara pasti. Namun, terdapat beberapa teori yang mendukung hal diatas. Phenitoin dapat menginduksi perburukkan fungsi behavior oleh karena penurunan aktifitas enzim asetilkolinesterase di hippokampus, serebellum dan korpus striatum. Efek phenobarbital terhadap behavior akibat penurunan pelepasan neurotransmiter dan eksitasi postsinaptik dengan cara


(61)

GABA. Efek carbamazepine terhadap behavior yang menguntungkan disebabkan beberapa faktor, yaitu: 1) Struktur CBZ yang mirip dengan tricyclic antidepresant, 2) Efek stabilisasi pada sistem limbik yang dimediasi oleh pelemahan neurotransmiter eksitatorik glutamanergik dan pengurangan

discharge neuronal paroksismal di sistem limbik. 3) Penuruanan turnover

dopamin dan norepinefrin, 4) Efek meningkat pada serotonin. Sedangkan efek asam valproat yang menguntungkan behavior adalah 1) Efek GABA-ergic dimana terjadi peningkatan neurotransmisi dan regulasi reseptor b GABA yang memodulasi aktifitas noradrenergik yang memegang peranan penting gangguan afek bipolar, 2) Pengurangan aktifitas glutamat dekarbosilase di korteks frontal, 3) Pengurangan GABA di cairan liquor serebri. (Kantoush dkk, 1998)

Obat anti epilepsi GABAergic dapat berhubungan dengan perkembangan sedasi, depresi, hiperaktiftas, agresif, impulsiveness dan gangguan tidur dan efek positifnya adalah anxiogenic dan anti-mania. Sedangkan obat anti-glutamatergic dapat sebagai anxiogenic dan anti depresan. Pada tahun 2008, US Food and Drug administration (FDA) mengeluarkan peringatan bahwa obat anti epilepsi dapat meningkatkan pikiran dan tindakan bunuh diri pada pasien-pasien epilepsi. Hal ini didasarkan pada studi meta-analysis yang mereka lakukan dimana pada sebelas penelitian secara konsisten ditemukan peningkatan resiko pikiran maupun tindakan bunuh diri.(Panayiotopoulos, 2010)


(62)

II.6. KERANGKA TEORI

EPILEPSI

OBAT ANTI EPILEPSI

MENINGKATKAN INHIBISI

MENGURANGI EKSITASI Loring, 2007

Penurunan irritability neuron memberikan efek behavior dan penurunan kognitif PENURUNAN

IRRITABILITY

Clare, 2011

Penurunan kognitif & gangguan behavior → menurunkan kualitas hidup pasien. Ghaydaa, 2009

Buruk → digit forward, immeddiate memory. Durasi OAE → memori objek

Sung-Pa, 2008

Studi paralel pada onset baru epilepsi → sedikit perubahan kognitif setelah di th/ OAE.

Palanisamy dkk, 2011 MMSE lebih buruk pada pasein epilepsi telah th/

Perucca dkk, 2011 Tidak terdapat perbedaan adverse effect profile signifikan setelah pasien epilepsi diterapi OAE.

Loring & Meador, 2009

Marco, 2009 Depresi, psikosis, ansietas dan perubahan prilaku. Loring dan Meador, 2009

CBZ, PHT → gangguan memori

Hiba dkk, 2010 Gangguan psikiatri 2 - 4,9%.

Carbamazepine tidak menyebabkan gangguan psikiatri.

Asam valproat → Kognitif


(63)

II.7. KERANGKA KONSEP

Olubunmi, 2005 PB→ Skor buruk memori

Olubunmi, 2005 CBZ & PHT→ menurunkan atensi. Elger, 2008

↓ kognitif rendah → VPA.

↓ kognitif tinggi → CBZ, PB, PHT

Elger, 2008

Depresi rendah → CBZ Depresi tinggi → PB

Panaylotopoulos, 2010 CBZ & PHT → resiko lebih kecil terkena depresi & meningkatkan mood Hiba dkk,

2010 GBP → psikiatri

Epilepsi


(64)

Kognitif


(65)

BAB III

METODE PENELITIAN

III.1. TEMPAT DAN WAKTU

Penelitian dilakukan di Departemen Neurologi FK-USU/RSUP H. A. Malik Medan dari tanggal 10 September 2012 s/d 31 Desember 2012.

III.2. SUBJEK PENELITIAN

Subjek penelitian diambil dari populasi pasien rumah sakit. Penentuan subjek penelitian dilakukan menurut metode sampling non random secara konsekutif.

III.2.1. Populasi sasaran

Semua pasien epilepsi yang ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan EEG dan telah mengkonsumsi obat anti epilepsi.


(66)

III.2.2. Populasi terjangkau

Semua pasien epilepsi yang ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan EEG yang datang berobat jalan ke poliklinik Neurologi RSUP H. A. Malik, Medan.

