ANALISIS STILISTIKA WACANA TERJEMAHAN RESMI NASKAH PRASASTI PLUMPUNGAN (KAJIAN HISTORIS)

ANALISIS STILISTIKA WACANA TERJEMAHAN RESMI NASKAH PRASASTI PLUMPUNGAN (KAJIAN HISTORIS)

Hristina Nikolic

Dragoljuba Milovanovica Bene 47, 3400 Kragujevac, Serbija, Montenegro email: hristina.nicolic@gmail.com

ABSTRACT

This article mainly deals with the Plumpungan manuscript discourse, an ancient

stone inscription found in the Salatiga area. The manuscript dates back to the 8 th century and is one of the main historical sources of the Salatiga municipality. There is

a tight connection involving the above mentioned inscription with the legitimacy of the Javanese court at that time, as well as with the monarch, who was seen as half- man, half-deity. The monarch drew on the labor of his subjects in maintaining reli- gious sites to ensure his place on earth, and in heaven. The Plumpungan manuscript was a ‘legal document’ used to reassure inhabitants of the area that the monarch is the legitimate ruler, and to prevent further revolt. The monarch’s subjects in the Salatiga area at the time were farmers disheartened with high taxes and the fear of volcanic eruptions, which later caused great migrations to East Java. Consequently, the mon- arch, using the Plumpungan manuscript as a medium, decreed that the Hampra vil- lage (present-day Salatiga) become a tax-free area due to the excellent care that its citizens provided for the religious sites, in addition to the obeisance shown to the monarch. It becomes clear, however, that all the way through the discourse analysis, the king wanted to ensure his legitimacy. Socio-historical context confirms that the monarch, Bhanu, was a successful ruler who held power over four regions, analogi- cally with Indra, the king of all deities. Discourse analysis is detained under three main dimensions, which is grammatical, lexical and contextual, unified from be- ginning to end in a particular style that reveals genuinely hidden meaning.

Key words: manuscript, Plumpungan, kodikologi, dan analisis stilistika.

1. Pendahuluan

disebut aspek gramatikal wacana, sedangkan

segi makna atau struktur batin wacana disebut Wacana adalah satuan bahasa terlengkap aspek leksikal wacana (Sumarlam, 2003: 23). yang dinyatakan secara lisan seperti pidato, Sumarlam (2003: 54) menyatakan bahwa ceramah, khotbah, dan dialog, atau secara ter- analisis wacana seyogyanya diawali dengan tulis seperti cerpen, novel, buku, surat, dan do- pemahaman terhadap konteks kultural dan kumen tertulis, yang dilihat dari struktur lahirnya situasi, maupun dengan konteks linguistik, fisik, (dari segi bentuk) bersifat kohesif, saling terkait epistemis dan sosial. Selanjutnya wacana dan dari struktur batinnya (dari segi makna) dideskripsikan secara gramatikal dan leksikal, bersifat koheren, terpadu (Sumarlam, 2003: lalu analisis komprehensif sebaiknya diakhiri 15). Segi bentuk atau struktur lahir wacana dengan interpretasi holistik mengenai konteks

1.1 Wacana

Analisis Stilistika Wacana Terjemahan Resmi ... (Hristina Nikolic)

kultural sebagai sumber makna, konteks situasi wacana sebagai pembatas makna, dan des- kripsi kohesi gramatikal dan leksikal sebagai realisasi maknanya (Riyadi Santosa dalam Sumarlam, 2003: 54).

Makalah ini membahas stilistika wacana Prasasti Plumpungan yang terletak di wilayah Salatiga dan berupa sumber sejarah kota ter- sebut. Berdasarkan bahasa dan media yang dipakai, wacana ini menggunakan bahasa Jawa Kuna. Berdasarkan ragam bahasa yang digu- nakan, wacana prasasti ini berupa wacana ra- gam baku, karena ditulis oleh seseorang citra- loka atas permintaan seorang raja. Berdasar- kan sifat atau jenis pemakaiannya, wacana ini berupa wacana monolog, karena disampaikan oleh seorang diri tanpa melibatkan orang lain untuk ikut berpartisispasi secara langsung, yaitu sering disebut komunikasi tidak interaktif (Sumarlam dkk, 2003: 17). Berdasarkan ben- tuknya termasuk wacana prosa.

Berdasarkan cara dan tujuan pemaparan- nya, wacana Prasasti Plumpungan berupa kombinasi wacana narasi, deskripsi dan argu- mentasi. Pertama wacana narasi, atau pence- ritaan/ penuturan mementingkan urutan waktu, dan dituturkan oleh persona ketiga (seorang citraloka) dalam waktu tertentu, berorientasi pada pelaku (Raja Bhanu) dan seluruh bagian- nya diikat secara kronologis (terjadi pada hari tertentu, pada jam tertentu, demi agama, dengan persetujuan Tuhan, diberikan kepada rakyat agar ‘bahagia’). Kedua, termasuk wacana deskripsi karena bertujuan melukiskan/ menggambarkan sesuatu menurut apa adanya, yaitu suatu daerah secara resmi ditetapkan sebagai daerah perdikan, oleh raja demi Tuhan dan rakyat. Ketiga, wacana Prasasti Plum- pungan juga sebagian berupa wacana argu- mentasi karena berisi ide/ gagasan mengenai kesetiaan rakyat kepada raja terbukti (dalam hal mengikuti agama dan peraturan), maka sistem perpajakan di daerah mereka akan diringankan di dunia ini sehingga ‘berbahagia’, serta menemukan hidup abadi di dunia rohani.

1.2 Filologi: Teks dan Tradisi Teks

Filologi membedakan pengertian teks dan naskah, karena naskah ditentukan sebagai benda material tempat suatu teks dituliskan (Sudardi, 2003: 9), sedangkan teks ditentukan sebagai sesuatu yang tertulis yang berupa kode-kode bahasa (Sudardi, 2003: 9). Objek penelitian filologi adalah teks-teks masa lampau yang tertulis di atas naskah. Kajian filologi dibantu berbagai ilmu pengetahuan, di an- taranya kodikologi. Kodikologi di Indonesia diartikan sebagai ilmu tentang naskah atau ilmu pernaskahan. Kodikologi antara lain membi- carakan sejarah naskah, tempat penyimpanan naskah, tempat penulisan atau penyalinan naskah (skriptorium), perdagangan atau persewaan naskah, dan cara penyusunan katalog.

Proses penulisan naskah diartikan sebagai salah satu tanda budaya “berkelas” paling tinggi pada masa lalu di Indonesia. Penulisan naskah menunjukkan kemampuan intelektual, kemam- puan ekonomi, dan waktu luang (karena sebelum cetakan batu ditemukan, reproduksi naskah dilakukan dengan menyalin ulang dalam tulisan tangan). Bahkan, ditemukan indikasi adanya keahlian spesialisasi pada orang-orang tertentu dalam penulisan atau penyalinan naskah, sebagaimana ada orang-orang tertentu dengan spesialisasi penulisan silsilah, misalnya. Ada pula standar tertentu yang harus dipenuhi seorang penyalin. Kegiatan “perdagangan” naskah, semacam sanggar penulisan dengan spesialisasi tertentu, menunjukkan kegairahan penulisan naskah di Indonesia pada masa kerajaan dan kesultanan. Selain itu, koleksi naskah juga memberikan prestige tersendiri untuk (para) pemiliknya.

