Pengujian Kemampuan Adsorpsi Dari Adsorben Karbon Aktif Untuk Mesin Pendingin Tenaga Surya

  Siklus adsorpsi adalah siklus termodinamika yang dapat digunakan untuk menghasilkan efek pendinginan, siklus ini menggunakan panas sebagai sumber energi utama untuk menghasilkan efek pendinginan (Ambarita, 2013).

  Berdasarkan interaksi molekular anatara permukaan adsorben dengan adsorbat, adsorpsi dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu penyerapan secar fisika (adsorpsi) dan penyerapan secara kimia (absorpsi). Pada adsorpsi jenis ini, adsorpsi terjadi tanpa adanya reaksi antara molekul – molekul adsorbat dengan permukaan adsorben. Molekul – molekul adsorbat terikat secara lemah karena adanya gaya Van der Waals. Adsorpsi ini relative berlangsung cepat dan bersifat reversible. Karena dapat berlangsung di bawah temperature kritis adsorbat yang relatife rendah, maka panas adsorpsi yang dilepaskan juga rendah. Adsorbat yang terikat secara lemah pada permukaa adsorben, dapat bergerak dari suatu bagian permukaan ke bagian permukaan lain. Peristiwa adsorpsi fisika menyebabkan molekul – molekul gas yang teradsorpsi mengalami kondensasi. Besarnya panas yang dilepaskan dalam proses adsorpsi fisika adalah kalor kondensasinya (Taufan, 2008)

  Adsorpsi kimia adalah adsorpsi yang terjadi karena adanya reaksi kimia antara molekul – molekul adsobat dengan permukaan adsorben. Adsorpsi jenis ini diberi istilah sebagai absorption dan bersifat tidak reversible hanya membentuk satu lapisan tunggal (monolayer). Adsorben yang mengadsorpsi secara kimia pada umumnya sulit diregernerasi (Taufan, 2008).

  Perhatikan siklus dasar refrigerasi adsorpsi di bawah ini.

Gambar 2.1 Siklus Dasar Refrigerasi Adsorpsi

  (Sumber : Purba,2013) Pada kondisi awal sistem berada pada tekanan dan temperatur rendah, adsorben memiliki konsentrasi refrigeran yang tinggi dan vessel lain terdapat refrigeran dalam bentuk gas (gambar a). Vessel yang terdapat adsorben dipanaskan yang mengakibatkan naiknya temperatur dan tekanan sistem sehingga kandungan adsorbat yang ada di dalam adsorben berkurang atau menguap. Proses berkurangnya kandungan adsorbat pada adsorben pada kasus ini disebut desorpsi. Refrigeran yang terdesorpsi kemudian terkondensasi sebagai cairan di dalam labu kedua dengan dikeluarkannya panas ke lingkungan dimana tekanan dan temperatur sistem masih tinggi (gambar b). Pemanasan pada labu pertama dihentikan, lalu pada botol labu yang pertama terjadi perpindahan panas ke lingkungan sehingga tekanan sistem menjadi rendah. Tekanan sistem yang rendah menyebabkan adsorbat cair pada botol labu yang kedua menguap dan terserap ke botol pertama yang berisi adsorben. Proses terserapnya adsorbat ke adsorben pada kasus ini disebut adsorpsi. Proses adsorpsi menghasilkan efek pendinginan yang terjadi pada botol labu kedua, dimana pada tekanan rendah panas dari lingkungan diserap untuk menguap adsorbat (d) sampai sistem kembali ke kondisi awal.

  Siklus mesin pendingin adsorpsi dapat digambarkan pada diagram Clayperon berikut ini.

Gambar 2.2 Diagram Clayperon pada Sistem Pendingin Siklus Adsorpsi

  (sumber : Purba, 2013) Proses yang terjadi dapat di uraikan sebagai berikut ini. a.

  Dalam Proses Adsorber:

  1. Proses Pemanasan (pemberian tekanan) Proses pemanasan dimulai dari titik A dimana adsorben berada pada temperatur rendah T A dan tekanan rendah P e (tekanan evaporator).

  Adsorber akan menerima panas sehingga temperatur adsorber meningkat dan diikuti peningkatan tekanan evaporasi menjadi tekanan kondensasi. Selama proses ini tidak ada aliran refrigeran.

