Hak Politik Perempuan dalam Pemerintahan
Mata Kuliah Hukum dan HAM
Hak Politik Perempuan dan Turut Serta dalam Pemerintahan: Analisis
Terhadap Persyaratan Pemimpin di Nanggroe Aceh Darussalam dalam Qanun
tentang Pokok-Pokok Syariat Islam Ditinjau dari Sudut Pandang Kesetaraan
Gender dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
Oleh:
MEIDANA PASCADINIANTI
1306 3806 13
Pembimbing: Mutiara Hikmah
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM SARJANA REGULER
DEPOK 2016
Kata Pengantar
Puji syukur atas kehadirat Allah swt atas rahmat dan petunjuk-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Hak Politik
Perempuan dan Turut Serta dalam Pemerintahan: Analisis Terhadap
Persyaratan Pemimpin di Nanggroe Aceh Darussalam dalam Qanun tentang
Pokok-Pokok Syariat Islam Ditinjau dari Sudut Pandang Kesetaraan Gender
dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, yang mana makalah ini
disususun bertujuan untuk memenuhi Tugas Akhir mata kuliah Hukum dan HAM
di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada
pembaca. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak
kekurangan, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun. Dan semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dan teman-teman.
Demikian makalah ini penulis susun, apabila ada kata-kata yang kurang
berkenan dan banyak terdapat kekurangan, penulis mohon maaf yang sebesarbesarnya.
Depok, 28 Mei 2016
Meidana Pascadinianti
i
Universitas Indonesia
Daftar Isi
Kata Pengantar………………………………………………………………
Daftar Isi……………………………………………………………………..
BAB I Pendahuluan…………………………………………………………
i
ii
1
1.1 Latar Belakang………………………………………………………..
1.2 Instrumen Hukum yang Mengatur Hak Politik Perempuan…………..
1.3 Rumusan Masalah…………………………………………………….
1
2
8
9
BAB II Pembahasan
2.1 Kedudukan Qanun tentang Pokok-Pokok Syariat Islam di Aceh
ditinjau dari Paham Kesetaraan Gender……………………..………..
2.2 Legalitas Pengaturan tentang Pengisian Jabatan Pemimpin di Aceh
9
Yang Terdapat dalam Qanun tentang Pokok-Pokok Syariat Islam
Ditinjau Dari Sudut Pandang Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945 dan Teori Ketatanegaraan……………………………
BAB III Penutup…………………………………………………..…………
Daftar Pustaka………………………………………………...……………..
Lampiran
ii
14
16
17
Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemajuan zaman telah banyak mengubah pandangan tentang Perempuan,
mulai dari pandangan yang menyatakan bahwa Perempuan hanya berhak
mengurus rumah dan selalu berada di rumah, sedangkan laki-laki adalah makhluk
yang harus berada di luar rumah, kemudian dengan adanya perkembangan zaman
dan emansipasi menyebabkan Perempuan memperolah hak yang sama dengan
laki-laki.1 Perjuangan untuk memeroleh hak yang sama secara tegas dimulai dari
R.A. Kartini, walaupun banyak Perempuan-Perempuan lain di Indonesia yang
mengusung perjuangan yang sama, tetapi perjuangannya merupakan cita-cita agar
Perempuan memiliki pemikiran dan tindakan yang modern. Dengan demikian,
adanya persamaan hak di berbagai bidang kehidupan telah menggeser pandangan
terdahulu, sebagaimana dikemukakan Wilakusuma2 sebagai berikut:
Perempuan dan laki-laki mempunyai tempatnya masing-masing di
dalam kehidupan kemasyarakatan. Kedua jenis manusia tersebut
dapat menempati tempatnya masing-masing tanpa menjadi kurang
hak-sama, karena pikiran, kecerdasan, menentukan nilai yang
sama antara laki-laki dan Perempuan. Memang banyak pekerjaan
yang dikerjakan oleh laki-laki dan Perempuan dengan tidak
meninggalkan sifat-sofat asli Perempuan. Malah menjadi kepala
jawatan atau presidenpun tidak akan meninggalkan sifat-sifat
kePerempuanan tai. Karena jabatan-jabatan ini, kecerdasan dan
pikiranlah yang memegang peranan banyak.
Dari pernyataan tersebut, terlihat jelas bahwa kaum Perempuan memiliki
kedudukan yang sama dalam berusaha dan bekerja, hanya saja budaya masyarakat
Gurniwan K. Pasya, Peranan Perempuan Dalam Kepemimpinan dan Politik
dalam JURNAL WANITA, hlm. 3.
2
S. Nilakusuma, Perempuan di Dalam dan di Luar Rumah Tangga (Nusantara:
Michigan, 1960), hlm. 151-152.
1
1
Universitas Indonesia
yang menganggap Perempuan harus berada di rumah mengurus rumah tangga.
Tetapi, dengan adanya kemajuan zaman, maka Perempuan dan laki-laki dapat
bekerjasama dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan kata lain, bahwa
Perempuan perlu mendapat kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya
dalam mengisi pembangunan sesuai dengan yang dicita-citakan bersama, dalam
hal ini turut terlibat dalam pemerintahan dan kegiatan politik.
Persamaan hak antara Perempuan dan laki-laki ini sangat penting
kedudukannya, karena sebagaimana diketahui persamaan merupakan pilar bagi
setiap masyarakat demokratis yang bercita-cita mencapai keadilan sosial dan hak
asasi manusia. Perlu diketahui bahwa sesungguhnya hak asasi perempuan
merupakan bagian dari penegakkan hak asasi manusia. Sesuai dengan komitmen
internasional dalam Deklarasi PBB 1993, maka perlindungan, pemenuhan dan
penghormatan hak asasi perempuan adalah tanggung jawab semua pihak baik
lembaga-lembaga Negara (eksekutif, legislatif, yudikatif ) maupun Partai politik
dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Bahkan warga Negara secara
perorangan punya tanggung jawab untuk melindungi dan memenuhi hak asasi
perempuan. Berangkat dari paham persamaan hak antara perempuan dan laki-laki,
maka keduanya memiliki kedudukan yang setara atau sama dalam kegiatan sosial
masyarakatnya serta politik.
1.2. Instrumen Hukum yang Mengatur Hak Politik Perempuan
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa hak asasi perempuan
merupakan bagian dari hak asasi manusia, sehingga penegakkannya juga sama
pentingnya dengan penegakkan hak asasi manusia. Hak asasi perempuan
merupakan hak yang dimiliki oleh seorang perempuan, baik karena ia seorang
manusia maupun sebagai seorang perempuan, dalam khasanah hukum hak asasi
manusia dapat ditemui pengaturannya dalam berbagai sistem hukum tentang hak
asasi manusia. Sistem ini meliputi berbagai instrumen hukum dan perangkat
pelaksanaan sistem hukum baik di tingkat nasional, regional maupun
internasional. Berbagai sistem tersebut tidak saja mencantumkan hak yang diakui
namun juga bagaimana menjamin dan mengakses hak tersebut. Dalam konteks
Indonesia misalnya, pengaturan hak asasi manusia kaum perempuan dapat
2
Universitas Indonesia
ditemui di dalam UUD 1945, KUHPidana, KUHPerdata, UU No. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan, UU Peradilan HAM dan berbagai peraturan lainnya.
Penegakannya dilakukan oleh institusi negara dan para penegak hukum. Salah
satu sumber utama adalah UU No. 7 tahun 1984 tentang ratifikasi Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. UU tersebut
secara jelas mengadopsi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan.3 Adapun di level internasional, pengakuan terhadap hak
perempuan sebagai hak asasi manusia berakar pada Deklarasi Umum Hak Asasi
Manusia (DUHAM) yang diterbitkan pada tahun 1948 dan disahkan oleh Majelis
Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 10 Desember 1948. Deklarasi ini
merupakan awal kodifikasi tentang standar pengakuan hak manusia yang di
dalamnya termasuk hak perempuan. Deklarasi ini diakui sebagai standar umum
bagi semua masyarakat dan semua bangsa untuk berjuang bagi kemajuan martabat
manusia.4 Hak-hal yang dideklarasikan adalah hak atas persamaan, kebebasan,
dan keamanan setiap orang, kebebasan dari perbudakan, siksaan atau perlakuan
yang merendahkan martabat manusia, pengakuan sebagai seorang pribadi di
depan hukum mencari keadilan, dan kebebasan untuk berekspresi dan partisipasi
politik.5 Selain itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa juga telah menetapkan suatu
deklarasi yang dinamakan Deklarasi Beijing Platform of Action pada tahun 1995
yang melahirkan program-program penting untuk mecapai keadilan gender.6
Ringkasan pokok mengenai langkah-langkah yang dapat dilakukan pemerintah
dalam bidang Pengambilan Keputusan, antara lain:
1) Mengambil langkah-langkah untuk memastikan akses yang setara dan
partisipasi penuh perempuan dalam struktur kekuasaan dan pengambilan
keputusan.
Sri Wiyanti Eddyono, “Hak Asasi Perempuan dan Konvensi CEDAW”, diakses
dari http://www.elsam.or.id/article.php?id=270&lang=in pada 15 Mei 2016.
4
Women, Law and Development, Hak Asasi Manusia Kaum Perempuan,
terjemahan dan terbitan LBH APIK Jakarta, 2001, hlm. 13.
5
ibid., hlm 14.
6
Meisy K.P.S., Hak Politik Perempuan dalam Kerangka CEDAW dan
Pencapaiannya di Indonesia Melalui MDG’s (Skripsi, Universitas Sumatera Utara, 2010),
hlm. 16.
3
3
Universitas Indonesia
2) Meningkatkan
kapasitas
perempuan
untuk
berpartisipasi
dalam
pengambilan keputusan dan kepemimpinan
Instrumen-instrumen
hukum
di
atas
sesungguhnya
telah
banyak
mengakomodir hak-hak dasar perempuan. Sebab di dalam konvensi-konvensi itu
disebutkan pula prinsip non-diskriminasi. Namun, dalam hal ini CEDAW
mengaturnya secara lebih rinci. CEDAW yang merupakan singkatan dari
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women,
mengatur upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Pasal 1 CEDAW menyatakan bahwa:
“Diskriminasi
terhadap
perempuan,
berarti
segala
pembedaan,pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis
kelamin yang mempunyai dampak atau tujuan untuk mengurangi atau
meniadakan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak asasi manusia
dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial,
budaya,sipil, atau bidang lainnya oleh perempuan, terlepas dari status
perkawinan mereka, atas dasar kesetaraan antara lelaki dan perempuan”.
