15. Asas Kebebasan Berkontrak Ardhito Sayoga

0910204034 –Ardhito Ssayoga
Asas Kebebasan Berkontrak Mazhab Hukum Alam (Hugo de Groot,
Thomas Hobbes, dan Immanuel Kant).
Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak berkaitan erat dengan
lahirnya paham individualisme. Paham individualisme secara embrional lahir
pada zaman Yunani yang kemudian diteruskan oleh kaum epicuristen dan
berkembang pesat pada zaman renaissance melalui ajaran-ajaran antara lain
ajaran Hugo de Groot, Thomas Hobbes, John Locke dan Rousseau
Dalam pembahasan ini, akan dikemukakan bagaimana pemikiran dari
beberapa tokoh mazhab hukum alam yang membahas perjanjian dan
kebebasan berkontrak di dalam karya-karyanya, yaitu Hugo de Groot, Thomas
Hobbes, dan Immanuel Kant.
1. Hugo de Groot
De Groot beranggapan bahwa kontrak adalah suatu tindakan suka rela
dari seseorang dimana ia berjanji sesuatu kepada orang lain dengan
maksud bahwa orang lain itu akan menerimanya. Kontrak tersebut adalah
lebih dari sekedar suatu janji, karena suatu janji tidak memberikan hak
kepada pihak yang lain atas pelaksanaan janji itu.
2. Thomas Hobbes
Kontrak menurut Hobbes adalah metode dimana hak-hak fundamental
dari manusia dapat dialihkan, sebagaimana halnya dengan hukum alam

yang menekankan tentang perlunya ada kebebasan bagi manusia, maka
hal itu berlaku juga berkaitan dengan kontrak-kontrak.
Thomas Hobbes berpendapat bahwa alam telah membuat manusia sama,
yaitu sama dalam panca indranya dan sama dalam pikirannya, sekali pun
dapat dijumpai bahwa kadang-kadang ada manusia yang lebih kuat
raganya dari manusia yang lain. Dari kesamaan ini timbul kesamaan
harapan untuk memperoleh tujuan-tujuan akhirnya. Apabila ada dua
manusia yang menginginkan hal yang sama, yang untuk hal tersebut
tidak mungkin dapat dinikmati bersama oleh mereka, maka mereka akan
saling bermusuhan. Untuk mencapai apa yang diinginkan oleh mereka itu,
mereka akan berusaha untuk menghancurkan atau menaklukkan yang
lain.
Oleh karena manusia selalu merupakan mahluk yang serakah dan akan
condong untuk mengambil kembali sebagian dari hak-haknya yang telah
diserahkan itu apabila dia merasa rugi karena telah melakukan hal yang
demikian itu, maka sekedar mereka setuju untuk menyerahkan hak alami
mereka tidaklah cukup, harus dilakukan perbuatan yang lebih daripada
itu, yaitu mereka harus mengalihkan hak-hak alami mereka kepada
seseorang atau suatu badan yang dapat memastikan bahwa perjanjian itu
dipatuhi dengan memberikan hak kepada orang atau badan itu untuk

menggunakan seluruh kekuasaan yang diperoleh dari semua pihak yang
bersangkutan agar mereka mematuhi perjanjian tersebut. Dikatakan oleh
Hobbes bahwa “Covenants, without the Sword, are but words, and of no
strength to secure a man at all”.
3. Immanuel Kant
Mengenai hak, Kant membedakan hak-hak alami dari hak-hak yang
diperoleh, tetapi ia hanya mengakui satu hak alami, yaitu kebebasan

manusia sepanjang kebebasan ini dapat berdampingan dengan kebebasan
manusia menurut hukum umum. Persamaan termasuk dalam prinsip
kebebasan, dari sini menyusul sejumlah hak yang bersifat individual,
terutama hak untuk memiliki, yang oleh Kant (seperti halnya Locke,
Hegel, dan banyak yang lain) dianggap sebagai suatu ekspresi dari suatu
kepribadian.
Dalam pembahasannya mengenai kontrak, Kant menganggap bahwa
kontrak seperti halnya kepemilikan, memunculkan persoalan tertentu
dalam tingkatan empirik.
Kant mendefinisikan kontrak sebagai pemilik atas kehendak arbiter orang
lain sebagai sarana untuk mengarahkan kehendak melalui kehendak
arbiter untuk melakukan tindakan tertentu sesuai dengan hukum

