Asas tunggal pancasila dalam pandangan syarikat Islam (SI) masa orde baru

(1)

v

ASAS TUNGGAL PANCASILA DALAM PANDANGAN

SYARIKAT ISLAM (SI) MASA ORDE BARU

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

Taufan Anof

NIM: 102045225190

KOSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

vi

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul ASAS TUNGGAL PANCASILA DALAM PANDANGAN SYARIKAT ISLAM (SI) MASA ORDE BARU telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 12 Desember 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Jinayah Siyasah Kosenterasi Siyasah Syar’iyyah.

Jakarta, 12 Desember 2008 Mengesahkan

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA, MM NIP. 150 210 422

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Asmawi, M.Ag ( ...) NIP. 150 282 934

2. Sekretaris : Sri Hidayati ( ...) NIP. 150 282 403

3. Pembimbing : DR. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag ( ...) NIP. 150 275 509

4. Penguji I : DR. Phil. JM. Muslimin, MA ( ...) NIP. 150 312 427

5. Penguji II : DR. H. Abdurrahman Dahlan, MA ( ...) NIP. 150 234 496


(3)

vii

KATA PENGANTAR

Dengan asma Allah, Pencipta semesta raya, muara segala damba dan tambatan semua pinta, Dia-lah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, patutlah puji dan syukur teruntuk bagi-Nya, yang dengan taufik dan hidayah-Nya tersikap segala ketidak berdayaan, serta dengan inayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw, Rasulullah terakhir yang diutus membawa syari’ah yang penuh rahmat dan membawa keselamatan dalam kehidupan dunia dan akhirat, dan semoga terlimpah pula kepada keluarga, para sahabat serta para pengikutnya yang istiqomah.

Setelah melewati proses yang panjang, akhirnya penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari, bahwa karya ini terselesaikan bukan sepenuhnya dari buah pikir penulis sendiri, akan tetapi banyak pihak yang ikut andil dalam penyusunan skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya, khususnya kepada Bapak/Ibu:

1. Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan bimbingan kepada mahasiswa Fakultas Syariah.

2. Asmawi, M.Ag. Ketua Program Studi Siyasah Syar’iyyah dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag. Sekretaris Program Studi Siyasah Syar’iyyah yang tidak


(4)

viii

pernah letih memberikan arahan dan motivasi kepada mahasiswa Siyasah Syar’iyyah, khususnya kepada penulis.

3. Dr. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag. selaku pembimbing yang dengan ketulusan membimbing dan memberikan pengarahan kepada penulis walau di tengah kesibukannya, hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang mendermakan ilmunya kepada penulis selama kuliah di kampus tercinta ini.

5. Pimpinan Perpustakaan baik Pusat maupun Fakultas, serta seluruh stafnya yang telah memberikan pelayanan sebaiknya sehingga mempermudah penulis dalam mencari buku referensi hingga skripsi ini cepat terselesaikan.

6. Dengan rasa bhakti penulis haturkan kepada Ayahanda Rusly Hasan dan Ibunda Siti Hanifah, yang tak pernah bosan mendidik dan mendo’akan untuk keberhasilan ananda dan terima kasih atas segala kasih sayangnya yang telah diberikan selama ini. Serta terima kasih kepada keluarga dan seseorang yang spesial bagi penulis yang telah mendukung sepenuh hati.

7. Segenap Pengurus DPP Syarikat Islam yang telah membantu penulis dengan memberikan referensi yang penulis butuhkan dalam menyelesaikan skripsi ini. 8. Teman-teman seperjuangan di SS angkatan 2002, yang senantiasa memberikan warna-warni kehidupan dan pemikiran selama menjalani perkuliahan. Bagi teman-teman yang belum lulus, terus berjuang “Never Give Up”.


(5)

ix

9. Teman-teman Ikatan Remaja Masjid Jami’ Al-Muhajirin (IRMARIN) Komp. Ciledug Indah II dan teman-teman halaqah, terima kasih atas dukungan dan do’anya, akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan.

