Tugas IV PERWIL Identifikasi permasa

TUGAS IV – PERENCANAAN WILAYAH
IDENTIFIKASI PERMASALAHAN PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN
AGROPOLITAN KABUPATEN KULONPROGO, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

DISUSUN OLEH :
BAYU ARIFIANTO MUHAMMAD

3612100052

RENNY RATNA DEWI

3612100054

KURNIAWAN DWI WIJAYA

3612100055

DOSEN PEMBIMBING :
EMA UMILIA, ST., MT
KETUT DEWI MARTHA ERLI HANDAYENI, ST., MT.
JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
2015

KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan paper yang membahas tentang identifikasi permasalahan
perencanaan wilayah dengan judul “Identifikasi permasalahan pengembangan wilayah

kawasan agropolitan Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta” dengan
lancar.
Selama proses penulisan penulis banyak mendapatkan bantuan dari pihak-pihak lain
sehingga paper ini dapat terselesaikan dengan optimal. Pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian paper ini yaitu:
1. Ibu Ema Umilia, ST., MT dan Ibu Ketut Dewi Martha Erli Handayeni, ST., MT.
selaku dosen mata kuliah perencanaan wilayah.
2. Orang tua yang selalu memberikan motivasi,
3. Teman-teman yang telah banyak membantu kelancaran penyusunan paper ini.
Sekian, semoga paper ini dapat bermanfaat secara luas. Penulis menyadari bahwa paper

ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
penulis harapkan.

Surabaya, 25 Mei 2015

ii
Penulis

Tugas IV | Perencanaan Wilayah

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ............................................................................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR......................................................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................................... 1
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan ........................................................................................................... 1
1.4 Sistematika Penulisan ......................................................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................................................... 3
2.1 Pengertian Dikotomi Desa – Kota ....................................................................................................... 3
2.2 Pengertian Kawasan Agropolitan ........................................................................................................ 6
2.4 Analisis SWOT ..................................................................................................................................... 9
BAB III GAMBARAN UMUM........................................................................................................................ 10
3.1 Gambaran Umum Wilayah................................................................................................................ 10
3.2 Potensi Pembangunan Wilayah ........................................................................................................ 10
3.2.1 Potensi Komoditas Unggulan ..................................................................................................... 10
3.2.2 Potensi Jaringan Pemasaran Komoditas Unggulan .................................................................... 11
3.2.3 Potensi Sumber Daya Manusia .................................................................................................. 12
3.2.4 Potensi Struktur Tenaga Kerja ................................................................................................... 13
3.3 Permasalahan Pembangunan Wilayah ............................................................................................. 13
BAB IV ANALISIS ......................................................................................................................................... 14
BAB V PENUTUP ......................................................................................................................................... 16
5.1 Kesimpulan........................................................................................................................................ 16
5.2 Lesson Learned ................................................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................................................... 17
iii

Tugas IV | Perencanaan Wilayah


DAFTAR TABEL
Tabel 1 Keterkaitan Desa - Kota .......................................................................................... 5
Tabel 2 Jaringan Pemasaran Komoditas Unggulan Padi, Melon, dan Ketela Pohon ..................11
Tabel 3 Jumlah Penduduk Kawasan Agropolitan Fase II dan Kab. Kulonprogo Menurut Tingkat
Pendidikan Tahun 2012 .....................................................................................................12
Tabel 4 Struktur Ketenagakerjaan Kawasan Agropolitan Fase II dan Kabupaten Kulonprogo
Tahun 2009-2012 .............................................................................................................13
Tabel 5 Pengelompokan hasil SWOT ...................................................................................15

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Sebaran dan Produksi Komoditas Unggulan di Kawasan Agropolitan Fase II ............11
Gambar 2 Bagan Analisis SWOT .........................................................................................14

iv

Tugas IV | Perencanaan Wilayah

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Salah satu konsep perencanaan pengembangan wilayah yang cukup populer pada
beberapa dekade di negara-negara berkembang dan agraris seperti Indonesia, adalah konsep
pengembangan agropolitan. Friedmann dan Douglass (1975) menyarankan suatu bentuk
pendekatan agropolitan sebagai aktivitas pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah
perdesaan dengan jumlah penduduk antara 50.000 sampai 150.000 orang. Kawasan perdesaan
di Kabupaten Kulonprogo masih didominasi oleh aktivitas pertanian karena memang sektor ini
masih menjadi tulang punggung perekonomian masyarakat. Pada akhirnya di Kabupaten
Kulonprogo ditetapkan dua kawasan potensi pertanian menjadi kawasan agropolitan, yaitu
Kawasan Agropolitan Fase I (Kecamatan Kalibawang, Samigaluh dan Nanggulan) dan Kawasan
Agropolitan Fase II (Kecamatan Temon, Wates dan Kokap).
Semenjak ditetapkannya kawasan ini sebagai agropolitan pada tahun 2010, pemerintah
daerah belum secara signifikan memberikan dorongan terhadap ketersediaan sarana dan
prasarana agribisnis dari hulu sampai hilir. Minimnya daya dukung tersebut menyebabkan
lemahnya peran kawasan agropolitan Fase II terhadap pengembangan wilayah Kabupaten
Kulonprogo, serta lemahnya peran sentra-sentra industri pertanian pada kawasan agropolitan
yang belum memberikan trickle-down effect terhadap sektor-sektor di bawahnya terutama pada
hulu dan hilirnya sistem agropolitan.
Oleh karena itu, perlu adanya identifikasi terhadap faktor-faktor yang menyebabkan
lemahnya peran serta kawasan agropolitan ini, sehingga nantinya dapat disusun beberapa

