PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS CERPEN DEN

PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS CERPEN DENGAN STIMULANS
TITIK PANDANG OBJEK DALAM KALIMAT PEMBUKA PARAGRAF
CERPEN PADA SISWA KELAS X SMA N 1 NEGARA
TAHUN 2011
OLEH : I WAYAN SUDIRTHA,S.Pd.
Guru Bahasa dan Sastra Indonesia pada SMAN 1 Negara
ABSTRACT
Writing represent activity which is the most complex and complicated
compared with other three skills activities ( reading, listening and speaking). So that
most of Indonesian Ianguage teachers find difficulties in teaching literature to their
students. This condition cause teaching and learning writing skill become more
difficult.
In order to solve this problem, we need method or creative approach, accurate
and easy. To conduct so the the students are not bodened by unimpertant thing
Writing short story is an interesting writing activity because each individual has
own story which is really able to rewrite. But until now not many individual are able to
write their own story in the form of narrative story like short story. The existance of
innovative method is badly needed to solve this problem and afraid of writing.
Giving stimulant such as sentence with certain objects in an opening paragraph
is away to explore and improve student potential. This way will lead the students to
be used to writing especially fiction story like short story that having impressive

emotion and imaginary value.
Since writing principly represent the highest language activity so assessement to
sensitivity of sense involvement, sensitivity of language and main writing substation
case must be done accurately. Accuracy is determined by the tools used like fortofolio
and assessment design. In order every individual improvement can be accommodated in
the form of real learning progress.
The relationship between sensitivity of sense and sensitivity of language in
writing will result form of variety language which is expressing student maturity using
language. The main substantion writing assessment in this research such as content
assessment, diction, plot, language component and teacher’s affective. Score every
aspect are acumulated then devided by five so obtained average score. That refresent
totality students writing score from one period to next period. The change of individual
score happen in every period represent the level of students learning achievement
during learning process. The achievement of student learning then is used to be the
standard to conclude whether teaching writing short story with the opening sentences
stimulant will succeed or not.
Key Word: short story,writing, stimulans, sentence, certain objects in an opening
paragraph

1


1.Pedahuluan
Menulis kerapkali difonis sebagai sesuatu yang rumit, tidak menarik dan
membosankan. Pelajaran menulis sering menjadi beban bagi siswa dan guru, karenanya
“pelajaran

tulis menulis semakin tidak mendapat porsi yang memadai di dalam

pengajaran” (Kaswanti Purwo,1996:127). Sehingga tidaklah mengherankan jika
pelajaran tersebut semakin ditinggalkan.
Fenomena tersebut dapat mendorong pengajaran menulis menjadi semakin tidak
populer di kalangan siswa maupun guru. Akibatnya minat

guru dan siswa dalam

menulis semakin rendah. Karena itu pulalah pelajaran menulis jarang diberikan secara
memadai di sekolah – sekolah.
Terlepas dari persoalan tadi, fakta empiris mengungkapkan bahwa hambatan
terbesar siswa dalam menulis atau mengarang adalah ketika mereka membahasakan
suatu topik atau objek dalam kalimat yang membentuk paragraf pembuka. Rata-rata

siswa atau guru menyatakan bahwa kesulitan terbesar dalam menulis adalah saat
bagaimana pertama kali mereka membahasakan topik secara baik dan menarik pada
kalimat paragraf pembuka tulisan.
Dalam konteks inilah diperlukan suatu upaya pengajaran menulis yang betulbetul diperlukan siswa untuk meningkatkan keterampilannya. Sehingga secara perlahan
kegiatan tulis menulis dapat tumbuh dan berkembang menjadi sebuah kebiasaan yang
digemari siswa dalam kehidupannya sehari-hari. Kegagalan siswa dalam menulis
tampaknya tidak boleh selalu dibebankan kepada siswa, tetapi kegagalan itu haruslah
disikapi oleh guru dengan suatu upaya yang kongkrit dalam pengajaran.
Untuk mendapatkan pengajaran menulis, khususnya cerpen yang berhasil,
seorang guru perlu melakukan inovasi dalam pengajarannya, guru perlu memiliki
pengetahuan dan pengalaman yang memadai berkenaan dengan ketrampilan yang
diharapkan terjadi pada siswa. Kedua hal tadi dibutuhkan untuk menghindari terjadinya
stagnasi penguasaan ketrampilan yang diharapkan. Itulah sebabnya

mengapa

diperlukan kemauan untuk melakukan inovasi baik dalam strategi maupun metode
pengajaran. Persoalannya adalah guru yang memiliki kemampuan tersebut masih jarang
dijumpai di sekolah-sekolah formal kita.
Fenomena itu harus dijawab dengan pelatihan, pengkajian dan penelitian.