kebebasan. Kesulitan muncul lantaran kontrak bersangkutpaut dengan
kehendak bebas dan setara, mereka tidak bisa diwajibkan untuk
melakukan tindakan selain melalui kehendak bebas masing-masing
(wilkür).
Kontrak mengasumsikan adanya individu yang bebas dan setara dengan
cara masing-masing. Dalam masyarakat sipil kontrak merupakan sarana
mendasar untuk menentukan kepemilikan, dalam masyarakat tersebut
kontrak hanya disaingi oleh pemberian dan pewarisan sebagai sarana
mentransfer barang dan kekayaan dari suatu individu ke individu lain.
Sebagaimana jual beli barang di pasar didasarkan pada kontrak, kontrak
tidak sekedar mencirikan transaksi yang sifatnya kadang-kadang atau
tidak sering, ini merupakan hubungan materi yang khas dalam
masyarakat kapitalis modern. Kontrak merupakan sarana yang lazim
dimana pemilik kekayaan disatukan bersama secara sosial. Dengan
demikian, cara individu dalam berhubungan satu sama lain diharapkan
dapat memebentuk sifat bagi masyarakat secara keseluruhan. Apa yang
sebenarnya didapatkan dalam sebuah kontrak adalah kendali terhadap
kehendak orang lain berkenaan dengan tindakan yang dijanjikan.

Syarat-syarat Syah Kontrak

Pasal 1320 KUHPerdata menentukan empat syarat sahnya perjanjian, yaitu:
1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak
1. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum
2. Adanya objek, dan
3. Adanya kausa yang halal.
Ke-empat hal itu, dikemukakan berikut ini.
1. Kesepakatan (Toesteming/Izin) Kedua Belah Pihak.
Kesepakatan ini diatur dalam pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata. Yang
dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan
kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lain. Yang
sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat
dilihat/diketahui orang lain.
2. Kecakapan Bertindak

Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk
melakukan perbuatan hukum. Pebuatan hukum adalah perbuatan
yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan
mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan
mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum,
sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang. Orang yang

cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah
dewasa. Ukuran kedewasaan adalah telah berumur 21 tahun dan
atau sudah kawin. Orang yang tidak berwenang melakukan
perbuatan hukum adalah:
1. anak dibawah umur (minderjaringheid),
2. orang yang ditaruh dibawah pengampuan, dan
3. istri (pasal 1330 KUHPerdata). Akan tetapi dalam
perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan hukum.
(pasal 31 UU nomor 1 tahun 1974 jo.SEMA No.3 Tahun
1963).
3. Adanya Objek Perjanjian (Onderwerp der Overeenskomst)
Yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian).
Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang
menjadi hak kreditur. Prestasi itu terdiri dari perbuatan positif dan
negatif. Prestasi terdiri atas; 1). memberikan sesuatu, 2). berbuat
sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu (pasal 1234 KUHperdata).
Misalnya jual beli rumah. Yang menjadi prestasi/pokok perjanjian
adalah menyerahkan hak milik atas rumah dan menyerahkan uang
harga dari pembelian rumah itu.
4. Adanya Causa Yang Halal (Geoorloofde Oorzaak)

Dalam pasal 1320 KUHPerdata tidak dijelaskan pengertian orzaak
(causa yang halal). Dalam pasal 1337 KUHPerdata hanya disebutkan
causa yang terlarang.Suatu sebab adalah terlarang apabila
bertentangan dengan undang-undang, kesusialaan, dan ketertiban
umum. Hoge Raad sejak tahun 1927 mengartikan Oorzaak sebagai
sesuatu yang menjadi tujuan para pihak. Contoh A menjual sepeda
motor ke B. Akan tetapi, sepeda motor yang dijual oleh si A itu
adalah barang hasil curian. Jual beli seperti itu tidak mencapai
tujuan si B, karena si B menginginkan barang yang dibelinya itu
barang yang sah.
Syarat yang pertama dan kedua disebut syarat Subjektif, karena
menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat
ke tiga dan ke-empat disebut syarat objektif, karena menyangkut objek
perjanjian.
Bentuk-Bentuk Kontrak
Kontrak yang dibuat secara tertulis telah lama dipakai dan sampai sekarang
masih sering dipergunakan dalam praktek. George Aaron Barton membagi
bentuk-bentuk kontrak tertulis berdasarkan sejarah yang dibuat oleh rakyat
Mesopotania (Kerajaan Babylonia), yaitu sebagai berikut;
1. Kontrak Jual Beli

2. Kontrak sewa menyewa

3.
4.
5.
6.
7.

