Kebijakan Luar Negeri Indonesia Terkait

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Dewasa ini, konstelasi politik di kawasan Asia Pasifik cenderung
bernuansa muram sekaligus memanas. Laut Cina Selatan yang menjadi titik
tumpu geopolitik di kawasan Asia Pasifik sedang menjadi suatu pembicaraan
tingkat internasional karena menyebabkan tersulutnya konflik antara sejumlah
negara besar di Asia dan beberapa negara-anggota ASEAN. Inti masalah yang
diperdebatkan adalah seputar klaim wilayah perbatasan (territorial zone).
Hingga akhir tahun lalu, sengketa wilayah Laut Cina Selatan ini telah
memberikan dampak yang cukup dramatis terhadap gelombang polarisasi
kekuatan negara-negara yang bertikai.1Persinggungan klaim kedaulatan dan
yurisdiksi wilayah di kawasan Laut Cina Selatan melibatkan enam negara yaitu:
Cina, Taiwan, Filipina, Vietnam, Malaysia dan Brunei Darussalam. Sifat pola
interaksi antar setiap negara tersebut menjadi lebih konfliktual, dikarenakan
kepentingan masing-masing negara terhadap kawasan Laut Cina Selatan.
Menurut Biro Hidrografis Internasional, Laut Cina Selatan disebut
sebagai perairan yang memanjang dari arah barat daya ke arah timur laut,
berbatasan di sebelah selatan dengan 3 lintang selatan antara Sumatra dan

Kalimantan dan di sebelah utara berbatasan dengan Selat Taiwan dari ujung
utara Taiwan hingga ke arah pantai Fukien, Cina. Luas perairan meliputi sekitar
4.000.000 km2.2 Perairan ini terdiri dari beberapa gugusan pulau yang berjumlah
sekitar 170 pulau kecil, karang,dan banks. Salah satu gugus pulau di perairan ini
yang memiliki cadangan gas dan minyak berlimpah adalah pulau Spartlay dan
Paracel.3
Seiring dengan mencuatnya kabar mengenai kekayaan sumber daya alam
yang berada di Laut Cina Selatan, sejumlah aksi agresif dilakukan oleh negaranegara yang berbatasan langsung dengan kawasan ini untuk melegitimasi setiap
wilayah yang diklaim atas kepemilikannya.4 Klaim tersebut merujuk hingga
kepada faktor historis, perhitungan ekonomi dan pertimbangan geostrategis dari

1

“Sengketa
Wilayah
Laut
Cina
Selatan”
diakses
dari

http://apdforum.com/id/article/rmiap/articles/online/features/2012/12/31/aayear-end-story pada Kamis, 18
April 2013. Pukul 4.53 WIB
2 Hasjim Djalal, “Potential Conflict in the South Cina Sea: In search of Coopertation,”Indonesian
Quarterly XVIII,no.2 (Second Quarter,1990): 364-5
3 Ibid.
4 The Spratly Islands Dispute in the South China Sea: Problems, Policies, and Prospects for Diplomatic
Accommodation” diakses dari www.southchinasea.org pada Kamis, 18 April 2013. Pukul 6.00 WIB

Universitas Al Azhar
Indonesia

1

negara-negara yang terlibat.5
Indonesia sebagai salah satu negara di kawasan Asia Tenggara memang
tidak terlibat secara langsung di dalam konflik perebutan wilayah di Laut Cina
Selatan. Akan tetapi, Asia Tenggara merupakan lahan strategis bagi Indonesia
yang memiliki sejumlah potensi regionalitas di dalam keanggotaan ASEAN.
Singkat kata, apabila stabilitas regional di dalam tubuh ASEAN terancam karena
sengketa di kawasan Laut Cina Selatan, maka hal tersebut akan berdampak pada

