Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Irasionalitas Persyaratan Pencalonan Perseorangan dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota sebagai

  kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota diatur didalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) yang secara eksplisit menyatakan “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai

  kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis ”. Penyelenggaraan pemilihan

  Gubernur, Bupati, dan Walikota secara demokratis tersebut merupakan bagian pemilihan dari rezim Pemilu sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan atau Walikota dan Wakil Walikota. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 seperti dikemukakan pada bagian sebelumnya mempunyai frasa yang penting menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah dilakukan

  1 “secara demokratis”.

  Terdapat dua hal penting berkenaan dengan frasa kata “demokratis”. Hal pertama berkaitan dengan pemilih atau tepatnya rakyat untuk mengekspresikan secara penuh dan utuh apa yang menjadi aspirasinya. Dalam konteks ini, terdapat banyak dukungan diberikan yang berasal dari partai politik lainya dan kesatuan mayarakat adat, kelompok masyarakat dan perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang yang memenuhi persyaratan untuk menjadi pemilih.

  Pemilu merupakan salah satu pilar penting di dalam suatu negara yang demokratis. Artinya, suatu Negara tidak akan disebut demokratis bilamana kepala pemerintahan dan para wakil rakyat yang duduk didalam parlemen tidak dipilih melalui suatu proses Pemilu. Pemilu disebut sebagai demokratis bila pelaksanaanya dilakukan secara

  “free and fair

  election 1 ”. Hal ini dikemukakan secara tegas bahwa “free and Harun Husein, Pemilu Indonesia, Perludem, Jakarta, 2014, hal. 28

  fair elections are essential in assuring the consent of the

  2 governed

  ” Hal lain yang juga penting dikemukan berkenaan dengan frasa kata “demokratis”, bahwa indikator kosa kata

  “demokratis” tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek penting, yaitu: kesatu, adanya penyelenggara dan penyelenggaraan pemilihan yang didasarkan atas, dan dengan menerapkan prisnsip atau menggunakan asas pemilu: langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil; kedua, adanya kemandirian dan integritas dari penyelenggara Pemilu karena kelak akan berpengaruh terhadap akuntabilitas dari proses penyelenggaraan dan hasil Pemilu itu sendiri; ketiga,rakyat atau wakil rakyat yang mempunyai hak untuk memilih dalam pemilihan kepala daerah memiliki independensi atau mempunyai keleluasaan untuk memilih bakal calon kepala daerah secara langsung dan sesuai dengan asas-asas Pemilu seperti tersebut dalam butir kesatu diatas. Pendeknya, syarat dasar pemilihan yang demokratis, kepala daerah dan wakil 2 Titi Anggraini, Menata Kembali Pemilukada, Perludem, Jakarta, 2010,

  hal. 48 kepala daerah dipilih dalam satu pasangan secara independen atau leluasa oleh rakyat atau wakil rakyat yang juga

  3 independen.

  Untuk melaksanakan demokrasi yang sesungguhnya diperlukan partai politik sebagai pilar atau elemen utama.

  Untuk itu, partai politik harus sehat dalam menjalankan fungsi dasar: (1) Rekrutmen Politik (termasuk promosi dan degradasi); (2) Pemenangan Politik (untuk berkuasa dan menata sumber daya alam, manusia, dan sosial, demi kepentingan publik); (3) Pendidikan Politik (bagi kader dan publik); serta (4) fungsi Komunikasi Politik dalam arti luas,

  4

  namun esensinya mendengar aspirasi publik. Hanya partai politik yang sehat dalam fungsi-fungsi ini, pada ilmu Komunikasi Politik dinamakan Partai Politik yang sehat Untuk menjaga agar partai politik tetap sehat, maka disediakan mekanisme calon perseorangan yang dalam pertimbangan paradigmanya merupakan vaksin untuk menyehatkan partai 3 Didik Supriyanto, Menata Ulang Jadwal Pilkada Menuju Pemilu Nasional

  Perludem, Jakarta, 2013, hal. 84 dan Daerah, 4 Ibid, hal. 85

  politik. Paradigma Penyehatan ini dijamin ruhnya pada Pasal- Pasal Konstitusi Republik Indonesia, bersama dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor:5/PUU-V/2007.

