Sejarah Politik Nasional Adalah Sejarah
Sejarah Politik Nasional Adalah Sejarah
bagi Orang-orang yang Berkuasa
Oleh : Muslimin B. Putra
Pendahuluan
Ada pepatah asing yang berbunyi “De cultuur van een tijdpork is altijf de cultuur van
de heersende klasse” (kebudayaan daripada sesuatu jaman adalah selalu kebudayaan
daripada kelas yang berkuasa). Sepertinya hal tersebut berlaku dalam penulisan dan
pendidikan sejarah. Sejarah yang ditulis dan dibaca adalah sejarah orang-orang yang
berkuasa.
Sejak era reformasi setelah tumbangnya rezim Orde Baru, berbagai tuntutan
merebak terhadap tafsir tunggal sejarah politik nasional. Banyak pemikiran yang
tersumbat pada masa Orde Baru yang menginginkan perimbangan penulisan sejarah
agar tidak melanggengkan hegemeni kebenaran. Kita tahu, pada masa Orde Baru yang
berkuasa selama tiga decade adalah masa belangsungnya era otoritarian kebenaran.
Semua hal yang benar adalah milik penguasa, sementara suara tidak benar (baca :
oposisi) tidak dipekernankan bersuara di ranah publik.
Penyederhanaan partai-partai pada tahun 1977 dapat dipahami sebagai
penyederhanaan kelompok-kelompok yang potensial beroposisi. Apalgi suara-suara
oposisi semakn yaring terdengar dari kampus-kampus yang dihembuskan mahasiswa
yang menolka pencalonan Soeharto untuk dipilih ketiga kalinya. Namun apa lacur,
justru rezim Seorato semakin gencar mengyumbat suara-suara oposisi dengan
mengeluarkan kebijakan NKK/BKK pada tahun 1978. Sementara di ranah politik
semakin memperkuat ABRI dan Golkar sebagai alat penekan kelompok opoisisi di
dalam masyarakat di dalam parlemen.
Slogan demorkasi pancasila yang ditonjolkan rezim Orde Baru adalah slogan
hampa yang tidak menyentuh substansi. Pancasila yangmengakui kebhinekaan dan
keberagaman justru disumbat oleh kebijakan Or debaru dengan menyeragamkan asas
semua organisasi politik dan organisasi massa yang dikenal dengan asas tunggal pada
awal decade 1980-an. Logika manapun tenunya dapat membedakan antara arti
Penyeragaman dan keberagaman. Keduanya memiliki arti berbanding terbalik.
1
Sejarah Bangsa yang Tercerai-berai
Sejarah yang ditulis dan dibaca sekarang adalah sejarah yang mengesampingkan fakta
ketercerai-beraian nasib komunitas-komunitas tertentu dalam bangsa ini yang
memiliki suara yang berbeda dengan penguasa pada periode kekuasaan sebelumnya.
Efeknya adalah hingga saat ini sejarah yang dapat merekatkan persatuan bangsa justru
sulit ditemui.
Pada masa Soekarno dengan demokrasi terpimpinnya, komintas Islam Politik
yang berhimpun dalam organisasi politik Masyumi terpinggirkan dan mendapat
stereotype pemberontak. Sikap Soekarno tersebut karena menganggap Masyumi
berada dibelakang pembangkangan PRRI di Sumatera dan menjadi spirit lahirnya
gerakan pembangkangan serupa di Sulawesi yang bernama Permesta. Sementara
faktor utama lahirnya gerakan pemabngakangan daerah terhadap pemerintah pusat
sebagaimana yang manifestasi dalam PRRI dan Permesta ketika itu disebabkan pola
kepemimpinan Soekarno yang telah menjurus otoriter dan mengabaikan aspirasi dan
kepentingan daerah.
Tidak hanya komunitas Islam Politik, malah sekutu idiologis yang berlainan
partaipun mengalami penyingkiran yakni komunitas yang bernaung dibawah Partai
Sosialis Indonesia (PSI). Sementara antara PSI dan PNI – partai Soekarno -
nyaris
tidak memiliki perbedaan signifikan dalam hal idiologi. Meski PNI berlabel
nasionalis, namun secara substansi PNI banyak memperjuangkan idiologi sosialis.