Karena keberhasilan pengajaran menulis membutuhkan sebuah proses ilmiah yang
dapat dimengerti dan dilakukan oleh setiap orang. Dengan bersandar pada logika tadi

2

maka keberhasilan pengajaran menulis sesungguhnya tidak semata-mata ditentukan
oleh bakat. Tetapi, kemampuan menulis adalah sesuatu yang bisa dipelajari dan
dilakukan melalui serangkaian proses pembelajaran. Persoalannya adalah bagaimana
melatihkannya secara sederhana, mudah dan menyenangkan sehingga individu yang
belajar tidak bosan dan tidak merasa melakukan hal yang sia-sia. Karena itu pulalah
diperlukan sebuah strategi atau pengajaran menulis yang tepat.
Sementara itu, untuk memperoleh rujukan tentang hasil penelitian yang
komprehensif tentang menulis cerpen tidaklah mudah didapat. Umumnya refernsi
rujukan menulis cerpen diperoleh melalui referensi berupa buku-buku yang membahas
tentang tulis menulis secara umum, seperti Mengarang Itu Gampang ( 1987) karya
Arswendo Atmowiloto. Aku Bisa Menulis Cerpen (2006) karya Joni Ariadinata.
Berkenalan dengan Prosa Fiksi (2000) karya Suminto A. Sayuti, Teori Pengkajian
Fiksi (2007) karya Burhan Nurgiyantoro dan lain sebagainya. Yang mana di dalam
buku-buku tersebut diungkapkan banyak hal tentang seluk beluk prosa fiksi seperti
novel dan cerpen.

Meskipun buku referensi tentang menulis cerpen banyak beredar luas, namun
kenyataannya hanya sedikit dari sekian banyak siswa dan guru yang memanfaatkannya
untuk pengajaran menulis cerpen. Sehingga pengajaran tulis menulis khususnya fiksi di
sekolah-sekolah, masih menjadi beban yang memberatkan siswa dan guru.
Penelitian

ini

dilakukan dengan suatu cita-cita, yaitu mendekatkan dan

melibatkan siswa sepenuhnya dalam menulis dengan suatu metode yang praktis dan
secara kualitas dapat diukur. Prinsip kerja penelitian tersebut adalah bertitik tumpu
pada pemberian stimulans

dengan pendekatan “titik pandang objek dalam kalimat

pembuka paragraf sebuah cerita”. Pemberian stimulans berupa kalimat pada paragraf
pembuka cerita tersebut, siswa diyakini terpacu untuk melakukan eksplorasi imajinasi
mereka sampai cerita yang ditulis itu berakhir.
Alasan pemilihan objek penelitaian tersebut didasarkan selaian karena persoalan

–persoalan tersebut di atas, juga karena dilandasi oleh prinsip agar pemahaman siswa
tentang konsepsi cerita pendek lebih bisa dijiwai melalui pembelajaran yang sifatnya
riil melalui serangkaian pelatihan yang dipraktikan seecara nyata baik di kelas maupun
di luar kelas. Sehingga siswa benar-benar paham tentang cerpen baik dari pengertian,
anatomi atau strukturnya serta teknik penceritaan yang benar dan berkualitas.

3

Ada beberapa alasan mengapa keterampilan menulis cerpen perlu diajarkan
kepada siswa. Diantaranya karena keterampilan tersebut dapat meningkatkan kepekaan
berbahasa dan sosial individu ( Marahimin,2001:18). Bernerd Percy dalam Narsito,
2000:6. disebutkan bahwa menulis memiliki sekurang-kurangnya enam manfaat, yaitu:
1).Sarana untuk mengungkapkan diri, 2). Sarana untuk memahami sesuatu, 3).Sarana
untuk mengembangkan kepuasan pribadi, kebanggaan dan rasa harga diri. 4).Sarana
untuk meningkatkan kesadaran dan penyerapan terhadap lingkungan

sekeliling,

5).Sarana untuk melibatkan diri dengan penuh semangat, dan 6).Sarana untuk
mengembangkan pemahaman dan kemampuan mempergunakan bahasa.

Keenam manfaat menulis di atas menegaskan bahwa hakikat manulis adalah
suatu upaya untuk menemukan sesuatu atau memunculkan ide-ide baru. Mengorganisasi
berbagai konsep logika ke dalam ide-ide atau gagasan yang rasional. Menulis dapat
menjadi media untuk melatih sikap objektif yang ada pada diri individu. Selain itu,
menulis membantu individu untuk menyerap dan memproses informasi di samping
melatih diri berpikir aktif dan positif dalam rangka mengembangkan kecerdasan
imajinasi dan apresiasi terhadap kehidupan sekitarnya.
Hambatan terbesar yang menyebabkan siswa gagal menghasilkan karangan
adalah karena mereka tidak tahu tentang dari mana dan bagaimana memulainya.
Kerapkali dijumpai siswa tidak mampu menulis paragraf pembuka sebuah karangan
dengan baik apalagi menarik baik dinilai dari sudut kaidah berbahasa maupun dari
dimensi komposisi dan isinya. Hambatan tersebut juga terjadi karena disebabkan oleh
tidak terlatihnya siswa dalam membahasakan suatu topik. Kondisi seperti ini dikatakan
“Bambang Kaswanti Purwo” sebagai “suatu kondisi dimana siswa belum memiliki
ketrampilan

memadai yang berhubungan dengan persoalan pragmatik dan logika

bahasa.” (Mujianto Sumarjo,1996:112-130). Sehingga waktu yang dibutuhkan siswa
dan guru dalam meningkatkan kemampuan tulis menulis menjadi terlalu lama.

