Kereta Api Sumatera Selatan Zaman Koloni

Artikel Opini Kesejarahan Dimuat di Sriwijaya Online 4 November 2017
Link : Bag. 1 : https:/ / sr iw ijayaonline.com/ 32827-ker eta- api-sumater a-selatan-zaman-kolonial -ke-masa-kemer dekaan-bagi an-1.html
Bag. 2 : https:/ / sr iw ijayaonline.com/ 32830-ker eta- api-sumater a-selatan-zaman-kolonial -ke-masa-kemer dekaan-bagi an-2.html

Kereta Api Sumatera Selatan : Zaman Kolonial ke Masa Kemerdekaan
Oleh :
Arafah Pramasto,S.Pd.1&Sapta Anugrah,S.Pd.2

Pengenalan Transportasi Kereta Api
Teknologi merupakan sebuah penanda zaman seperti halnya kita kerap membaca
bagaimana di masa Prasejarah terdapat “Zaman Batu” maupun “Zaman Logam.” Penguasaan
teknologi memungkinkan manusia untuk memperoleh kemudahan dalam memenuhi
kebutuhan dari alam sekitarnya, maupun untuk berinteraksi sesamanya. Kereta api
merupakan moda transportasi yang diperkenalkan pada masa penjajahan Belanda dan
menjadi jenis perkakas modern kedua setelah diperkenalkannya teknologi telegraf. Pulau
Sumatera menyaksikan kehadiran teknologi transportasi ini dalam kondisi yang getir tatkala
perang perlawanan Aceh bahkan masih belum dapat dipadamkan seluruhnya oleh Hindia
Belanda. Pada tahun 1874, pasukan kolonial Belanda membawa ke Aceh rel kereta api
ukuran sempit, enam belas gerbong kereta api, dan kantin lengkap tenaga uap untuk memberi
makan pasukan, tujuannya ialah untuk menghubungkan tempat demarkasi pelabuhan Ulee
Lheue dan Kutaraja dengan rel kereta api sepanjang 5 km.

Kendala Alam dan Pembangunan Jalur
Di zaman kolonial, Jawa secara fisik dipersatukan oleh sebuah jalur kereta api sejak
1894. Sayangnya, pembangunan jalan kereta api di Sumatera bukan dimaksud untuk
mempersatukan seluruh pulau, sehingga rangkaian jalur kereta api di pulau ini terbagi
menjadi tiga regional. Pada bagian utara, jalur kereta api hanya menghubungkan Medan dan
Tebing Tinggi di Sumatera Utara yang umumnya digunakan untuk mengangkut minyak
sawit. Di bagian tengah pulau, hanya Sumatera Barat yang memiliki jalur kereta api yang
dibangun pada periode kolonial Belanda dan sebatas menghubungkan Sawahlunto, Padang,
dan Padang Pariaman : jalur ini digunakan untuk tujuan wisata. Di bagian selatan Sumatera,
kereta api menghubungkan Bandar Lampung dan Palembang. Alasan pemerintah kolonial
yang tidak mengusahakan penyatuan seluruh pulau dengan jalur kereta api ialah “kendala
alam” yakni keberadaan serangkaian pegunungan Bukit Barisan di pada bagian tengah pulau
dengan keadaan topografisnya yang berbukit dan tidak lurus. Kondisi itu mempersulit
1
2

Penulis Lepas (Freelance Writ er) & Hist ory Blogger
Pram ugara Keret a Api Palembang Jurusan Lam pung dan Lubuklinggau

Artikel Opini Kesejarahan Dimuat di Sriwijaya Online 4 November 2017

Link : Bag. 1 : https:/ / sr iw ijayaonline.com/ 32827-ker eta- api-sumater a-selatan-zaman-kolonial -ke-masa-kemer dekaan-bagi an-1.html
Bag. 2 : https:/ / sr iw ijayaonline.com/ 32830-ker eta- api-sumater a-selatan-zaman-kolonial -ke-masa-kemer dekaan-bagi an-2.html

pembangunan jalur untuk menghubungkan kota-kota besar yang terletak di pantai barat dan
pantai timur Sumatera.
Entah sejauh mana efek dari “kendala alam” yang merintangi pembangunan jalur
kereta api untuk menyatukan seluruh Sumatera, Belanda memang dikenal sebagai penjajah
yang serakah dan kikir. Contoh kasus ialah Sumatera Selatan, pembukaan jalur kereta api
oleh pemerintah kolonial lebih didasari alasan ekonomi – untuk pengangkutan komoditas –
semata yaitu dengan dimulainya pengeboran minyak di Prabumulih, Muara Enim dan
Martapura. Di Sumatera Selatan dan Lampung pembangunan rel rintisan dimulai tahun 1911
namun lintas pertama ini adalah hanya sepanjang 12 Km dari Pelabuhan Panjang menuju
Tanjung Karang. Jalur tersebut baru dapat dilalui kereta api pada tanggal 3 Agustus 1914.
Pada waktu yang bersamaan, dilaksanakan juga pembangunan jalan rel dari Kertapati
(Palembang) menuju ke arah Prabumulih, lintas ini sudah mencapai 78 km : pembangunan
pada tahun 1914 inilah yang dianggap sebagai kelahiran pertama perkeretaapian Sumatera
Selatan. Berturut-turut kemudian dibangun jalur Tanjung Karang-Kota Bumi (1920),
Prabumulih-Baturaja (1923), Muara Enim-Lahat (1924), Baturaja-Martapura (1925),
Kotabumi-Negararatu (1926), dan Negararatu-Martapura (1927). Moda transportasi kereta
api telah mempersingkat lama pengangkutan barang pergi-pulang yang sebelumnya