Malah PNI lebih dekat dengan ide sosialis Marxis yang diberi label : Marhaenisme
yakni idioologi sosialis komunis yang bernuansa keindonesiaan.
Setelah pergantian rezim pada pertengahan dan akhir dekade 1960-an,
Soeharto yang tampil memimpin usai pergolakan politik yang dilakukan PKI pada
peristiwa 30 September 1965, terjadi arus balik yang menjadi titik awal tampilnya
golongan militer dalam tampuk kekuasaan.
Karena korban-korban peristiwa 30
September adalah berasal dari kalangan militer, maka rezim militer yang kelak
disebut rezim Orde Baru ganti menekan orang-orang Soekarno dan PKI. Arus balik
pengganyangan aktifis dan simpatisan PKI berlangsung di seantero nusantara
sehingga dikabarkan menyebabkan jatuhnya ribuan korban jiwa.
Selama 30 tahun Orde Baru berkuasa, orang-orang Soekarnois nyaris tidak
memiliki kebebasan bergerak. Gerak-gerakinya diteropong melalui organisasi
stabilisator bentukan Soeharto, seperti Pangkopkamtib hingga berubah nama menjadi
Bakorstanas. Lembaga stabilisator tersebut berfungsi meneropong aktifitas eks
2
Soekarnois baik dalam aktifitas ekonomi hingga aktifitas politik, termasuk keluarga
Soekarno.
Setelah kejatuhan Soeharto pada Mei 1998 melalui demontrasi gerakan
mahasiswa, kembali terjadi arus balik pengkutukan terhadap rezim Orde Baru.
Komunitas yang progresif bersuara setelah kejatuhan Soeharto adalah justru berasal
dari komunitas yang selama Orde Baru mengalami tekanan yakni orang-orang
Soekarnois. PDI-P sebagai tempat berkumpulnya orang-orang Soekarnois tak
menemui hambatan tampil menjadi pemenang Pemilu 1999 karena disimbolkan
sebagai partai wong cilik yang membela hak-hak orang kecil yang selama Orde Baru
diabaikan.
Peristiwa pengganyangan terhadap simpatisan dan aktifis PKI tersebut maish
menjadi trauma bagi orang-orang Soekarnois hingga kini. Berbagai cara digunakan
untuk mendapatkan keadilan, termasuk dengan pendekatan litigasi. Komunitas eks
PKI melalui bantuan hokum yang diberikan LBH Jakarta giat melakukan gugatan di
pengadilan Jakarta terhadap Soeharto yang telah menghilangkan kebebasannya
selama tiga puluh tahun Orde Baru berkuasa.
Hegemoni kebenaran oleh penguasa
Sejarah yang ditulis pada masa Orde Baru dapat dikatakan adalah sejarah orang-orang
yang berkuasa pada masa itu. Maka tak salah bila hampir tidak ada satupun buku
sejarah resmi
yang mengisahkan orang-orang yang terkalahkan dalam “program
pembangunan” Orde Baru tersebut.
Pada era Orde Baru merupakan era otoritarian kebenaran dengan terjadinya
berbagai kasus-kasus pelarangan peredaran dan penerbitan buku-buku yang
berseberangan dengan kepentingan penguasa.
Berbagai kasus-kasus pencekalan
buku-buku yang bernuansa sosialis-komunis dilarang keras beredar. Maka tak salah
bila buku-buku semacam karangan Pramoedya Ananta Toer dalam versi Indonesia
sangat jarang dijumpai pada masa itu. Malah buku Ananta Toer lebih mudah ditemui
pada rak-rak perpustakaan di kampus-kampus negeri lain, seperti di Australia.