Tingginya tingkat kegagalan menulis yang dialami siswa, membuktikan bahwa
pelajaran menulis perlu diintensifkan agar minat siswa untuk menulis dapat tumbuh
hidup dan berkembang. sehingga setiap orang tidak mudah putus asa atau prustasi saat
belajar dan berlatih menulis.
Untuk membuka sebuah tulisan yang berkesan, membutuhkan ketajaman intuisi
dan kepekaan berbahasa. Keduanya hanya bisa diperoleh melalui latihan dan
pembiasaan yang berproses secara berulang-ulang. Semua penulis-penulis besar di

4

dunia mengikuti proses metamorfose tersebut. Mereka menulis sepanjang waktu dan
meningkatkan kemampuannya sepanjang waktu hidup mereka untuk menulis. Artinya
sebuah ketekunan dan kemauan untuk berlatih sepanjang waktu adalah sesuatu yang
mutlak diperlukan, jika hendak menghasilkan sebuah tulisan yang berkualitas baik.
Paragraf pembuka pada prinsipnya adalah sebuah pendahuluan. Sebagai
pembuka tulisan, maka kalimat-kalimat pada paragraf tersebut harus mencerminkan
informasi yang benar-benar diperlukan pembaca untuk mengikuti seluruh isi yang akan
disajikan dalam tulisan. Sejalan dengan pemikiran tersebut, Keraf

berpendapat “


bahwa pendahuluan atau pembuka tulisan hendaknya berisi informasi yang menjadi
dasar bagi seluruh uraian, bukan untuk berlaku untuk satu bagian kecil. (1999:65).
Bahkan dalam buku “Argumen dan Narasi”, Keraf mengungkapkan bahwa bagian
pendahuluan harus berisi “situasi dasar yang mengandung unsur-unsur yang mudah
meledak atau mampu meledakan; situasi itu harus dapat menghasilkan suatu perubahan
yang dapat membawa akibat atau perkembangan lebih lanjut di masa depan.”
(1985:150). Artinya menurut Keraf bahwa “...bagian pendahuluan yang menyajikan
situasi dasar memungkinkan pembaca memahai adegan-adegan selanjutnya.Sebab
bagian ini sering juga disebut dengan istilah eksposisi. Pandangan tersebut memperkuat
keyakinan peneliti akan pentingnya pemberian stimulan titik pandang objek terhadap
siswa agar mampu meningkatkan kemampuannya dalam menulis cerita pendek, baik
yang berhubungan dengan peningkatan kepekaan imajinasi maupun peningkatan
kepekaan berbahasa dalam ranah yang lebih luas.
Setiap karangan baik fiksi maupun non fiksi selalu memiliki struktur umum
yang meliputi; bagian pembuka /awal, bagian tengah /isi dan bagian akhir / penutup.
Ketiga struktur karangan tersebut merupakan satu kesatuan dalam tulisan yang utuh.
Meskipun ketiga unsur tersebut bersifat koheren, tetapi

kualitas dan keberhasilan


sebuah karangan sangat ditentukan oleh pernyataan ataupun ilustrasi-ilustrasi pembuka.
Dalam cerita pendek, kalimat –kalimat dalam paragraf pembuka sangatlah menentukan
keberhasilan pengarang dalam mengarahkan isi ceritanya. Suminto A.Sayuti dalam
buku Berkenalan dengan Prosa Fiksi menegaskan, “biasanya pengarang memilih titik
tertentu untuk memulai ceritanya” (2000:32). Ahmad Tohari misalnya mengawali siklus
cerita Ronggeng Dukuh Paruk sebagai berikut:
“Sepasang burung Bangau melayang meniti angin berputar-putar tinggi di
langit. Tanpa sekalipun mengepak sayap, mereka mengapung berjam-jam

5

lamanya. Suaranya melengking seperti keluhan panjang. Air. Kedua unggas
itu melayang beratus-ratus kilometer mencarai genangan air. Telah lama
mereka merindukan hamparan lumpur tempat mereka mencari mangsa,
katak, ikan, udang, atau serangga air lainnya.
Demikian pula Moctar Lubis dalam cerpen Bromocorah, mengawali cerita itu
dengan sebuah titik pandang yang menggambarkan tokoh “dia” bangun pagi-pagi
benar, keluar diam-diam dari kamar tidur, dan meninggalkan istrinya yang masih
tidur.” Lalu Gerson Poyk memilih nama Matias Akankari sebagai titik pandang objek

pada paragraf pembuka pada cerpen berjudul Matias Akankari. Titik pandang objek
serupa juga dilakukan oleh Emha Ainun Nadjib dalam cerpen berjudul Kang Darsip.
Demikian pula Y.B. Mangunwijaya yang menempatkan