  2. Proses desorpsi Proses desorpsi berlangsung pada waktu panas diberikan dari titik B ke D sehingga adsorber mengalami peningkatan temperatur yang menyebabkan timbulnya uap desorpsi. Sehingga, adsorbat yang berada pada adsorben dalam bentuk gas mengalir ke kondensor untuk mengalami proses kondensasi menjadi cair.

  3. Proses Pendinginan (penurunan tekanan) Proses pendinginan berlangsung dari titik D ke F yang berlangsung pada malam hari. Adsorber melepaskan panas dengan cara didinginkan sehingga suhu di adsorber turun dan diikuti oleh penurunan tekanan dari tekanan kondensasi ke tekanan evaporasi.

  4. Proses Adsorpsi Proses adsorpsi berlangsung dari titik F ke A. Adsorber terus melepaskan panas sehingga adsorber mengalami penurunan temperatur dan tekanan yang menyebabkan timbulnya uap adsorpsi.

  b.

  Dalam proses Evaporator – kondensor

  1. Proses Panas Keluar Proses panas keluar berlangsung dari titik B – C. Pada proses ini terjadi kondensasi isobaric, dimana terjadinya kenaikan temperatur yang mengakibatkan panas kelur secara tekanan konstan.

  2. Proses Efek Pendinginan

  Proses efek pendinginan berlangsung dari titik C – A’ – A. Pada proses ini terjadi dua proses yaitu proses pendinginan oleh refrigerant (isokhorik refrigerant), dan proses penguapan tekanan konstan (isobaric penguapan).

2.2 Adsorben

2.2.1 Karbon Aktif

  Karbon aktif adalah suatu bahan berupa karbon armof yang sebagian besar teridiri atas karbon bebas serta memiliki “permukaan dalam” (internal surface) sehingga mempunyai kemampuan daya serap yang baik. Daya serap dari karbon aktif umumnya bergantung pada senyawa karbon sehingga 85% sampai 95% karbon bebas (Taufan, 2008).

  Karbon aktif dibagi atas 2 tipe, yaitu karbon aktif sebagai pemucat dan sebagai penyerap uap. Karbon aktif sebagai pemucat biasanya berbentuk bubuk yang sangat halus, digunakan dalam fase cair, berfungsi untuk memindahkan zat- zat pengganggu yang menyebabkan warna dan bau yang tidak diharapkan, membebaskan pelarut dari zat-zat pengganggu dan kegunaan lain yaitu pada industri kimia. Diperoleh dari serbuk-serbuk gergaji, ampas pembuatan kertas atau dari bahan baku yang mempunyai densitas kecil dan mempunyai struktur yang lemah (Purba, 2013).

Gambar 2.3 Adsorben Karbon Aktif

  (Sumber : Purba, 2013) Adsorben karbon aktif yang digunakan dalam penelitian ini terbuat dari cangkang kelapa. Adapun sifat dari adsorben karbon aktif yang digunakan adalah sebagai berikut ini.

Tabel 2.1 Sifat Adsorben Karbon Aktif.

  No. Sifat Adsorben Karbon Aktif Nilai Sifat Karbon Aktif

  3

  1. Massa Jenis 352,407 – 544,629 m /Kg

  3

  2. Pore Volume 0,56 – 1,20 cm /g

  3. Diameter rata – rata pori 15-25 Å

  4. Regeneration Temperatur 100 140 C

  5. Ukuran Karbon Aktif 3 mm (Purba, 2013)

  Untuk lebih jelasnya perhatikan bagian-bagian dari struktur satu adsorben karbon aktif berikut ini.

Gambar 2.4 Struktur Karbon Aktif

  (sumber : Purba, 2013) Pada adsorben berpori mikro seperti karbon aktif, salah satu teori yang paling sering digunakan untuk memberi gambaran adsorpsi fisik molekul gas adalah teori pengisian volume pori mikro (TVFM, Theory Of Volume Filling of

  Micropores)

  yang dikembangkan oleh M.M Dubinin. Berbeda dengan teori – teori sebelumnya yang memberikan gambaran fisik berupa pembentukan satu atau lebih lapisan (film) adsorpsi pada permukaan adsorben. Teori pengisian volume mikro menekankan bahwa adsorpsi tidak terjadi melalui pembentukan lapisan (film) adsorpsi tetapi berupa pengisian volume dalam ruang adsorpsi dan zat yang teradsorpsi berada dalam bentuk cair (Wuntu dan Kamu, 2008).