Sejatinya, hak politik Perempuan juga telah diatur dalam ICCPR (Kovenan
Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik) yang membuatnya setara dengan lakilaki. Namun, secara praktik, kesetaraan yang dicita-citakan tersebut sulit untuk
tercapai mengingat konstruksi budaya yang meletakkan perempuan sebagai pihak
yang subordinat, sehingga CEDAW mengatur secara lebih tegas konstruksi hakhak politik dari perempuan tersebut.
Menurut Sjamsiah7, konvensi ini bahkan mengarahkan negara untuk
mengadakan upaya-upaya tambahan guna menangani permasalahan-permasalahan
yang dihadapi perempuan di daerah pedesaan. Dalam hal ini, negara harus
menjamin hak-hak perempuan, atas dasar persamaan antara lelaki dan perempuan,
atas dasar persamaan antara lelaki dan perempuan, untuk berpartisipasi dan
memperoleh manfaat dari pembangunan desa. Konvensi CEDAW ini juga
Sjamsiah Achmad, “Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan” dalam Makalah In-House Training Rahima, Mei 2008, hlm. 22.
7
4
Universitas Indonesia
merupakan satu-satunya perjanjian internasional yang menegaskan hak reproduksi
perempuan. CEDAW mewajibkan negara untuk memodifikasi pola-pola sosial
budaya dari perilaku lelaki dan perempuan agar dapat menghapuskan prasangkaprasangka, kebiasaan-kebiasaan, maupun semua praktik-praktik lain yang
berdasarkan pandangan inferioritas atau superioritas pada salah satu jenis kelamin.
Selain itu konvensi ini juga mendorong terhapusnya peran-peran stereotip bagi
lelaki dan perempuan. Di mana konvensi tersebut telah diratifikasi oleh sejumlah
negara baik Barat, Timur, Utara, maupun Selatan. Bahkan isu tentang
pemberdayaan perempuan pedesaan yang masuk di dalam konvensi ini, terjadi
atas usulan wakil dari Indonesia dan India.8
Di Indonesia, hak turut serta dalam pemerintahan merupakan suatu bagian
yang penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini dapat dilihat
dalam Pasal 28 D ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga
negara berhak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga mengatur
mengenai hak turut serta dalam pemerintahan dalam Pasal 43 dan Pasal 44. Pasal
43 mengakomodir hak untuk dipilih dan memilih, serta hak untuk turut serta
dalam pemerintahan secara langsung atau dengan perantaraan wakilnya. Hak-hak
ini diberikan bagi setiap warga negara. Sedangkan, Pasal 44 mengakomodir hak
untuk duduk dan diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan, dan hak untuk
mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan/atau usulan kepada
Pemerintah. Jadi, keempat hak-hak ini terkait dengan karakteristik dari demokrasi.
Adapun penjelasan mengenai partisipasi masyarakat secara langsung dan
tidak langsung dapat dilihat dalam General Comment dari Pasal 21 DUHAM yang
menyatakan bahwa:9
The right of citizens to directly participate in their nation’s
political affairs usually manifests in the form of referendums, where a
political issue is submitted to all citizens for a vote. Generally,
ibid.
UN Human Rights Committee (HRC), CCPR General Comment No. 22: Article
21 (The right to take part in government), 30 July 1993, CCPR/C/21/Rev.1/Add.4,
diakses dari http://www.refworld.org/docid/453883fb22.html, pada 15 Mei 2016.
8
9
5
Universitas Indonesia
referendums are held on important constitutional matters involving
fundamental changes to the nation’s laws and governing institutions.
Constitutional referendums of this nature are held in nations like France
and New Zealand, and are mandatory for constitutional amendments in
nations like Australia.
Free elections are generally held periodically and without incident
in established liberal democracies. Whilst largely fair, these elections may
often contain minor irregularities like gerrymandering, or the deliberate
redrawing of electoral districts in favor of a particular candidate,
especially in countries like the United States. In other nations, however,
elections are often marred by severe irregularities. In the worst
authoritarian regimes, show elections are held where the incumbent
dictator obtains overwhelming and impossible margins of victory through
widespread voter intimidation and blatant fraud. The ruling Workers
Party of Korea, for instance, has regularly obtained an implausible 99.9%
of the vote in every election held since it consolidated power.
Berdasarkan uraian di atas, yang dimaksud dengan berpartisipasi secara
langsung adalah partisipasi masyarakat dalam referendum, yang berarti setiap
warga negara, tidak termasuk yang dikecualikan oleh undang-undang,
berpartisipasi secara langsung dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang
dibuat oleh pemerintah. Sedangkan, yang dimaksud dengan aprtisipasti tidak
langsung adalah warga negara tetap dapat ikut menentukan arah kebihakan
pemerintahan melalui perwakilan yang dipilih melalui pemilihan umum yang
demokratis.
CEDAW juga secara rinci mengatur mengenai hak perempuan dalam
kehidupan politik dan kemasyarakatan negaranya. Hal ini dapat dilihat dari Pasal
7 CEDAW yang menyatakan bahwa Perempuan memiliki hak-hak sebagai
berikut:
1. Hak untuk memilih dan dipilih;
2. Hak untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijaksanaan pemerintah dan
implementasinya;
6
Universitas Indonesia
3. Hak untuk memegang jabatan dalam pemerintah dan melaksanakan segala
fungsi pemerintahan di segala tingkat;
4. Hak
berpartisipasi
dalam
organisasi-organisasi
dan
perkumpulan-
perkumpulan non-pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan
masyarakat dan politik negara.
Sedangkan, Pasal 8 CEDAW mengatur mengenai hak Perempuan untuk
mendapatkan kesempatan mewakili pemerintah pada tingkat internasional dan
berpartisipasi dalam pekerjaan untuk mewakili pemerintah dalam tingkat
internasional dan berpartisipasi dalam organisasi-organisasi internasional. Selain
itu, CEDAW juga mengatur kewajiban-kewajiban negara untuk melindungi hakhak politik perempuan, yaitu:
1) Membuat
peraturan-peraturan
yang
tepat
untuk
menghapuskan
diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik dan kehidupan
kemasyarakatan atas dasar persamaan dengan laki-laki.
2) Membuat peraturan-peraturan yang tepat menjadmin adanya kesempatan
bagi perempuan untuk mewakili pemerintahan maupun bekerja di tingkat
internasional.
3) Memberikan hak yang sama dengan pria untuk memperoleh, mengubah
atau mempertahankan kewarganegaraannya
4) Menjamin bahwa perkawinan dengan orang asing tidak akan mengubah
status kewarganegaraan ataupun kehilangan status kewarganegaraan.
5) Memberi hak yang sama antara laki-laki dan perempuan menentukan
kewarganegaraan anak-anak mereka.
Berdasarkan uraian di atas, telah jelas bahwa Perempuan perlu mendapat
kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya dalam mengisi pembangunan
sesuai
dengan
yang
dicita-citakan
bersama.
Bahkan,
Suryohadiprodjo 10
menyatakan bahwa kemampuan Perempuan makin terlihat dalam berbagai macam
pekerjaan dan profesi. Hampir tidak ada lagi pekerjaan yang tak dapat dikerjakan
oleh Perempuan seperti dikerjakan oleh pria. Dan kualitas pekerjaannya tidak
Sayidiman Suryohadiprojo, Menghadapi Tantangan Masa Depan (Gramedia:
Jakarta, 1987), hlm. 237
10
7
Universitas Indonesia
lebih rendang dari pria, kecuali kalau pekerjaan ini menuntut tenaga fisik yang
besar, seperti pekerjaan buruh pelabuhan. Sebaliknya, ada pekerjaan yang lebih
tepat
dilakukan
oleh
Perempuan
karena
lebih
menuntut
sifat-sifat
keperempuanannya. Oleh sebab itu, telah jelas bahwa Perempuan dan laki-laki
memiliki kedudukan yang setara atau sama dalam kegiatan sosial masyarakatnya
serta politik.
1.3. Rumusan Masalah
Pada prakteknya, kesetaraan yang dicita-citakan tersebut sulit untuk
tercapai mengingat masih terdapat konstruksi budaya yang meletakkan perempuan
sebagai pihak subordinat sehingga rawan dilanggar hak-hak asasi perempuannya.
Sebagai contoh, terdapat Qanun Hukum Jinayah di Aceh yang disebut-sebut
merampas hak perempuan. Oleh sebab itu, dalam makalah ini, Penulis akan
membahas mengenai
1) Bagaimanakah status dari ketentuan Qanun tentang Pokok-Pokok Syariat
Islam di Daerah Istimewa Aceh apabila ditinjau dari sudut pandang
kesetaraan gender?
2) Bagaimanakah legalitas dari pengaturan tentang pengisian jabatan
pemimpin di Aceh yang terdapat dalam Qanun tentang Pokok-Pokok
Syariat Islam ditinjau dari sudut pandang Undang-Undang Dasar 1945 dan
Teori Ketatanegaraan?
BAB II
PEMBAHASAN
Pada prakteknya, memang masih sering terjadi hambatan-hambatan bagi
penerapan hak asasi perempuan dalam kerangka hak asasi manusia, seperti halnya
keberadaan Qanun Jinayat tentang Pokok-Pokok Syariat Islam di Daerah
8
Universitas Indonesia
Istimewa Aceh yang dianggap sebagian pihak melanggar hak-hak asasi dari
perempuan, khususnya hak politik.
2.1 Kedudukan Qanun tentang Pokok-Pokok Syariat Islam di Aceh ditinjau
sari Paham Kesetaraan Gender
Qanun Jinayat merupakan ketentuan hukum Islam yang berlaku di Daerah
Istimewa Aceh. Pelaksanaan syariat Islam di Aceh diamanatkan dalam beberapa
Undang-Undang, antara lain Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh, dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2007 tentang
Penetapan Perpu Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum
dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Wilayah dan
Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dana Kepulauan
Nias Sumatera Utara Sebagai Undang-Undang.