strategi yang dapat digunakan dalam mengatasi persoalan pengembangan wilayah di
Kabupaten Kulonprogo.
1.2 Rumusan Masalah
Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta telah ditetapkan sebagai kawasan
agropolitan sejak tahun 2010 yang lalu. Namun, pemerintah daerah belum secara signifikan
memberikan dorongan terhadap ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis dari hulu sampai
hilir. Minimnya daya dukung tersebut menyebabkan lemahnya peran kawasan agropolitan
terhadap pengembangan wilayah Kabupaten Kulonprogo, serta lemahnya peran serta sentrasentra industry pertanian pada kawasan agropolitan yang belum memberikan trickle-down
effect terhadap sektor-sektor di bawahnya terutama pada hulu dan hilirnya sistem agropolitan.
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka pertanyaan penelitian yang dapat diajukan
dalam penulisan makalah ini yaitu “Apakah faktor-faktor yang menyebabkan lemahnya peran
kawasan agropolitan di Kabupaten Kulonprogo?”
1
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu untuk menganalisis persoalan
pengembangan wilayah dan menyusun upaya serta rekomendasi untuk mengatasi persoalan
Tugas IV | Perencanaan Wilayah

pengembangan wilayah. Sedangkan manfaat yang dapat kita peroleh dari penulisan makalah ini
yaitu :

1. Mampu mereview beberapa referensi yang terkait dengan faktor penyebab timbulnya
persoalan pembangunan wilayah, dampak dan implikasinya, serta upaya dan
rekomendasi penanganan persoalan pembangunan wilayah
2. Mampu mengidentifikasi faktor penyebab timbulnya persoalan pengembangan wilayah
dan mampu menilai dampak / implikasi persoalan pengembangan wilayah
3. Mampu menyusun upaya dan rekomendasi untuk mengatasi persoalan pembangunan
wilayah
4. Mampu menyusun lesson learned terkait dengan upaya untuk mengatasi persoalan
pembangunan wilayah yang telah dirumuskan
1.4 Sistematika Penulisan
Adapun sistematika yang digunakan dalam penyusunan makalah ini yaitu sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, serta tujuan dan manfaat dari penulisan
makalah ini.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Berisi tentang kajian terhadap referensi-referensi yang terkait dengan persoalan
pembangunan wilayah
BAB III GAMBARAN UMUM
Berisi tentang gambaran umum kasus yang terjadi dalam pengembangan wilayah serta
potensi dan permasalahan yang terjadi

BAB IV ANALISA
Berisi tentang analisis mengenai persoalan yang terjadi dalam pengembangan wilayah
sehingga kemudian dapat disusun konsep penanganan persoalan pengembangan wilayah
BAB V PENUTUP
Berisi tentang kesimpulan dari keseluruhan makalah serta lesson learned terkait dengan
upaya untuk mengatasi persoalan pembangunan wilayah.

2

Tugas IV | Perencanaan Wilayah

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Dikotomi Desa – Kota
Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu upaya kreasi pencerahan yang
dilaksanakan secara terencana dan sistematis serta dilakukan oleh segenap aktor dalam suatu
negara untuk mencapai suatu kehidupan masyarakat yang dipandang lebih baik. Menurut
Amartya (1999), pembangunan itu pada hakekatnya merupakan suatu proses peningkatan
kebebasan manusia dalam berbagai bentuk yang bukan saja penting secara sendiri-sendiri,
tetapi juga saling mendukung.

Pembangunan berorientasi pertumbuhan (growth) yang selama ini diterapkan negaranegara berkembang termasuk negara Indonesia telah membawa sejumlah perubahan yang
cukup signifikan. Disamping berbagai prestasi yang berhasil diraih, tercatat pula sejumlah
potret kelam yang turut memperburuk citra pembangunan dengan orientasi di atas. Semakin
panjangnya barisan kemiskinan, meningkatnya pengangguran, beban hutang luar negeri, dan
berbagai ketimpangan merupakan hasil akhir yang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan
itu sendiri. Orientasi pertumbuhan hanya mendorong perkembangan usaha dan industri skala
besar, sehingga terjadi kesenjangan yang semakin lebar antara usaha skala kecil dan mikro
(UKM) dan usaha menengah-besar (UMB). Tidak ketinggalan pendekatan sektoral yang
diharapkan dapat membentuk keterkaitan ternyata telah menumbuhkan ego sektoral yang juga
menyebabkan ketimpangan sektoral.
Sejalan dengan berbagai permasalahan tersebut, terdapat persoalan yang sebetulnya
memerlukan penanganan serius dan sangat penting, yakni adanya kesenjangan antar desa-kota
(khususnya antara sektor pertanian dan industri) serta kesenjangan antar daerah. Kesenjangan
desa-kota yang selama ini terjadi merupakan salah satu hambatan bagi suatu daerah untuk ikut
terjun ke dalam mainstream economy. Secara empiris, kesenjangan tersebut dipengaruhi oleh
faktor-faktor sebagai berikut :
1. Sosial ekonomi rumah tangga atau masyarakat, khususnya kesenjangan pendapatan
antara rumah tangga di perkotaan dan di perdesaan;
2. Struktur kegiatan ekonomi sektoral yang menjadi dasar kegiatan produksi rumahtangga
atau masyarakat, khususnya pada sektor-sektor ekonomi yang menjadi basis ekspor

dengan orientasi pasar dalam negeri (domestik) ;
3. Potensi regional (SDA, SDM, Dana, Lingkungan dan infrastruktur) yang mempengaruhi
perkembangan struktur kegiatan produksi. Pada daerah-daerah yang beruntung memiliki
sumberdaya berbasis ekspor, maka daerah-daerah ini secara relatif lebih makmur
dibandingkan dengan daerah-daerah yang tidak memiliki sumberdaya yang dapat
dipasarkan keluar ; dan
4. Kondisi kelembagaan yang membentuk jaringan kerja produksi dan pemasaran pada
skala lokal, regional dan global. Adanya kerangka kelembagaan yang kokoh akan sangat