  Persamaan adsorpsi dapat dilihat dibawah ini : )

  W = W exp (2.1)

  �– ( /( � Dimana :

  W = Volume adsorbat yang terkondensasi pada suhu (T) dan tekanan

3 Relative (P/P ) (cm /gr)

  T = Suhu mutlak (K) P = Tekanan parsial adsorbat (tekanan kondensasi) atm P = Tekanan uap jenuh adsorbat (tekanan evaporasi) atm

  3 W = Volume total pori mikro yang dapat diakses oleh adsorbat (cm /gr)

  A = kemampuan adsorpsi dari karbon aktif E = Energy adsorpsi (J/mole) n = parameter yang bergantung pada jenis adsorbat.

  Dalam persamaan ini, parameter n pada persamaan Dubinin – Astakhov ditetapkan memiliki nilai 2 sehingga persamaan Dubinin – Astakhov dinyatakan dalam bentuk :

  2

  ) W = W exp

  (2.2) �– ( /( � Persamaan (2.2) selanjutnya dapat diubah ke dalam bentuk :

  2

2 Ln W = LnW - (1/(E ) A (2.3)

  Dimana : A = R.T Ln (P /P)

  (2.4) Sehingga bentuk persamaan linear model Isoterm adsorpsi DR adalah :

  2

  2 Ln W = LnW - (1/(E ) [R. T Ln (P0/P) ] (2.5)

2.2.2 Pembuatan Karbon Aktif Untuk membuat arang aktif, setidaknya minimal dilakukan dengan 2 cara.

  antara lain: 1.

  Karbonisasi atau pembuatan arang dari batok kelapa tua 2. Aktivasi arang batok

  Untuk membuat arang dari batok kelapa perlu memenuhi syarat antara lain tempurung dari kelapa tua dan berkadar air rendah. Syarat ini akan memudahkan proses pengarangan, pematangannya akan berlangsung baik dan merata. Prinsip dasar aktivasi arang aktif adalah destilasi kering atau pirolisis yaitu pembakaran tanpa menggunakan udara atau oksigen dengan suhu tinggi (Purba, 2013). Berikut cara kerja pembuatan

  1. Karbonisasi atau pembuatan arang Untuk membuat arang ada beberapa cara, yang pertama cukup dimasukkan ke dalam drum minyak, kemudian tempurung dibakar saat awal saja, kemudian setelah menyala ditutup. Harap ingat, drum harus dikasih lubang udara sedikit untuk melihat apakah arang sudah jadi atau belum, bisa dilihat dari indikasi asap yang keluar.

  Cirinya adalah jika asap tebal dan putih, berarti batok sedang mengering, sebaiknya tungku ditutup dengan maksud agar oksigen pada ruang pengarangan serendah-rendahnya sehingga diperoleh hasil arang yang baik. Untuk pengaturan udara di dalam tungku bisa diatur dengan membuka tutup lubang udara.

  Kemudian jika asap semakin menipis dan berwarna biru, berarti pengarangan hampir selesai, tunggu sampai arang menjadi dingin. Setelah dingin arang bisa di bongkar.

  2. Aktivasi Adapun prosedur atau langkah-langkah untuk mengaktifkan karbon dapat dilakukan dengan berikut ini.

  a.

  Arang dimasukkan ke dalam tangki aktivasi (pirolisis) dan ditutup rapat.

  b.

  Pastikan sambungan pipa pendingin, dan termocouple untuk pengamatan temperatur berfungsi sebagaimana mestinya.

  c.

  Alirkan air pendingin ke dalam pipa pendingin, kemudian kompor tungku pirolisis mulai dinyalakan. Kompor bisa menggunakan bahan bakar minyak tanah atau solar. Pengaturan api bisa diatur menggunakan kompresor.

  d.