ketidaksesuaian terhadap kredibilitas dan postur keamanan ASEAN yang akan
berpengaruh bagi Indonesia.6
Pertimbangan atas konflik ini diperkirakan akan menimbulkan sebuah
chaos apabila dibiarkan semakin memuncak. Sehingga, walaupun Indonesia
bukan merupakan aktor yang langsung terlibat di dalam sengketa wilayah ini,
akan tetapi Indonesia memiliki potensi untuk menjadi aktor kunci yang dapat
memberikan peran secara konstruktif dalam upaya penyelesaian masalah konflik
di Laut Cina Selatan secara damai.7
Merunut panjang waktu yang akan dibutuhkan dalam menyelesaikan
konflik di kawasan Laut Cina Selatan, maka diperlukan suatu upaya yang
mampu untuk tetap menjaga stabilitas kawasan, keamanan hingga kondusifitas
hubungan hingga akhirnya konflik ini dapat terselesaikan. Upaya yang Indonesia
lakukan adalah melalui jalur diplomasi yang kemudian lebih dikenal sebagai
langkah awal diplomasi preventif Indonesia.8 Salah satu cara dalam diplomasi
preventif Indonesia adalah dengan membangun serta meningkatkan rasa saling
percaya (confidence building measures) antara pihak-pihak yang bertikai.9
1.2

Batasan dan Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan di atas, terlihat bahwa konflik di kawasan Laut

Cina Selatan memiliki kompleksitas yang cukup tinggi serta melibatkan banyak
pihak yang terkait dengan ragam konspirasi politik. Oleh karena itu, penulisan

5 Ibid.
6 Yudha Kurniawan, "Kontribusi Indonesia dalam Penyelesaian Konflik Laut China Selatan, Paper ini
dipresentasikan pada Konvensi Nasional Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII) II,
Bandung, 2011.
7 Yudha Kurniawan, "Kontribusi Indonesia dalam Penyelesaian Konflik Laut China Selatan, Paper ini
dipresentasikan pada Konvensi Nasional Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII) II,
Bandung, 2011.
8 Eduardus mengutip dari “The South China Sea Dispute: Prospects for Preventive Diplomacy”.
Diunduh dari http://www.usip.org/pubs/specialreports/early/snyder/South_China_Sea1.html. Diakses
pada Jumat, 19 April 2013. Pukul 13.39 WIB
9 Ibid.

Universitas Al Azhar
Indonesia

2


ini dititikberatkan pada pemahaman tentang strategi kebijakan luar negeri yang
diambil Indonesia dalam upaya menyelesaikan konflik Laut Cina Selatan.
Dengan demikian, maka penulis merumuskan satu pertanyaan tentang
apa bentuk kebijakan luar negeri Indonesia pada saat ini terkait konflik di
Laut Cina Selatan, dilihat melalui pendekatan diplomasi preventif?, yang
penulis rasa perlu untuk dikaji lebih lanjut.
1.3

Tujuan Penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk memahami lebih jauh mengenai langkah
konkrit yang diambil berdasarkan keputusan pengambilan kebijakan luar negeri
Indonesia terkait konflik di kawasan Laut Cina Selatan.

1.4

Kerangka Konseptual
1.4.1 Kebijakan Luar Negeri
Studi mengenai politik internasional seringkali didominasi oleh studi
mengenai kebijakan luar negeri. Studi tersebut memusatkan perhatian pada
deskripsi kepentingan, tindakan dan unsur kekuatan negara. Kebijakan (politik)

luar negeri adalah tindakan konkrit yang digunakan suatu negara untuk
mencapai kepentingan nasional. Tujuan kebijakan luar negeri sebenarnya adalah
fungsi dari tujuan negara. Tujuan tersebut dipengaruhi oleh sasaran yang dilihat
dari masa lalu dan aspirasi untuk masa yang akan datang. Secara terperinci
tujuan kebijakan luar negeri dirancang, dipilih dan ditetapkan oleh pembuat
keputusan serta dikendalikan untuk mengubah kebijakan atau mempertahankan
kebijakan ihwal kenegaraan tertentu di lingkungan internasional.10
Kebijakan luar negeri merupakan strategi atau rencana tindakan yang
dibuat oleh para pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara lain atau
unit politik internasional lainnya dan dikendalikan dalam rangka mencapai
tujuan spesifik nasional dalam terminologi national interest.11 Lebih jauh, Holsti
menjelaskan lingkup kebijakan luar negeri meliputi semua tindakan serta
aktifitas negara terhadap lingkungan eksternalnya dalam upaya memperoleh
keuntungan dari lingkungan tersebut, serta hirau akan berbagi dalam kondisi
internal yang menopang formulasi tindakan tersebut. 12
Menurut Holsti, kebijakan luar negeri memiliki tiga komponen yang

10 Perwita, A.A Banyu dan Yani, Yamyan Muhammad, “Pengantar Ilmu Hubungan Internasional”,
Bandung: Remaja Rosda Karya, 2006, hal.49-51
11 Ibid.

