Nilai Kecernaan Tepung Limbah Ikan Gabus Pasir (Butis amboinensis) Dengan Berbagai Teknik Pengolahan Pada Itik Peking Umur 8 Minggu

(1)

NILAI KECERNAAN TEPUNG LIMBAH IKAN GABUS PASIR

(

Butis amboinensis

) DENGAN BERBAGAI TEKNIK

PENGOLAHAN PADA ITIK PEKING UMUR 8 MINGGU

SKRIPSI

Oleh:

ASIMA MINDO SAMORA SIAHAAN 100306070

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

NILAI KECERNAAN TEPUNG LIMBAH IKAN GABUS PASIR

(

Butis amboinensis

) DENGAN BERBAGAI TEKNIK

PENGOLAHAN PADA ITIK PEKING UMUR 8 MINGGU

SKRIPSI

Oleh:

ASIMA MINDO SAMORA SIAHAAN 100306070

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

Judul Penelitian :Nilai Kecernaan Tepung Limbah Ikan Gabus Pasir (Butis amboinensis) Dengan Berbagai Teknik Pengolahan Pada Itik Peking Umur 8 Minggu

Nama : Asima Mindo Samora Siahaan

Nim : 100306070

Program Studi : Peternakan

Disetujui Oleh: Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hasnudi, MS Ir. Armyn Hakim Daulay, MBA

Ketua Anggota

Mengetahui:

Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si Ketua Program Studi Peternakan


(4)

ABSTRAK

ASIMA MINDO SAMORA SIAHAAN, 2015: “Nilai Kecernaan Tepung Limbah Ikan Gabus Pasir (Butis amboinensis) Dengan Berbagai Teknik Pengolahan Pada Itik Peking Umur 8 Minggu”, dibimbing oleh HASNUDI dan ARMYN HAKIM DAULAY.

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi Ternak, Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara dan Laboratorium Ilmu Dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, IPB dari bulan Oktober sampai dengan November 2014. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengolahan limbah ikan gabus pasir (Butis amboinensis) terhadap kecenaan bahan kering, bahan organik, dan protein kasar. Rancangan yang digunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 6 ulangan, setiap ulangan terdiri dari 2 ekor itik peking. Perlakuan terdiri dari P0= dengan metode pengeringan alami, P1= metode pengukusan, P2= metode silase.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode pengolahan limbah ikan gabus pasir (Butis Amboinensis) mempengaruhi nilai kecernaan pada itik peking umur 8 minggu. Dari hasil penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa Metode pengukusan dapat meningkatkan kualitas nutrisi pakan dan meningkatkan daya cerna pakan yaitu Kecernaan Bahan kering (86.29), kecernaan bahan Organik (89,13) dan kecernaan protein (95.89). Hasil Penelitan ini menunjukkan perlakuan memberikan pengaruh yang sangat nyata (P>0.01) terhadap kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik dan kecernaan protein.


(5)

ABSTRACT

ASIMA MINDO SAMORA SIAHAAN, 2015: "Value Waste Fish Meal

digestibility Cork Sand (Butis amboinensis) With Various Processing Techniques At Peking Duck Age 8 Weeks", supervised by HASNUDI and ARMYN HAKIM DAULAY.

This research was conducted at the Laboratory of Animal Biology, Department of Animal Husbandry, Faculty of Agriculture, University of North Sumatra and Laboratory Animal Feed Science and Technology, Faculty of Animal Science, IPB from October to November 2014. This study aimed to determine the effect of fish waste processing granulated cork (Butis amboinensis) against kecenaan dry matter, organic matter and crude protein. The design used a completely randomized design (CRD) with three treatments and 6 replications, each replication consisted of 2 peking ducks. Treatment consists of P0 = the natural drying method, P1 = steaming method, P2 = method silage.

The results showed that the fish waste treatment method cork sand (Butis amboinensis) affect digestibility values in peking duck age of 8 weeks. From the results obtained it can be concluded that the steaming method can improve the nutritional quality of feed and improve the digestibility of feed that digestibility of dry material (86.29), organic matter digestibility (89.13) and protein digestibility (95.89). Research results showed that the treatment effect is highly significant (P> 0.01) in to the dry matter, organic matter digestibility and protein digestibility.


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pangururan, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 9 Mei 1992 dari Ayah Tigor Siahaan dan Ibu Tiarasi Simbolon. Penulis merupakan anak ke lima dari lima bersaudara.

Tahun 2004 penulis lulus dari SD Negeri 173737 Pangururan, Tahun 2007 lulus dari SMP Negeri 1 Pangururan, Tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Pangururan dan pada tahun yang sama masuk ke Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui ujian tertulis Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif dalam organisasi Ikatan Mahasiswa Peternakan (IMAKRIP).

Penulis melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL) di Balai Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih Kecamatan Galang Kabupaten Deli Serdang dimulai dari 15 juli sampai dengan 14 Agustus 2013.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul ”Nilai Kecernaan Tepung Limbah Ikan Gabus Pasir (Butis amboinensis) dengan Berbagai Teknik Pengolahan pada Itik Peking Umur 8 Minggu”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis yang telah membesarkan, memelihara dan mendidik penulis selama ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Hasnudi selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Armyn Hakim Daulay selaku anggota komisi pembimbing dan Ibu Tati Vidiana Sari selaku pembimbing di lapangan yang telah memberikan arahan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini sehingga dapat terlaksana dengan baik dan tepat pada waktunya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan kedepan. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih atas saran yang diberikan dan berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.


(8)

DAFTAR ISI

Hal.

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Hipotesis Penelitian ... 3

Kegunaan Penelitian... 3

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul Itik Peking... ... 4

Itik Peking... ... 4

Sistem Pencernaan Itik ... 5

Kebutuhan Nutrisi Itik Peking ... 6

Ransum Itik... ... 8

Konsumsi Ransum... ... 9

Ikan Gabus Pasir (Butis Amboinensis) ... 10

Teknik Pengolahan Bahan Pakan... ... 10

Metode Pengeringan Matahari ... 12

Metode Pengukusan ... 12

Metode Silase ... 13


(9)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian ... 17

Bahan dan Alat Penelitian ... 17

Bahan ... 17

Alat ... 17

Metode Penelitian... 18

Parameter Penelitian... 19

Pelaksanaan Penelitian... 19

Persiapan Kandang dan Peralatan.... ... 19

Random Itik Peking... ... 19

Pemeliharaan Itik Peking ... 20

Pembuatan Tepung limbah Ikan Gabus pasir... 20

Pengambilan Data.... ... 20

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengukuran Kecernaan Bahan Kering ... 21

Pengukuran Kecernaan Bahan Organik ... 23

Pengukuran Kecernaan Protein ... 26

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 30

Saran ... 30

DAFTAR PUSTAKA ... 31


(10)

DAFTAR TABEL

No Hal.

1. Persyaratan Mutu Pakan Itik Ras Pedaging Masa Akhir... ... 6

2. Spesifikasi Persyaratan Mutu Tepung Ikan ... 11

3. Analisis Sidik Ragam Bahan Kering ... 22

4. Analisis Sidik Ragam Bahan Organik ... 24


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal.

1. Pembuatan TLIGP dengan metode pengeringan alami ... 31

2. Pembuatan TLIGP dengan metode pengukusan ... 32

3. Pembuatan TLIGP dengan metode silase ... 33

4. Rataan Nilai Kecernaan Bahan Kering Itik Peking Umur 8 Minggu ... 34

5. Analisis Sidik Ragam Kecernaan Bahan Kering ... 34

6. Uji Duncan Kecernaan Bahan Kering ... 34

7. Rataan Nilai Kecernaan Bahan Organik Itik Peking Umur 8 Minggu ... 35

8. Analisis Sidik Ragam Kecernaan Bahan Organik ... 35

9. Uji Duncan Kecernaan Bahan Organik ... 35

10. Rataan Nilai Kecernaan Protein Itik Peking Umur 8 Minggu ... 36


(12)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal.

1. Histogram Nilai Rataan Kecernaan Bahan Kering ... 21

2. Histogram Nilai Rataan Kecernaan Bahan Organik ... 24

1. Histogram Nilai Rataan Kecernaan Protein ... 26

2. TLIGP dengan metode Pengeringan Alami ... 37

3. TLIGP dengan metode Pengukusan ... 37


(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemenuhi kebutuhan hewani saat ini tidak hanya dari sektor peternakan sapi potong saja namun juga dari sektor peternakan unggas yang sudah lebih dahulu berkembang pesat di Indonesia. Usaha ternak unggas merupakan salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan protein hewani.

Itik merupakan ternak non ruminansia yang hanya mempunyai lambung tunggal. Paruh yang dimiliki itik berfungsi untuk melumatkan pakan sehingga daya cerna itik terhadap ransumnya lebih rendah 10% dari ternak lainnya (Kartadisastra, 1994), sehingga diperlukan bahan pakan yang mempunyai nilai kecernaan tinggi.

Demi menjamin kebutuhan protein hewani pada masyarakat yang berkesinambungan maka produksi asal ternak juga harus tersedia dengan cukup. Namun penyediaan produksi asal ternak tersebut masih mengalami banyak kendala diantaranya adalah bahan baku ransum ternak yang mahal terutama pada ransum ternak unggas.