Kontrak
Kontrak
Kontrak
Kontrak
Kontrak

ketengakerjaan
persekutuan perdata
utang piutang dan jaminan
Kepailitan/bangkrut
pemberian kuasa


Berakhirnya Kontrak
Berakhirnya suatu kontrak, dalam KUHPerdata disebut sebagai hapusnya
perikatan sebagaimana diatur dalam pasal 1381. Dalam pasal ini mengatur
berbagai cara tentang hapusnya suatu perikatan, baik perikatan itu bersumber
dari perjanjian maupun dari undang-undang. Perikatan hapus karena:
1. Karena pembayaran;
2. Karena pemawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan
atau penitipan;
3. Karena pembaharuan hutang
4. Karena perjumpaan hutang atau kompensasi
5. Karena percampuran hutang;
6. Karena pembebasan hutang
7. Karena munsnahnya barang yang terutang;
8. Karena kebatalan atau pembatalan;
9. Karena berlakunya suatu syarat batal yang diatur dalam bab kesatu
buku ini;
10. Karena lewatnya waktu, hal mana akan diatur dalam suatu bab
tersendiri.
Menurut R.Setiawan, terhapusnya perikatan harus dibedakan dengan
hapusnya persetujuan. Persetujuan dapat hapus karena:

1. Ditentukan dalam persetujuan oleh para pihak. Misalnya persetujuan
akan berlaku untuk waktu tertentu.
2. Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu persetujuan.
3. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan
terjadinya peristiwa tertentu, maka persetujuan akan hapus.
4. Pernyataan penghentian persetujuan (opzzeging).
5. Persetujuan hapus karena putusan hakim.
6. Dengan persetujuan para pihak (herroping).

Kontrak Baku (Standardized contract)
Kontrak baku adalah kontrak yang baik isi, bentuk maupun cara
penuntupannya
dirancang,
dibuat,
ditetapkan,
digandakan,
serta
disebarluaskan secara sepihak oleh salah satu pihak. Dikarenakan kontrak
baku dirancang, dibuat, ditetapkan, digandakan serta disebarluaskan secara
sepihak oleh salah satu pihak, sedangkan pihak lainnya hanya dapat menerima

atau menolak, tidak mengherankan bila kontrak baku yang berisi ketentuan
dan persyaratan yang:
a. Mengurangi atau menghapuskan tanggungjawab pembuat kontrak
atas akibat hukum tertentu, misalnya ganti rugi akibat wanprestasi;
b. Membatasi atau menghapuskan kewajiban tertentu pembuat kontrak;

c. Menciptakan kewajiban tertentu yang kemudian dibebankan kepada
pihak lain, misalnya menciptakan kewajiban memberi ganti rugi
kepada pihak ketiga yang terbukti mengalami kerugian.
Kontrak Standar / Kontrak Baku
Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan telah
dituangkan dalam bentuk formulir,
kontrak ini telah dintentukan secara
sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi
lemah. Sehingganya inti dari perjanjian kontrak standar adalah isi dari yang
diperjanjiikan tidak pernah dinegosiasikan dengan pihak lain, sedangkan pihak
lainnya hanya diminta untuk menerima atau menolak isi perjanjian tersebut.
Jenis-jenis Kontrak Standar
Sebagaimana dikutip oleh Salim H.S, bahwa kontrak standar atau perjanjian
baku menurut Mariam Darus Badrulzaman membaginya menjadi empat jenis,

yaitu sebagai berikut
1.
Perjanjian baku sepihak, yaitu perjanjian yang isinya ditentukan
oelh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang
kuat disini adalah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai pisis
(ekonomi) kuat dibanding pihak debitur;
2.
Perjanjian baku timbal balik, yaitu perjanjian baku yang isinya
ditentukan oelh kedua belaj pihak, misalnya perjanjian baku yang
terdiri dari pihak majikan (kreditur) dan pihak buruh (debitur).
Kedubelah pihak lazimnya terikat dalam organisasi, mislanya pada
perjanjian buruh kolektif;
3.
Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu
perjanjian baku yang isinya ditentukan Pemerintah terhadap perbuatanperbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian-perjanjian yang
mempunyai objek hak-hak atas tanah. Dalam bidang Agraria, mislanya
formulir-formulir perjanjian sebagaimana diatru dalam SK Menteri
Dalam Negeri tanggal 6 Agustus 1977 no.104/Dj/1977 berupa antara
lain akta jual beli;
Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat, yaitu
perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk
memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang minta bantuan notaris
atau advokat yang bersangkutan. Dalam perpustakaan Belanda, jenis keempat ini disebut contract model;