12 Ibid.

Universitas Al Azhar
Indonesia

3

mencerminkan kepentingan yang lebih luas13, yaitu: (1) Sebagai sekumpulan
orientasi (as a cluster of orientation), suatu pedoman untuk mengahadapi
kondisi eksternal yang menuntut pembuat keputusan dan tindakan berdasarkan
orientasi prinsip dan tendensi umum yang terdiri dari sikap, persepsi dan nilai
yang dijabarkan dari pengalaman sejarah dan kondisi strategis penentu posisi
negara dalam politik internasional, (2) Sebagai seperangkat komitmen dan
rencana untuk bertindak (as a set of commitments to and plans for action),
berupa rencana dan komitmen konkrit termasuk tujuan dan alat yang spesifik
untuk mempertahankan situasi lingkungan eksternal yang konsisten dengan
orientasi kebijakan luar negeri, (3) Sebagai bentuk perilaku atau aksi (as a form
of behaviour), berupa langkah nyata berdasarkan orientasi umum, dengan
komitmen dan sasaran yang lebih spesifik, yang berhubungan dengan kejadian
dan situasi di lingkungan eksternal.

1.4.2

Diplomasi Preventif
Menurut Griffiths, diplomasi menjadi salah satu faktor determinan bagi

negara untuk mencapai kepentingannya dan menjalin hubungan baik dengan
negara lain. Diplomasi menjadi alat yang digunakan negara untuk menjalankan
misinya tanpa membangkitkan rasa permusuhan dengan negara lain. 14 Diplomasi
mewakili tekanan politik, ekonomi dan militer kepada negara-negara yang
terlibat dalam aktivitas diplomasi, yang diformulasikan dalam pertukaran
permintaan dan konsesi antara para pelaku negosiasi. Diplomasi memiliki kaitan
yang erat dengan politik luar negeri yang dilakukan oleh pejabat- pejabat resmi
yang terlatih.15
Salah satu istilah diplomasi yang sering digunakan adalah diplomasi
preventif. Diplomasi preventif mulai berkembang setelah Perang Dingin. 16
Diplomasi ini cenderung lebih banyak dilakukan oleh negara-negara dunia
ketiga. Diplomasi ini bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang
berpotensi hingga perang senjata. Diplomasi preventif secara umum digunakan
untuk mencegah keterlibatan negara-negara adidaya yang mencoba untuk
melakukan intervensi. Hal ini disadari sebagai keinginan setiap negara yang

13 Ibid.
14 Griffiths, Martin., Terry O'Callaghan, Steven C. Roach. 2002. International Relation: The Key
Concepts. Routledge Key Guides.
15 Sukawarsini Djelantik. Diplomasi antara Teori dan Praktik. 2008. Graha Ilmu: Yogyakarta, hal 4
16 Roy, S L, Diplomasi, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), hlm. 1

Universitas Al Azhar
Indonesia

4

sedang bertikai untuk mampu menyelesaikan ihwal kenegaraannya secara
independen.17
Michael G.Roskin dan Nicholas O.Berry dalam bukunya The New World
of International Relations cenderung memandang diplomasi preventif sebagai
beberapa upaya pihak ketiga untuk meredam konflik sebagai aintisipasi politik
sebelum terjadi kekerasan.18 Selain itu, mengutip dari buku International
Relations: The Changing Contours of Power, Donald M.Snow dan Eugene
Brown menerangkan bahwa diplomasi preventif merujuk pada inisiatif
diplomatik yang diambil guna membujuk antar pihak yang memiliki potensi

untuk berperang agar tidak terlibat dalam permusuhan. 19 Selama ini, diplomasi
preventif dinilai Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sebagai cara yang cukup
efektif dalam menangani konflik.20

BAB II
KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA DAN UPAYA DIPLOMASI
PREVENTIF
17 Ibid.
18 Michael G.Roskin danNicholas O.Berry dalam bukunya The New World of International Relations.
1999:406

19 Donald M.Snow dan Eugene Brown. 2000.International Relations: The Changing Contours of
Power. Hal. 446
20 Fathurrahmi, Farah. Pejabat PBB Menekankan Nilai Diplomasi Preventif dalam Penyelesaian
Konflik. Diakses melalui http://www.unic-jakarta.org pada Jumat, 19 April, 2013. Pukul 20.17 WIB