Tugas IV | Perencanaan Wilayah

3

mempengaruhi posisi tawar-menawar dengan pihak pemasok maupun pihak pembeli
(Bintoro, 2002).
Orientasi pembangunan ekonomi Indonesia yang lebih menekankan pertumbuhan
(growth), turut pula memperparah ketimpangan wilayah khususnya antara desa-kota. Investasi
ekonomi (infrastruktur dan kelembagaan) mayoritas diarahkan untuk melayani daerah
perkotaan yang relatif memiliki pertumbuhan cepat. Ekonomi desa tidak memperoleh nilai
tambah yang proporsional akibat dari wilayah perkotaan hanya sekedar menjadi pipa

pemasaran (marketing pipe) dari arus komoditas primer dari perdesaan. Dalam konteks
demikian, wajar apabila terjadi pengurasan sumber daya (backwash effect) oleh kota terhadap
desa secara sistematis dan kota hanya mengambil keuntungan dari jasa distribusi semata,
sehingga seringkali terjadi kebocoran wilayah (regional leakages) yang merugikan pertumbuhan
ekonomi daerah itu sendiri.
Undang-undang RI Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Propenas, Bab IX Pembangunan
Daerah dengan tegas menyebutkan : sebagian besar masyarakat perdesaan saat ini masih
berada pada pola kehidupan dan budaya perdesaan yang mengandalkan sumber kehidupan dari
pertanian subsisten atau buruh tani yang pendapatannya tidak pasti dan rendah. Disamping itu,
kehidupan sosial ekonomi masyarakat perdesaan relatif tertinggal dibanding daerah perkotaan
yang disebabkan oleh lapangan kerja dan kegiatan usaha yang tidak kompetitif dan tidak
memberikan pendapatan masyarakat yang layak, kondisi pelayanan pendidikan dan kesehatan
yang kurang memadai, rendahnya tingkat pelayanan prasarana dan sarana permukinan, adanya
penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam oleh kelompok pengusaha besar, serta
peraturan-peraturan yang menghambat.


Desa dan Perdesaan
Pengertian desa dan perdesaan sering dikaitkan dengan pengertian rural dan village, dan
sering pula dibandingkan dengan kota (town/city) dan perkotaan (urban). Perdesaan (rural)
menurut S. Wojowasito dan W.J.S Poerwodarminto (1972) diartikan seperti desa atau seperti di
desa” dan perkotaan (urban) diartikan “seperti kota atau seperti di kota”. Berdasarkan batasan
tersebut, perdesaan dan perkotaan mengacu kepada karakteristik masyarakat, sedangkan desa
dan kota merujuk pada suatu satuan wilayah administrasi atau teritorial. Dalam kaitan ini suatu
daerah perdesaan dapat mencakup beberapa desa.
Menurut Roucek & Warren (1962), masyarakat desa memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. peranan kelompok primer sangat besar;
2. faktor geografik sangat menentukan pembentukan kelompok masyarakat;
3. hubungan lebih bersifat intim dan awet;
4. struktur masyarakat bersifat homogen;
5. tingkat mobilitas sosial rendah;
6. keluarga lebih ditekankan fungsinya sebagai unit ekonomi;
7. proporsi jumlah anak cukup besar dalam struktur kependudukan.

Tugas IV | Perencanaan Wilayah

4

Pitinn A. Sorokin dan Carle C. Zimmerman (dalam T. L. Smith & P.E. Zop, 1970)
mengemukakan sejumlah faktor yang menjadi dasar dalam menentukan karakteristik desa dan
kota, yaitu mata pencaharian, ukuran komunitas, tingkat kepadatan penduduk, lingkungan,
differensiasi sosial, stratifikasi sosial, interaksi sosial dan solidaritas sosial.
Berbagai pengertian tersebut tidak dapat diterapkan secara universal untuk desa-desa di
Indonesia karena kondisi yang sangat beragam antara satu dengan yang lainnya. Bagi daerah
yang lebih maju khususnya di Pulau Jawa dan Pulau Bali, antara desa dan kota tidak lagi
terdapat perbedaan yang jelas sehingga pengertian dan karakteristik tersebut menjadi tidak
berlaku. Namun, bagi daerah yang belum berkembang khususnya desa-desa di luar Pulau Jawa
dan Pulau Bali, pengertian tersebut masih cukup relevan.


Isu dan Konsep
Desa dan kota mempunyai peran yang sama-sama penting dalam pengembangan ekonomi
suatu wilayah. Jika peran desa dan kota tersebut dapat berjalan dengan baik, hubungan
keterkaitan (ekonomi) antara desa dan kota dapat tercapai. Pentingnya keterkaitan desa-kota
ini dalam jaringan wilayah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan
dikemukakan oleh Mike Douglass (1998) melalui konsep Agropolitan. Konsep ini menekankan
bahwa pengembangan desa dapat tercapai dengan baik apabila desa tersebut dikaitkan dengan
pengembangan kota dalam wilayah tersebut. Fungsi kota lebih dititik beratkan sebagai pusat
kegiatan non pertanian dan pusat administrasi, bukan sebagai pusat pertumbuhan, sementara
itu kecamatan (district) justru yang memiliki fungsi sebagai unit pengembangan.
Isu tentang keterkaitan desa-kota sudah lama mendapat perhatian kalangan analis
pembangunan. Isu tersebut muncul sejalan dengan kenyataan empiris akan
ketidakterpisahannya keterkaitan antara desa dan kota yang juga mencakup masalah
urbanisasi. Keterkaitan tersebut semakin meluas di berbagai level, baik antara desa dan kota itu
sendiri, maupun antara kota kecil dengan kota besar, antar desa, dan antar kota yang
merentang di dalam satu negara maupun antar negara. Keterkaitan antara desa-kota antara
lain terlihat dari realitas bahwa penduduk desa menjadi konsumen barang dan jasa pelayanan
perkotaan sementara masyarakat kota juga menjadi konsumen jasa dan barang hasil produksi
perdesaan. Terlepas dari banyaknya kritikan atas pola keterkaitan yang terbangun, interaksi
antara desa-kota bersifat saling menguntungkan dalam suatu iklim simbiosis mutualisme (Lo &
Salih, 1978). Keterkaitan-keterkaitan tersebut digambarkan oleh Mike Douglass (1998)
sebagaimana yang terdapat pada pada tabel dibawah.
Tabel 1 Keterkaitan Desa - Kota
Fungsi Kota

