Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Jurusan Pendidikan Sejarah FKIP Unsyiah

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Jurusan Pendidikan Sejarah FKIP Unsyiah

Volume 2, Nomor 4, November 2017, hal. 74 - 85 .

  1

  

2

  3 Nurul Aini , Alamsyah , Zainal Abidin

  Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

  Email: Nurulaini953@yahoo.com ,

  Alamsyahtaher@unsyiah.ac.id , Zainailabidin195524@yahoo.com

  ABSTRACT Indonesia is an archipelagic country surrounded by vast seas so that adequate transportation infrastructure is needed to move from one place to another. Port of Ulee Lheue as one of the infrastructures that support the progress of sea transportation in Banda Aceh. This research raises the problem of the existing transportation in Banda Aceh City, especially the sea transportation crossing that is the port of Ulee Lheue after tsunami of Aceh 2004 until 2016. This study aims to analyze and examine the background of Ulee Lheue Port development before and after the 2004 Aceh Tsunami, to find out how the development of Ulee Lheue port development after the tsunami and the development of Ulee Lheue Port of Aceh after the tsunami in 2004 until 2016. The approach used in this study is a qualitative approach using historical methods. Data collection techniques used are by way of field observation, documentation, interviews and literature study. While the data analysis technique used is by way of source criticism or verification and interpretation of sources and techniques of writing using historiography systematics. The research results obtained by Ulee Lheue port was built by the Dutch military in 1876 and closed in the 80s with various factors and was transferred to Malahayati Port, until finally built and managed back in early 2000s by Pemko Banda Aceh through UPTD Port of Ulee Lheue Dishubkominfo Banda Aceh with office building consists of 3 floors. In 2004 all facilities at the Ulee Lheue port were damaged by the devastating tsunami that struck most of Aceh. In June 2005 the Australian Government through Australia Indonesia Partnership for Reconstruction and Development (AIPRD) provided assistance to UNDP to undertake phase 1 in the reconstruction of ports, but development was focused solely on serving the transportation needs of marine logistics to assist in reconstruction of Banda Aceh City and other areas affected by the tsunami. And resumed with the construction of phase 2 facilities in 2007-2008. Up to now there are only a few additional facilities. 1 Keywords : Construction, Harbor. 2 Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah. 3 Dosen Pembimbing Pertama.

  Dosen Pembimbing Kedua.

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Jurusan Pendidikan Sejarah FKIP Unsyiah

Volume 2, Nomor 4, November 2017, hal. 74 - 85 .

  ABSTRAK

  Indonesia merupakan negara kepulauan yang dikelilingi lautan luas sehingga diperlukan infrastruktur transportasi yang memadai untuk dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Pelabuhan Ulee Lheue sebagai salah satu prasarana yang mendukung kemajuan transportasi laut di Banda Aceh.Penelitian ini mengangkat masalah tentang transportasi yang ada di Kota Banda Aceh, khususnya transportasi penyebrangan laut yaitu pelabuhan Ulee Lheue pasca tsunami Aceh 2004 sampai 2016. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mengkaji latar belakang pembangunan Pelabuhan Ulee Lheue sebelum dan sesudah Tsunami Aceh 2004, untuk mengetahui bagaimana perkembangan pembangunan pelabuhan Ulee Lheue pasca tsunami dan perkembangan pengelolaan Pelabuhan Ulee Lheue pasca tsunami Aceh pada tahun 2004 hingga 2016. Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode sejarah. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan cara observasi lapangan, dokumentasi, wawancara dan studi kepustakaan. Sedangkan teknik analisis data yang digunakan yaitu dengan cara kritik sumber atau verifikasi dan penafsiran sumber serta teknik penulisan menggunakan sistematika historiografi. Hasil penelitian diperoleh pelabuhan Ulee Lheue dibangun oleh pihak militer Belanda pada tahun 1876 dan ditutup pada tahun 80-an dengan berbagai faktor dan dialikan ke Pelabuhan Malahayati, sampai pada akhirnya dibangun dan dikelola kembali pada awal tahun 2000-an oleh pihak Pemko Banda Aceh melalui UPTD Pelabuhan Ulee Lheue Dishubkominfo Banda Aceh dengan gedung perkantoran terdiri dari 3 lantai. Pada tahun 2004 seluruh fasilitas pada pelabuhan Ulee Lheue rusak akibat bencana tsunami yang menimpa hampir seluruh wilayah Aceh. Pada bulan Juni 2005 pemerintah Australia melalui Australia Indonesia Partnership for Reconstruction and Development (AIPRD) memberikan bantuan kepada UNDP untuk menjalankan tahap 1 dalam pembangunan kembali pelabuhan, namun pembangunan pada masa itu hanya difokuskan untuk melayani kebutuhan transportasi logistik via laut guna membantu rekonstruksi Kota Banda Aceh dan daerah lainnya yang terkena dampak bencana tsunami. Dan dilanjutkan kembali dengan pembangunan fasilitas tahap 2 padatahun 2007-2008. Hingga sekarang hanya ada beberapa penambahan fasilitas saja.

