Karakterisasi Simplisia Dan Skrining Fitokimia Serta Isolasi Senyawa Steroid/Triterpenoid Dari Fraksi N-Heksana Daun Gaharu (Aquilaria Malaccensis Lam.)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

  Uraian tumbuhan meliputi daerah tumbuh, nama daerah, nama asing, morfologi tumbuhan, sistematika tumbuhan, kandungan kimia dan kegunaan dari tumbuhan.

2.1.1 Daerah Tumbuh

  Aquilaria malaccensis Lam. adalah salah satu dari 27 spesies pohon

  penghasil gaharu di dunia. Gaharu tersebar luas di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Menurut Oldfield, et al., (1998), Aquilaria malaccensis tumbuh di 10 negara yaitu Bangladesh, Bhutan, India, Thailand, Iran, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura dan Indonesia. Di lndonesia hingga saat ini diperkirakan terdapat 27 jenis tumbuhan penghasil gaharu yang dikelompokkan ke dalam 8 marga yaitu Aquilaria, Aetoxylon, Dalbergia, Enkleia, Excoccaria, Gonystylus,

  

Gyrinops dan Wiekstroemia , serta memiliki 3 famili yaitu Thymelaeaceae,

Euphorbiaceae, Leguminoceae (Sumarna, 2005).

  Jenis Aquilaria yang dapat ditemukan di Indonesia antara lain A.

  

malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, A. cumingiana A. filarial, A.

agalloccha, A. secundana, A. mozkowskii dan A. tomentosa . Jenis A. malaccensis

  Lam. merupakan jenis pohon gaharu yang paling banyak ditemukan di Sumatera Utara (Susetya, 2014). Marga Aquilaria dan Gyrinops sejak tahun 2004 telah masuk ke dalam Appendix II CITES karena sumber dayanya yang berkurang di alam (Soehartono dan Mardiastuti, 2002).

  Berdasarkan sebaran tempat tumbuh, tumbuhan gaharu umumnya tumbuh di Pulau Kalimantan (12 jenis) dan Pulau Sumatera (10 jenis), kemudian dalam jumlah terbatas tumbuh di Kepulauan Nusa Tenggara (3 jenis), Pulau Papua (2 jenis), Pulau Sulawesi (2 jenis), Pulau Jawa (2 jenis), dan Kepulauan Maluku (1 jenis). Di Indonesia, daerah sebaran pohon penghasil gaharu dapat dijumpai pada berbagai ekosistem, baik di hutan dataran rendah, pegunungan dan hutan rawa gambut. Secara ekologis Aquilaria malaccensis Lam. berada pada ketinggian hingga 750 m di atas permukaan laut pada hutan dataran rendah dan pegunungan,

  o

  pada daerah yang beriklim panas dengan suhu rata-rata 32 C dan kelembaban sekitar 70% dengan curah hujan kurang dari 2000 mm/tahun (Sumarna, 2005).

  2.1.2 Nama Daerah dan Nama Asing

  Pohon gaharu di Indonesia dikenal dengan nama yang berbeda-beda seperti calabac, karas, kekaras, mengkaras (Dayak), galoop (Melayu), kareh (Minang), age (Sorong), bokuin (Morotai), lason (Seram), ketimunan (Lombok), ruhuwama (Sumba), seke (Flores), halim (Lampung) dan alim (Batak) (Sumarna, 2002).

  Pohon gaharu juga dikenal di negara lain misalnya Inggris dengan sebutan

  

agarwood, aloeswood, heartwood , di Amerika disebut eaglewood, di Jepang

disebut jinkoh sedangkan di Arab disebut oudh (Susetya, 2014).

  2.1.3 Sistematika Tumbuhan

  Sistematika tumbuhan gaharu menurut Sumarna (2002) adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae

  Sub Kelas : Dialypetalae Ordo : Myrtales Famili : Thymelaeaceae Genus : Aquilaria Spesies : Aquilaria malaccensis Lam.

2.1.3 Morfologi Tumbuhan

  Aquilaria malaccensis Lam. memiliki batang pohon yang keras dengan

  ketinggian pohon dapat mencapai 40 meter dengan diameter batang mencapai 60 cm. Pohon ini memiliki permukaan batang licin, warna keputih-putihan, kadang beralur dan kayunya agak keras. Bentuk daun lonjong sampai memanjang, ujung daun meruncing panjang helai daun 6 - 8 cm, lebar 3 - 4 cm, susunan tulang daun menyirip, tulang daun 12 - 16 pasang, berwarna hijau mengkilat, berbau khas dan rasanya pahit diikuti rasa manis. Bunga terdapat di ujung ranting, kadang-kadang di ketiak daun. Berbentuk lancip, panjang sampai 5 mm. Buah berada dalam polongan berbentuk bulat telur atau lonjong berukuran panjang sekitar 5 cm dan lebar 3 cm. Biji berbentuk bulat atau bulat telur yang tertutup oleh rambut-rambut halus berwarna kemerahan (Sumarna, 2005).