  Melakukan pengamatan terhadap kerja dari tungku aktivasi dengan mengamati kenaikan temperatur. Temperatur selama proses sekitar 600°C, apabila temperatur telah mencapai 600°C dan terlihat pada ujung pendingin tidak adanya tar (cairan berwarna coklat) yang keluar, ditandai dengan adanya gelembung air, maka pembakaran dipertahankan selama 3 jam. Setelah waktu tersebut proses telah selesai. Kemudian api dimatikan, dan tungku aktivasi dibiarkan sampai dingin, setelah itu bisa dibuka dan dikeluarkan untuk dilakukan penggilingan sesuai mesh yang diinginkan. Arang aktif atau karbon aktif siap digunakan.

2.2.3 Kegunaan Karbon Aktif

  Karbon aktif digunakan secara luas dalam industri kimia, makanan dan farmasi. Pada umumnya karbon aktif digunakan sebagai bahan penyerap dan penjernih. Dalam jumlah yang kecil digunakan juga sebagai katalisator. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel berikut ini.

Tabel 2.2 Kegunaan Karbon Aktif

  0254-79) adalah seperti tabel berikut ini.

  Refrigeran adalah fluida kerja utama pada suatu siklus pendingin

  4. Bagian yang tidak mengarang % Maksimum 2,5 (Purba,2013)

  3 Abu % Maksimum 2,5

  2. Air % Maksimum 10

  1. Bagian yang hilang pada pemanasan % Maksimum 15

  No. Jenis Uji Satuan Persyaratan

Tabel 2.3 Standar Mutu Karbon Aktif

  (Pratama,2009) Syarat mutu karbon aktif menurut Standar Industri Indonesia (SII No.

  No. Pemakaian Kegunaan

  7. Katalisator Reaksi katalisator pengangkut vinil kholorida , vinil asetat

  6. Pemurnian gas Menghilangkan sulfur, gas beracun, bau busuk asap

  5. Pelarut yang digunakan kembali Penarikan kembali berbagai pelarut

  4. Pembersih air Penghilang warna, bau penghilangan resin

  3. Kimia perminyakan Penyulingan bahan mentah

  2. Minuman keras dan ringan Penghilangan warna, bau pada inuman

  1. Industry obat dan makanan Menyaring, penghilangan baud an rasa

2.3 Refrigeran

  dan membuang panas pada temperature dan tekanan tinggi. Umumnya refrigerant yang digunakan adalah zat tunggal, tetapi adakalanya beberapa refrigerant akan dicampur untuk menghasilkan refrigerant baru dengan sifat yang diinginkan (Ambarita, 2013).

  Berikut istilah – istilah campuran dari campuran refrigerant tersebut.

  1. Blends adalah campuran beberapa refrigerant murni/tunggal. Misalnya R- 22 dengan R-134a.

  2. Azeotropic jika campuran refrigerant memiliki sifat/titik yang sama saat menguap dan mengembun. Dengan kata lain campuran ini tidak dapat dipisahkan dengan cara destilasi.

  3. Zeotropic jika campuran mempunyai titik didih dan titik embun yang berbeda.

  4. Glide adalah perbedaan temperature yang terjadi pada saat perubahan fasa.

2.3.1 Metanol

  Untuk terjadinya suatu proses pendinginan diperlukan suatu bahan yang mudah dirubah bentuknya dari gas menjadi cair atau sebaliknya. Adapun sifat Metanol dapat dilihat seperti tabel berikut ini (Purba,2013).

Tabel 2.4 Sifat Metanol

  No. Sifat Metanol Nilai Sifat Metanol

  3

  1. Massa Jenis (cair) 787 Kg/m

  2. Titik Lebur -97.7 C

  3. Titik Didih 64,5 C

  4. Klasifikasi EU Flamamable (F), Toxic (T)

  5. Panas Laten Penguapan (L ) 1100 kJ/kg

  e

  (Purba, 2013) Metanol juga dikenal sebagai metil alkohol, wood alcohol atau spiritus.

  Metanol merupakan bentukpaling sederhana. Pada keadaan atmosfer, metanol berbentuk cairan yang ringan, mudah menguap, tidak berwarna, mudah terbakar dan beracun dengan bau yang khas (berbau lebih ringan dari pada Metanol digunakan sebagai bahan pendingin anti beku, pelarut, bahan bakar dan sebagai bahan aditif bagi etanol industri. Metanol diproduksi secara alami oleh metabolismeHasil proses tersebut adalah uap metanol (dalam jumlah kecil) di udara. Setelah beberapa hari uap metanol tersebut akan Purba, 2013).