10.Terakhir, kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis, baik yang membantu secara langsung maupun tidak langsung, penulis tidak akan melupakan jasa kalian semua.

Demikian untaian terima kasih ini, tiada yang dapat penulis lakukan kepada mereka yang telah berjasa, kecuali menghaturkan terima kasih seagung-agungnya serta iringan do’a semoga Allah Swt membalas dengan segala kebaikan.

Jakarta, Januari 2009 M .

Muharram 1430 H


(6)

x DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 10

D. Review Studi Terdahulu 11

E. Metode Penelitian 13

F. Sistematika Penulisan 14

BAB II

ASAS TUNGGAL PANCASILA

A. Sejarah Lahirnya Pancasila 16

B. Proses Pemberlakuan Asas Tunggal Pancasila 26

BAB III SYARIKAT ISLAM DAN ORDE BARU

A. Kebijakan Orde Baru Terhadap Islam 39


(7)

xi

BAB IV ASAS TUNGGAL PANCASILA DALAM PANDANGAN SYARIKAT ISLAM

A. Program Asas dan Program Tanzhim (Program Perlawanan) 60 Syarikat Islam

B. Pandangan Syarikat Islam Terhadap Asas Tunggal 74 Pancasila

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan 90

B. Saran 92


(8)

xii

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Rezim Orde Baru diawali dengan meletusnya peristiwa berdarah 30 September 1965 yang menewaskan tujuh perwira Angkatan Darat.1 Dengan tampilnya Orba banyak pimpinan Islam yang menaruh harapan besar, dengan kembalinya Islam dalam panggung politik nasional, yang selama periode Demokrasi Terpimpin merasa benar-benar disudutkan. Pada peristiwa penghancurkan PKI dan menjatuhkan Soekarno, golongan Islam menjadi bagian penting dari kekuatan koalisi bersama militer, kelompok fungsional, kesatuan mahasiswa dan pelajar, organisasi sosial-keagamaan dan sebagainya.

Langkah pertama yang dilakukan pemerintah Orde Baru adalah membebaskan tokoh-tokoh Islam yang dipenjarakan Soekarno, hal tersebut semakin memperbesar harapan kaum muslimin kepada Orde Baru. Sehingga didirikanlah sebuah panitia yang diberikan nama Badan Koordinasi Amal Muslimin untuk merealisasikan

1

Inu Kencana Syafiie, Sistem Politik Indonesia, cet. IV (Bandung: Refika Aditama, 2008), h. 43


(9)

xiii

harapan itu.2 Akan tetapi harapan dari umat muslim sepertinya tidak akan terlaksana, Setelah berhasil menghancurkan kekuatan Komunis, pemerintah Orde Baru terus menerus memapankan kekuasaannya diatas panggung politik Indonesia. Sebuah tatanan negara dan bangsa yang didasarkan atas pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsisten. Didukung secara efektif oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan sekelompok teknokrat.3

Dalam upaya Orde Baru memperkuat perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945, pada Desember 1966, kelompok militer menyatakan bahwa mereka akan mengambil tindakan-tindakan tegas terhadap siapa saja, dari kelompok mana saja, dan aliran apa saja, yang ingin menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 seperti yang pernah dilakukan oleh PKI di Madiun, G.30S/PKI, Darul Islam/Tentara Islam Indonesia dan Masyumi – Partai Nasionalis Indonesia dan sebagainya.4

Dalam rangka memulihkan kembali demokrasi di dalam negeri, pemilihan umum pertama diadakan pada tanggal 3 Juli 1971. Dalam pemilu ini, partai-partai Islam terdiri dari NU, PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), Perti dan partai yang baru saja berdiri yakni Parmusi (Partai Muslimin Indonesia). Golkar yang merupakan partai yang didukung pemerintah menang besar (mengumpulkan 62,8 persen suara),