Anak Kolong sebagai isu

sentral dalam membuka novel Burung-Burung Manyar. Secara tegasnya Suminto
A.Sayuti mengungkapkan bahwa pola awal merupakan salah satu preferensi yang
dianggap penting dan bermakna oleh setiap prngarang.
Penjelasan di atas mengungkapkan bahwa sebenarnya “awal sebuah cerita
mengandung dua hal yang penting, yakni pemaparan dan eksposisi atau elemen
instabilitas “(Suminto;2000:36). Itu artinya eksposisi menduduki funsi primer dalam
kaitannya dengan awal suatu cerita. Karena itu bagian awal cerita hendaknya
mengandung potensi yang dapat dikembangkan. Dengan kata lain, setiap pembaca bisa
berharap bahwa situasi awal cerita dapat menyebabkan terjadinya suatu cerita akan
berisi suatu elemen instabilitas, baik bersifat implisit maun eksplisit.
Lebih lanjut Suminto A.Sayuti mengungkapkan bahwa sedikitnya ada sepuluh
alasan yang perlu diperhatikan pengarang dalam menentukan bagian awal ceritanya.
Konsep Suminto tersebut diperkuat oleh Nurgiyantoro dalam buku Teori Pengkajian
Fiksi, yaitu:
“ Tahap awal sebuah cerita biasanya disebut sebagai tahap perkenalan.
Tahap perkenalan pada umumnya berisi sejumlah informasi penting yang
berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap
berikutnya. Ia misalnya

berupa, penunjukkan dan penegenalan latar

seperti nama-nama tempat, suasana alam, waktu kejadian (misalnya ada
kaitannya dengan waktu sejarah), dan lain-lain, yang pada garis besarnya
berupa deskripsi pengenalan tokoh (-tokoh) cerita, mungkin berwujud

6

deskripsi fisik, bahkan juga mungkin telah disinggung (walau secara
implicit ) perwatakannya.”(2007: 142).
Lebih lanjut Nurgiyantoro mengemukan bahwa “ fungsi pokok tahap
awal

(pembukaan) sebuah cerita adalah untuk memberikan informasi dan

penjelasan

seperlunya

khususnya

yang

berkaitan

dengan pelataran

dan

penokohan.” ( 2007: 142). Tentu saja setiap pengarang memiliki ciri khas yang
berbeda-beda

dalam mengawali ceritanya tergantung pada bagaimana ia

menangkap dan menempatkan perferensinya. Yang pasti secara teoritis setiap
kisahan cerita membutuhkan pembukaan. Karena bagian pembukaan atau awal
cerita, disamping untuk memperkenalkan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita,
pembukaan cerita yang baik akan memudahkan pengarang merangkaikan
peristiwa-peristiwa berikutnya. Teori ini sangat memungkinkan setiap orang dapat
belajar menulis cerita fiksi khususnya cerpen secara terbuka. Dan setiap guru
memiliki peluang yang terbuka pula dalam mengajarkan menulis cerita kepada
siswanya di kelas. Dalam konteks inilah, peneliti memiliki keyakinan, bahwa
keberhasilan belajar atau mengajarkan menulis

terletak pada bagaimana

menumbuhkan intuisi –intuisi kepekaan berbahasa pada kalimat paragraf pembuka
sebuah karangan yang sedang dipelajari ataupun diajarkan.
Untuk menjawab persoalan di atas itulah, dilakukanlah penelitian tindakan
kelas berupa

pembelajaran menulis dengan stimulans titik pandang objek dalam

kalimat pembuka paragraf cerpen pada siswa kelas X di SMA Negeri 1 Negara tahun
2011. Penelitian tersebut merujuk pada konsep yang dikemukanan oleh Mc Kernan
yang meliputi Perencanaan, tindakan, observasi, evaluasi dan refleksi. Selanjutnya pada
bagian perencanaan, Penelitian Tindakan Kelas ini dibagi menjadi dua kegiatan dasar
yaitu: perencanaan penelitian dan perencanaan tindakan. Perencanaan penelitian
dilakukan terhadap ketersediaan alat-alat bantu penelitian, teknik pengadaan dan
kegunaanya, seperti; Mendasain fortofolio untuk melakukan observasi/survei,
mendesain model pembelajaran dan alat bantu berupa RPP, luncuran, desain struktur
alur cerita, fortofolio/lembar kerja siswa, dan alat bantu tayangan yang berhubungan
dengan pengimajian. Kegiatan perencanaan tersebut dilakukan di awal penelitian atau
sebelum penelitian dilakukan. Sedangkan perencanaan tindakan dilakukan terhadap
perkembangan hasil belajar yang diketahui mulai dari saat observasi atau survei sampai