III.2.3. Besar sampel

Besar sampel dihitung menurut rumus : (Madiyono dkk, 2008)

n

(

)

( )

(

)

(

)

(

)

2 2 2 1 2 2 1 1 1 2 1

1

1

1

2

P

P

P

P

P

P

Z

P

P

Z

+

+

−     

 −α β

dimana:       − 2 1 α

Z = 1,96

(1−β)

Z = 1,282

1

P= Proporsi sasaran = 0,01

2

1 P

P − = beda proporsi yang bermakna = 0,25

2

P = proporsi yang diteliti, diperkirakan = 0,26

135

,

0

2

26

,

0

01

,

0

2

2

1

+

=

+

=

=

P

P


(67)

Maka:

n

(

(

)(

)

(

)

(

)

)

(

)

2 2

25

,

0

26

,

0

1

26

,

0

01

,

0

1

01

,

0

282

,

1

135

,

0

1

135

,

0

2

96

,

1

+

+

n

Dibutuhkan sampel minimal sebesar 36 pasien epilepsi.

≥ 36

III.2.4. Kriteria Inklusi

1. Penderita epilepsi umum idiopatik yang berobat jalan ke poliklinik Neurologi RSUP H. Adam Malik Medan.

2. Penderita telah mengkonsumsi obat anti epilepsi minimal 4 minggu (1 bulan) baik monoterapi maupun politerapi.

3. Pada pemeriksaan status neurologis didapat dalam batas normal. 4. Dapat membaca dan menulis serta dapat berbahasa Indonesia. 5. Memberikan persetujuan untuk ikut serta dalam penelitian ini.

III.2.5. Kriteria Ekslusi

1. Penderita epilepsi dengan usia > 50 tahun

2. Riwayat stroke, infeksi otak, trauma kapitis sedang dan berat. 3. Riwayat hipertensi, diabetes melitus, kanker.


(1)

Jawaban :

 Abstrak yang berbahasa inggris telah dikoreksi. (halaman xviii)

Sternberg test adalah pemeriksaan fungsi kognitif dengan menggunakan fungsional MRI berkecepatan tinggi dimana pencitraaan dilakukan bersamaan dengan saat pasien sedang proses berpikir working memory.

 Belum ada data tentang kejadian bunuh diri akibat penggunaan OAE.

 Pada hal. 35 tercantum rentang waktu pengumpulan data sampel penelitian sedangkan pada hal.45 adalah rentang waktu penelitian ini, mulai dari persiapan proposal, pengumpulan sampel hingga pengolahan data dan penyajian hasil penelitian.

 Pasien umur diatas 50 tahun di ekslusikan karena pada usia diatas 50 tahun sudah dapat terjadi forgetfullness sehingga akan membiaskan pemeriksaan fungsi kognitif.

 Riwayat stroke disingkirkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik dan riwayat obat-obatan berdasarkan dari anamnesis pasien.

Statistical Product and Science Service atau SPSS adalah suatu sistem software analisa statistik.

(Dr. Darlan Djali, SpS)

7. Dr. Khairul P. Surbakti, SpS

Pertanyaan :

 Diantara beragam obat anti epilepsi, obat mana yang berhubungan dengan kognitif dan behavior?


(2)

Jawaban :

 Obat anti epilepsi yang menganggu fungsi kognitif adalah phenobarbital, phenytoin dan asam valproat. Pengaruh OAE terhadap behavior bisa psikotropik positif ataupun negatif. Efek positif OAE terhadap behavior adalah carbamazepine (stabilisasi mood dan anti-mania), phenobarbital (anxiolitik) dan asam valproat (anti-mania). Efek negatif OAE adalah felbamate (ansietas), levetiracetam (depresi dan psikosis), tiagabine, topiramate,vigabatrine dapat menyebabkan depresi. (halaman 29,32,33)

 Obat anti epilepsi akan mengurangi iritabilitas neuron dan meningkatkan inhibisi postsinaptik atau mengubah sinkronisasi jaringan saraf untuk menurunkan eksitabilitas neuron, dimana pengurangan berlebihan eksitabilitas neuronal ini dapat mengakibatkan kecepatan motorik dan psikomotorik melambat, dan atensi buruk dan terganggu pengolahan memori, yang merupakan efek samping umum pada blokade sodium channel dan peningkatan aktivitas inhibisi GABAergik. Sedangkan terhadap behavior, OAE GABAergic dapat dihubungan dengan perkembangan sedasi, depresi, hiperaktiftas, agresif, impulsiveness dan gangguan tidur dan efek positifnya adalah anxiogenic dan anti-mania. Sedangkan obat anti-glutamatergic dapat sebagai anxiogenic dan anti depresan. (halaman 33).


(3)

8. Dr. Puji Pinta O. Sinurat, SpS

Pertanyaan :

 Narasi pada hal.42 dan 44 harus diperhatikan, ini adalah hasil bukan proposal, jadi narasi “akan dilakukan” sebaiknya diganti dengan “dilakukan”

 Pada tinjauan kepustakaan terdapat pernyataan tentang beragam faktor yang dapat mempengaruhi kognitif, apakah semua itu sudah dicakup pada penelitian ini? Jika belum, hal tersebut bisa dijadikan sebagai keterbatasan (limitation) pada penelitian ini.

