Penerapan Asas Contra Legem Dalam Pembagian Harta Bersama (Analisis Putusan Perkara Nomor : 1048/Pdt.G/2009/Pa.Bbs Di Pengadilan Agama Brebes

(1)

BERSAMA (Analisis Putusan perkara Nomor : 1048/Pdt.G/2009/PA.Bbs di

Pengadilan Agama Brebes)

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk

Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh

:

AHMAD DHIAUL AKIFIN

NIM : 108044100075

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(2)

(3)

(4)

(5)

Pengadilan Agama Brebes)/Peradilan Agama/Hukum Keluarga/Fakultas Syariah dan Hukum/Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2013/(i,ii) 2 Halaman/1-91 Halaman/2 lampiran.

Berlakunya asas “Contra Legem” oleh seorang hakim dalam pembagian harta bersama pada Putusan Perkara Nomor: 1048/Pdt.G/2009/PA.Bbs. Contra Legem yaitu yaitu wewenang seorang hakim untuk menyimpangi ketentuan-ketentuan hukum tertulis yang telah ada yang telah usang ketinggalan zaman sehingga tidak lagi mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat. Penelitian yang dilakukan penulis bertujuan antara lain:

1. Untuk mengetahui Penerapan asas “Contra Legem” dalam pembagian harta bersama pada Putusan Perkara Nomor : 1048/Pdt.G/2009/PA-Bbs.

2. Untuk mengetahui dasar hukum pertimbangan hakim dalam memutuskan pembagian harta bersama pada Putusan Perkara Nomor : 1048/Pdt.G/2009/PA-Bbs di Pengadilan Agama Brebes 3. Untuk mengetahui pembagian harta bersama dalam perspektif

hukum Islam dan hukum positif.

Pada penyusunan skripsi ini penulis menggunakan data kualitatif , yaitu data yang berupa nilai, artinya tidak bisa diukur secara langsung, misalnya seperti data tentang keterampilan,aktifitas, sikap. Untuk memperoleh data yang akan dibutuhkan untuk menyusun skripsi ini, maka Penulis menggunakan metode:

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan a). Penelitian yuridis normatif b). Penelitian kepustakaan

c). Pendekatan perundang-undangan d). Tipe Pendekatan Kasus

2. Sumber Bahan Hukum a). Bahan hukum primer b). Bahan hukum sekunder c). Bahan hukum Tersier 3. Teknik Pengumpulan data

a). Metode Dokumentasi

b). Metode Interview wawancara 4. Teknik Analisis

a). Memilih pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang hukum harta bersama dan tata cara pembagiannya dalam peraturan perundang-undangan.


(6)

berkembang di masyarakat, Dasar hukum pertimbangan hakim dalam memutus perkara pembagian harta bersama pada putusan perkara tersebut mengacu pada tiga unsur yakni :

Adanya rasa keadilan Adanya kemanfaatan dan Adanya kepastian hukum

Di dalam KHI jelas lah sudah bahwa bahwa jika di dalam suatu perkawinan terdapat harta bersama maka pembagiannya harus sama banyak, baik itu cerai hidup atau mati. Dan di dalam peraturan perundang-undangan seperti pada Undang-undang No. 1 tahun 1974 beserta juklaknya (PP.No.9 tahun 1975) maupun dalam BW., tiada ketentuan yang mengatur berapa bagian pasangan suami istri yang bercerai. Kata kunci: Keadilan, Kewenangan, Peraturan, dan Petimbangan.

Pembimbing: M.YASIR, SH, MH/Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

Alhamdulillah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan

skripsi ini dengan izin dan karunia ALLAH SWT Dzat yang selalu memberikan

kekuatan kepada penulis. Sholawat teriring salam kepada Baginda Nabi

Muhammad SAW, semoga syafaatnya senantiasa tercurah kepada kaum

muslimin.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam meraih gelar

Sarjana Syariah (S.Sy) pada konsentrasi Peradilan Agama, Universitas Islam

Negeri. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis memperoleh banyak dukungan dan

saran dari berbagai pihak, sehingga ucapan terima kasih penulis sampaikan

dengan tulus dan sebesar-besarnya kepada :

1.

Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2.

Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., Dan Ibu Dra. Hj. Rosdiana,

MA Ketua dan Sekretaris Program Studi Akhwal Syakhshiyah Fakultas

Syariah dan Hukum, serta Dosen Pembimbing Akademik Penulis

Bapak JM. Muslimin, Ph.D. Terima kasih atas bantuan, perhatian dan

arahan yang selama ini diberikan.


(8)

ini. Terima kasih banyak.

4.

Ayahanda tercinta (Alm) H. A. Turmudzie dan Ibunda tersayang

Dalilah, sujud baktiku kepada kalian atas segala do’a dan pengorbanan

kalian selama ini.

“Robbighfirlii Waliwaalidayya Warhamhumaa

Kamaa Robbayaanii Shoghiiroo”

. Saudara-saudariku kanda Dra.

Muthmainnah & Suami, kanda Ghufron Rusydi M.Pd & Istri, kanda

Roudhotul Jannah, S.Pd.I & Suami kanda Nana Mahsunah dan Adinda

Iie Nazhiroh serta R. Rizki Fauziatul ‘Arsy. Terima kasih untuk semua.

5.

Sahabat-sahabatku: Rusdi, Usman, Ade, Rodzy, Atho, Mawardi,

Zaenal, Syarif, Arifuddin, Seto, Ibenk, Daeroby canda tawa kalian akan

menjadi kenangan terindah dan tak terlupakan.

6.

Khususnya sobat seperjuangan dari pertama menginjakkan kaki di UIN

Jakarta : H. Mawardi,S.Sy, Machrus Ni’amillah, S.Sy, M. Zaenal

Abidin, S.Sy dan pengarah dalm pembuatan skripsiku M. Rusydiana

Nur Ridho, S.Sy, SH.

7.

Serta teman-teman Mahasiswa PA.B Angkatan 2008 lainnya.

8.

Adinda Lia Akmalia, S.Pd.I yang telah memberikan semangat serta

do’anya selama ini. Thank you

botto

.

9.

Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan

skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat


(9)

kesempurnaan. Karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik demi

kesempurnaan skripsi ini selanjutnya.

Jakarta, 28 Januari 2014


(10)

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Review Studi Terdahulu ... 10

F. Metode Penelitian ... 11

G. Teknik Penulisan ... 15

H. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II KAJIAN PEMBAGIAN HARTA BERSAMA BERDASARKAN ASAS CONTRA LEGEM ... 18

A. Harta Bersama ... 18

1. Pengertian Harta Bersama ... 18

2. Perolehan Harta Bersama ... 21

3. Pembagian Harta Bersama ... 26


(11)

1. Pengertian Asas Contra Legem ... 38

2. Aliran Hukum ... 45

a) Aliran Legisme ... 45

b) Freirechtbewegung ... 50

c) Rechtvinding ... 58

BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA BREBES ... 62

A. Histori Pembentukan Pengadilan ... 62

B. Struktur Organisasi Pengadilan ... 65

C. Kedudukan dan Kewenangan Absolut Relatif Pengadilan Agama Brebes ... 66

BAB IV PENERAPAN ASAS CONTRA LEGEM DALAM PEMBAGIAN HARTA BERSAMA ... 70

A. Penerapan Asas ”Contra Legem” dalam pembagian harta bersama pada Putusan Perkara Nomor: 1048/Pdt.G/2009/PA.Bbs ... 70

B. Pembagian Harta Bersama menurut Kompilasi Hukum Islam terhadap Putusan Perkara Nomor:


(12)

BAB V PENUTUP ... 88

A. Kesimpulan... 88

B. Saran-saran... 91

C. Lampiran

1) Hasil wawancara Ketua Majlis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan.


(13)

1

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Tujuan Perkawinan menurut UUP No. 1 tahun 1974 adalah bahwa perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1

Pada prinsipnya suatu perkawinan ditujukan untuk selama hidup dan kebahagiaan bagi pasangan suami istri yang bersangkutan. Keluarga yang kekal dan bahagia, itulah yang dituju. Banyak faktor yang memicu keretakan bangunan rumah tangga, dan perceraian menjadi jalan terakhir.

Dalam pernikahan, secara tersirat, antara suami istri telah ada kesepakatan untuk bekerja sama membina rumah tangga, yang antara lain bekerja mencari penghasilan untuk menunjang berdirinya rumah tangga yang sejahtera. Dalam kaitan ini, antara suami-istri tidak lagi mempersoalkan pihak mana yang lebih banyak bekerja menghasilkan kekayaan dan tidak pula mempersoalkan jenis kerja masing-masingnya. Pembagian kerja dilakukan sedemikian rupa dan atas dasar itu, penghasilan yang diperoleh selama masa perkawinan dianggap sebagai harta bersama.

1

Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI, (Bumi Aksara, Jakarta, Cet. I, 1996), h. 28.