Apabila dicermati, ternyata Qanun Jinayat Pasal 53 tentang Pokok-Pokok
Syariat Islam melanggar hak-hak politik dari perempuan. Pasal 53 Qanun Jinayat
tentang Pokok-Pokok Syariat Islam tersebut mengatur bahwa syarat menjadi
seorang pemimpin di Aceh adalah harus mampu membaca Al-Qur’an, mampu
khutbah Jumat, dan khutbah shalat Ied, serta bisa memimpin shalat berjamaah.
Sebagaimana diketahui seorang perempuan tidaklah dapat menjadi pemimpin atau
imam dalam shalat berjamaah yang makmumnya laki-laki. Hal ini secara tidak
langsung berarti hanya laki-laki saja yang dapat menjadi pemimpin di Aceh.
Dasar hukum Islam yang melarang seorang perempuan menjadi seorang
imam dalam shalat yang makmumnya laki-laki, antara lain:
Rasulullah Bersabda: “Janganlah seorang perempuan menjadi imam bagi lakilaki” (HR. Ibnu Majah).
Ijma’ Shahabat bahwa di kalangan mereka tidak pernah ada wanita yang menjadi
imam shalat di mana di antara makmumnya adalah laki-laki. Para shahabat juga
berijma’ bahwa wanita boleh menjadi imam shalat berjama’ah yang makmumnya
9
Universitas Indonesia
hanya wanita, seperti yang dilakukan oleh A’isyah dan Ummu Salamah r.a.
(Tuhfah al-Ahwazi li-al-Mubarakfuri).
Bahkan, Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan Fatwa Nomor 9/MUNAS
VII/MUI/13/2005 tentang Wanita Menjadi Imam Shalat 11 yang pada intinya
memutuskan bahwa:
(1) Wanita menjadi imam shalat berjama’ah yang di antara makmumnya terdapat
orang laki-laki hukumnya haram dan tidak sah.
(2) Wanita menjadi imam shalat berjama’ah yang makmumnya wanita, hukumnya
mubah.
Berdasarkan uraian di atas, telah jelas bahwa seorang perempuan tidaklah
dapat menjadi imam shalat berjama’ah apabila terdapat makmum laki-laki di
dalamnya. Hal ini dianggap mengabaikan hak-hak politik perempuan sebagaimana
telah dijelaskan dalam BAB I.
Memang konflik kepemimpinan perempuan di Kesultanan Aceh
Darussalam sudah terlihat ketika pengangkatan sultanah pertama yang
menggantikan suaminya Sultan Iskandar Tsani tahun 1641 M. Konflik ini terus
berlanjut sampai masa pemerintahan perempuan ke empat Sultanah Kamalat Syah
tahun 1699 M. Meskipun telah ada persetujuan ulama kesultanan yang
membolehkan perempuan menjadi pemimpin, tetapi tidak semua mendukung
seperti kelompok wujudiyah yang menentang kepemimpinan perempuan di
Kesultanan Aceh Darussalam.12 Pada dasarnya, memang konflik kepemimpinan
perempuan yang terjadi di Kesultanan Aceh Darussalam pada tahun 1641-1699 M
harus dilihat dari banyak faktor seperti politik, agama, dan ekonomi. Oleh karena
itu dapat disimpulkan bahwa kombinasi dari berbagai faktor seperti tidak adanya
putera mahkota, merosotnya kekuasaan para sultan ditandai dengan meningkatnya
kekuasaan para orang kaya serta pembagian Aceh ke dalam tiga segi yang kuat ini
merupakan faktor-faktor penentu muncul dan bertahannya pemerintahan
Fikih Kontemporer, Wanita Menjadi Imam Shalat Lelaki: Fatwa, diakses dari
http://www.fikihkontemporer.com/2013/05/wanita-menjadi-imam-shalat-lelakifatwa.html pada 16 Mei 2016.
12
Supriyono, Konflik Tentang Kepemimpinan Perempuan di Kesultanan Aceh
Darussalam Tahun 1641-1699 M (Skripsi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta), hlm. vii.
11
10
Universitas Indonesia
perempuan di Aceh.13 Namun demikian, juga terdapat kelompok yang mendukung
pemerintahan perempuan yang menyatakan bahwa perempuan juga mempunyai
hak yang sama dengan laki-laki, seahingga perempuan boleh menjadi pemimpun.
Kelompok ini didukung oleh ulama besar Aceh seperti Nuruddin al-Raniri dan
Abdurrauf Singkel, kedua ulama ini memberikan fatwa pemisahan urusan agama
dan negara, dengan demikian ulama ini memberikan toleransi bagi perempuan
Aceh untuk menduduki tahta di Kesultanan Aceh Darussalam.
Apabila ditinjau dari paham kesetaraan gender, keterwakilan politik
perempuan pada hakekatnya harus diperjuangkan oleh semua kalangan dan
perjuangan tersebut juga harus ditingkatkan dari setiap kalangan mulai dari
kalangan elitenya sampai dengan masyarakat. Terkait hal ini, Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik mengakomodasi dinamika dan
perkembangan masyarakat dan mengamanatkan perlunya pendidikan politik dan
memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender. Bahkan Pasal 65 ayat (1) dan ayat
(2) Undang-Undang Pemilu Nomor 12 Tahun 2003 secara nyata mengatur bahwa:
(1) Setiap partai politik beserta pemilu dapat mengajukan calon anggota
DPR, DPRD, Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap
daerah pemilihan, dengan memperhatikan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30 persen;
(2) Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon
sebanyak-banyaknya 120 persen jumlah kursi yang ditetapkan pada
setiap daerah pemilihan.
Ketentuan tersebut memberikan peluang kepada perempuan untuk
berkiprah di bidang politik khususnya menjadi calon legislatif. Dengan sistem
kuota sedikitnya 30% perwakilan perempuan Indonesia dalam pengambilan
keputusan diharapkan akan membawa perubahan pada kualitas legislatif yang
berspektif perempupan dan gender yang adil, dan mengubah cara pandang dalam
melihat dan menyelesaikan berbagai permasalahan politik dengan mengutamakan
perdamaian dan cara-cara anti kekerasan. Karena, pada dasarnya perempuan
memiliki kesempatan yang sama untuk meraih posis strategis di parlemen maupun
sebagai eksekutif.
13
ibid., hlm. 33.
11
Universitas Indonesia
Dalam hal ini, Perumus Kebijakan di Aceh membuat kebijakan yang
mendiskreditkan perempuan dalam Qanun-nya. Karena, apabila dibenturkan
dengan instrumen-instrumen hukum yang lain, maka Qanun tersebut telah
melanggar hak-hak perempuan dalam berpolitik. Padahal, ketentuan Deklarasi
Beijing Platform of Action pada tahun 1995 yang memberikan ringkasan pokok
mengenai langkah-langkah yang dapat dilakukan pemerintah dalam bidang
Pengambilan Keputusan, antara lain:
1) Mengambil langkah-langkah untuk memastikan akses yang setara dan
partisipasi penuh perempuan dalam struktur kekuasaan dan pengambilan
keputusan.
2) Meningkatkan
kapasitas
perempuan
untuk
berpartisipasi
dalam
pengambilan keputusan dan kepemimpinan
Hak politik perempuan ini juga terdapat dalam Pasal 28 D ayat (3) UUD
1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Selain itu, Undang-Undang Nomor
39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga mengatur mengenai hak turut serta
dalam pemerintahan dalam Pasal 43 dan Pasal 44. Pasal 43 mengakomodir hak
untuk dipilih dan memilih, serta hak untuk turut serta dalam pemerintahan secara
langsung atau dengan perantaraan wakilnya. Hak-hak ini diberikan bagi setiap
warga negara. Sedangkan, Pasal 44 mengakomodir hak untuk duduk dan diangkat
dalam setiap jabatan pemerintahan, dan hak untuk mengajukan pendapat,
permohonan, pengaduan, dan/atau usulan kepada Pemerintah. Sedangkan, Pasal 7
CEDAW yang menyatakan bahwa Perempuan memiliki hak-hak sebagai berikut:
1) Hak untuk memilih dan dipilih;
2) Hak untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijaksanaan pemerintah dan
implementasinya;
3) Hak untuk memegang jabatan dalam pemerintah dan melaksanakan segala
fungsi pemerintahan di segala tingkat;
4) Hak
berpartisipasi
dalam
organisasi-organisasi
dan
perkumpulan-
perkumpulan non-pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan
masyarakat dan politik negara.
12
Universitas Indonesia
Berdasarkan uraian, di atas, telah jelas bahwa perempuan juga memiliki
hak untuk turut serta dalam pemerintahan, dan berhak menjadi seorang pemimpin.
Namun demikian, Qanun Jinayat tentang Pokok-Pokok Syariat Islam, telah
merampas hak-hak asasi perempuan tersebut. Dalam hal ini, Penulis berpendapat
bahwa, seharusnya perumus kebijakan di Aceh mempertimbangkan hal-hal di atas
dan juga memperhatikan perkembangan zaman, terlepas dari kewenangannya
membuat kebijakan syariat islam sebagai sebuah daerah istimewa maupun
konstruksi budaya di daerah tersebut. Selain itu, Penulis berpendapat bahwa
perumus kebijakan di Aceh tidak memperhatikan konstruksi Pasal 18 B UUD
1945 yang secara implisit mengandung perintah bagi negara untuk melindungi
hak dari daerah istimewa. Namun, juga perlu dicermati bahwa bagi pemerintah
daerah Pasal ini juga menimbulkan hak-hak yang wajib dilindungi oleh
pemerintah daerah itu sendiri, dalam hal ini memperhatikan perkembangan
masyarakat. Lagipula, persyaratan yang secara tidak langsung mengharuskan
seorang pemimpin di Aceh haruslah dari kaum laki-laki, Penulis nilai sudah tidak
sesuai dengan perkembangan masyarakat yang tengah dalam usahanya untuk
menyetarakan kedudukan antara laki-laki dan perempuan.
Namun demikian, terlepas dari hal-hal di atas, tetap harus dipahami bahwa
Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang unsur budaya, keyakinan,
dan hal-hal metafisik yang sangat kental, sehingga, kesetaraan gender yang dicitacitakan mungkin akan lebih sulit untuk tercapai di Daerah Istimewa Aceh ini,
mengingat masyarakat Aceh mengacu pada norma-norma keyakinan yang
dianutnya.