Wilayah Belawan merupakan sentra pelabuhan yang besar di Sumatera Utara, termasuk sentra perikanan yang sangat besar dan luas. Jarak antara kota Belawan dan kota Medan sekitar ±20 km yang dapat ditempuh dengan kendaraan pribadi maupun angkutan umum. Pelabuhan belawan juga banyak membangun Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di pesisir pantai. Salah satu limbah hasil samping dari adanya tempat pelelangan ikan adalah limbah isi perut ikan gabus pasir (Butis amboinensis) limbah ini banyak terdapat di TPI sekitar pelabuhan Belawan


(14)

dan belum dimanfaatkan secara optimal. Pada umumnya yang dimanfaatkan hanya daging ikan saja yaitu untuk industri pembuatan bakso ikan.

Produksi limbah ikan gabus pasir dapat mencapai 7 ton/Minggu ini merupakan suatu potensi yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak sumber protein. Bahan pakan sumber protein dalam ransum ternak yang umumnya digunakan adalah tepung ikan yang biayanya relatif mahal, sehingga pengolahan limbah ikan gabus pasir diharapkan dapat menjadi alternatif sumber protein pada ransum ternak unggas.

Kecernaan suatu bahan pakan merupakan pencerminan dari tinggi rendahnya nilai manfaat dari bahan pakan tersebut. Apabila kecernaannya rendah maka nilai manfaatnya rendah pula sebaliknya apabila kecernaannya tinggi maka nilai manfaatnya tinggi pula. Demikian juga pada limbah ikan gabus pasir. Pada umumnya bahan pakan sumber protein mempunyai nilai kecernaan yang baik, tetapi data kecernaan untuk limbah ikan gabus pasir belum tersedia. Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul “nilai kecernaan tepung limbah ikan gabus pasir (Butis amboinensis) dengan berbagai teknik pengolahan pada itik peking umur 8 minggu”.


(15)

Tujuan Penelitian

Mengetahui nilai kecernaan tepung limbah ikan gabus pasir (Butis amboinensis) dengan berbagai teknik pengolahan yaitu metode pengeringan

alami, metode pengukusan dan metode silase pada itik peking umur 8 minggu.

Hipotesis Penelitian

Teknik pengolahan tepung limbah ikan gabus pasir (Butis amboinensis) dengan metode pengkusan dapat meningkatkan kecernaan protein, kecernaan bahan kering dan bahan organik pada itik peking umur 8 minggu.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi peneliti, peternak itik peking dan masyarakat tentang nilai kecernaan tepung limbah ikan gabus pasir (Butis amboinensis) dengan berbagai teknik pengolahan yaitu pengeringan alami, metode pengukusan dan metode silase pada itik peking umur 8 minggu dan dapat digunakan sebagai bahan penulisan skripsi yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.


(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Asal Usul Ternak Itik

Itik merupakan bangsa ternak unggas air dengan klasifikasi sebagai berikut: Kelas: aves, Ordo: Anseriformes, Famili: Anatidae, Sub Famili: Anatinae, Genus: Anas, Spesies: Anas Plathyrynchos. Lebih banyak spesies itik liar yang hidup di alam liar diseluruh dunia, antara lain adalah Mallard, Pintial dan Wood duck. Para ahli berpendapat bahwa ternak itik domestikasi yang kita kenal saat ini merupakan keturunan dari itik liar yang bernama ‘Mallard’ (Anas plathyrynchos) yang banyak tersebar diseluruh belahan dunia. Dalam kehidupan dialam liar, itik pejantan dan itik betina hanya berkumpul di musim kawin saja. Setelah musim kawin selesai, itik betina siap bertelur didalam sarang yang telah dipersiapkan dari daun-daun. Itik jantan lalu meninggalkan itik betina dan bergabung dengan itik jantan lainnya, induk yang ditinggalkan akan mengerami telurnya sampai menetas dan merawat anak-anaknya (Srigandono, 1997).

Itik Peking

Itik peking didatangkan dari Cina ke Amerika Serikat pada tahun 1870, merupakan bangsa itik pedaging yang paling disukai di Amerika Serikat dan Australia (Blade dan Blackely, 1991).

Itik peking bukanlah suatu bangsa itik yang cocok untuk petelur melainkan lebih cocok jika bangsa itik ini diternakkan dan diambil dagingnya. Sebagai bangsa unggas air, itik peking memiliki kelebihan sebagai ternak pedaging sehingga banyak peternak yang memelihara itik jenis ini. Kelebihan dari itik


(17)

peking adalah: pertumbuhan yang cepat, mudah untuk dipelihara, biaya produksi yang hemat dan tahan terhadap penyakit (Marhijanto, 1993).

Sifat khusus dari itik peking adalah memiliki bulu yang agak melengkung ke atas dibagian belakang leher. Itik peking betina lebih kecil badannya dan bulu yang melengkung dibagian leher lebih pendek dibandingkan dengan jenis jantan, itik ini mampu hidup dengan baik ditempat yang kurang airnya (Djanah, 1983).

Sistem Pencernaan Itik

Kemampuan adaptasi saluran pencernaan berdasarkan atas fungsi fisiologis tergantung pada pasokan nutrisi yang diberikan pada periode perkembangan awal setelah menetas. Status nutrisi dan pola pemberian ransum dapat memodifikasi fungsi saluran pencernaan (Zhou et al., 1990).

Pencernaan adalah penguraian makanan ke dalam zat-zat makanan dalam saluran pencernaan untuk dapat diserap dan digunakan oleh jaringan-jaringan tubuh (Anggorodi, 1985). Itik merupakan ternak non ruminansia yang artinya ternak yang mempunyai lambung sederhana atau monogastrik. Pada umumnya bagian-bagian penting dari alat pencernaan adalah mulut, fariks, esofagus, lambung, usus halus dan usus besar. Makanan yang bergerak dari mulut sepanjang saluran pencernaan oleh gerakan peristaltik yang disebabkan karena adanya kontraksi otot di sekeliling saluran (Tillman et al., 1991).

Seperti kita ketahui bahwa itik tidak mempunyai gigi untuk mengunyah ransum sebagaimana ternak lainnya, namun punya paruh yang dapat melumatkan makanan. Oleh karena itu, daya ternak itik terhadap ransumnya lebih rendah 10 % dari pada ternak lain (Kartadisasta, 1994).


(18)

Pencernaan secara mekanik tidak terjadi didalam mulut melainkan di gizzard (empedal) dengan menggunakan batu-batu kecil yang sengaja dimakan, lalu dimasukkan kedalam usus halus. Disini terjadi proses penyerapan pencernaan dengan menggunakan enzim-enzim pencernaan yang disekresikan oleh usus halus seperti cairan duodenum, empedu, pankreas dan usus. Didalam usus besar terjadi proses pencernaan yang dilakukan oleh jasad renik yang berfungsi sebagai penghancur protein yang tidak dapat diserap oleh usus halus (proelitik) (Tillman et al., 1991).

Di dalam empedal bahan-bahan makanan mendapat proses pencernaan secara mekanik. Partikel-partikel yang besar secara mekanik akan diperkecil dengan tujuan memudahkan proses pencernaan enzimatis didalam saluran pencernaan berikutnya. Untuk memudahkan proses pencernaan mekanis maupun enzimatis dalam mempersiapkan ransum banyak dilakukan dengan menggiling bahan-bahan ransum tersebut (Parakkasi, 1990).

Itik tidak mengeluarkan urin cair, urin pada unggas mengalir kedalam kloaka dan dikeluarkan bersama-sama feses. Warna putih yang terdapat dalam ekskreta itik yaitu nitrogen urine mamalia kebanyakan adalah urea. Saluran pencernaan yang relatif pendek pada unggas digambarkan pada proses pencernaan cepat (lebih kurang empat jam) (Anggorodi, 1985).

Kebutuhan Nutrisi Itik Peking

Kebutuhan nutrisi itik peking akan terpenuhi bila itik tersebut mendapat nutrisi yang seimbang dari bahan pakan ransum yang diberikan. Untuk mendapatkan laju pertumbuhan itik yang lebih cepat dibutuhkan tingkat protein yang lebih tinggi, tingkatan pemberian pakan yang banyak mengandung protein


(19)

tidak hanya berpengaruh terhadap pertambahan bobot badan akan tetapi lebih berpengaruh terhadap pertambahan lemak pada itik peking. Daya cerna makanan berhubungan erat dengan komposisi kimianya dan serat kasar mempunyai pengaruh yang besar terhadap daya cerna itik baik susunan kimianya maupun proporsi serat kasar dalam bahan pakan, seperti jagung menunjukkan variasi daya cerna yang kecil disebabkan karena kadar serat kasarnya yang rendah. Setiap pemeliharaan ternak unggas seperti itik pedaging harus diberi pakan yang bergizi dan mengandung protein yang baik bagi ternak, untuk mendukung pertumbuhan ternak yang cukup cepat. Kebutuhan utama dari zat gizi berupa protein dengan kandungan asam amino esensial yang seimbang dan kandungan energi yang cukup, disamping itu kadar vitamin dan mineral juga harus diperhatikan (Srigandono, 1991).