(14)

Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami atau istri mempunyai harta yang dibawa dan diperoleh sebelum melakukan akad perkawinan. Suami atau istri yang telah melakukan perkawinan mempunyai harta yang diperoleh selama perkawinan yang disebut harta bersama. Meskipun harta bersama tersebut hanya suami yang bekerja dengan berbagai usahanya sedangkan istri berada di rumah dengan tidak mencari nafkah melainkan hanya mengurus rumah tangga dan anak-anaknya.2

Suami maupun istri mempunyai hak untuk mempergunakan harta bersama yang telah diperolehnya tersebut selagi untuk kepentingan rumah tangganya tentunya dengan persetujaun kedua belah pihak. Hal ini berbeda dengan harta bawaan yang keduanya mempunyai hak untuk mempergunakannya tanpa harus ada persetujuan dari keduanya atau masing-masing berhak menguasainya sepanjang para pihak tidak menentukan lain, sebagaimana yang diatur dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 35.3

Harta bersama4 atau Istilah gono-gini, sudah tidak asing lagi di benak masyarakat terutama di Jawa, karena kata tersebut berasal dari bahasa Jawa, namun orang Sunda menyebut Guna Kaya, orang Bali menyebut Barang Gini

2

J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Cet. 1, 1991, h. 5

3

Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Cet. II, h. 231-232

4

Penyebutan harta bersama suami-istri berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya. di daerah acaeh disebut dengan heureuta sihaurekat,di Minangkabau harta bersama disebut dengan ”harta suorang”, di Kalimantan disebut ”barang perpantangan”, di Bugis disebut dengan ”cakkara”, di Bali disebut dengan ”druwe gabro”, di Jawa disebut dengan ”barang gini” atau ”gono-gini”, dan di Pasundan disebut dengan”guna kaya”, ”barang sekaya”, ”campur kaya”, dan di Madura disebut “ghuna-ghana”. Lihat H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat (kajian fikih nilai lengkap), (Jakarta, Rajawali Press, 2010), h. 177


(15)

dan lain-lainnya dan umumnya bangsa Indonesia juga telah memakluminya. Dalam UU. No.1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam tidak tercantum istilah Gono-gini atau istilah adat lainnya, namun di sebutlah dengan istilah “Harta Bersama”.

Pembakuan istilah harta bersama sebagai terminus hukum yang berwawasan nasional baru dilaksanakan pada tahun 1974 dengan berlakunya Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Meskipun dalam peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi telah disebutkan dengan jelas istilah harta bersama terhadap harta yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan, tetapi dalam praktik masih saja disebut secara beragam sebagaimana sebelum berlakunya Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Namun hal ini tidak mempengaruhi keseragaman pengertian, sebab yang dimaksud harta bersama adalah semua harta yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan berlangsung.5

Menurut pasal 1 (f) Kompilasi Hukum Islam (KHI), Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun. Mengenai aturan harta kekayaan dalam perkawinan telah diatur dalam pasal 35 s/d 37 UU. No. 1 tahun 1974 dan pasal 85 s/d 97 KHI serta dalam

5

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 107


(16)

KUHPerdata (BW) dapat di lihat dari pasal 119 s/d pasal 125. Sedangkan menurut Pasal 35 UU. No. 1 tahun 1974 sebagai berikut:6

1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. 2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang

diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Menurut pasal 119 BW: “Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hokum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami istri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain”.

Apabila memperhatikan peraturan-peraturan perundang-undangan seperti pada UU.No. 1 tahun 1974 beserta juklaknya (PP.No.9 tahun 1975) maupun dalam BW., tiada ketentuan yang mengatur berapa bagian pasangan suami istri yang bercerai. Namun dengan berdasarkan pasal 97 KHI berbunyi sebagai berikut: “Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”. Ketentuan ini cukup tegas dan jelas bahwa suami dan istri yang telah bercerai pembagian harta bersamanya (gono-gini) adalah dibagi dua sama banyak kecuali ada perjanjian tertentu.7

Pasal 96 dan 97 Kompilasi Hukum Islam menentukan pembagian harta bersama dengan cara separo atau seperdua antara suami dan istri. Pembagian

6

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 56 7

http://cakraarbas.blogspot.com/2011_09_01_archive.html, Aspek reform KHI pengaruh adat (Harta Bersama), di akses pada tanggal 25 september 2012.


(17)

yang demikian terasa adil bila istri seorang ibu rumah tangga alias pekerja “domestic”. Wajar seorang istri mendapatkan bagian seperdua dari harta bersama karena pada hakekatnya ia juga ikut bekerja, yaitu mengurus rumah tangga, namun bila seorang istri, di samping sebagai ibu rumah tangga, ia juga bekerja dan mempunyai penghasilan dan penghasilannya melebihi penghasilan suami, maka pembagian seperdua dari harta bersama terasa tidak tepat dan perlu modifikasi, namun modifikasi terhadap hal seperti ini tidak mempunyai dasar atau aturan yang pasti tentang perbandingan pembagian yang proporsional dalam membagi harta bersama, kecuali seperdua, sehingga untuk menentukan secara pasti perbandingan yang proporsional sangat sulit.8

Menelisik beberapa persoalan menyangkut keberadaan harta bersama, sebagaimana tergambar di depan, sebenarnya sejak dini telah diantisipasi oleh pembuat peraturan perundang-undangan. Pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan juga pada Kompilasi Hukum Islam berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 ada diatur institusi yang namanya “perjanjian perkawinan”. Perjanjian perkawinan dipandang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan dalam harta benda dalam perkawinan secara adil, proporsional, efektif dan aplikatif. Pengaturannya pun sebenarnya telah ditempatkan lebih dahulu dari pada pengaturan mengenai harta bersama, yang

8

M. Taufiq Hz, Kedudukan Harta Bersama Dalam Konteks Kewajiban Nafkah, Suara Uldilag, Vol. II, No. 7 September 2005, h. 100-107.


(18)

ini mengindikasikan pendahuluan atau pengutamaan “perjanjian perkawinan” dari pada “harta bersama” agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.9

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menitikberatkan pada persoalan mengenai pembagian harta bersama yang mana istri lebih banyak mendapatkan harta bersama dari pada suami. Berdasarkan pasal 97 KHI berbunyi sebagai berikut: “Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”. Dalam Putusan Perkara Nomor : 1048/Pdt.G/2009/PA-Bbs, Putusan PA Brebes ini hakim memutuskan bahwa istri mendapatkan 2/3 bagian sedangkan bagi suami mendapatkan 1/3 bagian dari harta bersama.

Pada putusan ini hakim sedikit menyimpang dari aturan perundang-undangan dalam arti hakim memakai atau menerapkan asas “Contra Legem” dalam memutuskan perkara ini. Contra Legem adalah putusan Hakim pengadilan yang mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang ada, sehingga Hakim tidak menggunakan sebagai dasar pertimbangan atau bahkan bertentangan dengan pasal Undang-Undang sepanjang pasal Undang-Undang tersebut tidak lagi sesuai dengan perkembangan dan rasa keadilan masyarakat.

Demi terciptanya suatu keadilan, terkadang hakim dapat bertindak Contra Legem, yang mana sebagai pijakannya adalah: UU N0. 4 tahun 2004 pasal 28 (1) yaitu : ”Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Sedang Pasal 2 ayat (1)

9

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menempatkan perjanjian perkawinan pada Bab V sedangkan harta bersama ditempatkan pada Bab VII. Kompilasi Hukum Islam menempatkan perjanjian perkawinan pada Bab VII sedangkan harta bersama ditempatkan pada Bab XIII.


(19)

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan ; ”Peradilan dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Demikian juga pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tersebut sebagai UU yang baru dan merupakan perubahan UU sebelumnya, mengenai Kekuasaan Kehakiman, yang isinya tak jauh beda dengan maksud pasal 28(1) UU.No. 4 tahun 2004 di atas, yang pokoknya wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Akan tetapi jika dibandingkan dengan Asas atau Aliran Legisme sangatlah bertentangan dengan Asas Contra Legem. Asas Legisme adalah suatu aliran yang beranggapan bahwa hukum adalah undang-undang. Oleh karena itu aliran ini hanya mengakui hukum yang ada di undang-undang saja, maka satu-satunya sumber hukum adalah Undang-undang.10

Namun jika dilihat dari aspek hukum Indonesia yang mengadopsi hukum “civil law” maka seharusnya hakim tetap berpegang teguh pada aturan perundang-undangan yang berlaku, karena memang hukum Indonesia tidak menganut hukum “anglo-saxon” atau “common law”. Memang sedikit kontras isi dari Pasal 28 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, menarik rasanya untuk mengkaji lebih dalam serta menganalisis lebih tajam dengan menguraikan permasalahan ini dalam bentuk skripsi yang berjudul” PenerapanAsas Contra

10


(20)

Legem dalam Pembagian Harta Bersama (Analisis Putusan perkara Nomor : 1048/Pdt.G/2009/PA-Bbs di Pengadilan Agama Brebes).

B.Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana asas Contra Legem itu diterapkan oleh seorang hakim dalam memutus suatu perkara khususnya dalam pembagian harta bersama. Setelah membahas bagaimana asas Contra Legem itu terjadi tentunya tidak lupa yaitu apa yang menjadi dasar hukum pertimbangan seorang hakim untuk memutuskan perkara pembagian harta bersama secara proporsional, dan barulah pembahasan mengenai pembagian harta bersama dalam perspektif hukum yang berlaku di Indonesia.