Universitas Al Azhar
Indonesia

5


2.1

Deskripsi Konflik Klaim Wilayah di Kawasan laut Cina Selatan
“Good men behave badly in bad social organizations, and bad men can be
stopped from behaving badly if they are in good social organizations”21- Kenneth Waltz

Menurut Japan Foundation, Laut Cina Selatan merupakan sebuah
perairan yang terletak di kawasan Samudera Pasifik, terbentang dari Singapura
dan Selat Malaka di barat daya hingga Selat Taiwan di timur laut. Kawasan ini
meliputi lebih dari 200 pulau kecil, bebatuan dan karang yang sebagian besar
berada di rangkaian kepulauan Paracel dan Spratly.22 Rangkaian kepulauan
inilah yang seringkali diperebutkan sehingga menimbulkan ketegangan politik
dari beberapa negara di sekitarnya.
Pada dasarnya, kawasan Laut Cina Selatan merupakan kawasan no man’s
island.23 Hal ini disebabkan oleh fakta yang menunjukkan bahwa kawasan ini
tidak dimiliki secara strategis oleh pihak manapun, melainkan hanya digunakan
sebagai jalur perdagangan internasional.24 Menurut salah satu berita yang
dilansir melalui China Outpost disebutkan bahwa, setidaknya terdapat tiga
faktor yang membuat salah satu kepulauan yang berada di kawasan Laut Cina
Selatan, Spratly dinilai strategis. Pertama, penguasaan terhadap pulau-pulau
tersebut akan sangat menentukan garis batas negara yang menguasainya dan
berdampak pada luas jangkauan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang akan
dimiliki. Kedua, wilayah Kepulauan Spratly merupakan bagian dari jalur lalu
lintas internasional, baik untuk kapal dagang dan kadang kapal militer, sehingga
akan sangat menentukan bagi posisi geostrategis negara tersebut. Ketiga, lautan
di wilayah sekitar kepulauan ini disinyalir mengandung cadangan minyak dan
gas alam yang besar.25
Menurut Kaplan, estimasi kalkulatif jumlah cadangan minyak dan gas
alam di kawasan Laut Cina Selatan adalah sekitar 7 miliar barel dan 900 triliun
21 Cynthia Webber, International Relations Theory: A Critical Introduction 2 nd Edition, New York:
Routledge, 2001, hal 16
22 “Jepang-Indonesia dalam Konflik Laut Cina Selatan” The Japan Foundation. diunduh dari
http://www.jpf.or.id/artikel/studi-jepang-pertukaran-intelektual/jepang-indonesia-dan-konflik-laut-cinaselatan. Diakses pada Jumat, 19 April, 2013. Pukul 20.33 WIB
23 Ibid.
24 Rowan, J.P. The U.S.-Japan Security Alliance, ASEAN, and the South China Sea Dispute. Asian
Survey, Vol XLV, No. 3, May/June 2005.
25 “Sengketa Kepulauan Spratly: Tantangan Bagi Indonesia” (China Ouptost,2011). Diunduh dari
http://www.politik.lipi.go.id/index.php/en/columns/politik-internasional/472-sengketa-kepulauan-spratlytantangan-bagi-indonesia-sebagai-ketua-asean-2011. Diakses pada Jumat, 19 April, 2013. Pukul 20.56
WIB

Universitas Al Azhar
Indonesia

6

kubik kaki gas alam.26 Sehingga, faktor utama atas klaim wilayah di kawasan
Laut Cina Selatan ini semakin terlihat dan gencar diperdebatkan. Dari enam
negara yang terlibat sengketa atas Kepulauan Spratly, tiga negara mengklaim
seluruh wilayah, yaitu: Cina, Vietnam dan Taiwan. Sementara tiga negara
lainnya hanya mengklaim sebagian wilayah, yaitu: Malaysia, Filipina dan
Brunei Darussalam.27
Berikut adalah Peta Kawasan Laut Cina Selatan:
Sumber: www.jpf.or.id

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa terdapat kedekatan geografis
antara Indonesia dengan hampir seluruh negara yang memiliki konflik di
kawasan Laut Cina Selatan. Dengan kedekatan wilayah tersebut, maka
lingkungan keamanan dan strategis Indonesia dapat terpengaruh jika terjadi
suatu konflik terbuka. Menurut Soerjono Soekanto, konflik terbuka diartikan
sebagai sebuah konflik yang diketahui secara luas oleh pihak-pihak lain yang