  Pohon gaharu dikenal memiliki gubal dengan substansi aromatik yang tumbuh di tengah batang ataupun di antara sel-sel kayu akibat proses patologis tumbuhan yang diinfeksi oleh jamur secara alami atau buatan. Gubal gaharu ini merupakan sumber daya alam yang sangat mahal harganya. Kini pohon gaharu telah banyak dibudidayakan dengan teknik kultur jaringan lalu diinokulasi dengan suatu jamur untuk mendapatkan kualitas gubal gaharu yang baik (Susetya, 2014).

  Salah satu tempat budidaya gaharu di Sumatera Utara ada di Kabupaten Langkat.

  2.1.4 Kandungan kimia

  Resin yang terkandung dalam gubal gaharu termasuk golongan sesquiterpena yang mudah menguap. Terdapat beberapa zat penting yang terkandung dalam gubal gaharu yaitu -agarofuran, nor-ketoaga-rofuran, (-)-10- epi-y-eudesmol, agarospirol, jinkohol, jinkohon-eremol, kusunol, dihydrokaranone, jinkohol II serta oxo-agarospirol. Lebih lanjut Siran (2010) mengatakan bahwa terdapat 17 macam senyawa yang terdapat pada gaharu, antara lain: noroxoagarofuran, agarospirol, 3,4-dihydroxy-dihydro-agarufuran, p- methoxy-benzylaceton, dan aquillochin. Selanjutnya dalam Suhartono dan Mardiastuti (2003) menyebutkan terdapat 31 zat kimia yang terkandung di dalam gaharu dan bahan kimia penyusun utamanya adalah 2-(2-(4 methoxyphenyl)ethil)chromone (27%) dan 2-(2-phenylethyl)chromone (15%).

  2.1.5 Kegunaan

  Gubal gaharu yang beraroma harum diperdagangkan sebagai komoditi elit dan menjadi komoditas pertanian paling mahal di dunia. Aromanya sangat terkenal dan disukai. Masyarakat Timur Tengah, India, Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Yaman, Oman, daratan Cina, Korea dan Jepang menggunakan gaharu untuk keperluan bahan baku industri parfum, obat-obatan, kosmetika, membakar jenazah bagi umat Hindu, pengawet berbagai jenis aksesoris, kelengkapan upacara ritual keagamaan masyarakat Hindu, Buddha dalam bentuk tasbih, hio, dan dupa (Susetya, 2014).

  Di samping itu dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kini bagian-bagian dari pohon gaharu banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku industri obat herbal alami. Contohnya daun gaharu dari jenis Aquilaria dan

  Gyrinops diolah menjadi bahan baku pembuatan produk minuman herbal (teh dan sirup) karena kandungan zat antioksidan dalam daun yang cukup tinggi.

  Di Indonesia, secara tradisional masyarakat Papua telah menggunakan daun, kulit dan akar gaharu sebagai obat malaria dan perawatan kulit (Sumarna, 2002). Gaharu diketahui berkhasiat sebagai obat penahan rasa sakit, dan obat gangguan pencernaan di Asia Timur (Yagura, et al., 2005). Gaharu juga dipercaya sebagai obat anti inflamasi (Trupti, et al., 2007), mengatasi sakit gigi, sakit ginjal, rematik, asma, diare, tumor, diuretik, anti racun, anti serangga, anti mikroba, anti oksidan, anti hiperglikemia, stimulan kerja syaraf dan pencernaan, liver, hepatitis, kanker, cacar, obat kuat pada masa kehamilan dan bersalin (Heyne, 1987; Barden, et al., 2000; Soehartono dan Mardiastuti, 2002; Mega dan Swastini, 2010, Pranakhon, et al., 2011).

2.2 Uraian Kandungan Kimia Tumbuhan

2.2.1 Alkaloid Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar.

  Alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid mempunyai aktivitas fisiologi yang menonjol sehingga banyak diantaranya digunakan dalam bidang pengobatan (Harborne, 1987). Selain unsur nitrogen yang biasanya terasa pahit, alkaloid juga mengandung oksigen dan sulfur (Hanafi, 2012).