2.2 Legalitas Pengaturan tentang Pengisian Jabatan Pemimpin di Aceh Yang
Terdapat dalam Qanun tentang Pokok-Pokok Syariat Islam Ditinjau
Dari Sudut Pandang Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
dan Teori Ketatanegaraan
Terkait legalitas dari Qanun Jinayat tersebut, atribut pemerintahan daerah
secara khusus dan istimewa, bukan sesuatu yang baru melainkan telah dirumuskan
eksistensinya dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pasal 18B UUD 1945,
13
Universitas Indonesia
baik ayat (1) dan ayat (2) dengan tegas diakui adanya daerah yang memiliki
otonomi khusus yang istimewa tersebut14. Pasal tersebut menyatakan bahwa:
(1) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan pemerintah
daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan
undang-undang
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang
Kedua ayat dari Pasal 18B UUD 1945 tersebut mengandung norma-norma
imperatif yaitu norma perintah sebagai kewajiban bagi negara untuk
melindunginya. Namun, di lain pihak, bagi pemerintah daerah menimbulkan hakhak yang wajib dilindungi.15
Menurut
Jimly Asshiddiqie,
Pasal
18B
tersebut
memungkinkan
dilakukannya pengaturan-pengaturan yang bersifat federalistik dalam hubungan
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Dalam dinamika hubungan
antara pusat dan daerah itu, dimungkinkan pula dikembangkan kebijakan otonomi
yang bersifat pluralis. Dalam arti bahwa setiap daerah dapat diterapkan pola
otonomi yang berbeda-beda.16 Dalam hal ini, Daerah Istimewa Aceh memiliki
format kelembagaan pemerintahan yang berbeda dari pemerintahan daerah lain
pada umumnya.
Sedangkan menurut Prof. Faisal, Qanun ditetapkan oleh instansi bentukan
negara, sehingga produk hukum lembaga itu juga sah dan mengikat secara hukum,
bahkan dalam konsiderans Qanun Aceh tentang Hukum Jinayah juga terdapat
pernyataan bahwa Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
memiliki keistimewaan dan otonomi khusus, salah satunya kewenangan untuk
melaksanakan syariat Islam, dengan menjunjung tinggi keadilan, kemaslahatan,
Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia (Alumni:
Bandung, 2002), hlm. 90.
15
Christian Yulianto Kurniawan, et, al., Kajian Yuridis Pembentukan Pemerintah
Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta BerdasarkanUndang-Undang Nomor 13
Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta., hlm. 3.
16
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, hlm. 793
14
14
Universitas Indonesia
dan kepastian hukum.17 Dengan demikian, ketentuan qanun tentang pokok-pokok
syariat Islam yang secara tidak langsung mengharuskan pemimpin di Aceh berasal
dari kaum laki-laki tersebut tetap dapat diakui secara hukum dan dapat
diberlakukan. Namun demikian, dalam hal ini, Penulis berpendapat bahwa
sebaiknya Perumus Kebijakan di Aceh tetap melakukan penyesuaian terkait
Qanun tersebut dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang
Dasar 1945.
BAB III
PENUTUP
Penulis berpendapat untuk menentukan apakah ketentuan Qanun PokokPokok Syariat Islam ini melanggar hak-hak politik dari Wanita dapat ditinjau dari
dua perspektif (hukum dan sosio historis), sehingga jawaban yang dihasilkan pun
tentu berbeda. Secara teori, Pasal 53 Qanun Jinayat tentang Pokok-Pokok Syariat
Islam tentu bertentangan dengan prinsip kesetaraan gender dan hak-hak asasi
perempuan, dalam hal ini adalah hak politik dan turut serta dalam pemerintahan.
Namun, juga perlu dicermati kondisi dari daerah istimewa Aceh itu sendiri,
sebagaimana diketahui, Aceh diberikan status istimewa bukan karena alasanHukumOnline, Qanun Hukum Jinayah: Kitab Pidana Ala Serambi Mekkah,
diakses dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54d80e8854ee1/qanun-hukumjinayah--kitab-pidana-ala-serambi-mekkah pada 16 Mei 2016.
17
15
Universitas Indonesia
alasan tertentu dan merupakan salah satu provinsi yang masih memiliki unsur
budaya, keyakinan, dan hal-hal metafisik yang sangat kental. Selain itu, secara
historis juga perlu diketahui bahwa prinsip kesetaraan gender adalah sebuah
ajaran yang dimulai dari pemikiran tokoh-tokoh Barat. Terkait hal ini kemudian
muncul pertanyaan, apakah hal ini bisa serta merta diterapkan di Indonesia yang
notabene termasuk dalam negara Timur yang secara budaya saja sudah jauh
berbeda.
Penulis berpendapat bahwa apabila prinsip dan nilai kesetaraan gender itu
ingin diterapkan di Indonesia, tentu harus melalui penyesuaian terlebih dahulu.
Dengan demikian, pengaturan Qanun tentang Pokok-Pokok Syariat Islam di Aceh
yang secara tidak langsung mengharuskan bahwa seorang pemimpin di Aceh
haruslah berasal dari kaum laki-laki memang telah melanggar hak-hak politik dari
preempuan. Namun demikian,
kita juga perlu memperhatikan value yang
dipercaya oleh masyarakat Aceh, yang dalam hal ini adalah unsur budaya dan
kepercayaan.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Sjamsiah. “Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan” dalam Makalah In-House Training Rahima, Mei
2008.
Asshiddiqie, Jimly. Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
16
Universitas Indonesia
Eddyono, Sri Wyanti. “Hak Asasi Perempuan dan Konvensi CEDAW”, diakses
dari http://www.elsam.or.id/article.php?id=270&lang=in pada 15 Mei
2016.
Fikih Kontemporer. Wanita Menjadi Imam Shalat Lelaki: Fatwa, diakses dari
http://www.fikihkontemporer.com/2013/05/wanita-menjadi-imam-shalatlelaki-fatwa.html pada 16 Mei 2016.
HukumOnline, Qanun Hukum Jinayah: Kitab Pidana Ala Serambi Mekkah,
diakses dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54d80e8854ee1
/qanun-hukum-jinayah--kitab-pidana-ala-serambi-mekkah pada 16 Mei
2016.
Kurniawan, Christian Yulianto et, al.. Kajian Yuridis Pembentukan Pemerintah
Daerah Propinsi Daerah IstimewaYogyakarta BerdasarkanUndangUndang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Meisy K.P.S., Hak Politik Perempuan dalam Kerangka CEDAW dan
Pencapaiannya di Indonesia Melalui MDG’s (Skripsi, Universitas
Sumatera Utara, 2010)
Pasya, Gurniwan K. Peranan Perempuan Dalam Kepemimpinan dan Politik
dalam JURNAL WANITA.
S. Nilakusuma, Perempuan di Dalam dan di Luar Rumah Tangga (Nusantara:
Michigan, 1960).
Soemantri, Sri. Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia (Alumni: Bandung,
2002)
17
Universitas Indonesia
Suryohadiprojo, Sayidiman. Menghadapi Tantangan Masa Depan (Gramedia:
Jakarta, 1987)
Supriyono. Konflik Tentang Kepemimpinan Perempuan di Kesultanan Aceh
Darussalam Tahun 1641-1699 M (Skripsi, Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta).
UN Human Rights Committee (HRC), CCPR General Comment No. 22: Article
21 (The right to take part in government), 30 July 1993, CCPR/C/21/Rev.1
/Add.4, diakses dari http://www.refworld.org/docid/453883fb22.html, pada
15 Mei 2016.
Women, Law and Development, Hak Asasi Manusia Kaum Perempuan,
terjemahan dan terbitan LBH APIK Jakarta, 2001.
18
Universitas Indonesia
LA M P I R A N
LSM: Qanun Jinayat Hilangkan Hak Politik Perempuan di Aceh
BANDA ACEH, KOMPAS.com - Azriana, aktivis perempuan dari Jaringan
Masyarakat Sipil Peduli Syariat (JMSPS) menyatakan prihatin Qanun Jinayat
yang baru disahkan oleh DPRA dan Pemerintah Aceh pada rapat paripurna Sabtu
(28/09/20014) lalu, mengabaikan hak-hak politik perempuan.
Menurut Azrina, dalam Qanun Jinayat Pasal 53 tentang pokok-pokok syariat
Islam menyebutkan bahwa syarat menjadi pemimpin di Aceh harus mampu
membaca Al Quran, mampu khutbah Jumat dan khutbah shalat Id, bisa memimpin
shalat berjamah.
“Artinya ke depan tidak akan ada lagi pemimpin di Aceh yang berasal dari
perempuan, sudah tutup buku karena perempuan tidak bisa menjadi imam shalat
bagi kaum laki-laki, kecuali imam bagi perempuan sendiri," jelas Azrina, pada
konferensi pers yang digelar oleh sejumlah LSM di Aceh yang tergabung dalam
Koalisi Masyarakat Sipil di Yellow Café di Banda Aceh, Selasa (30/9/2014)
petang.
"Ini merupakan kemunduran hak politik bagi perempuan di Aceh, karena agama
dijadikan legitimasi," lanjut Azriana.
Sementara itu, menurut Azrina, dalam Qanun Jinayat juga masih mengenal zina
dengan anak. Padahal, menurut dia, korelasi anak dengan orang dewasa itu sangat
jelas berbeda. Seharusnya, kata dia, di dalam Qanun tidak disebutkan zina
terhadap anak, tetapi perkosaan terhadap anak.
“Kita khawatir pasal di dalam Qanun Jinayat ini akan menyebabkan anak-anak
dan perempuan di Aceh akan berhadapan dengan hukum cambuk," paparnya.
Padahal, Negara Republik Indonesia memiliki undang-undang perlindungan
terhadap anak. Bahkan, menurut Azrina, di Aceh juga ada Qanun perlindungan
terhadap anak.
"Saya khawatir posisi anak-anak di Aceh ke depan ketika mengalami kasus
pelecehan seksual yang tidak setara dengan zina yang dilakukan orang dewasa,
akan di hukum cambuk," katanya.
Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariat (JMSPS) dan sejumlah SM di Aceh
rencananya akan menjumpai Gubernur dan Mendagri untuk meminta agar
pengesahan Qanun Jinayat ditunda.