Gambar 2.5 Metanol ( CH

  3 OH)

2.4 Keamanan Lingkungan

  Ada dua faktor yang digunakan untuk mengklasifikasikan refrigeran berdasarkan keamanan, yaitu bersifat racun dan mudah terbakar. Berdasarkan

  

toxicity , refrigeran dapat dibagi dua kelas, yaitu kelas A bersifat tidak beracun

  pada konsentrasi yang ditetapkan dan kelas B jika bersifat racun. Batas yang digunakan untuk mendefinisikan sifat racun atau tidak adalah sebagai berikut. Refrigeran dikategorikan tipe A jika pekerja tidak mengalami gejala keracunan meskipun bekerja lebih dari 8 jam/hari (40 jam/minggu) di lingkungan yang mengandung konsentrasi refrigeran sama atau kurang dari 400 ppm (part per million by mass ). Sementara kategori B sebaliknya (Ambarita, 2012).

  Berdasarkan sifat mudah terbakar, refrigeran dapat dibagi atas 3 kelas, kelas 1, kelas 2, dan kelas 3. Yang disebut kelas 1 jika mudah terbakar jika diuji

  o

  pada tekanan 1 atm (101 kPa) temperatur 18,3

  C. Kelas 2 jika menunjukkan

  3

  keterbakaran yang rendah saat konsentrasinya lebih dari 0,1 kg/m pada 1 atm dan

  o

  temperatur 21,1 C atau kalor pembakarannya kurang dari 19 MJ/kg. Kelas 3 sangat mudah terbakar. Refrigeran ini akan terbakar jika konsentrasinya kurang

  3 dari 0,1 kg/m ataun kalor pembakarannya lebih dari 19 MJ/kg (Amabarita, 2012).

  Berdasarkan defenisi ini, sesuai dengan standar 34-1997. Refrigeran diklasifikasikan menjadi 6 kategori.

  1. A1 : sifat racun rendah dan tidak terbakar.

  2. A2 : Sifat racun rendah dan sifat terbakar rendah.

  3. A3 : Sifat racun rendah dan mudah terbakar.

  4. B1 : sifat racunlebih tinggi dan tidak terbakar.

  5. B2 : sifat racun lebih tinggi dan sifat terbakar rendah.

  6. B3 : sifat racun lebih tinggi dan mudah terbakar.

2.5 Kalor (Q)

  Kalor adalah energi yang berpindah yang mengakibatkan perubahan temperatur (Holman, 1984). Pada abad ke 19 berkembang teori bahwa kalor merupakan fluida ringan yang dapat mengalir dari suhu tinggi ke suhu rendah, jika suatu benda mengandung banyak kalor, maka suhu benda itu tinggi (panas). Sebaliknya, jika benda itu mengandung sedikit kalor, maka dikatakan benda itu bersuhu rendah (dingin). Kuantitas energi kalor (Q) dihitung dalam satuan joules (J). Laju aliran kalor dihitung dalam satuan joule per detik (J/s) atau watt (W). Laju aliran energi ini juga disebut daya, yaitu laju dalam melakukan usaha.

2.5.1 Kalor Laten

  Suatu bahan biasanya mengalami perubahan temperatur bila terjadi perpindahan kalor antara bahan dengan lingkungannya. Pada suatu situasi tertentu, aliran kalor ini tidak merubah temperaturnya. Hal ini terjadi bila bahan mengalami perubahan fasa. Misalnya padat menjadi cair, cair menjadi uap dan perubahan struktur kristal (zat padat) (Holman,1984). Energi yang diperlukan disebut kalor transformasi. Kalor yang diperlukan untuk merubah fasa dari bahan bermassa m adalah.

   Q L = L e m

  (2.6) Dimana :

  Q L = Kalor laten (J) Le = Kapasitas kalor spesifik laten (J/kg) m = Massa zat (kg)

2.5.2 Kalor Sensibel

  Tingkat panas atau intensitas panas dapat diukur ketika panas tersebut merubah temperatur dari suatu substansi. Perubahan intensitas panas dapat diukur dengan termometer. Ketika perubahan temperatur didapatkan, maka dapat diketahui bahwa intensitas panas telah berubah dan disebut sebagai kalor sensible. Dengan kata lain, kalor sensibel adalah kalor yang diberikan atau yang dilepaskan oleh suatu jenis fluida sehingga temperaturnya naik atau turun tanpa menyebabkan perubahan fasa fluida tersebut (Holaman, 1984).