Tabel 1. Persyaratan mutu untuk itik ras pedaging masa akhir (itik finisher)

Sumber : Badan Standardisasi Nasional (2006)

Kebutuhan nutrisi pakan untuk periode starter pada itik yaitu kandungan protein 20-22%, energi metabolisme 2800-3100 kkal, serat kasar 7%, lemak

4-No Parameter Satuan Persyaratan

1. Kadar air % Maks. 14.00

2. Protein kasar % Min. 18.00

3. Lemak kasar % Maks. 8.00

4. Serat kasar % Maks. 6.00

5. Abu % Maks. 8.00

6. Kalsium (Ca) % 0.90 - 1.20

7. Fosfor (P) total % 0.60 - 1.00

8. Fosfor (P) tersedia % Min. 0.40

9. Total alfatoxin μg/kg Maks. 50.00

10. Energi termetabolis (EM) kkal/kg Min. 2900

11 Asam amino:

Lisin % Min. 0.90

Metionin % Min. 0.30


(20)

7% dan untuk itik periode finisher kandungan protein 16-17%, energi metabolis 2800 kkal, serat kasar 6-9 dan lemak 3-6% (Srigandono, 1991).

Dengan mengetahui nilai gizi dari beberapa bahan pakan dan nilai gizi yang baik bagi itik, penyusunan ransum itik dapat dilakukan dengan sempurna. penyusunan ransum yang sesuai dengan kebutuhan itik dari setiap periode umur dan produksi itik dipengaruhi oleh nilai gizi yang digunakan dalama ransum. Untuk mengetahui bahan pakan apa saja yang akan digunakan dalam ransum harus diketahui terlebih dahulu zat yang terkandung didalam bahan pakan ransum. (Murtidjo, 1996).

Sebagian besar dari ransum itik terdapat kandungan energi dan setiap aktifitas hidup dari itik tersebut membutuhkan energi. Energi mempunyai hubungan yang erat terhadap konsumsi itik yang akhirnya akan mempengaruhi unsur gizi lainnya. Bahan pakan yang mengandung sumber energi umumnya berasal dari jagung, bekatul, bungkil kelapa, minyak, biji-bijian, limbah industri pertanian dan olahan ubi kayu (Rasyaf, 1992).

Ransum Itik

Pemberian ransum pada itik bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan berproduksi itik tersebut. Untuk produksi maksimum dilakukan dalam jumlah cukup, baik kualitas maupun kuantitas. Kebutuhan utama zat gizi berupa protein dengan kandungan asam amino esensial yang berimbang serta kandungan energi yang memadai. Disamping itu kebutuhan vitamin dan mineral juga harus diperhatikan. Itik selama masa pemeliharaanya mempunyai dua macam ransum yaitu itik starter dan itik finisher (Kartadisastra, 1994).


(21)

Persyaratan mutu ransum untuk anak itik (itik starter) berbeda dengan mutu ransum broiler pada masa akhir (itik finisher). Perbedaan ini sesuai dengan kebutuhan nutrisi itik sesuai dengan fase pertumbuhannya. Secara garis besar itik periode starter membutuhkan ransum dengan kadar protein antara 20-22% yang berarti 200-220 g protein/kg ransum dan energi metebolisme antara 2800-3000 kkal/kg ransum sedangkan pada tahap periode finisher kadar protein diturunkan menjadi antara 16-17% sehinggan rasio EM/p-nya sebesar 3000/170 = 18. Untuk mencapai berat badan sekitar 3.5 kg pada umur 8 minggu seekor itik peking akan menghabiskan pakan sebanyak 9,5 kg dengan rata-rata konsumsi pakan 170g/hari selama 8 minggu (Srigandono, 1998).

Konsumsi Ransum

Ransum adalah bahan pakan yang mengandung zat-zat gizi dalam keadaan cukup dan seimbang yang diberikan kepada ternak dalam waktu 24 jam. Jumlah ransum yang dikonsumsi harus seimbang dengan kebutuhan pokok, produksi sesuai dengan umur dan aktifitas serta untuk mengetahui standar konsumsi ransum dalam pertambahan bobot badan yang diukur selama seminggu (Rasyaf, 1989).

Konsumsi ransum adalah kemampuan untuk menghabiskan sejumlah ransum yang diberikan. Konsumsi ransum dapat dihitung dengan pengurangan jumlah ransum yang diberikan dengan sisa dan hamburan. Konsumsi ransum dipengaruhi oleh kesehatan ternak, palatabilitas, mutu ransum dan tata cara pemberian (Anggorodi, 1995).

Makin banyak jumlah ransum yang dikonsumsi makin aktif kegiatan saluran pencernaan untuk mencerna sehingga dapat merangsang pertumbuhan


(22)

organ pencernaan. Jenis ransum seperti misalnya perbedaan kandungan serat, juga dapat menentukan perkembangan organ pencernaan (Siri et al., 1992).

Ikan Gabus Pasir (Butis amboinensis)

Menurut binomial, ikan gabus pasir diklasifikasikan sebagai berikut; Kelas: Osteichtyes, Ordo: Perciformes, Famili: Eleotritidae, Genus: Butis, Spsies: Butis amboinensis. Karakteristik dari ikan gabus pasir yaitu kepala pipih datar, lebar badan 5-5,5 kali lebih pendek dari panjang standart, 6-7 kali lebih pendek dari panjang total, tidak mempunyai sisik tambahan, interorbital, pipi dan kepala bersisik, tidak ada sisik antara mata dan tulang mata, gigi pada barisan depan tidak membesar, tipe ekor membulat (Gultom, 2010).

Teknik Pengolahan Bahan Pakan

Secara garis besar ada dua metode pengolahan tepung ikan skala kecil yaitu pengolahan dengan cara mekanis dan non mekanis. Pengolahan dengan cara non mekanis ini sangat sederhana, baik cara maupun peralatan yang digunakan. Tahap pengolahannya adalah perebusan, pengepresan penghancuran dan pengeringan, penggilingan. Pengolahan secara mekanis yaitu sebagian peralatan digerakan secara mekanis, namun tetap tidak menggunakan steam boiler dan sentrifuge. Ada dua tipe instalasi yang dapat digunakan dan pilihannya dapat disesuaikan dengan kadar lemak ikan yang akan diolah yaitu pengeringan langsung dan pengeringan tidak langsung (Ilyas et all, 1985).

Prinsip dasar pengolahan tepung ikan yaitu pemasakan, pemisahan air dan minyak, pengeringan dan penggilingan. Pemasakan merupakan tahap menentukan dalam pengolahan tepung ikan. Tingkat pemasakan harus tepat, sehingga seluruh


(23)

bahan mentah akan menggumpal (terkoagulasi). Jika tidak terjadi penggumpalan total maka akan dihasilkan press cake dengan kadar air dan lemak yang masih tinggi. Akibatnya pemisahan minyak dari cairan juga sukar (Moeljanto, 1992). Tabel 2. Spesifikasi persyaratan mutu tepung ikan

Komposisi Mutu I Mutu II Mutu III

Kimia :

a. air (%) maks 10 12 12

b. Prot. kasar (%) min 65 55 45

c. Serat Kasar (%) maks 1,5 2,5 3

d. Abu (%) maks 20 25 30

e. Lemak (%) maks 8 10 12

f. Ca (%) 2,5 - 5,0 2,5 – 6,0 2,5 - 7,0

g. P (%) 1,6 – 3,2 1,6 – 4,0 1,6 – 4,7

h. NaCl (%) maks 2 3 4

Mikrobiologi :

Salmonella (pada 25 gr ampel)

Negatif Negatif Negatif

Organoleptik:

Nilai minimum 7 6 6

Sumber : Dewan Standarisasi Nasional, 1996

Pengeringan adalah proses pengeluaran air atau pemisahan air dalam jumlah yang relatif kecil dari bahan dengan menggunakan energi panas. Pengeringan dapat diartikan sebagai usaha memindahkan atau mengurangi air dari suatu bahan pangan. Kebanyakan pengeringan dilakukan dengan proses penguapan air yang terkandung dalam makanan, dan untuk melakukannya maka panas latent penguapan harus tersedia. Terdapat dua faktor pengendali proses yang penting ikut serta dalam unit operasi pengeringan, yaitu: 1. Transfer panas untuk menyediakan kebutuhan panas latent penguapan. 2. Aliran air atau gerakan air dan uap air melalui bahan pangan yang kemudian mengalir melalui bahan pangan yang kemudian keluar mengakibatkan pemisahan air dari bahan pangan (Earle,1983).


(24)

Metode Pengeringan Matahari

Pengeringan dengan cara menjemur dibawah sinar matahari mempunyai kelebihan dibandingkan dengan pengeringan buatan karena penjemuran mudah dilakukan dan murah serta sinar matahari mampu menembus kedalam sel secara merata. Penjemuran adalah penurunan kadar air suatu bahan untuk memperoleh

tingkat kadar air yang seimbang dengan kelembaban nisbi atmosfer (Taib et al., 1988).

Pada kondisi optimum energi surya atau matahari yang mencapai permukaan bumi besarnya 6-8 KW-jam/m2/hari untuk daerah sekitar khatulistiwa. Sekitar 30% radiasi yang mencapai atmosfir dipantulkan kembali keangkasa, 47% diserap menjadi panas oleh atmosfir, tanah dan air tetapi sebagian besar energi yang diserap ini dipantulkan lagi ke atmosfir (Kamaruddin, 1991).

