BAB 6 KERANGKA KELEMBAGAAN DAN REGULASI - DOCRPIJM 8cc6365d8b BAB VIBAB 6

BAB 6 KERANGKA KELEMBAGAAN DAN REGULASI 6.1. Kerangka Kelembagaan

  90

i. Arahan Kebijakan Kelembagaan Bidang Cipta Karya

  Tujuan peningkatan kelembagaan daerah terkait langsung dengan pembangunan prasarana PU bidang Cipta Karya, yaitu agar investasi pembangunan dapat dilaksanakan secara optimal oleh Pemerintah Kabupaten/Kota serta terjamin keterlanjutannya. Dalam hal kegiatan pembangunan prasarana kota, wilayah kegiatan pembangunan lebih dari satu wilayah kabupaten/kota, maka aspek kelembagaan perlu dibahas di tingkat propinsi dan tingkat nasional melalui pembahasan tersebut diharapkan dapat diwujudkan fungsi koordinasi dan kerjasama antar pemerintah daerah.

  Aspek kelembagaan dibahas pada masing-masing sektor pembangunan dengan memperhatikan fungsi koordinasi dan sinkronisasi kegiatan antar sektor pembangunan prasarana kota, sesuai dengan kedudukan dan tugas masing-masing unit organisasi/instansi. Kelembagaan di Kabupaten/Kota perlu dioptimalisasi dan dikoordinasikan serta disinkrosnisasi uraian jabaran dari fungsi-fungsi sesuai dengan kedudukan dan tugas masing¬masing unit organisasi/instansi dan perangkatnya, guna tercapai tujuan peningkatan kelembagaan yang mendukung kegiatan pembangunan prasarana kota termasuk didalamnya Bappeda, Dinas-dinas, PDAM dll.

  a.

  Kelayakan Kelembagaan Untuk Investasi Pembangunan Daerah 1)

  Batasan  Kelayakan, adalah hasil telahan (asessment) tentang kapasitas suatu subyek yang mengemban tugas-tugas tertentu bagi tercapainya tujuan¬tujuan yang ditetapkan.

   Kelembagaan, merupakan suatu subyek dan sekaligus juga menunjuk kepada bentuk, sifat- sifat dan atau fungsi-fungsinya (build in) yang terkait (involve), berkepentingan (concern) dan bertanggung-jawab (responsible) untuk tercapainya tujuan-tujuan yang ditetapkan.

   Investasi, adalah salah satu masukan dalam proses pembangunan untuk mampu melahirkan/menciptakan tujuan-tujuan yang ditetapkan.  Pembangunan Daerah, dimaksudkan sebagai proses, obyek, dan sekaligus juga subyek untuk memenuhi tuntutan “stakeholder”-nya, bagi terciptanya masyarakat yang adil, tentram, dan sejahtera di Daerah. 2)

  Perlunya Kelayakan Kelayakan yang tinggi bagi suatu institusi yang terkait dan bertanggungjawab atas terselenggaranya visi dan misi-nya, sangat penting artinya bagi tercapai tujuan yang dikehendaki dengan efektif dan efisien. Makin layak ia makin tinggi tingkat efisiensi yang dihasilkan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya, demikian juga sebaliknya.

  John L. Taylor, Ph.D., dalam “Indonesia Urban Infrastructure Development: A Practical Guide for Urban Managers, hal XII-7 menulis bahwa berdasarkan paradigma baru tentang pemerintahan desentralisasi di Indonesia, perubahan-perubahan berikut sedang berlangsung, yakni:  Ada gerakan bagi pelaksanaan “Good Urban Governance”, termasuk didalamnya transparansi, partisipasi, akuntabilitas, tanggap, demokrasi, negara hukum, dan aspek- aspek lainnya dari masyarakat madani;  Sistem yang dikembangan meliputi keterlibatan kelompok “stakeholder” atau mitra dalam pembangunan yang lebih luas, termasuk masyarakat lokal, pemerintah daerah, wira-swasta, LSM dan lain-lainnya;  Adanya perubahan atas sistem keseimbangan kemitraan (balanced partnership system), melibatkan konsultasi dan arus dua arah dalam paradigma yang sedang tumbuh, yang mencakup unsur eksekutif dan unsur legislatif Pemerintah Daerah, wiraswasta, masyarakat lokal, konsultan dan LSM dan forum kota, sebagaimana juga berlangsung di tingkat pemerintahan yang lebih tinggi.