Sumber:
http://regional.kompas.com/read/2014/09/30/18193481/LSM.Qanun.Jinayat.Hilan
gkan.Hak.Politik.Perempuan.di.Aceh
Hak Politik Perempuan dan Turut Serta dalam Pemerintahan: Analisis
Terhadap Persyaratan Pemimpin di Nanggroe Aceh Darussalam dalam Qanun
tentang Pokok-Pokok Syariat Islam Ditinjau dari Sudut Pandang Kesetaraan
Gender dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
Oleh:
MEIDANA PASCADINIANTI
1306 3806 13
Pembimbing: Mutiara Hikmah
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM SARJANA REGULER
DEPOK 2016
Kata Pengantar
Puji syukur atas kehadirat Allah swt atas rahmat dan petunjuk-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Hak Politik
Perempuan dan Turut Serta dalam Pemerintahan: Analisis Terhadap
Persyaratan Pemimpin di Nanggroe Aceh Darussalam dalam Qanun tentang
Pokok-Pokok Syariat Islam Ditinjau dari Sudut Pandang Kesetaraan Gender
dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, yang mana makalah ini
disususun bertujuan untuk memenuhi Tugas Akhir mata kuliah Hukum dan HAM
di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada
pembaca. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak
kekurangan, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun. Dan semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca dan teman-teman.
Demikian makalah ini penulis susun, apabila ada kata-kata yang kurang
berkenan dan banyak terdapat kekurangan, penulis mohon maaf yang sebesarbesarnya.
Depok, 28 Mei 2016
Meidana Pascadinianti
i
Universitas Indonesia
Daftar Isi
Kata Pengantar………………………………………………………………
Daftar Isi……………………………………………………………………..
BAB I Pendahuluan…………………………………………………………
i
ii
1
1.1 Latar Belakang………………………………………………………..
1.2 Instrumen Hukum yang Mengatur Hak Politik Perempuan…………..
1.3 Rumusan Masalah…………………………………………………….
1
2
8
9
BAB II Pembahasan
2.1 Kedudukan Qanun tentang Pokok-Pokok Syariat Islam di Aceh
ditinjau dari Paham Kesetaraan Gender……………………..………..
2.2 Legalitas Pengaturan tentang Pengisian Jabatan Pemimpin di Aceh
9
Yang Terdapat dalam Qanun tentang Pokok-Pokok Syariat Islam
Ditinjau Dari Sudut Pandang Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia 1945 dan Teori Ketatanegaraan……………………………
BAB III Penutup…………………………………………………..…………
Daftar Pustaka………………………………………………...……………..
Lampiran
ii
14
16
17
Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemajuan zaman telah banyak mengubah pandangan tentang Perempuan,
mulai dari pandangan yang menyatakan bahwa Perempuan hanya berhak
mengurus rumah dan selalu berada di rumah, sedangkan laki-laki adalah makhluk
yang harus berada di luar rumah, kemudian dengan adanya perkembangan zaman
dan emansipasi menyebabkan Perempuan memperolah hak yang sama dengan
laki-laki.1 Perjuangan untuk memeroleh hak yang sama secara tegas dimulai dari
R.A. Kartini, walaupun banyak Perempuan-Perempuan lain di Indonesia yang
mengusung perjuangan yang sama, tetapi perjuangannya merupakan cita-cita agar
Perempuan memiliki pemikiran dan tindakan yang modern. Dengan demikian,
adanya persamaan hak di berbagai bidang kehidupan telah menggeser pandangan
terdahulu, sebagaimana dikemukakan Wilakusuma2 sebagai berikut:
Perempuan dan laki-laki mempunyai tempatnya masing-masing di
dalam kehidupan kemasyarakatan. Kedua jenis manusia tersebut
dapat menempati tempatnya masing-masing tanpa menjadi kurang
hak-sama, karena pikiran, kecerdasan, menentukan nilai yang
sama antara laki-laki dan Perempuan. Memang banyak pekerjaan
yang dikerjakan oleh laki-laki dan Perempuan dengan tidak
meninggalkan sifat-sofat asli Perempuan. Malah menjadi kepala
jawatan atau presidenpun tidak akan meninggalkan sifat-sifat
kePerempuanan tai. Karena jabatan-jabatan ini, kecerdasan dan
pikiranlah yang memegang peranan banyak.
Dari pernyataan tersebut, terlihat jelas bahwa kaum Perempuan memiliki
kedudukan yang sama dalam berusaha dan bekerja, hanya saja budaya masyarakat
Gurniwan K. Pasya, Peranan Perempuan Dalam Kepemimpinan dan Politik
dalam JURNAL WANITA, hlm. 3.
2
S. Nilakusuma, Perempuan di Dalam dan di Luar Rumah Tangga (Nusantara:
Michigan, 1960), hlm. 151-152.
1
1
Universitas Indonesia
yang menganggap Perempuan harus berada di rumah mengurus rumah tangga.
Tetapi, dengan adanya kemajuan zaman, maka Perempuan dan laki-laki dapat
bekerjasama dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan kata lain, bahwa
Perempuan perlu mendapat kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya
dalam mengisi pembangunan sesuai dengan yang dicita-citakan bersama, dalam
hal ini turut terlibat dalam pemerintahan dan kegiatan politik.
Persamaan hak antara Perempuan dan laki-laki ini sangat penting
kedudukannya, karena sebagaimana diketahui persamaan merupakan pilar bagi
setiap masyarakat demokratis yang bercita-cita mencapai keadilan sosial dan hak
asasi manusia. Perlu diketahui bahwa sesungguhnya hak asasi perempuan
merupakan bagian dari penegakkan hak asasi manusia. Sesuai dengan komitmen
internasional dalam Deklarasi PBB 1993, maka perlindungan, pemenuhan dan
penghormatan hak asasi perempuan adalah tanggung jawab semua pihak baik
lembaga-lembaga Negara (eksekutif, legislatif, yudikatif ) maupun Partai politik
dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Bahkan warga Negara secara
perorangan punya tanggung jawab untuk melindungi dan memenuhi hak asasi
perempuan. Berangkat dari paham persamaan hak antara perempuan dan laki-laki,
maka keduanya memiliki kedudukan yang setara atau sama dalam kegiatan sosial
masyarakatnya serta politik.
1.2. Instrumen Hukum yang Mengatur Hak Politik Perempuan
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa hak asasi perempuan
merupakan bagian dari hak asasi manusia, sehingga penegakkannya juga sama
pentingnya dengan penegakkan hak asasi manusia. Hak asasi perempuan
merupakan hak yang dimiliki oleh seorang perempuan, baik karena ia seorang
manusia maupun sebagai seorang perempuan, dalam khasanah hukum hak asasi
manusia dapat ditemui pengaturannya dalam berbagai sistem hukum tentang hak
asasi manusia. Sistem ini meliputi berbagai instrumen hukum dan perangkat
pelaksanaan sistem hukum baik di tingkat nasional, regional maupun
internasional. Berbagai sistem tersebut tidak saja mencantumkan hak yang diakui
namun juga bagaimana menjamin dan mengakses hak tersebut. Dalam konteks
Indonesia misalnya, pengaturan hak asasi manusia kaum perempuan dapat
2
Universitas Indonesia
ditemui di dalam UUD 1945, KUHPidana, KUHPerdata, UU No. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan, UU Peradilan HAM dan berbagai peraturan lainnya.
Penegakannya dilakukan oleh institusi negara dan para penegak hukum. Salah
satu sumber utama adalah UU No. 7 tahun 1984 tentang ratifikasi Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. UU tersebut
secara jelas mengadopsi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan.3 Adapun di level internasional, pengakuan terhadap hak
perempuan sebagai hak asasi manusia berakar pada Deklarasi Umum Hak Asasi
Manusia (DUHAM) yang diterbitkan pada tahun 1948 dan disahkan oleh Majelis
Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 10 Desember 1948. Deklarasi ini
merupakan awal kodifikasi tentang standar pengakuan hak manusia yang di
dalamnya termasuk hak perempuan. Deklarasi ini diakui sebagai standar umum
bagi semua masyarakat dan semua bangsa untuk berjuang bagi kemajuan martabat
manusia.4 Hak-hal yang dideklarasikan adalah hak atas persamaan, kebebasan,
dan keamanan setiap orang, kebebasan dari perbudakan, siksaan atau perlakuan
yang merendahkan martabat manusia, pengakuan sebagai seorang pribadi di
depan hukum mencari keadilan, dan kebebasan untuk berekspresi dan partisipasi
politik.5 Selain itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa juga telah menetapkan suatu
deklarasi yang dinamakan Deklarasi Beijing Platform of Action pada tahun 1995
yang melahirkan program-program penting untuk mecapai keadilan gender.6
Ringkasan pokok mengenai langkah-langkah yang dapat dilakukan pemerintah
dalam bidang Pengambilan Keputusan, antara lain:
1) Mengambil langkah-langkah untuk memastikan akses yang setara dan
partisipasi penuh perempuan dalam struktur kekuasaan dan pengambilan
keputusan.
Sri Wiyanti Eddyono, “Hak Asasi Perempuan dan Konvensi CEDAW”, diakses
dari http://www.elsam.or.id/article.php?id=270&lang=in pada 15 Mei 2016.
4
Women, Law and Development, Hak Asasi Manusia Kaum Perempuan,
terjemahan dan terbitan LBH APIK Jakarta, 2001, hlm. 13.
5
ibid., hlm 14.
6
Meisy K.P.S., Hak Politik Perempuan dalam Kerangka CEDAW dan
Pencapaiannya di Indonesia Melalui MDG’s (Skripsi, Universitas Sumatera Utara, 2010),
hlm. 16.
3
3
Universitas Indonesia
2) Meningkatkan
kapasitas
perempuan
untuk
berpartisipasi
dalam
pengambilan keputusan dan kepemimpinan
Instrumen-instrumen
hukum
di
atas
sesungguhnya
telah
banyak
mengakomodir hak-hak dasar perempuan. Sebab di dalam konvensi-konvensi itu
disebutkan pula prinsip non-diskriminasi. Namun, dalam hal ini CEDAW
mengaturnya secara lebih rinci. CEDAW yang merupakan singkatan dari
Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women,
mengatur upaya penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Pasal 1 CEDAW menyatakan bahwa:
“Diskriminasi
terhadap
perempuan,
berarti
segala
pembedaan,pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis
kelamin yang mempunyai dampak atau tujuan untuk mengurangi atau
meniadakan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak asasi manusia
dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial,
budaya,sipil, atau bidang lainnya oleh perempuan, terlepas dari status
perkawinan mereka, atas dasar kesetaraan antara lelaki dan perempuan”.
