Nilai Pendidikan Damai dalam Kearifan Lo
Nilai Pendidikan Damai dalam Kearifan Lokal Jawa
Oleh: Dr. Ahwan Fanani, M. Ag.
Ketika kekerasan menjadi bagian dari keseharian hidup, pada saat itulah sensitivitas
masyarakat terhadap kekerasan menurun. Secara tidak sadar, hidup berdampingan dengan
kekerasan akan menjadi fenomena lumrah sehingga kekerasan tidak lagi dipandang sebagai
penyimpangan, melainkan sebagai sebuah kondisi normal. Pada taraf tersebut, kekerasan
akan terlembaga ke dalam sistem sosial dan budaya masyarakat yang selanjutnya melahirkan
kekerasan kultural (cultural violence), yaitu legitimasi nilai-nilai sosial-kultural terhadap
perilaku kekerasan.
Perlembagaaan kekerasan dalam nilai-nilai kultural tidak bisa dilepaskan dari proses
sosialisai dan enkulturasi, yaitu penanaman dan pendidikan nilai-nilai sosial terhadap anggota
masyarakat. Kekerasan kultural adalah evolusi lebih lanjut dari kekerasan, yang tadinya
hanya terbatas kepada kekerasan fisik, namun pada perkembangannya mendapatkan
legitimasi karena logika kekerasan memenangkan pasar wacana sosial.
Kaitan kekerasan dan konflik dengan wacana dan kognisi tersebut disinggung oleh
sastrawan Amerika, Mark Twain. Twain mengatakan bahwa “conflict is matter of mind”
(konflik itu masalah pikiran). Jika pernyataan Twain itu diteruskan, akan muncul proposisi
lanjutan, yaitu: “if there are many conflicts, there are problems in our mind” (Jika ada
banyak konflik, maka ada banyak problem dalam nalar kita), karena hal itu menunjukkan
bahwa jalan kekerasan telah memenangkan proses pemilihan dan wacana dalam nalar
anggota masyarakat.
Proposisi itulah yang tampaknya perlu dikemukakan kepada masyarakat Indonesia.
Pasca reformasi, kekerasan seolah menjadi bagian tidak terpisahkan dalam kehidupan sosial.
Media memberikan informasi setiap hari tentang berbagai ragam kekerasan. Informasi
tersebut di satu sisi memberikan pemahaman terhadap masyarakat akan berbagai persoalan
yang ada di sekitar mereka, namun pada saat yang sama menumpulkan respon masyarakat
terhadap kekerasan. Citra diri masyarakat Indonesia sebagai masyarakat ramah, murah
senyum, dan cinta damai semakin menghilang dari kesadaran pribadi anggota masyarakat.
Spektrum kekerasan di Indonesia telah mencapai tahap yang memprihatinkan.
Kekerasan saat ini terjadi dan dilakukan oleh hampir seluruh elemen masyarakat dari
beragam status, petani, buruh, majikan, pengusaha, guru, pelajar, komunitas keagamaan,
tentara, polisi, ibu rumah tangga, politisi, bahkan hingga anggota parlemen. Semua itu
membenarkan proposisi bahwa ada masalah dalam nalar kolektif masyarakat Indonesia.
Kondisi demikian menuntut anggota masyarakat untuk melakukan penemuan kembali
terhadap
khazanah
nilai
dan
pranata
yang
mendukung
kultur
perdamaian
dan
mentransformasikannya dalam pendidikan perdamaian. Ketika kekerasan berkembang, maka
ada amanah kultural untuk membelokkan trend tersebut melalui pembangunan perdamaian.
Salah satu cara untuk menanamkan nilai-nilai perdamaian adalah dengan penggalian kearifan
lokal yang ada dalam jantung masyarakat itu sendiri.
Kearifan lokal bisa digali dari berbagai budaya di Indonesia, namun secara khusus
tulisan ini hanya menyoroti kearifan lokal dalam masyarakat dan budaya Jawa. Budaya Jawa
sangat kuat dipengaruhi semangat harmoni. Semangat harmoni tersebut terefleksi dalam citra
hubungan sosial yang ideal, yaitu guyub-rukun. Masyarakat yang guyub-rukun ditandai
dengan hubungan sosial yang erat dan akrab dengan suasana yang damai atau tanpa konflik.
Dalam citra ideal masyarakat guyub-rukun tersebut terdapat kearifan lokal yang bisa digali
dan dikembangkan. Kearifan lokal dalam tulisan ini diartikan sebagai nilai-nilai yang
dijadikan pedoman oleh anggota masyarakat dalam membina hubungan sosial. Jadi, kearifan
lokal bersifat kultural karena terbentuk dari rangkaian nilai-nilai yang dijadikan pedoman
oleh masyarakat dan terbentuk dalam proses interaksi. Hal itu menyiratkan bahwa kearifan
sosial berada dalam tataran kognisi kesadaran dan tataran pranata sosial.
