S2 2015 342401 introduction

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara hukum (rechtsstaat), yang berarti Indonesia
menjunjung tinggi hukum dan kedaulatan hukum. Hal ini sebagai konsekuensi
dari ajaran kedaulatan hukum bahwa kekuasaan tertinggi tidak terletak pada
kehendak pribadi penguasa (penyelenggara negara/pemerintah), melainkan
pada hukum. Kekuasaan hukum terletak di atas segala kekuasaan yang ada
dalam negara dan kekuasaan itu harus tunduk pada hukum yang berlaku.
Kewenangan pemerintah dalam negara kesejahteraan sangat luas yaitu meliputi
hampir seluruh aspek kehidupan rakyat, karena itu pemerintah mempunyai
wewenang diskresi untuk bertindak atas prakarsa sendiri, tidak berdasarkan
peraturan perundangan. Untuk menjaga tindakan pemerintah terutama yang
berdasarkan wewenang diskresi, agar tidak menjadi tindakan yang sewenangwenang maka dibentuklah lembaga pengontrol salah satunya ialah Peradilan
Tata Usaha Negara (Peradilan TUN). 1
Peradilan TUN merupakan keseluruhan proses atau aktivitas hakim tata
usaha negara yang didukung oleh seluruh fungsionaris pengadilan dalam
melaksanakan fungsi mengadili baik di Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN), Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) maupun Mahkamah
Agung.2 Peradilan TUN sebagai lingkungan peradilan yang terakhir dibentuk,

1

Muchsan, 1982, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, hlm. 2
W. Riawan Tjandra, 2009, Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN): Mendorong
Terwujudnya Pemerintah yang Bersih dan Berwibawa, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, hlm. 5
2

1

2

yang ditandai dengan disahkannya UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara pada tanggal 29 Desember 1986.
Pertimbangan pembentukan Peradilan TUN yang termuat pada
konsideran “menimbang” undang-undang tersebut disebutkan bahwa salah satu
tujuan dibentuknya Peradilan TUN adalah untuk mewujudkan tata kehidupan
negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram serta tertib yang menjamin
hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras antara aparatur di bidang tata
usaha negara dengan warga masyarakat, sehingga lahirnya Peradilan TUN
menjadi bukti bahwa Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi

nilai-nilai keadilan, kepastian hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Tujuan dibentuknya Peradilan TUN berkaitan dengan kompetensi
Peradilan TUN dalam sistem peradilan di Indonesia yaitu bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha
negara antar anggota masyarakat dan pihak pemerintah yang ditimbulkan
sebagai akibat ditetapkannya suatu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)
yang merugikan individu atau badan hukum perdata sebagai pihak pencari
keadilan. Fungsi Peradilan TUN apabila dikaitkan dengan asas keserasian
hubungan antara pemerintah dan rakyat yang bertumpu atas asas kerukunan,
dapat diketengahkan tiga fungsi utama peradilan administrasi negara, yaitu
fungsi penasihatan, fungsi perujukan dan fungsi peradilan.3

3

Philipus M. Hadjon, dkk, 2008, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction
to the Indonesia Administrative Law), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 184.

3

Untuk mengetahui mengenai pengertian sengketa tata usaha negara,

maka perlu dilihat dari perumusan Pasal 1 angka 10 UU No. 51 Tahun 2009
yang berbunyi sebagai berikut :
“sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam
bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata
dengan badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat
maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata
usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Bentuk penyelesaian sengketa tata usaha negara yang melalui fungsi
Peradilan TUN yaitu dihasilkannya Putusan PTUN yang telah berkekuatan
hukum tetap. Adanya Putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap
dimaksudkan untuk menjadi jalan keluar hukum yang menjunjung tinggi nilainilai keadilan, kepastian hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) bagi pencari
keadilan, sehingga pelaksanaan putusan menjadi hal yang krusial untuk
dilakukan sebagai wujud perlindungan hukum bagi pencari keadilan. Hal
tersebut dikarenakan sesuai ketentuan Pasal 115 UU No. 5 Tahun 1986,
menyebutkan bahwa “hanya putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan”.
Sejak mulai efektif dioperasionalkannya Peradilan TUN hingga saat ini,
eksistensi dan peran Peradilan TUN sebagai suatu lembaga peradilan yang
mempunyai fungsi, tugas dan wewenang memeriksa, memutus, dan mengadili

sengketa tata usaha negara antara anggota masyarakat dan pihak pemerintah
(eksekutif) melalui Putusan yang dihasilkannya, dirasakan oleh berbagai
kalangan belum dapat memberikan kontribusi dan sumbangsih yang memadai
dalam memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat serta dalam