Asas-Asas dalam Kontrak
Dalam bisnis kontrak sangat dipergunakan orang, bahkan hampir semua
kegiatan bisnis selalu diawali oleh adanya kontrak, alaupun dibuat secara
sederhana. Karena fungsinya yang sangat penting, maka pembuatan kontrak
haruslah memperhatikan asas-asas yang berlaku dalam suatu kontrak.
Sebagaimana kita ketahui dalam ilmu hukum dikenal beberapa asas hukum
terhadap suatu kontrak, antara lain :
1. Asas Kontrak sebagai Hukum Mengatur
Hukum mengatur (aanvullen recht) adalah peraturan-peraturan hukum
hukum yang berlaku bagi subjek hukum, misalnya para pihak dalam suatu
kontrak. Akan tetapi, ketentuan hukum seperti ini tidak mutlak
berlakunya, karena jika para pihak mengatur sebaliknya, maka yang
berlaku adalah apa yang diatur oleh para pihak tersebut. Jadi, peraturan
yang bersifat umum mengatur dapat disimpangi oleh para pihak. Pada
prinsipnya hukum kontrak termasuk kategori hukum mengatur, yakni
sebagian besar (meskipun tidak menyeluruh) dari hukum kontrak tersebut
dapat disimpangi oleh para pihak dengan mengaturnya sendiri. Oleh
karena itu, hukum kontrak ini disebut hukum yang mempunyai sistem
terbuka (open system). Sebagai lawan dari hukum mengatur adalah
hukum yang memaksa (dwingend recht, mandatory). Dalam hal ini yang
dimaksud dengan hukum memaksa adalah aturan hukum yang berlaku
secara memaksa atau mutlak, dalam arti tidak dapat disimpangi oleh para
pihak yang terlibat dalam suatu perbuatan hukum, termasuk oleh para
pihak dalam suatu kontrak.
2. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)
Kebebasan berkontrak, artinya seseorang bebas untuk mengadakan
perjanjian, bebas mengenai apa yang diperjanjikan, bebas pula
menentukan bentuk kontraknya.
Asas ini merupakan konsekuensi dari berlakunya asas kontrak sebagai
hukum mengatur. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan asas
kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang mengajarkan bahwa dalam
suatu kontrak para pihak paa prinsipnya bebas untuk membuat atau tidak
membuat kontrak, demikian juga kebebasanya untuk mengatur sendiri isi
kontrak tersebut. Asas kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh ramburambu hukum sebagai berikut :
a. Harus memenuhi syarat sebagai suatu kontrak
b. Tidak dilarang oleh undang-undang
c. Tidak bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku
d. Harus dilaksanakan dengan itikad baik
Bentuk dan isi perjanjian asas kebebasan berkontrak dapat dibuat asal
tidak bertentangan dengan:
 Undang-undang
 Ketertiban Umum