Proses pengeringan pada prinsipnya adalah proses mengurangi kadar air dalam ikan untuk mencegah bakteri dan enzim bekerja dalam ikan, selain mengurangi kadar air dalam ikan, diperlukan juga pengendalian temperatur dan RH udara tempat penyimpanan ikan. Beberapa variabel yang penting dalam proses pengeringan ikan adalah: temperatur, RH dan laju aliran udara serta waktu pengeringan. Kadar air ikan bervariasi antara 50% - 80%, untuk mengurangi aktivitas bakteri dan enzim, kadar air ikan sebaiknya dijaga dibawah 25% (Abdullah ,2003).

Metode Pengukusan

Pengukusan yaitu memasak bahan makanan di dalam uap air. Suhu atau panas yang didapat dari steam (uap) biasanya lebih panas, oleh karena itu biasanya memasak dengan metode steaming akan lebih cepat daripada dengan


(25)

metode boiling. Proses pengukusan dapat menurunkan kadar zat gizi makanan yang besarnya tergantung pada cara mengukus dan jenis makanan yang dikukus. Keragaman susut zat gizi diantara cara pengukusan terutama terjadi akibat degradasi oksidatif. Proses pengolahan dengan pengukusan memiliki susut zat gizi yang lebih kecil dibandingkan dengan perebusan (Indriyati et al, 1990).

Panas digunakan untuk memasak makanan dengan tujuan membuat makanan tersebut mudah dicerna, menghasilkan aroma yang diinginkan, dan lebih bernutrisi. Perebusan adalah cara memasak makanan dalam cairan yang sedang mendidih (100 °C). Perebusan dipakai dalam pengolahan makanan, sayuran, atau bahan bertepung. Temperatur yang tinggi akan mengeraskan (membuat liat) protein daging, ikan, dan telur. Air yang mendidih akan membuat makanan lebih halus dan mudah dicerna (Causin,1980).

Metode Silase

Prinsip pembuatan silase adalah menurunkan pH ikan agar pertumbuhan maupun perkembangan bakteri pembusuk terhenti. Dengan terhentinya aktivitas bakteri, aktivitas enzim baik yang berasal dari tubuh ikan itu sendiri dari asam yang sengaja ditambahkan meningkat (Afianto dan liviawaty, 1989).

Pembuatan silase ikan dengan cara kimiawi adalah dengan cara menambahkan bahan kimia ke dalam ikan atau sisa-sisa ikan yang telah digiling seperti HCI, H2SO4, Asam Propionat, Asam Formiat atau campuran keduanya Sedangkan, silase ikan secara biologis dibuat dengan cara memanfaatkan mikroba yang ada yaitu mengaktifkan mikroba tersebut melalui penambahan bahan yang mengandung karbohidrat yang tinggi, seperti dedak padi, jagung dan molases.


(26)

Silase dapat digunakan sebagai penambah atau sumber protein yang utama dalam pembuatan pakan unggas (Suharto, 1997).

Kecernaan Bahan Pakan

Faktor yang mempengaruhi nilai kecernaan pada ternak antara lain adalah pakan, ternak dan lingkungan. Dilihat dari segi pakan kecernaan dipengaruhi oleh faktor perlakuan terhadap pakan yang mencangkup pengolahan, penyimpanan, cara pemberian, jenis, jumlah dan komposisi pakan yang diberikan pada ternak tersebut (Anggorodi, 1994).

Penentuan kecernaan/daya cerna dari suatu ransum dapat diketahui dimana harus dipahami terlebih dahulu dua hal yang penting yaitu: jumlah nutrien yang terdapat dalam ransum dan jumlah nutrien yang dapat dicerna dan dapat diketahui bila ransum telah mengalami proses pencernaan (Tillman et al., 1991)

Kecernaan bahan pakan adalah bagian pakan yang tidak disekresikan dalam feses dan selanjutnya dapat diasumsikan sebagai bagian yang diserap oleh ternak. Selisih antara nutrien yang dikandung dalam bahan makanan dengan nurient yang ada dalam feses merupakan bagian nutrient yang dicerna (McDonald et al., 2002).

Kecernaan dapat diartikan banyaknya atau jumlah proporsional zat-zat makanan yang ditahan atau diserap oleh tubuh. Zat makanan yang terdapat dalam feses dianggap zat makanan yang tidak tercerna dan tidak diperlukan kembali. Kecernaan dapat dipengaruhi oleh tingkat pemberian pakan, spesies hewan, kandungan lignin bahan pakan, defisiensi zat makanan, pengolahan bahan pakan, pengaruh gabungan bahan pakan, dan gangguan saluran pencernaan. Daya cerna dipengaruhi juga oleh suhu, laju perjalanan makanan melalui alat pencernaan,


(27)

bentuk fisik bahan makanan, komposisi ransum, dan pengaruh terhadap perbandingan dari zat makanan lainnya, jenis kelamin, umur dan strain, meskipun tidak konsisten (Tillman et al., 2005)

Metode yang digunakan untuk menilai kecernaan yaitu metode konvensional atau total collecting methods, yang terdiri dari periode pendahuluan dengan tujuan membiasakan ternak pada ransum dan keadaan lingkungan sekitarnya dan menghilangkan sisa-sisa makanan sebelum perlakuan (Church dan Pond, 1988). Sedangkan periode koleksi feses dilakukan selama 5-15 hari, dengan waktu koleksi 24 jam (Tillman et al., 1998). Metode lainnya yaitu metode kuantitatif (metode indikator) yaitu menambahkan indikator dalam ransum yang tidak dicerna (Cheeke, 2005). Untuk mengukur kecernaan pada unggas dibutuhkan teknik khusus karena feses dan urin dikeluarkan secara

bersamaan sehingga menyebabkan bercampurnya N urin dan feses (Maynard dan Loosli, 1979).

Hal tersebut menurut Soares dan Kifer (1971) dapat diusahakan dengan jalan pemisahan N-urin dalam feses secara kimia atau dilakukan pembedahan untuk koleksi sampel dari usus besar. Metode pengambilan sampel dari usus besar dilakukan dengan asumsi bahwa pencernaan dan penyerapan telah terjadi pada usus halus dan tidak terjadi lagi pada usus besar. Sejalan dengan pendapat Bielorai et all. (1973), penyerapan zat-zat makanan terjadi di dalam usus halus.

Metode pengambilan sampel dari usus besar lebih akurat (Doeschate et all , 1993). Metode kuantitatif ini terdiri dari dua periode yaitu


(28)

Bahan kering adalah suatu bahan pakan yang dipanaskan dalam oven pada temperatur 1050C dengan pemanasan yang terus menerus sampai berat bahan pakan tersebut konstan (Tillman et all., 1998). Kualitas dan kuantitas bahan kering tersebut harus diketahui untuk meningkatkan kecernaan bahan pakan tersebut. Pada kondisi normal, konsumsi bahan kering dijadikan ukuran konsumsi ternak, konsumsi bahan kering bergantung pada banyaknya faktor, diantaranya adalah kecernaan bahan kering pakan, kandungan energi metabolisme pakan dan kandungan serat kasar pakan. Kecernaan bahan kering diukur untuk mengetahui jumlah zat makanan yang diserap tubuh yang dilakukan melalui analisis dari jumlah bahan kering, baik dalam ransum maupun dalam feses. Selisih jumlah bahan kering yang dikonsumsi dan jumlah yang diekskresikan adalah kecernaan bahan kering (Ranjhan, 1980).

Kecernaan bahan organik merupakan persentase dari selisih komsumsi bahan organik ransum dan bahan organik feses per komsumsi bahan organik ransum. Semakin tinggi komsumsi bahan kering akan diikuti peningkatan bahan organiknya, begitu pula sebaliknya (Chotimah, 2002).

Kecernaan protein kasar tergantung pada kandungan protein didalam ransum. Ransum yang kandungan proteinnya rendah, umumnya mempunyai kecernaan yang rendah pula sebaliknya. Tinggi rendahnya kecernaan protein tergantung pada kandungan protein bahan pakan dan banyaknya protein yang masuk dalam saluran pencernaan (Tillman et al., 1991).


(29)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan di Laboratorium Biologi Ternak Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Penelitian berlangsung selama 1 bulan dimulai dari bulan Oktober sampai dengan November 2014.

Bahan dan Alat Penelitian Bahan

Bahan yang digunakan yaitu itik peking umur 8 minggu sebanyak 36 ekor, bahan pakan yang digunakan adalah tepung limbah ikan gabus pasir yang telah diolah dengan metode pengeringan alami, metode pengukusan, dan metode silase, air minum untuk memenuhi kebutuhan dalam tubuh yang diberikan secara ad libitum, rudalon sebagai desinfektan kandang dan peralatan tempat pakan dan minum.

Alat

Adapun alat yang digunakan yaitu kandang panggung berukuran 100 cm x 100 cm x 100 cm sebanyak 20 petak, tempat pakan dan tempat minum sebanyak 18 unit, timbangan salter digital kapasitas 3000 gr untuk menimbang bobot badan itik, alat penerang berupa lampu pijar 40 watt sebanyak 18 buah, thermometer sebagai pengukur suhu kandang, alat pencatat data seperti buku data, mesin grinder untuk membuat tepung alat tulis dan kalkulator, alat pembersih kandang berupa sapu, ember, sekop dan hand sprayer, alat lain berupa plastik dan pisau sebagai alat untuk memotong itik.