26 Robert D. Kaplan, “The South China Sea is The future of Conflict”, dalam Foreign Policy
September/Oktober 2011, hal 78-85.
27 “Sengketa Kepulauan Spratly: Tantangan Bagi Indonesia” (China Ouptost,2011). Diunduh dari
http://www.politik.lipi.go.id/index.php/en/columns/politik-internasional/472-sengketa-kepulauan-spratlytantangan-bagi-indonesia-sebagai-ketua-asean-2011. Diakses pada Jumat, 19 April, 2013. Pukul 21.03
WIB

Universitas Al Azhar
Indonesia

7

tidak sedang bertikai.28 Menyadur informasi dari salah satu artikel ilmiah, Yudha
Kurniawan menuliskan sebuah fakta tentang contoh beberapa konflik terbuka
yang pernah terjadi, terkait dengan sengketa wilayah Laut Cina Selatan. Pada
tahun 1974 di pulau Paracel dan tahun 1988 di pulau Spratly, terjadi konflik
terbuka militer antara Vietnam dan Cina yang lebih dikenal dengan konflik SinoVietnamese.29 Selain itu, konflik yang melibatkan elemen militer juga terjadi
pada tahun 1995, dimana Cina melakukan okupasi terhadap pulau Mischief Reef
di sekitar pulau Spratly yang telah diklaim sebagai bagian dari wilayah
Filipina.30
Persepsi tentang munculnya Cina sebagai potensi ancaman juga perlu
dikaji lebih jauh. Potensi munculnya Cina sebagai ancaman di kawasan Asia
Tenggara bukan tanpa alasan. China sebagai negara yang tumbuh menjadi
kekuatan baru di dalam konstelasi politik global memiliki beberapa catatan
sejarah yang tidak terlalu baik di dalam konflik Laut Cina Selatan. Sehingga hal
ini patut menjadi agenda tersendiri bagi ASEAN sebagai organisasi tunggal
regional di Asia Tenggara, dengan beranggotakan sejumlah negara lain seperti
Indonesia yang tidak turut terlibat. Dengan demikian, jika persoalan sengketa di
kawasan Laut Cina Selatan akan selalu melibatkan elemen-elemen militer, maka
kemungkinan timbulnya pola enmity (permusuhan) pada interaksi negara-negara
ASEAN dan Cina akan menjadi signifikan.31
2.2

Kebijakan Luar Negeri Indonesia Terhadap Sengketa Wilayah di Laut Cina
Selatan
Penyelesaian persoalan Laut Cina Selatan dengan kekuatan militer patut
menjadi perhatian yang serius bagi Indonesia. Indonesia yang dihadapkan pada
konstruksi sosial yang ada, perlu melakukan telaah terhadap berbagai langkah
strategis terutama untuk mengkalkulasi potensi munculnya Cina sebagai
ancaman utama bagi Asia Tenggara. Lebih jauh, fokus Indonesia yang
menyadari bahwa instabilitas di kawasan berpeluang sebagai goncangan

28 Soerjono Soekanto, “Sosiologi Suatu Pengantar”. Jakarta: Yudistira
29 Yudha Kurniawan, "Kontribusi Indonesia dalam Penyelesaian Konflik Laut China Selatan, Paper ini
dipresentasikan pada Konvensi Nasional Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII) II,
Bandung, 2011. Yudha Kurniawan mengutip Clive Schofield dalam buku “An Arms Race in South China
Sea?”. IBRU Boundary and Security Bulletin July 1994, hal 39
30 Yudha Kurniawan, mengutip dari Amitav Acharya, , “Seeking Security in Dragon’s Shadow: China
and Southeast Asia in The Emerging Asian Order”, Working Paper No. 44, Singapore: Institute Defence
and Security Studies, 2003, hal 5
31 Yudha Kurniawan, mengutip dari Barry Buzan, Regions and Power: The Structure of International
Security, New York: Cambridge University Press, 2003, hal 190

Universitas Al Azhar
Indonesia

8

tersendiri bagi keutuhan internal ASEAN. Apabila keempat negara anggota
ASEAN yang memiliki konflik klaim wilayah di kawasan Laut Cina Selatan
tetap bersikukuh mempertahankan kepentingan masing-masing negara, maka
eksistensi