Pelarangan buku Ananta Toer merupakan konsekwensi ditetapkannya PKI
sebagai partai terlarang di Indonesia sebagai efek dari Peristiwa Gerakan 30
September 1965. Sementara Ananta Toer adalah seorang penggiat LEKRA (Lembaga
Kebudayaan Rakyat), salah satu organisasi onderbouw PKI. Hal tersebut dapat
dipahami sebagai sebuah kebijakan politik. Namun sebagai sebuah idiologi, komunis
3
semestinya harus tetap hidup meski terbatas di ruang-ruang kuliah kampus perguruan
tinggi karena merupakan obyek studi yang tetap diperlukana dalam pengayaan
idiologi-idiologi besar dunia yang pernah dan sedang berpengaruh. Tapi dalam
kenyataannya, komunis sebagai idiologi pun
dilarang di pelajari sehingga praktek
hegemoni kebenaran benar-benar telah merasuk pada dunia akademik yang
semestinya memiliki kebebasan akademik dan mimbar akademik.
Disamping pelarangan penerbitan buku-buku yang sehaluan dengan idiologi
penguasa Orde Baru, juga pelarangan penerbitan umum seperti majalah. Pelarangan
dilakukan bila isi pemberitaan menyoroti langsung praktek tercela yang dilakukan
petinggi-petinggi Orde Baru. Majalah Tempo, Editor dan Detik adalah beberapa
penerbitan yang mengalami pembredelan karena berani melaporkan secara lugas
beberapa kinerja negatif/skandal yang dilakukan pejabat-pejabat Orde Baru.
Ketertutupan informasi publik adalah hal lain yang turut mendukung
kelanggengan rezim otoritarian Orde Baru. Hingga saat ini, tuntutan masyarakat sipil
agar ada jaminan kebebebasan mengakses informasi publik masih menjadi
perdebatan. RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik yang telah diperjuangkan
kalangan OMS (organsiasi masyarakat sipil) selama empat tahun belakangan ini
masih ditanggapi negatif oleh pihak yang berkuasa karena dianggap berseberangan
dengan RUU Rahasia Negara yang diyakini oleh pemerintah dapat melindungi
kepentingannya.
Sejarah yang mencerahkan
Dalam membangun bangsa ke depan, dibutuhkan sejarah yang mencerahkan semua
lapisan masyarakat. Karena itu kita memerlukan adanya kelembagaan khusus yang
dapat menafsirkan sejarah secara lugas, transparan dan imparsial.
Sirkulasi elit politik yang berubah-ubah ternyata membawa efek sejarah
bangsa yagn tercerai berai.
Elit politik yang menguasai pemerintahan selalu
menunjukkan hegemoninya terhadap golongan lain yang terkalahkan baik secara
politik maupun idiologis. Sehingga dalam rangka integrasi bangsa, sudah sepatutnya
pemerintahan sekarang ini (SBY-JK) mengakhiri “tradisi” politik tersebut. Saatnya
sekarng membangun identitas bangsa yang plural menjadi bangsa yang bersatu secara
idiologis dalam rangka menjaga kesatuan nasional.
Jawaban atas keinginan sejarah yang mencerahkan tersebut lebih menghendaki
pada terbentuknya segera Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). KKR dapat
4
menjadi pintu masuk digelarnya seluruh kasus-kasus yang berpotensi melanggar
HAM pada masa lalu dan mendudukkannya dalam satu cara pandang pendekatan
HAM. Pendekatan HAM dapat dijadikan parameter karena merupakan tolok ukur
yang sudah berlaku universal dalam melihat kasus kriminal politik yang pernah terjadi
yang dilakukan oleh penguasa.
Setelah mendudukkan pada posisinya, semua pihak diharapkan mengakui
kesalahan dan setelah ini mengadakan rekonsiliasi nasional agar tidak ada dendam
sejarah yang terus terjadi dan berkepanjangan yang menghambat proses integrasi
bangsa maupun integrasi nasional. Bangsa yang tercabik-cabik oleh sejarahnya akan
berpotensi menjadi bangsa yang stagnan karena para penguasa pemerintahan akan
didorong keinginan untuk berkuasa seraya menindas golongan politik yang lain yang
tidak sejalan dengan garis politiknya.