   Q s = m C p

  (2.7)

  ∆T

  Dimana:

  Q = Kalor sensible s (J) C p = Kapasitas kalor spesifik sensibel (J/kg.K)

  = Beda temperatur (K)

  ∆T

2.5.3 Perpindahan Panas

  Panas hanya akan berpindah jika ada perbedaan temperatur, yaitu dari sistem yang bertemperatur tinggi ke sistem bertemperatur rendah. Perbedaan temperatur ini mutlak diperlukan sebagai syarat terjadinya perpindahan panas. Selama ada perbedaan temperatur antara dua sistem maka akan terjadi perpindahan panas. Mekanisme perpindahan panas yang terjadi dapat dikategorikan atas 3 jenis yaitu: konduksi, konveksi dan radiasi (Ambarita, 2011)

1. Konduksi

  Perpindahan panas dari partikel yang lebih panas ke partikel yang lebih dingin sebagai hasil dari interaksi antara partikel tersebut. Karena partikelnya tidak berpindah, umumnya konduksi terjadi pada medium padat, tetapi bisa juga cair dan gas. Perpindahan panas di sini terjadi akibat interaksi antara partikel tanpa diikuti perpindahan partikelnya (Ambarita, 2011). Perhatikan gambar beriktu ini.

Gambar 2.6 Perpindahan Panas Konduksi Melalui Sebuah Pelat

  (Sumber : Ambarita, 2011) Secara matematik, untuk plat datar seperti gambar di atas ini, laju perpindahan panas konduksi dirumuskan dengan persamaan:

  ∆

  = (2.8)

  ∆ Atau sering dirumuskan dengan persamaan berikut ini.

  = (2.9)

  − Dimana:

  = Laju aliran energi (W)

2 A = Luas penampang (m )

  ∆T = Beda temperatur (K) ∆x = Panjang (m) k = Daya hantar (konduktivitas) (W/m.K)

  Penggunaan tanada minus (-) dalam persamaan ini hanya menunjukkan arah perpindahan temperature yaitu dari tempertar tinggi ke temperature rendah.

2. Konveksi

  Perpindahan panas konveksi adalah perpindahan panas antara permukaan padat yang berbatasan dengan fluida mengalir. Fluida di sini bisa dalam fasa cair atau fasa gas. Syarat utama mekanisme perpindahan panas konveksi adalah adanya aliran fluida (Ambarita, 2011). Perhatikan gambar di bawah ini.

  Aliran Udara

Q

c

  Aliran Udara Aliran Udara

Gambar 2.7 Perpindahan Panas Konveksi dari Permukaan Pelat Secara matematik perpindahan panas konveksi pada permukaan pelat rata dapat dirumuskan dengan persamaan berikut ini.

  =hA(T -T )

  Q h s L (2.10) Dimana:

  Q h = Laju perpindahan panas konveksi (W)

  

2

h = Koefisien konveksi (W/m K)

  2 A

  = Lluas penampang perpidahan panas (m )

  T s = Temperatur permukaan T L = Temperatur fluida

3. Radiasi

  Perpindahan panas radiasi adalah panas yang dipindahkan dengan cara memancarkan gelombang elektromagnetik. Berbeda dengan mekanisme konduksi dan konveksi, radiasi tidak membutuhkan medium perpindahan panas. Sampainya sinar matahari ke permukaan bumi adalah contoh yang jelas dari perpindahan panas radiasi (Ambarita, 2011).

  Persamaan yang dapat digunakan untuk menghitung laju perpindahan panas radiasi antara permukaan pelat (gambar 2.7) dan lingkungannya adalah: 4 Q r (2.11)

  = eσAT

  Dimana

  Q = r Laju perpindahan panas radiasi (W)

  • 8

  2

  4

  = Konstanta Boltzman: 5,67 x 10 W/m K σ e = Emisivitas (0

  ≤ e ≤ 1) T = Temperatur (K)

4. Konveksi Natural

  Jika aliran fluida terjadi secara alami, sebagai akibat perpindahan panas yang terjadi. Konveksi ini disebut konveksi natural atau kadang disebut konveksi bebas dalam bahasa Inggris disebut natural convection atau free convection (Ambarita, 2011).