2

Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 111

3

Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni Dan Otoritas Agama; Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h.107

4


(10)

xiv

sementara partai-partai Islam mendapatkan 27,11 persen, partai-partai non-Islam dan Nasionalis mendapatkan 10,09 persen. Dari kursi 360 kursi parlemen yang diperebutkan, Golkar memenangkan 227 kursi, partai-partai Islam 94 kursi, dan sisanya untuk partai sekuler dan non-Islam. Maka jelaslah bahwa Golkar mendominasi kekuatan politik di dalam negeri.5

Dua tahun setelah pemilu 1971, pemerintah Orde Baru menerapkan kebijakan baru tentang restrukturisasi politik yang berisi pengelompokan semua partai politik, sebuah kebijakan yang menghasilkan pembentukan PPP (Partai Persatuan Pembangunan), PDI (Partai Demokrasi Indonesia) dan Golkar. PDI secara formal didirikan pada tanggal 10 Januari 1973 merupakan penggabungan dari PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, dan Partai Murba. Sedang PPP yang formalnya didirikan pada tanggal 5 Januari 1973, merupakan fusi dari empat partai Islam yakni, PSII, NU, Perti dan Parmusi.6

Disamping itu, banyak juga kebijakan pembangunan/politik yang dibuat bertentangan dengan aspirasi dan kepentingan Islam, diantaranya: Pengumuman rancangan Undang-undang Perkawinan pada tahun 1973; Pembangunan tempat-tempat perjudian, “lokalisasi”, dan melegalisasikan perjudian “terselubung”; Larangan memakai Jilbab di sekolah menengah; Program keluarga berencana yang

5

Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 113

6Ibid,


(11)

xv

tidak memperhatikan ajaran Islam; Maraknya penjualan Minuman keras, dan pemberian izin secara bebas oleh pemerintah untuk membangun kilang-kilang arak.7

Pada 1978, lagi-lagi masyarakat Muslim merasa diserang keyakinan agama mereka. Dalam salah satu sidang MPR, pemerintah berupaya menaikan status aliran kepercayaan menjadi sama dengan posisi agama seperti Islam dan Kristen. Serangan paling akhir yang akan menjadi objek pembahasan skripsi ini, yakni serangan terhadap konstruk lama Islam politik, terutama dalam kerangka simbolisme ideologisnya, dalam pidato tahunannya di depan DPR, 16 Agustus 1982, Presiden Soeharto menegaskan bahwa seluruh kekuatan sosial politik harus menyatakan bahwa dasar ideologi mereka satu-satunya adalah Pancasila.8 Kemudian gagasan presiden ini dimasukan dalam ketetapan MPR No. II/1983 (pasal 3 bab IV).9 Pada tanggal 19 Februari 1985, pemerintah, dengan persetujuan DPR, mengeluarkan undang-undang No. 3/1985, menetapkan bahwa partai-partai politik dan Golkar harus menerima Pancasila sebagai asas tunggal mereka. Empat bulan kemudian, pada tanggal 17 Juni 1985, pemerintah lagi-lagi atas persetujuan DPR, mengeluarkan undang-undang No. 8/ 1985 tentang ormas, menetapkan bahwa seluruh organisasi sosial atau masa harus mencantumkan Pancasila sebagai asas tunggal Indonesia yang didorong oleh persamaan aspirasi, profesi, idealitas, kepentingan agama atau kepercayaan pada

7

M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999), h. 119

8

Effendy, Islam dan Negara, h. 120

9


(12)

xvi

Tuhan, dengan tujuan merealisasikan tujuan tertentu dalam negara Republik Indonesia.10