2. Pembatasan Masalah

Persoalan mengenai pembagian harta bersama sangatlah menarik untuk dikaji, dalam kajian analisis ini hakim menggunakan asas Contra Legem dalam memutuskan perkara pembagian harta bersama. Agar tidak terjadi perluasan dalam pembahasan maka dari itu penulis ingin membatasai masalah ini seputar asas Contra Legem dalam Pembagian bersama pada Putusan Perkara Nomor : 1048/Pdt.G/2009/PA-Bbs di Pengadilan Agama Brebes.


(21)

3. Perumusan Masalah

Pembagian harta bersama dalam KHI pasal 97 dijelaskan bahwa janda dan duda mendapatkan separuh atau seperdua dari harta bersama dalam perkawinan, akan tetapi dalam Putusan Perkara Nomor : 1048/Pdt.G/2009/PA-Bbs di Pengadilan Agama Brebes, hakim memakai asas contra legem yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Rumusan permasalahan di atas, penulis rinci berbentuk persoalan sebagai berikut:

1. Bagaimana Penerapan asas “Contra Legem” dalam pembagian harta bersama pada Putusan Perkara Nomor : 1048/Pdt.G/2009/PA-Bbs? 2. Apa dasar hukum pertimbangan hakim dalam memutuskan

pembagian harta bersama pada putusan Perkara Nomor : 1048/Pdt.G/2009/PA-Bbs ?

3. Bagaimana pembagian harta bersama dalam perspektif hukum Islam dan hukum perundang-undangan di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian yang dilakukan penulis bertujuan antara lain:

1. Untuk mengetahui Penerapan asas “Contra Legem” dalam pembagian harta bersama pada Putusan Perkara Nomor : 1048/Pdt.G/2009/PA-Bbs.


(22)

2. Untuk mengetahui dasar hukum pertimbangan hakim dalam memutuskan pembagian harta bersama pada Putusan Perkara Nomor : 1048/Pdt.G/2009/PA-Bbs di Pengadilan Agama Brebes 3. Untuk mengetahui pembagian harta bersama dalam perspektif

hukum Islam dan hukum positif.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Diharapkan memberikan manfaat bagi pihak terkait, yang dalam hal ini para pihak khususnya yang konsen mengkaji Hukum Perkawinan, Hukum Perdata ataupun Hukum Acara Perdata. 2. Untuk menambah serta memperdalam ilmu pengetahuan penulis

akan hal hukum Hukum Perkawinan, Hukum Perdata ataupun Hukum Acara Perdata.

3. Sebagai bahan pertimbangan untuk dijadikan acuan terhadap pembuatan penelitian yang serupa di masa mendatang.

E. Review Studi terdahulu

Berikut anotasi dari beberapa Skripsi yang terkait dengan tema penulis yang didapatkan dari Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

1) Penelitian pertama yaitu dilakukan oleh Jam’an Nurkhotib Mansur (Mahasiswa Peradilan Agama UIN) yang berjudul Penyelesaian Gugatan Harta Bersama Pasca Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Timur.


(23)

Penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2008 ini fokus pada penjelasan mengenai perceraian dan harta bersama secara umum. Dari sisi metode penelitian, penelitian yang dilakukan oleh Jam’an Nurkhotib Mansur jelas berbeda dengan penelitian yang penulis bahas. Objek penelitian penulis adalah Penerapan Asas Contra Legem dalam pembagian harta bersama. 2) Penelitian kedua yaitu dilakukan oleh saudari Hernasari (Mahasiswa

Peradilan Agama UIN) yang berjudul Analisis Putusan Mahkamah Agung RI No.193 K/AG/2004 Tentang Pembagian Harta Bersama. Penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2009 ini fokus pada pembahasan putusan Pengadilan Agama Yogyakarta yang dianggap tidak adil dan kemudian melakukan kasasi ke Mahkamah Agung. Penelitian yang dilakukan oleh saudari Hernasari jelas berbeda dengan penelitian yang penulis bahas. Objek penelitian yang penulis bahas lebih cenderung kepada tentang kekuasaan kehakiman.

3) Penelitian ketiga yaitu dilakukan oleh saudara Hamzah Ihwat (Mahasiswa Peradilan Agama UIN) yang berjudul Penyelesaian Harta Bersama Akibat Perceraian Perspektif Hukum Islam (Studi Putusan No.393/Pdt.G/2007/PA Tng). Dari sisi metode penelitian, penelitian yang dilakukan oleh Hamzah Ihwat pada tahun 2009 ini jelas berbeda dengan penelitian yang penulis bahas. Objek penelitian yang penulis bahas yaitu menjelaskan dasar seorang hakim di dalam memutus suatu perkara khususnya harta bersama.


(24)

Pada penyusunan skripsi ini penulis menggunakan data kualitatif , yaitu data yang berupa nilai, artinya tidak bisa diukur secara langsung, misalnya seperti data tentang keterampilan,aktifitas, sikap.11

Untuk memperoleh data yang akan dibutuhkan untuk menyusun skripsi ini, maka Penulis menggunakan metode:

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan

Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah: a). Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk

mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.12

b). Penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji, menganalisa serta merumuskan buku buku, literatur dan yang lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.

Sedangkan pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini antara lain ialah:

a). Pendekatan perundang-undangan (statute approach) ialah pendekatan dengan melakukan pengkajian terhadap peraturan

11

Afifi Fauzi Abbas, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Adelina Offset, 2010), h.158. 12

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2008), h. 294.


(25)

perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian skripsi ini.13

b). Tipe Pendekatan Kasus (Case Approach)14 dalam hal ini adalah pendekatan terhadap kasus pembagian harta bersama yang dilakukan oleh Penggugat terhadap tergugat sehingga menjadi dasar hukum pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara. 2. Sumber Bahan Hukum

Dalam penyusunan skripsi ini Penulis menggunakan dua jenis sumber data yaitu:

a). Bahan hukum primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang terdiri atas peraturan peruang-undangan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam , dan BW.

b). Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan kepustakaan.15 Bahan hukum yang terdiri dari atas buku-buku (textbooks) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de herseende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana,

13

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, h. 295.

14

Dalam menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh penelti adalah ratio decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan hakim untuk sampai kepada putusannya. Ratio decidendi dapat diketemukakan dengan memperhatikan fakta materiil, fakta-fakta materiil tersebut berupa orang, tempat dan waktu. Lihat Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta, Kencana, 2011), cet. 7, h. 119.

15


(26)

kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian skripsi ini.

c). Bahan hukum Tersier

Bahan Hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, encyclopedia, dan lain-lain.16 3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Berisi uraian logis prosedur pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, serta bagaimana bahan hukum tersebut diinvetarisasi dan diklasifikasi dengan menyesuaikan masalah yang dibahas.

Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan, digunakan metode sebagai berikut:

a). Metode Dokumentasi

Metode Dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variabel berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti, notulen, rapat, agenda, dan sebagainya.17

b). Metode Interview wawancara atau interview merupakan Tanya jawab secara lisan dimana dua orang atau lebih berhadapan secara lansung. Dalam proses interview ada dua pihak yang menempati kedudukan yang berbeda. Satu pihak sebagai berfungsi sebagai pencari informasi

16

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, h. 296. 17


(27)

atau interviewer sedangkan pihak lain baerfungsi sebagai pemberi informasi atau informan (responden)18 Proses wawancara ini akan di ajukan kepada beberapa nara sumber diantaranya ahli hukum perdata, Hakim Pengadilan Agama Brebes atau Hakim Pengadilan Agama lainnya.

4. Teknik Analisis Bahan Hukum

Analisis bahan hukum merupakan langkah-langkah yang berkaitan dengan pengelolahan terhadap bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan untuk menjawab isu hukum yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah. Pada penelitian hukum normatif, pengelolahan bahan hukum hakikatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.

Dalam analisis Bahan Hukum ini kegiatan yang dilakukan antara lain a). Memilih pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur

tentang hukum harta bersama dan tata cara pembagiannya dalam peraturan perundang-undangan.

b). Membuat sistematik dari pasal-pasal atau kaidah-kaidah hukum tersebut sehingga menghasilkan klasifikasi tertentu.

G. Teknik Penulisan

18


(28)

Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

H. Sistematika Penulisan

Pendahuluan terbagi dalam sub bab, yang berisikan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, teknik dan sistematika penulisan.

Sedangkan dalam bab kedua ini menjelaskan tentang Pengertian Harta Bersama, kemudian menjelaskan tentang Pengertian Asas“Contra Legem”, dan yang terakhir memaparkan tentang Pembagian Harta Bersama Menurut Hukum Islam dan menurut hukum perundang-undangan di Indonesia.

Dalam bab ketiga ini menjelaskan tentang Gambaran umum Pengadilan Agama Brebes yaitu histori pembentukan Pengadilan Agama, kemudian tentang strukrur organisasi Pengadilan Agama Brebes dan yang terakhir tentang kedudukan dan kewenangan Pegadilan Agama Brebes.