ASEAN

sebagai

organisasi

regional

Asia

Tenggara

akan

dipertanyakan. Oleh karena itu, inisiasi Indonesia untuk mengambil langkah
aktif dan reaktif terhadap konflik ini didukung oleh anggapan negara-negara lain
bahwa Indonesia adalah pihak yang netral. Indonesia dilihat mampu memahami
kerumitan konflik ini karena faktor geografis antara Indonesia-Laut Cina Selatan
tidak terlampau jauh.
Menurut Yudha Kurniawan, saat spektrum politik global terpolarisasi
menjadi dua blok, Indonesia perlu menegaskan posisinya sebagai sebuah negara
yang pendukung perdamaian yang tidak memihak pada salah satu blok. 32 Poin
tersebut menjadi inti dari pola kebijakan luar negeri Indonesia, yakni politik luar
negeri yang bebas aktif. Yudha Kurniawan mengatakan bahwa dalam
implementasinya politik luar negeri Indonesia dilaksanakan melalui diplomasi
yang kreatif, aktif dan antisipatif, tidak sekedar rutin dan reaktif, teguh dalam
prinsip dan pendirian, serta rasional dan luwes dalam pendekatan. 33 Akan tetapi,
bersamaan dengan berakhirnya Perang Dingin membuat adanya perubahan yang
cukup fundamental terhadap polarisasi kekuatan di dunia internasional.
Spektrum politik global tidak lagi dihadapkan pada keberpihakan terhadap blok
Barat ataupun Blok Timur, namun lebih dititikberatkan pada sejumlah isu yang
sifatnya variatif dan multisentrik.
Menanggapi fluktuasi dalam konstelasi politik global terkini, Indonesia
berdiri sebagai negara yang masih mengedepankan politik bebas aktif dalam
menyikap dinamika politik global.34 Dewasa ini, perjalanan dan peran politik
luar negeri Indonesia dalam konteks global cukup menjadi perhatian. Partisipasi
aktif Indonesia dalam berbagai persoalan-persoalan global dan regional
mendapatkan berbagai apresiasi baik di dalam maupun di luar negeri. Salah satu
32 Yudha Kurniawan, "Kontribusi Indonesia dalam Penyelesaian Konflik Laut China Selatan, Paper ini
dipresentasikan pada Konvensi Nasional Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII) II,
Bandung, 2011.
33 Yudha Kurniawan, mengutip dari uraian mengenai politik luar negeri bebas aktif, selengkapnya dapat
dilihat pada UU RI No 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan lihat juga Yanyan Mochamad
Yani, “Perspektif-Perspektif Luar Negeri: Teori dan Praksis”, diunduh dari http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2010/06/perspektif_perspektif_politik_luar_negeri.pdf, yang diakses pada tanggal 14
Juni 2011.
34 Yudha Kurniawan, "Kontribusi Indonesia dalam Penyelesaian Konflik Laut China Selatan, Paper ini
dipresentasikan pada Konvensi Nasional Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII) II,
Bandung, 2011.

Universitas Al Azhar
Indonesia

9

bukti nyata keberhasilan Indonesia adalah dengan terciptanya Declaration on
The Conduct of The Parties in the South China Sea pada tahun 2002, dianggap
sebagai salah satu implementasi dari perspektif luar negeri Indonesia yang
dikenal

dengan

“Doktrin

Natalegawa”

(Dynamic

Equilibrium)

atau

keseimbangan dinamis.35 Yudha Kurniawan menambahkan bahwa doktrin
tersebut merujuk pada suatu kondisi yang ditandai oleh hubungan antar negara
yang mengedepankan kemitraan dan berlandaskan keyakinan bahwa sangat
dimungkinkan dikembangkan suatu tatanan internasional yang baru yang
bersifat win-win dan bukan zero-sum.36
Yudha Kurniawan menambahkan bahwa perspektif dynamic equilibrium
memiliki dua termin penting. Dynamic merujuk pada dinamisme politik global.
Dalam sebuah Rapat Kerja antara Kementerian Luar Negeri dengan Komisi 1
DPR RI pada bulan Juni 2011, Marty Natalegawa selaku Menteri Luar Negeri
Indonesia memaknai dinamisme politik global sebagai sebuah hal yang selalu
terjadi. Artinya, negara-negara di dalam politik global selalu mengalami
perubahan baik dalam hal kekuasaan, kekuatan, maupun pengaruhnya. Dalam
hal ini Marty percaya bahwa dinamisme adalah suatu keniscayaan atau
“dynamism is a given”.37 Termin kedua adalah equilibrium atau keseimbangan.
Keseimbangan merujuk dimana tidak ada kekuatan yang dominan yang
berlandaskan tiga prinsip utama; common security, common stability, dan
common prosperity.38 Dengan doktrin tersebut, maka persoalan-persoalan politik
dan keamanan global yang dihadapi oleh Indonesia akan dihadapi dengan tujuan
keamanan, kestabilan dan kemakmuran bersama dengan mekanisme kerjasama.
Jika mencari titik temu antara dua konsepsi diatas, maka baik kebijakan luar
negeri bebas aktif dan Doktrin Natalegawa merupakan konsep yang sesuai
dengan amanat Konstitusi Indonesia pada UUD RI 1945 khususnya alinea ke
empat.
2.3