4

menciptakan prilaku aparatur yang bersih dan tata hukum, serta sadar akan
tugas dan fungsinya sebagai pelayan dan pengayom masyarakat.4 Hal tersebut
disebabkan masih terdapat Putusan PTUN yang tidak dilaksanakan oleh Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara (Pejabat TUN).
Putusan PTUN hanya dapat dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat TUN
yang bersangkutan karena terhadap KTUN berlaku asas contractus actus, yaitu
asas yang menyatakan penarikan kembali atau perubahan suatu keputusan
harus memenuhi persyaratan yang sama seperti pada waktu keputusan itu
dibuat.5 Adanya asas contractus actus mempunyai implikasi terhadap KTUN
yang menuntut perubahan dengan dilakukannya pencabutan dan penerbitan
kembali KTUN tidak dapat dilaksanakan oleh selain Badan atau Pejabat TUN
yang bersangkutan, sehingga tidak dapat diwakilkan ataupun digantikan.
Adanya kemungkinan tidak dilaksanakan putusan PTUN berkaitan

dengan berlakunya asas self respect. Eksekusi Putusan PTUN yang
dilaksanakan sebelum adanya revisi UU No. 5 Tahun 1986 telah dipengaruhi
oleh asas self respect/self obidence dan sistem floating execution, yaitu
kewenangan melaksanakan Putusan PTUN yang sudah berkekuatan hukum
tetap, sepenuhnya diserahkan kepada badan atau pejabat yang berwenang,
tanpa adanya kewenangan bagi Peradilan Tata Usaha Negara untuk
menjatuhkan sanksi.

4

Titik Triwulan dan Ismu Gunadi Widodo, 2014 , Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum
Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Kencana, Jakarta, hlm. 567
5
Prins-R. Kosim Adisapoetra, 1976, Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara,
Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 102

5

Proses pelaksanaan Putusan PTUN, setelah UU No. 5 Tahun 1986
direvisi, lebih memperlihatkan dipergunakannya sistem fixed execution, yaitu

eksekusi yang pelaksanaannya dapat dipaksakan oleh pengadilan melalui
sarana-sarana pemaksa yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.6 UU
No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara tampaknya justru memadukan sebagian
sistem eksekusi yang pernah diatur pada UU No. 5 Tahun 1986 dan UU No. 9
Tahun Tahun 2004. Hal ini dapat dicermati dari sistem pelaksanaan Putusan
PTUN sebagaimana diatur pada Pasal 116 UU No. 51 Tahun 2009.
Ketentuan dalam Pasal 116 UU No. 51 Tahun 2009 mengatur kembali
kewajiban yang hampir sama dengan rumusan Pasal 116 UU No. 5 Tahun 1986
mengenai

kewajiban

bagi

Ketua

PTUN

untuk


mengajukan

perihal

ketidakpatuhan badan atau Pejabat TUN kepada Presiden sebagai pemegang
kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut
melaksanakan Putusan PTUN, namun juga terlihat bahwa sifat fixed execution
dalam pelaksanaan putusan PTUN terlihat tetap ditekankan karena eksistensi
Pasal 116 ayat (5) tersebut didahului pengaturan mengenai kewenangan PTUN
untuk menjatuhkan upaya paksa berupa penerapan uang paksa dan/atau sanksi
administratif.7
Eksekusi terhadap ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9)
huruf a, yaitu kewajiban berupa pencabutan KTUN (beschikking) merupakan
satu-satunya kewajiban Badan atau Pejabat TUN yang tidak memerlukan upaya
6

W. Riawan Tjandra, Op.Cit, hlm. 209
W. Riawan Tjandra, 2010, Teori & Praktik Peradilan Tata Usaha Negara, Universitas
Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, hlm. 165

