IMPLEMENTASI PEMBATASAN WAKTU SURAT PEMBERITAHUAN DIMULAINYA PENYIDIKAN (SPDP) DALAM PROSES PENYIDIKAN (STUDI PUTUSAN MK NO. 130PUU-XIII2015)

  

IMPLEMENTASI PEMBATASAN WAKTU SURAT PEMBERITAHUAN

DIMULAINYA PENYIDIKAN (SPDP) DALAM PROSES PENYIDIKAN

(STUDI PUTUSAN MK NO. 130/PUU-XIII/2015)

  

(Jurnal)

Oleh

Deria Yanita

  

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2018

  

ABSTRAK

  

IMPLEMENTASI PEMBATASAN WAKTU SURAT PEMBERITAHUAN

DIMULAINYA PENYIDIKAN (SPDP) DALAM PROSES PENYIDIKAN

Oleh

Deria Yanita, Eddy Rifai, Eko Raharjo

  

Email : deriayanita@gmail.com

  Prolematika yang seringkali terjadi dalam pelaksanaan penyidikan tindak pidana berupa keterlambatan mengirimkan SPDP kepada jaksa penuntut umum serta tidak adanya batasan yang jelas mengenai waktu pemberitahuan dimulainya penyidikan dalam Pasal 109 ayat (1) KUHAP berdampak pada tidak adanya kepastian hukum dalam pelaksanaan penyidikan. Melalui putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015 terdapat kewajiban bagi penyidik untuk menyampaikan SPDP kepada penuntut umum, pelapor dan terlapor maksimal 7 (tujuh) hari sejak terbitnya surat perintah penyidikan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah, bagaimanakah implementasi pembatasan waktu SPDP dalam proses penyidikansetelah diberlakukannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 dan apakah yang menjadi faktor penghambat implementasi pembatasan waktu SPDP dalam proses penyidikansetelah diberlakukannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015.

  Kata Kunci: Penyidikan, SPDP

  

ABSTRACT

IMPLEMENTATION OF TIME LIMITATION OF LETTERS OF ORDER OF

  

INVESTIGATION COMMENCEMENTIN THE

PROCESS OF INVESTIGATION

(Study of Decision of the Constitutional Court Number 130 / PUU-XIII / 2015)

  

Problems that often occur in the implementation of criminal investigations are in the

form of delay in sending SPDP to the public prosecutor and the absence of clear limits

on the timing of notification of commencement of investigation in Article 109 paragraph

(1) Criminal Procedure Code has an impact on the absence of legal certainty in the

implementation of investigation. Through the decision of the Court No. 130 / PUU-XIII

/ 2015 there is an obligation for the investigator to submit SPDP to the prosecutor, the

complainant and the reported maximum 7 (seven) days since the issuance of the

warrant. The problems of this research are how is the implementation of SPDP time

limitation in the process of investigation after the enactment of Constitutional Court

Decision Number 130 / PUU-XIII / 2015 and what is the obstacle factor in the

implementation of SPDP time limitation in the investigation process following the

enactment of Constitutional Court Decision Number 130 / PUU- XIII / 2015.

  Key Words: Investigation, SPDP

I. PENDAHULUAN

  Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 11 Januari 2017 melalui putusan perkara Nomor 130/PUU-XIII/2015 telah mengabulkan permohonan judicial

  review atas Pasal 109 ayat (1) KUHAP,

  dimana dalam putusannya MK ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum” tidak dimaknai “penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat

  7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyid ikan”. Adapun yang dimaksud dengan penyidikan sebagaimana diatur dalam

  Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Penyidikan ini dilakukan untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang pada tahap pertama harus dapat memberikan keyakinan, walaupun sifatnya masih sementara, kepada penuntut umum tentang apa yang sebenarnya terjadi atau tentang tindak pidana yang telah dilakukan serta siapa tersangkanya. Penyidikan dilaksanakan untuk kepentingan peradilan, khususnya untuk kepentingan penuntutan, yaitu untuk menentukan dapat tidaknya suatu tindakan atau perbuatan dilakukan penuntutan. Setelah tahapan penyidikan berita acara penyidikan ke dalam satu berkas dan kemudian melimpahkannya kepada pihak kejaksaan untuk proses hukum lebih lanjut.