  Salah satu contoh alkaloid golongan piridin adalah nikotin. Suatu alkaloid yang terkandung dalam tembakau (Nicotiana tabacum), bersifat stimulan bertanggungjawab terhadap sikap adiktif rokok dan bentuk tembakau lainnya. Nikotin digunakan sebagai model untuk adiksi terhadap obat-obatan lain seperti heroin. Senyawa ini memiliki cincin pirol yang melekat pada cincin piridin (Heinrich, et al., 2005).

Gambar 2.1 Nikotin

2.2.2.Flavonoid

   Golongan flavonoid adalah suatu senyawa C 6 -C 3 -C 6 , yang berarti

  kerangka karbonnya terdiri atas dua gugus C (cincin benzen tersubstitusi)

  6 disambungkan oleh rantai alifatik tiga karbon (Robinson, 1995). .

  Senyawa-senyawa golongan flavonoid mencakup berbagai senyawa pigmen yang paling umum dan terdapat pada seluruh dunia tumbuhan mulai dari fungi sampai angiospermae. Pigmen bunga flavonoid berperan jelas dalam menarik burung dan serangga penyerbuk bunga. Beberapa fungsi flavonoid bagi tumbuhan adalah sebagai pengatur tumbuh, pengatur fotosintesis, antimikroba dan antivirus (Robinson, 1995). Senyawa flavonoida sangat bermanfaat dalam makanan karena merupakan antioksidan kuat. Makanan yang kaya flavonoid dianggap penting untuk mengobati penyakit-penyakit seperti kanker dan penyakit jantung. Salah satu contoh senyawa golongan flavonoida yang terkandung pada kulit apel (Malus domestica Borkh) adalah kuersetin (Heinrich, et al., 2005).

Gambar 2.2 Kuersetin

2.2.3. Saponin

  Saponin tersebar luas diantara tanaman tingkat tinggi. Saponin merupakan senyawa berasa pahit, menusuk, menyebabkan bersin dan mengakibatkan iritasi terhadap selaput lendir. Saponin mula-mula diberi nama demikian karena sifatnya yang menyerupai sabun (bahasa Latin sapo berarti sabun). Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat dan menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi yang rendah sering menyebabkan hemolisis sel darah merah. Saponin dalam larutan yang sangat encer sangat beracun untuk ikan, dan tumbuhan yang mengandung saponin telah digunakan oleh penduduk sebagai racun ikan selama beratus-ratus tahun. Beberapa saponin bekerja sebagai antimikroba (Robinson, 1995).

  Molekul saponin terdiri dari dua bagian yaitu, aglikon dan glikon. Bagian aglikon atau non-sakarida dari molekul molekul saponin disebut genin atau sapogenin. Berdasarkan aglikonnya, Hostettman dan Marston (1995) membagi saponin menjadi 3 kelas utama yaitu:

1. Saponin triterpenoid 2.

  Saponin steroid 3. Saponin steroid alkaloid

2.2.4 Tanin

  Tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh, dalam angiospermae terdapat khusus dalam jaringan kayu. Tanin merupakan senyawa alami dengan bobot molekul antara 500 dan 3000, memiliki sejumlah gugus hidroksi fenol dan dapat membentuk ikatan silang yang stabil dengan gugus protein dan biopolymer lain, seperti selulosa dan pektin (Mannito, 1992). Tanin merupakan salah satu senyawa yang termasuk ke dalam golongan polifenol yang terdapat dalam tumbuhan, mempunyai rasa sepat dan memiliki kemampuan menyamak kulit (Harborne, 1987). Pada kenyataannya, sebagian besar tumbuhan yang banyak tanin dihindari oleh hewan pemakan tumbuhan karena rasanya yang sepat. Secara kimia terdapat dua jenis utama tanin (Harborne, 1987) yaitu:

  1. Tanin terkondensasi

  Tanin terkondensasi terbentuk dengan cara kondensasi katekin tunggal (galokatekin) yang membentuk senyawa dimer dan oligomer yang lebih tinggi.

  Ikatan karbon-karbon menghubungkan satu satuan flavon dengan satuan berikutnya melalui ikatan 4 - 8 atau 6 - 8. Kebanyakan flavolan mempunyai 2

  • 20 satuan flavon. Tanin terkondensasi disebut juga dengan proantosianidin karena bila direaksikan dengan asam panas, beberapa ikatan karbon-karbon penghubung satuan terputus dan dibebaskanlah monomer antosianidin.

  2. Tanin terhidrolisis

  Sesuai dengan namanya, tanin terhidrolisis dapat dihidrolisis oleh basa untuk membentuk asam sederhana dan gula. Sifat utama tanin ini adalah kemampuannya berikatan dengan protein. Senyawa ini digunakan untuk menyamak kulit, dan sebagai astringen dalam sediaan farmasi (Heinrich, et al., 2005).