  Pada kasus konveksi natural pada bidang horizontal panjang yang digunakan menghitung bilangan Ra L adalah panjang karakteristik yang didefinisikan dengan persamaan:

  (2.12) =

  Dimana A menyatakan luas bidang horizontal dan K adalah keliling. Dengan menggunakan panjang karakteristik (L) ini bilangan Ra L dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut (2.8). )

  

3

( −

   Ra L =

  (2.13)

2 Pola konveksi natural pada permukaan horizontal diperlihatkan seperti gambar berikut ini.

  T r < T s T s

Gambar 2.8 Konveksi Natural pada Bidang Horizontal (tipe a)

  (Sumber : Ambarita, 2011) Persamaan untuk menghitung Nu seperti gambar di atas (bidang horizontal) dapat digunakan yang diajukan oleh Llyod Moran (1974):

  4

  7 Untuk 10 < Ra L < 10 : 0,25

Nu = 0,54R (2.14)

  7

  9 Untuk 10 < Ra L < 10 1/3 Nu = 0,15R

  (2.15) Jika polanya ditunjukkan seperti gambar di bawah ini, yaitu fluida panas akan terdesak dari permukaan yang panas dan mengalir ke sebelah luar. Untuk mengisi kekosongan akibat aliran ini maka fluida dibawahnya akan mengalir ke atas.

  

T s

T r < T s

Gambar 2.9 Konveksi natural pada bidang horizontal (tipe b)

  (Sumber : Ambarita, 2011) Persamaan menghitung bilangan Nu untuk kasus ini dapat digunakan persamaan dapat dituliskan:

  

0,25

  Nu = 0,27 (2.16)

  5

  10 Persamaan ini berlaku untuk 10 < Ra L <10

Dokumen yang terkait

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lateks Alam 2.1.1 Tanaman Karet Alam - Pengaruh Penambahan Nanokristal Selulosa Dari Tandan Kosong Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jack) Terhadap Produk Karet Nanokomposit Dengan Teknik Pencelupan

0 0 16

Pengaruh Penambahan Nanokristal Selulosa Dari Tandan Kosong Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jack) Terhadap Produk Karet Nanokomposit Dengan Teknik Pencelupan

0 0 13

Perancangan Sistem Pakar Untuk Mendiagnosa Kerusakan Handphone Dengan Metode Certainty Factor (Cf) Berbasis Web

0 0 91

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Pakar - Perancangan Sistem Pakar Untuk Mendiagnosa Kerusakan Handphone Dengan Metode Certainty Factor (Cf) Berbasis Web

0 0 9

Karakterisasi Simplisia Dan Skrining Fitokimia Serta Isolasi Senyawa Steroid/Triterpenoid Dari Fraksi N-Heksana Daun Gaharu (Aquilaria Malaccensis Lam.)

0 0 26

Karakterisasi Simplisia Dan Skrining Fitokimia Serta Isolasi Senyawa Steroid/Triterpenoid Dari Fraksi N-Heksana Daun Gaharu (Aquilaria Malaccensis Lam.)

0 1 23

KATA PENGANTAR - Karakterisasi Simplisia Dan Skrining Fitokimia Serta Isolasi Senyawa Steroid/Triterpenoid Dari Fraksi N-Heksana Daun Gaharu (Aquilaria Malaccensis Lam.)

0 0 15

Kajian Kandungan Mineral Kalium, Natrium Dan Kalsium Pada Sayuran Kubis (Brassica Oleracea L.) Yang Diperoleh Dari Lahan Hasil Pertanian Pasca Letusan Gunung Sinabung

0 0 70

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gunung Berapi - Kajian Kandungan Mineral Kalium, Natrium Dan Kalsium Pada Sayuran Kubis (Brassica Oleracea L.) Yang Diperoleh Dari Lahan Hasil Pertanian Pasca Letusan Gunung Sinabung

0 0 17

DAFTAR ISI - Kajian Kandungan Mineral Kalium, Natrium Dan Kalsium Pada Sayuran Kubis (Brassica Oleracea L.) Yang Diperoleh Dari Lahan Hasil Pertanian Pasca Letusan Gunung Sinabung

0 0 12