  1 Peranan penyidik dalam sistem peradilan

  pidana menempatkannya pada jajaran terdepan dalam mengungkap tindak pidana.Penyidikan ini dilakukan untuk mencari serta mengumpulkan bukti- buktiyang pada tahap pertama harus dapat memberikan keyakinan, walaupun sifatnya masih sementara, kepada penuntut umum tentang apa yang sebenarnya terjadi atau tentang tindak pidana yang telah dilakukan serta siapa tersangkanya. Apabila berdasarkan keyakinan tersebut, penuntut umum berpendapat cukup alasan untuk mengajukan tersangka ke depan sidang pengadilan untuk segera disidangkan. Terlihat bahwa penyidikan suatu pekerjaan yang dilakukan untuk membuat terang suatu perkara, yang selanjutnya dapat dipakai oleh penuntut umum sebagai dasar untuk mengajukan tersangka beserta bukti-bukti yang ada kedepan persidangan. Bila diperhatikan pekerjaan ini mempunyai segi-segi yuridis, oleh karena keseluruhan pekerjaan ini ditujukan pada pekerjaan di sidang pengadilan. Meskipun telah terdapat putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 1 Dianor Sutra, Fungsi Kepolisian Sebagai

  Penyidik Utama: Studi Identifikasi Sidik Jari dalam Kasus Pidana , Jurnal Jurisprudence, Vol.1, No.1, Juli Januari 2017, dimana didalamnya memuat mengenai kewajiban bagi penyidik untuk menyampaikan SPDP kepada penuntut umum, pelapor dan terlapor dalam jangka waktu paling lambat 7 hari setelah terbitnya surat perintah penyidikan, akan tetapi masih ditemukan adanya pelanggaran hukum putusan MK tersebut. Salah satu contoh pelanggaran terhadap putusan MK tersebut dapat diketahui dalam perkara permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Kalianda dengan nomor perkara 04/Pid.Pra/2017/PN.Kla antara Yuli Elviana Binti Dja Alhak selaku pemohon dan penyidik Polsek Tanjungan selaku termohon terkait ditetapkannya Yuli Elviana Binti Dja Alhak sebagai tersangka dengan dasar bahwa tidak diberikannya SPDP kepada tersangka / terlapor sehingga pemohon merasa bahwa penetapan tersangka yang ditujukan kepadanya adalah tidak sah.

  Ketentuan Pasal 109 ayat (1) KUHAP yang semula disebutkan bahwa "dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum" , maka terhitung sejak adanya putusan MK Nomor 130/PUU-

  XIII/2015ketentuan Pasal 109 ayat (1) KUHAP berubah menjadi "dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana,penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan”.

  SPDP yang diberikan kepada jaksa penuntut umum menjadi pintu masuk dimulainya proses pra penuntutan, dimana setelah SPDP disampaikan maka kejaksaan akan menindaklanjuti dengan menunjuk penuntut umum untuk mengikuti perkembangan penyidikan atau yang dikenal dengan Jaksa Peneliti. SPDP memiliki fungsi penting dalam proses peradilan pidana, tanpa SPDP penuntut umum tidak dapat mengetahui penyidikan yang dilakukan oleh penyidik, dan tentunya mengakibatkan penuntut umum tidak dapat mengikuti perkembangan penyidikan dan juga membuat koordinasi antara penyidik dan penuntut umum menjadi tidak maksimal. Penegakan hukum merupakan upaya yang dilakukan agar berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Penanggulangan kejahatan di masyarakat melalui sarana penal, dalam pelaksanaannya dilakukan dengan menggunakan sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal

II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Implementasi Pembatasan Waktu Surat Permberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dalam Proses Penyidikan Setelah Diberlakukannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015

  justice system) yang diwujudkan dan

  diterapkan melalui pelaksanaan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan, dan pelaksanaan putusan pengadilan atau eksekusi pidana, penyelenggaraan sistem peradilan pidana tersebut didasarkan pada ketentuan yang termuat dalam KUHAP. Menurut Romli Atmasasmita, penegakan hukum pidana merupakan tugas komponen-komponen aparat penegak hukum yang tergabung dalam sistem peradilan pidana dengan tujuan untuk melindungi dan menjaga ketertiban masyarakat. Sistem peradilan pidana dapat dikaji melalui tiga pendekatan, a. Pendekatan normatif, memandang komponen-komponen aparatur penegak hukum dalam sistem peradilan pidana merupakan institusi pelaksanaan peraturan perundang- undangan yang beraku, sehingga komponen-komponen ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum.

  b. Pendekatan administrasi, memandang komponen-komponen aparatur penegak hukum sebagai suatu

  management yang memiliki

  mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horisontal maupun hubungan yang bersifat vertikal sesuai struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut.