Dengan adanya asas tunggal tersebut, PPP menghadapi dilema politik dalam arti bahwa apabila PPP melakukan penolakan terhadap Pancasila sebagai asas tunggal partai akan mengakibatkan dibekukannya partai oleh pemerintah. Untuk menjaga keutuhan partai, para pemimpin PPP memilih jalan pragmatis dengan menerima Pancasila sebagai asas tunggal dan PPP mengganti segala sesuatu yang terkait dengan asas, indetitas, pernyataan-pernyataan dan simbol-simbol Islam.11

Dikarenakan perubahan asas tersebut, PPP yang merupakan fusi dari partai-partai Islam. Hal itu menimbulkan pertikaian di dalam tubuh PPP. PSII yang merupakan bagian dari PPP, menyatakan diri keluar karena asas tunggal tidak sesuai dengan asas PSII.12 Dari beberapa usur yang terdapat di dalam PPP, hanya PSII lah yang menyatakan diri keluar dari PPP.

PSII merupakan partai yang bermula dari sebuah organisasi dagang; Syarikat Dagang Islam (SDI)13, yang didirikan pada tanggal 16 Oktober 1905 di rumah H. Samanhudi di kampung Sandakan Solo.14 Pada tanggal 10 September 1912 SDI

10Ibid,

h. 206

11

Ibid, h. 223

12

Bustamam, PSII-1905 (Partai Syarikat Islam Indonesia) dizaman Orde Baru 1966-1998,

(Jakarta, Lembaga Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, 2000), h. 53

13

Effendy, Islam Dan Negara, h. 63.

14


(13)

xvii

meningkatkan dirinya menjadi organisasi yang berstatus badan hukum yang disahkan di depan notaris B. Turkule Surakarta, yang sekaligus perubahan nama SDI menjadi SI.15 Perubahan nama tersebut dimaksudkan untuk memeperluas cakupan sasaran gerak, dan juga memperjelas corak dan idiologi SI.16 Dengan menampilkan diri secara penuh kepada rakyat Indonesia, SI memperoleh dukungan dari semua kelas. Para pedagang muslim, para buruh di kota-kota, kyai dan ulama, bahkan juga kalangan priyai, dan lebih didominasi oleh petani.17

Syarikat Islam memiliki dasar yang berpangkal pada keyakinan bahwa agama Islam adalah agama Allah, mengingatkan pada keutuhan dan kesucian Al-Qur’an. Program asas Syarikat Islam menunjuk pada contoh yang diperlihatkan oleh Nabi Muhammad serta umat-umat yang terdahulu. Al-Qur’an dan Al-Hadits akan dipergunakan sebagai dasar atau pedoman dalam pembuatan Undang-undang.18

Setahun dari tahun berdirinya, SI mengalami perkembangan yang sangat cepat, SI mempunyai 26 cabang di seluruh Indonesia dengan total anggota 130.878 orang.19 SI adalah gerakan raksasa, dalam periode 1912-1916 dari seluruh cabang yang ada, SI memiliki jumlah anggota sebanyak 700.000 orang, dibanding dengan

15Ibid

, h. 5; M. A. Gani, Cita Dasar dan Pola Perjuangan Syarikat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 14

16

Firdaus A.N, Syarikat Islam Bukan Budi Utomo, (Jakarta: Datayasana, 1997), h. 2

17

Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, (T.tp.: Pustaka Jaya, t.t. ), h. 42.

18

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: PT. Pustaka LP3S, 1996), h. 157.

19


(14)

xviii

organisasi-organisasi lain di Indonesia pada masa itu.20 Pengaruh Syarikat Islam dalam masa yang relatif pendek bukan saja meliputi pulau Jawa Madura dan meluas sampai keluar Jawa, tetapi sampai berpengaruh dikalangan kaum muslimin Indonesia yang tinggal di tanah suci Mekah.21

Di bawah kepemimpinan H.O.S Tjokroaminoto, Agus Salim, dan Abdul Muis, SI mengembangkan program politiknya dengan agendanya yang bersifat nasional, menuntut pemerintahan sendiri [oleh rakyat Indonesia] dan kemerdekaan Indonesia, sehingga dengan demikian menjadikan SI sebagai organisasi politik nasional pertama di Indonesia.22