2.2.5 Glikosida

  Glikosida adalah suatu golongan senyawa bila dihidrolisis akan terurai menjadi gula (glikon) dan senyawa lain (aglikon). Umumnya glikosida mudah terhidrolisis oleh asam mineral atau enzim. Hidrolisis oleh asam memerlukan panas, sedangkan hidrolisis oleh enzim tidak memerlukan panas (Sirait, 2007).

  Berdasarkan ikatan antara glikon dan aglikon, glikosida dapat dibedakan menjadi a.

  Tipe O-glikosida, yaitu ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui jembatan O. Mayoritas glikosida termasuk ke dalam kelompok ini.

Gambar 2.3 Ikatan karbon-oksigen antara gula dan cincin aromatik b.

  Tipe C-glikosida, yaitu ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui jembatan C, yakni gula melekat pada aglikon melalui ikatan karbon-karbon.

Gambar 2.4 Ikatan karbon-karbon antara gula dan cincin aromatik c.

  Tipe S-glikosida, yaitu ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui jembatan S. Contoh: sinigrin yang termasuk ke dalam glikosida glukosinolat dari tumbuhan dari tumbuhan Brassicaceae.

Gambar 2.5 Sinigrin d.

  Tipe N-glikosida, yaitu ikatan antara bagian dari glikon dengan aglikon melalui jembatan N. Contoh: nikleosidin, kronotosidin.

Gambar 2.6 Nikleosidin

  2.2.6 Glikosida antrakuinon

  Golongan kuinon alam terbesar terdiri dari antrakuinon. Beberapa antrakuinon merupakan zat warna penting dan yang lainnya sebagai pencahar.

  Keluarga tumbuhan yang kaya akan senyawa jenis ini ialah Rubiaceae, Rhamnaceae, Polygonaceae, Caesalpiniaceae, dan Liliaceae (Robinson, 1995).

  Antrakuinon biasanya berupa senyawa kristal bertitik leleh tinggi, larut dalam pelarut organik biasa, senyawa ini biasanya berwarna merah, tetapi yang lainnya berwarna kuning sampai coklat, larut dalam larutan basa dengan membentuk warna violet merah (Robinson, 1995).

  R = H, Barbaloin R = Glukosa, Kasakrosida

Gambar 2.7 Antrakuinon

  2.2.7 Steroid/triterpenoid

  Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis masuk jalur asam mevalonat yang diturunkan dari hidrokarbon C

  30 asiklik, yaitu skualena. Uji yang banyak

  digunakan ialah reaksi Liebermann-Burchard yang dengan kebanyakan triterpena dan sterol memberikan warna hijau-biru (Harborne, 1987).

  Triterpenoid dapat dibagi atas 4 kelompok senyawa yaitu: 1.

  Triterpen pentasiklik

Gambar 2.8 Asam glisiretat 2.

  Steroid

  Gambar 2.9

  β-Sitosterol 3. Saponin

Gambar 2.10 Diosgenin

  4. Glikosida jantung

Gambar 2.11 Digitogenin Senyawa triterpenoid merupakan komponen aktif dalam tumbuhan obat yang telah digunakan untuk penyakit termasuk diabetes, gangguan menstruasi, patukan ular, gangguan kulit, kerusakan hati, dan malaria (Harborne, 1987; Robinson, 1995). Pada umumnya steroid tumbuhan berupa alkohol dengan gugus hidroksil pada C

  3 sehingga steroida sering juga disebut sterol (Robinson, 1995).

  Sterol adalah triterpen yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana perhidrofenantren. Fungsi penting triterpenoid tipe steroid pada manusia dan mamalia terutama sebagai peningkatan ataupun pengendalian hormon seks, misalnya estradiol, progesteron dan testosteron. Tipe sterol dan triterpen pentasiklik digunakan sebagai obat anti radang dan anti lebam serta pengobatan ulser lambung (Heinrich, et al., 2005). Dahulu steroid dianggap sebagai senyawa satwa (digunakan sebagai hormon kelamin, asam empedu) tetapi pada tahun-tahun terakhir ini makin banyak senyawa steroid yang ditemukan dalam jaringan tumbuhan (Harborne, 1987; Robinson, 1995).

Gambar 2.12 Struktur dasar steroida dan sistem penomorannya

  Menurut asalnya senyawa steroid dibagi atas: a.

  Zoosterol, yaitu steroid yang berasal dari hewan, misalnya kolesterol.