Rekonsiliasi yang bagus yang patut dicontoh adalah rekonsiliasi yang terjadi
di Afrika Selatan. Pada saat peemrintahan apartheid berkuasa, orang-orang berkulit
hitam dimusuhi oleh rezim yagn dikuasai oleh kulit putih. Setelah Nelson Mandela
yagn berasal dari kulit hitam berhasil menjadi presiden negeri itu, dia berhasil
melakukan rekonsiliasi dan memaafkan perlakuan diskriminasi penguasa apartheid
Afrika Selatan. Justru semangat dan inspirasi melakukan pemaafan oleh Nelson
Mandela berdasarkan pengakuannya bersumber dari semangat yang pernah
ditunjukkan Syeh Yusuf yang makamnya terdapat di wilayah Afrika Selatan. Syeh
Yusuf Al Makassary adalah ulama Islam yang berasal dari Gowa pada beberapa abad
lalu.
Indonesia dengan mayoritas penduduk Muslim seyogyanya dapat bercermin
pada kasus Afrika Selatan dalam melakukan gerakan rekonsiliasi dimana inspirasi
rekonsiliasinya Nelson Mandela berasal dari spirit Islam. Sehingga kedepan, Bangsa
Indonesia dapat menuliskan sejarahnya yang dapat membawa pencerahan bagi
generasi penerusnya, bukannya meneruskan dendam sejarah secara turun temurun.
Hasta la Victoria siempre !
Muslimin B. Putra, Peserta Magister Ilmu Administrasi Publik UI, Jakarta
Profesi, Peneliti dan Aktifis NGO
5
Lampiran 2
Surat Pernyataan
Dengan ini menyatakan bahwa saya atas nama :
Nama : Muslimin B. Putra
Alamat : di Komp. YKBK No. 16, Depok, Jawa Barat
Dengan ini menyatakan bahwa karya saya dengan judul “Sejarah Politik Nasional
adalah Sejarah Orang-orang yang Berkuasa” adalah benar sebagai karya asli saya .
6
Demikian pernyataan ini dibuat untuk digunakan sebagaimana mestinya.
Depok, 25 Mei 2006
Yang Menyatakan
Muslimin B. Putra
7
bagi Orang-orang yang Berkuasa
Oleh : Muslimin B. Putra
Pendahuluan
Ada pepatah asing yang berbunyi “De cultuur van een tijdpork is altijf de cultuur van
de heersende klasse” (kebudayaan daripada sesuatu jaman adalah selalu kebudayaan
daripada kelas yang berkuasa). Sepertinya hal tersebut berlaku dalam penulisan dan
pendidikan sejarah. Sejarah yang ditulis dan dibaca adalah sejarah orang-orang yang
berkuasa.
Sejak era reformasi setelah tumbangnya rezim Orde Baru, berbagai tuntutan
merebak terhadap tafsir tunggal sejarah politik nasional. Banyak pemikiran yang
tersumbat pada masa Orde Baru yang menginginkan perimbangan penulisan sejarah
agar tidak melanggengkan hegemeni kebenaran. Kita tahu, pada masa Orde Baru yang
berkuasa selama tiga decade adalah masa belangsungnya era otoritarian kebenaran.
Semua hal yang benar adalah milik penguasa, sementara suara tidak benar (baca :
oposisi) tidak dipekernankan bersuara di ranah publik.
Penyederhanaan partai-partai pada tahun 1977 dapat dipahami sebagai
penyederhanaan kelompok-kelompok yang potensial beroposisi. Apalgi suara-suara
oposisi semakn yaring terdengar dari kampus-kampus yang dihembuskan mahasiswa
yang menolka pencalonan Soeharto untuk dipilih ketiga kalinya. Namun apa lacur,
justru rezim Seorato semakin gencar mengyumbat suara-suara oposisi dengan
mengeluarkan kebijakan NKK/BKK pada tahun 1978. Sementara di ranah politik
semakin memperkuat ABRI dan Golkar sebagai alat penekan kelompok opoisisi di
dalam masyarakat di dalam parlemen.