7

pelaksanaan. Perencanaan tindakan disesuaikan dengan identifikasi masalah yang
dijumpai dalam setiap kali tindakan dilakukan. Berdasarkan konsep tersebut
ketersediaan data yang akan dianalisis dapat tersedia secara optimal.
Pengumpulan data yang diperlukan dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan intrumen berupa lembar control . Untuk menilai kemajuan kepekaan
imajinatif dan kepekaan berbahasa siswa digunakan lembar kontrol berupa blangko
isian yang didalamnya berisi data pribadi siswa, tingkat kepekaan imajinatif yang
ditentukan berdasarkan skala 1 sampai dengan 10, dengan aspek penilian yang
meliputi:1. Kualitas dan ruang lingkup isi (parameter isi), 2. Efektivitas diksi
(Parameter kosa kata) 3.Organisasi dan penyajian isi (Parameter alur), 4. Mekanik
seperti tata bahasa, struktur pembangun kalimat, ejaan, kerapian tulisan (parameter
kaidah) serta 5.Parameneter kualitas imajinasi, yang meliputi: kepekaan panca indera,
ungkapan, gaya bahasa 6. Respon efektif guru terhadap pengembangan titik pandang
objek siswa dalam kalimat dan paragraf pembuka serta terhadap keutuhan struktur dan
isi karangan. Sedangkan penilaian tehadap hasil belajar siswa diakumulasikan dengan
kreteria berikut; 0-60 (6.0)kurang, 61(6.10) – 75 ( 7.50) cukup, 76 (7.60) - 90 (9.00)
baik, 91( 9.10) -100 (10.0) sempurna yang diformulasikan dengan rumus:
PSS
NS =
JSM

Keterangan :
NS

: Nilai Siswa

PSS

: Perolehan Skor Siswa

JSM
Maksimum
Sedangkan untuk mengetahui tingkat kemajuan
siswa: Jumlah
dihitungSkor
dengan
menggunakan
rumus sebagai berikut:
1. Rumus untuk mengetahui besarnya kemajuan dalam bentuk kuantitas point
KS =

N2 – N1

Keterangan
KS: Selisih nilai akhir tindakan / siklus dengan nilai siklus sebelumnya.
N1 : Perolehan skor awal
N2 : Perolehan skor setelah tindakan
2. Rumus untuk mengetahui besarnya kemajuan dalam bentuk persentase.

8

N2 – N1
% KS =

X 100
N1

Keterangan :
%KS : Kemajuan / perkembangan belajar siswa dalam bentuk persentase
N1

: Perolehan skor awal

N2

: Perolehan skor setelah tindakan

Data-data hasil belajar siswa, baik data kualitatif maupun data kuantitatif
dianalisis dengan menggunakan riset deskriptif. Riset deskriptif yang akan
dipergunakan berorientasi pada riset deskriptif

kualitatif dan riset deskripsi

kuantitatif
Riset deskriptif kualitatif bertujuan menggambarkan keadaan tentang
kemajuan hasil belajar ( kepekaan imajinasi dan kepekaan berbahasa/ tulis narasi
cerita fiksi cerpen).dengan teknik pemberian stimulan pada titik pandang objek
dalam kalimat dan paragraf pembuka cerita. Sedangkan riset deskriptif kuantitatif
dipergunakan untuk memetakan tingkat kemajuan siswa dalam bentuk angka –
angka, grafik atau tabel.
Berdasarkan hasil risert yang telah dilakukan, maka sejalan dengan
rancangan penelitian yang dibuat, penyajian hasil PTK dilakukan secara deskriptif
dengan menggunakan kata-kata ( kualitatif) dan angka-angka, grafik/diagram/ tabel
(kuantitatif).
Penyajian data secara deskriptif bertujuan menggabarkan setiap kemajuan
yang dicapai baik yang dicapai oleh masing-masing individu (responden) maupun
kemajuan yang tercapai secara kolektif. Sedangkan penyajian hasil dalam bentuk
grafik adalah untuk melukiskan perkembangan/ kemajuan yang telah dicapai
responden baik dari periode observasi sampai berakhirnya siklus ketiga.
2. Hasil Penelitaian dan Pembahasan
Pembahasan penelitian ini meliputi deskripsi situasi belajar siswa dari masa
observasi sampai selsainya siklus kedua. Yang meliputi: analisis kemajuan belajar yang
dicapai siswa pada aspek; isi , diksi, alur, mekanik dan afektif guru terhadap karangan
(cerpen ) siswa .