Sejatinya, hak politik Perempuan juga telah diatur dalam ICCPR (Kovenan
Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik) yang membuatnya setara dengan lakilaki. Namun, secara praktik, kesetaraan yang dicita-citakan tersebut sulit untuk
tercapai mengingat konstruksi budaya yang meletakkan perempuan sebagai pihak
yang subordinat, sehingga CEDAW mengatur secara lebih tegas konstruksi hakhak politik dari perempuan tersebut.
Menurut Sjamsiah7, konvensi ini bahkan mengarahkan negara untuk
mengadakan upaya-upaya tambahan guna menangani permasalahan-permasalahan
yang dihadapi perempuan di daerah pedesaan. Dalam hal ini, negara harus
menjamin hak-hak perempuan, atas dasar persamaan antara lelaki dan perempuan,
atas dasar persamaan antara lelaki dan perempuan, untuk berpartisipasi dan
memperoleh manfaat dari pembangunan desa. Konvensi CEDAW ini juga
Sjamsiah Achmad, “Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan” dalam Makalah In-House Training Rahima, Mei 2008, hlm. 22.
7
4
Universitas Indonesia
merupakan satu-satunya perjanjian internasional yang menegaskan hak reproduksi
perempuan. CEDAW mewajibkan negara untuk memodifikasi pola-pola sosial
budaya dari perilaku lelaki dan perempuan agar dapat menghapuskan prasangkaprasangka, kebiasaan-kebiasaan, maupun semua praktik-praktik lain yang
berdasarkan pandangan inferioritas atau superioritas pada salah satu jenis kelamin.
Selain itu konvensi ini juga mendorong terhapusnya peran-peran stereotip bagi
lelaki dan perempuan. Di mana konvensi tersebut telah diratifikasi oleh sejumlah
negara baik Barat, Timur, Utara, maupun Selatan. Bahkan isu tentang
pemberdayaan perempuan pedesaan yang masuk di dalam konvensi ini, terjadi
atas usulan wakil dari Indonesia dan India.8
Di Indonesia, hak turut serta dalam pemerintahan merupakan suatu bagian
yang penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini dapat dilihat
dalam Pasal 28 D ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga
negara berhak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga mengatur
mengenai hak turut serta dalam pemerintahan dalam Pasal 43 dan Pasal 44. Pasal
43 mengakomodir hak untuk dipilih dan memilih, serta hak untuk turut serta
dalam pemerintahan secara langsung atau dengan perantaraan wakilnya. Hak-hak
ini diberikan bagi setiap warga negara. Sedangkan, Pasal 44 mengakomodir hak
untuk duduk dan diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan, dan hak untuk
mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan/atau usulan kepada
Pemerintah. Jadi, keempat hak-hak ini terkait dengan karakteristik dari demokrasi.
Adapun penjelasan mengenai partisipasi masyarakat secara langsung dan
tidak langsung dapat dilihat dalam General Comment dari Pasal 21 DUHAM yang
menyatakan bahwa:9
The right of citizens to directly participate in their nation’s
political affairs usually manifests in the form of referendums, where a
political issue is submitted to all citizens for a vote. Generally,
ibid.
UN Human Rights Committee (HRC), CCPR General Comment No. 22: Article
21 (The right to take part in government), 30 July 1993, CCPR/C/21/Rev.1/Add.4,
diakses dari http://www.refworld.org/docid/453883fb22.html, pada 15 Mei 2016.
8
9
5
Universitas Indonesia
referendums are held on important constitutional matters involving
fundamental changes to the nation’s laws and governing institutions.
Constitutional referendums of this nature are held in nations like France
and New Zealand, and are mandatory for constitutional amendments in
nations like Australia.
Free elections are generally held periodically and without incident
in established liberal democracies. Whilst largely fair, these elections may
often contain minor irregularities like gerrymandering, or the deliberate
redrawing of electoral districts in favor of a particular candidate,
especially in countries like the United States. In other nations, however,
elections are often marred by severe irregularities. In the worst
authoritarian regimes, show elections are held where the incumbent
dictator obtains overwhelming and impossible margins of victory through
widespread voter intimidation and blatant fraud. The ruling Workers
Party of Korea, for instance, has regularly obtained an implausible 99.9%
of the vote in every election held since it consolidated power.
Berdasarkan uraian di atas, yang dimaksud dengan berpartisipasi secara
langsung adalah partisipasi masyarakat dalam referendum, yang berarti setiap
warga negara, tidak termasuk yang dikecualikan oleh undang-undang,
berpartisipasi secara langsung dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang
dibuat oleh pemerintah. Sedangkan, yang dimaksud dengan aprtisipasti tidak
langsung adalah warga negara tetap dapat ikut menentukan arah kebihakan
pemerintahan melalui perwakilan yang dipilih melalui pemilihan umum yang
demokratis.
CEDAW juga secara rinci mengatur mengenai hak perempuan dalam
kehidupan politik dan kemasyarakatan negaranya. Hal ini dapat dilihat dari Pasal
7 CEDAW yang menyatakan bahwa Perempuan memiliki hak-hak sebagai
berikut:
1. Hak untuk memilih dan dipilih;
2. Hak untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijaksanaan pemerintah dan
implementasinya;
6
Universitas Indonesia
3. Hak untuk memegang jabatan dalam pemerintah dan melaksanakan segala
fungsi pemerintahan di segala tingkat;
4. Hak
berpartisipasi
dalam
organisasi-organisasi
dan
perkumpulan-
perkumpulan non-pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan
masyarakat dan politik negara.
Sedangkan, Pasal 8 CEDAW mengatur mengenai hak Perempuan untuk
mendapatkan kesempatan mewakili pemerintah pada tingkat internasional dan
berpartisipasi dalam pekerjaan untuk mewakili pemerintah dalam tingkat
internasional dan berpartisipasi dalam organisasi-organisasi internasional. Selain
itu, CEDAW juga mengatur kewajiban-kewajiban negara untuk melindungi hakhak politik perempuan, yaitu:
1) Membuat
peraturan-peraturan
yang
tepat
untuk
menghapuskan
diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan politik dan kehidupan
kemasyarakatan atas dasar persamaan dengan laki-laki.
2) Membuat peraturan-peraturan yang tepat menjadmin adanya kesempatan
bagi perempuan untuk mewakili pemerintahan maupun bekerja di tingkat
internasional.
3) Memberikan hak yang sama dengan pria untuk memperoleh, mengubah
atau mempertahankan kewarganegaraannya
4) Menjamin bahwa perkawinan dengan orang asing tidak akan mengubah
status kewarganegaraan ataupun kehilangan status kewarganegaraan.
5) Memberi hak yang sama antara laki-laki dan perempuan menentukan
kewarganegaraan anak-anak mereka.
Berdasarkan uraian di atas, telah jelas bahwa Perempuan perlu mendapat
kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya dalam mengisi pembangunan
sesuai
dengan
yang
dicita-citakan
bersama.
Bahkan,
Suryohadiprodjo 10
menyatakan bahwa kemampuan Perempuan makin terlihat dalam berbagai macam
pekerjaan dan profesi. Hampir tidak ada lagi pekerjaan yang tak dapat dikerjakan
oleh Perempuan seperti dikerjakan oleh pria. Dan kualitas pekerjaannya tidak
Sayidiman Suryohadiprojo, Menghadapi Tantangan Masa Depan (Gramedia:
Jakarta, 1987), hlm. 237
10
7
Universitas Indonesia
lebih rendang dari pria, kecuali kalau pekerjaan ini menuntut tenaga fisik yang
besar, seperti pekerjaan buruh pelabuhan. Sebaliknya, ada pekerjaan yang lebih
tepat
dilakukan
oleh
Perempuan
karena
lebih
menuntut
sifat-sifat
keperempuanannya. Oleh sebab itu, telah jelas bahwa Perempuan dan laki-laki
memiliki kedudukan yang setara atau sama dalam kegiatan sosial masyarakatnya
serta politik.
1.3. Rumusan Masalah
Pada prakteknya, kesetaraan yang dicita-citakan tersebut sulit untuk
tercapai mengingat masih terdapat konstruksi budaya yang meletakkan perempuan
sebagai pihak subordinat sehingga rawan dilanggar hak-hak asasi perempuannya.
Sebagai contoh, terdapat Qanun Hukum Jinayah di Aceh yang disebut-sebut
merampas hak perempuan. Oleh sebab itu, dalam makalah ini, Penulis akan
membahas mengenai
1) Bagaimanakah status dari ketentuan Qanun tentang Pokok-Pokok Syariat
Islam di Daerah Istimewa Aceh apabila ditinjau dari sudut pandang
kesetaraan gender?
2) Bagaimanakah legalitas dari pengaturan tentang pengisian jabatan
pemimpin di Aceh yang terdapat dalam Qanun tentang Pokok-Pokok
Syariat Islam ditinjau dari sudut pandang Undang-Undang Dasar 1945 dan
Teori Ketatanegaraan?
BAB II
PEMBAHASAN
Pada prakteknya, memang masih sering terjadi hambatan-hambatan bagi
penerapan hak asasi perempuan dalam kerangka hak asasi manusia, seperti halnya
keberadaan Qanun Jinayat tentang Pokok-Pokok Syariat Islam di Daerah
8
Universitas Indonesia
Istimewa Aceh yang dianggap sebagian pihak melanggar hak-hak asasi dari
perempuan, khususnya hak politik.
2.1 Kedudukan Qanun tentang Pokok-Pokok Syariat Islam di Aceh ditinjau
sari Paham Kesetaraan Gender
Qanun Jinayat merupakan ketentuan hukum Islam yang berlaku di Daerah
Istimewa Aceh. Pelaksanaan syariat Islam di Aceh diamanatkan dalam beberapa
Undang-Undang, antara lain Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh, dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2007 tentang
Penetapan Perpu Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum
dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Wilayah dan
Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dana Kepulauan
Nias Sumatera Utara Sebagai Undang-Undang.