Jawaban :

 Narasi pada hal 42 dan 44 telah diperbaiki.

 Telah dicantumkan keterbatasan penelitian ini pada hal. 68

(Dr. Puji Pinta O. Sinurat, SpS)

9. Dr. Cut Aria Arina, SpS

Pertanyaan:

 Pada hal.47, mengapa jumlah persen tipe bangkitan lebih dari 100%?

 Pada bab kesimpulan, no. 5 dan 6 hasinya sama, mengapa tidak digabungkan saja?

Jawaban:

 Terjadi kesalahan pengetikkan, sudah diperbaiki pada hal. 47

 Hubungan antara dosis OAE dengan kognitif dan behavior sudah ditiadakan atau tidak perlu dibahas karena dosis berada dalam rentang dosis normal.


(4)

10. Dr. Aida Fithrie, SpS

Pertanyaan:

 Pada hal. 46 dan halaman lainnya, sebaiknya nilai rerata dan SD tidak perlu dituliskan karena tidak lazim.

 Pada tabel 11 dan 14, apa perbedaan tabel asam valproat dan Phenitoin+carbamazepine dengan tabel monoterapi dan politerapi?  Pada pembahasan di hal. 70, terdapat perbedaan hasil penelitian

ini dengan penelitian yang dilakukan Shehata, mengapa tidak ada penjelasan lebih lanjut mengapa terjadi perbedaan hasil diantara kedua penelitian ini.

Jawaban:

 Kata-kata ‘nilai rerata dan SD telah dihapuskan pada semua isi tesis ini.

 Pada tabel 11 dan 13 terdapat sel yang berisi asam valproat dan phenitoin+carbamazepine, disini terjadi penggabungan antara sel phenitoin dengan sel carbamazepine sedangkan pada sel monoterapi adalah sampel yang mengkonsumsi satu obat saja dengan OAE apapun dan sel politerapi adalah sampel yang mengkonsumsi lebih dari satu jenis OAE.

 Penjelasan lebih lanjut telah ditambahkan di hal. 68

Saran:

 Tabel 11 dan tabel 13, sebaiknya diganti agar tidak ada penggabungan sel, serta mencari uji statistik yang sesuai dan sudah diperbaiki pada hal. 53 dan 57.


(5)

11. Dr. Irina Kemala Nasution, SpS

Pertanyaan:

 Pada tabel 12, mengapa dosis dan rentang obatnya berbeda-beda?  Mengapa dosis OAE tidak diseragamkan?

Jawaban:

 Dosis dan rentang OAE berbeda karena nilai tersebut dihitung berdasarkan hasil MMSE dan digit span yang normal atau terganggu serta hasil BDI dan BAI minimal, ringan, sedang maupun berat.

 Dosis tidak bisa diseragamkan karena pada metode pengumpulan sampel diambil tidak berdasarkan dosis tapi berdasarkan apakah pasien telah mengkonsumsi OAE minimal 4 minggu dengan dosis berapapun.

(Dr. Irina Kemala Nasution, SpS)

12. Dr. Haflin Soraya Hutagalung, SpS

Pertanyaan:

 Mohon dikoreksi penulisan carbamazipine menjadi carbamazepine.  Mohon dikoreksi pembacaan tabel 10 dan grafik 1 tidak sesuai

dengan topik pembahasanya.

 Pada bab ‘Pembahasan’ kata “bln” dipanjangkan menjadi “bulan”.  Pada bab ‘Kesimpulan’ no.7 tidak terdapat hubungan antara durasi

konsumsi OAE dengan gangguan kognitif dan behavior kecuali Phenitoin, namun pada bab pembahasan kurang dijelaskan mengapa. Mohon ditambahkan pembahasan mengapa hanya durasi phenitoin yang terdapat berhubungan.


(6)

Jawaban:

 Telah dilakukan perbaikan pada semua tulisan carbamazipine menjadi carbamazepine.

 Pada hal 46 sudah diperbaiki menjadi tabel 10 dan gambar 8.  Sudah dilakukan perbaikan tulisan pada bab pembahasan.  Pembahasan tentang phenitoin sudah ditambahkan pada hal. 68

(Dr. Haflin Soraya Hutagalung, SpS)

13. Dr. Fasihah Irfani Fitri, SpS

Pertanyaan:

 Pada bab ‘Saran’ pada no.1: Tool apa yang bisa digunakan untuk menilai masing-masing domain pada kognitif dan behavior?

Jawaban:

 Instrument yang dapat menilai domain kognitif dan behavior , yaitu Stanford-Binet-4th ed (vocabulary, absurdities, verbal, memory objek, beam memory, memori jangka pendek nonverbal & verbal, memori untuk digit forward), Aggressive scale, Eysenck Personality questionnaire, MMPI (Minnesota multiphasic personality inventory).