Kemudian dalam bab keempat ini penulis mencoba memaparkan dan menjelaskan tentang Analisis Penerapan asas “Contra Legem” dalam pembagian harta bersama pada Putusan perkara Perkara Nomor : 1048/Pdt.G/2009/PA-Bbs, kemudian tentang Analisis dasar hukum pertimbangan hakim dalam memutuskan pembagian harta bersama pada Putusan Perkara Nomor: 1048/Pdt.G/2009/PA-Bbs dan yang terakhir Analisis Penulis.


(29)

Dalam bab terakhir ini berisikan tentang kesimpulan dan saran-saran penulis.


(30)

BAB II

KAJIAN PEMBAGIAN HARTA BERSAMA BERDASARKAN ASAS CONTRA LEGEM

A. Harta Bersama

1. Pengertian Harta Bersama

Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami atau istri mempunyai harta yang dibawa dan diperoleh sebelum melakukan akad perkawinan. Suami atau istri yang telah melakukan perkawinan mempunyai harta yang diperoleh selama perkawinan yang disebut harta bersama.1 Meskipun harta bersama tersebut hanya suami yang bekerja dengan berbagai usahanya sedangkan istri berada di rumah dengan tidak mencari nafkah melainkan hanya mengurus rumah tangga dan anak-anaknya.2

Segala penghasilan suami istri baik keuntungan yang diperoleh perdagangan masing-masing, perolehan masing-masing sebagai pegawai jatuh menjadi harta bersama suami istri, sepanjang mengenai penghasilan pribadi suami istri tidak terjadi pemisahan bahkan dengan sendirinya terjadi perhubungan sepanjang suami tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.3

1

Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Cet.II, Bumi Aksara, Jakarta, 1999, h. 231

2

J.Satrio, Hukum Harta Perkawinan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Cet. 1, 1991, h. 5 3


(31)

Dalam setiap perkawinan pada dasarnya diperlukan harta yang menjadi dasar materil bagi kehidupan keluarga, harta tersebut dinamakan harta bersama. Pengertian harta bersama menurut kamus besar bahasa Indonesia, adalah : “harta perolehan bersama selama bersuami istri”.4

Menurut Sayuti thalib, harta perkawinan suami istri apabila dilihat dari sudut asal usulnya dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu :

1. Harta masing-masing suami istri yang dimilikinya sebelum mereka kawin baik berasal dari warisan, hibah, harta usaha mereka sendiri-sendiri, atau yang dapat disebut harta bawaan.

2. Harta masing-masing suami istri yang dimiliki sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan, tetapi diperoleh bukan dari usaha mereka baik perorangan atau bersama-sama, tetapi merupakan hibah, wasiat atau warisan untuk masing-masing.

3. Harta yang diperoleh sesudah mereka dalam hubugan perkawinan atau usaha mereka berdua atau salah seorang, inilah yang disebut harta bersama.5

Di dalam al-Qur’an dan hadits tidak diatur tentang harta bersama dalam perkawinan. Harta kekayaan istri tetap menjadi milik istri atau dikuasai penuh olehnya demikian pula sebaliknya, harta suami tetapi menjadi milik suami dan dikuasai sepenuhnya. Dalam kitab-kitab hukum fiqih pun tidak ada yang

4

JS Badudu dkk, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996, h. 421

5


(32)

membicarakan. Seolah-olah masalah harta bersama kosong atau fakum dalam hukum Islam.

Sedangkan dalam kesadaran kehidupan sehari-hari masyarakat di Indonesia sejak dari dahulu sudah mengenal hukum adat dan diterapkan terus-menerus sebagai hukum yang hidup. Apakah kenyataan ini dibuang dari kehidupan masyarakat? Tentu tidak mungkin, dari pengamatan lembaga harta bersama lebih besar maslahatnya dari mudharatnya. Atas dasar metodologi masalah mursalah “urf” dan kaidah “al-adatu al-muhkamatu”, para ulama melakukan pendekatan kompromistis kepada hukum adat.6

Selain pendekatan kompromistis, Prof. Ismuha dalam disertasinya telah mengembangkan pendapat pencaharian bersama suami istri yang mestinya masuk ru’bu muamalah tetapi ternyata secara khusus tidak dibicarakan, mungkin hal ini disebabkan karena pada umumnya pengarang dari kitab-kitab tersebut adalah orang Arab, sedangkan adat Arab tidak mengenal adanya adat harta bersama, tetapi di sana ada dibicarakan mengenai masalah perkongsian yang dalam bahasa arab disebut syirkah atau syarikah.7

6

Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Jakarta : Maktabah Dakwah Al-Islamiyah, 1990), h. 84

7

Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Istri, Ditinjau Dari Sudut Undang-undang Perkawinan 1974 Dan Hukum Adat, (Jakarta : Bulan Bintang, 1986), h. 282


(33)

Syirkah menurut bahasa adalah percampuran harta dengan harta lain sehingga tidak dapat debedakan lagi satu dari yang lain. Menurut istilah hukum Islam adalah adanya hak dua orang atau lebih terhadap sesuatu.8

Di berbagai daerah di Tanah Air sebenarnya juga dikenal istilah-istilah lain yang sepadan dengan pengertian harta gono-gini ( di Jawa ). Misalnya di Aceh, harta gono-gini diistilahkan dengan hareuta sihareukat, di Minangkabau dinamakan harta suarang, di Sunda digunakan istilah guna kaya, di Bali disebut dengan druwe gabro, dan di Kalimantan digunakan istilah barang perpantangan. Dengan berjalannya waktu, rupanya istilah “gono-gini” lebih populer dan dikenal masyarakat, baik digunakan secara akademis, yuridis, maupun dalam perbendaharaan dan kosa kata masyarakat pada umumnya agar mudah dipahami oleh masyarakat umum.9

2. Perolehan Harta Bersama

Manusia dan segala alam lainnya diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Pencipta. Semua makhluk tersebut terdiri dari dua jenis yang berpasang-pasangan. Ajaran yang penting dalam Islam adalah pernikahan (perkawinan). Begitu pentingnya ajaran tentang pernikahan tersebut sehingga dalam Al-qur’an terdapat sejumlah ayat baik secara langsung maupun tidak langsung berbicara mengenai masalah pernikahan. Adapun dalil yang dijadikan dasar hukum dalam perkawinan dapat di lihat dalam Qs.Ar-rum Ayat 21 yang berbunyi:

8

Ibid. h. 283 9

Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-gini Saat Terjadi Perceraian, Jakarta: visimedia 2008, Cet.Pertama, h. 3


(34)













Artinya:

”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”

Keluarga yang baik, bahagia lahir bathin adalah dambaan setiap insan, namun demikian tidaklah mudah untuk menciptakan sebuah keluarga yang harmonis, langgeng, aman dan tentram sepanjang hayatnya. Perkawinan yang sedemikian itu tidaklah mungkin tercipta apabila diantara para pihak yang mendukung terlaksananya perkawinan tidak saling menjaga dan berrusaha bersama-sama dalam pembinaan rumah tangga yang kekal dan abadi. Apabila terjadi perceraian, sudah dapat dipastikan akan menimbulkan akibat-akibat terhadap orang-orang yang berkaitan dalam suatu rumah tangga, di mana dalam hal ini akibat hukumyalah yang akan dititik beratkan. Akibat hukum dari perceraian ini tentunya menyangkut pula terhadap anak dan harta kekayaan selama dalam perkawinan.


(35)

a. Khulu’ , ,







Artinya :

“Apabila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS. An-nisa: 19)

b. Thalaq







,, Artinya:

“Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. Al-baqarah: 229)

c. Istri nusyuz

,,















,,




(36)

Artinya:

“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka (dengan pukulan yang tidak membahayakan), kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.” (QS. An-nisa: 34)

d. Suami nusyuz







,,



Artinya:

“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).” (QS. An-nisa: 128) e. Syiqaq








(37)

Artinya:

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan.” (QS. An-nisa: 35)

Suami maupun istri mempunyai hak untuk mempergunakan harta yang telah diperolehnya tersebut selagi untuk kepentingan rumah tangganya tentunya dengan persetujuan dengaan kedua belah pihak. Hal ini berbeda dengan harta bawaan yang keduanya mempunyai hak untuk mempergunakannya tanpa harus ada persetujuan dari keduanya atau masing-masing berhak menguasainya sepanjang para pihak tidak menentukan lain, sebagaimana yang diatur dalam UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 35.10

Ikatan perkawinan mengkondisikan adanya harta gono-gini antara suami istri, sebagaimana tertuang dalam UU Perkawinan pasal 35 ayat 1. Namun, bukan berarti dalam perkawinan yang diakuianya harta gono-gini, sebab, berdasarkan KHI pasal 85 dinyatakan bahwa ”Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta masing-masing suami atau istri”.