Sekitar 2000 tahun yang lalu tradisi tulis dimulai dalam masyarakat Jawa (tulisan-tulisan dalam bahasa Sanskerta). Tradisi tulis terus mengalami perubahan dari abad ke abad. Penyalinan naskah berbahasa Jawa terjadi di mana-mana di wilayah masyarakat Jawa dan diturunkan dari generasi ke generasi, terutama

Kajian Linguistik dan Sastra, Vol. 20, No. 2, Desember 2008: 88-107

di kerajaan-kerajaan Jawa. Banyaknya pe- kata sangat dominan dalam kajian stilistika. ninggalan naskah sampai saat ini membuktikan Dalam bahasa Jawa, manipulasi kata disebut bahwa kegiatan penyalinan naskah di masa lelewaning basa (gaya bahasa) dan dari lampau sering dilakukan. Naskah-naskah Jawa manipulasi tersebut kemudian terbentuk sebuah sekarang masih banyak dijumpai di berbagai fenomena yang disebut sebagai gaya bahasa tempat, serta dalam koleksi-koleksi pribadi. (style). Studi-studi mengenai tradisi naskah Jawa

Setiap bahasa yang digayakan memiliki memperlihatkan jumlah naskah serta variasi corak dan warna tersendiri. Hal tersebut diaki- topik yang terkaya di Asia Tenggara. Penya- batkan oleh adanya autonomy of the aesthetic linan naskah sampai sekarang masih dapat dalam sebuah bahasa. Bahasa yang mempu- dijumpai di pulau Bali.

nyai kelebihan dibandingkan dengan bahasa Nama penulis, penyalin atau penggubah lainnya, tetapi kelebihan dan kekurangan ter- suatu teks terkadang disebutkan sehingga ada sebut tidak harus dipertentangkan, karena beberapa nama yang muncul, tetapi sebagian setiap bahasa mempunyai kekhasan sendiri- besar tidak dicantumkan nama. Nama sendiri. penggubah naskah jarang dapat dijumpai serta

Stilistika adalah ilmu pemanfaatan bahasa jarang adanya pemrakarsa penggubahan teks. dalam karya sastra. Untuk memahami lebih Akan tetapi, beberapa nama pemrakarsa jauh mengenai stilistika terlebih dahulu dipa- penggubahan dan nama penggambar (pe- parkan pengertian gaya bahasa, yang menjadi nyungging) juga muncul. Kolofon dan informasi dasar konsep stilistika bahasa tersebut. Gaya lain yang sehubungan dengan kepemilikan, bahasa (Enkvist dalam Sayuti dalam Endras- tempat dan waktu penyalinan sangat penting wara, 2003: 72) mempunyai enam pengertian. bagi para peneliti teks.

1. Bungkus yang membungkus inti pemikiran Filologi, kodikologi, dan epigrafi sangat

atau pernyataan yang telah ada sebelumnya; penting bagi ilmu historiografi dan penyusunan

2. Pilihan diantara beragam pernyataan yang sejarah, khususnya dalam arti mengusir kabut

mungkin;

yang berada di atas informasi esensial mengenai

3. Sekumpulan ciri kolektif; bangsa-bangsa dan umat manusia. Melalui

4. Penyimpangan norma atau kaidah; analisis suatu naskah sejarah dapat dibuka

5. Sekumpulan ciri pribadi; kotak perhiasan mewah yang berisi pernak-

6. Hubungan antara satuan bahasa yang pernik kebudayaan, adat-istiadat, sistem

dinyatakan dalam teks yang lebih luas hukum, hidup dan kejayaan para leluhur.

daripada sebuah kalimat.

Dari keenam pengertian gaya bahasa Segala jaman menunjukkan penggunaan tersebut yang paling penting adalah memahami bahasa yang terkadang tidak sesuai dengan gaya bahasa sebagai style as choise, style as aturan yang sudah dibakukan, maka apabila meaning , dan style as tension between mea- mengkaji masalah stilistika selalu ada keter- ning and form . Pradopo dalam Endraswara kaitannya dengan linguistik. Bahasa yang (2003: 72) mengatakan bahwa nilai seni sastra dibakukan dan diseragamkan mesti masuk ditentukan oleh gaya bahasanya. Kemahiran dalam kajian sejenis ini. Penggunaan bahasa seorang sastrawan bermain stilistika akan pada tataran stilistika berpusat baik pada sisi menentukan kepiawaian estetikannya Terlepas keindahan maupun sisi linguistik. Keindahan dari itu semua, sebenarnya gaya bahasa sastra disusun dan diurutkan dengan bahan dasar adalah ragam khusus yang digunakan penga- bahasa. Pemilihan kata dan pendayagunaan rang untuk memperindah teks.

1.3 Stilistika

Analisis Stilistika Wacana Terjemahan Resmi ... (Hristina Nikolic)

Secara garis besar, gaya bahasa sastra mandang gaya sebagai system linguis- dapat digolongkan menjadi dua, yaitu stilistika

tic yang khas.

deskriptif dan stilistika genetis.

2. Mempelajari sejumlah ciri khas yang

1. Stilistika Deskriptif membedakan satu sistem dengan sistem Stilistika deskriptif mendekati gaya

lain dengan tujuan mencari penyimpanan bahasa sebagai keseluruhan ekspresi

dan deviasi pemakaian bahasa dalam suatu kejiwaan yang terkandung dalam suatu

karya sastra untuk menemukan estetikanya bahasa dan meneliti nilai-nilai ekspre-

dan perbedaan dengan sistem linguistik sivitas khusus yang terkandung dalam

dalam bahasa khas pengarang tertentu. suatu bahasa, yaitu secara morfologis, sintaksis, dan semantis.

Dari beberapa teori dan penjelasan di atas

2. Stilistika Genetis dapat disimpulkan bahwa kajian stilistika Stilistika genetis adalah gaya bahasa in- hendaknya sampai pada dua hal, yaitu makna dividual yang memandang gaya bahasa dan fungsi. Makna dicari melalui penafsiran sebagai suatu ungkapan yang khas pri- yang dikaitkan dengan keseluruhan karya, badi. Gaya bahasa sering menjadi faktor sedangkan fungsi dapat dilihat dari peranan penentu diterimanya sebuah karya oleh stilistika dalam membangun karya. publik penikmatnya maupun kritikus.

1.4 Historiografi: Sumber-sumber Seja-

Selain dua golongan tersebut, penelitian

rah Indonesia

stilistika dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu : Historiografi merupakan proses penulisan

1. Dilihat dari sudut penulis; dengan meli- sejarah yang sering dibantu beranekaragam hat dari sudut penulis terdapat sebuah metode penelitian sejarah. Dalam setiap bentuk pelajaran mengenai kedalaman penulis penulisan sejarah ada seninya karena tulisan- dalam menampilkan gaya bahasa. Ada- tulisan mengenai suatu fakta sejarah pasti pun penulis yang memiliki gaya pribadi berbeda-beda dan sangat tergantung pada dan khas, dan ada pula penulis yang pengarang masing-masing. Seni dalam tulisan mencoba meniru gaya bahasa orang lain. sejarah bersifat subjektif. Sejarah objektif

2. Dilihat dari ciri teks sastra; mempelajari merupakan fakta tersendiri, yaitu peristiwa dan mengkategorikan gaya bahasa yang sebagaimana terjadi dan tidak mungkin terjadi ditemukan dalam teks.

kembali. Akan tetapi, apabila sejarah sudah ada

3. Gaya yang dihubungkan dengan kesan dalam tulisan pasti ada subjektivitas. yang diperoleh dari audience: gaya

Sejarah adalah cerita yang disampaikan semacam ini adalah asumsi pembaca yang kepada seseorang tentang fakta atau peristiwa mengarah ke faktor resepsi.

tertentu dan sangat tergantung pengarangnya. Kadang karya sastra, sebuah teks di atas

Terdapat dua macam pendekatan dalam naskah bisa dijadikan sejarah, namun seha- menilai sebuah fenomena stilistika, yaitu rusnya teks tersebut digunakan hanya untuk dipaparkan sebagai berikut.

merekonstruksi sejarah. Sejarah direkonstruksi

1. Dimulai dengan analisis sistematis tentang melalui tulisan pengarang, karena pengarang sistem linguistik karya sastra, kemudian selalu terkait dengan konteks sosial-budaya di dilanjutkan dengan interpretasi tentang sekitarnya. Hal yang perlu disebut adalah sifat ciri-ciri sastra, interpretasi yang dimak- karya sejarah (murni) yang selalu pasif, dalam sudkan tersebut diarahkan ke dalam se- arti tidak boleh muncul dalam bentuk dialog buah makna yang menyeluruh yang me- atau komunikasi interpersonal.