  Menurut Mahkamah Konstitusi, kesempatan bagi calon perseorangan dalam pilkada di Provinsi Aceh diberikan untuk menciptakan pelaksanaan pilkada yang demokratis. Sifat keistimewaan Provinsi Aceh tidak ada sangkut pautnya dengan perbedaan peserta pilkada sehingga sepatutnya seluruh daerah lain di luar Provinsi Aceh juga memberikan kesempatan kepada calon perseorangan ikut serta dalam pilkada. Mengenai persentase syarat minimal dukungan, Mahkamah Konstitusi dalam petitumnya menyerahkan kepada pembentuk undang- undang mengenai besaran jumlah syarat minimal dukungannya.

  Syarat calon independen sampai saat ini masih menjadi perdebatan dikarenakan menyebabkan semakin kecilnya peluang calon perseorangan untuk ikut dalam Pilkada seiring dengan meningkatnya jumlah syarat dukungan dan mekanisme pemenuhan persyaratan dukungan. Berdasarkan putusan MK Nomor 46/PUU-XIII/2015, Mahkamah Konstitusi telah menetapkan bahwa Syarat dukungan Calon Perseorangan didasarkan kepada Jumlah Pemilih yang terdaftar dalam DPT pada Pemilu atau Pemilihan Terakhir. Kemudian pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 sebagai perubahan kedua terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 yang menyatakan bahwa setiap calon yang mengajukan dirinya melalui perseorangan atau tidak diusung partai politik harus mempunyai dukungan dari calon pemilih 6,5-10%. Perubahan itu seolah memberikan kemudahan bagi calon perseorangan yang akan mendaftarkan diri sebagai calon Gubernur, Bupati, Walikota melalui jalur perseorangan dengan syarat DPT tersebut. syarat calon independen itu sangat mudah memungkinkan partai politik akan kesulitan dalam regenerasi, walau masyarakat Indonesia 70% sangat setuju dan setuju dengan diperbolehkannya calon independen yang berasumsi bahwa ketika calon perseorangan dapat meraih pemilihan maka akan tampak demokrasi karena tidak adanya intervensi partai politik yang

dalam akhir-akhir ini bangsa kebanyakan yang kecewa dan

  5 kurang percaya terhadap partai politik .

  Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, peserta pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah pasangan yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik atau perseorangan yang mendaftar atau didaftarkan di KomisiPemilihan Umum Provinsi. Partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon apabila memenuhi persyaratan perolehan sekurang- kurangnya 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPRD atau 25% (dua puluhlima persen) dari akumulasi suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD didaerah yang bersangkutan. Sedangkan calon perseorangan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 harus memenuhi syarat dukungan berdasarkan Daftar Pemilih Tetap Pemilihan Terakhir dengan persentase 6,5-10%. 5 Sigit Pamungkas, Perihal Pemilu, Fisipol UGM, Yogyakarta, 2015, hal.

  74

  Kehadiran calon perseorangan sama sekali bukan dimaksudkan untuk mematikan partai politik. Kesempatan majunya calon perseorangan dibuka untuk memaksa sebuah sistem bergerak ke jalur yang benar, termasuk pelaksanaan fungsi parpol. Sejauh ini, parpol terasa menjauh dari fungsinya untuk mengartikulasikan kepentingan rakyat, pendidikan politik rakyat, serta alat agregasi berbagai kepentingan yang berasal dari aneka kepentingan dan tujuan.

  Secara rinci perubahan persyaratan dukungan pencalonan perseorangan yang terdapat dalam UU No 10 Tahun 2016 sebagai perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 adalah sebagai berikut:

  Tabel 1.1 Perbandingan Persyaratan Dukungan Calon Perseorangan Bupati dan Wakil Bupati

  UU 12 Tahun 2008 tentang Perubahan UU Nomor 10 Tahun UU No 8 Tahun 2015

  Kedua atas UU 32 2016

  Tahun 2004 Jumlah % Jumlah % Jumlah DPT %

  Penduduk minimal Penduduk minimal Pemilihan minimal dukungan dukungan terakhir dukungan