Sebagaimana telah dijelaskan, harta gono-gini dalam perkawinan adalah ”harta suami yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan, baik dengan cara sendiri-sendiri maupun secara bersama tanpa mempersoalkan atas nama siapa harta itu terdaftar. Karena itu semua harta yang diperoleh selam perkawinan

10

Hilma Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Adat, Aditya Bakti, Bandung, Cet. IV, 1999, h. 155


(38)

menjadi milik bersama suami-istri. Pengelolaan harta tersebut harus memperoleh izin dari keduanya”.11

Pasangan calon suami istri tersebut juga diperbolehkan menentukan dalam perjanjian perkawinan bahwa yang tidak termasuk dalam harta gono-gini adalah harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, seperti harta perolehan. Hal ini diatur dalam KHI pasal 49 ayat 2, ”Dengan diperjanjikan mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat juga diperjanjikan bahwa percampuran harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya ”.12

3. Pembagian Harta Bersama

a. Menurut Fiqih

Harta bersama atau gono-gini yaitu harta kekayan yang dihasilkan bersama oleh pasangan suami istri selam terikat oleh tali perkawinan, atau harta yang dihasilkan dari perkongsian suami istri. Untuk mengetahui hukum perkongsian ditinjau dari sudut Hukum Islam, maka perlu membahas perkongsian yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan menurut pendapat para Imam Madzhab. Dalam kitab-kitab fiqih, perkongsian itu disebut sebagai syirkah atau syarikah yang berasal dari bahasa Arab. Para ulama berbeda pendapat dalam membagi macam-macam syirkah. Adapun macam-macam syirkah yaitu :

11

Muhammad zaid, Mukhtar al shodiq, Copyright@2005 Grahacipta All right reserved 12


(39)

1. Syirkah Milk yakni perkongsian antara dua orang atau lebih terhadap sesuatu tanpa adanya sesuatu aqad atau perjanjian.

2. Syirkah Uquud yaitu beberapa orang mengadakan kontrak bersama untuk mendapat sejumlah uang. Syirkah ini berjumlah 6 (enam) macam yakni :

a). Syirkah Mufawadhah bil Amwal (perkongsian antara dua orang atau lebih tentang sesuatu macam perniagaan).

b). Syirkah ‘Inan bil Amwal ialah perkongsian antara dua orang atau lebih tentang suatu macam perniagaan atau segala macam perniagaan.

c). Syirkatul ‘Abdan Mufawadhah yaitu perkongsian yang bermodal tenaga.

d). Syirkatul ‘Abdan ‘Inan ialah kalau perkongsian tenaga tadi disyaratkan perbedaan tenaga kerja dan perbedaan tentang upah.

e). Syirkatul Wujuh Mufawadhah yaitu perkongsian yang bermodlkan kepercayaan saja.

f). Syirkatul Wujuh ‘Inan ialah perkongsian kepercayaan tanpa syarat.

Syirkah ‘Inan disepakati oleh ulama tentang bolehnya, sedangkan syirkah mufawadhah hukumnya boleh menurut madzhab Hanafi, Maliki, Hambali. Tetapi menurut madzhab Syafi’i tidak boleh. Abu Hanifah mensyaratkan sama banyak modal antara masing-masing peserta perkongsian. Untuk Syirkah Abdan boleh menurut madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali dan tidak boleh menurut madzhab


(40)

Syafi’i. Bedanya Imam Malik mensyaratkan pekerjaan yang mereka kerjakan harus sejenis dan setempat. Syirkah wujuh boleh menurut Ulama Hanafiah dan Ulama Hanabilah dan menurut Imam Maliki dan Syafi’i tidak boleh.13

Alasan Imam Syafi’i tidak membolehkan Syirkah mufawadhah karena nama perkongsian itu percampuran modal. Imam Malik berpendapat, bahwa dalam syirkah mufawadhah masing-masing kongsi telah menjualkan dari sebagian hartanya dan juga mewakilkan kepada kongsinya yang lain. Tetapi Imam Syafi’i menolak pendapat ini, bahwa perkongsian bukan jual beli dan bukan pula memberikan kuasa. Alasan Imam Syafi’i tidak membolehkan syirkah abdan karena perkongsian hanya berlaku pada harta, bukan pada tenaga. Alasan Imam Malik membolehkan perkongsian tenaga karena orang yang berperang sabil juga berkongsi tentang ghonimah.14

Dari macam-macam syirkah serta adanya perbedaan pendaat dari para Imam madzhab dan melihat praktek gono-gini dalam masyarakat Indonesia dapat disimpulkan bahwa harta gono-gini termasuk dalm syirkah abdan/mufawadhah. Praktek gono-gini dikatakan syirkah abdan karena kenyataan bahwa sebagian besar dari suami istri dalam masyarakat Indonesia sama-sama bekerja membanting tulang berusaha mendapatkan nafkah hidup keluarga sehari-hari dan sekedar harta simpanan untuk masa tua mereka, kalau keadaan memungkinkan

13

Abd.Rahman Al-Jaziry, Al-Fiqhu ‘Alal Madzaahibil Al-Arba’ah Jilid III, Darul Kutub Al Ilmiah, Beirut, 1990 M/1410 H, h. 71

14

Ibnu Rusyd Al Qurtuby Al andalusy, Bidayatul Mujtahid Juz 2, Darul Fikr, Beirut, tt, h. 192


(41)

juga untuk meninggalkan kepada anak-anak mereka sesudah mereka meninggal dunia. Suami istri di Indonesia sama-sama bekerja mencari nafkah hidup. Hanya saja karena fisik istri berbeda dengan fisik suami maka dalam pembagian disesuaikan dengan keadaan fisik mereka. Selanjutnya dikatakan syirkah mufawadhah karena memang perkongsian suami istri itu tidak terbatas. Apa saja yang mereka hasilkan selama dalam masa perkawinan mereka termasuk harta bersama, kecuali yang mereka terima sebagai warisan atau pemberian khusus untuk salah seorang diantara mereka berdua.15

Pada perkongsian gono-gini tidak ada penipuan, meskipun barangkali pada perkongsian tenaga dan syirkah mufawadhah terdapat kemungkinan terjadi penipuan. Sebab perkongsian antara suami istri, jauh berbeda sifatnya dengan perkongsian lain. Waktu dilakukan ijab qobul akad nikah, perkawinan itu dimaksudkan untuk selamanya. Perkongsian suami istri tidak hanya mengenai kebendaan tetapi juga meliputi jiwa dan keturunan.16

Kitab Bidayatul Mujtahid menerangkan bahwa alasan Imam Syafi’i tidak membolehkan perkongsian tenaga dan perkongsian kepercayaan ialah karena pengertian syirkah menghendaki percampuran, dan percampuan itu hanya dapat terjadi pada modal, sedang pada perkongsian tenaga dan kepercayaan tidak ada modal. Dalam hal ini hanya madzhab Imam Syafi’i saja yang tidak membolehkan.

15

Ismuha, Pencaharian Harta Bersama Suami Istri di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, Cet. 11, 1978, h. 78-79

16


(42)

Secara logika perkongsian itu boleh karena merupakan jalan untuk mendapatkan karunia Allah, seperti dalam fiman Allah QS. Al-Jumu’ah ayat 10 yang berbunyi :





Artinya :

“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-jumu’ah: 10)

Mengingat perkongsian itu banyak macamnya terjadilah selisih pendapat tentang hukumnya. Perkongsian yang menurut ulama tidak diperbolehkan yaitu yang mengandung penipuan. Dalam kaitannya dengan harta kekayaan disyari’atkan peraturan mengenai muamalat. Karena harta bersama atau gono-gini hanya dikenal dalam masyarakat yang adatnya mengenal percampuran harta kekayaan maka untuk menggali hukum harta bersama digunakan qaidah kulliyyah yang berbunyi :

ةد ﺎﻌﻟا

ﻤﻜﺤﻣ


(43)

“adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum”.17

Dasar hukum dari qaidah di atas yaitu firman Allah dalam QS. Al-baqarah ayat 233 yang berbunyi :

..



,, Artinya :

“Dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.” (QS. Al-baqarah: 233)

Dalam ayat itu Allah menyerahkan kepada urf penentuan jumlah sandang pangan yang wajib diberikan oleh ayah kepada istri yang mempunyai anaknya.

Qaidah Al-‘Adatu Muhkamah dapat digunakan dengan syarat-syarat tertentu yaitu sebagai berikut :

1. Adat kebiasaan dapat diterima oleh perasaan sehat dan diakui oleh pendapat umum.

2. Berulang kali terjadi dan sudah umum dalam masyarakat.

3. Kebiasaan itu sudah berjalan atau sedang berjalan, tidak boleh adat yang akan berlaku.

4. Tidak ada persetujuan lain kedua belah pihak, yang berlainan dengan kebiasaan.

17

Hasbi Ash.Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, Cet. 1, 1976, h. 88


(44)

5. Tidak bertentangan dengan nash.18

Hukum Qur’an tidak ada memerintahkan dan tidak pula melarang harta bersama itu dipisahkan atau dipersatukan. Jadi dalam hal ini hukum Qur’an memberi kesempatan kepada masyarakat manusia itu sendiri untuk mengaturnya. Apakah peraturan itu akan berlaku untuk seluruh masyarakat atau hanya sebagai perjanjian saja antara dua orang bakal suami istri sebelum diadakan perkawinan. Tentu saja isi dan maksud peraturan atau perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan Qur’an dan hadits.19

Masalah harta bersama ini merupakan masala Ijtihadiyah karena belum ada pada saat madzhab-madzhab terbentuk. Berbagai sikap dalam menghadapi tantangan ini telah dilontarkan. Satu pihak berpegang pada tradisi dan penafsiran ulama mujtahid terdahulu, sedang pihak lain berpegang pada penafsiran lama yang tidak cukup untuk menghadapi perubahan sosial yang ada. Masalah harta bersama ini perlu dibahas dalam KHI berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 dan UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 agar umat Islam di Indonesia memiliki pedoman fiqih yang seragam dan telah menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi.