(30)

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari 3 perlakuan dan 6 ulangan dimana setiap ulangan terdiri dari 2 ekor itik peking. Pada ransum diberikan perlakuan sebagai berikut:

P0 = Tepung limbah ikan gabus pasir dengan metode pengeringan alami P1 = Tepung limbah ikan gabus pasir dengan metode pengukusan P2 = Tepung limbah ikan gabus pasir dengan metode silase Jumlah Ulangan

t (n-1) ≥ 15 3(n-1) ≥ 15 3n ≥ 15 + 3 3n ≥ 18 N ≥ 6

Dengan susunan sebagai berikut:

P0U2 P2U3 P1U3 P2U6 P1U6

P2U1 P0U4 P1U2 P0U3 P2U5

P1U5 P1U4 P2U2 P0U5 P1U1

P0U1 P2U4 P0U6

Model matematik untuk rancangan acak lengkap yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Yij = μ + Ti + εij

Dimana :

i = 1, 2, 3,…i (perlakuan) j = 1, 2, 3,…j (ulangan)

Yij = respon atau nilai pengamatan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j


(31)

Γi = pengaruh perlakuan ke-i

εij = efek j galat pada perlakuan ke-i, ulangan ke-j (Sastrosupadi, 2002).

Parameter Penelitian

Parameter yang diamati meliputi kecernaan bahan kering, bahan organik dan protein kasar. Perhitungan kecenaan dilakukan dengan menaggunakana persamaan dari Schneider dan Flatt (1975) dan Rahjan (1979) dengan rumus sebagai berikut:

% lignin dalam ransum % nutrien dalam feses Koefisien cerna = 100% - { 100% x }

% lignin dalam feses % nutrien dalam ransum

Pelaksanaan Penelitian

Persiapan Kandang dan Peralatan

Kandang yang digunakan yaitu sistem panggung, terdiri dari 18 plot, setiap plot terdapat 2 ekor itik. Sebelum itik dimasukkan, kandang dibersihkan dengan air dan detergen kemudian di desinfektan menggunakan rodalon dan fumigasi menggunakan formalin 40% dan KMnO4. Kandang harus dilengkapi dengan tempat pakan dan minum serta alat penerangan.

Random Itik

Sebelum itik masuk kandang terlebih dahulu dilakukan penimbangan bobot badan awal yang akan digunakan, kemudian dilakukan pemilihan secara acak (random) untuk menghindari bias (galat percobaan) lalu ditempatkan pada masing-masing plot yang tersedia sebanyak 2 ekor.


(32)

Pemeliharaan Itik Peking

Itik peking yang dipelihara didalam kandang perlakuan diberi pemanas dan penerangan (lampu pijar 40 watt), diberi pakan sesuai dengan perlakuan dan air minum yang diberikan secara ad libitum.

Pembuatan Tepung Limbah Ikan Gabus Pasir

Pembuatan tepung limbah ikan gabus pasir menggunakan beberapa bahan antara lain: kepala ikan, isi perut ikan, tulang ikan. Bahan diproses dengan metode pengeringan alami (sinar matahari), pengukusan dan silase.

Pengambilan Data

Itik umur 8 minggu dipuasakan selama 24 jam dengan maksud untuk menghilangkan sisa ransum sebelumnya dari pencernaan, Koleksi feses didasarkan metode Sklan dan Hurwitz (1980) yang disitir oleh Wiradisastra (1986) dan dimodifikasi oleh Abun (2003). Dalam percobaan ini menggunakan indikator (lignin) dari hasil analisis kandungan lignin dalam ransum. Setelah ayam dipuasakan, diberi ransum perlakuan masing-masing ayam sebanyak 100 gram dengan pemberian air minum secara ad libitum. Setelah 14 jam, itik disembelih dan usus besar dikeluarkan untuk mendapatkan sampel feses, digesta yang diperoleh kurang lebih 10 cm dari illeum dengan tujuan untuk menghindari adanya kontaminasi dengan urine kemudian diikat dikedua ujungnya dengan benang. Sampel feses dikeringkan, digiling dan kemudian dianalisis untuk mengetahui kandungan bahan kering, bahan organik dan protein kasar, sedangkan indikator internal (lignin) dianalisis dengan metode Van Soest (1979).


(33)

HASIL DAN PEMBAHASAAN

Pengukuran Kecernaan Bahan Kering

Kecernaan bahan kering menunjukkan jumlah zat-zat makan yang dapat diserap oleh tubuh ternak. Kecernaan bahan kering dapat dipengaruhi oleh kandungan zat-zat makanan dalam ransum dan jumlah ransum yang dikonsumsinya (Nelwida, 2009). Hasil penelitian kecernaan bahan kering pakan yang mengandung tepung limbah ikan gabus pasir pada itik peking dapat dilihat pada tabel 3 dibawah ini.

Tabel 3. Rataan nilai kecernaan bahan kering pakan yang mengandung tepung limbah ikan gabus pasir

Perlakuan

Ulangan

Total Rataan

I II III IV V VI

P0 78.05 78.32 80.21 80.88 79.76 76.93 474.15 79.02

P1 84.19 85.54 85.51 84.42 90.88 87.19 517.74 86.29

P2 82.27 79.24 78.62 81.50 77.88 77.55 477.06 79.51

Total 244.51 243.11 244.34 246.80 248.51 241.66 1468.94 244.82

Rataan 81.50 81.04 81.45 82.27 82.84 80.55 489.65 81.61

Pada tabel 3 menunjukkan bahwa ransum dengan perlakuan menghasilkan rataan kecernaan tertinggi dicapai oleh itik peking yang diberi pakan dengan metode pengukusan (P1) (86.29%) kemudian diikuti (P2) (79.51%), (P0) (79.02%).


(34)

Gambar 1 Grafik Rataan nilai kecernaan bahan kering

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penggunaan tepung limbah ikan gabus pasir dengan beberapa metode pengolahan memberikan pengaruh yang sangat nyata (Fhit>0.01) terhadap kecernaan bahan kering pakan.

Nilai kecernaan bahan kering tertinggi diperoleh pada perlakuan (P1) dengan metode pengukusan yaitu sebesar 86.29% sehingga membuktikan bahwa metode pengukusan dapat meningkatkan kualitas nutrisi ransum dan meningkatkan daya cerna pakan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Departemen Pertanian (1987), yang menyatakan bahwa tujuan pemasakan agar terjadi proses denaturasi protein daging dan pemecahan sel-sel daging ikan sehingga air dan minyak mudah diperas keluar. Selain itu pemasakan dimaksudkan untuk menghambat kegiatan enzim dan pertumbuhan mikroba penyebab pembusukan kemudian didukung dengan pernyataan (Causin,1980) panas digunakan untuk memasak makanan dengan tujuan membuat makanan tersebut mudah dicerna, menghasilkan aroma yang diinginkan, dan lebih bernutrisi .Perebusan adalah cara memasak makanan dalam cairan yang sedang mendidih (100 °C). Perebusan dipakai dalam

74,00 76,00 78,00 80,00 82,00 84,00 86,00 88,00 Pengeringan Alami (P0)

Pengukusan (P1) Silase (P2)

79.02 b 86.29 a 79.51 b P ersen K ecern aan B ah an K eri n g Perlakuan Pakan


(35)

pengolahan makanan, sayuran, atau bahan bertepung. Temperatur yang tinggi akan mengeraskan (membuat liat) protein daging, ikan, dan telur. Air yang mendidih akan membuat makanan lebih halus dan mudah dicerna.

Pengukusan merupakan proses pemasakan dengan panas yang diterima bahan dari uap air. Perebusan dapat menyebabkan kehilangan zat gizi lebih besar pada bahan pangan dibandingkan dengan cara pengukusan. Hal ini dapat terjadi karena selama proses perebusan ikan terendam dalam air sehingga beberapa zat gizi larut air seperti protein ikut terlarut dalam air perebusan. Faktor yang mempengaruhi kehilangan zat gizi selama proses perebusan adalah luas permukaan bahan, konsentrasi zat terlarut dalam air perebusan dan adanya pengadukan air. Sedangkan proses pengukusan dapat memperkecil kehilangan zat gizi (Harris dan Karmas 1989). Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap nilai kecernaan bahan kering pakan dilakukan analisis sidik ragam.

Pengukuran Kecernaan Bahan Organik

Kecernaan bahan organik suatu pakan menunjukkan kulitas dari pakan yang dicerna oleh tubuh. Efisiensi pakan adalah perbandingan antara jumlah unit produk yang dihasilkan dengan jumlah unit konsumsi pakan dalam satuan waktu yang sama (Sugeng, 1998). Efisiensi pakan dipengaruhi tingkat konsumsi dan temperatur lingkungan, kecernaan, dan efisiensi pemanfaatan zat pakan untuk proses di dalam tubuh (Siregar, 1997). Dari hasil penelitian data rataan kecernaan bahan organik ransum yang mengandung tepung limbah ikan gabus pada itik peking dapat dilihat pada tabel 4 di bawah ini.


(36)

Tabel 4. Rataan nilai kecernaan bahan organik pakan yang mengandung tepung limbah ikan gabus pasir

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III IV V VI

P0 87.86 87.92 87.90 89.03 88.19 86.67 527.58 87.93

P1 86.66 88.26 88.24 87.34 93.43 90.85 534.77 89.13

P2 85.08 82.52 82.30 81.50 82.82 86.56 500.78 83.46

Total 259.60 258.70 258.43 257.87 264.45 264.08 1563.13 260.52

Rataan 86.53 86.23 86.14 85.96 88.15 88.03 521.04 86.84

Tabel 4 menunjukkan bahwa pakan dengan perlakuan menghasilkan rataan kecernaan bahan organik yang tertinggi dicapai oleh itik peking yang diberi pakan tepung ikan gabus pasir dengan metode pengukusan (P1) (89,13%) kemudian diikuti (P0) (87,93%), (P2) (83.46%).