Gambar 2.13 Kolesterol b.

  Fitosterol, yaitu steroid yang berasal dari tumbuhan, misalnya β-sitosterol dan stigmasterol.

  β-Sitosterol Stigmasterol ( ∆22-23)

Gambar 2.14 β-sitosterol dan Stigmasterol c.

  Mycosterol, yaitu steroid yang berasal dari fungi, misalnya ergosterol.

Gambar 2.15 Ergosterol d.

  Marinesterol, yaitu steroid yang berasal dari organisme laut, misalnya spongesterol.

Gambar 2.16 Spongesterol

2.3 Ekstraksi

  Ekstraksi adalah penyarian komponen aktif dari suatu jaringan tumbuhan atau hewan dengan menggunakan pelarut yang cocok (Handa, 2008). Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut yaitu:

A. Cara dingin 1.

  Maserasi Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus- menerus). Remaserasi berarti dilakukan penyaringan berulang, dan seterusnya (Depkes, 2000).

2. Perkolasi

  Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan.

  Proses perkolasi terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1 - 5 kali bahan (Depkes, 2000).

B. Cara panas 1.

  Refluks Refluks adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

2. Digesti

  Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum

  o

  dilakukan pada temperatur 40 - 50 C.

  3. Sokletasi Sokletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan alat soklet dengan pelarutyang selalu baru sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

  4. Infus Infundasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air

  (bejana infus tercelup dalam penangas mendidih, temperatur terukur 96 -

  o

  98 C) selama waktu tertentu (15 - 20 menit).

  5. Dekok Dekoktasi adalah infus pada waktu yang lebih lama ( ≥ 30 menit) dan temperatur sampai titik didih air (Depkes, 2000).

  2.4 Fraksinasi

  Setelah ekstrak dibuat dengan cara metode ekstraksi yang sesuai dan aktivitasnya telah terbukti dalam uji hayati (misalnya uji antibakteri), langkah selanjutnya adalah melakukan fraksinasi terhadap ekstrak dengan menggunakan metode pemisahan sehingga komponen bioaktif yang dimurnikan dapat diisolasi.

  Metode pemisahan yang mungkin paling sederhana adalah partisi, yang banyak digunakan sebagai tahap awal pemurnian ekstrak. Partisi menggunakan dua pelarut tak bercampur yang ditambahkan ke dalam ekstrak tersebut, hal ini dapat dilakukan secara terus–menerus dengan menggunakan dua pelarut tak bercampur yang kepolarannya meningkat. Partisi biasanya melalui dua tahap: (1) air/petroleum eter ringan (n-heksana) untuk menghasilkan fraksi non polar di lapisan organik; (2) air/diklorometan atau air/kloroform atau air/etilasetat untuk membuat fraksi agak polar di lapisan organik (Heinrich, et al., 2005).

  2.5 Kromatografi

  Kromatografi adalah suatu metode pemisahan berdasarkan proses migrasi dari komponen-komponen senyawa di antara dua fase yaitu fase diam (dapat berupa zat cair atau zat padat) dan fase gerak (dapat berupa gas atau zat cair). Fase gerak membawa zat terlarut melalui media sehingga terpisah dari zat terlarut lainnya yang terelusi lebih awal atau lebih akhir. Umumnya zat terlarut dibawa melewati media pemisah oleh aliran suatu pelarut berbentuk cairan atau gas yang disebut eluen. Fase diam dapat bertindak melarutkan zat terlarut sehingga terjadi partisi antara fase diam dan fase gerak. Dalam proses ini suatu lapisan cairan pada penyangga yang inert berfungsi sebagai fase diam (Depkes, 1995).

  Cara-cara kromatografi dapat digolongkan sesuai dengan sifat-sifat dari fase diam, yang dapat berupa zat padat atau zat cair. Jika fase diam berupa zat padat maka cara tersebut dikenal sebagai kromatografi serapan, jika berupa zat cair dikenal sebagai kromatografi partisi (Depkes, 1995; Sastrohamidjojo, 1985).

  Pemisahan dan pemurnian kandungan kimia tumbuhan terutama dilakukan dengan menggunakan salah satu dari lima teknik kromatografi atau gabungan teknik tersebut. Kelima teknik kromatografi itu adalah: kromatografi kolom (KK), kromatografi kertas (KKt), kromatografi lapis tipis (KLT), kromatografi gas cair (KGC), dan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT). Pemilihan teknik kromatografi sebagian bergantung pada sifat kelarutan dan keatsirian senyawa yang akan dipisah (Harborne, 1987).