  c. Pendekatan sosial, memandang memandang komponen-komponen aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial, hal ini memberi pengertian bahwa seluruh masyarakat ikut bertanggungjawab atas keberhasilan atau tidak terlaksananya tugas dari komponen-komponen aparatur penegak hukum tersebut.

  hukum pidana apabila dilihat dari suatu proses kebijakan maka penegakan hukum pada hakikatnya merupakan 2 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana

  (Criminal Justice, System Perspektif, Eksistensialisme,

  penegakan kebijakan melalui beberapa tahap, yaitu :

  1. Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang, tahap ini disebut dengan tahap legislatif. hukum pidana oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, sampai tahap pengadilan, tahap ini disebut dengan tahap kebujakan yudikatif.

  3. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkrit oleh aparat penegak hukum, tahap ini disebut dengan tahap kebijakan eksekutif atau administratif.

  3 Implementasi pembatasan waktu

  pengiriman SPDP paling lambat selama 7 (tujuh) hari kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah terbitnya surat perintah penyidikan adalah merupakan perintah undang-undang, sebab putusan MK atas

  judicial review

  Pasal 109 ayat (1) KUHAP tersebut telah dimuat dalam Lembar Berita Negara Republik Indonesia dimana substansi yang termuat dalam putusan MK memiliki nilai yang sama dengan undang-undang, oleh karena hakikat KUHAP adalah merupakan ketentuan formil yang mengatur pelaksanaan penyidikan tindak pidana maka penyidik wajib untuk mengimplementasikan pemberian SPDP berdasarkan putusan MK tersebut. Dalam hal penyidik lalai atau tidak mematuhi perintah yang termuat dalam putusan MK terkait pembatasan waktu 3 Muladi,Kapita Selekta Hukum Pidana,Badan Penerbit Universitas Diponegoro,Semarang,1995,hlm.

2 Selanjutnya menurut Muladi, penegakan

  pengiriman SPDP, maka penyidik telah melakukan tindakan sewenang-wenang, melawan hukum dan tidak profesional, dengan demikian penyidik dapat diadukan kepada pejabat pengawas penyidikan untuk ditindaklanjuti dengan pemberian sanksi. dengan mendasar pada hasil wawancara, maka menurut analisis penulis, terhadap implementasi tentang pembatasan waktu SPDP dalam proses penyidikan setelah diberlakukannya putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015dapat dikaji dengan berpedoman pada teori sistem peradilan pidana sebagaimana dikemukakan oleh Romli Atmasasmita yang membagi melalui tiga pendekatan, yaitu :

  1. Pendekatan normatif Penyidik dan penuntut umum merupakan aparat penegak hukum yang tidak terpisahkan dalam sistem peradilan pidana, kedua aparatur tersebut dalam menjalankan tugas dan wewenangnya telah ditentukan secara normatif dalam KUHAP, dalam hal pelaksanaan penyidikan terdapat kewajiban bagi penyidik untuk memberitahukan dimulainya proses penyidikan dimaksud melalui SPDP kepada penuntut umum paling lambat 7 (tujuh) hari sejak terbitnya surat perintah penyidikan, atas hal tersebut maka penuntut umum memiliki kewajiban untuk memantau proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik.

  2. Pendekatan administrasi Kedudukan SPDP sebagai pintu utama terhubungnya koordinasi antara penyidik dan penuntut umum terkait pelaksanaan penyidikan yang dilakukan penyidik adalah merupakan sarana dimulainya interaksi, interkoneksi, dan interelasi antara penyidik dan jaksa penuntut umum.

  3. Pendekatan sosial Keberhasilan atas implementasi putusan MK Nomor 130/PUU-

  XIII/2015 terkait kewajiban bagi penyidik untuk menyampaikan SPDP pelapor/korban, dan terlapor tidak dapat dilepaskan dari peran serta masyarakat untuk menjalankan fungsi kontrol sosial, dimana masyarakat dapat turut serta mengawasi pelaksanaan penyidikan dimaksud agar tidak terjadi tindakan sewenang- wenang, tindakan melawan hukum, dan ketidakprofesionalan yang dilakukan oleh penyidikdalam hal tidak melaksanakan substansi hukum yang timbul atas putusan MK tersebut. Adanya kewajiban menyampaikan SPDP kepada penuntut umum, pelapor/korban dan terlapor paling lambat 7 (tujuh) hari sejak terbitnya surat perintah penyidikan terhitung setelah adanya putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015, maka secara normatif ketentuan Pasal 109 ayat (1) KUHAP telah memiliki batasandan tenggang waktu yang jelas mengenai kewajiban pemberian SPDP, sehingga dengan adanya putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015dapat dinilai tidak lagi menimbulkan problematika dan berbagai persepsi dalam memahami ketentuan Pasal 109 ayat (1) KUHAP.