Apabila dicermati, ternyata Qanun Jinayat Pasal 53 tentang Pokok-Pokok
Syariat Islam melanggar hak-hak politik dari perempuan. Pasal 53 Qanun Jinayat
tentang Pokok-Pokok Syariat Islam tersebut mengatur bahwa syarat menjadi
seorang pemimpin di Aceh adalah harus mampu membaca Al-Qur’an, mampu
khutbah Jumat, dan khutbah shalat Ied, serta bisa memimpin shalat berjamaah.
Sebagaimana diketahui seorang perempuan tidaklah dapat menjadi pemimpin atau
imam dalam shalat berjamaah yang makmumnya laki-laki. Hal ini secara tidak
langsung berarti hanya laki-laki saja yang dapat menjadi pemimpin di Aceh.
Dasar hukum Islam yang melarang seorang perempuan menjadi seorang
imam dalam shalat yang makmumnya laki-laki, antara lain:
Rasulullah Bersabda: “Janganlah seorang perempuan menjadi imam bagi lakilaki” (HR. Ibnu Majah).
Ijma’ Shahabat bahwa di kalangan mereka tidak pernah ada wanita yang menjadi
imam shalat di mana di antara makmumnya adalah laki-laki. Para shahabat juga
berijma’ bahwa wanita boleh menjadi imam shalat berjama’ah yang makmumnya
9
Universitas Indonesia
hanya wanita, seperti yang dilakukan oleh A’isyah dan Ummu Salamah r.a.
(Tuhfah al-Ahwazi li-al-Mubarakfuri).
Bahkan, Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan Fatwa Nomor 9/MUNAS
VII/MUI/13/2005 tentang Wanita Menjadi Imam Shalat 11 yang pada intinya
memutuskan bahwa:
(1) Wanita menjadi imam shalat berjama’ah yang di antara makmumnya terdapat
orang laki-laki hukumnya haram dan tidak sah.
(2) Wanita menjadi imam shalat berjama’ah yang makmumnya wanita, hukumnya
mubah.
Berdasarkan uraian di atas, telah jelas bahwa seorang perempuan tidaklah
dapat menjadi imam shalat berjama’ah apabila terdapat makmum laki-laki di
dalamnya. Hal ini dianggap mengabaikan hak-hak politik perempuan sebagaimana
telah dijelaskan dalam BAB I.
Memang konflik kepemimpinan perempuan di Kesultanan Aceh
Darussalam sudah terlihat ketika pengangkatan sultanah pertama yang
menggantikan suaminya Sultan Iskandar Tsani tahun 1641 M. Konflik ini terus
berlanjut sampai masa pemerintahan perempuan ke empat Sultanah Kamalat Syah
tahun 1699 M. Meskipun telah ada persetujuan ulama kesultanan yang
membolehkan perempuan menjadi pemimpin, tetapi tidak semua mendukung
seperti kelompok wujudiyah yang menentang kepemimpinan perempuan di
Kesultanan Aceh Darussalam.12 Pada dasarnya, memang konflik kepemimpinan
perempuan yang terjadi di Kesultanan Aceh Darussalam pada tahun 1641-1699 M
harus dilihat dari banyak faktor seperti politik, agama, dan ekonomi. Oleh karena
itu dapat disimpulkan bahwa kombinasi dari berbagai faktor seperti tidak adanya
putera mahkota, merosotnya kekuasaan para sultan ditandai dengan meningkatnya
kekuasaan para orang kaya serta pembagian Aceh ke dalam tiga segi yang kuat ini
merupakan faktor-faktor penentu muncul dan bertahannya pemerintahan
Fikih Kontemporer, Wanita Menjadi Imam Shalat Lelaki: Fatwa, diakses dari
http://www.fikihkontemporer.com/2013/05/wanita-menjadi-imam-shalat-lelakifatwa.html pada 16 Mei 2016.
12
Supriyono, Konflik Tentang Kepemimpinan Perempuan di Kesultanan Aceh
Darussalam Tahun 1641-1699 M (Skripsi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta), hlm. vii.
11
10
Universitas Indonesia
perempuan di Aceh.13 Namun demikian, juga terdapat kelompok yang mendukung
pemerintahan perempuan yang menyatakan bahwa perempuan juga mempunyai
hak yang sama dengan laki-laki, seahingga perempuan boleh menjadi pemimpun.
Kelompok ini didukung oleh ulama besar Aceh seperti Nuruddin al-Raniri dan
Abdurrauf Singkel, kedua ulama ini memberikan fatwa pemisahan urusan agama
dan negara, dengan demikian ulama ini memberikan toleransi bagi perempuan
Aceh untuk menduduki tahta di Kesultanan Aceh Darussalam.
Apabila ditinjau dari paham kesetaraan gender, keterwakilan politik
perempuan pada hakekatnya harus diperjuangkan oleh semua kalangan dan
perjuangan tersebut juga harus ditingkatkan dari setiap kalangan mulai dari
kalangan elitenya sampai dengan masyarakat. Terkait hal ini, Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik mengakomodasi dinamika dan
perkembangan masyarakat dan mengamanatkan perlunya pendidikan politik dan
memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender. Bahkan Pasal 65 ayat (1) dan ayat
(2) Undang-Undang Pemilu Nomor 12 Tahun 2003 secara nyata mengatur bahwa:
(1) Setiap partai politik beserta pemilu dapat mengajukan calon anggota
DPR, DPRD, Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap
daerah pemilihan, dengan memperhatikan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30 persen;
(2) Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon
sebanyak-banyaknya 120 persen jumlah kursi yang ditetapkan pada
setiap daerah pemilihan.
Ketentuan tersebut memberikan peluang kepada perempuan untuk
berkiprah di bidang politik khususnya menjadi calon legislatif. Dengan sistem
kuota sedikitnya 30% perwakilan perempuan Indonesia dalam pengambilan
keputusan diharapkan akan membawa perubahan pada kualitas legislatif yang
berspektif perempupan dan gender yang adil, dan mengubah cara pandang dalam
melihat dan menyelesaikan berbagai permasalahan politik dengan mengutamakan
perdamaian dan cara-cara anti kekerasan. Karena, pada dasarnya perempuan
memiliki kesempatan yang sama untuk meraih posis strategis di parlemen maupun
sebagai eksekutif.
13
ibid., hlm. 33.
11
Universitas Indonesia
Dalam hal ini, Perumus Kebijakan di Aceh membuat kebijakan yang
mendiskreditkan perempuan dalam Qanun-nya. Karena, apabila dibenturkan
dengan instrumen-instrumen hukum yang lain, maka Qanun tersebut telah
melanggar hak-hak perempuan dalam berpolitik. Padahal, ketentuan Deklarasi
Beijing Platform of Action pada tahun 1995 yang memberikan ringkasan pokok
mengenai langkah-langkah yang dapat dilakukan pemerintah dalam bidang
Pengambilan Keputusan, antara lain:
1) Mengambil langkah-langkah untuk memastikan akses yang setara dan
partisipasi penuh perempuan dalam struktur kekuasaan dan pengambilan
keputusan.
2) Meningkatkan
kapasitas
perempuan
untuk
berpartisipasi
dalam
pengambilan keputusan dan kepemimpinan
Hak politik perempuan ini juga terdapat dalam Pasal 28 D ayat (3) UUD
1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Selain itu, Undang-Undang Nomor
39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga mengatur mengenai hak turut serta
dalam pemerintahan dalam Pasal 43 dan Pasal 44. Pasal 43 mengakomodir hak
untuk dipilih dan memilih, serta hak untuk turut serta dalam pemerintahan secara
langsung atau dengan perantaraan wakilnya. Hak-hak ini diberikan bagi setiap
warga negara. Sedangkan, Pasal 44 mengakomodir hak untuk duduk dan diangkat
dalam setiap jabatan pemerintahan, dan hak untuk mengajukan pendapat,
permohonan, pengaduan, dan/atau usulan kepada Pemerintah. Sedangkan, Pasal 7
CEDAW yang menyatakan bahwa Perempuan memiliki hak-hak sebagai berikut:
1) Hak untuk memilih dan dipilih;
2) Hak untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijaksanaan pemerintah dan
implementasinya;
3) Hak untuk memegang jabatan dalam pemerintah dan melaksanakan segala
fungsi pemerintahan di segala tingkat;
4) Hak
berpartisipasi
dalam
organisasi-organisasi
dan
perkumpulan-
perkumpulan non-pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan
masyarakat dan politik negara.
12
Universitas Indonesia
Berdasarkan uraian, di atas, telah jelas bahwa perempuan juga memiliki
hak untuk turut serta dalam pemerintahan, dan berhak menjadi seorang pemimpin.
Namun demikian, Qanun Jinayat tentang Pokok-Pokok Syariat Islam, telah
merampas hak-hak asasi perempuan tersebut. Dalam hal ini, Penulis berpendapat
bahwa, seharusnya perumus kebijakan di Aceh mempertimbangkan hal-hal di atas
dan juga memperhatikan perkembangan zaman, terlepas dari kewenangannya
membuat kebijakan syariat islam sebagai sebuah daerah istimewa maupun
konstruksi budaya di daerah tersebut. Selain itu, Penulis berpendapat bahwa
perumus kebijakan di Aceh tidak memperhatikan konstruksi Pasal 18 B UUD
1945 yang secara implisit mengandung perintah bagi negara untuk melindungi
hak dari daerah istimewa. Namun, juga perlu dicermati bahwa bagi pemerintah
daerah Pasal ini juga menimbulkan hak-hak yang wajib dilindungi oleh
pemerintah daerah itu sendiri, dalam hal ini memperhatikan perkembangan
masyarakat. Lagipula, persyaratan yang secara tidak langsung mengharuskan
seorang pemimpin di Aceh haruslah dari kaum laki-laki, Penulis nilai sudah tidak
sesuai dengan perkembangan masyarakat yang tengah dalam usahanya untuk
menyetarakan kedudukan antara laki-laki dan perempuan.
Namun demikian, terlepas dari hal-hal di atas, tetap harus dipahami bahwa
Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang unsur budaya, keyakinan,
dan hal-hal metafisik yang sangat kental, sehingga, kesetaraan gender yang dicitacitakan mungkin akan lebih sulit untuk tercapai di Daerah Istimewa Aceh ini,
mengingat masyarakat Aceh mengacu pada norma-norma keyakinan yang
dianutnya.