2.5.1 Kromatografi lapis tipis

  Kromatografi lapis tipis merupakan metode pemisahan campuran analit dengan mengembangkan analit melalui suatu lempeng kromatografi lalu melihat komponen/analit yang terpisah dengan penyemprotan atau pewarnaan (Gandjar dan Rohman, 2012).

  Fase diam yang terdiri atas bahan berbutir-butir dilapiskan pada penyangga berupa plat, gelas, logam atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah, berupa larutan ditotolkan berupa bercak ataupun pita, setelah itu plat atau lapisan dimasukkan ke dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama pengembangan, selanjutnya senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan (Stahl, 1985).

  Pendeteksian bercak hasil pemisahan dapat dilakukan dengan beberapa cara. Senyawa tak berwarna cara yang paling sederhana adalah dilakukan pengamatan dengan sinar ultraviolet. Beberapa senyawa organik berfluorosensi jika disinari dengan sinar ultraviolet gelombang pendek (254 nm) atau gelombang panjang (366 nm). Jika dengan cara itu senyawa tidak dapat dideteksi maka harus disemprot dengan pereaksi yang membuat bercak tersebut tampak yaitu pertama tanpa pemanasan, kemudian bila perlu dengan pemanasan (Gritter, et al., 1991; Stahl, 1985).

  Kromatografi lapis tipis dapat dipakai untuk dua tujuan (Gritter, et al., 1991) yaitu: 1. sebagai metode untuk mencapai hasil kualitatif (analitik) dan kuantitatif (preparatif).

  2. untuk mencari sistem pelarut yang akan dipakai dalam kromatografi kolom.

a. Fase diam (lapisan penyerap)

  Fase diam berupa lapisan tipis yang terdiri atas bahan padat yang dilapiskan pada permukaan penyangga datar yang biasanya terbuat dari kaca, plastik atau logam. Lapisan fase diam melekat pada permukaan dengan bantuan bahan pengikat, biasanya kalsium sulfat atau amilum (Gritter, et al., 1991).

  Semakin kecil ukuran rata-rata partikel fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja KLT dalam hal efisiensinya dan resolusinya. Penyerap yang paling sering digunakan adalah silika gel dan serbuk selulosa (Gandjar dan Rohman, 2012).

  Pada kromatografi lapis tipis lapisan fase diam harus sesedikit mungkin mengandung air, karena air akan menempati semua titik penyerapan sehingga tidak aka nada senyawa yang melekat. Oleh karena itu, sebelum digunakan plat

  o

  kromatografi lapis tipis perlu diaktifkan dengan pemanasan pada 110 C selama 30 menit (Gritter, et al., 1991; Stahl, 1985)

  b. Fase gerak (pelarut pengembang)

  Fase gerak adalah medium angkut yang terdiri atas satu atau campuran beberapa pelarut, jika diperlukan sistem pelarut multi komponen, harus berupa suatu campuran sesederhana mungkin yang terdiri atas maksimum tiga komponen (Stahl, 1985).

  Pemisahan pada KLT dikendalikan oleh rasio distribusi komponen dalam sistem fase diam/penyerap dan fase gerak tertentu. Profil pemisahan pada KLT dapat dimodifikasi dengan mengubah rasio distribusi dengan mengubah komposisi fase gerak dengan memperhatikan polaritas (Gandjar dan Rohman, 2012).

  c. Harga Rf

  Jarak pengembangan senyawa pada kromatogram biasanya dinyatakan dengan harga Rf (Retardation Factor) (Stahl, 1985).

  Jarak titik pusat bercak dari titik awal Rf =

  Jarak garis depan pelarut dari titik awal Jarak yang ditempuh oleh tiap bercak dari titik penotolan diukur dari pusat bercak. Harga Rf berada antara 0,00 - 1,00. Harga Rf ini sangat berguna untuk mengidentifikasi suatu senyawa (Eaton, 1989).

  Faktor-faktor yang mempengaruhi harga Rf adalah sebagai berikut (Sastrohamidjojo, 1985):

  a. struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan

  b. sifat penyerap

  c. tebal dan kerataan lapisan penyerap

  d. jenis pelarut dan derajat kemurniannya

  e. derajat kejenuhan uap pengembang dalam bejana

  f. teknik percobaan

  g. jumlah cuplikan yang digunakan

  h. suhu i. kesetimbangan

2.5.2 Kromatografi kolom

  Kromatografi cair yang dilakukan didalam kolom besar merupakan metode kromatografi terbaik untuk pemisahan campuran dalam jumlah besar (lebih dari 1 g). Kromatografi kolom berupa pipa gelas yang dilengkapi dengan kran dan gelas penyaring di dalamnya. Ukuran kolom tergantung pada banyaknya zat yang akan dipisahkan. Menahan penyerap yang diletakkan di dalam kolom dapat digunakan gelas wool atau kapas (Sastrohamidjojo, 1985).