  Sampai 6,5% Sampai 10% Sampai dengan 10% dengan dengan 250.000 jiwa 250.000 jiwa 250.000 jiwa 250.000- 5% 250.000- 8,5% 250.000- 8,5% 500.000 jiwa 500.000 500.000 jiwa jiwa 500.000- 4% 500.000- 7,5% 500.000- 7,5%

  1.000.000 1.000.000 1.000.000 > 1.000.000 3% > 1.000.000 6,5% > 1.000.000 6,5%

  Ketentuan tersebut sangat memberatkan bagi calon kepala daerah dari jalur perseorangan alias nonpartisan. Ketika ketentuan tersebut disimulasikan di beberapa wilayah dengan jumlah penduduk sekitar 989.399 juta penduduk, setidaknya calon perseorangan harus mengantongi syarat dukungan sekitar 7,5 persen atau 74,205 orang. Ketentuan syarat dukungan itu bentuk perlakuan diskriminasi khususnya bagi calon perseorangan. Soalnya, berbeda dengan calon kepala daerah dari partai politik atau gabungan partai politik, syarat pencalonan kepala daerah harus mendapat dukungan 20 persen perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau 25% dari jumlah suara sah.

  Secara empiris jumlah calon independen pada Pilkada serentak 2015 terdapat 92 calon independen atau sekitar 35% dari 264 daerah. Jumlah calon perseorangan tentu saja dapat meningkat dari tahun ke tahun ditambah dengan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik. Berbagai jajak pendapat publik sejak tahun 2004 selalu menunjukkan angka

  

party identification dikisaran 15-20 persen saja, artinya hanya

  sekitar 15-20 persen masyarakat Indonesia yang merasa dekat dengan partai politik. Namun di Pilkada serentak 2017, tidak ada seorang pun calon perseorangan yang ikut kontestasi dalam Pilkada 15 Pebruari 2017. Hal tersebut menunjukkan bahwa persyaratan pencalonan perseorangan jauh dari aspek keadilan maupun tidak berpihak pada hak sipil dan politik masyarakat.

  Ketentuan itu juga akan mengebiri calon perseorangan untuk turut serta dalam penguatan demokrasi melalui Pilkada.

  Untuk itu, agar terjamin kesetaraan dan persamaan, penentuan besaran persentase calon kepala daerah dari jalur perseorangan seharusnya didasarkan pada jumlah suara sah, bukan didasarkan pada jumlah penduduk atau berdasarkan jumlah DPT Pemilihan terakhir, dimana salah satu syaratnya adalah syarat dukungan berdasarkan e-KTP, yang sampai saat ini masih banyak terjadi permasalahan. Berdasarkan hal tersebut peneliti akan menulis tesis mengenai Irasionalitas pemenuhan persyaratan pencalonan perseorangan dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah.

B. Pertanyaan Penelitian

  Pertanyaan dalam penelitian ini adalah bagaimana irasonalitas persyaratan pencalonan perseorangan dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah?

  C. Tujuan Penelitian

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui irasionalitas persyaratan pencalonan perseorangan dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah.

  D. Manfaat Penelitian

  Manfaat atau keuntungan yang didapatkan dari suatu penelitian.

  1. Manfaat teoritis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum tata negara.

  2. Manfaat praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu masukan dalam rangka penyusunan regulasi mengenai persyaratan calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah.

  E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

  Jenis penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah yuridis normatif (Legal Research). Pengertian penelitian yuridis normatif ini adalah penelitian yang dilakukan dengan mengkaji dan menganalisa substansi peraturan perundang-undangan atas pokok permasalahan atau isu hukum dalam konsistensinya dengan asas-asas hukum

  6 yang ada.

2. Pendekatan Penelitian

  Metode pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) yaitu pendekatan yang dilakukan dengan menelaah undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu atau fakta hukum dengan permasalahan yang menjadi pokok

  7

  permasalahan. Selain itu juga menggunakan pendekatan konseptual (conceptual approach) yaitu suatu pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin- doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum, sehingga 6 menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian

  Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Malang, 2008, hal. 39 7 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006, hal.

  96 hukum, konsep hukum, asas-asas hukum yang relevan dengan

  8 isu yang dihadapi.

3. Jenis dan Sumber Data a.

  Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif yang artinya mempunyai otoritas.

  Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang- undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam

  9 pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim.

  Bahan hukum primer yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah peraturan perundang-undangan, yaitu: 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

  2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU 32 Tahun 2004 tentang 8 Pemerintahan Daerah.

  hal. 137 9 Ibid, Ibid, hal. 141

  3) Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang.

  4) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pencalonan Pemilihan Umum Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah

  5) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan atau/ Walikota dan Wakil Walikota.

  b.

  Bahan Hukum Sekunder Sumber bahan hukum sekunder yaitu berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi,meliputi buku-buku teks (literatur), kamus hukum, jurnal hukum, dan komentar

  10

  atas putusan pengadilan. Bahan hukum sekunder juga dapat diperoleh melalui data dan informasi yang diperoleh melalui internet yang relevan dengan permasalahan yang sedang dikaji. Pada penulisan tesis ini, bahan hukum sekunder yang digunakan oleh penulis adalah buku-buku teks yang berkaitan dengan hukum dan juga didapat dari data dan informasi melalui internet.

  c.

  Bahan Non hukum Sumber bahan non hukum sebagai penunjang dari sumber bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

  Bahan non hukum dapat berupa buku, jurnal, laporan penelitian, dan lain-lain (buku-buku politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, dan lain-lain) yang relevan dengan

  11

  objek penelitian. Bahan non hukum yang digunakan 10 oleh penulis dalam penulisan tesis iniberupa buku 11 Ibid, hal. 155 Ibid, hal. 163 pedoman penulisan karya ilmiah dan bahan-bahan lainnya yang diperoleh dari sumber non hukum lainnya.

4. Teknik Analisa Data

  Analisis bahan hukum merupakan suatu metode atau cara untuk menemukan jawaban atas permasalahan yang dibahas. Proses menemukan jawaban atas permasalahan yang dibahas dilakukan dengan tahap sebagai

  12

  berikut:

  1. Mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan;

  2. Pengumpulan bahan-bahan hukum dan bahan-bahan non hukum yang dipandang mempunyai relevansi;

  3. Melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan berdasarkan bahan-bahan yang telah dikumpulkan;

  4. Menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang 12 menjawab isu hukum; dan

  Ibid, hal. 171

  5. Memberikan persepsi berdasarkan argumentasi yang telah dibangun didalam kesimpulan.

  Hasil analisa bahan hukum sekunder tersebut diatas kemudian dibahas dengan metode deduktif untuk mendapatkan pemahaman atas permasalahan sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan. Metode deduktif yang dimaksud adalah suatu metode yang digunakan untuk mengambil kesimpulan dari pembahasan yang bersifat umum menjadi kesimpulan yang bersifat khusus sehingga jawaban atas permasalahan dalam tesis dapat tercapai.

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Wacana Kritis tentang Pencabutan Banding oleh Ahok dalam Teks Berita Surat Kabar Online Kompas.Com

0 1 16

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian terhadap Putusan No.61/PDT.G/2012/PN Kediri dalam Perspektif Kepastian Hukum

0 0 14

BAB II PEMBAHASAN I. Tinjauan Pustaka A. Perjanjian Kredit pada Perjanjian Jaminan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kajian terhadap Putusan No.61/PDT.G/2012/PN Kediri dalam Perspektif Kepastian Hukum

0 0 69

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Hadirnya masyarakat informasi ditandai dengan adanya pemanfaatan - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kata Sepakat dalam Transaksi E-Commerce: Putusan No. 82/Pdt.G/2013/PN.Yk.

0 1 15

BAB II HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 2. Kajian Pustaka 2.1. Ruang Lingkup Wanprestasi - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kata Sepakat dalam Transaksi E-Commerce: Putusan No. 82/Pdt.G/2013/PN.Yk.

0 0 64

BAB I PENDAHULUAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tindakan Polisi Lalu Lintas dalam Melakukan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas untuk Mengurangi Kecelakaan: Studi Kasus di Satlantas Polres Temanggung

0 0 14

BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tindakan Polisi Lalu Lintas dalam Melakukan Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas untuk Mengurangi Kecelakaan: Studi Kasus di Satlantas Polre

0 0 79

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi

0 0 55

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pertanggungjawaban Pidana Korporasi yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi

0 0 46