Kearifan lokal dalam tataran kognisi kesadaran dapat ditemukan dalam ungkapanungkapan tradisional (saloka) dan dalam pranata sosial masyarakat Jawa. Saloka berfungsi
sebagai rujukan nilai bagi masyarakat Jawa dalam menyikapi situasi sosial, termasuk konflik.
Sementara itu, pranata sosial berperan dalam operasionalisasi nilai-nilai yang terkandung
dalam saloka untuk pemecahan persoalan nyata.
Saloka bersifat anonim dan tidak diketahui siapa penciptanya, tetapi dipandang
sebagai milik seluruh masyarakat dan memiliki legitimasi kultural. Ada banyak saloka yang
tersimpan dalam khazanah budaya Jawa, yang sebagian di antaranya mengandung dan
mendukung nilai-nilai perdamaian, baik perdamaian interpersonal, antarpersonal, maupun
antarkelompok.
Saloka jembar segarane (orang yang pemaaf). Saloka tersebut mengandung dimensi
pujian bagi orang-orang yang bersedia memaafkan kesalahan orang lain. Dengan cara
tersebut, orang yang memaafkan akan menemukan kedamaian dalam diri sendiri maupun
perdamaian dengan pihak lain secara legitimate. Persoalan legitimasi perbuatan menjadi
penting karena menyangkut harga diri, pengakuan sosial, dan kebebasan dari sanski sosial.
Memaafkan saat ini dipandang sebagai salah satu pilar dalam rekonsiliasi dan cultural
healing (penyembuhan masyarakat pascakonflik). Kekerasan dan konflik yang terjadi dalam
waktu panjang biasanya menciptakan dendam yang turun temurun. Untuk memutus siklus
kekerasan, para pihak diminta mengakui kesalahan diri sendiri dan memaafkan pihak lain.
Dengan cara tersebut, korban akan membebaskan diri dari dendam dan konflik dalam dirinya
sendiri, sedangkan pelaku kekerasan menyadari kesalahannya dan ikut bertanggung jawab
untuk membangun kembali perdamaian.
Saloka menang tanpa ngasorake (memenangkan sesuatu tanpa mempermalukan pihak
lawan). Prinsip dasar dalam saloka ini selaras dengan prinsip hormat dan rukun dalam budaya
Jawa. Kemenangan yang terbaik adalah kemenangan yang didasarkan atas upaya
menciptakan kerukunan dan harmoni. Karena itu, dalam sebuah negosiasi orang sebisa
mungkin dituntut tetap menjaga hubungan baik dengan orang lain.
Dalam
negosiasi
interest-based
terdapat
ungkapan
“pisahkan
orang
dari
permasalahannya,” yang maksudnya adalah bahwa proses negosiasi sebisa mungkin para
pihak berkonsentrasi kepada permasalahannya, bukan mempersoalkan orangnya. Hal itu
dilakukan untuk tetap mempertahankan hubungan baik yang ada dan menghindari seranganserangan kepada pribadi pihak lain yang akan merusak hasil baik yang mungkin dicapai
melalui negosiasi. Saloka menang tanpa ngasorake berguna tidak hanya dalam konteks
hubungan antarpersonal, tetapi bisa juga digunakan dalam konteks hubungan antarkelompok.
Saloka rukun agawe santosa, crah agawe bubrah (rukun membuat sentausa,
bertengkar membawa perpecahan). Saloka tersebut secara eksplisit mengajarkan pentingnya
rukun dalam masyarakat. Saloka tersebut bersifat informatif (rukun hubungan yang indah)
dan bersifat sekaligus imperatif (larangan untuk berpecah belah). Prinsip-prinsip umum
dalam saloka itu bisa digunakan dalam konteks pencegahan konflik dan dalam konteks
pembangunan perdamaian (peace building).
Saloka tepa selira (mengukur dengan diri sendiri), menunjukkan sebuah impresi agar
jangan berbuat sesuatu terhadap orang lain kalau diri sendiri tidak ingin diperlakukan
demikian. Prinsip tepa selira sebenarnya juga menjadi prinsip Hak Asasi Manusia yang
dibangun di atas landasan pemenuhan hak-hak dasar masing-masing individu. Hak Asasi
Manusia dibangun pula di atas nilai bahwa penghormatan terhadap hak asasi orang lain
berlaku menurut prinsip resiporsitas, yaitu tidak boleh melakukan sesuatu atau
memperlakukan orang lain yang diri sendiri tidak ingin diperlakukan demikian.