 Kesusilaan
Asas Kebebasan Bekontrak mengandung makna bahwa dalam membuat
suatu kontrak, pihak-pihak pembuatnya pada dasarnya memiliki
Kebebasan untuk:
- Menentukan apakah ia akan mengikatkan diri pada (atau menutup)
kontrak yang bersangkutan atau tidak;
- Menentukan dengan pihak mana, dengan siapa ia akan mengikatkan
diri dalam suatu kontrak;
- Menentukan objek, isi dan persyaratan-persyaratan kontrak;
- Menentukan bentuk/format kontrak, selama hal itu diperkenankan oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- Menentukan tatacara, langkah-langkah serta persyaratan pengikatan
diri untuk pembentukan sebuah kontrak yang mengikat para pihak.
Bagi seorang perancang kontrak, makna dari asas Kebebasan Berkontrak
itu perlu dijadikan sebagai sikap dasar dalam pelaksanaan tugas-tugas
perancangan, khususnya dikaitkan dengan dua aspek utama dalam
perancangan kontrak yang baik, yaitu:
- Aspek akomodatif, dalam arti bahwa seorang perancang kontrak harus
mampu mengakomodasikan seoptimal mungkin kebutuhan dan
harapan yang sah (legitimate needs and expectations of the parties)
yang terbentuk dalam transaksi bisnis mereka ke dalam kontrak bisnis
yang dirancangnya pada saat yang sama.\
- Aspek legalitas, dalam arti bahwa seorang perancang kontrak harus
berupaya semaksimal mungkin untuk dapat menuangkan transaksi
bisnis (atau transaaksi apapun) diantara para pihak ke dalam kontrak
yang sah dan dapat dilaksanakan (valid and enforceable contract).
Dari segi ini perlu diperhatikan hal-hal yang mungkin dapat membatasi
kebebasan berkontrak para pihak dalam mewujudkan transaksi bisnis
merek seperti kewajiban pendaftaran, penggunaan akta otentik untuk
jenis-jenis kontrak tertentu dan sebagainya.
3. Asas Pacta Sunt Servanda
Istilah ”pacta sunt servanda” mempunyai arti bahwa janji itu mengikat,
yang dimaksud dengan asas kebebasan berkontrak ini ialah bahwa
kontrak yang dibuat secara sah oleh para pihak tersebut secara penuh
sesuai isi kontrak tersebut. Istilah lain dari asas ini adalah ”my word is my
bonds”, yang artinya dalam bahasa Indonesia bahwa jika sapi dipegang
talinya, jika manusia dpegang mulutnya, mengikat secara penuh atas
kontrak atas kontrak yang dibuat oleh para tersebut oleh hukum
kekuatanya dianggap sama saja dengan kekuatan mengikat dari suatu
undang-undang. Oleh karena itu, apabila suatu pihak dalam kontrak yang
telah dibuatnya oleh hukum disediakan ganti rugi atau bahkan pelaksaan
kontrak secara paksa.
4. Asas Konsensual
Yang dimaksud dengan asas konsensual dari suatu kontrak adalah bahwa
jika suatu kontrak telah dibuat, maka dia telah sah dan mengikat secara
penuh, bahkan pada prinsipnya persyaratan tertulis pun tidak disyaratkan
oleh hukum, kecuali untuk beberapa jenis kontrak tertentu, yang memang
dipersyaratkan syarat tertulis.
5. Asas Obligatoir

Asas obligatori adalah suatu asas yang menetukan bahwa jika suatu
kontrak telah dibuat, maka para pihak telah terikat, tetapi keterikatan itu
hanya sebatas timbulnya hak dan kewajiban semata-mata, sedangkan
prestasi belum dapat dipaksakan karena kontrak kebendaan (zakelijke
overeenkomst) belum terjadi. Jadi, jika terhadap kontrak jual beli
misalnya, maka dengan kontrak saja, hak milik belum berpindah, jadi
baru terjadi kontrak obligatoir saja. Hak milik tersebut baru dapat
berpindah setelah adanya kontrak kebendaan atau sering disebut serah
terima (levering). Hukum kontrak di Indonesia memberlakukan asas
obligatoir ini karena berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Kalaupun hukum adat tentang kontrak tidak mengakui asas obligatoir
karena hukum adat memberlakukan asas kontrak riil, artinya suatu
kontrak haruslah dibuat secara riil, dalah hal ini harus dibuat secara
terang dan tunai. Kontrak harus dilakukan di depan pejabat tertentu,
misalnya di depan penghulu adat atau ketua adat, yang sekaligus juga
dilakukan levering-nya. Jika hanya sekedar janji saja, seperti dalam
sistem obligatoir, dalam hukum adat kontrak semacam ini tidak
mempunyai kekuatan sama sekali