  Kata kunci: Perkembangan, Pelabuhan.

  PENDAHULUAN tempuh dengan menggunakan alat Indonesia merupakan negara yang transportasi, baik darat, udara maupun laut.

  memiliki lebih dari 13.000 pulau dan wilayah Menurut Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa pantai sepanjang 80.000 km atau dua kali Indonesia (1990:1071) transportasi yang keliling dunia melalui khatulistiwa mempunyai kata dasar transpor memiliki (Triatmodjo, 2015:4). Jarak antar pulau satu makna sebagai angkutan. Dengan kata lain dengan pulau-pulau yang lain hanya dapat di transportasi dapat diartikan sebagai

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Jurusan Pendidikan Sejarah FKIP Unsyiah

Volume 2, Nomor 4, November 2017, hal. 74 - 85 .

  pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan.

  Pada penelitian ini penulis akan memusatkan pengkajian pada transportasi laut sesuai dengan tema yang akan diteliti, mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan oleh karenanya peranan pelayaran sangatlah penting bagi kehidupan sosial ekonomi pemerintahan, pertahanan, keamanan, dan sebagainya. Menurut Triadmodjo (2015:2) bidang pelayaran dapat dibedakan menjadi dua yaitu pelayaran niaga dan bukan niaga. Pelayaran niaga adalah usaha pengangkutan barang terutama barang dagangan melalui laut antar pulau atau pelabuhan. Pelayaran bukan niaga meliputi pelayaran kapal partroli, survai kelautan, dan sebagainya. Untuk mendukung sarana angkutan laut tersebut diperlukan prasarana yang berupa pelabuhan.

  Pada penelitian ini penulis memusatkan pembahasan pada Pelabuhan Ulee Lheue yang terletak di Provinsi paling barat Indonesia yaitu Aceh. Aceh merupakan sebuah Provinsi yang terletak di Pulau Sumatera, daerah ini terletak pada 20-60 LU dan 950-980 BT, dengan ketinggian rata-rata 125 m di atas permukaan laut dengan luas wilayah keseluruhan ± 55.390 km². Aceh berbatasan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudera Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur dan Sumatera Utara di tenggara dan selatan. 12 tahun yang lalu tepatnya pada tahun 2004, Aceh mengalami bencana alam yang amat dahsyat yaitu Tsunami, di mana bencana ini diawali dengan Gempa Tektonik sebesar 9,3 Skala Richter dan disusul dengan naiknya air laut kepermukaan.

  Sebelum terjadi bencana alam tsunami Desember 2004, Pelabuhan Ulee Lheue merupakan poros transportasi lokal utama yang memberikan pelayanan infrastruktur pengangkutan penumpang kapal feri untuk kapasitas 600 penumpang per hari. Pelabuhan ini mampu mengirimkan 15 ton barang setiap hari dan juga menyediakan layanan feri kapal barang besar (500 ton) ke Sabang, Pulo Aceh, daerah sepanjang pantai Barat Aceh, serta Pulau Simeulue.

  Sebelum tsunami, pelabuhan ini dilindungi oleh tanggul pantai (breakwater) pada sisi utara dan selatan. Di darat ada bangunan terminal besar tiga lantai terbuat dari beton yang juga menjadi tempat bagi syahbandar lokal dan para pemakai lainnya. Pada umumnya seluruh fasiitas pelabuhan yang telah dibangun rusak total akibat gempa bumi dan tsunami. Fasilitas pelabuhan yang mengalami kerusakan antara lain: gedung terminak rusak berat, access road menuju pelabuhan terputus, breakwater dan

  reverment rusak dan terputus, dermaga MB

  feri rusak berat, dermaga pontoon kapal cepat terbawa arus tsunami, fasilitas penunjang lainnya juga mengalami kerusakan yang cukup parah. Selain itu, kolam pelabuhan juga mengalami pendangkalan akibat sedimentasi dan sampah tsunami. Barulah pada tahun 2005 pelabuhan ini kembali dibangun dan terus mengalami perkembangan hingga saat ini (Kementrian Perhubungan Republik Indonesia, 2015:I-1).

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Jurusan Pendidikan Sejarah FKIP Unsyiah

Volume 2, Nomor 4, November 2017, hal. 74 - 85 .

  Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, permasalahan yang dapat dirumuskan yaitu : (1) Bagaimana latar belakang pembangunan Pelabuhan Ulee Lheue pasca tsunami (2005-2016)?; (2) Bagaimana perkembangan pembagunan Pelabuhan Ulee Lheue pasca tsunami 2005- 2016?; dan (3) Bagaimana perkembangan pengelolaan Pelabuhan Ulee Lheue pasca tsunami (2005-2016)?

  METODE Pendekatan dan Jenis Penelitian

  Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya prilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Maleong, 2007: 6).

  Berdasarkan pengertian di atas, dalam penelitian ini peneliti ingin melihat perkembangan Pelabuhan Ulee Lheue Pasca Tsunami 2005 sampai dengan tahun 2016 . Di mana dalam melihat perkembangan pelabuhan, ada tindakan, prilaku sekaligus motivasi yang merupakan unsur-unsur dalam mengembangkan pelabulan. Oleh karena itu penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kulitatif.

  Jenis penelitian ini menggunakan metode sejarah (historis). Metode sejarah adalah proses mengkaji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau (Gottschalk, 2006: 39). Di mana dalam metode sejarah terdapat 5 (lima) tahapan yaitu: (1) pemilihan topik; (2) heuristik atau pengumpulan sumber; (3) verifikasi atau kritik sumber ( kritik internal dan kritik eksternal); (4) interpretasi atau penafsiran; dan (5) historiografi atau penulisan sejarah (Kuntowijoyo, 1999:89).

  Penulisan ini menggunakan metode sejarah karena dalam melakukan penelitian penulis akan melihat proses dari tema yang diangkat yaitu proses ”Perkembangan Pelabuhan Ulee Lheue Pasca Tsunami”, di mana proses itu menunjukkan suatu pergeseran dan perubahan dan itulah inti dari suatu peristiwa diangkat menjadi sejarah. Dengan menggunakan metode sejarah, dalam menguraikan hasil penelitian nantinya akan diuraikan secara kronologis atau sesuai dengan urutan waktu.

  Lokasi dan Sumber Data Lokasi Penelitian

  Penelitian ini berlokasi di Pelabuhan Ulee Lheue yang terletak di Kota Banda Aceh Kecamatan Meuraxa, serta beberapa instansi terkait. Waktu penelitian sudah dimulai sejak penulis menulis proposal ini yaitu sejak Agustus 2016 dan akan selesai pada juni 2017.

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Jurusan Pendidikan Sejarah FKIP Unsyiah

Volume 2, Nomor 4, November 2017, hal. 74 - 85 .

  Sumber Data

  Sumber data merupakan subjek dari mana data dapat diperoleh. Sumber data akan dikumpulkan dari berbagai data atau sumber yang mempunyai kolerasi dengan aspek yang akan diteliti. Jadi, sumber atau data yang mempunyai kolerasi dalam penelitian ini terutama arsip UPTD Pelabuhan Ulee Lheue dan Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika (Dishubkominfo) Kota Banda Aceh.

  Sumber atau data yang digunakan terdiri dari sumber primer dan sekunder. Adapun sumber primer yang akan digunakan dalam penelitin ini terdiri dari dokumen atau arsip dari pihak UPTD Pelabuhan Ulee Lheue dan Dinas perhubungan komunikasi dan informatika (Dishubkominfo) Kota Banda Aceh. Sedangkan sumber sekunder yang akan dipakai dalam penelitian ini berupa buku- buku bacaan, majalah dan laporan-laporan hasil penelitian yang mempunyai relevansi dengan penelitian ini.

  Untuk menemukan data-data yang terpercaya tentang Perkembangan Pelabuhan Ulee Lheue, sebelumnya dilakukan kritik sumber-sumber. Kritik yang akan dilakukan yaitu: Kritik internal akan dilakukan dengan cara mengidentifikasi keabsahan dari berbagai isi yang terkandung dalam dokumen. Untuk hasil wawancara juga perlu dipertanyakan argument yang diberikan oleh informan dan kaitan informan dengan apa yang diteliti. Supaya mendapatkan informasi yang relevan sebagai sumber data, maka dalam penelitian ini digunakan teknik

  purpose sampling. “Purposive sampling

  adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu (Sugiono, 2014: 218-219)”. Sedangkan untuk kritik eksternal, akan dilakukan pada berbagai literature bacaan, baik dari segi pegangan maupun isi karangan. Hal ini semua dilakukan untuk mendapatkan sumber yang otentik ( dapat dipercaya kebenaran).

  Teknik Pengumpulan Data

  Model penelitian yang digunakan penulis agar semua data yang diperlukan terkumpul adalah model penelitian lapangan (field

  research ) yang juga disertai dengan catatan

  lapangan (field Note ) yang langsung didapatkan penulis dari lapangan ketika melakukan observasi, dan penelitian kepustakaan (library research). Supaya memudahkan penulis mengumpulkan data dilapangan, maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah :

  a. Observasi

  Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Pengamatan pencatatan dilakukan terhadap objek di tempat kejadian atau tempat berlangsungnya peristiwa. Oleh karena itu tema dalam penelitian ini merupakan tema sejarah kontemporer, dimana objek dan pelakunya masih ada, maka penelitian ini menggunakan observasi.