Gambar 2.Grafik Rataan Kecernaan Bahan Organik

Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap nilai kecernaan bahan organik pakan dilakukan analisis sidik ragam.

80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 Pengeingan Alami (P1)

Pengukusan (P2) Silase (P3)

87.93 a 89.13 a 83.46 b P ers en K ecern aan B ah an O rgan ik Perlakuan Pakan


(37)

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penggunaan pakan tepung ikan gabus pasir memberikan pengaruh yang sangat nyata (Fhit>0.01) terhadap kecernaan bahan organik tepung ikan gabus pasir.

Nilai kecernaan bahan organik tertinggi diperoleh pada perlakuan P1 (89.13) dengan metode pengukusan. Kecernaan bahan organik erat kaitannya dengan kecernaan bahan kering, karena sebagian besar komponen bahan kering adalah bahan organik (Sutardi, 1983). Kecernaan bahan organik juga dapat dipengaruhi oleh kecernaan bahan kering. Hal ini disebabkan karena bahan organik adalah komponen dari bahan kering (Nelwida, 2009). Kecernaan bahan organika merupakan persentase selisih komsumsi bahan oganik ransum dan bahan organik feses per komsumsi bahan organik ransum. Semakin tinggi bahan kering ransum akan dikuti peningkatan bahan organiknya, begitu pula sebaliknya (Chotimah, 2002).

Dapat diketahui bahwa metode pengukusan dapat meningkatkan kualitas nutrisi ransum dan meningkatkan daya cerna ransum karena cita rasa, dan tekstur dari pakan lebih wangi dan lebih halus sehingga ternak menyukainya hal ini sesuai dengan pernyataan Harikedua (1992), yang menyataaakan faktor yang mempengaruhi kecepatan pengurangan kadar air selama pengukusan adalah luas, permukaan, konsentrasi zat terlarut dalam air panas dan pengadukan air dan didukung penyataan Harris (1989), yang menyatakan proses pemanfaatan panas merupakan salah satu tahap penting dalam pengolahan ikan. Pemanasan yang diupayakan pada proses pengukusan ikan adalah untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang diinginkan, seperti mempertahankan mutu ikan, perbaikan terhadap cita rasa dan tekstur, nilai gizi dan daya cerna.


(38)

Tingginya nilai kecernaan bahan kering limbah ikan gabus pasir dengan metode pengukusan membawa berpengaruh terhadap nilai kecernaan bahan organiknya. Hal sesuai dengan pernyataan Bautrif (1990) menyatakan bahwa nilai kecernaan bahan kering yang tinggi menunjukkan tingginya kualitas pakan atau bahan pakan. Begitupula sebaliknya, rendahnya kecernaan bahan organik pada perlakuan P2 dan P0 disebabkan oleh rendahnya kecernaan bahan kering pada perlakuan tersebut.

Pengukuran Kecernaan Protein

Protein merupakan struktur yang sangat penting untuk jaringan-jaringan lunak di dalam tubuh hewan seperti urat daging, tenunan pengikat, kolagen kulit, rambut, kuku dan di dalam tubuh ayam untuk bulu, kuku dan bagian tanduk dan paruh (Wahju,1997). Dinyatakan oleh Parakkasi (1983) protein merupakan salah satu diantara zat-zat makanan yang mutlak dibutuhkan ternak baik untuk hidup pokok, pertumbuhan, produksi. Dari hasil penelitian data rataan kecernaan protein pakan yang mengandung tepung limbah ikan gabus pada itik peking dapat dilihat pada tabel 5 di bawah ini.

Tabel 5. Rataan nilai kecernaan protein pakan yang mengandung tepung limbah ikan gabus pasir

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III IV V VI

P0 94.42 94.71 95.30 94.62 94.26 93.48 566.79 94.47

P1 94.66 95.11 95.12 95.98 97.70 96.78 575.34 95.89

P2 95.16 94.54 94.40 94.24 94.67 94.37 567.38 94.56

Total 284.24 284.35 284.82 284.84 286.63 284.64 1709.51 284.92


(39)

Tabel 5 menunjukkan bahwa pakan dengan perlakuan menghasilkan rataan kecernaan protein yang tertinggi dicapai oleh itik peking yang diberi pakan tepung ikan gabus pasir dengan metode pengukusan (P1) (95.89%) kemudian diikuti (P2) (94,56%), (P0) (94.47%).

Gambar 3 Grafik Rataan kecernaan Protein Kasar

Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap nilai kecernaan protein kasar pakan dilakukan analisis sidik ragam. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa penggunaan pakan tepung ikan gabus pasir memberikan pengaruh yang nyata terhadap kecernaan protein tepung ikan gabus pasir

Rendahnya nilai kecernaan protein pada perlakuan P0 disebabkan karena limbah ikan gabus pasir karna hanya melalui proses pengeringan alami, sedangkan pada perlakuan P1 dan P2 limbah ikan gabus pasir sudah melalui proses pengolahan secara kimiawi ataupun biologis. Limbah ikan gabus putih yang sudah mengalami proses pengolahan, selain mempunyai nilai gizi yang lebih baik, juga memberikan rasa dan aroma yang khas, mempunyai daya cerna lebih tinggi, serta kandungan asam amino yang tersedia menjadi lebih baik. Perbedaan

93,5 94 94,5 95 95,5 96 Pengeringan Alami (P0)

Pengukusan (P1) Silase (P2)

94.47 b 95.89 a 94.56 b P ersen K ecern aan P rotei n k as ar Perlakuan Pakan


(40)

makanan yang diproses, termasuk kesesuaiannya untuk dihidrolisis oleh enzim pencernaan itik peking (Kompiang dan Ilyas, 1983). Hal ini disebabkan karena pada produk proses biologis terjadi perubahan kualitas bahan yang disebabkan proses fermentasi yang dilakukan oleh bakteri asam laktat, mengakibatkan perubahan kimia dari satu senyawa yang bersifat kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana dan mudah dicerna sehingga memberikan efek positif terhadap nilai kecernaan protein pada itik peking.

Nilai kecernaan tertinggi yaitu dengan metode pengukusan karena telah terjadi pemisahan minyak dengan cairan hal ini sesuai dengan Moeljanto (1992), yang menyatakan pemasakan merupakan tahap menetukan dalam pengolahan tepung ikan. Tingkat pemasakan harus tepat, sehingga seluruh bahan mentah akan menggumpal (terkoagulasi). Jika tidak terjadi penggumpalan total maka akan dihasilkan press cake dengan kadar air dan lemak yang masih tinggi. Akibatnya pemisahan minyak dari cairan juga sukar kemudian didukung oleh Departemen Pertanian (1987), yang menyatakan tujuan pemasakan agar terjadi proses denaturasi protein daging dan pemecahan sel-sel daging ikan sehingga air dan minyak mudah diperas keluar. Selain itu pemasakan dimaksudkan untuk menghambat kegiatan enzim dan pertumbuhan mikroba penyebab pembusukan dan didukung oleh pernyataan Harris (1989), yang menyatakan perlakuan dengan cara pemanasan dapat menyebabkan protein ikan terdenaturasi demikian pula dengan enzim-enzim yang terdapat dalam tubuh ikan. Protein merupakan senyawa organik yang besar yang mengandung atom karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen. Beberapa diantaranya mengandung sulfur, posfor, besi atau mineral lain. Pada suhu 1000C protein akan terkoagulasi dan air dalam daging akan keluar.


(41)

Semakin tinggi suhu, protein akan terhidrolisa dan akan terdenaturasi, terjadi peningkatan kandungan senyawa bernitrogen, amonia dan hidrogen sulfida dalam daging. Proses pemanfatan panas seperti pemasakan dapat mengakibatkan perubahan pada penampakan secara umum cita rasa, bau dan tekstur ikan. Faktor yang mempengaruhi kecepatan pengurangan kadar air selama pengukusan adalah luas permukaan, konsentrasi zat terlarut dalam air panas dan pengadukan.

Rekapitulasi Hasil

Perlakuan pada percobaan ini adalah limbah ikan gabus pasir metode pengeringan alamia (P0), metode pengukusan (P1) dan silase (P2) pada itik peking umur 8 minggu melalui pengukuran terhadap nilai kecernaan bahan kering, protein kasar dan bahan organik. Rataan nilai kecernaan bahan kering, protein kasar dan bahan organik yang diperoleh bervariasi. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan, dilakukananalisis statistika, dan hasilnya menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh sangat nyata (P < 0,01) terhadap kecernaan bahan kering, protein kasar dan bahan organik. Perbedaan yang terlihat dari perhitungan statistika dilanjutkan dengan Uji lanjut Duncan.