Kajian Linguistik dan Sastra, Vol. 20, No. 2, Desember 2008: 88-107

Historiografi di Indonesia dibagi tiga, yaitu: Pembahasan ini dibatasi pada analisis (1) Historiografi Tradisional, (2) Historiografi wacana dan stilistika wacana dalam historiografi Kolonial, dan (3) Historiografi Nasional.

tradisional berdasarkan masa penciptaannya Dari sisi lain, subjektivitas historiografi, naskah yang dikaji. Bagaimanapun, historiografi pada umumnya, ada empat jenis, yaitu waktu, dimulai dari sumber-sumber sejarah seperti kelompok, pribadi, dan filsafat.

prasasti-prasasti serta naskah-naskah kuno

1. Subjektivitas waktu, yaitu kapan saja yang dapat berisi kebenaran sejarah. sebuah teks atau sumber sejarah yang lain dibuat, disimpan, diterbitkan, digunakan

1.5. Hukum dalam Sejarah: Sî lçges

dan diperoleh peneliti. neglegerentur, nec civ ĭ tas esset, nec

2. Subjektivitas kelompok, yaitu siapa yang

commun ta

menulis sebuah teks, sebab setiap kelom- Dalam negara-negara kuno maupun mo- pok mempunyai ciri khas dan alasan- dern, institusi peradilan disusun atas dasar alasan masing-masing.

aturan-aturan dengan tujuan memelihara hukum

3. Subjektivitas pribadi, yaitu hal seputar dan ketertiban. Masyarakat mengenal lembaga kepribadian, situasi, dan posisi pengarang. peradilan hanya sebagai pelaksanaan hukum,

4. Subjektivitas filsafat yang dianut oleh walaupun cakupan lembaga-lembaga hukum pengarang.

itu luas sekali. Dibandingkan dengan proses- proses sosial yang terjadi dalam suatu masya-

Pembahasan ini difokuskan ke historio- rakat, proses hukum tidak terlalu jelas. Studi grafi tradisional, karena di dalamnya terdapat perbandingan tentang umat manusia, manyata- unsur sejarah, yang akhirnya menjadi landasan kan bahwa setiap masyarakat harus mempu- sejarah murni namun masih bersifat lokal, nyai sistem yang disebut hukum. Fungsi-fungsi lokalosentris, “kerajaan sentris” serta berdasar- dijalankan oleh lembaga hukum dalam masya- kan atas naskah tertulis di atas sebuah batu. rakat untuk pemecahan konflik, penyelesaian Historiografi pada umumnya, harus mulai dari perselisihan, hukuman untuk pelangaran dll. tradisi karena tidak ada peninggalan tulisan Setiap proses yang bertujuan seperti ini dalam sejarah murni, melainkan historiografi dimulai masyarakat manapun disebut sebagai hukum. dari sumber-sumber sejarah seperti prasasti-

Sejarah bukan perhatian terhadap masa prasasti dan naskah-naskah kuno.

lampau, melainkan sejarah harus didefinisikan Menurut Damais (dalam Soedjatmoko sebagai peristiwa yang terjadi pada masa dkk.; 1995), masih banyak bahan-bahan yang silam, maka pengetahuan mengenai peristiwa merupakan sumber asli sejarah Indonesia, tetapi masa silam merupakan pengetahuan kese- umumnya dipilah menjadi tiga kelompok besar. jarahan. Sejarah yang dekat mungkin bisa

1. Prasasti-prasasti yang berupa piagam- didasarkan atas pengalaman pribadi, penga- piagam dalam bahasa Sanskerta, Jawa laman masyarakat dan dokumentasi yang ada. Kuna, Sunda Kuno, Melayu Kuno dan Perubahan-perubahan dalam sejarah serta Bali Kuno serta beberapa dokumen dalam hukum sedunia dalam era teknologi ini. Masa bahasa India yang ditemukan di Sumatra; lampau atau sejarah dapat menggunakan

2. Naskah-naskah kuno yang dibuat dari pengalaman pribadi, tetapi harus memfokuskan daun lontar yang sekarang berada di diri pada bukti-bukti seperti artefak, catatan- Jawa, Bali, dan Sunda;

catatan semasa, naskah-naskah kuno serta

3. Sumber-sumber luar negeri, seperti dokumentasi yang ada. Dalam pengertian ini naskah-naskah Cina Kuno, dokumen- tidak dapat dibedakan metodologi historiografi dokumen India dan Islam.

Analisis Stilistika Wacana Terjemahan Resmi ... (Hristina Nikolic)

yang baru (recent) dengan metodologi his- toriografi pada masa silam (remote). Semua sejarah, pada akhirnya, bersifat kontemporer. Masa lampau tetap merupakan sesuatu yang nyata. Sejarah, dalam pengertiannya paling luas, mecakup jenis-jenis budaya masa lampau dan masa sekarang. Berdasarkan tipe, dapat berupa cerita hronologis dan naratif, ataupun fungsional-evolusioner. Sejarah fungsional- evolusioner dapat menjelaskan cara kerja sistem-sistem konkret seperti hukum, tata negara dsb.

Unsur-unsur penting yang terdapat dalam naskah Prasasti Plumpungan ini sangat relevan bagi para peneliti sistem-sistem sosial. Oleh karena itu, sangatlah logis apabila suatu bangsa memiliki hukum atau undang-undang tertulis, itu berarti bahwa tingkat kebudayaan- nya serta perkembangannya dalam bentuk kerajaan, kesultanan, atau pun negara pasti maju. Dewasa ini dijumpai sejumlah bangsa yang belum memiliki sistem hukum tertulis, maka dapat dibayangkan situasinya di dunia dalam bidang ini pada abad VIII. Oleh karena sejarah mencakupi jenis-jenis budaya, sedangkan kompleks budaya bergantung pada faktor-faktor psikis, “maka segala regularitas atau keseragaman proses mencerminkan keseragaman proses mental ” (Kaplan 2002: 97). Itulah sebabnya, regularitas budaya, mau- pun hukum bersifat psikologis. Begitu pula, suatu bangsa dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya tidak terlepas dari hukum alam juga yang menghasilkan budaya, maka yang diciptakan adalah adat-istiadat dan seterusnya.

Secara historis, melalui naskah Prasasti Plumpungan dapat diperoleh gambaran suasana sosial dan politis pada masa kejayaan Kerajaan Jawa Tengah. Di samping itu, terdapat juga gambaran sistem pajak pada umumnya (sistem administrasi yang meminta pajak kepada rakyat mulai dari kelahiran sampai kematian) dalam setiap situasi dan kehidupan sehari-hari. Kerajaan mendapatkan

untung dari setiap perbuatan rakyat sehingga sistem aturan kerajaan jelas merupakan feodalisme.

2. Pembahasan

2.1 Konteks Sosio-kultural-historis

seputar Prasasti Plumpungan

2.1.1 Kerajaaan Hindu-Budha di Indone- sia Sampai Abad X

Keberadaan kerajaan Hindu di Jawa dapat dibuktikan melalui prasasti-prasasti, misalnya bukti tertua ditemukan di pantai selatan Jawa Barat (daerah Cisadane yang terletak sekitar 60 km dari Jakarta Selatan). Bukti kedua ditemukan di Pantai Kalimantan Timur, Kacamatan Muara Kuntan, Kabupaten Kutai. Pada prasasti ini tidak ditemukan tanggal penulisan, namun terdapat bentuk dan gaya bahasa khas “Hindia Selatan”. Prasasti tersebut adalah deskripisi upacara-upacara raja untuk merayakan inagurasi dan irigasi, serta upacara- upacara religius di abad IV. Raja-raja waktu itu adalah orang Indonesia yang menggunakan nama dan gaya hidup yang sesuai dengan agama Hindu. Mereka menyebarkan kebudayaan Hindu kepada masyarakat, biasanya dilakukan dengan bantuan Brahmana India yang mena- sehati dan mengajarkan ritual-ritual di pemerin- tahan yang mendukung hierarki negara di ba- wah raja yang dianggap suci. Kebudayaan serta kepercayaan tersebut berada dan berkembang di istana. Mulanya, hanya anggota-anggota istana yang menganut agama Hindu, sedangkan masyarakat umum masih menganut animisme dan dinamisme.