Interdependensi

Pusat transportasi & perdagangan pertanian
Pelayanan pendukung pertanian
kompleks dan bernilai tinggi):
- Input produksi

(semakin

Fungsi Desa
Produksi
&
produktivitas
pertanian.
Intensifikasi
pertanian
dipengaruhi oleh:
- Infrastruktur desa
- Insentif produksi

Tugas IV | Perencanaan Wilayah

5

- Jasa pemeliharaan/perbaikan
- Kredit produksi
- Informasi tentang metode produksi (inovasi)
Pasar konsumen non-pertanian (semakin
kompleks):
- Produksi pertanian olahan
- Pelayanan privat
- Pelayanan publik (kesehatan, pendidikan, dan
administrasi)
Industri
berbasis
pertanian
(mempertahankan/mengembalikan
bagian
terbesar nilai tambah di suatu daerah)
Pekerja non-pertanian (meningkat bersamaan
dengan meningkatnya tingkat kesejahteraan
dan pendidikan di desa)
Sumber: old.bappenas.go.id

- Pendidikan dan kapasitas
untuk menerima inovasi
Peningkatan
pendapatan
pedesaan akan menambah
permintaan (daya beli dan
pilihan konsumen):
- Untuk barang2 non-pertanian
- Jasa/pelayanan
Produksi
pertanian
dan
diversifikasi pertanian

Melibatkan semua fungsi di atas

2.2 Pengertian Kawasan Agropolitan
Friedmann dan Douglass (1975) menawarkan konsep agropolitan sebagai solusi atas
terjadinya pembangunan yang tidak berimbang antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Desa
dan kota mempunyai peran yang sama dalam pengembangan ekonomi suatu wilayah. Jika
peran kota dan desa tersebut dapat berjalan dengan baik maka akan menciptakan
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Selain itu, Rustiadi (2006) menjelaskan bahwa
agribisnis merupakan bisnis yang berbasis usaha pertanian yang mengedepankan kekuatan
pasar (market driven) yang terdiri atas sub sistem hulu, sub sistem usaha tani, sub sistem hilir
dan sub sistem penunjang. masyarakat desa (kesejahteraan masyarakat), pengurangan
pengangguran masyarakat desa, penyediaan lapangan kerja di perdesaan, pengurangan
kemiskinan masyarakat desa, dan pengurangan kesenjangan antar wilayah.
Kunci keberhasilan pembangunan agropolitan adalah memberlakukan setiap distrik
agropolitan
sebagai suatu unit tunggal otonom mandiri tetapi terintegrasi secara sinergik dengan
keseluruhan sistem pengembangan wilayahnya. Secara spasial penerapan konsep agropolitan
sebagai pilihan alternatif dari terjadinya kegagalan pembangunan industri masa lalu,
dihadapkan kepada beberapa persyaratan (Harun, 2004, hlm. 3), yaitu:
 Dilibatkannya ratusan hingga jutaan petani perdesaan bersama-sama pengembangan
kota-kota pusat pertanian;
 Tidak ada pilihan lain selain berjalannya secara simultan keterlibatan setiap instansi
sektoral di perdesaan untuk mengembangkan pola agribisnis dan agroindustri;
 Tercapainya keserasian, kesesuaian dan keseimbangan antara pengembangan
komoditas unggulan dengan struktur dan skala ruang yang dibutuhkan;
 Adanya kesinambungan pengembangan dan pembinaan sarana dan prasarana wilayah
(irigasi, transportasi) antara daerah produksi pertanian dan simpul-simpul jasa
perdagangan dalam program perencanaan jangka panjang;

Tugas IV | Perencanaan Wilayah

6





Realisasi dari pengembangan otonomi daerah untuk mengelola kawasan pertanian
secara mandiri termasuk kewenangan untuk mempertahankan keuntungan komparatif
bagi penjaminan pengembangan kawasan pertanian;
Dalam kondisi “infant-agroindustry” diperlukan adanya kemudahan-kemudahan dan
proteksi terhadap jenis komoditas yang dihasilkan baik di pasar nasional maupun luar
negeri;

Di Indonesia, agropolitan adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena
berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani dan mendorong kegiatan
pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya (Kementerian Pertanian, 2002, hlm.
5). Tujuan dari pengembangan kawasan agropolitan ini adalah untuk meningkatkan pendapatan
dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan pengembangan wilayah dan peningkatan
keterkaitan desa dan kota dengan mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis
yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan, dan terdesentralisasi di kawasan
agropolitan. Menurut Undang-Undang No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, Kawasan
agropolitan didefinisikan sebagai kawasan yang terdiri dari satu atau lebih pusat kegiatan pada
wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam yang
ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan, yaitu satuan sistem
permukiman dan sistem agribisnis.
Pendekatan
pembangunan
kawasan
agropolitan
menggunakan
pendekatan
pembangunan sistem agribisnis. Sistem agribisnis ini mencakup 6 sub sistem (Sutawi, 2002,
hlm. 12-13), yaitu :
1) Sub sistem agribisnis hulu (up stream agribusiness), yakni industri-industri yang
menghasilkan
2) barang-barang modal bagi pertanian;
3) Sub sistem usaha tani (on farm agribusiness), yaitu kegiatan yang menggunakan
barang-barang modal dan sumber daya alam untuk menghasilkan komoditas primer;
4) Sub sistem pengolahan (down stream agrobusiness), yaitu industri yang mengolah
komoditas primer menjadi produk olahan baik produk antara maupun produk akhir;
5) Sub sistem pemasaran, yaitu kegiatan-kegiatan untuk memperlancar pemasaran
komoditas pertanian baik segar maupun olahan di dalam dan luar negeri;
6) Sub sistem jasa yang menyediakan jasa bagi sub sistem agribisnis hulu, sub sistem
usaha tani dan sub sistem agribisnis hilir.