  Perubahan-perubahan dimaksud tentu menuntut adanya kapasitas baru atau kapasitas tambahan yang diperlukan, agar suatu institusi menjadi “layak” (mampu secara efektif dan efisien) melaksanakan tugas-tugasnya. Dan masih banyak alasan-alasan lainnya, seperti kemajuan teknologi. Informasi dan komunikasi yang terus berkembang, menuntut perlunya selalu kelayakan suatu kelembagaan ditingkatkan. Pembahasan tentang kelembagaan, tidak cukup dengan memandang “lembaga” sebagai wadah, dengan struktur organisasinya dll- nya, karena itu baru “raga” dari lembaga tersebut. Disamping ada “raga”, lembaga mempunyai “spirit” atau dapat disebut juga sebagai “roh”. Roh itu berada pada manusia-manusianya, yang menjadi anggota lembaga tersebut. Sehingga upaya meningkatkan kelayakan suatu lembaga, tidak cukup dengan hanya menyempurnakan struktur organisasinya dan hal-hal lainnya yang bersifat pisik saja, tetapi juga penting untuk meningkatkan kapasitas/kemampuan (pengetahuan, ketrampilan dan moral-etika) orang-orang yang bertugas dalam lembaga tersebut.

  3) Kendala Pelaksanaan Otonomi

  Pemerintah menyadari bahwa penyelenggaraan otonomi daerah dalam realitasnya masih mengalami kendala yang tidak kecil, yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut:  Kendala regulasi. Regulasi untuk pelaksanaan otonomi masih menyisakan persoalan yang berarti, dilihat dari kelengkapan, kejelasan dan kemantapannya, yang berakibat penyelenggaraan otonomi daerah yang kini berjalan ditanggapi secara beragam, dan bahkan menimbulkan ekses berupa konflik kepentingan;

   Kendala koordinasi. Proses koordinasi pelaksanaan otonomi daerah antara Instansi Pemerintah Pusat (khususnya yang terkait dengan penyusunan peraturan dan pedoman baru) belum berjalan dengan baik, sehingga berakibat kurang konsistennya peraturan yang dikeluarkan;  Kendala persepsi. Proses keterbukaan yang berkembang telah berdampak pada munculnya kecenderungan keragaman persepsi dalam menyikapi otonomi luas, sehingga menimbulkan friksi pemerintahan, terutama yang berkaitan dengan distribusi kewenangan;  Kendala waktu. Euphoria otonomi daerah yang begitu menggebu-gebu di era reformasi ini menuntut kecepatan dan ketanggapan yang tinggi untuk menyusun berbagai peraturan dan kebijakan yang diperlukan. Sementara Pemerintah (Pusat dan Daerah) tidak punya cukup waktu untuk melakukannya, walau sadar bahwa yang ada memang belum lengkap;  Kendala keterbatasan sumberdaya. Rendahnya kualitas/kapasitas SDM jelas merupakan faktor yang dominan dalam ketidakmampuan  memberdayakan kapasitasnya. Juga masih terbatasnya penyedia jasa/layanan (service provider) untuk mendukung percepatan desentralisasi. Demikian juga ada keterbatasan kemampuan keuangan untuk membiayai penyelenggaraan desentralisasi, yang ternyata membutuhkan biaya yang tidak kecil.

ii. Kondisi Kelembagaan Pemerintah Kota Bitung

  Penanganan prasarana dan sarana bidang keciptakaryaan di Kota Bitung dilaksanakan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Dinas Pekerjaan Umum Bidang Cipta Karya Kota Bitung yang ditetapkan dengan Keputusan Walikota Bitung tentang Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Pekerjaan Umum Bidang Cipta Karya Kota Bitung sesuai dengan kewenangan desentralisasi di daerah.