Upaya Indonesia Menyelesaikan Konflik di Kawasan Laut Cina Selatan

35 Yudha Kurniawan, mengutip dari Mollie Kirk, “Natalegawa: ASEAN ‘Needs Blueprint”, diunduh
dari http://asiasociety.org/policy-politics/strategic-challenges/intra-asia/natalegawa-asean-needs-blueprint.
Diakses pada tanggal 22 Juni, 2011.
36 Yudha Kurniawan, mengutip dari “Menlu RI: Hubungan Indonesia-China Berada Pada Level
Tertinggi”, Tabloid Diplomasi, No 43 Tahun IV, 15 Mei-14 Juni 2011, hal 23
37 Yudha Kurniawan, mengutip dari Mollie Kirk, “Natalegawa: ASEAN ‘Needs Blueprint”, diunduh
dari http://asiasociety.org/policy-politics/strategic-challenges/intra-asia/natalegawa-asean-needs-blueprint.
Diakses pada tanggal 22 Juni, 2011.
38 Yudha Kurniawan, mengutip dari Barry Buzan, Regions and Power: The Structure of International
Security, New York: Cambridge University Press, 2003.

Universitas Al Azhar
Indonesia

10

Dalam Lajur Diplomasi Preventif
Indonesia sebagai negara penengah yang ditunjuk untuk menangani
konflik di kawasan Laut Cina Selatan juga memiliki latar belakang tersendiri.
Keterlibatan Indonesia bukan tanpa alasan yang sifatnya strategis. Indonesia
diharuskan untuk turut terlibat demi mencapai kepentingan ekonomi nasional.
Lebih lanjut, apabila kawasan di Laut Cina Selatan dapat kembali tertib dan
bebas dari segala ancaman, maka aktivitas perdagangan dan eksplorasi alam
Indonesia di kawasan ini pun dapat berjalan lancar.39
Terlepas dari upaya Indonesia untuk mencapai kepentingan ekonomi
nasional, ancaman lain terhadap pelanggaran hukum laut, kekerasan navigasi
serta kedaulatan menjadi kepentingan lain untuk senantiasa diperjuangkan.
Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki pertimbangan bahwa apabila
terdapat kerusakan lingkungan di kawasan Laut Cina Selatan akan secara tidak
langsung turut berdampak bagi ekosistem di perairan Indonesia.40 Lain hal ketika
Indonesia berusaha melakukan sekuritisasi disekitar Laut Natunayang
berlimpah akan gas alam. Kepentingan Indonesia untuk menarik garis
perbatasan ini disebabkan oleh ancaman dari Cina , yang apabila tetap bersikeras
mempertahankan bukti historis melalui peta yang dibuat pada tahun 1947, akan
menyebabkan interupsi pada wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) serta
landas kontinen Indonesia.41
Oleh karena itu, peran Indonesia ditunjukkan melalui sejumlah
perundingan yang dibentuk diantara negara-negara yang bertikai. Salah satu
wujud upaya Indonesia adalah dengan melaksanakan South China Sea Informal
Meetings yang diadakan hampir setiap tahun.42 Signifikansi pertemuan ini
menghasikan sebuah kesepakatan antara Indonesia dan negara-negara yang
bertikai untuk mendirikan sebuah wilayah politik guna melancarkan hubungan
diplomatik dan kerjasama satu sama lain. Selain itu, usaha untuk meningkatkan
confidence building measures menjadi bagian penting disetiap agenda
pertemuan.43 Selain South China Sea Informal Meetings, upaya Indonesia juga
39 “The Spratly Islands Dispute in the South China Sea: Problems, Policies, and Prospects for
Diplomatic
Accommodation”.http://www.southchinasea.org/docs/Joyner,%20Spratly%20Islands
%20Dispute.pdf. Diakses pada Jumat, 19 April, 2013. Pukul 22.09 WIB
40 Ibid.
41 Ibid.
42 “The South China Sea Dispute: Prospects for Preventive Diplomacy”. Diunduh dari
http://www.usip.org/pubs/specialreports/early/snyder/South_China_Sea1.html. Diakses pada Jumat, 19
April, 2013. Pukul 22.56 WIB
43 Ibid.