7

Tugas IV | Perencanaan Wilayah

Soenarno (2003), mendefinisikan daerah agropolitan sebagai sistem fungsional pada
desa-desa, yang ditujukan dengan keberadaan hirarki ruang diperdesaan, pusat agropolitan dan
desa-desa disekitarnya yang membentuk daerah agropolitan.

Soenarno (2003) juga menyatakan sebaiknya daerah agropolitan dihubungkan dengan
keberadaan rencana tata ruang tingkat nasional, rencana tata ruang tingkat provinsi, serta
tingkat kabupaten.

8

Tugas IV | Perencanaan Wilayah

2.4 Analisis SWOT
Analisis SWOT adalah suatu bentuk analisis di dalam manajemen perusahaan atau di
dalam organisasi yang secara sistematis dapat membantu dalam usaha penyusunan suatu
rencana yang matang untuk mencapai tujuan, baik itu tujuan jangka panjang maupun jangka
pendek. Analisa SWOT ini semata-mata sebagai suatu sebuah analisa yang ditujukan untuk
menggambarkan situasi yang dihadapi. SWOT merupakan singkatan dari
1. S = Strength, yaitu analisis kekuatan ataupun kondisi yang merupakan kekuatan dari
suatu organisasi atau perusahaan pada saat ini. Yang perlu di lakukan di dalam
analisis ini adalah setiap perusahaan atau organisasi perlu menilai kekuatan-kekuatan
dan kelemahan di bandingkan dengan para pesaingnya.
2. W = Weakness, yaitu analisi kelemahan, situasi ataupun kondisi yang merupakan
kelemahan dari suatu organisasi atau perusahaan pada saat ini. Merupakan cara
menganalisis kelemahan di dalam sebuah perusahaan ataupun organisasi yang
menjadi kendala yang serius dalam kemajuan suatu perusahaan atau organisasi.
3. = Opportunity, yaitu analisis peluang, situasi atau kondisi yang merupakan peluang
diluar suatu organisasi atau perusahaan dan memberikan peluang berkembang bagi
organisasi dimasa depan. Cara ini adalah untuk mencari peluang ataupun terobosan
yang memungkinkan suatu perusahaan ataupun organisasi bisa berkembang di masa
yang akan depan atau masa yang akan datang.
4. T = Threat, yaitu analisis ancaman, cara menganalisis tantangan atau ancaman yang
harus dihadapi oleh suatu perusahaan ataupun organisasi untuk menghadapi
berbagai macam faktor lingkungan yang tidak menguntungkan pada suatu
perusahaan atau organisasi yang menyebabkan kemunduran.
Metode analisis SWOT bisa dianggap sebagai metode analisis yangg paling dasar, yang
bermanfaat untuk melihat suatu topik ataupun suatu permasalahan dari 4 empat sisi yang
berbeda. Hasil dari analisa biasanya berupa arahan ataupun rekomendasi untuk
mempertahankan kekuatan dan untuk menambah keuntungan dari segi peluang yang ada,
sambil mengurangi kekurangan dan juga menghindari ancaman. Jika digunakan dengan benar,
analisis ini akan membantu untuk melihat sisi-sisi yang terlupakan atau tidak terlihat selama ini.
Dari pembahasan diatas tadi, analisis SWOT merupakan instrumen yang bermanfaat dalam
melakukan analisis strategi. Analisis ini berperan sebagai alat untuk meminimalisasi kelemahan
yang terdapat dalam suatu perusahaan atau organisasi serta menekan dampak ancaman yang
timbul dan harus dihadapi.