  Untuk mendukung dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi, semua tugas tersebut telah terbagi habis dalam bidang dan seksi serta unit pelaksana teknis. Susunan organisasi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Dinas Pekerjaan Umum Bidang Cipta Karya Kota Bitung terdiri dari: a. Kepala Dinas;

  b. Bagian Tata Usaha:  Sub Bagian Umum dan kepegawaian;  Sub Bagian Keuangan. c. Bidang Bina Program:  Seksi Perencanaan dan Penyusunan Program;  Seksi Pengendalian dan Evaluasi.

  d. Bidang Cipta Karya:  Seksi Bangunan dan Gedung;  Seksi Perumahan dan Permukiman.

  e. Bidang Tata Ruang:  Seksi Pengelolaan Tata Ruang;  Seksi Pengendalian Tata Ruang.

  f. Bidang Kebersihan dan Pertamanan:  Seksi Kebersihan dan Persampahan;  Seksi Pertamanan dan Pemadam Kebakaran.

  g. Unit Pelaksana Teknis Dinas:  UPTD Wilayah I Manado – Bitung - Minut; iii.

   Analisis Sumber Daya Manusia Bidang Cipta Karya

  Masalah yang dihadapi dalam kelompok-kelompok lembaga antara lain:  Belum optimalisasi pelaksanaan fungsi organisasi dari lembaga penyelenggara RPIJM yang meliputi tugas dan wewenang dan tanggung jawab instansi. Selain itu masih- masing instansi yang terlibat dalam penyelenggaraan RPIJM di Kota, yaitu BAPPEDA, Dinas PU, Dinas Kebersihan, PDAM dan BPLH minim dalam melakukan koordinasi;  Ketatalaksanaan penyelenggaraan RPIJM di instansi pemerintah Kota Bitung masih belum efektif dan kurang jelas;  Sumber daya manusia yang penyelenggara RPIJM kualitasnya sudah baik namun kurangnya kuantitas dalam hal pembinaan dan pelatihan;  Sarana penunjang berupa prasarana kantor baik dari segi kualitas dan kuantitas dirasa masih kurang dalam menunjang kegiatan.

6.2. Kerangka Regulasi

  Ditjen Cipta Karya dalam melakukan tugas dan fungsinya mengacu pada Undang-Undang yang berlaku. Adapun amanat perundangan yang terkait dengan keciptakaryaan antara lain: Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang

  • Nasional

   Dalam mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan, maka pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat yang berupa air minum dan sanitasi diarahkan pada: (1) peningkatan kualitas pengelolaan aset (asset management) dalam penyediaan air minum dan sanitasi; (2) pemenuhan kebutuhan minimal air minum dan sanitasi dasar bagi masyarakat; (3) penyelenggaraan pelayanan air minum dan sanitasi yang kredibel dan profesional; dan (4) penyediaan sumber-sumber pembiayaan murah dalam pelayanan air minum dan sanitasi bagi masyarakat miskin.

   Percepatan pembangunan infrastruktur dengan lebih meningkatkan kerjasama antara pemerintah dan dunia usaha; Pengembangan perumahan dan permukiman.

   Ketersediaan infrastruktur sesuai tata ruang; Terpenuhinya penyediaan air minum untuk kebutuhan dasar pengembangan infrastruktur pedesaan mendukung pertanian; Pemenuhan kebutuhan hunian didukung sistem pembiayaan jangka panjang; Terwujudnya kota tanpa pemukiman kumuh.

   Terpenuhinya kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana pendukung bagi seluruh masyarakat yang didukung oleh sistem pembiayaan perumahan jangka panjang dan berkelanjutan, efisien, dan akuntabel sehingga terwujud kota tanpa permukiman kumuh.

  Undang-Undang No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah

  • Pemerintah daerah harus menutup tempat pemrosesan akhir sampah (TPA) yang dioperasikan dengan sistem pembuangan terbuka (open dumping) paling lama lima (5) tahun terhitung sejak diberlakukannya UU ini.

   Pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga dilakukan dengan pengurangan sampah, dan penanganan sampah. Upaya pengurangan sampah dilakukan dengan pembatasan timbulan sampah, pendauran ulang sampah, dan pemanfaatan kembali sampah. Sedangkan kegiatan penanganan sampah meliputi pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan dan pemrosesan akhir.

  Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun

  • Peraturan ini mengatur perihal pembinaan, perencanaan, pembangunan, penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan, pengelolaan, peningkatan kualitas, pengendalian, kelembagaan, tugas dan wewenang, hak dan kewajiban, pendanaan dan sistem pembiayaan, dan peran masyarakat.
  • Bangunan gedung harus mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan gedung, ruang terbuka hijau yang seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungannya. Sistem penghawaan, pencahayaan, dan pengkondisian udara dilakukan dengan prinsip-prinsip penghematan energi (amanat green building).

  Undang-Undang No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung

   Bangunan gedung dan lingkungannya yang ditetapkan sebagai cagar budaya sesuai dengan peraturan perundang-undangan harus dilindungi dan dilestarikan.  Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia merupakan keharusan bagi semua bangunan gedung.

  Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

  • Infrastruktur air minum, air limbah permukiman, persampahan, merupakan bagian dari sistem jaringan prasarana yang mendukung sistem permukiman dan membentuk struktur ruang kota.

   Peraturan ini mengamanatkan penyediaan ruang terbuka hijau Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah   Bidang Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat merupakan Urusan Pemerintahan yang wajib diselenggarakan seluruh Daerah dan bersifat Pelayanan Dasar untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negara. Pemda telah diamanatkan untuk memprioritaskan pelaksanaan Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sehingga mendapat perlakuan khusus dalam penyusunan kelembagaan, perencanaan dan penganggaran di pusat dan di daerah.

   Pelaksanaan Pelayanan Dasar pada Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar berpedoman pada SPM yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, sekaligus mendukung indikator kinerja utama kementerian dan kinerjanya akan dikontrol secara ketat oleh berbagai stakeholders.

   Dalam pembangunan bidang infrastruktur permukiman, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan untuk mengembangkan sistem permukiman secara nasional, lintas provinsi, atau untuk kepentingan strategis nasional. Pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota ditunjukan pada tabel Berikut

Tabel 6.1 Pembagian Kewenangan Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota

  Di samping Undang-Undang tersebut, Ditjen Cipta Karya dalam melaksanakan tugas dan fungsinya juga mengacu pada peraturan pelaksana dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, maupun Peraturan Menteri PUPR. Adapun peraturan pelaksanaan bidang Cipta Karya antara lain:

   PP No. 36 tahun 2005 Tentang Peraturan Pelaksanaan UUBG (Undang Undang Bangunan Gedung);

   PP No. 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;  PP No. 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga;  PP No. 88 Tahun 2014 tentang Pembinaan Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman;  PP No. 121 Tahun 2015 tentang Pengusahaan Sumber Daya Air  PP No. 122 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum;  Perpres No. 67 Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur, dengan perubahannya Perpres No. 13 Tahun 2010 dan Perpres No. 56 Tahun 2011;  Perpres No. 81 Tahun 2010 Tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025;  Perpres No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca;  Perpres No. 185 Tahun 2014 tentang Percepatan Penyediaan Air Minum dan Sanitasi;  Perpres No. 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019;  Perpres No. 15 Tahun 2015 tentang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat;  Perpres No. 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam

  Penyediaan Infrastruktur;  Permen PU No. 21/PRT/M/2006 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan (KSNP-SPP);  Permen PU No. 06/PRT/M/2007 Tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan

  Lingkungan;  Permen PU No. 45/PRT/M/2007 Tentang Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara;  Permen PU No. 16/PRT/M/2008 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Air Limbah Permukiman (KSNP-SPALP);