Pada perjalanan SI selanjutnya, SI mengalami beberapa perubahan nama, yakni: Central Syarikat Islam (Tahun 1915), kemudian pada Kongres Nasional (Natico) CSI ke VII tanggal 17-23 Februari 1923 yang dilangsungkan di Madiun, Central Syarikat Islam dijadikan partai politik, dengan nama Partai Syarikat Islam Hindia Timur (PSIHT).23 Akan tetapi pada Januari 1929 di pekalongan mengalami perubahan nama kembali menjadi, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).24

Seiring dengan perjuangan yang dilakukan bumi putra di dalam negeri, dalam peperangan di Eropa keterlibatan Amerika Serikat melawan Nazi Jerman, memberi

20Ibid,

h. 195.

21

Sudjana, Lika-liku Perjuangan, h. 6-9

22

Effendy, Islam Dan Negara, h. 64.

23

Sudjana, Lika-liku Perjuangan, hal. 31

24


(15)

xix

kesempatan kepada Jepang untuk memegang hegemoni di Asia. Pada 7 Desember 1941, Pearl Harbour dibombardir bala tentara Jepang. Kejadian ini sangat mempengaruhi moral tentara Belanda di Indonesia. Dalam Perang Dunia II, Belanda adalah anggota ABCD Front (America, British, Chinese, Dutch). Gurbernur Jendral Mr. A. W. L. Tjarda van Starkenborg S. Pada 8 Desember 1941 melalui radio mengumumkan perang terhadap Jepang. Dimana-mana penduduk diperintahkan membuat perlindungan. Badan-badan penjagaan serangan udara dibentuk. Disamping itu didirikan badan penjagaan kota dan daerah.25

Akan tetapi tanggal 1 Maret 1942 tentara Jepang mendarat di Jawa. Bandung sebagai pusat pertahanan Belanda dibombardir Jepang.26 Beberapa hari setelah itu; Tanggal 8 Maret 1942 pemerintahan Hindia Belanda jatuh, dan Jepang mulai menduduki Indonesia. Di awal masa penjajahan Jepang, melalui dektrit Letnan Jendral Imamura, panglima pertama di Jawa.27 Jepang membubarkan segenap partai-partai politik di Indonesia dan melarang segala bentuk aktifitasnya. Maka pada bulan April 1942 Abikusno pimpinan Partai Syarikat Islam Indonesia mengeluarkan instruksi menghentikan segala gerak organisasi untuk sementara waktu.28

25

S. Silalahi, Dasar-dasar Indonesia Merdeka; Versi Para Pendiri Negara, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 28.

26

Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h. 34.

27

Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, h. 142.

28


(16)

xx

Namun, kependudukan Jepang di Indonesia tidak bertahan lama, di akhir masa penjajahan Jepang sebelum Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.29 Tiga bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan, dengan Maklumat Pemerintah tertanggal 3 November 1945 yang ditanda tangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta jelas bahwa Maklumat tersebut memuat keinginan pemerintah akan kehadiran partai-partai politik,30 Maka pada tahun 1946 akhirnya PSII aktif kembali.31

Deskripsi wacana di atas adalah sebagian dari perjalanan politik SI. Berangkat dari hal-hal yang telah diuraikan di atas, penulis tertarik untuk membahas lebih jauh mengenai pandangan SI terhadap asas tunggal pancasila, SI memiliki pandangan yang berbeda dari partai/ormas lain, SI satu-satunya organisasi yang menolak akan pemberlakuan asas tunggal pancasila dalam tubuh PPP yang ditetapkan pemerintah bagi setiap partai politik dan ormas. Dalam hal itu pembahasan ini akan dirangkum dalam skripsi yang berjudul: “ASAS TUNGGAL PANCASILA DALAM PANDANGAN SYARIKAT ISLAM (SI) MASA ORDE BARU”

B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH

29

Adeng Muchtar Ghazali, Perjalanan Politik Umat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 120.