Kerajaan-kerajaan di Indonesia biasanya dibagi atas dua jenis. Pertama, kerajaan yang berada di tepi pantai dengan pelabuhan sebagai pusat perdagangan internasional, misalnya kerajaan Sriwijaya. Bangunan-bangunan di Sriwijaya umumnya dibangun dengan meng- gunakan kayu dan bambu, namun iklim tropis lama-kelamaan menghancurkan bangunan tersebut. Tipe kedua adalah kerajaan Hindu yang berada di pedalaman pulau, dalam daerah

Kajian Linguistik dan Sastra, Vol. 20, No. 2, Desember 2008: 88-107

yang kaya dataran tinggi di antara kompleks gunung berapi, dan di daerah sekitar sungai- sungai di pulau Jawa. Pusat-pusat kerajaan tersebut terdiri dari beberapa istana dan kom- pleks perumahan biasa, yang terbuat dari kayu sementara candi-candi dan kuil-kuil dibuat dari batu karena berupa tempat tinggal dewa. Bangunan yang terbuat dari bahan batu masih ada sampai sekarang. Setiap kota memiliki beberapa kompleks candi yang dipercaya sebagai tempat kekuatan para dewa. Pendu- duk atau masyarakat yang tinggal di sekitar candi diperintah oleh raja untuk memelihara dan melakukan upacara-upacara religius di candi yang ada dan akan diberi imbalan berupa pembebasan pajak, sehingga desa itu disebut sebagai desa merdeka atau mardekan.

Kerajaan-kerajaan tipe kedua ditempati oleh raja yang dianggap suci. Raja tersebut mempunyai empat bagian kerajaan yang ada di luar kerajaan utama, dan dipimpin oleh keempat orang wakilnya yang bertanggung- jawab pada raja utama. Bentuk kerajaan tipe ini dikatakan mewakili bentuk kerajaan yang ada di dunia dewa, dan berpusat di Mahameru, yang ditempati oleh Indra (raja semua dewa), dan mempunyai empat kerajaan yang ada di sekitarnya. Setiap raja tersebut dianggap sebagai reinkarnasi (samsara) dari dewa yang dipuja. Setiap raja diyakini memiliki kesaktian yang akan diturunkan pada keluarga dan para pengikutnya. Kesaktian para raja bertambah bila dia bertapa dan melakukan ritual ke- agamaan di candi, sehingga candi-candi ter- sebut harus diurusi secara cermat.

Contoh kerajaan tipe kedua adalah Kerajaan Mataram. Salah satu raja Mataram yang terkenal adalah raja Sanjaya yang menguasai seluruh wilayah Jawa Tengah pada awal abad VIII. Bukti-bukti peninggalannya dapat dijumpai pada kompleks candi Dieng yang dipercaya memuja Dewa Siwa. Candi- candi tersebut merupakan bangunan pertama dari candi-candi lainnya yang ada di Jawa Tengah pada abad VIII. Pada pertengahan

abad itu Kerajaan Sriwijaya dan Mataram dipimpin oleh Dinasti Sailendra yang merupa- kan penganut Budha Mahayana. Pada masa dinasti ini dibangun candi Borobudur, terkenal akan stupa agung Budha Mahayana. Pada akhir abad VIII Dinasti Sailendra hanya mengontrol kerajaan-kerajaan di pulau Suma- tra sehingga bagian kerajaan di Jawa terpisah dan kembali ke ajaran Siwa. Hal ini ditandai dengan dibangunnya kompleks candi Prambanan pada abad IX.

Masyarakat yang hidup pada akhir abad

VIII adalah masyarkat petani yang terbebani dengan adanya penarikan pajak dalam jumlah besar dan aktivitas gunung berapi yang menimbulkan ketakutan. Hal ini menyebabkan migrasi, yaitu masyarakat dalam jumlah besar pindah ke Jawa Timur.

2.1.2 Prasasti Plumpungan sebagai Sumber Sejarah Salatiga

Terdapat beberapa sumber sejarah mengenai asal-asul Salatiga, baik yang berasal dari cerita rakyat atau prasasti, maupun hasil penelitian yang membahas secara rinci sejarah kontemporer. Situs resmi pemerintah kota Salatiga memberi banyak informasi mengenai sejarah kota tersebut. Di antara beberapa sumber sejarah kota Salatiga, yang dijadikan dasar untuk cerita asal-usul kota tersebut adalah Prasasti Plumpungan. Hari Jadi Kota Salatiga dibakukan berdasarkan informasi yang terdapat dari naskah prasasti ini. Pada tanggal

24 Juli tahun 750 Masehi (yang ditetap-kan dengan Peraturan Daerah Tingkat II Sala-tiga Nomor: 15 Tahun 1995; Tentang Hari Jadi Kota Salatiga ) sebuah daerah baru yang dinamakan Hampra diresmikan di Jawa. Ter- dapat tiga sumber sejarah kota Salatiga, yaitu prasasti Plumpungan, dokumen-dokumen dari zaman Penjajahan, dan sumber dari zaman Ke- merdekaan. Kajian ini akan membahas naskah kuno Prasasti Plumpungan.

Cerita mengenai kelahiran kota Salatiga tertulis atas batu berukuran besar berjenis andesit

Analisis Stilistika Wacana Terjemahan Resmi ... (Hristina Nikolic)

berukuran panjang 170 cm, lebar 160 cm Masehi. Naskah tersebut ditulis oleh seorang dengan lingkaran sepanjang 5 meter yang secara Citraleka ( sekarang dapat disebut penulis, umum dikenal sebagai Prasasti Plumpungan. penggarap naskah atau pujangga) yang dibantu Prasasti tersebut berada di Desa Beringin (4 km oleh sejumlah pendeta (resi) dan ditulis dalam dari kota Salatiga; Lattitude: 7°18’25.32"S, bahasa Jawa Kuno. Dimulai dengan kalimat Longitude : 110°30’46.02"E), Dukuh Plum- Srir Astu Swasti Prajabyah yang berarti pungan, Kelurahan Kauman Kidul, Kecamatan Semoga Bahagia, Selamatlah Rakyat Sidorejo. Berdasarkan isi naskah batu tersebut, Sekalian . Salatiga sudah ada sejak tahun 750 Masehi, yang pada saat itu merupakan wilayah Perdikan

2.2 Naskah Prasasti Plumpungan

(wilayah merdeka, atau bebas pajak).

2.2.1 Naskah Prasasti Plumpungan dalam

J. G. de Casparis (sejarawan dan ahli

Bahasa Jawa Kuna

epigrafi) mengalihkan tulisan yang terdapat di 1. //Srir = astu swasti prajabyah saka- atas prasasti Plumpungan secara lengkap, dan

kalatita 672/4/31/..(..) kemudian tulisan tersebut disempurnakan oleh 2. Jnaddyaham //O// R. Ng. Poerbatjaraka. Prasasti Plumpungan 3. //dharmmartham ksetradanam yad =

berisi ketetapan hukum tetang status tanah udayajananam yo dadatisabhaktya perdikan atau swatantra bagi suatu daerah yang 4. hampragramam triaramyamahitam =

dahulu dinamakan Hampra, dan yang kini anumatam siddhadewyasca tasyah bernama Salatiga. Tidak setiap daerah kekua- 5. kosamragrawalekhaksarawidhiwi

saan bisa dijadikan daerah Perdikan pada masa dhitam prantasimawidhanam itu, maka pemberian status ini adalah hak yang 6. tasyaitad = bhanunamno bhuwi bhatu

istimewa yang diberi oleh seorang raja kepada yaso jiwitamcatwa nityam rakyat yang telah berjasa kepada raja dalam melakukan pemeliharaan tempat ibadah serta