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Jurusan Pendidikan Sejarah FKIP Unsyiah

Volume 2, Nomor 4, November 2017, hal. 74 - 85 .

  b. Dokumentasi

  Penulis akan mengumpulkan data berupa dokumen dan arsip yang terdapat pada kantor UPTD Pelabuhan Ulee Lheue, Dinas Perhubungan, komunikasi dan Informatika (Dishubkominfo) Kota Banda Aceh. Data- data tersebut merupakan sumber primer dalam penelitian ini. Sedangkan artikel- artikel yang terdapat pada majalah, hasil-hasil laporan dan skripsi yang berkaitan dengan penelitian ini merupakan sumber sekunder yang relevan juga dapat digunakan, guna membantu memberikan gambaran lebih jelas.

  c. Wawancara

  Pengambilan data juga akan dilakukan dengan cara wawancara terbuka dan bebas. Sebelum wawancara dilakukan penulis terlebih dahulu akan mempersiapkan instrument wawancara terkait dengan masalah yang akan diteliti dan memilih informan yang akan diwawancarai. Adapun yang dijadikan narasumber atau informan dalam penelitian ini adalah pegawai dari UPTD Pelabuhan Ulee Lheue dan serta orang yang mengetahui dan faham tentang Kepelabuhan khususnya Pelabuhan Ulee Lheue baik sebelum Tsunami maupun Pasca Tsunami.

  d. Studi Kepustakaan

  Pada kegiatan studi perpustakaan sangat penting dalam penelitian suatu peristiwa. Dalam hal ini penulis akan terlebih dahulu mengumpulkan berbagai literatur bacaan baik berupa buku, jurnal, majalah, skripsi, tesis dan yang sejenisnya. Hal ini di lakukan untuk mengetahui informasi awal tentang perkembangan pelabuhan di Aceh pada umumnya dan Perkembangan Pelabuhan Ulee Lheue pada khususnya. Studi perpustakaan ini dilakukan di berbagai perpustakaan seperti: Badan Arsip dan Perpustakaan Wilayah Banda Aceh, Balai Pelestarian Nilai Sejarah Kebudayaan Aceh, Perpustakaan Universitas Syiah Kuala termasuk perpustakaan FKIP.

  Teknik Analisis Data

  Semua data yang telah dikumpulkan mulai dari hasil observasi, dokumentasi, studi perpustakaan dan wawancara, selanjutnya akan diklasifikasikan dan di analisis kembali. Analisis data merujuk pada kegiatan menyusun data-data yang relevan ke dalam susunan sajian data yang dibutuhkan untuk menjawab setiap rumusan masalah atau hipotesis dalam penelitian ini. Hal ini dilakukan untuk memperoleh sejumlah fakta yang terdapat dalam sumber-sumber penelitian yang telah dikumpulkan dan akhirnya dapat disimpulkan.

  Langkah selanjutnya adalah penilaian atau analisis terhadap sumber-sumber yang telah dikumpulkan, dengan cara melakukan perbandingan (comparative) terhadap berbagai sumber yang sudah diperoleh baik dari hasil wawancara maupun studi kepustakaan. Tujuannya adalah untuk memperoleh kebenaran fakta-fakta yang telah diungkapkan dan kemudian akan dituangkan nanti dalam bentuk historiografi sejarah lokal, khususnya mengenai Perkembangan

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Jurusan Pendidikan Sejarah FKIP Unsyiah

Volume 2, Nomor 4, November 2017, hal. 74 - 85 .

  Pelabuhan Ulee Lheue Pasca Tsunami 2004- 2016. Analisis data dilakukan bersifat induktif, di mana analisis dilakukan berdasarkan data yang diperoleh dari sumber (Sugiono, 2014:245).

  Selanjutnya, semua fakta yang telah berhasil dikumpulkan akan dituangkan ke dalam bentuk tulisan sejarah berdasarkan satu kesatuan yang serasi dan logis, sehingga menghasilkan suatu tulisan tentang Perkembangan Pelabuhan Ulee Lheue Pasca Tsunami, 2005-2016 yang mudah untuk dipahami dan menarik.

  PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian

  Pelabuhan Ulee Lheue merupakan jenis pelabuhan Penumpang dengan kapasitas pelabuhan termasuk dalam tipe B. Pelabuhan ini terletak pada koordinat 5º34´1ʺ LU dan 95º17´42ʺ BT, berada di wilayah Kecamatan Meuraxa dan berjarak sekitar 3 kilometer dari pusat Kota Banda Aceh dengan batas wilayah sebagai berikut: Sebelah Utara: Selat Malaka,

  Sebelah Selatan: Gampong Pie dan Gampong Blang

  ,

  Sebelah Barat : Selat Malaka

  ,

  Sebelah Timur : Gampong Cot Amkuweh, Gampong Lambung dan Gampong Deah Glumpang.

  Pelabuhan Ulee Lheue merupakan pelabuhan feri utama di Kota Banda Aceh yang menghubungkan pusat Kota Banda Aceh dengan Pulau Sabang, dan beberapa pulau yang ada di dalam administrasi Kecamatan Aceh Besar . Kota Banda Aceh terdiri dari 9 kecamatan dan 90 gampong (desa) dengan luas wilayah keseluruhan Kota

  Banda Aceh ± 61,36 km². Kecamatan yang ada di Kota Banda Aceh adalah Kecamatan Meuraxa, Jaya Baru, Banda Raya, Baiturrahman, Lueng Bata, Kuta Alam, Kuta Raja, Syiah Kuala dan Ulee Kareng (BPS Aceh, 2013: 3).

  Latar Belakang Pembangunan Pelabuhan Ulee Lheue Pasca Tsunami

  Pelabuhan Ulee Lheue merupakan pelabuhan yang dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda ketika daerah Aceh dan daerah taklukkannya diduduki Belanda. Pelabuhan tersebut pada mulanya dibangun sebagai jalur pengangkutan pasukan, peralatan militer dan logistik. Namun, dalam perkembangan selanjutnya ternyata tidak terlepas dari aktivitas perdagangan, terutama ketika diterapkannya politik pasifikasi oleh Belanda di Aceh. Pada tahun 1939, pecah Perang Dunia II di Eropa. Posisi Jepang yang telah menandatangai pakta militer dengan Jerman dan Itali dengan sendirinya menempatkan diri untuk berhadapan dengan sekutu. Untuk membuat Amerika Serikat tidak dapat membantu sekutunya , maka Jepang menyerbu Pearl Harbour. Dengan demikian, secara otomatis Jepang telah melibatkan diri dalam Perang Dunia II. Dengan panji-panji Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya, Jepang meluaskan kekuasaannya ke negara- negara Asia.

  Pada masa Jepang strategi perang yang dijalankan adalah dengan membagi wilayah kekuasaan pendudukan Jepang di Indonesia menjadi dua yaitu Raikugun

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Jurusan Pendidikan Sejarah FKIP Unsyiah

Volume 2, Nomor 4, November 2017, hal. 74 - 85 .

  (Angkatan Darat) dan Kaigun (Angkatan Laut). Secara otomatis ulee Lheue berada di bawah kekuasaan Kaigun (Angkatan Laut) yang mengawasi secara ketat aktivitas di sekitar pelabuhan tersebut. Pasca kemerdekaan Indonesia, Aceh yang merupakan wilayah Indonesia paling barat juga ikut merasakan dampak dari kemerdekaan tersebut termasuk Kota Banda Aceh yang dulu dikenal dengan Kutaraja. Setelah kemerdekaan aktivitas di Pelabuhan Ulee Lheue masih berjalan seperti biasa bahkan lebih baik. Pelabuhan masih menjadi penghubung antar pulau dan bahkan secara regular hubungan ke Sabang direntang dari Ulee Lheue. Segala aktivitas Pelabuhan Ulee Lheue juga didukung dengan adanya kerjasama yang baik antara instansi-instansi yang bersangkutan, terutama antara Jawatan Pelabuhan, Bea Cukai, Syahbandar, dan juga perusahaan kapal laut atau kapal penyebrangan.

  Pada tahun 1981 setelah peresmian Pelabuhan Malahayati, segala aktivitas Pelabuhan Ulee Lheue dipindahkan ke Krueng Raya yang berjarak 35 km kea arah timur laut Kota Banda Aceh. Pihak pemerintah berharap dengan memindahkan jalur feri dari Ulee Lheue menuju Balohan (Sabang) ke Krueng Raya, Penyelundupan akan dapat diatasi. setelah Pelabuhan Ulee Lheue di tutup pada tahun 1981 dan aktivitas penyebrangan dialihkan ke Pelabuhan Malahayati Krueng Raya, pihak pemerintah Kota Banda Aceh kembali membangun Pelabuhan Ulee Lheue di lokasi berbeda dengan lokasi awal Pelabuhan ulee Lheue yang lama yang daerah daratannya sudah tergerus oleh bencana tsunami Aceh tahun 2004. Pada tahun 2000 pihak Pemko Banda Aceh membangun kembali Pelabuhan Ulee Lheue di lahan yang dulunya merupakan Tempat Pembuangan Sampah (TPS) sebelum Gampong Jawa sekarang. Pada pembangunan kembali Pelabuhan Ulee Lheue pada tahun 2000, pelabuhan ini dibangun dengan bangunan yang terdiri dari 3 lantai. Namun baru kapal milik PLN saja yang berlabuh di pelabuhan ini untuk memasok keterbatasan listrik pada saat itu. Tepat pada tanggal 26 Desember 2004 Aceh mengalami bencana tsunami yang menghancurkan hampir seluruh infrastruktur Kota Banda, termasuk Pelabuhan Ulee Lheue yang baru saja dibangun.