9

2.1 Analisis deskripsi hasil belajar siswa pada periode survei.
Penilaian terhadap karangan siswa pada periode survei dilakukan terhadap:
kelima aspek karangan ( isi , diksi, alur, mekanik dan afektif guru ). Kelima sapek
tersebut dipandang cukup mewakili keseluruhan aspek karangan yang dinilai, tanpa
mengkesampingkan unsur ekternal seperti latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya
yang melatarbelakangi masing-masing individu (siswa).
Untuk menentukan tingkat keberhasilan siswa, parameter penilaian ditetapkan
sesuai KKM Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA Negeri 1 Negara, yakni 7,50 atau 75.
Dengan demikian, siswa dianggap tuntas jika perolehan hasil belajarnya telah mencapai
angka 7,50 dari kelima aspek penilaian yang ditetapkan
Sejalan dengan hal tersebut, sebelum memasuki putaran siklus pertama,
Penelitiam Tindakan Kelas ini diawali oleh suatu kegiatan survei. Survei tersebut
bertujuan untuk memetakan kompetensi dasar siswa dan mengidentifikasikan titik-titik
persoalan yang dihadapi siswa dalam menulis karangan rekaan berbentuk cerpen. Hasil
penilaian yang diperoleh pada saat survei diketahui bahwa ketuntasan untuk aspek isi
0% , aspek diksi 3% (1 orang), sedangkan pada aspek alur, mekanik dan aspek efektif
guru 100% siswa belum tuntas. Artinya pada periode survei persentase ketuntasan
belajar siswa dari masing-masing aspek berada pada kisaran angka 0% sampai dengan
3%. Dengan demikian, secara akumulatif seluruh siswa pada periode survei dinilai
belum mampu menulis cerpen dengan baik. Realitas tersebut dibuktikan dengan angka
rata rata nilai siswa antara 4,55 s.d. 6,52 dan rata-rata komulatif nilai seluruh siswa
sebesar 5,55.
Grafik 1 berikut ini merupakan peta kemampuan (nilai) siswa pada periode survei .

2.2 Analisis deskripsi hasil belajar siswa pada siklus I.

10

Fenomena angka-angka pada periode survei di atas mencerminkan rendahnya
kemampuan siswa dalam menulis karangan khusnya cerpen. Sehingga terdapat cukup
alasan untuk melakukan tindakan berupa pemberian stimulus-stimulus yang dapat
memacu kepekaan inderawi dan kepekaan berbahasa di kalangan siswa, guna
menumbuhkembangan bakat dan minat mereka dalam menulis.. Adapun stimulus yang
diberikan pada PTK ini adalah stimulus berupa kalimat-kalimat pembuka paragraf
cerpen yang baik. Pengertian baik yang dimaksud adalah kalimat pembuka cerita yang
memiliki efek emotif, efek ketegangan, efek kepekaan pancaindera dan efek kepekaan
berbahasa.
Dengan bertumpu pada karakteristik persoalan yang telah teridentifikasi pada
periode survei dan pemberian stimulans yang dilatihkan pada siklus pertama diperoleh
hasil bahwa seluruh siswa menunjukkan kemajuan belajar rata rata sebesar 1,23 poin
( 22.17%) pada aspek isi, 1,12 poin (20.01%) pada aspek diksi, 1,13 poin (20.37%)
pada alur, 1,15 poin (21.52%) pada aspek mekanik dan 0.99 poin (16.88%) poin pada
aspek afektif guru. Tabel di atas menunjukkan bahwa kemajuan belajar siswa terjadi
diseluruh aspek karangan yang dinilai. Namun persentase siswa yang memenuhi angka
ketuntasan 7,50 baru berjumlah 3 orang atau (9%) dari 32 orang siswa. Sisanya
sebanyak 29 orang (91%) meskipun menunjukkan kemajuan belajar namun hasilnya
belum tuntas.
Sedangkan interval kemajuan rata rata belajar siswa dari periode survei ke
putaran siklus I naik sebesar 1,13 poin . Kenyataan tersebut dapat dilihat pula pada
kenaikan nilai terendah dari rata-rata 4,55 menjadi 5,60 serta nilai maksimal meningkat
dari 6,52 menjadi 7,87. Artinya tindakan yang dilakukan peneliti menunjukkan adanya
perbaikan terhadap kualitas hasil belajar siswa.
Faktor penyebab tingginya tingkat kegagalan siswa pada siklus pertama
dikarenakan

masih rendahnya pengetahuan, pengalaman serta proses kreatif siswa

dalam penciptaan karya sastra. Rendahnya rendahnya kreativitad di picu oleh rendahnya
pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki siswa, seperti rendahnya pemahaman
konsep dan kurangnya pengalaman membaca karya sastra. Sehingga ketika siswa
dihadapkan pada realitas bersastra yang sesungguhnya, mereka sulit untuk
mengekplorasi kemampuannya.
Selain faktor tersebut di atas, ketidaktuntasan pada siklus I juga dipengaruhi oleh
proses adaptasi psikologi, adaptasi

kepekaan inderawi dan lemahnya kepekaan

11

berbahasa siswa. Hal itu dianggap sebagai suatu kewajaran sekaligus sebagai acuan
penentu dalam kegiatan refleksi dan perencanaan bagi implementasi tindakan
berikutnya pada siklus II. Sebagai argumen penguatan analisis, berikut ditampilkan
grafik perolehan nilai siswa pada siklus I dan grafik kemajuan belajar siswa dari periode
survei ke siklus I
Grafik 2. Grafik perolehan nilai siswa pada siklus I