2.2.2 Terjemahan Resmi Naskah Prasasti

perkembangan agama Hindu. Penetapan yang

Plumpungan dalam Bahasa Indone-

ditulis di prasasti Plumpungan dapat diartikan

sia

sebagai titik tolak berdirinya daerah Hampra 1. Semoga bahagia ! Selamatlah rakyat secara resmi sebagai daerah Perdikan.

sekalian ! Tahun Saka telah berjalan 672/ Istilah perdikan dapat diartikan

4/31 (24 Juli 760 M) pada hari Jumat sebagai suatu daerah dalam kerajaan tertentu 2. tengah hari yang dibebaskan dari segala kewajiban 3. Dari beliau, demi agama untuk kebaktian

pembayaran pajak atau upeti karena memiliki kepada yang Mahatinggi, telah meng- kekhususan tertentu. Status perdikan tersebut

anugerahkan sebidang tanah atau taman, diberikan kepada desa atau daerah yang benar-

agar memberikan kebahagiaan kepada benar berjasa kepada seorang raja. Para

mereka sejarawan memperkirakan bahwa masyarakat 4. yaitu desa Hampra yang terletak di

Hampra telah berjasa kepada Raja Bhanu. wilayah Trigramyama (Salatiga) dengan Raja Bhanu adalah seorang raja besar yang

persetujuan dari Siddhdewi (Sang Dewi sangat memperhatikan rakyatnya, dan yang

yang Sempurna atau Mendiang) berupa memiliki daerah kekuasaan meliputi sekitar

daerah bebas pajak atau perdikan Salatiga, Kabupaten Semarang, Ambarawa 5. ditetapkan dengan tulisan aksara atau

dan Kabupaten Boyolali. prasasti yang ditulis menggunakan ujung Prasasti Plumpungan diperkirakan dibuat

mempelam

pada hari Jumat, tanggal 24 Juli tahun 750

Kajian Linguistik dan Sastra, Vol. 20, No. 2, Desember 2008: 88-107

Foto Prasasti Plumpungan

Analisis Stilistika Wacana Terjemahan Resmi ... (Hristina Nikolic)

6. dari beliau yang bernama Bhanu. (dan tunggal, mengacu ke Siddhadewi mereka) dengan bangunan suci atau candi

dalam bentuk endofora kata- ini. Selalu menemukan hidup abadi

foris; ‘mereka’, orang III jamak, endofora anaforis, mengacu ke

2.3 Analisis Wacana Prasasti Plum-

rakyat;

pungan

3) Pada baris f. ‘beliau’, orang III

2.3.1 Aspek Gramatikal Wacana Prasasti

tunggal, mengacu ke Bhanu, en-

dofora kataforis; ‘mereka’, orang Analisis wacana secara gramatikal adalah

Plumpungan

III jamak, berupa endofora ana- dimensi pertama dalam analisis teks wacana

foris, mengacu ke rakyat yang yang dilaksanakan melalui kajian (a) penga-

telah disebut pada baris a. cuan (reference), (b) penyulihan (substitu-

2) Demonstratif atau kata ganti penun- tion ), (c) pelesapan (ellipsis), dan (d) perang-

juk dibedakan atas pronomina tem- kaian (conjunction).

poral (pronomina demonstratif waktu

1. Pengacuan/ referensi adalah suatu jenis waktu) yang mengacu pada waktu kohesi gramatikal yang berupa satuan

kini, lampau, yang akan datang atau lingual tertentu yang mendahului atau

netral, dan pronominal lokasional mengikutinya. Bila pengacuan terdapat

(pronomina demonstratif tempat) dalam teks wacana, disebut endofora

yang mengacu pada lokasi dekat (yang bisa berupa pengacuan anaforis atau

dengan penutur, agak dekat dengan kataforis), sedangkan bila berada di luar

penutur, jauh dengan penutur, dan teks wacana, disebut eksofora. Kohesi

menunjuk secara eksplisit. Dalam gramatikal pengacuan dibagi atas penga-

prasasti plumpungan ditemukan cuan persona, demonstratif, substitusi,

pronomina demonstratif sebagai elipsis, dan konjungsi.

berikut.

1) Persona, yaitu pengacuan yang

a) Waktu: pada baris a. ‘tahun direalisasikan melalui pronomina per-

Saka’ mengacu ke masa lampau, sona pertama (tunggal dan jamak),

yaitu tahun 672/4/31, berupa kedua (tunggal dan jamak), dan

endofora kataforis; ‘hari Jumat’, ketiga (tunggal dan jamak). Semua

mengacu ke waktu masa lampau tipe pronominal persona dapat

menurut kalendar Saka tanggal berupa bentuk bebas atau bentuk

31 April 672, berupa eksofora; terikat (yang lekat kiri atau kanan).

pada baris b. ‘tengah hari’, Dalam wacana Prasasti Plumpungan

mengacu ke waktu lampau tang- ditemukan bentuk pronomina per-

gal yang sama, berupa eksofora; sona berbentuk bebas yang dipa-

b) Tempat: pada baris d. ‘Ham- parkan sebagai berikut.

pra’ secara eksplisit mengacu ke

a) Pada baris a. yaitu ‘rakyat seka- desa bebas pajak, endofora ka- lian’, orang II jamak, yang

taforis; ‘Trigramyama’ secara mengacu ke para penduduk

eksplisit mengacu ke daerah le- kerajaan yang berupa eksofora;

taknya desa Hampra yang perdi-

b) Pada baris c. ‘beliau’ , orang III kan , endofora kataforis; pada tunggal, yang mengacu ke Bha-

baris f. ‘ini’ menunjukkan tempat nu, berupa endofora kataforis;

dekat penulis wacana, yaitu ‘yang Mahatinggi’, orang III

candi, berupa endofora anaforis.

Kajian Linguistik dan Sastra, Vol. 20, No. 2, Desember 2008: 88-107

2. Penyulihan/ substitusi adalah suatu jenis kan) dari beliau yang bernama kohesi gramatikal yang dimanifestasikan

Bhanu. (dan mereka) dengan ba- melalui substitusi satuan lingual tertentu

ngunan suci atau candi ini. (semoga yang sudah disebut dengan satuan lingual

rakyat sekalian) Selalu mene- lain dalam wacana untuk memperoleh

mukan hidup abadi. unsur pembeda, yang dapat berupa sub- stitusi nominal, verbal, frasal dan klausal. 4. Perangkaian/ konjungsi berupa jenis Dalam wacana Prasasti Plumpungan

kohesi gramatikal yang dihasilkan melalui ditemukan hanya substitusi nominal.

penghubungan unsur-unsur dalam wa-

a) ‘yang Mahatinggi’ pada baris c. cana. Unsur tersebut dapat berupa kata, disubstitusi dengan ‘Siddhadewi’

frase, klausa, kalimat atau alinea dan pada baris d.; dan

topik pembicaraan. Terdapat bermacam-

b) ‘rakyat’ pada paris a. disubstitusi macam perangkaian makna unsur dalam dengan ‘mereka’ pada baris c. dan

wacana (Sumarlam, 2003: 33), namun

f. dalam analisis wacana Prasasti Plum-

3. Pelesapan/ elipsis adalah salah satu tipe pungan ditemukan konjungsi sebagai substitusi gramatikal dimanifestasikan

berikut.

melalui pelesapan satuan lingual tertentu

a. Waktu: ‘telah’, ‘pada’ (baris a.); (yang pada umumnya telah disebutkan

‘telah’ (baris c.) sebelumnya), yaitu:

b. Tujuan: ‘agar’, ‘demi’, dan ‘untuk’

a) Semoga bahagia [rakyat seka-

(baris c.)

lian]! Selamatlah rakyat sekalian !