B. Faktor Penghambat Implementasi Pembatasan Waktu Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dalam Proses Penyidikan Setelah Diberlakukannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015

  Pemberitahuan dimulainya penyidikan dalam KUHAP bertujuan meletakkan dasar-dasar kerja sama dan koordinasi fungsional serta merupakan sarana pengawasan secara horizontal antara penyidik dan penuntut umum dalam rangka mewujudkan proses penanganan perkara pidana yang dilaksanakan secara cepat, sederhana, dan biaya ringan. SPDP memiliki fungsi yang begitu sentral dalam mekanisme pengawasan horizontal antara penyidik dan penuntut umum dalam rangka pelaksanaan penegakan hukum, sebab tanpa adanya SPDP maka tidak akan terjadi pelaksanaan koordinasi fungsional antara penyidik dan penuntut umum. Ketiadaan koordinasi fungsional akan berdampak pada tidak adanya pengawasan secara horizontal, apabila hal ini terjadi maka posisi penyidik akan sangat dominan dan akan berpotensi besar melakukan tindakan sewenang-wenang dalam menangani perkara pidana.

  Mekanisme koordianasi dalam rangka penegakan hukum pidana antara penyidik dan penuntut umum tidak dapat dilaksanakan apabila SPDP tidak diberikan oleh penyidik kepada penuntut umum.Penegakan hukum dapat diartikan sebagai serangkaian kegiatan dalamrangka usaha pelaksanaan ketentuan-ketentuanhukum yang berlaku, baikbersifat pencegahan maupun penindakanyang mencakup teknis maupunadministrasi yang dilaksanakan oleh aparatpenegak hukum, sehingga melahirkansuasana aman, tertib dan kepastian hukumdalam masyarakat. Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum pada dasarnya bukan semata- mata menerapkan ketentuan peratuan perundang-undangan saja, namun terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu sebagai

  1 Faktor Perundang - undangan (Substansi hukum) Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan.Hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif.

  2 Faktor penegak hukum Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri.Dalam kerangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa keadilan tanpa kebenaran adalah kebejatan dan kebenaran tanpa kejujuran adalah kemunafikan.

  3 Faktor sarana dan fasilitas Sarana dan fasilitas mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan memadai dan keuangan yang cukup.

  4 Faktor masyarakat Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik.

  5 Faktor Kebudayaan Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat, semakin banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan maka akan semakin mudahlah dalam menegakannya.

  dilakukan maka menurut analisis penulis, terhadap faktor penghambat implementasi pembatasan waktu SPDP dalam proses penyidikan setelah diberlakukannya putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015dapat dikaji dengan berpedoman pada teori faktor penghambat penegakan hukum sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto yang terdiri dari faktor peraturan perundang-undangan (substansi hukum), penegak hukum, sarana dan fasilitas, masyarakat, serta kebudayaan, akan tetapi dengan mendasar pada hasil wawancara yang telah dilakukan, maka faktor penghambat yang dinilai relevan dalam penelitian ini dapat ditinjatu dari 2 (dua) faktor, meliputi :

  1. Faktor peraturan perundang-undangan Belum adanya aturan hukum yang mengatur pemberian sanksi serta akibat hukum yang timbul atas kelalaian dan atau kesengajaan penyidik yang tidak memberikan SPDP kepada penuntut umum, pelapor/korban, dan terlapor, meskipun secara normatif SPDP wajib untuk diberikan paling lambat 7 (tujuh) hari sejak terbitnya surat perintah penyidikan berdasarkan 4 Soerjono Soekanto,Faktor-Faktor yang

  Mempengaruhi Penegakan Hukum , Rineka Cipta,

  putusan MK Nomor 130/PUU-

  XIII/2015 namun tetap saja hal tersebut dapat dilanggar oleh penyidik. Adapun terhadap aturan hukum yang ada, meliputi : a. Peraturan Kepala Kepolisian

  Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana;

4 Berdasarkan hasil penelitian yang

  b. Peraturan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2014 tentang Standar Operasional Prosedur Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana;

  c. Peraturan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Standar Operasional Prosedur Pengawasan Penyidikan Tindak Pidana.