  Pada bulan juni 2005, menanggapi permintaan bantuan yang mendesak dalam rehabilitasi pelabuhan, pemerintah Australia (AusAID) melalui Australia Indonesia

  Partnership for Reconstruction and Development (AIPRD) memberikan bantuan

  kepada UNDP untuk menjalankan tahap 1 dalam pembangunan kembali pelabuhan, namun pembangunan pada masa itu hanya difokuskan untuk melayani kebutuhan transportasi logistik via laut guna membantu rekonstruksi Kota Banda Aceh dan daerah lainnya yang terkena dampak bencana tsunami. Pelabuhan Ulee Lheue di resmikan oleh presiden Republik Indonesia yang ke enam yaitu Dr.

  H. Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 23 Februari 2009. Setelah peresmian tersebut barulah aktivitas di pelabuhan berjalan dengan lancar dan pada

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Jurusan Pendidikan Sejarah FKIP Unsyiah

Volume 2, Nomor 4, November 2017, hal. 74 - 85 .

  tahun 2015 yang lalu pihak pengelolah pelabuhan yaitu pihak Dishubkominfo Kota Banda Aceh telah membuat master plan untuk perkembangan pelabuhan selanjutnya.

  Perkembangan Pelabuhan Ulee Lheue Pasca Tsunami

  Peningkatan permintaan akan jasa angkutan laut antar pulau pasca tsunami mengalami peningkat dari tahun ke tahun, oleh karena itu pembangunan dan peningkatan sarana prasarana di Pelabuhan Ulee Lheue sangat di perlukan untuk kenyamanan pengguna transportasi laut. Peningkatan dalam bidang sarana dan prasarana maupun peningkatan penumpang di sebuah pelabuhan dapat menjadi tolak ukur akan perkembangan sebuah pelabuhan. Pasca ditutupnya pelabuhan pada pada tahun 1980 dan kemudian dialihkan ke pelabuhan terdekat yaitu pelabuhan Malahayati di Krueng Raya, akhirnya pada awal tahun 2000 pelabuhan ini di bangun kembali di lokasi yang berbeda dan menjadi aset pemerintah kota Banda Aceh (Pemko), namun sebelum pelabuhan dioperasikan pada tahun 2004 Banda Aceh dan sekitarnya mengalami bencana gempa bumi dan tsunami yang menghancurkan hampir seluruh infrastruktur yang ada di Kota Banda Aceh, termasuk bangunan pelabuhan Ulee Lheue yang terdiri dari dua lantai sekaligus beberapa fasilitas di dalam pelabuhan.

  Pengoperasian sebuah pelabuhan tidak terlepas dari kegiatan pelayaran yang berupa penyediaan transportasi antar pulau, daerah, negara maupun benua. Difungsikan untuk perpindahan penumpang maupun barang dari satu pulau ke pulau yang lain. Maskapai pelayaran di perairan Indonesia dikelola oleh perusahaan swasta yang menyediakan jasa pengangkutan penumpang dan barang. Hal ini juga berlaku pada Pelabuhan Ulee Lheue, dimana dalam penyediaan kapal untuk mengangkut penumpang dan barang pihak pelabuhan bekerja sama dengan beberapa perusahaan swasta atas izin dari Mentri Perhubungan Republik Indonesia. Pasca tsunami ada tiga perusahaan swasta yang bekerja sama dengan pihak pengelola Pelabuhan Ulee Lheue yaitu, PT.ASDP (Persero) cabang Banda Aceh, PT. Pelayaran Sakti Inti Makmur, dan PT. Pelnas Kurnia Sentosa. Ketiga perusahaan pengelola kapal ini berada dibawah naungan pihak BUMN yang seluruh kegiatannya baik harga tiket, jumlah kapal dan alur pelayarannya juga diawasi oleh pemerintah daerah maupun provinsi.