Peradilan Agama dalam menetapkan putusan maupun fatwa tentang harta bersama mengutip langsung ketentuan hukum yang telah ada dalam Al-Qur’an karena tidak dikenal dalam referensi syafi’iyah. Lebih jauh lagi dalam

18

Ibid, h. 477

19

Abdoerraoef, Al-Qur’an dan Ilmu Hukum Sebuah Studi perbandingan, Jakarta, Bulan Bintang, Cet. 11, 1986, h. 113


(45)

menetapkan porsi harta bersama untuk suami istri digunakan kebiasaan yang berlaku setempat, sehingga terdapat penetapan yang membagi dua harta bersama di samping terdapat pula penetapan yang membagi dengan perbandingan dua banding satu.

b. Menurut Perundang-undangan di Indonesia

Menurut Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 dalam pasal 1 mengatakan bahwa :

“Perkawinan adalah ikatan lahir bathin seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.”20

Dalam pasal tersebut tersimpul adanya asas, bahwa antara suami istri terdapat ikatan yang erat sekali, yang meliputi tidak hanya ikatan lahir, ikatan yang nampak dari luar atau ikatan terhadap dasar benda tertentu yang mempunyai wujud, tetapi meliputi ikatan jiwa, bathin atau ikatan rohani. Jadi menurut asasnya suami istri bersatu, baik dalam segi materiil maupun dalam segi spiritual.21 Mengenai harta benda dalam perkawinan diatur dalam pasal 35 Undang-undang No.1 Tahun 1974 yang menentukan :

a. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

20

UUP No 1 Tahun 1974, Penerbit Arkola Surabaya, h. 1

21

J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, Cet.1, 1991, h. 185-186


(46)

b. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Dari pasal tersebut dapat disimpulkan, bahwa menurut Undang-undang Perkawinan, di dalam satu keluarga mungkin terdapat lebih dari satu kelompok harta. Hal ini berlainan sekali dengan sistem yang dianut BW yaitu bahwa dalam satu ke;uarga pada asasnya hanya ada satu kelompok harta saja yaitu harta persatuan suami istri. Menurut UU No.1/1974 kelompok harta yang mungkin terbentuk adalah

a. Harta bersama

Menurut pasal 35 UU No.1 tahun 1974 harta bersama suami istri, hanyalah meliputi harta-harta yang diperoleh suami sepanjang perkawinan saja. Artinya harta yang diperoleh selama tenggang waktu, antara saat peresmian perkawinan, sampai seorang diantara mereka (cerai mati), maupun karena perceraian (cerai hidup). Dengan demikian, harta yang telah dimiliki pada saat dibawa masuk ke dalam perkawinan terletak di luar harta bersama.22 Ketentuan tersebut di atas tidak menyebutkan dari mana atau dari siapa harta tersebut berasal, sehingga boleh kita simpulkan, bahwa termasuk harta bersama adalah :

1) Hasil dan pendapatan suami

2) Hasil dan pendapatan istri

22


(47)

3) Hasil dan pendapatan dari harta pribadi suami maupun istri, sekalipun harta pokoknya tidak termasuk dalam harta bersama, asal kesemuanya diperoleh sepanjang perkawinan.

Dengan demikian, suatu perkawinan (paling tidak bagi mereka yang tunduk pada hukum Adat) yang dilangsungkan sesudah berlakunya UUP tidak mungkin mulai dengan suatu harta bersama dengan saldo yang negatif, paling-paling, kalau suami istri tidak membawa apa-apa dalam perkawinannya, maka harta bersama mulai dengan harta yang berjumlah nihil.23

b. Harta pribadi

Harta yang sudah dimiliki suami istri pada saat perkawinan dilangsungkan tidak masuk ke dalam harta bersama, kecuali mereka memperjanjikan lain. Harta pribadi suami istri, menurut pasal 35 ayat 2 UUP terdiri dari :

1) Harta bawaan suami istri yang bersangkutan.

2) Harta yang diperoleh suami istri sebagai hadiah atau warisan.

Apa saja yang dimaksud dengan “harta bawaan”, dalam Undang-undang maupun dalam penjelasan atas UU RI nomor 1/1974 tentang perkawinan tidak ada penjelasan lebih lanjut tetapi mengingat apa yang diperoleh sepanjang perkawinan masuk dalam kelompok harta bersama, maka dapat diartikan bahwa yang dimaksud di sini adalah harta yang dibawa oleh suami istri. Jadi yang sudah ada pada suami dan atau istri ke dalam perkawinan.

23


(48)

Adanya pemisahan secara otomatis (demi hukum) antara harta pribadi dengan harta bersama, tanpa disertai dengan kewajiban untuk mengadakan pencatatan pada saat perkawinan akan dilangsungkan (atau sebelumnya) dapat menimbulkan banyak masalah dikemudian hari dalam segi asal usul harta atau harta-harta tertentu pada waktu pembagian dan pemecahan baik karena perceraian maupun kematian (perceraian). Adalah sangat menguntungkan, kalau dikemudian hari dalam peraturan pelaksanaan diadakan ketentuan yang mewajibkan adanya pencatatan harta bawaan masing-masing suami istri.

Walaupun tidak disebutkan dengan tegas dalam pasal 35 ayat 2, tetapi kalau kita mengingat pada ketentuan pasal 35 ayat 1, maka ketentuan mengenai harta pribadi hibahan dan warisan, kiranya hanyalah meliputi hibahan atau warisan suami/istri yang diperoleh sepanjang perkawinan saja.24

Pasal 35 ayat 2 mengandung suatu asas yang berlainan dengan asas yang dianut dalam BW yang menyebutkan bahwa harta yang suami atau istri peroleh sepanjang perkawinan dengan Cuma-Cuma baik hibahan atau warisan masuk ke dalam harta persatuan kecuali bila ada perjanjian lain.

Pasal lain dalam UU No.1 tahun 1974 yang mengatur harta bersama yaitu pasal 36 dan 37 yang berbunyi :

Pasal 36

24


(49)

1. Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

2. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Pasal 37

Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.

Dalam Kompilasi Hukum Islam, khususnya mengenai hukum perkawinan banyak terjadi duplikasi dengan apa yang diatur dalam Undang-undang No.1 tahun 1974. Dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai harta kekayaan dalam perkawinan dibahas dalam Bab XIII.

Menurut pasal 85 adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri. Tetapi dalam pasal 86 ditegaskan pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan.

Dalam Bab XIII tidak disebut mengenai terjadinya harta bersama, sebagaimana yang diatur dalam pasal 35 UU No.1 tahun 1974. Mengenai harta bersama lebih lanjut diatur dalam pasal 85 sampai dengan pasal 97.

1. Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan.


(50)

2. Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami menjadi hak dan dikuasai penuh olehnya.

B. Asas Contra Legem dan Aliran Hukum

1. Pengertian Asas Contra Legem

Yang dimaksud dengan Asas Contra Legem yaitu wewenang seorang hakim untuk menyimpangi ketentuan-ketentuan hukum tertulis yang telah ada yang telah usang ketinggalan zaman sehingga tidak lagi mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat.25 Lebih lanjut mengemukakan bahwa sesuai dengan tugas dan sumpah jabatannya, maka hakim Peradilan Agama berkewajiban mengadili dan memutuskan perkara yang menjadi wewenangnya berdasarkan hukum Islam dan peraturan yang berlaku. Jadi, kedudukan hakim agama adalah hakim negara dan sama dengan hakim dalam lingkungan peradilan lainnya, tidak ada perbedaan dan tidak ada diskriminasi.

Keluarnya Instruksi Presiden RI Nomor 12 Tahun 1970 tentang Penegasan Kedudukan Hakim, maka ada sementara pihak yang mempertanyakan apakah hakim agama termasuk juga hakim negara? Sehubungan dengan hal ini Kepala Kantor Urusan Pegawai dalam rapat kerja yang dilaksanakan pada bulan September 1970 di Jakarta menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hakim adalah hakim pada Pengadilan Negeri, Hakim Pengadilan Agama termasuk juga

25


(51)

dalam ketentuan instruksi tersebut, apabila berstatus sebagai pegawai negeri dan mendapat gaji dari kas negara.

Kedudukan tadi dipertegas lagi oleh Ketua Mahkamah Agung RI dengan Departemen Agama RI dengan SKB Nomor KMA/00/1/1983 dan Nomor 4 Tahun 1983, di mana dikemukakan bahwa perlu adanya usaha membantu memperlancar rekrutmen hakim pada Pengadilan Agama, sehingga pengadaan eksistensi Hakim Peradilan Agama sebagai hakim negara tidak perlu dipersoalkan lagi. Kedudukannya sama dengan hakim yang bekerja di lingkungan peradilan yang lain.26

Pasca Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, menunjukan banyak peran hakim Peradilan Agama yang harus dilaksanakan antara lain sebagai berikut :

a. Sebagai Penegak Hukum

Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan berkewajiban mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Tugas tersebut dibebankan kepada hakim Peradilan Agama agar dapat memutuskan perkara yang diajukan kepadanya dengan adil dan benar.