Universitas Al Azhar
Indonesia

11

diwujudkan dalam sejumlah perundingan damai lainnya, seperti Technical
Working Groups (TWGs), Groups of Experts (GEs) dan Study Groups (SGs).44
Penggunaan mekanisme diplomasi preventif memberikan pengaruh yang
cukup determinan dalam penyelesaian konfilik secara damai. Negara-negara
terkait menyadari bahwa konfrontasi militer yang dilakukan sebelumnya hanya
akan berdampak buruk bagi semua pihak serta anggaran biaya yang terlalu besar.
Sebagai negara yang memprakarsai pola interaksi second track diplomacy dalam
upaya penyelesaian konflik di kawasan Laut Cina Selatan, partisipasi Indonesia
diakui dunia internasional sebagai pihak aktif dalam mencari celah konsolidasi
politik dan menyerukan arti penting kawasan Laut Cina Selatan yang tidak
hanya dianggap signifikan bagi negara-negara yang berada di wilayah sekitarnya
melainkan turut dirasakan demikian bagi dunia internasional.45

BAB III
KESIMPULAN
44 Ibid.
45 Ibid.
Universitas Al Azhar
Indonesia

12

Konflik di kawasan Laut Cina Selatan merupakan konflik yang cukup
rumit. Dengan melibatkan enam negara beserta kepentingan masing-masing
negara menyebabkan tingkat kompleksitas konflik ini semakin tinggi. Hal ini
turut berpengaruh pada kompleksitas keamanan regional, dalam hal ini ASEAN
sebagai organisasi tunggal di kawasan Asia Tenggara tampil sebagai lahan
representatif bagi empat negara anggota ASEAN yang terlibat. Walaupun
Indonesia tidak secara langsung terlibat, namun potensi ancaman dari konflik ini
tetap harus dihadapi Indonesia. Argumen ini didasarkan pada asumsi bahwa
konflik yang terjadi disebuah kawasan dapat menimbulkan suatu instabilitas
keamanan pada wilayah lain karena adanya suatu interdependensi antara satu
kawasan dengan kawasan lainnya.
Perspektif baru kebijakan luar negeri dynamic equilibrium menjadi
preferensi Indonesia untuk menjawab berbagai persoalan yang muncul
sehubungan dengan konflik di kawasan Laut Cina Selatan. Tidak hanya melalui
politik luar negeri yang bebas aktif dan perspektif dynamic equilibrium yang
dapat dipromosikan oleh Indonesia. Lebih jauh, Indonesia memiliki berbagai
preferensi dalam menjawab tantangan persoalan di kawasan Laut Cina Selatan
melalui jalur diplomasidiplomasi preventif Indonesia.
Diplomasi menjadi tonggak penting dalam pencapaian kepentingan
nasional sebuah negara. Bagi Indonesia, dinamika politik global yang dinamis
dan fluktuatif harus mampu dihadapi dengan strategi kalkulatif, salah satunya
dalam bentuk diplomasi preventif. Wujud diplomasi preventif dan upaya yang
Indonesia impelentasikan dalam konflik di kawasan Laut Cina Selatan adalah
dengan menjaga perdamaian dan mengubah potensi konflik menjadi potensi
kerjasama melalui sejumlah perundingan damai demi terselenggaranya
kerjasama yang aktif, produktif dan efektif bagi negara-negara terkait dan
tatanan dunia global.

Universitas Al Azhar
Indonesia

13

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Upaya mengurangi kecemasan belajar matematika siswa dengan penerapan metode diskusi kelompok teknik tutor sebaya: sebuah studi penelitian tindakan di SMP Negeri 21 Tangerang

26 227 88

Pengaruh mutu mengajar guru terhadap prestasi belajar siswa bidang ekonomi di SMA Negeri 14 Tangerang

15 165 84

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111