  Untuk menggunakan jasa angkutan kapal ini, masing-masing di kenakan tarif yang berbeda sesuai dengan kategori penumpang atau pengguna jasa angkutan dan juga jenis kapal yang akan dinaiki. Tarif moda transportasi laut ini sudah beberapa kali mengalami naik turun harga, hal ini juga dipengaruhi oleh harga BBM di Indonesia yang terus mengalami kenaikan dan beberapa kali penurunan. Seperti yang terjadi diawal tahun ini tarif angkutan kapal pada Pelabuhan Ulee Lheue mengalami kenaikan sekitar lima persen. Selain itu penumpang merupakan objek paling penting dalam setiap aktivitas moda transportasi, baik transportasi darat,

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Jurusan Pendidikan Sejarah FKIP Unsyiah

Volume 2, Nomor 4, November 2017, hal. 74 - 85 .

  udara, dan laut. Begitu juga dengan Pelabuhan Ulee Lheue yang menyediakan pelayanan transportasi laut dengan rute perjalanan, Ulee lheue-Balohan, Balohan- Ulee Lheue, Ulee-Lheue-Lamteng, dan Lamteng-Ulee Lheue. pengguna jasa pelabuhan Ulee Lheue tidak hanya penumpang dalam kata lain manusia, namun juga dalam bentuk kendaraan dan barang.

  Setelah peresmian pelabuhan yang dilakukan oleh Presiden, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono pada 23 Februari 2009 pelabuhan mulai berjalan sesuai dengan yang semestinya bahkan semakin mengalami perkembangan. Meskipun terjadi pasang surut dalam jumlah penumpang baik itu berupa Orang, kendaraan, dan barang seperti yang dapat dilihat pada tabel diatas. Pada tahun awal yaitu tahun 2009 jumlah penumpang yang menggunakan jasa pelabuhan pada Pelabuhan Ulee lheue berjalan normal dan terus bertambah di tahun berikutnya. Terjadi penurunan jumlah penumpang pada tahun 2012 hal ini dikarenakan keadaan cuaca yang memburuk dan ikut mempengaruhi keadaan gelombang air laut. Hal ini terjadi hampir sepanjang tahun 2012, 2013 dan tahun 2014, namun di tahun 2013 dan tahun 2014 keadaan cuaca sedikit membaik. Jumlah penumpang menuju sabang semakin meningkat seiring gencarnya promosi pariwisata kota banda aceh pada tahun 2011 dan dibukanya Sabang Fair di tahun 2014, hanya terkadang keadaan cuaca perairan di Aceh yang sering memburuk membuat para penumpang menunda keberangkatannya menuju sabang samapai kondisi cuaca membaik. Keadaan ini mulai membaik ditahun berikutnya yaitu tahun 2015 dan tahun 2016 (wawancara: Ashadi 13 Desember 2016).

  Pengelolaan Pelabuhan Ulee Lheue Pasca Tsunami

  Pasca tsunami hingga saat ini, Pelabuhan Ulee Lheue hanya melayani rute Ulee Lheue- Balohan, Balohan-Ulee Lheue, dan Ulee Lheue-Lamteng, Lamteng-Ulee Lheue.

  Pelayaran dengan rute Ulee lheue Balohan sendiri baru dibuka pada tahun 2013 dan hanya di layani oleh satu kapal jenis ro-ro dengan kapasitas standar. Artinya kapasitas pengangkutan penumpang oleh kapal dengan tujuan Ulee Lheue lamteng tidaklah besar.

  Pasca tsunami Pelabuhan Ulee Lheue masih menjadi aset Pemko Banda Aceh dan dikelolah oleh pihak Unit Pelaksanaan Teknis Dinas (UPTD) Dishubkominfo Kota Banda Aceh, di bawah pengawasan bidang Lalu Lintas Angkutan Sungai Dan Penyebrangan (LLASDP) yang merupakan cabang dari dishubkominfo Kota Banda Aceh. Dalam hal pengelolaan pelabuhan, Pihak pengelolah yaitu Pihak UPTD juga berkoordinasi dengan beberapa pihak lainnya dalam hal menjalankan pengelolaan Pelabuhan Ulee Lheue diantaranya yaitu, BASARNAS, KP3, Syahbandar, Bea Cukai, Jasa Raharja, Pihak Karantina Kesehatan dan Karantina Hewan. Untuk menjalankan moda transportasi pada pelabuhan, pihak pengelolah pelabuhan juga bekerja sama dengan pihak perusahaan- perusahaan pengelola kapal yaitu PT.ASDP (persero), PT. Sakti Inti Makmur dan

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Jurusan Pendidikan Sejarah FKIP Unsyiah

Volume 2, Nomor 4, November 2017, hal. 74 - 85 .