26

Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan (Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam), Jakarta, Kencana, Cet.1, 2007, h. 176-177


(52)

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, seorang hakim dapat berijtihad dengan sempurna apabila : (1) memiliki pengetahuan yang luas dalam bidang ilmu hukum dan ilmu sosial lainnya, (2) harus mengetahui dengan baik kitab Al-qur’an, As-sunnah, ijma’ para ulama, Qiyas, bahasa Arab dan tata aturan ijtihad yang telah diterapkan oleh syariat Islam, (3) mengetahui putusan yurisprudensi, dan peraturan perundang-undangan lain yang ada kaitannya dengan pelaksanaan hukum di Indonesia ini. Untuk itu harus dipertimbangkan dengan betul untuk dapatnya seseorang diangkat sebagai hakim.

Dengan demikian, hakim Peradilan Agama dalam menciptakan hukum-hukum baru tidak boleh lepas dari ijtihad sebagaimana yang telah ditentukan oleh hukum syara’ , sehingga putusan-putusan yang ditetapkan mempunyai bobot keadilan yang dapat diandalkan. Putusan yang ditetapkan oleh hakim Peradilan Agama itu dapat menentukan isi hukum yang hidup di Indonesia yang sesuai dengan falsafah Pancasila.

b. Sebagai Pembentuk Undang-undang atau Penemu Hukum

Oleh karena Undang-undang sering tidak lengkap atau tidak jelas, maka hakim harus mencari hukumnya dan menemukan makna normatif hukumnya. Penemuan hukum (rechtsvinding) lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkret. Ini


(53)

merupakan konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengikat peristiwa konkret.27

Tidak selamanya asas Statute Law Prevail ditegakkan apabila terjadi pertentangan antara undang-undang dengan yurisprudensi. Dalam hal-hal tertentu secara kasuistik, yurisprudensi yang dipilih dan dimenangkan dalam pertarungan pertentangan nilai Hukum yang terjadi.

Mekanisme yang ditempuh oleh Hakim memenangkan yurisprudensi terhadap suatu peraturan pasal perundang-undangan dilakukan melalui pendekatan. diantaranya yaitu :

1). Didasarkan pada Alasan kepatutan dan kepentingan umum

Untuk membenarkan suatu sikap dan tindakan bahwa yusrisprudensi lebih tepat dan lebih unggul nilai Hukum dan keadilannya dari peraturan-peraturan undang-undang, meski didasarkan atas “kepatutan” dan “perlindungan kepentingan umum”. Hakim harus menguji dan menganalisis secara cermat, bahwa nilai-nilai Hukum yang terkandung dalam yurisprudensi yang bersangkutan jauh potensial bobot kepatutan dan perlindungan kepentingan umumnya dibanding dengan nilai yang terdapat dalam rumusan undang-undang. Dalam hal ini Hakim harus mampu secara”komparatif analisis” mengkaji antara nilai kepatutan dan

27

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suara Pengantar. (Yogyakarta: Liberty), h. 135-137


(54)

keadilan yurisprudensi dibanding apa yang dirumuskan dalam pasal undang-undang yang bersangkutan. Agar dapat melakukan komaratif analisis yang terang dan jernih, sangat dibutuhkan antisipasi dan wawasan profesionalisme. Tanpa modal yang seperti itu, sangat sulit seorang Hakim berhasil menyingkirkan suatu pasal undang-undang.

2). Cara mengunggulkan yurisprudensi melalui Contra Legem.

Jika hakim benar-benar dapat mengkonstruksi secara komperatif analisis bahwa, bobot yurisprudensi lebih potensial menegakkan kelayakan dan perlindungan kepentingan umum, dibanding dengan suatu ketentuan pasal undang-undang, dia dibenarkan mempertahankan yurisprudensi. Berbarengan dengan itu Hakim langsung melakukan tindakan “Contra Legem” terhadap pasal-pasal undang-undang yang bersangkutan.

Hakim juga mempunyai kewenangan untuk menyimpangi ketentuan-ketentuan hukum tertulis yang telah ada yang telah usang ketinggalan zaman sehingga tidak lagi mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat. Cara ini disebut “Contra Legem”. Hakim dalam menggunakan lembaga Contra Legem, harus mencukupkan pertimbangan hukumnya secara jelas dan tajam dengan mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan hukum. 28

28


(55)

Sebagai ilustrasi, bisa diambil contoh, sebelum berlaku KUHAP (berlaku 31 Desember 1981) telah terwujud yurisprudensi yang bersifat konstan bahwa terhadap putusan bebas dijatuhkan Pengadilan tingkat pertama dapat diajukan banding dan kasasi, apabila pembebasan itu sifatnya “tidak murni”. Hal itu antara lain dapat dilihat dalam putusan MA 19-10-1980, No.122 K/Kr/1979. Sehingga pasal 67 dan pasal 244 KUHAP menutup pintu upaya banding dan kasasi terhadap putusan bebas.

Ironisnya, setelah berlakunya KUHAP, timbul gejala yang menjurus ke arah negatif. Terjadi arus frekuensi putusan bebas yang kurang dapat dipertanggungjawabkan. Timbul keresahan dalam kehidupan masyarakat, karena peradilan tingkat pertama cenderung menjatuhkan putusan bebas dalam kasus-kasus perkara tertentu, terutama yang menyangkut tindak pidana korupsi dan tindak pidana ekonomi. Penegakkan Hukum yang seperti itu sangat menyakiti rasa keadilan masyarakat. Seolah-olah putusan-putusan pengadilan tidak dapat diharapkan sebagai katup penyelamat kepentingan perlindungan ketertiban umum. Dengan ditutupnya upaya banding dan kasasi oleh pasal 67 dan pasal 244 KUHAP, putusan bebas yang menimbulkan keresahan yang bagaimanapun, tidak dapat diluruskan dan dikoreksi oleh tingkat banding dan kasasi.

Sudah semestinya hal itu harus cepat dihentikan. Tetapi dengan cara yang bagaimana? Satu-satunya jalan yang efektif untuk memperkecil gejala negatif tersebut, tidak ada jalan lain, mesti dipertahankan


(56)

yurisprudensi lama dengan cara Contra Legem terhadap pasal 244 KUHAP. Sebagai tindakan antisipasi, MA dalam putusannya melakukan contra legem terhadap pasal 244 KUHAP. Tindakan itu didasarkan atas alasan pertimbangan, ketentuan yang menutup pintu upaya Hukum terhadap putusan bebas, dianggap bertentangan dengan perlindungan ketertiban umum. Kondisi masa sekarang belum waktunya menegakkan ketentuan pasal 244 KUHAP. Oleh karena itu, apabila putusan pembebasan bersifat tidak murni, dapat diajukan permohonan kasasi.

Dari ilustrasi di atas, dapat dilihat, apabila nilai bobot yurisprudensi lebih potensial dan lebih efektif mempertahankan tegaknya keadilan dan perlindungan kepentingan umum undang-undang yang disuruh mundur dengan cara contra legem, sehingga yurisprudensi yang sudah mantap ditegakkan sebagai dasar dan rujukan Hukum menyelesaikan perkara.29 Dari penjabaran di atas, dapat disimpulkan mengenai apa itu contra legem yaitu di mana seorang hakim di dalam memutus suatu perkara tidak lagi mengacu pada Undang-undang akan tetapi memutus dengan keyakinannya sendiri dengan menguji serta menganalisis perkara yang hendak diputus secara cermat dan matang sesuai dengan hukum yang berkembang dalam kehidupan masyarakat sekarang.

29

Ahmad kamil dkk, Kaidah-kaidah Hukum Yurisprudensi, Jakarta, Kencana, Cet. 3, 2008, h. 45


(1)

Harahap, M.Yahya, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UU No.7 Tahun 1989), Jakarta, Pustaka Kartini, Cet.1, 1990

Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Publishing, 2008

Idris Ramulyo, Mohd, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI, Bumi Aksara, Jakarta, Cet. I, 1996

Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Istri, Jakarta, PT. Bulan Bintang, Cet.1, 1986 Johan Nasution, Bahder, dkk, “Hukum Perdata Islam”, Surabaya, Mandar Maju, 1997 Kamil, Ahmad dkk, Kaidah-kaidah Hukum Yurisprudensi, Jakarta, Kencana, 2008, Ed.