Slogan demorkasi pancasila yang ditonjolkan rezim Orde Baru adalah slogan
hampa yang tidak menyentuh substansi. Pancasila yangmengakui kebhinekaan dan
keberagaman justru disumbat oleh kebijakan Or debaru dengan menyeragamkan asas
semua organisasi politik dan organisasi massa yang dikenal dengan asas tunggal pada
awal decade 1980-an. Logika manapun tenunya dapat membedakan antara arti
Penyeragaman dan keberagaman. Keduanya memiliki arti berbanding terbalik.
1
Sejarah Bangsa yang Tercerai-berai
Sejarah yang ditulis dan dibaca sekarang adalah sejarah yang mengesampingkan fakta
ketercerai-beraian nasib komunitas-komunitas tertentu dalam bangsa ini yang
memiliki suara yang berbeda dengan penguasa pada periode kekuasaan sebelumnya.
Efeknya adalah hingga saat ini sejarah yang dapat merekatkan persatuan bangsa justru
sulit ditemui.
Pada masa Soekarno dengan demokrasi terpimpinnya, komintas Islam Politik
yang berhimpun dalam organisasi politik Masyumi terpinggirkan dan mendapat
stereotype pemberontak. Sikap Soekarno tersebut karena menganggap Masyumi
berada dibelakang pembangkangan PRRI di Sumatera dan menjadi spirit lahirnya
gerakan pembangkangan serupa di Sulawesi yang bernama Permesta. Sementara
faktor utama lahirnya gerakan pemabngakangan daerah terhadap pemerintah pusat
sebagaimana yang manifestasi dalam PRRI dan Permesta ketika itu disebabkan pola
kepemimpinan Soekarno yang telah menjurus otoriter dan mengabaikan aspirasi dan
kepentingan daerah.
Tidak hanya komunitas Islam Politik, malah sekutu idiologis yang berlainan
partaipun mengalami penyingkiran yakni komunitas yang bernaung dibawah Partai
Sosialis Indonesia (PSI). Sementara antara PSI dan PNI – partai Soekarno -
nyaris
tidak memiliki perbedaan signifikan dalam hal idiologi. Meski PNI berlabel
nasionalis, namun secara substansi PNI banyak memperjuangkan idiologi sosialis.
Malah PNI lebih dekat dengan ide sosialis Marxis yang diberi label : Marhaenisme
yakni idioologi sosialis komunis yang bernuansa keindonesiaan.
Setelah pergantian rezim pada pertengahan dan akhir dekade 1960-an,
Soeharto yang tampil memimpin usai pergolakan politik yang dilakukan PKI pada
peristiwa 30 September 1965, terjadi arus balik yang menjadi titik awal tampilnya
golongan militer dalam tampuk kekuasaan.
Karena korban-korban peristiwa 30
September adalah berasal dari kalangan militer, maka rezim militer yang kelak
disebut rezim Orde Baru ganti menekan orang-orang Soekarno dan PKI. Arus balik
pengganyangan aktifis dan simpatisan PKI berlangsung di seantero nusantara
sehingga dikabarkan menyebabkan jatuhnya ribuan korban jiwa.
Selama 30 tahun Orde Baru berkuasa, orang-orang Soekarnois nyaris tidak
memiliki kebebasan bergerak. Gerak-gerakinya diteropong melalui organisasi
stabilisator bentukan Soeharto, seperti Pangkopkamtib hingga berubah nama menjadi
Bakorstanas. Lembaga stabilisator tersebut berfungsi meneropong aktifitas eks
2
Soekarnois baik dalam aktifitas ekonomi hingga aktifitas politik, termasuk keluarga
Soekarno.
Setelah kejatuhan Soeharto pada Mei 1998 melalui demontrasi gerakan
mahasiswa, kembali terjadi arus balik pengkutukan terhadap rezim Orde Baru.
Komunitas yang progresif bersuara setelah kejatuhan Soeharto adalah justru berasal
dari komunitas yang selama Orde Baru mengalami tekanan yakni orang-orang
Soekarnois. PDI-P sebagai tempat berkumpulnya orang-orang Soekarnois tak
menemui hambatan tampil menjadi pemenang Pemilu 1999 karena disimbolkan
sebagai partai wong cilik yang membela hak-hak orang kecil yang selama Orde Baru
diabaikan.