c. Pilihan: ‘atau’ (baris c., d., e., dan f.) Tahun Saka telah berjalan 672/4/31

d. Penambahan: ‘dengan’ (baris d., e., (24 Juli 760 M) pada hari Jumat

dan f.); ‘dan’ (baris f.) [RESI]

e. Genitif: ‘dari’ (baris c., d., dan f.)

b) tengah hari. [PRANAYAMA]

f. Datif: ‘kepada’ (baris c.)

c) Dari beliau, demi agama untuk

g. Penjelasan: ‘yaitu’, ‘berupa’ (baris kebaktian kepada yang Mahatinggi,

d.), ‘yang’ (baris c., d., e., dan f.) (beliau) telah menganugerahkan sebidang tanah atau taman, agar

2.3.2 Aspek Leksikal Wacana Prasasti

(beliau) memberikan kebahagiaan

Plumpungan

kepada mereka [TIDAK TER- Kohesi leksikal merupakan hubungan BACA]

antara unsur dalam wacana secara semantik,

d) [taman] yaitu desa Hampra yang yaitu dengan cara pemilihan kata-kata yang terletak di wilayah Trigramyama sesuai dengan isi kewacanaan yang dimaksud. (Salatiga) dengan persetujuan dari Hubungan kohesif antarunsur dalam wacana Siddhdewi (Sang Dewi yang menyatakan hubungan makna atau relasi Sempurna atau Mendiang) berupa semantik antara satuan-satuan lingual dalam daerah bebas pajak atau perdikan. wacana. Aspek leksikal wacana dibagi atas 6 [JIWAN MUHTA]

tipe, namun pada wacana ini ditemukan hanya

e) (perdikan) ditetapkan dengan

5 tipe, yaitu (a) repetisi, (b) sinonimi, (c)

tulisan aksara atau prasasti yang antonimi, (d) kolokasi, dan (e) ekuivalensi.

ditulis menggunakan ujung mempe- 1. Repetisi adalah pengulangan satuan lin- lam. [KAYA-SAMSKARA]

gual yang dianggap penting yang dengan

f) (tulisan aksara=undang ditetap- cara itu ditekankan dalam konteks yang

Analisis Stilistika Wacana Terjemahan Resmi ... (Hristina Nikolic)

sesuai. Dalam prasasti ini ditemukan Pencipta dengan makhluk ciptaan- epizeuksis dan anafora.

nya, yaitu manusia (yang dibagi dua

a. Epizeuksis adalah pengulangan satu sebagai oposisi interumat manusia, kata yang dianggap penting beberapa

yaitu raja dan rakyat) dalam kontras kali secara berturut-turut: ‘mereka’

makna: ‘yang Mahatinggi’ ’beliau’ (baris c dan f)

’mereka’ (baris c.); dan ‘beliau’

b. Anafora adalah pengulangan kata ’mereka’ (baris f.). atau frase pertama pada setiap baris 4. Kolokasi/ sanding kata berupa asosiasi

atau kalimat berikutnya: ‘dari beliau’ tertentu dalam proses pilihan kata yang (baris c dan f). Dalam kasus ini

biasanya digunakan secara berdam- terjadi pengulangan pada baris c dan

pingan yaitu biasanya digunakan dalam

f diperkirakan pada awal kalimat suatu ranah atau jaringan tertentu. (yang terletak di tengah dan akhir

Wacana Prasasti Plumpungan menunjuk- wacana), yang ditetapkan menurut

kan adanya berbagai jenis kata yang satuan makna.

dipakai berdampingan yang terkait de-

2. Sinonimi berupa ungkapan yang makna- ngan agama Budha, atau hukum/ undang nya kurang-lebih sama dengan ungkapan

kerajaan, misalnya: lain yang berfungsi untuk menjalin

a. ‘bahagia’ ‘selamatlah’ ‘Saka’ hubungan makna yang sepadan antar-

(baris a.). Dalam ajaran Budha, satuan lingual dalam wacana. Terdapat

hidup ini penderitaan, maka diperlu- lima jenis sinonim, berdasarkan wujud

kan kebahagiaan yang hanya bisa satuan lingualnya (baca Sumarlam, 2003:

dicapai melalui kebaktian; digunakan Æ Æ Æ Æ Æ Æ Æ Æ Æ Æ Æ Æ Æ Æ Æ Æ Æ 39). Wacana Prasasti Plumpungan kalendar Saka yang berasal dari In-

memperlihatkan hanya satu macam

dia;

sinonim, yaitu:

b. ‘agama’ ’kebaktian’ ’meng- Sinonimi kata dengan frasa (dan

sebaliknya): ‘sebidang tanah’ anugerahkan’ ’kebahagiaan’ (baris Æ c); secara tersirat bahkan urutan kata

’taman’ (baris c); ‘daerah bebas dalam baris ini membawa pesan yang pajak’

‘perdikan’ (baris d.); jelas; ‘Siddhadewi’ (baris d); ‘ba- ‘bangunan suci’ ‘candi’ (baris f.);

ngunan suci’, ‘candi’ (baris f); ‘resi’ ‘tulisan aksara’ ‘prasasti’ (baris

‘pranayama’ (asana/ e.); ‘yang Mahatinggi’ (baris c.)

(pendeta)

posisi dalam melaksanakan yoga ‘Siddhadewi’ (baris d.);

yang mengeluarkan emosi negatif,

3. Antonimi merupakan satuan lingual yang ‘prana’ sendiri juga berarti ‘makanan’ maknanya beroposisi dengan satuan lingual

dalam arti spiritual) tak terbaca yang lain (mencakup konsep dari yang

‘jiwan muhta’ ‘kaya - samskara’ betul-betul berawanan sampai yang hanya

(semoga memiliki banyak rein- kontras makna). Terdapat lima macam

karnasi, semoga banyak kali terlahir antonimi (baca Sumarlam, 2003: 40),

ulang karena semakin banyak ‘sam- namun dalam kajian wacana Prasasti

sara’, semakin dekat dengan hidup Plumpungan ditemukan hanya satu tipe

abadi yang secara ekspisit ditulis pula antonimi, yaitu:

pada akhir wacana) (catatan samping antonimi atau oposisi hubungan yang

setelah baris-baris utama); menyatakan oposisi antara Sang

c. ‘sebidang tanah’ (istilah resmi)

Kajian Linguistik dan Sastra, Vol. 20, No. 2, Desember 2008: 88-107

‘taman’ (yang disajikan kepada naskah tersebut adalah Raja Bhanu yang mayarakat) ‘bebas pajak’ (istilah

menguasai empat wilayah termasuk yang akan dimengerti oleh rakyat)

wilayah Trigrayama, dan yang dianggap ‘perdikan’ (istilah resmi dalam kera-

reinkarnasi dewa Indra, dan penguasa jaan, yang dikenalkan melalui prasasti

mutlak. Mitra tutur atau penerima pesan tersebut) ‘wilayah Trigramyama’;

isi naskah Plumpungan adalah rakyat desa ‘tulisan aksara’ ‘prasasti’; ‘ba-

Hampra dan wilayah Trigramyama yang ngunan suci’ ‘candi’.

pada abad VIII berada pada posisi yang

5. Ekuivalensi/ hubungan kesepadanan sangat sulit secara materi karena sistem antara satuan lingual tertentu dengan

perpajakan waktu itu merugikan rakyat satuan lingual yang lain dalam sebuah

kecil, sehingga terjadi migrasi masal ke paradigma: ‘bahagia’ (baris a.) ‘keba-

Jawa Timur.

hagiaan’ (baris c.). Kedudukan Raja Bhanu yang berkuasa, merupakan politikus yang andal yang

2.3.3 Konteks dan Inferensi Wacana

dapat membaca situasi dalam kerajaan-

nya, anggota kasta tertinggi, beragama Konteks wacana berupa aspek internal

Prasasti Plumpungan

Budha dan bertujuan menyebar agama dan eksternal wacana. Konteks bahasa atau

tersebut dengan cara mendirikan daerah ko-teks adalah konteks internal wacana, se-

perdikan bagi wilayah yang merawat dangkan segala sesuatu yang melingkupi wa-

candi-candinya. Peranan Raja Bhanu cana (termasuk konteks sosial dan budaya)

dalam wacana prasasti Plumpungan ada- disebut konteks eksternal wacana. Pema-

lah dalang wacana ini yang bertujuan haman wacana harus mempertimbangkan

menenangkan rakyat dan mencari du- faktor-faktor mendasar seperti faktor sosial,

kungan, semuanya dengan cara mencari situasional, kultural dan pemahaman dunia.