memerlukan waktu satu minggu antara kota Palembang ke pedalaman jika menggunakan
pedati.
Kereta Api Sumsel dan Perjuangan Kemerdekaan
Setelah masa pembukaan jalur-jalur kereta api dalam rentang waktu 1911-1927,
ternyata Lubuklinggau mempunyai posisinya sendiri dalam sejarah perkeretaapian Sumatera
Selatan. Jika ditinjau dari pembukaan-pembukaan lintas, maka lintasan penghabisan (akhir)
yang dibuka adalah ‘Lintas Muarasaling-Lubuklinggau’ pada tanggal 30 Juni 1933. Dengan
rampungnya pembangunan jalur itu, pada tahun yang sama dibukalah Stasiun Lubuklinggau
(disingkat Stasiun LLG). Jalur ini diprakarsai oleh Namlooze Venootschap Nederlandsch
Indische Spoorweg Maatschappij (NV NISM). Untuk pembangunan rel kereta api zaman
kolonial di wilayah Pulau Sumatera sendiri, regional Sumatera Selatan (PalembangLampung) adalah yang paling akhir dibangun. Berturut-turut pembangunan rel kereta api
dilakukan di pulau ini seperti Sumatera Utara (1886-1937) dengan panjang 554 km, Sumatera
Barat (1891-1921) sepanjang 263 km, dan Sumatera Selatan (1914-1933) dengan panjang
661 km. Meskipun jalur Sumatera Selatan yang paling panjang, namun terpisahnya ketiga

Artikel Opini Kesejarahan Dimuat di Sriwijaya Online 4 November 2017
Link : Bag. 1 : https:/ / sr iw ijayaonline.com/ 32827-ker eta- api-sumater a-selatan-zaman-kolonial -ke-masa-kemer dekaan-bagi an-1.html
Bag. 2 : https:/ / sr iw ijayaonline.com/ 32830-ker eta- api-sumater a-selatan-zaman-kolonial -ke-masa-kemer dekaan-bagi an-2.html

regional perlintasan perkeretaapian yang tidak saling berhubungan tentu membuat moda

transportasi ini belum terbilang sempurna. Apalagi panjang jalur kereta api seluruh Sumatera
saat itu hanya mencakup 6,9% dari luas pulau ini.
Jalur kereta api Palembang-Lubuklinggau menjadi salah satu saksi bisu ketika rakyat
bejubel meminta Bung Hatta berpidato di stasiun-stasiun kereta yang menjadi ramai karena
kunjungan beliau ke Sumatera Selatan pada pertengahan 1947. Bung Hatta dalam memoarnya
berjudul Untuk Negeriku mencatatkan bahwa beliau sempat menginap di kediaman drg. M.
Isa (Gubernur Muda Sumatera Selatan) di Palembang. Wakil Presiden pertama itu kemudian
berkunjung ke Prabumulih, Tanjung Raja, Kayu Agung, Tanjung Enim dan Muara Enim.
Bung Hatta menginap semalam di Lahat dan dua malam di Lubuklinggau, lalu beliau terus
berangkat ke Surulangun. Perjalanan Bung Hatta saat itu dimaksudkan untuk memperkuat
moral perjuangan kemerdekaan rakyat Sumatera melawan Belanda. drg.M.Isa juga melewati
jalur kereta api ini saat ia kembali dari gerilya di luar kota Palembang sejak akhir 1947
hingga disepakatinya gencatan senjata RI-Belanda tahun 1949. Bahkan setelah masa
kemerdekaan, bidang transportasi yang kemudian dikelola oleh PT.KAI ini tidak kehilangan
andilnya di tengah masyarakat. Perkeretaapian masih terus menunjukkan prospeknya.
Prospek yang akan selalu dibarengi dengan peningkatan performa demi optimalnya
pelayanan.
Referensi Pilihan
Departemen Penerangan Indonesia, Kereta Api Indonesia, Jakarta : Departemen Penerangan
Indonesia, 1978.

Hatta, Mohammad, Untuk Negeriku : Jilid 3 Menuju Gerbang Kemerdekaan, Jakarta :
Penerbit Buku Kompas, 2011.
Majalah Clapeyron Volume 61 : Semarak Kebangkitan Perkeretaapian Indonesia.
dll.

Artikel Opini Kesejarahan Dimuat di Sriwijaya Online 4 November 2017
Link : Bag. 1 : https:/ / sr iw ijayaonline.com/ 32827-ker eta- api-sumater a-selatan-zaman-kolonial -ke-masa-kemer dekaan-bagi an-1.html
Bag. 2 : https:/ / sr iw ijayaonline.com/ 32830-ker eta- api-sumater a-selatan-zaman-kolonial -ke-masa-kemer dekaan-bagi an-2.html