Saloka yen ono rembug, yo dirembug (kalau ada persoalan, sebaiknya dibicarakan)
menegaskan pentingnya dialog dan negosiasi dalam menyelesaikan masalah. Saran untuk
dialog dan negosiasi tersebut menunjukkan ajaran untuk mengedepankan komunikasi dalam
menyelesaikan masalah, bukan kekerasan.
Secara umum, saloka-saloka itu mengajarkan nilai-nilai dasar interaksi, khususnya
interaksi dalam kehidupan sosial. Operasionalisasi saloka tersebut dalam ranah sosial
melibatkan anggota masyarakat, khususnya pemegang otoritas, baik otoritas legal formal
(aparat pemerintah) maupun otoritas tradisional (sesepuh atau tokoh agama), sedangkan
dalam ranah sekolah melibatkan pendidik dan elemen-elemen lainnya. Operasionalisasi nilai
perdamaian yang ada dalam saloka hanya mungkin terjadi ketika nilai-nilai tersebut diserap
dan dihayati oleh masyarakat. Hal itu meniscayakan adanya sosialisasi dan pendidikan
terhadap masyarakat, baik melalui pendidikan formal, nonformal, maupun informal.
Operasionalisasi nilai-nilai perdamaian adalah bagian dari penciptaan positive peace
(perdamaian positif).
Karena itulah, penggalian kembali kearifan lokal menjadi bagian penting dalam upaya
pendidikan budaya perdamaian di kalangan masyarakat karena kearifan lokal menyediakan
legitimasi tindakan dan kontrol sosial bagi anggota masyarakat. Kearifan lokal, khususnya
ungkapan-ungkapan tradisional, adalah bagian dari pembangunan peace culture (budaya
damai) dan upaya untuk kontra-wacana terhadap kekerasan kultural.
Penggalian dan
sosialisasi kearifan lokal tersebut meniscayakan peran dunia pendidikan yang memiliki
infrastruktur dan akses yang luas terhadap masyarakat budaya, meskipun pada prateknya
nilai-nilai kultural harus hidup dalam kehidupan sosial yang nyata.
(Artikel ini diambil dari Majalah Edukasi edisi XLIII/Th.XIX/Juli/2011 Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan Walisongo Semarang)
Oleh: Dr. Ahwan Fanani, M. Ag.
Ketika kekerasan menjadi bagian dari keseharian hidup, pada saat itulah sensitivitas
masyarakat terhadap kekerasan menurun. Secara tidak sadar, hidup berdampingan dengan
kekerasan akan menjadi fenomena lumrah sehingga kekerasan tidak lagi dipandang sebagai
penyimpangan, melainkan sebagai sebuah kondisi normal. Pada taraf tersebut, kekerasan
akan terlembaga ke dalam sistem sosial dan budaya masyarakat yang selanjutnya melahirkan
kekerasan kultural (cultural violence), yaitu legitimasi nilai-nilai sosial-kultural terhadap
perilaku kekerasan.
Perlembagaaan kekerasan dalam nilai-nilai kultural tidak bisa dilepaskan dari proses
sosialisai dan enkulturasi, yaitu penanaman dan pendidikan nilai-nilai sosial terhadap anggota
masyarakat. Kekerasan kultural adalah evolusi lebih lanjut dari kekerasan, yang tadinya
hanya terbatas kepada kekerasan fisik, namun pada perkembangannya mendapatkan
legitimasi karena logika kekerasan memenangkan pasar wacana sosial.
Kaitan kekerasan dan konflik dengan wacana dan kognisi tersebut disinggung oleh
sastrawan Amerika, Mark Twain. Twain mengatakan bahwa “conflict is matter of mind”
(konflik itu masalah pikiran). Jika pernyataan Twain itu diteruskan, akan muncul proposisi
lanjutan, yaitu: “if there are many conflicts, there are problems in our mind” (Jika ada
banyak konflik, maka ada banyak problem dalam nalar kita), karena hal itu menunjukkan
bahwa jalan kekerasan telah memenangkan proses pemilihan dan wacana dalam nalar
anggota masyarakat.
Proposisi itulah yang tampaknya perlu dikemukakan kepada masyarakat Indonesia.
Pasca reformasi, kekerasan seolah menjadi bagian tidak terpisahkan dalam kehidupan sosial.