  Kromatografi kolom biasanya dikembangkan dengan campuran pelarut yang terus-menerus berubah dengan cara landaian. Eluat yang keluar dari dasar kolom harus dipantau untuk mengetahui dimana linarut itu berada. Ini dapat dilakukan secara terus-menerus dengan memakai detektor yang cocok atau dengan membagi eluat dalam tabung reaksi atau vial-vial yang berurutan dan menganalisisnya dengan KLT (Gritter, et al., 1991).

2.5.3 Kromatografi lapis tipis preparatif

  Kromatografi lapis tipis (KLT) preparatif merupakan metode pemisahan yang menggunakan peralatan sederhana. Ketebalan penyerap yang sering dipakai adalah 0,5 - 2 mm, ukuran plat kromatografi biasanya 20 x 20 cm atau 20 x 40 cm. Ketebalan lapisan yang terbatas dan ukuran plat sudah tentu mengurangi jumlah bahan yang dapat dipisahkan dengan KLT preparatif. KLT preparatif dapat memisahkan bahan alam dalam jumlah gram, sebagian besar pemakaian hanya dalam jumlah milligram. Penjerap yang paling umum digunakan adalah silika gel dan dipakai untuk pemisahan senyawa lipofil maupun campuran senyawa hidrofil (Hostettmann, et al., 1995).

  Penotolan cuplikan dilakukan dengan melarutkan cuplikan dalam sedikit pelarut. Cuplikan ditotolkan berupa pita dengan lebar pita sesempit mungkin karena pemisahan tergantung pada lebar pita. Penotolan dapat dilakukan dengan pipet tetapi lebih baik dengan penotol otomatis. Pengembangan plat KLT preparatif dilakukan dalam bejana kaca yang dapat menampung beberapa plat. Bejana dijaga tetap jenuh dengan pelarut pengembang dengan bantuan kertas saring yang tercelup ke dalam pengembang (Hostettmann, et al., 1995).

  Kebanyakan penyerap KLT preparatif mengandung indikator fluorosensi yang membantu mendeteksi letak pita yang terpisah pada senyawa yang menyerap sinar ultraviolet. Mendeteksi senyawa yang tidak menyerap sinar ultraviolet ada beberapa pilihan (Hostettmann, et al., 1995): a. menambahkan senyawa pembanding

  b. menutup plat dengan sepotong kaca lalu menyemprot salah satu sisi dengan pereaksi semprot

2.5.4 Kromatografi lapis tipis dua arah (two-dimensional TLC)

  KLT dua arah atau KLT dua dimensi ini bertujuan untuk meningkatkan resolusi sampel ketika komponen-komponen solut mempunyai karakteristik kimia yang hampir sama, karena nilai Rf juga hampir sama. Selain itu, dua sistem fase gerak yang sangat berbeda dapat digunakan secara berurutan pada suatu campuran tertentu sehingga memungkinkan untuk melakukan pemisahan analit yang mempunyai tingkat polaritas yang hampir sama. Dengan demikian maka KLT dua dimensi dapat dipakai untuk memeriksa kemurnian isolat (Rohman, 2009).

  KLT dua dimensi dilakukan dengan melakukan penotolan sampel disalah satu sudut lapisan lempeng tipis dan mengembangkannya sebagaimana biasa dengan fase gerak pertama. Lempeng kromatografi selanjutnya dipindahkan dari

  

chamber pengembang dan fase gerak dibiarkan menguap dari lempeng. Lempeng

  dimasukkan ke dalam chamber yang menggunakan fase gerak kedua sehingga pengembangan dapat terjadi pada arah kedua yang tegak lurus dengan arah pengembangan yang pertama. Suksesnya pemisahan tergantung pada kemampuan untuk memodifikasi selektifitas fase gerak kedua dibandingkan dengan selektifitas eluen pertama (Rohman, 2009).

2.6 Spektrofotometri

2.6.1 Spektrofotometri sinar ultraviolet

  Spektrum ultraviolet adalah suatu gambaran yang menyatakan hubungan antara panjang gelombang atau frekuensi sinar UV terhadap intensitas serapan

  (adsorbansi). Sinar ultraviolet mempunyai panjang gelombang antara 200 - 400 nm. Serapan cahaya oleh molekul dalam daerah spektrum ultra violet tergantung pada struktur elektronik dari molekul yang bersangkutan (Sastrohamidjojo, 1985).