Peristiwa pengganyangan terhadap simpatisan dan aktifis PKI tersebut maish
menjadi trauma bagi orang-orang Soekarnois hingga kini. Berbagai cara digunakan
untuk mendapatkan keadilan, termasuk dengan pendekatan litigasi. Komunitas eks
PKI melalui bantuan hokum yang diberikan LBH Jakarta giat melakukan gugatan di
pengadilan Jakarta terhadap Soeharto yang telah menghilangkan kebebasannya
selama tiga puluh tahun Orde Baru berkuasa.
Hegemoni kebenaran oleh penguasa
Sejarah yang ditulis pada masa Orde Baru dapat dikatakan adalah sejarah orang-orang
yang berkuasa pada masa itu. Maka tak salah bila hampir tidak ada satupun buku
sejarah resmi
yang mengisahkan orang-orang yang terkalahkan dalam “program
pembangunan” Orde Baru tersebut.
Pada era Orde Baru merupakan era otoritarian kebenaran dengan terjadinya
berbagai kasus-kasus pelarangan peredaran dan penerbitan buku-buku yang
berseberangan dengan kepentingan penguasa.
Berbagai kasus-kasus pencekalan
buku-buku yang bernuansa sosialis-komunis dilarang keras beredar. Maka tak salah
bila buku-buku semacam karangan Pramoedya Ananta Toer dalam versi Indonesia
sangat jarang dijumpai pada masa itu. Malah buku Ananta Toer lebih mudah ditemui
pada rak-rak perpustakaan di kampus-kampus negeri lain, seperti di Australia.
Pelarangan buku Ananta Toer merupakan konsekwensi ditetapkannya PKI
sebagai partai terlarang di Indonesia sebagai efek dari Peristiwa Gerakan 30
September 1965. Sementara Ananta Toer adalah seorang penggiat LEKRA (Lembaga
Kebudayaan Rakyat), salah satu organisasi onderbouw PKI. Hal tersebut dapat
dipahami sebagai sebuah kebijakan politik. Namun sebagai sebuah idiologi, komunis
3
semestinya harus tetap hidup meski terbatas di ruang-ruang kuliah kampus perguruan
tinggi karena merupakan obyek studi yang tetap diperlukana dalam pengayaan
idiologi-idiologi besar dunia yang pernah dan sedang berpengaruh. Tapi dalam
kenyataannya, komunis sebagai idiologi pun
dilarang di pelajari sehingga praktek
hegemoni kebenaran benar-benar telah merasuk pada dunia akademik yang
semestinya memiliki kebebasan akademik dan mimbar akademik.
Disamping pelarangan penerbitan buku-buku yang sehaluan dengan idiologi
penguasa Orde Baru, juga pelarangan penerbitan umum seperti majalah. Pelarangan
dilakukan bila isi pemberitaan menyoroti langsung praktek tercela yang dilakukan
petinggi-petinggi Orde Baru. Majalah Tempo, Editor dan Detik adalah beberapa
penerbitan yang mengalami pembredelan karena berani melaporkan secara lugas
beberapa kinerja negatif/skandal yang dilakukan pejabat-pejabat Orde Baru.
Ketertutupan informasi publik adalah hal lain yang turut mendukung
kelanggengan rezim otoritarian Orde Baru. Hingga saat ini, tuntutan masyarakat sipil
agar ada jaminan kebebebasan mengakses informasi publik masih menjadi
perdebatan. RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik yang telah diperjuangkan
kalangan OMS (organsiasi masyarakat sipil) selama empat tahun belakangan ini
masih ditanggapi negatif oleh pihak yang berkuasa karena dianggap berseberangan
dengan RUU Rahasia Negara yang diyakini oleh pemerintah dapat melindungi
kepentingannya.
Sejarah yang mencerahkan
Dalam membangun bangsa ke depan, dibutuhkan sejarah yang mencerahkan semua
lapisan masyarakat. Karena itu kita memerlukan adanya kelembagaan khusus yang
dapat menafsirkan sejarah secara lugas, transparan dan imparsial.