Grafik 3. Kemajuan belajar siswa dari periode survei ke siklus I

Keterangan:

Nilai siswa pada periode survei
Nilai siswa pada siklus I
Rentangan kemajuan belajar siswa dari survei ke siklus I
% peningkatan hasil belajar siswa dari survei ke siklus I

12

2.3 Analisis deskripsi hasil belajar siswa pada siklus II.
Setelah melakukan refleksi dan pengidentifikasian masalah yang dijumpai pada
siklus I. PTK ini kemudian dilanjutkan dengan membuat perencanaan untuk melakukan
pemberian tindakan terhadap aspek-aspek tertentu seperti : penyempurnaan desain alur
cerita, pemberian karakter tokoh, teknik penulisan dialog, menghadirkan style dan
pemilihan judul. Dengan perkataan lain, perencanaan, tindakan dan evaluasi pada siklus
ke dua merupakan penyempurnaan dari siklus-siklus sebelumnya. Hasilnya diperoleh
kemajuan belajar siswa yang memuaskan:
Kemajuan belajar siswa pada siklus ke dua yang ditunjukkan pada tabel tersebut
membuktikan terjadinya efektifitas perencanaan dan tindakan pembelajaran yang
disampaikan guru. Tingginya efektivitas itu diwujudkan oleh perubahan yang terjadi
pada perolehan nilai belajar siswa,terjadi pada seluruh aspek penilaian. Dari data tabel
siklus II tersebut diketahui bahwa tingkat ketuntasan siswa pada masing-masing aspek
sebagai berikut:
Ketuntasan aspek isi karangan tercatat 32 orang atau telah mencapai (100%),
Ketuntasan aspek diksi atau pilihan kata sebanyak 26 orang (81%), aspek alur cerita 25
orang (78%), aspek mekanik 21 orang (66%) dan aspek apektif guru 24 orang (75%).
Angka –angka tersebut menunjukkan ketuntasan belajar siswa secara kolektif naik
tajam hingga mencapai 28 orang ( 88%). Sisanya sebanyak 4 orang (13%) meski
mengalami kemajuan tetapi pencapaian nilai belajarnya belum tuntas.
Kenaikan rata-rata nilai belajar siswa secara kolektif dari siklus I ke siklus II
adalah sebesar 1.35 poin (20.40%) dengan rentang kenaikan individual antara 0.79
(10.04%) s.d.2.14 (34.14%). Kemajuan belajar tersebut berbanding lurus dengan
peningkatan pada nilai terendah dan tertinggi. Nilai terendah pada siklus I sebesar 5.60
naik menjadi 7,50 pada siklus II. Demikian pula pada nilai tertinggi yang pada siklus I
tercatat 7.87 naik menjadi 9.48 pada siklus II.
Bila dibandingkan dengan kenaikan pada siklus I maka kenaikan dari periode
survei ke siklus II terlihat sangat tajam yakni dari ketidaktuntasan 100% menjadi
ketuntasan 100%. Angka-angka pada tabel tersebut di atas memperlihatkan kemajuan
belajar individual antara 1.90 poin s.d. 3.81 poin. Atas dasar hasil-hasil tersebut maka
dapat dikatakan bahwa keseluruhan proses pengajaran yang dilakukan guru dianggap
sukses. Untuk lebih jelasnya, berikut ditampilkan antara lain: grafik nilai siswa pada

13

siklus II, Grafik kemajuan belajar siswa dari siklus I ke siklus II dan Grafik kemajuan
belajar siswa dari periode survei ke siklus II.

Grafik 4. Nilai siswa pada siklus II

Grafik 5. Kemajuan belajar siswa dari siklus I ke siklus II

Keterangan:
Nilai siswa pada periode siklus I
Nilai siswa pada siklus II
Rentangan kemajuan belajar siswa dari siklus I ke siklus II
% Peningkatan hasil belajar siswa dari siklus I ke siklus II

14

Grafik 5. Persentase kemajuan belajar siswa dari siklus I ke siklus II

Keterangan:

Nilai siswa pada periode survei
Nilai siswa pada siklus II
Rentangan kemajuan belajar siswa dari survei ke siklus II
% peningkatan hasil belajar siswa dari survei ke siklus II

Sehingga realitas peningkatan kualitas belajar siswa dari periode prasiklus
(survei) sampai dengan siklus II terekam dalam grafik berikut
Grafik 6 Kemajuan belajar siswa dari periode survei ke siklus II

15

Keterangan:

Nilai siswa pada periode survei
Nilai siswa pada siklus II
Rentangan kemajuan belajar siswa dari survei ke siklus II
% peningkatan hasil belajar siswa dari survei ke siklus II

