Nilai Nilai Islam Sebagai Dasar Ekonomi

NILAI-NILAI ISLAMI
SEBAGAI DASAR KEBANGKITAN EKONOMI ISLAM
Krisis moneter tahun 1997/1998 menimbulkan dampak yang amat serius pada
pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Dalam seminar 16th Sharia
Economics Days, ketua Baznas Prof. Dr. Bambang Sudibyo Mba. Ca. mencatat bahwa
pertumbuhan ekonomi tahun 1998 anjlok menjadi -13,1% dari sebelumnya 7,8% (1996),
dan dalam kurun waktu 18 tahun kemiskinan menjadi 10.86% (2016) turun 13.39% dari
24.25 % (1998). Namun demikian, sampai saat ini masalah kesejahteraan ekonomi, sosial
dan kemiskinan masih belum bisa lepas pada perekonomian global. Lalu apa yang
menyebabkan semua ini?
Muhammad Ayub dalam bukunya yang berjudul Understanding Islamic Finance
mencatat beberapa faktor utama yang menjadi permasalahan ekonomi global, yaitu
manajemen perekonomian yang tidak efisien dan eksploitasi kepada yang lemah, serta
fungsi uang, keuangan dan pasar keuangan. Pelembagan sistem bunga juga menciptakan
parasit-parasit di masyarakat yang menjadikan semakin melebar jarak antara yang kaya dan
miskin. Lalu apa solusinya?
Islam sebagai rahmat lil ‘alamiin merupakan solusi permasalahan global. Sejarah
telah mencatat bahwa Islam mampu menciptakan kesejahteraan masyarakat dan
pertumbuhan ekonomi yang luar biasa. Tidak ada seorang pun yang mati karena kelaparan
atau dililit hutang. Bukti empiriknya, tidak ditemukan seorang miskin pun oleh Muadz bin
Jabal di wilayah Yaman. Muadz adalah staf Rasulullah SAW yang diutus untuk memungut

zakat di Yaman. Abu Ubaid menuturkan dalam kitabnya Al-Amwal hal. 596, bahwa Muadz
pada masa Umar pernah mengirimkan hasil zakat yang dipungutnya di Yaman kepada
Umar di Madinah, karena Muadz tidak menjumpai orang yang berhak menerima zakat di
Yaman. Namun, Umar mengembalikannya.
Contoh lain dari keberhasilan ekonomi Islam adalah Bahrain. Ini dibuktikan ketika
suatu saat Abu Hurairah menyerahkan uang 500 ribu dirham (setara Rp 6,25 miliar) kepada
Umar yang diperolehnya dari hasil kharaj provinsi Bahrain pada tahun 20 H/641 M. Pada
saat itu Umar bertanya kepadanya, "Apa yang kamu bawa ini?" Abu Hurairah menjawab,
"Saya membawa 500 ribu dirham." Umar pun terperanjat dan berkata lagi kepadanya,
"Apakah kamu sadar apa yang engkau katakan tadi? Mungkin kamu sedang mengantuk,
pergi tidurlah hingga subuh." Ketika keesokan harinya Abu Hurairah kembali maka Umar
berkata, "Berapa banyak uang yang engkau bawa?" Abu Hurairah menjawab, "Sebanyak
500 ribu dirham" Umar berkata,"Apakah itu harta yang sah?" Abu Hurairah menjawab,
"Saya tidak tahu kecuali memang demikian adanya." (Karim, 2001; Muhammad, 2002).
Oleh karena ekonomi Islam merupakan ekonomi yang berlandaskan nilai-nilai Islami yang
ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah, jelaslah kesejahteraan tercipta karena yang memandu
langsung adalah Allah SWT dan Rasul-Nya. Namun demikian, sudahkah Ekonomi Islam di
Indonesia diterapkan dengan baik?
Perkembangan Ekonomi Islam di Indonesia pun sudah berkembang pesat
sebagaimana dalam pidato kunci kepala Bappenas pada acara 16th Sharia Economics Days


di Jakarta tanggal 27 Februari 2017 di Universitas Indonesia mengatakan bahwa Indonesia
memiliki jenis dan jumlah lembaga keuangan syariah terbesar di dunia, yang antara lain
terdiri dari 13 Bank Umum Syariah, 21 Unit Usaha Syariah dari bank konvensional, sekitar
5000 lembaga keuangan mikro syariah atau BMT hingga pegadaian syariah. Namun
kontribusi sistem keuangan syariah baru berada sedikit di atas 5% dari total pangsa pasar
keuangan nasional sejak akhir September 2016 lalu. Dengan demikian, peran keuangan
syari’ah perlu untuk kita tingkatkan guna mendukung agenda SDGs.
Potensi zakat di seluruh dunia menurut Sekjen World Zakat Forum Ahmad Juuwaini
tercatat sebesar Rp. 6000 triliun, sedangkan potensi zakat Indonesia mencapai Rp 217
triliun. Hal tersebut dapat membantu untuk mengetaskan kemiskinan di Indonesia. Namun,
zakat yang terhimpun baru mencapai 1,2 persen atau Rp 3 triliun.
Wakaf pun demikian, instrumen wakaf memiliki peranan penting dalam
mengetaskan kemiskinan seperti pengembangan wakaf uang sebagaimana di atur dalam
UUD No. 41 Tahun 2004 tentang Perwakafan. Adanya regulasi tersebut sangat membantu
dalam mendukung perwakafan, namun pada pelaksanaannya banyak tantangan. Menurut
Prof Nur Syam, baru 5%-6% wakaf uang yang terhimpun dari total potensi 120 triliun
sebagaimana diutarakan oleh Badan Wakaf Indonesia.
Oleh karena, tidak ada kesadaran, tidak mau berubah dan tidak ada dukungan dari
pemangku kebijakan (pemerintah), semua potensi di atas hanya sekedar ucapan atau

tulisan, seperti sebuah cita-cita yang tidak diperjuangkan, angan-angan semata. Hal ini
sebagaimana Allah SWT tidak akan mengubah suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang
mengubah (13:11).
Sebagai solusinya ekonomi Islam membutuhkan Sumber Daya Insani yang shidiq,
amanah, tabligh, fathonah dan istiqomah yang memiliki integritas dan mampu
menjungjung Maqasid Syari’ah. Di antara aspek-aspek manajenmen SDI dalam Islam
adalah:1) memiliki nilai ketauhidan dan memiliki aqidah, 2) struktur organisasi dalam
menjalankan organisasi tersebut, dan 3) semua perbuatan harus dengan sistem syari’ah.
Nilai Islam dengan ekonomi Islam ibarat benih dan pohon, karena benih yang baik
akan menghasilkan pohon yang baik. Nilai-nilai Islam harus dibangun dan dimiliki dalam
diri setiap Muslim, baik itu pemangku kebijakan, stakeholder dan umat Islam sendiri.Siapa
lagi yang akan memajukan ekonomi Islam selain umat Islam itu sendiri? Oleh Sebab itu,
mari kita bersama-sama junjung nilai-nilai tauhid, jauhi riba, dekati yang Halal dan
Thayyib, dan menjadikan nilai-nilai Islam sebagai landasan dari setiap aktifitas kita, untuk
ekonomi yang mulia dan Indonesia sejahtera.
Di tulis oleh: Elis Nurhasanah_Mahasiswa Kajian Timur Tengah dan Islam-Ekonomi dan
Keuangan Syari’ah_Awardee LPDP.