Media memberikan informasi setiap hari tentang berbagai ragam kekerasan. Informasi
tersebut di satu sisi memberikan pemahaman terhadap masyarakat akan berbagai persoalan
yang ada di sekitar mereka, namun pada saat yang sama menumpulkan respon masyarakat
terhadap kekerasan. Citra diri masyarakat Indonesia sebagai masyarakat ramah, murah
senyum, dan cinta damai semakin menghilang dari kesadaran pribadi anggota masyarakat.
Spektrum kekerasan di Indonesia telah mencapai tahap yang memprihatinkan.
Kekerasan saat ini terjadi dan dilakukan oleh hampir seluruh elemen masyarakat dari
beragam status, petani, buruh, majikan, pengusaha, guru, pelajar, komunitas keagamaan,
tentara, polisi, ibu rumah tangga, politisi, bahkan hingga anggota parlemen. Semua itu
membenarkan proposisi bahwa ada masalah dalam nalar kolektif masyarakat Indonesia.
Kondisi demikian menuntut anggota masyarakat untuk melakukan penemuan kembali
terhadap
khazanah
nilai
dan
pranata
yang
mendukung
kultur
perdamaian
dan
mentransformasikannya dalam pendidikan perdamaian. Ketika kekerasan berkembang, maka
ada amanah kultural untuk membelokkan trend tersebut melalui pembangunan perdamaian.
Salah satu cara untuk menanamkan nilai-nilai perdamaian adalah dengan penggalian kearifan
lokal yang ada dalam jantung masyarakat itu sendiri.
Kearifan lokal bisa digali dari berbagai budaya di Indonesia, namun secara khusus
tulisan ini hanya menyoroti kearifan lokal dalam masyarakat dan budaya Jawa. Budaya Jawa
sangat kuat dipengaruhi semangat harmoni. Semangat harmoni tersebut terefleksi dalam citra
hubungan sosial yang ideal, yaitu guyub-rukun. Masyarakat yang guyub-rukun ditandai
dengan hubungan sosial yang erat dan akrab dengan suasana yang damai atau tanpa konflik.
Dalam citra ideal masyarakat guyub-rukun tersebut terdapat kearifan lokal yang bisa digali
dan dikembangkan. Kearifan lokal dalam tulisan ini diartikan sebagai nilai-nilai yang
dijadikan pedoman oleh anggota masyarakat dalam membina hubungan sosial. Jadi, kearifan
lokal bersifat kultural karena terbentuk dari rangkaian nilai-nilai yang dijadikan pedoman
oleh masyarakat dan terbentuk dalam proses interaksi. Hal itu menyiratkan bahwa kearifan
sosial berada dalam tataran kognisi kesadaran dan tataran pranata sosial.
Kearifan lokal dalam tataran kognisi kesadaran dapat ditemukan dalam ungkapanungkapan tradisional (saloka) dan dalam pranata sosial masyarakat Jawa. Saloka berfungsi
sebagai rujukan nilai bagi masyarakat Jawa dalam menyikapi situasi sosial, termasuk konflik.
Sementara itu, pranata sosial berperan dalam operasionalisasi nilai-nilai yang terkandung
dalam saloka untuk pemecahan persoalan nyata.
Saloka bersifat anonim dan tidak diketahui siapa penciptanya, tetapi dipandang
sebagai milik seluruh masyarakat dan memiliki legitimasi kultural. Ada banyak saloka yang
tersimpan dalam khazanah budaya Jawa, yang sebagian di antaranya mengandung dan
mendukung nilai-nilai perdamaian, baik perdamaian interpersonal, antarpersonal, maupun
antarkelompok.
Saloka jembar segarane (orang yang pemaaf). Saloka tersebut mengandung dimensi
pujian bagi orang-orang yang bersedia memaafkan kesalahan orang lain. Dengan cara
tersebut, orang yang memaafkan akan menemukan kedamaian dalam diri sendiri maupun
perdamaian dengan pihak lain secara legitimate. Persoalan legitimasi perbuatan menjadi
penting karena menyangkut harga diri, pengakuan sosial, dan kebebasan dari sanski sosial.
Memaafkan saat ini dipandang sebagai salah satu pilar dalam rekonsiliasi dan cultural
healing (penyembuhan masyarakat pascakonflik). Kekerasan dan konflik yang terjadi dalam
waktu panjang biasanya menciptakan dendam yang turun temurun. Untuk memutus siklus
kekerasan, para pihak diminta mengakui kesalahan diri sendiri dan memaafkan pihak lain.
Dengan cara tersebut, korban akan membebaskan diri dari dendam dan konflik dalam dirinya
sendiri, sedangkan pelaku kekerasan menyadari kesalahannya dan ikut bertanggung jawab
untuk membangun kembali perdamaian.