   Permen PU No. 24/PRT/M/2008 Tentang Pedoman Pemeliharaan Dan Perawatan Bangunan Gedung;  Permen PU No. 16/PRT/M/2010 Tentang Pedoman Teknis Pemeriksaan Berkala Bangunan Gedung;  Permen PU No. 18/PRT/M/2012 Tentang Pedoman Pembinaan Penyelenggaraan Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum;  Permen PU No. 03/PRT/M/2013 Tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga;  Permen PU No. 13/PRT/M/2013 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum;  Permen PU No. 1/PRT/M/2014 Tentang SPM Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang;  Permen PU No. 12/PRT/M/2014 tentang Penyelenggaraan Sistem Drainase Perkotaan;  Permen PU No. 25/PRT/M/2014 tentang Prosedur Operasional Standar Pengelolaan Sistem Penyediaan Air Minum;  Permen PUPR No. 02/PRT/M/2015 tentang Bangunan Gedung Hijau;  Permen PUPR No. 03/PRT/M/2015 Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bidang Infrastruktur;  Permen PUPR No. 15/PRT/M/2015 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat;  Permen PU No. 34/PRT/M/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat;  Permendagri No. 57 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan Perkotaan;  Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 492/Menkes/Per/IV/2010 Tentang Persyaratan Kualitas Air minum

  Meskipun perangkat peraturan perundangan yang dimiliki Ditjen Cipta Karya sudah cukup lengkap, namun ke depan fungsi pengaturan perlu terus diperkuat. Dalam rangka mendukung pencapaian sasaran pembanguan 2015-2019, perangkat peraturan yang perlu disusun antara lain:

   RUU Sanitasi  RPP tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman  RPP Rumah Negara  RPP Penyelenggaraan Rumah Susun  Raperpres tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Kawasan Permukiman  Raperpres Surat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung  Raperpres Bangunan Gedung Negara  Raperpres tentang Badan Peningkatan Sistem Penyediaan Air Minum  Rapermen PUPR tentang Pedoman Pemberian Izin Penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum oleh Badan Usaha dan Masyarakat untuk Memenuhi Kebutuhan Sendiri  Rapermen PUPR tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengembangan SPAM  Rapermen Pemberian Dukungan Pemerintah Daerah dalam Rangka Kerjasama BUMN/

  BUMD dengan Badan Usaha  Rapermen PUPR tentang POS Pengelolaan SPAM  Rapermen PUPR tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan SPAM  Rapermen PUPR tentang Pemberlakuan Standar Kompetansi Kerja Nasional Indonesia  Rapermen PUPR tentang Penyelenggaraan SPAM  Rapermen PUPR Tentang Sistem Pengelolaan Air Limbah  Rapermen PUPR tentang Peran Masyarakat dalam Penyelenggaraan Perumahan dan

  Kawasan Permukiman  Rapermen PU tentang Pedoman Teknis Pembangunan Infrastruktur Kawasan Perdesaan  Rapermen PUPR tentang Peningkatan Kualitas Terhadap Perumahan Kumuh dan

  Permukiman Kumuh  Rapermen Pedoman Teknis Rumah dan Bangunan Gedung Tahan Gempa  Rapermen Pedoman Teknis Kemudahan pada Bangunan Gedung

   Rapermen PUPR tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kawasan Permukiman  Rapermen PUPR tentang Tim Ahli Perumahan dan Kawasan Permukiman  Rapermen PUPR tentang Pembangunan Infrastruktur Kawasan Perbatasan Negara  Rapermen PUPR tentang Pembangunan Infrastruktur Permukiman Berbasis Pemberdayaan Masyarakat  Rapermen PUPR tentang Spesifikasi Teknis dan Biaya Peningkatan Kualitas Permukiman Kumuh Perkotaan  SE Direktur Jenderal Cipta Karya tentang Model Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Peningkatan Kualitas Terhadap Perumahan Kumuh dan Permukiman Kumuh Kerangka regulasi ini diarahkan untuk memfasilitasi, mendorong dan/atau mengatur perilaku masyarakat, termasuk swasta dan penyelenggara negara dalam mewujudkan permukiman layak huni dan berkelanjutan. Kerangka regulasi ini disusun dengan mempertimbangkan regulasi yang ada, untuk melengkapi kebutuhan regulasi yang belum diatur, maupun untuk perbaikan bilamana regulasi yang ada belum optimal dalam mencapai tujuan/sasaran pembangunan.