2.2 Legalitas Pengaturan tentang Pengisian Jabatan Pemimpin di Aceh Yang
Terdapat dalam Qanun tentang Pokok-Pokok Syariat Islam Ditinjau
Dari Sudut Pandang Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
dan Teori Ketatanegaraan
Terkait legalitas dari Qanun Jinayat tersebut, atribut pemerintahan daerah
secara khusus dan istimewa, bukan sesuatu yang baru melainkan telah dirumuskan
eksistensinya dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pasal 18B UUD 1945,
13
Universitas Indonesia
baik ayat (1) dan ayat (2) dengan tegas diakui adanya daerah yang memiliki
otonomi khusus yang istimewa tersebut14. Pasal tersebut menyatakan bahwa:
(1) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan pemerintah
daerah yang bersifat khusus atau istimewa yang diatur dengan
undang-undang
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang
Kedua ayat dari Pasal 18B UUD 1945 tersebut mengandung norma-norma
imperatif yaitu norma perintah sebagai kewajiban bagi negara untuk
melindunginya. Namun, di lain pihak, bagi pemerintah daerah menimbulkan hakhak yang wajib dilindungi.15
Menurut
Jimly Asshiddiqie,
Pasal
18B
tersebut
memungkinkan
dilakukannya pengaturan-pengaturan yang bersifat federalistik dalam hubungan
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Dalam dinamika hubungan
antara pusat dan daerah itu, dimungkinkan pula dikembangkan kebijakan otonomi
yang bersifat pluralis. Dalam arti bahwa setiap daerah dapat diterapkan pola
otonomi yang berbeda-beda.16 Dalam hal ini, Daerah Istimewa Aceh memiliki
format kelembagaan pemerintahan yang berbeda dari pemerintahan daerah lain
pada umumnya.
Sedangkan menurut Prof. Faisal, Qanun ditetapkan oleh instansi bentukan
negara, sehingga produk hukum lembaga itu juga sah dan mengikat secara hukum,
bahkan dalam konsiderans Qanun Aceh tentang Hukum Jinayah juga terdapat
pernyataan bahwa Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
memiliki keistimewaan dan otonomi khusus, salah satunya kewenangan untuk
melaksanakan syariat Islam, dengan menjunjung tinggi keadilan, kemaslahatan,
Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia (Alumni:
Bandung, 2002), hlm. 90.
15
Christian Yulianto Kurniawan, et, al., Kajian Yuridis Pembentukan Pemerintah
Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta BerdasarkanUndang-Undang Nomor 13
Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta., hlm. 3.
16
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, hlm. 793
14
14
Universitas Indonesia
dan kepastian hukum.17 Dengan demikian, ketentuan qanun tentang pokok-pokok
syariat Islam yang secara tidak langsung mengharuskan pemimpin di Aceh berasal
dari kaum laki-laki tersebut tetap dapat diakui secara hukum dan dapat
diberlakukan. Namun demikian, dalam hal ini, Penulis berpendapat bahwa
sebaiknya Perumus Kebijakan di Aceh tetap melakukan penyesuaian terkait
Qanun tersebut dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang
Dasar 1945.
BAB III
PENUTUP
Penulis berpendapat untuk menentukan apakah ketentuan Qanun PokokPokok Syariat Islam ini melanggar hak-hak politik dari Wanita dapat ditinjau dari
dua perspektif (hukum dan sosio historis), sehingga jawaban yang dihasilkan pun
tentu berbeda. Secara teori, Pasal 53 Qanun Jinayat tentang Pokok-Pokok Syariat
Islam tentu bertentangan dengan prinsip kesetaraan gender dan hak-hak asasi
perempuan, dalam hal ini adalah hak politik dan turut serta dalam pemerintahan.
Namun, juga perlu dicermati kondisi dari daerah istimewa Aceh itu sendiri,
sebagaimana diketahui, Aceh diberikan status istimewa bukan karena alasanHukumOnline, Qanun Hukum Jinayah: Kitab Pidana Ala Serambi Mekkah,
diakses dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54d80e8854ee1/qanun-hukumjinayah--kitab-pidana-ala-serambi-mekkah pada 16 Mei 2016.
17
15
Universitas Indonesia
alasan tertentu dan merupakan salah satu provinsi yang masih memiliki unsur
budaya, keyakinan, dan hal-hal metafisik yang sangat kental. Selain itu, secara
historis juga perlu diketahui bahwa prinsip kesetaraan gender adalah sebuah
ajaran yang dimulai dari pemikiran tokoh-tokoh Barat. Terkait hal ini kemudian
muncul pertanyaan, apakah hal ini bisa serta merta diterapkan di Indonesia yang
notabene termasuk dalam negara Timur yang secara budaya saja sudah jauh
berbeda.
Penulis berpendapat bahwa apabila prinsip dan nilai kesetaraan gender itu
ingin diterapkan di Indonesia, tentu harus melalui penyesuaian terlebih dahulu.
Dengan demikian, pengaturan Qanun tentang Pokok-Pokok Syariat Islam di Aceh
yang secara tidak langsung mengharuskan bahwa seorang pemimpin di Aceh
haruslah berasal dari kaum laki-laki memang telah melanggar hak-hak politik dari
preempuan. Namun demikian,
kita juga perlu memperhatikan value yang
dipercaya oleh masyarakat Aceh, yang dalam hal ini adalah unsur budaya dan
kepercayaan.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Sjamsiah. “Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan” dalam Makalah In-House Training Rahima, Mei
2008.
Asshiddiqie, Jimly. Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
16
Universitas Indonesia
Eddyono, Sri Wyanti. “Hak Asasi Perempuan dan Konvensi CEDAW”, diakses
dari http://www.elsam.or.id/article.php?id=270&lang=in pada 15 Mei
2016.
Fikih Kontemporer. Wanita Menjadi Imam Shalat Lelaki: Fatwa, diakses dari
http://www.fikihkontemporer.com/2013/05/wanita-menjadi-imam-shalatlelaki-fatwa.html pada 16 Mei 2016.
HukumOnline, Qanun Hukum Jinayah: Kitab Pidana Ala Serambi Mekkah,
diakses dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54d80e8854ee1
/qanun-hukum-jinayah--kitab-pidana-ala-serambi-mekkah pada 16 Mei
2016.
Kurniawan, Christian Yulianto et, al.. Kajian Yuridis Pembentukan Pemerintah
Daerah Propinsi Daerah IstimewaYogyakarta BerdasarkanUndangUndang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Meisy K.P.S., Hak Politik Perempuan dalam Kerangka CEDAW dan
Pencapaiannya di Indonesia Melalui MDG’s (Skripsi, Universitas
Sumatera Utara, 2010)
Pasya, Gurniwan K. Peranan Perempuan Dalam Kepemimpinan dan Politik
dalam JURNAL WANITA.
S. Nilakusuma, Perempuan di Dalam dan di Luar Rumah Tangga (Nusantara:
Michigan, 1960).
Soemantri, Sri. Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia (Alumni: Bandung,
2002)
17
Universitas Indonesia
Suryohadiprojo, Sayidiman. Menghadapi Tantangan Masa Depan (Gramedia:
Jakarta, 1987)
Supriyono. Konflik Tentang Kepemimpinan Perempuan di Kesultanan Aceh
Darussalam Tahun 1641-1699 M (Skripsi, Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta).
UN Human Rights Committee (HRC), CCPR General Comment No. 22: Article
21 (The right to take part in government), 30 July 1993, CCPR/C/21/Rev.1
/Add.4, diakses dari http://www.refworld.org/docid/453883fb22.html, pada
15 Mei 2016.
Women, Law and Development, Hak Asasi Manusia Kaum Perempuan,
terjemahan dan terbitan LBH APIK Jakarta, 2001.
18
Universitas Indonesia
LA M P I R A N
LSM: Qanun Jinayat Hilangkan Hak Politik Perempuan di Aceh
BANDA ACEH, KOMPAS.com - Azriana, aktivis perempuan dari Jaringan
Masyarakat Sipil Peduli Syariat (JMSPS) menyatakan prihatin Qanun Jinayat
yang baru disahkan oleh DPRA dan Pemerintah Aceh pada rapat paripurna Sabtu
(28/09/20014) lalu, mengabaikan hak-hak politik perempuan.
Menurut Azrina, dalam Qanun Jinayat Pasal 53 tentang pokok-pokok syariat
Islam menyebutkan bahwa syarat menjadi pemimpin di Aceh harus mampu
membaca Al Quran, mampu khutbah Jumat dan khutbah shalat Id, bisa memimpin
shalat berjamah.
“Artinya ke depan tidak akan ada lagi pemimpin di Aceh yang berasal dari
perempuan, sudah tutup buku karena perempuan tidak bisa menjadi imam shalat
bagi kaum laki-laki, kecuali imam bagi perempuan sendiri," jelas Azrina, pada
konferensi pers yang digelar oleh sejumlah LSM di Aceh yang tergabung dalam
Koalisi Masyarakat Sipil di Yellow Café di Banda Aceh, Selasa (30/9/2014)
petang.
"Ini merupakan kemunduran hak politik bagi perempuan di Aceh, karena agama
dijadikan legitimasi," lanjut Azriana.
Sementara itu, menurut Azrina, dalam Qanun Jinayat juga masih mengenal zina
dengan anak. Padahal, menurut dia, korelasi anak dengan orang dewasa itu sangat
jelas berbeda. Seharusnya, kata dia, di dalam Qanun tidak disebutkan zina
terhadap anak, tetapi perkosaan terhadap anak.
“Kita khawatir pasal di dalam Qanun Jinayat ini akan menyebabkan anak-anak
dan perempuan di Aceh akan berhadapan dengan hukum cambuk," paparnya.
Padahal, Negara Republik Indonesia memiliki undang-undang perlindungan
terhadap anak. Bahkan, menurut Azrina, di Aceh juga ada Qanun perlindungan
terhadap anak.
"Saya khawatir posisi anak-anak di Aceh ke depan ketika mengalami kasus
pelecehan seksual yang tidak setara dengan zina yang dilakukan orang dewasa,
akan di hukum cambuk," katanya.
Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariat (JMSPS) dan sejumlah SM di Aceh
rencananya akan menjumpai Gubernur dan Mendagri untuk meminta agar
pengesahan Qanun Jinayat ditunda.
Sumber:
http://regional.kompas.com/read/2014/09/30/18193481/LSM.Qanun.Jinayat.Hilan
gkan.Hak.Politik.Perempuan.di.Aceh