3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Setelah kegiatan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) tersebut dilaksanakan dengan
semestinya dapat disimpulkan beberapa hal, antara lain:
1. Pemberian stimulans titik pandang objek berupa kalimat

pada paragraf

pembuka memberikan efektivitas yang positif dalam memberikan perubahan
belajar siswa baik pada aspek ranah kognitif, apektif maupun psikomotor yang
lebih nyata dalam menulis cerita pendek..
2. Latihan menulis karangan dengan pemberian stimulus titik pandang objek
berupa kalimat pada paragraf pembuka cerita meningkatkan kualitas cerpen
yang dihasilkan siswa baik dari, isi, diksi, alur, mekanik dan respon afektif guru.
3.2 Saran
1. Hasil optimal dari pengajaran menulis dengan metode atau teknik pemberian
stimulans titik pandang objek berupa kalimat pada paragraf pembuka cerita
dapat dicapai bila diimbangi dengan bimbingan individual secara konsisten oleh
guru.
2. Penilitian Tindakan Kelas

(PTK) ini, dapat memberikan sumbangan dan

pertimbangan bagi praktisi pendidikan , peneliti serta seluruh guru Bahasa dan
Sastra Indonesia dalam mengambil keputusan untuk meningkatkan keberhasilan
siswa dalam meningkatkan kreativitas siswa dalam menulis..
3. Sebelum menerapkan pengajaran menulis dengan metode atau teknik dimaksud
di kelas sebaiknya para guru telah memiliki kemampuan menulis yang memadai
atau setidaknya pernah berlatih menulis cerita fiksi.
4. Untuk mendapatkan hasil belajar yang optimal, maka kegiatan belajar dengan
menggunakan metode tersebut, sebaiknya tidak hanya dilakukan di dalam kelas.
Aktivitas di luar kelas justru dapat membantu lebih banyak khsusnya dalam hal

16

pendewasaan sikap dan penyempurnaan kepekaan indera dalam memproduksi
variasi dan kepekaan bahasa.
5. Dalam mengajarkan menulis dengan metode pemberian stimulans titik pandang
objek berupa kalimat

pada paragraf pembuka cerita diperlukan adanya

komitmen dan kesabaran yang kuat dari para guru dalam melakukan bimbingan
individu terhadap masing-masing siswa
DAFTAR PUSTAKA
1. Atmowiloto, Arswendo. 1987. Mengarang Itu Gampang. Jakarta.Gramedia. .
2. Ahmadi, Mukhsin,1989. Penyusunan dan Pengembangan Paragraf
serta Penciptaan Gaya Bahasa. Malang. YA3.
3. Ariadinata, Joni. 2006. Aku Bisa Nulis Cerpen. Yakarta. Gema Insani.
Budiningsih, C.Asri. 2005. Relajar dan Pembelajaran.Jakarta.Reneka Cipta.
4.

Depdikbud.1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta. Balai Pustaka

5.

Dirawat,H. 1993. Sistem Pembinaan Profesional dan Cara Belajar
Siswa Aktif. Jakarta PT. Gramedia.

6.

Depdikbud.1999. Penelitian Tindakan.Jakarta. Depdikbud

7.

English, Evelyn William, 1005, Mengajar dengan Empati, Bandung: Nuansa.

8.

Keraf,Gorys. 1985. Argumen dan Narasi. Jakarta . Gramedia.

9.

Kaswanti Purwa, Bambang dkk. 1996. Berbagai Pendekatan dalam
Pengajaran Bahasa dan Sastra. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.

10. Kuta, Ratna Nyoman. 2009.Stilistika.Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
11. Marsito, 2000, Penuntun Mengarang, Jakarta:Mira Gama
12. Marahimin, Ismail, 2001, Menulis Secara Populer. Jakarta: PustakaJaya.
13. Muslich, Masnur.2009.Melaksanakan PTK Itu Mudah. Jakarta. Bumi Aksara.
14 Nurgiyantoro, Burhan.1987. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra.
Yogyakarta. BPFE.
15. Nurgiyantoro, Burhan.2007. Teori Pengkajian Fiksi.Yogyakarta. Gajah Mada
University Press.
16. Rose, Colin dan Malcolm J. Nicholl.2003. Accelerated Learning.Bandung.Nuansa
17. Sudirman, N dkk.1992. Ilmu Pendidikan. Bandung.PT. Remaja Rosdakarya.

17

18. Sayuti, A.Suminto. 2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi, Yogyakarta.Gema
Media.
19. Endraswara,Suwardi.2008. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta.PT. Buku
Kita
20. Wilis, Dahar Ratna.1989. Teori-Teori Belajar. Jakarta. Erlangga.

1. Apakah pemberian stimulans titik pandang objek pada paragraf pembuka cerita
dapat meningkatkan kemampuan menulis cerita pendek, pada siswa kelas X-8 di
SMA Negeri 1 Negara tahun 2012?
2. Aspek-aspek kemampuan apa sajakah yang dapat ditingkatkan setelah siswa
diberikan stimulans titik pandang objek dalam menulis cerita pendek?

18