hidup abadi melalui agama. Pemahaman konteks sosio-budaya dapat

Dari sisi lain, rakyat berperan sebagai ditafsirkan dengan berbagai prinsip dan analogi,

penerima pesan, penurut, namun tetap yaitu (a) prinsip penafsiran personal, (b) prinsip

berdaya karena dapat menjatuhkan Raja penafsiran lokasional, (c) prinsip penafsiran

Bhanu atau bermigrasi ke Jawa Timur, temporal, (d) prinsip analogi, dan (e) inferensi.

sehingga kerajaan akan menambah lemah

1. Prinsip penafsiran personal berkaitan bila raja tidak bertindak secepat mung- dengan para partisipan atau pelibat

kin. Rakyat desa Hampra kedudukannya wacana dalam suatu wacana, karena

sebagai buruh biasa, beragama Hindu- penutur/ penulis dan mitra tutur/ penerima

Budha atau masih menganut dinamisme pesan sangat menentukan makna sebuah

dan animisme. Dilihat dari kaca mata tuturan/ tulisan. Halliday dan Hasan

keturunan, mereka pada umumnya, ter- (dalam Sumarlam, 2003: 48) mengartikan

masuk kasta-kasta yang kedudukannya pelibat wacana sebagai orang-orang yang

rendah.

mengambil bagian, sifat-sifat para pelibat, Hubungan antara raja dan rakyat dime- kedudukan dan peranan mereka, misal-

diasi melalui para ‘pejabat’ atau penyam- nya jenis-jenis hubungan yang terdapat

pai pesan, sebagaimana dilaksanakan antara para pelibat suatu wacana.

oleh penulis naskah. Rakyat desa Ham- Penulis naskah prasasti Plumpungan

pra juga dikenal sebagai rakyat yang adalah seorang citraloka yang dipeker-

agamanya kuat, rajin merawat candi- jakan oleh Raja Bhanu. Pengarang asli

candi, menuruti perintah raja, jika diban-

Analisis Stilistika Wacana Terjemahan Resmi ... (Hristina Nikolic)

dingkan desa-desa lainnya sehingga ngunan candi pasti berlangsung cukup mereka diberi status desa perdikan. Sta-

lama sebelum wacana ini diumumkan. tus desa perdikan diresmikan dengan 4. Prinsip analogi dianggap mendasari

prasasti yang diletakkan di dekat candi pemahaman suatu wacana, yaitu berupa yang baru dibangun Raja Bhanu. Ketak-

prinsip utama yang digunakan pelibat saan tujuan raja dapat dilihat melalui

wacana untuk memahami makna dan beberapa sinonim yang terdapat dalam

mengidentifikasi maksud (bagian atau wacana Plumpungan.

keseluruhan) wacana. Keadaan yang Frase ‘tengah hari’ (baris b.) pukul 12,

menyelimuti terjadinya wacana ini adalah saat matahari bersinar paling kuat.

proses pelemahan kerajaan Budha Maha- Dianggap sebagai sumber energi yang

yana di Jawa Tengah, migrasi massal, (memurnikan, prinsip lelaki, kekuatan,

ketidakpuasan rakyat terhadap kerajaan, baik, matahari, cahaya). Pukul 12 siang

dan mulainya masa kejayaan Dinasti (nomor 12 membawa untung, bila

Sailendra yang beragama Hindu. dijumlahkan menjadi 3, yang dengan 5. Inferensi adalah proses yang menduduki

sendirinya membawa berkah karena posisi yang sangat penting dalam analisis ganjil dan memiliki kecenderungan

wacana, karena proses ini harus dilalui oleh berlimpah menjadi 9 atau mensim-

pendengar atau pembaca agar me- bolisasikan ‘makrokosmos’, atau bila

mahami maksud wacana. Proses inferensi dilihat dari dinamikanya mulai dengan 1

harus didasari pemahaman makna ber- berakhir dengan 2, tetap berarti meng-

dasarkan konteks sosio-budaya. Terdapat gandakan apa yang dimiliki, dalam kasus

empat macam konteks pemakaian bahasa Æ ini rakyat, daerah kerajaan, para pengikut

(baca Sumarlam, 2003: 51), yaitu (1) agama Budha dsb.).

konteks fisik, (2) konteks epistemis, (3)

2. Prinsip penafsiran lokasional terkait konteks linguistik, dan (4) konteks sosial. dengan penafsiran lokasi atau tempat

1) Konteks fisik menjelaskan tempat ter- terjadinya suatu situasi, yaitu keadaan,

jadinya pemakaian bahasa, objek yang peristiwa dan proses, dalam rangka

disajikan dalam peristiwa komunikasi, memahami wacana. Dari berbagai bukti

dan tindakan para partisipan dalam kuat yang terdapat dalam naskah Plum-

peristiwa komunikasi itu. Isi naskah pungan, tempat terjadinya wacana adalah

dipersembahkan ‘demi agama’ kepa- desa Hampra di wilayah Trigrayama.

da rakyat, dalam bentuk Undang- Lokasi tersebut dipilih karena wilayah

undang/ hukum baru mengenai perdi- Hampra berjasa kepada Raja Bhanu.

kan, tepat di bawah puncak suatu bu-

3. Prinsip penafsiran temporal terkait kit di samping hutan di desa Hampra. dengan penafsiran waktu terjadinya suatu

2) Konteks Epistemis adalah latar situasi, misalnya kapan dan berapa lama

belakang pengetahuan pelibat wa- terjadinya suatu situasi. Peristiwa pem-

cana (pengetahuan dunia). Konteks bangunan candi pasti berlangsung bebe-

epistemis dalam wacana Plumpungan rapa bulan, namun pembukaan, pengu-

adalah bahwa kedua belah pihak muman dan penulisan naskah batu Plum-

sangat jelas mengerti terjadinya suatu pungan terjadi pada siang hari (kemung-

bentuk kerjasama antara raja dan kinan besar pas pukul 12 siang), pada

masyarakat dalam bentuk perubahan hari Jumat, tanggal 24 Juli, tahun 760 M.

hukum yang menguntungkan bagi Proses pemilihan lokasi dan pemba-

pelibat wacana.

Kajian Linguistik dan Sastra, Vol. 20, No. 2, Desember 2008: 88-107

3) Konteks linguistik terdiri atas tuturan- kus dengan melihat ciri-ciri teks naskah Plum- tuturan yang mendahului atau yang pungan serta memperhatikan faktor denotatif mengikuti sebuah tuturan tertentu dan faktor konotatif. dalam peristiwa komunikasi. Kon- teks linguistik yang terkait dengan

2.4.1 Visualisasi naskah Plumpungan

masa lampau tidak ditemukan, na- Visualisasi sangat penting untuk menyam- mun konteks linguistik ditemukan di paikan maksud pengarang kepada pembaca lokasi Prasasti Plumpungan pada dan dapat diwujudkan melalui tiga ciri, yaitu masa sekarang, yaitu larangan dan tipografi, pungtuasi dan enjambemen. Ciri yang suatu pengumuman bahwa situs pertama yang menonjol dalam tulisan adalah purba kala itu dilindungi pemerintah. tipografinya. Tipografi merupakan seni atau kiat Dalam hal ini jelas kelihatan perbe- cetak-mencetak huruf-huruf misalnya, atau daan bahasa ragam resmi pada wak- sering diartikan sebagai ukiran bentuk dari tu abad VIII dengan masa sekarang. tulisan (khususnya puisi) supaya tampak indah.