  Ketika suatu atom atau molekul menyerap sinar UV maka energi tersebut akan menyebabkan tereksitasinya elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Tipe eksitasi tergantung panjang gelombang cahaya yang diserap. Gugus yang dapat mengabsorpsi cahaya disebut dengan gugus kromofor (Dachriyanus, 2004).

  Pelarut yang banyak digunakan untuk spektrofotometri sinar UV adalah etanol 95% karena kebanyakan golongan senyawa larut dalam pelarut tersebut dan etanol tidak menyerap sinar UV. Alkohol mutlak niaga harus dihindari karena mengandung benzena yang dapat menyerap di daerah sinar UV pendek. Pelarut yang sering digunakan adalah air, etanol, metanol, n-heksana, eter minyak bumi dan eter. Konsentrasi dari analit di dalam larutan bisa ditentukan dengan mengukur absorban pada panjang gelombang tertentu dengan menggunakan hukum Lambert-Beer (Gandjar dan Rohman, 2007; Harborne, 1987).

2.6.2 Spektrofotometri sinar inframerah

  Spektrofotometri inframerah pada umumnya digunakan untuk: 1. menentukan gugus fungsi suatu senyawa organik 2. mengetahui informasi struktur suatu senyawa organik dengan membandingkan daerah sidik jarinya.

  Pengukuran pada spektrum inframerah dilakukan pada daerah cahaya inframerah tengah (mid-infrared) yaitu pada panjang gelombang 2.5 - 50 m atau

  • 1

  bilangan gelombang 4000 - 200 cm . Energi yang dihasilkan oleh radiasi ini akan menyebabkan vibrasi atau getaran pada molekul. Pita absorpsi sinar inframerah sangat khas dan spesifik untuk setiap tipe ikatan kimia atau gugus fungsi (Dachriyanus, 2004).

  Jenis absorpsi energi yang lain, molekul-molekul dieksitasikan ke tingkat energi yang lebih tinggi ketika molekul-molekul ini menyerap radiasi inframerah.

  Hanya frekuensi (energi) tertentu dari radiasi inframerah yang dapat diserap oleh suatu molekul. Agar molekul dapat menyerap radiasi inframerah, maka molekul tersebut harus mempunyai gambaran spesifik, yakni momen dipol molekul harus berubah selama vibrasi (Gandjar dan Rohman, 2012).

Dokumen yang terkait

Analisis Finansial Pemanfaatan dan Pengolahan Daun Jeruju (Acanthus ilicifolius L) Menjadi Berbagai Produk Olahan

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Higiene Sanitasi Makanan Jajanan - Higiene Sanitasi Pengelolaan Dan Pemeriksaan Kandungan Escherichia Coli Dalam Mie Gomak Uang Dijual Di Pasar Sidikalang Tahun 2012

0 2 32

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Higiene Sanitasi Pengelolaan Dan Pemeriksaan Kandungan Escherichia Coli Dalam Mie Gomak Uang Dijual Di Pasar Sidikalang Tahun 2012

0 1 7

Higiene Sanitasi Pengelolaan Dan Pemeriksaan Kandungan Escherichia Coli Dalam Mie Gomak Uang Dijual Di Pasar Sidikalang Tahun 2012

0 2 13

Tanggap Pertumbuhan Dan Produksi Tanaman Bawang Merah (Allium Ascalonicum L.) Terhadap Pemberian Pupuk Fosfat Dan Asam Humat.

0 0 9

Tanggap Pertumbuhan Dan Produksi Tanaman Bawang Merah (Allium Ascalonicum L.) Terhadap Pemberian Pupuk Fosfat Dan Asam Humat.

0 0 13

BAB II TINJAUAN UMUM DINAS A. Sejarah Singkat Dinas - Penggunaan Internet Dalam Pencarian Berita Di Dinas Komunikasi Dan Informatika Di Provinsi Sumatera Utara

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Air Sungai - Analisis Total Zat Padat Terlarut (Total Dissolved Solid) Dan Total Zat Padat Trsuspensi (Total Suspended Solid) Pada Air Badan Air Khususnya Air Sungai

0 0 11

Analisis Total Zat Padat Terlarut (Total Dissolved Solid) Dan Total Zat Padat Trsuspensi (Total Suspended Solid) Pada Air Badan Air Khususnya Air Sungai

0 0 11

Karakterisasi Simplisia Dan Skrining Fitokimia Serta Isolasi Senyawa Steroid/Triterpenoid Dari Fraksi N-Heksana Daun Gaharu (Aquilaria Malaccensis Lam.)

0 0 26