7

6

paksa dalam eksekusi putusan PTUN. Hal ini dikarenakan, terhadap kewajiban
ini diberlakukan ketentuan dalam Pasal 116 ayat (2) UU No. 51 Tahun 2009,
sehingga apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari kerja Badan atau
Pejabat TUN tidak melaksanakan putusan PTUN yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap yang memerintakan dilakukan pencabutan KTUN, maka
secara otomatis KTUN tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Cara
eksekusi seperti ini, oleh Paulus Effendie Lotulung8 disebut eksekusi otomatis.
Penjatuhan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa
dan/atau sanksi administratif diperlukan terhadap Badan atau Pejabat TUN
yang tidak melaksanakan putusan PTUN yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap. Putusan PTUN yang dimaksud tersebut yang memerintahkan
terhadap Badan atau Pejabat TUN untuk melakukan kewajiban sebagai berikut:
1. Pencabutan KTUN yang bersangkutan dan menerbitkan keputusan yang
baru (Pasal 97 ayat (9) huruf b);
2. Penerbitan KTUN dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3 (Pasal 97
ayat (9) huruf c);

Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 tersebut menentukan:
(1)

(2)

8

Apabila Badan atau Pejabat tata usaha negara tidak
mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi
kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan
Keputusan Tata Usaha Negara.
Jika suatu Badan atau Pejabat tata usaha negara tidak
mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka
waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundangundangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat

Paulus Effendie Lotulung, 1995, Eksekusi Putusan PTUN dan Problematikanya dalam
Praktik, Machrup Elrick (Editor), dalam Kapita Selekta Hukum: Mengenang Almarhum Prof. H.
Oemar Seno Adji, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 269

7


(3)

tata usaha negara tersebut dianggap telah menolak
mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
Dalam hal peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu
empat bulan sejak diterimnya permohonan, Badan atau
Pejabat tata usaha negara yang bersangkutan dianggap telah
mengeluarkan keputusan penolakan.

Bagi Indroharto,9 Pasal 3 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 merupakan
ketentuan bahwa setiap Badan atau Pejabat TUN wajib melayani setiap
permohonan warga masyarakat yang ia terima. Apabila hal yang dimohonkan
kepadanya itu menurut peraturan dasarnya menjadi tugas kewajibannya dan
jika ia melalaikan kewajiban itu, maka walaupun ia tidak berbuat apa-apa
terhadap permohonan yang diterimanya itu, peraturan perundang-undangan
menganggap Pejabat TUN telah mengeluarkan keputusan yang isinya menolak
permohonan tersebut.

Keputusan yang tidak dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN,
padahal menjadi kewajiban dari Badan atau Pejabat TUN untuk mengeluarkan
keputusan tersebut, dalam literatur Hukum Tata Usaha Negara10 disebut KTUN
fiktif, karena keputusan ini dianggap seolah-olah ada, padahal sebenarnya
secara faktual dalam bentuk penetapan tertulis tidak ada dan disebut KTUN
Negatif, karena Badan atau Pejabat TUN dianggap telah mengeluarkan
keputusan yang isinya menolak permohonan.
Ketentuan mengenai penjatuhan upaya paksa berupa pembayaran
sejumlah uang sebelumnya dalam Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 42
9

Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Buku II, cetakan keempat, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 184-185
10
Ibid.

8

Tahun 1991 jo. Pasal 5 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1129
Tahun 1991, memang mengatur dapat diberikannya sanksi administratif
terhadap Badan atau Pejabat TUN yang bersangkutan, tetapi penjatuhan sanksi
administratif itu limitatif hanya berkaitan dengan kelalaiannya yang
mengakibatkan negara membayar ganti kerugian. Oleh karena itu, tidak ada
kaitannya dengan perbuatan yang tidak mau melaksanakan Putusan PTUN
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut, 11 sehingga Peraturan
Pemerintah tersebut tidak berlaku terhadap Badan atau Pejabat TUN yang tidak
melaksanakan putusan PTUN.
Sanksi administratif adalah sanksi yang dijatuhkan sendiri oleh Badan
atau Pejabat TUN yang mempunyai wewenang untuk menjatuhkan sanksi
tersebut. Sanksi administratif tidak hanya sanksi yang berupa hukuman disiplin
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 53
Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS), tetapi dapat berupa
sanksi yang lain, misalnya alih tugas jabatan yang semula jabatannya adalah
pimpinan, kemudian dialihkan menjadi staf. Hal tersebut berlaku apabila Badan
atau Pejabat TUN adalah pegawai negeri sipil. Apabila Badan atau Pejabat
TUN yang mengeluarkan KTUN berstatus sebagai pejabat negara seperti
Bupati dan Gubernur atau pejabat lain yang ditentukan dalam Undang-Undang,
maka terhadap pejabat negara tersebut tidak dapat diterapkan Peraturan
Pemerintah tentang disiplin PNS.