4) Konteks sosial adalah relasi sosial Selain untuk keindahan, tipografi juga yang bersifat melengkapi hubungan mendukung mengintensifikasi makna atau antara pelibat wacana. Hubungan suasana yang terdapat dalam tulisan tertentu. sosial antarpelibat wacana adalah Dalam naskah prasasti Plumpungan, seorang konteks sosial, dan dapat disimpul- citraloka yang tidak dikenal memakai jenis kan bahwa penutur/ dalang peristiwa huruf Jawa Kuna, yaitu menggunakan huruf berstatus sosial lebih tinggi dari pada piktografik. Pada abad kedelapan tidak ba- penerima pesan, yang dapat dilihat nyak orang dapat menulis dan membaca, melalui sebutan ‘beliau’ dan ‘mereka’. apalagi dalam huruf resmi pada kerajaan dinasti Namun demikian, kedua belah pihak Sailendra. Hal ini menunjukkan bahwa si sangat saling bergantung. Hal ini dapat pengarang tersebut dipilih secara khusus untuk dibuktikan melalui adanya oposisi menggarap naskah dan mengukir aksara seba- hubungan antara rakyat dan raja (kaya gai suatu bentuk pelayanan kepada kerajaan. VS miskin, kasta tinggi VS kasta Aksara tipe ini sangat dipengaruhi aksara India rendah, penguasa VS pengikut, dsb.). dan secara tidak langsung menunjukkan bahwa

dokumen resmi yang terdapat dalam naskah tersebut dibuat dalam waktu kerajaan Hindu.

Pungtuasi merupakan tanda baca dalam kalimat dan bait. Citraloka kerajaan jarang menggunakan tanda baca dalam menyusun kalimatnya, dan beberapa aksara tidak dapat dibaca karena ukirannya tidak jelas. Dalam penataan huruf-hurufnya, kalimat-kalimat sering dipenggal sehingga wujudnya beberapa baris. Naskah Plumpungan terdiri dari bait- bait yang jumlah lariknya tidak tetap, yang

2.4 Analisis Stilistika Terjemahan berfungsi untuk membagi suatu teks menjadi Naskah Resmi Prasasti Plumpungan “bab-bab” supaya membantu susunan tema- Berikut adalah hasil analisis stilistika tiknya. Larik-lariknya tidak sama jumlah kata-

genetis pada terjemahan resmi naskah Prasasti nya, bahkan terdapat hanya dua kata dalam Plumpungan dan aspek bahasa sebagai bung- satu larik.

Analisis Stilistika Wacana Terjemahan Resmi ... (Hristina Nikolic)

penetapan daerah perdikan. Menurut Keraf, ada beberapa jenis gaya 5) Gaya bahasa berdasarkan tempat. Lokasi bahasa, berdasarkan analisis dari segi non

2.4.2 Gaya Bahasa Prasasti Plumpungan

geografis mempengaruhi gaya, karena bahasa dan dari segi bahasa.

ciri-ciri daerah mempengaruhi ekspresi bahasa pengarang. Dalam kajian ini

a. Dari segi non-bahasa terdapat tujuh jenis terdapat gaya Jawa Kuna di daerah Jawa gaya bahasa, yang dipaparkan sebagai

Tengah, yakni Trigramyama (Salatiga) berikut.

pada waktu kerajaan dinasti Sailendra

1) Gaya bahasa berdasarkan pengarang. yang dapat dilihat dari ekspresi-ekspresi Sesuai dengan identitas pengarang yang

khas agama Hindu dan susunan kalimat masing-masing memiliki ciri khas dalam

yang puitis.

karyanya. Pengarang yang kuat dapat 6) Gaya bahasa berdasarkan hadirin. Gaya membentuk sebuah aliran karya sastra,

seorang pengarang dipengaruhi jenis karena mempengaruhi masyarakat seja-

pembacanya. Dalam naskah Plum- mannya. Dalam kajian ini dibahas gaya

pungan terdapat gaya resmi yang ditulis seorang citraloka anonimus yang dapat

untuk masyarakat umum dengan tujuan mewakili sebagian besar penggarap

menyampaikan pesan kerajaan. naskah pada waktu belasan abad yang 7) Gaya bahasa berdasarkan tujuan. Gaya lalu.

ini memiliki maksud yang ingin disam-

2) Gaya bahasa berdasarkan masa. Sesuai paikan pengarang yang bertujuan menga- dengan ciri-ciri tertentu yang muncul

rahkan perilaku masyarakat tertentu, dalam suatu kurun waktu tertentu. Dalam

bersifat persuasif dan naratif. Tujuan kajian ini terdapat gaya sastra kuno, atau

penulisan prasasti plumpung adalah mem- lebih tepat dokumen resmi kuno yang

beritahu rakyat mengenai kemudahan susunannya sangat berbeda dari

yang diberi raja dalam bentuk bebas dokumen/ pengumuman resmi pada masa

pajak, dan juga menunjukkan kepada sekarang (sebagai contoh terdapat papan

rakyat bahwa umat yang taat terhadap yang berisi pengumuman resmi mengenai

agama dan memelihara candi mendapat pelindungan situs kepurbakalaan secara

kemudahan dalam hidup duniawi dan hukum di halaman 102).

rohani.

3) Gaya bahasa berdasarkan medium. Me- dium merupakan bahasa dalam arti b. Dari segi bahasa, terdapat empat jenis komunikasi. Setiap bahasa memiliki corak

gaya bahasa

Dokumen yang terkait

ANALISIS PENGELOLAAN ARSIP PADA BAGIAN TATA USAHA KANTOR PERUM BULOG SUB DIVISI REGIONAL III SURAKARTA

2 1 165

ANALISIS PROFESIONALISME GURU BERSERTIFIKAT PENDIDIK DI SMK NEGERI 1 SAWIT KABUPATEN BOYOLALI

0 0 90

SKRIPSI ANALISIS TABUNGAN SYARIAH BERDASARKAN NILAI RELIGI NASABAH ( Studi kasus Bank Muamalat Kantor Kas Loji Wetan )

0 0 131

ANALISIS MANAJEMEN PERBEKALAN KANTOR PALANG MERAH INDONESIA KOTA SURAKARTA TAHUN 2011

0 5 222

ANALISIS FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEUNTUNGAN INDUSTRI KECIL PEMBUATAN GITAR DI KABUPATEN SUKOHARJO

0 0 120

ANALISIS KOMPARATIF USAHA PEMBESARAN IKAN NILA MERAH KARAMBA DI WADUK DAN GENANGAN AIR HUJAN DI KABUPATEN SUKOHARJO

0 0 85

ANALISIS PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI DAN IDENTIFIKASI SEKTOR UNGGULAN DI KABUPATEN NGAWI TAHUN 2002-2010

0 0 91

AD-DÛDAH WATS-TSU‘BÂN (CACING DAN ULAR) KARYA ALI AHMAD BAKATSIR: ANALISIS STRUKTURAL MODEL BADR Sangidu Jurusan Sastra Asia Barat Fakultas Ilmu Budaya UGM Email: fibugm.ac.id ABSTRACT - AD-DÛDAH WATS-TSU‘BÂN (CACING DAN ULAR) KARYAALI AHMAD BAKATSIR: ANA

0 0 13

MAKNA IDEASIONAL PADA TEKS KASUS SOEHARTO OLEH PIHAK PRO DAN KONTRA (KAJIAN MELALUI SISTEM TRANSITIVITAS) Marlia SMA 1 Lembang Kabupaten Bandung Barat Jalan Raya Tangkuban Parahu 162 RT.03 RW.10 Lembang Kabupaten Bandung Barat 40391 Email: marlia.suryana.

0 1 10

KEKUASAAN SIMBOLIK DALAM WACANA POLITIK DI MEDIA CETAK Lilik Wahyuni PBSI- IKIP Budi Utomo Malang Email: lilik.wahyuniymail.com. ABSTRACT - KEKUASAAN SIMBOLIK DALAM WACANA POLITIK DI MEDIA CETAK

1 2 13