9

Tugas IV | Perencanaan Wilayah

BAB III
GAMBARAN UMUM
3.1 Gambaran Umum Wilayah
Kabupaten Kulonprogo merupakan salah satu dari lima kabupaten/kota di Propinsi D.I.
Yogyakarta yang terletak paling barat, dengan batas wilayah sebagai berikut:
 Barat : Kabupaten Purworejo, Propinsi Jawa Tengah
 Timur : Kabupaten Sleman dan Bantul, Propinsi D.I. Yogyakarta
 Utara : Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah
 Selatan : Samudera Hindia
Kabupaten Kulonprogo merupakan salah satu Kabupaten yang terdapat di propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta, yang merupakan suatu wilayah yang tertinggal, hal ini terlihat
dari sarana prasarana dan jasa-jasa lingkungan belum dapat dimanfaatkan secara optimal jika
dibandingkan dengan Kabupaten lain yang ada di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kabupaten Kulonprogo merupakan Wilayah yang sangat potensial dikembangkan dikarenakan
memiliki berbagai jenis sumberdaya alam serta didukung oleh keberadaan aktivitas ekonomi
yang menempati ruang wilayahnya. Jenis aktivitas ekonomi yang ada saat ini terdiri atas
aktivitas pertanian, aktivitas industri dan aktivitas pertambangan.
Kabupaten Kulonprogo yang terletak antara Bukit Menoreh dan Samudera Hindia dilalui
Sungai Progo di sebelah timur dan Sungai Bogowonto dan Sungai Glagah di Bagian barat dan
tengah. Keberadaan sungai dengan air yang mengalir sepanjang tahun di wilayah Kabupaten
Kulonprogo tersebut membantu dalam menjaga kondisi permukaan air tanah. Keberadaan
Waduk Sermo di Kecamatan Kokap didukung dengan keberadaan jaringan irigasi yang
menyebar hampir di seluruh wilayah kecamatan, menunjukkan keseriusan Pemerintah
Kabupaten Kulonprogo untuk meningkatkan produksi pertanian dan perikanan di wilayah
Kabupaten Kulonprogo.
3.2 Potensi Pembangunan Wilayah
3.2.1 Potensi Komoditas Unggulan
Untuk menentukan komoditas unggulan di kawasan ini maka perlu adanya
penentuan berdasarkan tiga kriteria, yaitu, kriteria unggulan berdasarkan dominasi per unit
desa yang menunjukkan dominasi pada maing – masing kecamatan, berdasarkan tingkat
produksi terbanyak pada tahun 2008-2012, berdasarkan support kebijakan dimana adanya
dukungan pemerintah daerah terhadap pengembangan komoditas unggulan tersebut dari
hulu hingga hilir. Berdasarkan ketiga kriteria tesebut, didapatkan dimana padi menjadi
komoditas unggulan dengan jumlah produksi terbanyak, yaitu 21.462 ton yang tersebar di
25 desa, melon dengan tingkat produksi 13.641 ton yang tersebar di 3 desa, dan yang
terakhir adalah ketela pohon dengan tingkat produksi sebanyak 9.593 ton di 18 desa.

Tugas IV | Perencanaan Wilayah

10

Gambar 1 Sebaran dan Produksi Komoditas Unggulan di Kawasan Agropolitan Fase II

Kabupaten Kulonprogo merupakan Wilayah yang sangat potensial dikembangkan
dikarenakan memiliki berbagai jenis sumberdaya alam serta didukung oleh keberadaan
aktivitas ekonomi yang menempati ruang wilayahnya. Jenis aktivitas ekonomi yang
potensial saat ini terdiri atas aktivitas pertanian, aktivitas industri dan aktivitas
pertambangan. Adapun beberapa potensi yang dimiliki oleh Kawasan Agropolitan Fase II
dalam mengembangkan wilayahnya sebagai kawasan agropolitan yaitu :
3.2.2 Potensi Jaringan Pemasaran Komoditas Unggulan
Adapun jaringan pemasaran komoditas unggulan merupakan gambaran
permintaan konsumen terhadap hasil produksi pertanian di kawasan ini. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 2 Jaringan Pemasaran Komoditas Unggulan Padi, Melon, dan Ketela Pohon
Komoditas Unggulan
Padi

Lokasi Permintaan
Kulonprogo, Kota Yogyakarta, Pasar KramatjatiJakarta, Purworejo, Surakarta, Semarang.
Melon
Kulonprogo, Kota Yogyakarta, Pasar KramatjatiJakarta
Ketela Pohon
Kulonprogo, Kota Yogyakarta, Pasar KramatjatiJakarta, Semarang
Sumber: Dinas Pertanian Kab. Kulonprogo, Dinas Pertanian Prov. DIY, 2013

Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa komoditas padi merupakan komoditas
unggulan dengan jaringan pemasarang yang paling luas diantara komoditas lainnya. Untuk
itu, dukungan dari pihak pemerintah sangatlah penting untuk membantu memperluas
jaringan yang sudah terlihat potensial ini. Namun, di lapangan masih ada beberapa kendala
yang perlu diatasi, diantaranya ialah minimnya jumlah pasar di kawasan ini serta belum
jelasnya lembaga pelaku pemasaran sebagai koordinator pemasaran hasil pertanian, yang
kedua adalah masih minimnya pasar yang berfungsi sebagai Sub Sentra Agropolitan (SSA)

Tugas IV | Perencanaan Wilayah

11

maupun Kawasan Sentral Agropolitan (KSA), maka dari itu, perlu adanya dukungan dari
pihak pemerintah selaku pemangku jabatan dan pemilik kekuasaan.
3.2.3 Potensi Sumber Daya Manusia
Pada tahun 2012, kawasan Agropolitan II ini memiliki jumlah penduduk sebanyak
99.932 jiwa atau sekitar 25,69% dari jumlah penduduk Kabupaten Kulonprogo. Besarnya
proporsi tingkat pendidikan dari jumlah penduduk tersebut cukup mempengaruhi
produktivitas masyarakat dalam pengelolaan kawasan agropolitan ini. Untuk jumlah
penduduk berdasarkan tingkat pendidikan, dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 3 Jumlah Penduduk Kawasan Agropolitan Fase II dan Kab. Kulonprogo
Menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2012