Perlakuan Rataan Kecernaan

Bahan Kering (%)

Rataan Kecernaan Bahan Organik (%)

Rataan Kecernaan Protein Kasar (%)

P0 (Matahari) 79.02 B 87.93 A 94.47 B

P1 (Pengukusan) 86.29 A 89.13 A 95.89 A


(42)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Teknik pengolahan dengan metode pengukusan tepung ikan gabus pasir (Butis amboinensis) mampu meningkatkan nilai kecernaan bahan kering, bahan organik dan kecernan protein sehingga dapat meningkatkan kualitas tepung ikan gabus pasir. Teknik pengolahan dengan metode pengukusan (kukus, pengepresan, oven dan grinder) dapat meningkatkan kadar protein dibandingkan dengan pengolahan metode pengeringan alami dan metode silase. Metode pengukusan dapat meningkatkan kualitas nutrisi pakan dan meningkatkan daya cerna pakan.

Saran

Untuk memperoleh kualitas tepung limbah ikan gabus pasir (Butis Amboinensis) yang lebih baik dianjurkan teknik pengolahannya dengan


(43)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, K., 2003. Fish Drying Using Solar Energy, Lectures and Workshop Exercises on Drying of Agricultural and Marine Products. ASEAN SCNCER.

Abun,2007.Pengukuran Nilai Kecernaan Ransum Yang Mengandung Limbah Udang Windu Produk Fermentasi Pada Ayam Broiler. Fakultas Peternakan Padjadjaran,Jatinangor.

Afrianto, E, Liviawaty, E., 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kasinisius, Yogyakarta.

Anggorodi. H. R., 1985. Ilmu Pakan Ternak Unggas. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

.,1994. Ilmu Makanan Ternak Unggas. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

., 1995. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Badan Standardisasi Nasional. 2006. Pakan Ayam Ras Pedaging Masa Akhir (Broiler Finisher). SNI 01-3931-2006.

Bautrif, E. 1990. Recent Development in Quality Evaluation. Food Policy and Nutrion Division, FAO, Rome.

Biolorai, R.Z. Harduf, B. Losif and E. Alumot. 1973. Apparent Amino Acid Absorption from Feather Meal by Broiler Chicks. J. Nutrition.

Blade dan Blackely., 1991. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Causin. M.A., 1980. Converting food processing waste into food or feed through microbial fermentation. FOOD Science Perdue University Indiana.

Cheeke, PR., 2005. Applied Animal Nutritition;Feeds and Feeding. Pearson Education, Inc., Upper Sadle River. New Jersey.

Chotimah D. C. 2002. Kecernaan Bahan Kering, Bahan Organik dan Protein Kasar Ransum Yang Mengandung Ampas The Pada Kelinci Persilangan Lepas Sapih. Fakultas Peternakan IPB. Bogor.


(44)

Church, DC., and Pond WG., 1988. Basic Animal Nutrition and Feeding. New York : John Wiley and Sons.

DEPTAN (Departemen Pertanian). 1987. Kumpulan Penelitian Hasil Perikanan Direktorat Jendral Perikanan, Jakarta: Balai Pengembangan Perikanan Laut, Departemen Perikanan.

Djanah., 1983. Beternak Itik. CV. Yasaguna, Jakarta.

DSN, 1996. Tepung Ikan/ Bahan Baku Pakan (SNI No: 01-2175-1996). Dewan Standarisasi Nasional. Departemen Pertanian. Jakarta.

Doeschate R. A. H. M., C. W. Scheele., V. V. A. M Schreurs dan J.D Vander Klis., 1993. Digestibility. Studies in Broiler Chickens. Influence of Genotype, Age, Sex and Methode of Determination, British Poultry Science.

Earle RL., 1983. Unit Operation in Food Processing. Second edition. Pergamon Press, U.K.

Gultom, L., 2010. Keanekaragaman dan distribusi Ikan Dikaitkan dengan Faktor Fisik dan Kimia Air di Muara Sungai Asahan. Tesis. Universitas Sumatera Utara, Medan

Harikedua, J.W. 1992. Pengaruh Perebusan terhadap Komponen Zat Gizi Daging Ikan Layang (Decapterus russelli) khususnya Asam Lemak Tak Jenuh Omega 3. [Tesis]. Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor

Harris, R.S., & E. Karmas. 1989. Evaluasi Gizi Pada Pengolahan Bahan Pangan. Penerbit ITB. Bandung.

Ilyas, S. M Saleh dan H. E. Irianto., 1985. Teknologi Pengolahan Tepung Ikan Proding Rapat Teknis Tepung Ikan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, Jakarta.

Indriyati, S. W., Widiatmini dan S. Prasetyo., 1990. Pembuatan tepung ikan dengan pengering serbaguna. Prosiding Rapat Teknis Tepung Ikan Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pertanian, Jakarta.

Kamaruddin Abdullah., 1991. Energi dan Listrik untuk Pertanian. Fateta- IPB, Bogor.


(45)

Kompiang, I.P. dan S. Ilyas. 1983. Silase Ikan : Pengolahan, Pengguna, dan Prospeknya di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor.

Marhijanto, B., 1993. Delapan Langkah Beternak Itik yang Berhasil. Arkola, Surabaya.

.

Maynard, L. A., J. K. Loosli, H. F. Hintz and R. G. Warner., 1979. Animal Nutrition. Seventh Edition McGraw - Hill Book Company, Philippine. McDonald, P., R. A. Edwards, J. F. D. Greenhalgh and C.A. Morgan., 2002.

Animal Nutrition 6th Ed. Longman Singapore Pubishers (Pte) Ltd.

Moeljanto., 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. PT. Penebar Swadaya, Jakarta.

Murtidjo, B. A., 1996. Mengelola Itik. Kanisius, Yogyakarta.

Nelwida. 2009. Efek penggantian jagung dengan biji alpukat yang direndam air panas dalam ransum terhadap retensi bahan kering, bahan organik dan protein kasar pada ayam broiler. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan. 12(1) : 50 – 56.

Parakkasi, A. 1983. Ilmu Gizi dan Makanan Ternak Monogastrik. Cetakan Pertama. Penerbit Angkasa, Bandung.

Parakkasi, A. 1990. Ilmu Gizi dan Makanan Ternak Monogastrik. Angkasa, Bandung.

Ranjhan, S.K., 1980. Animal Nutrition In The Tropics. Vikas Publishing Hause P. and T. Ltd., New Delhi.

Rasyaf, M., 1989. Memelihara ayam Buras. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. ., 1992. Beternak Itik Komersial. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Siregar, M.S. 1997. Penggemukan Sapi. Penebar Swadaya: Jakarta.

Siri, S. S. Tabioka and I. Tasaki., 1992. Effect of dietary Fiber on Growth Performance, Development of Intenstinal Organs, Protein and Energy Utilization and Lipid Content of Growing Chicks. Jp. Poult Sci. 20:106-113.

Sklan, D dan S. Hurtwitz., 1980. Protein digestion and absorption in young chick and turkey, J. Nutrition, 10: 134-142.

Soares, J.H. Jr., and R.R. Kifer., 1971. Evaluation of Protein Quality Based on Residual Amino Acid of The Illeal Content of Chick. Poultry Science.


(46)

Srigandono B., 1991. Ilmu Unggas air. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

., 1997. Unggas air. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. ., 1998. ternak Itik Pedaging. Trubus Agriwidya, Ungaran. Sugeng, Y.B. 1998. Sapi Potong. Penebar Swadaya: Jakarta.

Suharto., 1997. Teknik Pembuatan Silase Ikan. Balai Penelitian Temak Ciawi, Bogor.

Sutardi T. N. A. Sigit dan T. Toharman. 1983. Standarisasi Mutu Protein Bahan Makanan Ruminansia Berdasarkan Parameter Metabolisme oleh Mikroba Rumen. Fakultas Peternakan IPB, Bogor.

Taib, G. E. Said dan S. Wiraatmaja., 1988. Operasi Pada pengolahan Hasil Pertanian. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta.

Tillman, A.D., S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo., 1991. Ilmu Makanan Ternak dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

, 2005. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Van Soest, P.J. 1979. Nutrition Ekologi of The Ruminant Metabolism Nutritional Strategies. The Celulolytic Fermentation and Chemistry of Forage and Plan Fibers.Cornell University, O & B Books Inc, Oregon.

Wahju, J. 1997. Ilmu Nutrisi Unggas. Cerakan keempat. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Wiradisastra, M.D.H. 1986. Evektivitas Keseimbangan Energi dan Asam Amino dan Efisiensi Absorpsi dalam Menentukan Persyaratan Kecepatan Tumbuh Ayam Broiler. Disertasi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Zhou, Z. X., Y. Issiki, K Yamauchi and Y. Nakahiro., 1990. Effect Offorce feeding and Dietary cereals on Gastrointestinal Size, Intestinal Absorptive Ability and endogenous Nitrogen in duck. Br. Poult. Sci. 31: 307-317.