1 . Cet. 3

Kamil, Ahmad, “Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi”, Jakarta; Prenada Media, 2005 Mahmud Marzuki, Peter, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2011

Manan, Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006

Mertokusumo, Sudikno, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Yogyakarta: Liberty, 1984

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 2006 Manan, abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Indonesia, Jakarta, Kencana,

Cet.2, 2008

Manan, Abdul, dkk, Pokok-pokok Hukum Perdata (Wewenang Peradilan Agama), Jakarta, Ed.1, Cet.5, 2002

Manan, Abdul, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan (Suatu Kajian Dalam Sistem Peradilan Islam), Jakarta, Kencana, Ed.1, Cet.1, 2007

Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, Ed.2, Cet.1, 1997

Pudjosewojo, Kusumadi, Pedoman Pembelajaran Tata Hukum Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, Cet.11, 2008

PEMBINAAN BADAN PERADILAN AGAMA DEPARTEMEN AGAMA, Kompilasi Perundang-undangan Badan Peradilan Agama, Jakarta, Badan Peradilan Agama Departemen Agama, 1980/1981

Ramulyo, Idris, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-undang No.1 Tahun 1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Jakarta, Ind.Hillco, Ed.Rev, 1990


(2)

Ramulyo Idris, Mohd, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis dari Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), Jakarta, PT. Bumi Aksara, Cet.1, 1996

Romy H, Soemitro. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990 Rahardjo, Satjipto, Masalah Penegakkan Hukum, Bandung, Sinar Baru, 1992

Roestandi, Achmad, dkk, Komentar Atas Undang-undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dilengkapi dengn Kompilasi Hukum Islam, Bandung, Nusantara Press, 1991

Soekanto, Soejono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992 Satrio, J., Hukum Harta Perkawinan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Cet. 1, 1991 Subekti, Dasar-dasar Hukum Dan Pengadilan, Jakarta, Soeroengan, 1955, Cet. 2 Saleh, K.Wantjik, Hukum Acara Perdata, Jakarta, Ghalia Indonesia, Cet.4, 1981 Soeroso, R, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta, Sinar Grafika, Cet.5, 2003

Salim, Arskal, dkk, Demi Keadilan dan Kesetaraan (Dokumentasi Program Sensitivitas Jender Hakim Agama di Indonesia), Jakarta, PUSKUMHAM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bekerja sama dengan The Asia Foundation, Cet.1, 2009 Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia(Antara Fiqh Munakahat dan

Undang-undang Perkawinan), Jakarta, Kencana, Ed.1, Cet.2, 2007

Siregar, Bismar, Hukum Hakim Dan Keadilan Tuhan (Kumpulan Catatan Hukum dan Peradilan di Indonesia), Jakarta, Gema Insani Press, Cet.1, 1995

Saleh, K.Wantjik, Kehakiman dan Pengadilan, Jakarta, Sumber Cahaya, 1976

Tihami, H.M.A. dan Sahrani, Sohari, Fikih Munakahat (kajian fikih nilai lengkap), Jakarta, Rajawali Press, 2010

Taufiq Sanusi, Nur, Fiqh Rumah Tangga (Perspektif Al-qur’an dalam Mengelola Konflik Menjadi Harmoni), Depok, Elsas, Cet.1, 2010

Van Apeldoorn, L.J, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, PT. Pradnya Paramita, Cet.30, 2004

Wawancara dengan Ibu Hj.Athiroh Muchtar, SH.MH pada tanggal 16 Mei 2013 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006


(3)

Artikel/Website

Taufiq Hz, M., Kedudukan Harta Bersama Dalam Konteks Kewajiban Nafkah, Suara Uldilag, Vol. II, No. 7 September 2005

http://cakraarbas.blogspot.com/2011_09_01_archive.html, Aspek reform KHI pengaruh adat (Harta Bersama), di akses pada tanggal 25 september 2012.


(4)

Hasil Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan

Nama : Ahmad Dhiaul Akifin Waktu : Pkl. 13.30 wib

Tempat : Ruang Hakim

1. Bagaimana konsep Pembagian Harta Bersama antara suami dan istri?

Jawaban: Suami isteri masing-masing berhak mendapat ½ (seperdua) dari harta bersama, hal ini analog dari ketentuan Pasal 97 INPRES Nomor 1 Tahun 1991 KHI. 2. Bagaimana proses ijtihad seorang hakim dalam memutuskan perkara?

Jawaban: Tujuan peradilan bukan hanya untuk menegakkan perundang-undangan saja akan tetapi, lebih ditujukan untuk menegakkan rasa keadilan dan kebenaran. Oleh karena itu, seorang hakim harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Tidak menegakkan Undang-undang dalam arti sempit

b. Tidak sekedar sebagai corong dari perundang-undangan

c. Hakim tidak boleh selalu mengidentikaan kebenaran dan keadilan sama dengan

rumusan Undang-undang (tidak semua wetmatig adalah recht vaardig, tidak semua Legal itu Justice, dan juga tidak selamanya Lawfull itu justice

Hakim di dalam menegakkan kebenaran dan keadilan harus mengacu kepada 3 unsur:

Adanya rasa keadilan

Adanya kemanfaatan dan

Adanya kepastian hukum

Dalam menegakkan usur-unsur tersebut diperlukan kearifan seorang hakim, karena suatu saat nanti bisa saja bunyi pasal dirasa tidak memenuhi rasa keadilan atau tidak ada kemanfaatan, karena tidak sedikit peraturan yang ada pada saat dibuat terasa memenuhi rasa keadilan dimaksud. yaitu seiring dengan berjalannya waktu, berubahnya tempat dan keadaan..

3. Menurut Ibu apakah semua hakim akan bertindak hal yang sama terhadap perkara tersebut?


(5)

Jawaban: Ya, bisa saja melakukan hal yang sama dan bisa juga tidak, hakim akan mengadili suatu perkara bertujuan untuk memenuhi rasa keadilan dan kebenaran serta selalu berpijak pada Common Basic Idea (Landasan Cita-cita Umum).

4. Menurut Ibu apa yang menjadi landasan utama seorang hakim berlaku contra legem? Jawaban: Dalam upaya mencapai kebenaran dan keadilan yang sesungguhnya, hakim dituntut untuk:

a. Mampu menafsirkan Undang-undang secara aktual

- Hukum diterapkan dengan lentur sesuai perkembangan waktu, tempat dan keadaan

- Hukum diterapkan sesuai dengan tuntutan kepentingan umum dan

kemashlahatan bagi masyarakat pada waktunya

- Hakim tidak reaktif bersikap negatif terhadap pembaharuan dan

perkembangan yang mendatangkan kemashlahatan masyarakat.

- Pada saat menafsirkan Undang-undang hakim harus berpijak pada

falsafah bangsa yaitu Common Basic Idea (Landasan Cita-cita umum).

b. Menciptakan hukum baru

c. Mampu berperan mengadili secara kasuistik, karena:

- Pada prinsipnya masing-masing kasus mengandung particular reason.

- Tidak ada perkara yang persis/mirip

5. Bagaimana pandangan hakim terhadap contra legem dengan KHI?

Jawaban: Ada beberapa rumusan KHI sebagai hasil dari Ijtihad, sehingga apabila menurut hakim rumusan tersebut pada saat diterapkan dalam perkara in concrito dirasa tidak adil.

6. Adakah dampak positif negatif dari sebuah putusan seorang hakim yang berlaku contra legem?

Jawaban: Sepanjang Contra Legem dilakukan sebagai upaya menegakkan keadilan dan kebenaran sesuai kehendak masyarakat dan dengan tetap berpijak pada Common Basic Idea, Insya Alloh kecil kemungkinan berdampak negatif.


(6)

Dokumen yang terkait

Permohonan Sita Marital (Marital Beslag) Terhadap Harta Bersama Di Luar Gugatan Perceraian (Analisis Putusan Nomor 549/Pdt.G/2007/Pa.Jp)

1 29 86

HAK SUAMI SEBAGAI AHLI WARIS DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM (Analisis Putusan Perkara Gugat Waris Di Pengadilan Agama Kota Cirebon Nomor : 753/Pdt.G/2011/PA.Cn.)

1 6 104

Penerapan Asas Contra Legem Dalam Pembagian Harta Bersama (Analisis Putusan Perkara Nomor : 1048/Pdt.G/2009/Pa.Bbs Di Pengadilan Agama Brebes

2 23 110

Penyelesaian Harta Bersama Dalam Perceraian (Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Perkara No: 126/Pdt.G/2013/PTA.JK)

2 18 0

Hak Suami Sebagai Ahli Waris Dalam Komplikasi Hukum Islam (Analisis Putusan Perkara Gugat Waris Di Pengadilan Agama Kota Cirebon Nomor : 753/Pdt.G/2011/PA.Cn.)

0 11 104

Pembagian Harta Bersama Ditinjau Dari Persepektif Gender (Analisis Putusan Perkara Nomor 278/Pdt.G/2012/PA Rks)

1 12 0

Penerapan Hermeneutika Hukum di Pengadilan Agama Dalam Penyelesaian Sengketa (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Bekasi Tentang Harta Bersama)

0 12 172

Hak-Hak Isteri Pasca Cerai Talak Raj'i (Analisis Perbandingan Antara Putusan Pengadilan Agama Tuban Nomor 1781/Pdt.G/2014/PA.Tbn dengan Putusan Pengadilan Agama Bojonegoro Nomor 154/Pdt.G/2014/PA.Bjn)

0 32 143

View of Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian: Studi Kasus di Pengadilan Agama Bekasi

0 0 20

Studi Tentang Pelaksanaan Pembagian Har Ta Bersama Di Pengadilan Agama Sukoharjo (Studi Putusan No.0910/Pdt.G/2010/Pa.Skh )

0 1 82