  PT.Pelnas Kurnia Sentosa. Untuk menjalankan aktivitas transportasi dengan baik pada Pelabuhan Ulee Lheue, pihak pengelolah pelabuhan memperkerjakan 20 orang pegawai yang terdiri dari, 1 orang kepala UPTD yang membawahi 19 orang anggota yaitu 1 orang kepala Subbag Tata Usaha, 5 orang Petugas Retribusi, 5 orang Petugas Tata Laksana Pelabuhan, dan 8 orang Petugas Perlengkapan dan Kebersihan. Keseluruhan kegiatan pada pelabuhan di kontrol oleh pihak UPTD Pelabuhan Ulee Lheue selaku pengelolah pelabuhan, baik itu kegiatan naik turunnya penumpang maupun aktivitas kapal yang bersandar dan meninggalkan pelabuhan.

  PENUTUP

  Setelah melakukan penelitian tentang “Perkembangan Pelabuhan Ulee Lheue Pasca Tsunami 2005-2015”, dengan melakukan observasi, wawancara dan analisis data maka kesimpulan yang dapat ditarik yaitu:

  1. Pasca tsunami aceh 2004, pada tahun 2005 Pelabuhan Ulee Lheue kembali dibangun dengan bantuan pemerintah Australia pembangunan ini dilaksanakan 2 tahap, tahap pertama tahun 2005 dan tahap kedua tahun 2007-2008 pembangunan Pelabuhan ini pada saat itu dimaksudkan untuk membantu mempercepat rekonstruksi Kota Banda Aceh dan sekitarnya. Dan direncanakan akan segera di kembangkan lagi dalam waktu dekat ini.

  2. Pasca ditutupnya pelabuhan Ulee Lheue sekitar tahun 70-an sampai 80-an dan dibangun kembali pada tahun 2000, tidak banyak perkembangan pada fasilitas pelabuhan ini, awal tahun 2000 bangunan gedung perkantoran terdiri dari 3 lantai dan ada beberapa fasilitas lainnya yang ikut hancur pada saat bencana tsunami melanda aceh diantaranya, gedung terminal rusak berat, access road menuju pelabuhan terputus, break water dan

  revertment rusak dan terputus, dermaga

  MB feri rusak berat, dermaga pontoon (dermaga bergerak) kapal cepat terbawa arus tsunami, dan beberapa fasilitas lain juga mengalami kerusakan yang parah.

  3. Sejak tahun 2000 hingga Pasca tsunami 2004 Pelabuhan Ulee Lheue dikelola oleh pihak Unit Pelaksanaan Teknis Dinas (UPTD) yang merupakan cabang dari Lalu Lintas Angkutan Sungai Dan Penyebrangan (LLASDP) Dishubkominfo Pemko Banda Aceh.

  BidangPerhubungan Laut (2009). Pelabuhan

  Laut Aceh (dermaga lima penjuru mata angin) . Banda Aceh: Dinas

  Perhubungan Komunikasi Informasi dan Telematika-Aceh.

  Badan Pusat Statistik Aceh . 2013. Banda Aceh.

  CivilInAction. 2010. Pelabuhan Gilimanuk

  (Fasilitas-fasilitas Pelabuhan Gilimanuk). Depansar: Bali. (online)

  http://myblog.blogspot.co.id/2010/0

  Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Jurusan Pendidikan Sejarah FKIP Unsyiah

Volume 2, Nomor 4, November 2017, hal. 74 - 85 .

  dgempol/tragedy-tsunami-aceh-paling- hebat-di-dunia-pada-abad-ke- 21_550e203ca33311a52dba7ec7. (diakses pada 09 November 2016, pukul 10:13 wib)

  Kramadibrata, Soedjono(2002).Perencanaa Pelabuhan . Bandung: ITB. Kuntowijoyo. 1999. Pengantar Ilmu

  2004. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta. Bumi Aksara.

  Provinsi Daera Istimewa Aceh Husaini, Usman dan Purnomo Setiady Akbar.

  50 Tahun Aceh Membangun. Aceh: Majelis Ulama

  Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press). Hasjmy.A. (1995).

  Gottschalk, Louis (2006). Mengerti Sejarah.

  Aceh Paling Hebat di Dunia Pada Abad ke- 21(Online). m.kompasiana.com/rachma

  8/pelabuhan-gilimanuk.html. (diakses pada tanggal 23 Februari 2017, pukul 15.30 Wib).

  Banda Aceh : FKIP Unsyiah. Gempol Rachmad. 2012.Tragedi Tsunami

  Kota Banda Aceh. Djufri. (2016). Pedoman Penulisan Skripsi.

  Profile Pelabuhan Ulee Lheue .

  Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika Kota Banda Aceh. 2009.

  .Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala: Darussalam-Banda Aceh.

  Penumpang Pelabuhan Malahayati Krueng Raya

  Desiyanti, Silvia (2007). Terminal

  Sejarah . Yogyakarta.Yayasan Bentang Budaya.

  

Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Jurusan Pendidikan Sejarah FKIP Un

Volume 2, Nomor 4, November 2017, hal. 74 - 85 .