  Hanya memuat ketentuan-ketentuan administratif mengenai mekanisme penyidikan tindak pidana oleh penyidik kepolisian, sedangkan didalamnya tidak mengatur pemberian sanksi apabila terjadi pelanggaran oleh penyidik dalam melakukan penyidikan khususnya terhadap penyampaian SPDP kepada jaksa, penuntut umum, korban atau pelapor, dan terlapor.

  2. Faktor aparat penegak hukum

  a. Rendahnya upaya mewujudkan kepastian hukum dari oknum penyidikkepolisian terkait implementasi pemberian SPDP, hal ini dapat dilihat dalam putusan perkara praperadilan Nomor : 04/Pid.Pra/2017/PN. Kla tanggal 25 Juli 2017 pada Pengadilan Negeri Kalianda, dalam perkara tersebut diketahui terdapat tindakan sewenang- wenang oknum penyidik yang tetap tidak memberikan SPDP kepada terlapor/tersangka diwajibkan dalam putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017.

  b. Pihak penyidik dalam menangani banyaknya jumlah perkara yang ditangani sehingga berdampak pada terpecahnya konsentrasi penyidik dalam melakukan penanganan perkara, hal ini menjadi sebuah problematika ketika putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017 mewajibkan disampaikannya SPDP kepada penuntut umum, pelapor/korban, dan terlapor, meskipun secara normatif SPDP wajib untuk diberikan paling lambat 7 (tujuh) hari sejak terbitnya surat perintah penyidikan.

  Ditemukannya faktor penghambat tersebut pada dasarnya akan memberikan pengaruh terhadap bekerjanya sistem peradilan pidana sebagaimana dikemukakan oleh Romli Atmasasmita yang mencakup pendekatan normatif, pendekatan administrasi, dan pendekatan sosial. Disamping itu faktor penghambat tersebut juga akan mempengaruhi upaya penegakan hukum pidana yang dilakukan oleh penyidik kepolisian, khususnya dalam tahap aplikasi sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto, sebab penerapan hukum dalam hal pelaksanaan penyidikan tidak akan terlaksana secara proporsional, profesional dan berorientasi pada kepastian hukum apabila tidak segera ditemukan solusi guna menanggulangi faktor penghambat dimaksud.

  III. PENUTUP A. Simpulan

  Implementasi pembatasan waktu SPDP dalam proses penyidikan setelah diberlakukannya putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015 dilakukan dengan mendasar pada teori penegakan hukum pidana melalui pendekatan normatif yaitu adanya keterikatan antara penyidik dan penuntut umum terkait proses penyidikan melalui SPDP, disamping itu guna menjamin adanya kepastian hukum maka SPDP juga wajib diberikan kepada pelapor dan terlapor.. Pendekatan administrasi yaitu SPDP merupakan sarana dimulainya interaksi, interkoneksi, dan interelasi antara penyidik dan jaksa penuntut umum, serta diberitahukannya hal tersebut kepada pelapor maupun terlapor guna mempersiapkan kepentingan hukumnya masing-masing. Pendekatan sosial yaitu adanya peran serta dari masyarakat sebagai fungsi kontrol agar tidak terjadi tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh penyidik guna menunjang keberhasilan implementasi putusan MK Nomor 130/PUU- XIII/2015.

  Faktor penghambat implementasi pembatasan waktu SPDP dalam proses penyidikan setelah diberlakukannya putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015 dikaji melalui teori faktor penghambat penegakan hukum dimana yang terdapat relevansinya dengan penelitian ini meliputi 2 (dua) faktor diantaranya, faktor perundang-undangan yaitu belum adanya aturan hukum yang mengatur pemberian sanksi serta akibat hukum yang timbul atas kelalaian atau kesengajaan penyidik yang tidak memberikan SPDP kepada penuntut umum, pelapor/korban, dan terlapor dalam jangka waktu maksimal 7 (tujuh) hari setelah terbit surat perintah penyidikan. Faktor aparat penegak hukum yaitu rendahnya upaya oknum penyidik terkait implementasi pemberian SPDP, serta jumlah penyidik yang tidak sebanding dengan perkara yang ditangani.