11

Zairin Harahap, 2014, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Rajawali Pers,
Jakarta, hlm 177

9

Penerapan upaya paksa berupa sanksi administratif sebagai penyangga
agar dilaksanakannya putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap
merupakan upaya untuk menjamin perlindungan hukum bagi pencari keadilan,
namun hingga saat sebelum UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan (UU Administrasi Pemerintahan) diberlakukan, peraturan
pelaksana yang secara eksplisit mengatur tentang Pejabat TUN belum tersedia.
UU Administrasi Pemerintahan yang mengatur mengenai sanksi administrasi
Pejabat TUN untuk saat ini pun belum dapat diterapkan sampai peraturan
pelaksana dikeluarkan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun, sehingga terdapat
kekosongan hukum selama 2 (dua) tahun tersebut.
Jaminan perlindungan pencari keadilan terhadap Pejabat TUN yang
tidak melaksanakan Putusan PTUN masih menjadi kelemahan kontroversial
dan fundamental bagi efektifnya penegakan hukum di bidang administrasi/Tata
Usaha Negara. Hal ini tentu saja menjadikan pelaksanaan Putusan PTUN oleh
Pejabat Tata Usaha Negara terhadap kewajiban penerbitan KTUN baru akibat
pencabutan KTUN sebelumnya tersebut menarik untuk dikaji lebih lanjut dari
perspektif keilmuan terutama dari aspek ilmu hukum dan studi kasus putusanputusan pengadilan (Putusan PTUN Surabaya Nomor: 60/G/2010/PTUN.Sby
dan Putusan PTUN Semarang Nomor: 57/G/TUN/2001/PTUN.Smg.).

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

10

1. Bagaimana pelaksanaan Putusan PTUN terhadap kewajiban penerbitan
KTUN di PTUN Surabaya dan Semarang (Putusan PTUN Surabaya
Nomor: 60/G/2010/PTUN.Sby dan Putusan PTUN Semarang Nomor:
57/G/TUN/2001/PTUN.Smg.)?
2. Apa kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan Putusan PTUN terhadap
kewajiban penerbitan KTUN di PTUN Surabaya dan Semarang (PTUN
Surabaya Nomor: 60/G/2010/PTUN.Sby dan Putusan PTUN Semarang
Nomor: 57/G/TUN/2001/PTUN.Smg.)?
3. Bagaimana pengoptimalan pelaksanaan Putusan PTUN terhadap kewajiban
penerbitan KTUN dalam mewujudkan perlindungan hukum bagi pencari
keadilan?

C. Tujuan Penelitian
Suatu kegiatan penelitian dilakukan pasti terdapat tujuan yang hendak
dicapai. Tujuan tersebut sebagai pemecahan atas permasalahan yang dihadapi
maupun untuk memenuhi kebutuhan perorangan. Selain itu kegiatan penelitian
ini diharapkan dapat menyajikan data yang akurat dan memiliki validitas untuk
menyelesaikan

masalah.

Berpijak

dari

hal

tersebut

maka

penulis

mengkategorikan tujuan penelitian dalam tujuan deskriptif, tujuan kreatif, dan
tujuan inovatif sebagai berikut:
1. Tujuan deskriptif yaitu untuk memberikan gambaran terhadap pelaksanaan
Putusan PTUN terhadap kewajiban penerbitan KTUN.

11

2. Tujuan kreatif yaitu untuk menganalisis kendala pelaksanaan Putusan
PTUN terhadap kewajiban penerbitan KTUN.
3. Tujuan inovatif yaitu untuk memberikan solusi baru mengenai pelaksanaan
Putusan PTUN terhadap kewajiban penerbitan KTUN dalam mewujudkan
perlindungan hukum bagi pencari keadilan.

D. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan
masukan yang baik dari sudut ilmu pengetahuan maupun dari sudut praktis,
antara lain:
1. Manfaat Teoritis
Sebagai bahan masukan dan kontribusi pemikiran dalam hal
pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah wawasan penulis dalam
pelaksanaan sistem PTUN dan bidang hukum kenegaraan pada umumnya dan
hukum administrasi negara pada khususnya serta dapat memberikan
informasi dan pemahaman yang mendalam mengenai pelaksanaan Putusan
PTUN oleh Pejabat TUN terhadap kewajiban penerbitan KTUN.