sumber: Badan Pusat Statistik Kab. Kulonprogo, 2013

Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa penduduk yang mengenyam
pendidikan SLTA merupakan yang terbanyak diantara yang lainnya dengan jumlah 51.071
orang atau sekitar 51% dari jumlah seluruh penduduk yang ada. Untuk pendidikn dengan
tingkat kesarjanaan dari jenjang strata 1 sampai strata 3 masih tergolong sangat minim
dengan jumlah 6.761 orang atau sekitar 6% dari jumlah penduduk yang ada dengan asal
daerah tertinggi di Kecamatan Wates atau pusat kota. Selebihnya tingkat SLTP sebanyak
2.4.548 orang (24%), kemudian sisanya adalah jenjang terendah yaitu SD ke bawah
sebanyak 13.310 orang (13%). Dari hasil ini dapat diketahui bahwa masih minimnya
pendidikan yang diperoleh oleh masyarakat Kawasan Agropolitan Fase II ini, maka dari itu
perlu adanya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia di Kabupaten ini, untuk
meningkatkan hasil produktivitas di komoditas unggulan.
Jika dibandingkan dengan Kabupaten Kulonprogo, penduduk yang tidak
mengenyam pendidikan cukup banyak yaitu 131.374 orang atau sekitar 26,91%. Kemudian
yang terbanyak berikutnya adalah pendidikan SLTA sebanyak 127.863 orang atau 26%,
disusul dengan tingkat SD sebanyak 126.252 orang atau 25,86%. Sedangkan untuk tingkat
pendidikan yang lebih tinggi seperti D1 sampai dengan Strata 3 masih sangat minim,
contohnya untuk tingkat Strata 1 sampai dengan Strata 3 hanya 17.530 orang atau sekitar
3,5%. Hal ini sangatlah jelas bahwa untuk tingkat kabupaten saja penduduk masih sangat
perlu ditingkatkan pendidikannya untuk menerima informasi dan mentransfer teknologi
demi peningkatan sumberdaya manusia dalam pengembangan agribisnis.
Tugas IV | Perencanaan Wilayah

12

3.2.4 Potensi Struktur Tenaga Kerja
Semakin besar populasi penduduk yang menggantungkan ekonominya pada sektor
pertanian, maka semankin besar pula suatu wilayah dikembangkan menjadi kawasan
agropolitan. Berikut ini dapat kita lihat trend mata pencaharian masyarakat di Kawasan
Agropolitan Fase II dan Kabupaten Kulonprogo :
Tabel 4 Struktur Ketenagakerjaan Kawasan Agropolitan Fase II dan Kabupaten
Kulonprogo Tahun 2009-2012

sumber: Badan Pusat Statistik Kab. Kulonprogo, 2013

Trend

ketenagakerjaan di atas memperlihatkan bahwa semua sektor kegiatan
utama mata pencaharian masyarakat di Kawasan Agropolitan Fase II ini selalu mengalami
peningkatan walaupun belum terlalu signifikan. Dimulai dari sektor kegiatan utama
pertanian yang sampai saat ini masih mendominasi sebagai mata pencaharian utama
masyarakat Kawasan Agropolitan Fase II dengan 20.155 orang atau sekitar 63,74%, dan
setiap tahunnya terus meningkat.
3.3 Permasalahan Pembangunan Wilayah
Lemahnya peran kawasan agropolitan Fase II terhadap pengembangan wilayah
Kabupaten Kulonprogo, serta lemahnya peran sentra-sentra industri pertanian pada kawasan
agropolitan disebabkan oleh kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana agribisnis hulu-hilir
seperti bahan baku, alat mesin pertanian, irigasi, pemasaran, dan kondisi jalan. Beberapa
permasalahan tersebut menjadi hambatan utama bagi petani dalam peningkatan produktivitas
serta daya beli petani.
Pelaksanaan agropolitan Fase II yang dilakukan pemerintah daerah Kabupaten
Kulonprogo selama ini terbukti belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa
khususnya petani di kawasan ini secara signifikan. Berdasarkan hasil perhitungan NTP, terlihat
di antara petani dari ketiga komoditas unggulan tersebut bahwa petani padi di Desa Hargorejo
Kecamatan Kokap mengalami defisit yang disebabkan oleh lemahnya daya dukung sub sistem
agribisnis hulu seperti bibit unggul, pupuk, obat-obatan dan alat mesin pertanian. Selain itu
kondisi jalan desa di Desa Hargorejo ini juga perlu perbaikan, khususnya pada sentra produksi
padi yang berfungsi untuk distribusi produksi pertanian.

Tugas IV | Perencanaan Wilayah

13

BAB IV
ANALISIS
Berikut ini merupakan tabel SWOT atau hal – hal yang menjadi kekuatan, le;emahan,
peluang, dan juga ancaman terkait pengembangan Kawasan Agropolitan di Kabupaten
Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Opportunity
1) Komoditas utama pada sektor
pertanian
(Padi,
Melon,
Ketela).
2) Terbukanya
kesempatan
kerjasama
dengan
pihak
pemerintah/swasta
dalam
pemenuhan
sarpras
dan
pengembangan sub sistem
agribisnis.
3) Mayoritas
populasi
masih
bergantung pada pertanian,
dapat dibina untuk konsep
agropolitan

Strength
1) Mayoritas penduduk bermata
pencahariaan
di
sektor
pertanian.
2) Produktivitas
pada
sektor
pertanian tergolong tinggi.
3) Tersedianya lahan yang cukup
untuk pertanian.

Threat
1) Adanya pengaruh globalisasi
termasuk
dalam
sektor
pertanian.
2) Kemajuan teknologi dalam
peningkatan
produktivitas
sektor pertanian.
3) Lemahnya daya dukung sub

Weakness
1) Kualitas pendidikan masyarakat
masih
rendah,
dengan
mayoritas lulusan SLTA
2) Kurangnya peran pemerintah
dalam
persebaran
jaringan
pemasaran.
3) Kurangnya peran pemerintah
dalam
peningkatan kualitas
pendidikan masyarakat.
4) Ketersediaan
sarana
dan
prasarana
yang
kurang
menunjang pada sektor hulu
hilir.

sistem agribisnis

Gambar 2 Bagan Analisis SWOT
Sumber: analisis penulis, 2015

Selanjutnya dari kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman tersebut dikelompokkan
sesuai tabel di bawah ini :

Tugas IV | Perencanaan Wilayah

14

Tabel 5 Pengelompokan hasil SWOT
INTERNAL
KEKUATAN (S)
1) Mayoritas penduduk bermata
pencahariaan
di
sektor
pertanian.
2) Produktivitas
pada
sektor
pertanian tergolong tinggi.
3) Tersedianya lahan yang cukup
untuk pertanian.