(47)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Pembuatan tepung limbah ikan gabus pasir (Butis amboinensis) dengan metode pengeringan matahari (alami)

Dijemur limbah ikan gabus pasir (Butis amboinensis) di bawah sinar matahari selama 48 jam

Penggilingan / grinder

Diovenkan limbah ikan gabus pasir (Butis amboinensis) 400C selama 24 jam

Tepung ikan gabus pasir (Butis amboinensis)

Limbah ikan gabus pasir (Butis amboinensis) dibersihkan dari kotoran, plastik dan kayu


(48)

Lampiran 2. Pembuatan tepung limbah ikan gabus pasir dengan metode pengukusan

Limbah ikan gabus pasir (Butis amboinensis) dibersihkan dari kotoran, plastik dan kayu

Ditimbang limbah ikan gabus pasir (Butis amboinensis)

Dimasukkan ke dalam panci presto dan dikukus selama 30 menit

Didinginkan selama 10 menit kemudian ditimbang

Dipress

Pengeringan oven 40 0C selama 48 jam

Penggilian/grinder


(49)

Lampiran 3. Pembuatan tepung limbah ikan gabus pasir dengan metode silase

Limbah ikan gabus pasir (Butis amboinensis) dibersihkan dari kotoran, plastik dan kayu

Ditimbang limbah ikan gabus pasir (Butis amboinensis)

Penambahan molase dan dedak halus

Penggilian/grinder

Diovenkan limbah ikan gabus pasir (Butis amboinensis) 400C Disimpan/difermentasikan selama 1 minggu

Dimasukkan ke dalam kantong plastik Diaduk


(50)

Lampiran 4. Rataan Nilai Kecernaan Bahan Kering Itik Peking Umur 8 Minggu

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III IV V VI

P0 78.05 78.32 80.21 80.88 79.76 76.93 474.15 79.02

P1 84.19 85.54 85.51 84.42 90.88 87.19 517.74 86.29

P2 82.27 79.24 78.62 81.50 77.88 77.55 477.06 79.51

Total 244.51 243.11 244.34 246.80 248.51 241.66 1468.94 244.82

Rataan 81.50 81.04 81.45 82.27 82.84 80.55 489.65 81.61

Lampiran 5. Analis Sidik Ragam Kecernaan Bahan Kering

SK dB JK KT F Hit F Tabel

0.05 0.01

Perlakuan 2.00 197.96 98.98 24.31 3.66 6.36

Galat 15.00 61.06 4.07

Total 17.00 259.02

Lampiran 6. Uji Duncan Kecernaan Bahan Kering Duncan Grouping Mean N PERLAKUAN

A 86.288 6 P1

B 79.510 6 P2 B

B 79.025 6 P0 Uji Duncan

Perlakuan P0 P1 P2

79.025 86.288 79.51


(51)

Lampiran 7. Rataan Nilai Kecernaan Bahan Organik Itik Peking Umur 8 Minggu

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III IV V VI

P0 87.86 87.92 87.90 89.03 88.19 86.67 527.58 87.93

P1 86.66 88.26 88.24 87.34 93.43 90.85 534.77 89.13

P2 85.08 82.52 82.30 81.50 82.82 86.56 500.78 83.46

Total 259.60 258.70 258.43 257.87 264.45 264.08 1563.13 260.52

Rataan 86.53 86.23 86.14 85.96 88.15 88.03 521.04 86.84

Lampiran 8. Analis Sidik Ragam Kecernaan Bahan Organik

SK dB JK KT F Hit F Tabel

0.05 0.01

Perlakuan 2.00 106.98 53.49 14.87 3.66 6.36

Galat 15.00 53.97 3.60

Total 17.00 160.95

Lampiran 9. Uji Duncan Kecernaan Bahan Organik Duncan Grouping Mean N PERLAKUAN

A 89.130 6 B A

A 87.928 6 A

B 83.463 6 C Uji Duncan

Perlakuan P0 P1 P2

79.025 86.288 79.51


(52)

Lampiran 10. Rataan Nilai Kecernaan Protein Itik Peking Umur 8 Minggu

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III IV V VI

P0 94.42 94.71 95.30 94.62 94.26 93.48 566.79 94.47

P1 94.66 95.11 95.12 95.98 97.70 96.78 575.34 95.89

P2 95.16 94.54 94.40 94.24 94.67 94.37 567.38 94.56

Total 284.24 284.35 284.82 284.84 286.63 284.64 1709.51 284.92

Rataan 94.75 94.78 94.94 94.95 95.54 94.88 569.84 94.97

Lampiran 11. Analis Sidik Ragam Kecernaan Protein

SK dB JK KT F Hit F Tabel

0.05 0.01

Perlakuan 2.00 7.60 3.80 6.26* 3.67 6.36

Galat 15.00 9.12 0.61

Total 17.00 16.72

Lampiran 12.Uji Duncan

Duncan Grouping Mean N PERLAKUAN A 95.8917 P1

B 94.5633 P2

B 94.4650 P0

Perlakuan P0 P1 P2

94.46 95.8917 94.5633


(1)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Pembuatan tepung limbah ikan gabus pasir (Butis amboinensis) dengan metode pengeringan matahari (alami)

Dijemur limbah ikan gabus pasir (Butis amboinensis) di bawah sinar matahari selama 48 jam

Penggilingan / grinder

Diovenkan limbah ikan gabus pasir (Butis amboinensis) 400C selama 24 jam

Tepung ikan gabus pasir (Butis amboinensis)

Limbah ikan gabus pasir (Butis amboinensis) dibersihkan dari kotoran, plastik dan kayu


(2)

Lampiran 2. Pembuatan tepung limbah ikan gabus pasir dengan metode pengukusan

Limbah ikan gabus pasir (Butis amboinensis) dibersihkan dari kotoran, plastik dan kayu

Ditimbang limbah ikan gabus pasir (Butis amboinensis)

Dimasukkan ke dalam panci presto dan dikukus selama 30 menit

Didinginkan selama 10 menit kemudian ditimbang

Dipress

Pengeringan oven 40 0C selama 48 jam

Penggilian/grinder


(3)

Lampiran 3. Pembuatan tepung limbah ikan gabus pasir dengan metode silase

Limbah ikan gabus pasir (Butis amboinensis) dibersihkan dari kotoran, plastik dan kayu

Ditimbang limbah ikan gabus pasir (Butis amboinensis)

Penambahan molase dan dedak halus

Penggilian/grinder

Diovenkan limbah ikan gabus pasir (Butis amboinensis) 400C Disimpan/difermentasikan selama 1 minggu

Dimasukkan ke dalam kantong plastik Diaduk


(4)

Lampiran 4. Rataan Nilai Kecernaan Bahan Kering Itik Peking Umur 8 Minggu

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III IV V VI

P0 78.05 78.32 80.21 80.88 79.76 76.93 474.15 79.02

P1 84.19 85.54 85.51 84.42 90.88 87.19 517.74 86.29

P2 82.27 79.24 78.62 81.50 77.88 77.55 477.06 79.51

Total 244.51 243.11 244.34 246.80 248.51 241.66 1468.94 244.82 Rataan 81.50 81.04 81.45 82.27 82.84 80.55 489.65 81.61

Lampiran 5. Analis Sidik Ragam Kecernaan Bahan Kering

SK dB JK KT F Hit F Tabel

0.05 0.01

Perlakuan 2.00 197.96 98.98 24.31 3.66 6.36

Galat 15.00 61.06 4.07

Total 17.00 259.02

Lampiran 6. Uji Duncan Kecernaan Bahan Kering Duncan Grouping Mean N PERLAKUAN

A 86.288 6 P1

B 79.510 6 P2 B

B 79.025 6 P0 Uji Duncan

Perlakuan P0 P1 P2

79.025 86.288 79.51


(5)

Lampiran 7. Rataan Nilai Kecernaan Bahan Organik Itik Peking Umur 8 Minggu

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III IV V VI

P0 87.86 87.92 87.90 89.03 88.19 86.67 527.58 87.93

P1 86.66 88.26 88.24 87.34 93.43 90.85 534.77 89.13

P2 85.08 82.52 82.30 81.50 82.82 86.56 500.78 83.46

Total 259.60 258.70 258.43 257.87 264.45 264.08 1563.13 260.52 Rataan 86.53 86.23 86.14 85.96 88.15 88.03 521.04 86.84

Lampiran 8. Analis Sidik Ragam Kecernaan Bahan Organik

SK dB JK KT F Hit F Tabel

0.05 0.01

Perlakuan 2.00 106.98 53.49 14.87 3.66 6.36

Galat 15.00 53.97 3.60

Total 17.00 160.95

Lampiran 9. Uji Duncan Kecernaan Bahan Organik Duncan Grouping Mean N PERLAKUAN

A 89.130 6 B A

A 87.928 6 A

B 83.463 6 C Uji Duncan

Perlakuan P0 P1 P2

79.025 86.288 79.51


(6)

Lampiran 10. Rataan Nilai Kecernaan Protein Itik Peking Umur 8 Minggu

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III IV V VI

P0 94.42 94.71 95.30 94.62 94.26 93.48 566.79 94.47

P1 94.66 95.11 95.12 95.98 97.70 96.78 575.34 95.89

P2 95.16 94.54 94.40 94.24 94.67 94.37 567.38 94.56

Total 284.24 284.35 284.82 284.84 286.63 284.64 1709.51 284.92 Rataan 94.75 94.78 94.94 94.95 95.54 94.88 569.84 94.97

Lampiran 11. Analis Sidik Ragam Kecernaan Protein

SK dB JK KT F Hit F Tabel

0.05 0.01

Perlakuan 2.00 7.60 3.80 6.26* 3.67 6.36

Galat 15.00 9.12 0.61

Total 17.00 16.72

Lampiran 12.Uji Duncan

Duncan Grouping Mean N PERLAKUAN A 95.8917 P1

B 94.5633 P2

B 94.4650 P0

Perlakuan P0 P1 P2

94.46 95.8917 94.5633