B. Saran

  Berkaitan dengan implementasi pembatasan waktu SPDP dalam proses penyidikan setelah diberlakukannya putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015 disarankan kepada penyidik agar bertindak profesional serta tuduk pada ketentuan Pasal 109 ayat (1) KUHAP pasca putusan MK yang mewajibkan SPDP untuk diberikan kepada penuntut umum, pelapor/korban dan terlapor paling lambat 7 (tujuh) hari sejak terbitnya surat perintah penyidikan, hal dimaksud ditujukan agar teciptanya kepastian hukum dalam pelaksanaan penyidikan, disamping itu untuk meminimalisir agar tidak terjadi tindakan sewenang-wenang yang dapat menimbulkan problematika hukum berupa gugatan praperadilan dari pihak yang merasa dirugikan atas keterlambatan atau tidak dikirimnya SPDP khususnya kepada pihak terlapor.

DAFTAR PUSTAKA

  Berkaitan dengan faktor penghambat implementasi pembatasan waktu SPDP dalam proses penyidikan setelah diberlakukannya putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015 disarankan kepada Kapolri agar dapat membuat suatu rumusan hukum yang memuat sanksi bagi penyidik apabila melakukan kelalaian atas keterlambatan atau tidak dikirimnya SPDP kepada penuntut umum, pelapor/korban dan terlapor paling lambat 7 (tujuh) hari sejak terbitnya surat perintah penyidikan sebagai bentuk upaya Kapolri untuk meningkatkan kesadaran hukum bagi penyidik atas pentingnya kedudukan SPDP dalam pelaksanaan penyidikan, penambahan personil yang mengemban tugas dan fungsi penyidikan sebab persoalan jumlah penyidik seringkali menjadi problematika atas tercapainya suatu penaganan perkara, hal tersebut dimaksudkan agar terciptanya proses penyidikan yang proporsional, profesional dan berorientasi pada kepastian hukum.

  Atmasasmita, Romli. 1996. Sistem

  Peradilan Pidana (Criminal Justice, System Perspektif, Eksistensialisme, dan Abolisinisme) . Bandung. Alumni.

  Muladi.Kapita Selekta Hukum Pidana.

  Semarang. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Soekanto, Soerjono. 1986. Faktor-

  Faktor yang Mempengaruhi PenegakaHukum . Jakarta:

  Rineka Cipta. Jakarta. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

  Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

  Republik Indonesia Dianor Sutra. (2012). Fungsi Kepolisian

  Sebagai Penyidik Utama: Studi Identifikasi Sidik Jari dalam Kasus Pidana , Jurnal Jurisprudence.

  Vol.1, No.1. hlm. 81.

Dokumen yang terkait

ANALISIS IMPLEMENTASI ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW DALAM PENEGAKAN HUKUM (Studi Kasus Hate Speech di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Tanjung Karang)

0 0 15

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA OLEH DEBT COLLECTOR YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM MENAGIH KREDIT BERMASALAH

1 4 13

IMPLEMENTASI LEMBAGA PENEMPATAN ANAK SEMENTARA DI PROVINSI LAMPUNG BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

0 0 15

KEKUATAN PEMBUKTIAN SAKSI MAHKOTA DALAM PERSIDANGAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA DENGAN PENYERTAAN (Studi Putusan Nomor 717/Pid.B/2015/PN.Tjk)

0 0 15

UPAYA KEPOLISIAN SEKTOR KAWASAN PELABUHAN DALAM PENANGGULANGAN PENYELUNDUPAN DAGING CELENG MELALUI TOL LAUT ( Studi Di Kawasan Pelabuhan Panjang)

0 0 13

PERANAN KEPOLISIAN DAERAH LAMPUNG DALAM PEMBERANTASAN TENAGA KERJA INDONESIA TANPA IZIN

0 0 15

PERAN POLISI MILITER ANGKATAN LAUT DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA ANGKATAN LAUT (Studi di Denpom Lanal Lampung)

0 0 13

PERANAN PUSAT LABORATORIUM FORENSIK DALAM MENGUNGKAP SUATU PERISTIWA YANG DIDUGA SEBAGAI TINDAK PIDANA (Studi di Puslabfor Bareskrim Mabes Polri)

0 1 14

UPAYA SISTEM KEAMAANAN LINGKUNGAN (SISKAMLING) DALAM PENCEGAHANPENCURIAN SEPEDA MOTOR (Studi di Wilayah Kecamatan Kalirejo Kabupaten Lampung Tengah)

0 0 15

IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG LARANGAN PERBUATAN PROSTITUSI SERTA PENCEGAHAN PERBUATAN MAKSIAT (Studi Kasus di Wilayah Kabupaten Lampung Selatan)

0 0 13