2. Manfaat Praktis
Hasil

penelitian

diharapkan

dapat

memberikan

rekomendasi,

informasi, pedoman dan konstribusi bagi pemerintah dalam pelaksanaan
pembangunan nasional khususnya mengenai peran Peradilan TUN dan
pemerintah dalam memberikan jaminan pelaksanaan Putusan PTUN oleh

12

Pejabat TUN terhadap kewajiban penerbitan KTUN dalam mewujudkan
perlindungan hukum bagi pencari keadilan melalui sistem PTUN.

E. Keaslian Penelitian
Keaslian penelitian dapat diartikan bahwa masalah yang dipilih belum
pernah diteliti oleh penulis sebelumnya atau harus dinyatakan dengan tegas
bedanya dengan penulis yang sudah pernah dilakukan. 12 Setelah menelusuri
kepustakaan, kemudian dapat diketahui bahwa penelitian tentang “Tinjauan
Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Terhadap Kewajiban
Penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara (Studi Putusan PTUN Surabaya
Nomor: 60/G/2010/PTUN.Sby dan Putusan PTUN Semarang Nomor:
57/G/TUN/2001/PTUN.Smg.)” sampai saat ini belum ada yang meneliti,
namun demikian penulis temukan hasil penelitian yang telah dipublikasikan
memiliki objek penelitian serupa, meskipun demikian didalamnya tidak
terdapat kesamaan. Dalam hal ini, penulis menjadikan hasil-hasil penelitian
tersebut sebagai bahan pertimbangan dan acuan dalam melaksanakan
penelitian. Adapun hasil penelitian tersebut ditulis oleh Delta Arga Prayudha,13
dengan judul penulisan “Ultra Petita Dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat Pencari
Keadilan (Tinjauan Hukum Progresif)” dari Program Pascasarjana Universitas
Gadjah Mada. Penelitian ini memiliki permasalahan mengenai:
12

Maria S.W. Sumardjono, 2001, Pedoman Usulan Penelitian, Gramedia, Jakarta, hlm 18
Delta Arga Prayudha, 2013, Ultra Petita Dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat Pencari Keadilan (Tinjauan Hukum
Progresif), Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
13

13

1. Bagaimana implikasi dari aturan normatif yang mengatur tentang ultra
petita dalam Peradilan TUN terhadap putusan PTUN?

2. Bagaimana penerapan ultra petita dalam putusan PTUN dalam upaya
perlindungan hukum bagi masyarakat pencari keadilan dipandang dari segi
kebutuhan hukum yang ada saat ini (tinjauan hukum progresif)?
Kesimpulan pertama dari hasil penelitian di atas adalah dalam hukum
acara PTUN, meskipun secara normatif muatan ultra petita dilarang karena
menurut Undang-Undang Mahkamah Agung dapat dijadikan sebagai alasan
mengajukan peninjauan kembali, akan tetapi dalam perkembangannya amar
putusan reformatio in peius dimungkinkan untuk dijatuhkan. Dalam
perkembangannya ketentuan larangan ultra petita di lingkungan Peradilan
TUN tidaklah berlaku mutlak. Jurisprudensi sebagai bagian dari sumber hukum
formil dalam Hukum Acara PTUN menjadi pijakan hukum bagi para hakim
TUN untuk mengeluarkan putusan ultra petita sebatas pada reformatio in
peius. Namun dalam hal ultra petita yang bukan merupakan reformatio in peius

dapat berimplikasi yuridis terhadap putusan tersebut dapat dibatalkan ditingkat
banding kasasi, maupun peninjuan kembali.
Kedua, meskipun pengaturan mengenai larangan ultra petita masih
bersifat multi tafsir, dalam prespektif hukum progresif, proses perubahan tidak
harus selalu berpusat pada peraturan yang ada, akan tetapi pada kreatifitas
pelaku hukum dalam konteksnya. Dalam konteks putusan ultra petita dalam
Perkara Nomor 06/G/2008/PTUN.Smg antara Sutopo (penggugat) melawan
Kepala Desa Sinomwidodo (tergugat), Perkara Nomor 32/G/2012/PTUN.Smg