KELEMAHAN (W)
1) Kualitas
pendidikan
masyarakat
masih rendah, dengan mayoritas
lulusan SLTA
2) Kurangnya peran pemerintah dalam
persebaran jaringan pemasaran.
3) Kurangnya peran pemerintah dalam
peningkatan
kualitas
pendidikan
masyarakat.
4) Ketersediaan sarana dan prasarana
yang kurang menunjang pada sektor
hulu hilir.

PELUANG (O)
1) Komoditas utama pada
sektor pertanian (Padi,
Melon, Ketela).
2) Terbukanya
kesempatan
kerjasama dengan pihak
pemerintah/swasta dalam
pemenuhan sarpras dan
pengembangan sub sistem
agribisnis.
3) Mayoritas populasi masih
bergantung
pada
pertanian, dapat dibina
untuk konsep agropolitan

1. S1-O1 : komoditas utama pada
sektor
pertanian
dapat
dipertahankan
sebagai
matapencahariaan utama dan
diperluas
jangkauan
kawasannya.
2. S2,S3-O2,O3 : penerapan konsep
agropolitan
yang
ditunjang
dengan adnaya agribisnis dapat
dilaksanakan oleh pemerintah
dengan bantuan pihak swasta.

1. W1,W3-O2 : pemerintah dapat
melakukan kerjasama dengan pihak
swasta dalam hal peningkatan
kualitas SDM yang dapat menunjang
tingkat
produktivitas
dengan
melakukan pembangunan saraan
pendidikan.
2. W2,W4-O2,O3 : penerapan konsep
agroplitan dapat didukung dengan
jumlah SDM pada bidang pertanian
yang tinggi dan dengan kerjasama
pemerintah
swasta
dapat
meningkatkan sarana prasarana di
sektor pertanian.

ANCAMAN (T)
1) Adanya
pengaruh
globalisasi termasuk dalam
sektor pertanian.
2) Kemajuan teknologi dalam
peningkatan produktivitas
sektor pertanian.
3) Lemahnya daya dukung
sub sistem agribisnis

1. S1,S2-T1,T2 : dengan tingkat
kebutuhan dan minat dari
masyarakat
yang
tinggi,
pemerintah perlu memperkuat
kualitas masyarakat dengan cara
melakukan pembangunan sarana
prasarana
yang
dapat
mendukung
produktivitas
pertanian.

1. W1,W3-T1,T2 : pembangunan
sarana pendidikan maupun
pelatihan secara rutin kepada
masyarakat terkait konsep
agropolitan untuk meningkatkan
kualitas masyarakat.
2. W2,W3-T1,T2 : kerjasama dengan
pihak swasta untuk menyediakan
sarana prasarana penunjang pada
sektor pertanain.

EKSTERNAL

Perumusan Strategi
Utama

Sumber: analisa penulis, 2015

Dari pengelompokan di atas didapatkan strategi utama dalam pengembangan kawasan
Agropolitan Fase II yaitu “Peningkatan kualitas masyarakat dengan cara menerapkan konsep
Agropolitan dan pembangunan sarana prasarana penunjang”. Penerapan konsep ini akan efektif
apabila pemerintah mampu bekerjasama dengan pihak swasta sebagai penyedia sarana
prasarana guna menunjang dan mempertahankan produktivitas sektor pertanain, karena dari
pihak pemerintah sendiri belum dapat memnuhi kebutuhan ini. Selain itu, masyarakat sebagai
pelaku utama juga harus meningkatkan kualitasnya karena melihat tantangan kedepan berupa
globalisasi dan kmajuan teknologi yang dapat menjadi ancaman. Seperti yang diketahui
mayoritas masyarakat bermatapencahariaan di sektor pertanain, jadi perlu ditingkatkan
kualitasnya untuk menghadapi tantangan kedepan.
Tugas IV | Perencanaan Wilayah

15

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari hasil analisa dan pembahasan mengenati kajian pengembangan Kawasan Agropolitan
di Kabupaten Kulonprogo di Yogyakarta, maka kesimpulan yang dihasilkan adalah sebagai
berikut :


Produktivitas masyarakat masih bergantung kepada sektor pertanian dalam tulang
punggung perekonomian namun tidak didukung oleh SDM yang handal maka perlu
peningkatan kapasitas dalam pengelolaan sarana dan prasarana sub sistem agribisnis
serta inovasi teknologi pertanian untuk mewujudkan penerapan kawasan agropolitan ini



Keterbatasan sarana dan prasarana sub sistem hulu merupakan hambatan utama dalam
pengembangan kawasan agropolitan, sehingga perlu pembenahan sarana sub sistem
hulu seperti penyediaan bibit unggul, pupuk, obat-obatan dan alat mesin pertanian

Penerapan konsep Agropolitan diharapkan dapat mempercepat pembangunan perdesaan
dan mampu memberikan pelayanan sosial ekonomi serta berimbas pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat petani.
5.2 Lesson Learned
Pengembangan agroindustri sebagai pilihan modernisasi pedesaan haruslah dapat
meningkatkan kesempatan kerja dan pendapatan petani. Untuk itu perumusan perencanaan
pembangunan pertanian perlu disesuaikan dengan karakteristik wilayah dan ketersediaan
teknologi tepat guna. Sehingga alokasi sumberdaya dan dana yang terbatas, dapat
menghasilkan output yang optimal dan berdampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat.

16

Tugas IV | Perencanaan Wilayah

DAFTAR PUSTAKA
Tarigan, A. (2011). "Rural - Urban Economic Linkages". Konsep & Urgensi dalam Memperkuat
Pembangunan Desa.
Tri, B., & Handayani, W. (2014). Pengembangan Kawasan Agropolitan di Kabupaten Kulonprogo, Daerah
Istimewa Yogyakatra. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, 243-261.

Lampiran Bukti Upload di academia.edu

17

Tugas IV | Perencanaan Wilayah