Sirkulasi elit politik yang berubah-ubah ternyata membawa efek sejarah
bangsa yagn tercerai berai.
Elit politik yang menguasai pemerintahan selalu
menunjukkan hegemoninya terhadap golongan lain yang terkalahkan baik secara
politik maupun idiologis. Sehingga dalam rangka integrasi bangsa, sudah sepatutnya
pemerintahan sekarang ini (SBY-JK) mengakhiri “tradisi” politik tersebut. Saatnya
sekarng membangun identitas bangsa yang plural menjadi bangsa yang bersatu secara
idiologis dalam rangka menjaga kesatuan nasional.
Jawaban atas keinginan sejarah yang mencerahkan tersebut lebih menghendaki
pada terbentuknya segera Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). KKR dapat
4
menjadi pintu masuk digelarnya seluruh kasus-kasus yang berpotensi melanggar
HAM pada masa lalu dan mendudukkannya dalam satu cara pandang pendekatan
HAM. Pendekatan HAM dapat dijadikan parameter karena merupakan tolok ukur
yang sudah berlaku universal dalam melihat kasus kriminal politik yang pernah terjadi
yang dilakukan oleh penguasa.
Setelah mendudukkan pada posisinya, semua pihak diharapkan mengakui
kesalahan dan setelah ini mengadakan rekonsiliasi nasional agar tidak ada dendam
sejarah yang terus terjadi dan berkepanjangan yang menghambat proses integrasi
bangsa maupun integrasi nasional. Bangsa yang tercabik-cabik oleh sejarahnya akan
berpotensi menjadi bangsa yang stagnan karena para penguasa pemerintahan akan
didorong keinginan untuk berkuasa seraya menindas golongan politik yang lain yang
tidak sejalan dengan garis politiknya.
Rekonsiliasi yang bagus yang patut dicontoh adalah rekonsiliasi yang terjadi
di Afrika Selatan. Pada saat peemrintahan apartheid berkuasa, orang-orang berkulit
hitam dimusuhi oleh rezim yagn dikuasai oleh kulit putih. Setelah Nelson Mandela
yagn berasal dari kulit hitam berhasil menjadi presiden negeri itu, dia berhasil
melakukan rekonsiliasi dan memaafkan perlakuan diskriminasi penguasa apartheid
Afrika Selatan. Justru semangat dan inspirasi melakukan pemaafan oleh Nelson
Mandela berdasarkan pengakuannya bersumber dari semangat yang pernah
ditunjukkan Syeh Yusuf yang makamnya terdapat di wilayah Afrika Selatan. Syeh
Yusuf Al Makassary adalah ulama Islam yang berasal dari Gowa pada beberapa abad
lalu.
Indonesia dengan mayoritas penduduk Muslim seyogyanya dapat bercermin
pada kasus Afrika Selatan dalam melakukan gerakan rekonsiliasi dimana inspirasi
rekonsiliasinya Nelson Mandela berasal dari spirit Islam. Sehingga kedepan, Bangsa
Indonesia dapat menuliskan sejarahnya yang dapat membawa pencerahan bagi
generasi penerusnya, bukannya meneruskan dendam sejarah secara turun temurun.
Hasta la Victoria siempre !
Muslimin B. Putra, Peserta Magister Ilmu Administrasi Publik UI, Jakarta
Profesi, Peneliti dan Aktifis NGO
5
Lampiran 2
Surat Pernyataan
Dengan ini menyatakan bahwa saya atas nama :
Nama : Muslimin B. Putra
Alamat : di Komp. YKBK No. 16, Depok, Jawa Barat
Dengan ini menyatakan bahwa karya saya dengan judul “Sejarah Politik Nasional
adalah Sejarah Orang-orang yang Berkuasa” adalah benar sebagai karya asli saya .
6
Demikian pernyataan ini dibuat untuk digunakan sebagaimana mestinya.
Depok, 25 Mei 2006
Yang Menyatakan
Muslimin B. Putra
7