Saloka menang tanpa ngasorake (memenangkan sesuatu tanpa mempermalukan pihak
lawan). Prinsip dasar dalam saloka ini selaras dengan prinsip hormat dan rukun dalam budaya
Jawa. Kemenangan yang terbaik adalah kemenangan yang didasarkan atas upaya
menciptakan kerukunan dan harmoni. Karena itu, dalam sebuah negosiasi orang sebisa
mungkin dituntut tetap menjaga hubungan baik dengan orang lain.
Dalam
negosiasi
interest-based
terdapat
ungkapan
“pisahkan
orang
dari
permasalahannya,” yang maksudnya adalah bahwa proses negosiasi sebisa mungkin para
pihak berkonsentrasi kepada permasalahannya, bukan mempersoalkan orangnya. Hal itu
dilakukan untuk tetap mempertahankan hubungan baik yang ada dan menghindari seranganserangan kepada pribadi pihak lain yang akan merusak hasil baik yang mungkin dicapai
melalui negosiasi. Saloka menang tanpa ngasorake berguna tidak hanya dalam konteks
hubungan antarpersonal, tetapi bisa juga digunakan dalam konteks hubungan antarkelompok.
Saloka rukun agawe santosa, crah agawe bubrah (rukun membuat sentausa,
bertengkar membawa perpecahan). Saloka tersebut secara eksplisit mengajarkan pentingnya
rukun dalam masyarakat. Saloka tersebut bersifat informatif (rukun hubungan yang indah)
dan bersifat sekaligus imperatif (larangan untuk berpecah belah). Prinsip-prinsip umum
dalam saloka itu bisa digunakan dalam konteks pencegahan konflik dan dalam konteks
pembangunan perdamaian (peace building).
Saloka tepa selira (mengukur dengan diri sendiri), menunjukkan sebuah impresi agar
jangan berbuat sesuatu terhadap orang lain kalau diri sendiri tidak ingin diperlakukan
demikian. Prinsip tepa selira sebenarnya juga menjadi prinsip Hak Asasi Manusia yang
dibangun di atas landasan pemenuhan hak-hak dasar masing-masing individu. Hak Asasi
Manusia dibangun pula di atas nilai bahwa penghormatan terhadap hak asasi orang lain
berlaku menurut prinsip resiporsitas, yaitu tidak boleh melakukan sesuatu atau
memperlakukan orang lain yang diri sendiri tidak ingin diperlakukan demikian.
Saloka yen ono rembug, yo dirembug (kalau ada persoalan, sebaiknya dibicarakan)
menegaskan pentingnya dialog dan negosiasi dalam menyelesaikan masalah. Saran untuk
dialog dan negosiasi tersebut menunjukkan ajaran untuk mengedepankan komunikasi dalam
menyelesaikan masalah, bukan kekerasan.
Secara umum, saloka-saloka itu mengajarkan nilai-nilai dasar interaksi, khususnya
interaksi dalam kehidupan sosial. Operasionalisasi saloka tersebut dalam ranah sosial
melibatkan anggota masyarakat, khususnya pemegang otoritas, baik otoritas legal formal
(aparat pemerintah) maupun otoritas tradisional (sesepuh atau tokoh agama), sedangkan
dalam ranah sekolah melibatkan pendidik dan elemen-elemen lainnya. Operasionalisasi nilai
perdamaian yang ada dalam saloka hanya mungkin terjadi ketika nilai-nilai tersebut diserap
dan dihayati oleh masyarakat. Hal itu meniscayakan adanya sosialisasi dan pendidikan
terhadap masyarakat, baik melalui pendidikan formal, nonformal, maupun informal.
Operasionalisasi nilai-nilai perdamaian adalah bagian dari penciptaan positive peace
(perdamaian positif).
Karena itulah, penggalian kembali kearifan lokal menjadi bagian penting dalam upaya
pendidikan budaya perdamaian di kalangan masyarakat karena kearifan lokal menyediakan
legitimasi tindakan dan kontrol sosial bagi anggota masyarakat. Kearifan lokal, khususnya
ungkapan-ungkapan tradisional, adalah bagian dari pembangunan peace culture (budaya
damai) dan upaya untuk kontra-wacana terhadap kekerasan kultural.
Penggalian dan
sosialisasi kearifan lokal tersebut meniscayakan peran dunia pendidikan yang memiliki
infrastruktur dan akses yang luas terhadap masyarakat budaya, meskipun pada prateknya
nilai-nilai kultural harus hidup dalam kehidupan sosial yang nyata.
(Artikel ini diambil dari Majalah Edukasi edisi XLIII/Th.XIX/Juli/2011 Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan Walisongo Semarang)