kebebasan berkontrak dalam kenyataanya seringkali didapati salah satu
pihak yang menentukan syarat didalam suatu kontrak, sedangkan pihak
lain hanya dapat menerima atau menolak (misalnya dalam kontrak
standar: syarat umum dari bank, syarat penyerahan dari produsen, dan
sebagainya). Tidak dipungkiri bahwa kegiatan bisnis tersebut menjadi
latar belakang tumbuhnya perjanjian baku. Menurut Gras dan Pitlo, latar
belakang lahirnya perjanjian baku antara lain merupakan akibat dari
perubahan susunan masyarakat. Masyarakat sekarang bukan lagi
merupakan kumpulan individu seperti pada abad XIX, tetapi merupakan
kumpulan dari sejumlah ikatan kerja sama (organisasi).[7]. Perjanjian
baku lazimnya dibuat oleh organisasi-organisasi poerusahaan. Hal inilah
yang membuat perjanjian baku sering telah distandarisasi isinya oleh
pihak-pihak ekonomi kuat, sedangkan pihak lainnya hanya diminta untuk
menerima atau menolak isinya. Disinilah letak kontradiksi antara asas
kebebasan berkontrak dengan pemberlakuan pelaksanaan perjanjian
baku.
Kebebasan berkontrak tidak dapat berlaku mutlak tanpa batas. Dalam
melihat pembatasan kebebasan berkontrak terhadap kebolehan
pelaksanaan kontrak baku terdapat dua pendapat yang dikemukaan oleh
Treitel yaitu terdapat dua pembatasan.
 Yang pertama adalah pembatasan yang dilakukan untuk menekan
penyalahgunaan yang disebabkan oleh karena berlakunya asas
kebebasan berkontrak. Misalnya diberlakukannya exemption clauses
(kalusul eksemsi) dalam perjanjian-perjanjian baku.
 Yang kedua pembatasan kebebasan berkontrak karena alasan demi
kepentingan umum (public interest).[13]
Dari keterangan diatas dapat di ketahui bahwa tidak ada kebebasan
berkontrak yang mutlak. Pemerintah dapat mengatur atau melarang suatu
kontrak yang dapat berakibat buruk terhadap atau merugikan
kepentingan masyarakat. Pembatasan-pembatasan terhadap asas
kebebasan berkontrak yang selama ini dikenal dan diakui oleh hukum
kontrak sebagaimana telah diterangkan diatas ternyata telah bertambah
dengan pembatasan-pembatasan baru yang sebelumnya tidak dikenal
oleh hukum perjanjian yaitu pembatasan-pembatasan yang datangnya
dari pihak pengadilan dalam rangka pelaksanaan fungsinya selaku
pembuat hukum, dari pihak pembuat peraturan perundang-undangan
(legislature) terutama dari pihak pemerintah, dan dari diperkenalkan dan
diberlakukannya perjanjian adhesi atau perjanjian baku yang timbul dari
kebutuhan bisnis.
Di Indonesia kita ketahui pula ada dijumpai tindakan negara yang
merupakan campur tangan terhadap isi perjanjian yang dibuat oleh para
pihak. Sebagai contoh yang paling dikenal adalah yang menyangkut
hubungan antara buruh dan majikan/pengusaha.
Tetapi tidak semua tingkat peraturan perundang-undangan dapat
membatasi asas kebebasn berkontrak, namun hanya UU atau Perpu atau
peraturan perundan-undagan yang lebih tinggi saja yang memepunyai

kekuatan hukum untuk emmbatsai bekerjanya asas kebebasan
berkontrak.
Bila dikaitkan dengan peraturan yang dikeluarkan yang berkaitan dengan
kontrak baku atau perjanjian standar yang merupakan pembolehan
terhadap praktek kontrak baku, maka terdapat landasan hukum dari
berlakunya perjanjian baku yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia.
Dalam melihat dasar hukum pemberlakuan kontrak baku dalam kaitannya
dengan kebebasan berkontrak terhadap kebolehan pelaksanaan kontrak
baku terdapat dua pendapat yang dikemukaan oleh Treitel yaitu terdapat
dua pembatasan. Yang pertama adalah pembatasan yang dilakukan untuk
menekan penyalahgunaan yang disebabkan oleh karena berlakunya asas
kebebasan berkontrak. Misalnya diberlakukannya exemption clauses
(kalusul eksemsi) dalam perjanjian-perjanjian baku. Yang kedua
pembatasan kebebasan berkontrak karena alasan demi kepentingan
umum (public interest). Hal ini berarti kontrak baku yang dibuat oleh para
pihak adalah sah dan mengikat kedua belah pihak. Selain itu dengan
dikeluarkannya beberapa peraturan oleh pemerintah Indoensia yang
mengatur menegani kontrak baku, maka kontrak baku diperbolehkan
untuk dilaksanakan dengan mengenyampingkan asas kebebasan
berkontrak.