14

dalam perkara Kholik Hidayat (penggugat) melawan Kepala Desa Tipar,
Kecamatan Rawalo Kabupaten Banyumas (tergugat), Hakim PTUN telah
berani melakukan kreatifitas yang berwujud penemuan hukum dan terobosanterobosan hukum dalam menjadikan putusan tersebut lebih bermakna dan
fungsional bagi terciptanya keadilan. Namun, kreatifitas apapun yang
dilakukan oleh penegak hukum dapat menjadi tidak bermakna progresif
manakala tidak untuk mewujudkan keadilan substansif.
Perbedaan antara tesis yang penulis susun dengan tesis di atas adalah
bahwa tesis tersebut lebih mentikberatkan kepada penerapan ultra petita dalam
putusan Peradilan TUN dalam upaya perlindungan hukum bagi masyarakat
pencari keadilan dipandang dari segi kebutuhan hukum yang ada saat ini,
sedangkan tesis yang Penulis susun lebih mengarah kepada pelaksanaan
Putusan PTUN terhadap kewajiban penerbitan KTUN baru dalam mewujudkan
perlindungan bagi pencari keadilan terkait adanya kendala dan penolakan
dalam proses pelaksanaan Putusan PTUN yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
Selain itu juga terdapat penulisan Tesis oleh Mahasiswi Program Studi
Magister Kenotariatan bernama Era Yustika Adillah,14 yang berjudul Tinjauan
Yuridis Kekuatan Hukum Risalah Lelang Atas Lelang Eksekusi Putusan
Pengadilan No. 64/Pdt.G/1991/PN.Yk. dengan Adanya Putusan Kasasi No.
1817 K/PDT/2000. Penelitian ini memiliki permasalahan mengenai:

14

Era Yustika Adillah, 2010, Tinjauan Yuridis Kekuatan Hukum Risalah Lelang Atas
Lelang eksekusi Putusan Pengadilan No. 64/Pdt.G/1991/PN.Yk. dengan Adanya Putusan Kasasi
No. 1817 K/PDT/2000, Tesis, Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.

15

1. Bagaimanakah kekuatan hukum risalah lelang atas lelang eksekusi putusan
Pengadilan No. 64/Pdt.G/1991/PN.Yk. dengan adanya Putusan Kasasi No.
1817 K/PDT/2000?
2. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi pemenang lelang pada lelang
eksekusi putusan Pengadilan tersebut?
Kesimpulan pertama dari tesis tersebut adalah lelang eksekusi putusan
Pengadilan No. 64/Pdt.G/1991/PN.Yk telah dilaksanakan sesuai dengan
prosedur yang berlaku, sehingga sah menurut hukum dan tidak dapat
dinyatakan batal. Kebatalan suatu lelang hanya dapat dilakukan dengan
diajukan gugatan ke Pengadilan, mengenai kebenaran materiil dari subjek
lelang dan obyek lelang. Dalam putusan Kasasi No. 1817 K/Pdt/2000 mengenai
perlawanan atas pelaksanaan lelang tersebut tidak terbukti adanya pelanggaran
pada kebenaran formal pelaksanaan lelang tersebut tetap dinyatakan sah dan
risalah lelang tetap berlaku, mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi
para pihak.
Kedua, dalam putusan Kasasi No. 1817 K/Pdt/2000 disebutkan bahwa
lelang

eksekusi

putusan

Pengadilan

No.

64/Pdt.G/1991/PN.Yk

telah

dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang berlaku sehingga risalah lelang
dinilai sah. Dengan adanya putusan Kasasi No. 1817 K/Pdt/2000 tersebut
memberikan perlindungan hukum kepada pemenang lelang yaitu dengan dasar
risalah lelang yang dinyatakan sah tersebut dapat digunakan untuk mengajukan
pengurusan balik nama ke Kantor Badan Pertanahan Nasional.

16

Perbedaan antara tesis yang penulis susun dengan tesis di atas adalah
bahwa tesis tersebut membahas kekuatan hukum risalah lelang dan
perlindungan hukum bagi pemenang lelang pada lelang eksekusi putusan
Pengadilan, sedangkan tesis yang Penulis susun lebih mengarah kepada
pelaksanaan eksekusi putusan Pengadilan yang tidak dipatuhi oleh Pejabat
TUN.