30

M. Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik di Indonesia; Sebuah Potret Pasang Surut,

(Jakarta: Rajawali Pers, 1983), h. 64

31


(17)

xxi

Dari apa yang dipaparkan di atas, penyusun perlu melakukan pembatasan agar penelitian ini tidak terlalu melebar, lebih terfokus dan sistematis. Adapun pembatasan penelitian ini terkosentrasi pada pandangan Syarikat Islam (SI) terhadap penetapan Asas Tunggal Pancasila masa pemerintahan Orde Baru.

Dalam hal tersebut, penulis akan mengangkat persoalan yang dianggap urgent untuk dibahas secara menyeluruh dan konkrit agar pembahasan judul skripsi ini bisa dipertanggung jawabkan, untuk itu perumusan masalah yang akan penulis kemukakan adalah :

1. Apa latar belakang pemberlakuan Asas Tunggal Pancasila yang ditetapkan Rezim Orde Baru;

2. Bagaimana pandangan Syarikat Islam (SI) mengenai penetapan Asas Tunggal Pancasila yang diberlakukan oleh Rezim Orde Baru.

C. TUJUAN DAN MANFAAT

Dalam penulisan skripsi ini penulis memiliki tujuan, di antaranya adalah : 1. Mengenal dan memahami lebih jauh perjalanan Syarikat Islam dan

kebijakan pemerintah Orde Baru mengenai pemberlakuan Asas Tunggal Pancasila.

2. Melihat secara keseluruhan dan cermat terhadap pandangan Syarikat Islam mengenai Asas Tunggal Pancasila.


(18)

xxii

1. Secara teoritis penelitian ini sebagai khazanah ilmu pengetahuan dalam studi politik Islam dan hukum ketatanegaraan Islam ataupun untuk studi politik dan ketatanegaraan pada umumnya.

2. Secara praktis hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan rujukan, evaluasi atau perbandingan bagi partai atau organisasi lainnya. Dengan melihat secara keseluruhan dan cermat bagaimana pandangan Syarikat Islam mengenai penetapan Asas Tunggal Pancasila.

D. REVIEW STUDI TERDAHULU

Dalam penelitian ini penulis menemukan beberapa hasil penelitian terdahulu yang membahas topik yang sejenis. Yakni penelitian-penelitian terdahulu yang memiliki pembahasan seputar Syarikat Islam dan Penerapan Syarikat Islam di Indonesia, di antaranya:

1. Ida Parida, Peranan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) Dalam Demokratisasi Politik di Indonesia 1945-1973, (Skripsi S1: Program Studi Siyasah Syar’iyyah, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syahid Jakarta, 2006). Penelitian ini membahas kontribusi serta pasang surut PSII dalam kabinet orde lama dan orde baru di dalam Demokratisasi dan pembaharuan politik Islam di Indonesia tahun 1945-1973.

2. A.P.E. Korver, Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil, (Jakarta: Grafitipers, 1985). Penelitian ini membahas dengan panjang lebar mengenai sejarah SI, dimulai dari kronologis berdirinya Syarikat Dagang Islam (SDI) yang


(19)

xxiii

merupakan embrio dari SI, hingga perkembangannya menjadi Central Syarikat Islam (CSI) dan di dalam penelitian ini dibahas pula pergolakan-pergolakan atau sikap politik SI terhadap kolonial Belanda.

3. Ohan Sudjana, Liku-liku Perjuangan Syarikat Islam, (Jakarta: DPP PSII-1905, 1999). Penelitian ini pada pembahasannya tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan A.P.E. Korver, yakni membahas sejarah perjuangan politik SI, mulai dari berdirinya SI (tahun 1905) sampai masa orde baru tahun 1984.

4. Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni Dan Otoritas Agama; Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999). Penelitian ini menguraikan secara umum mengenai penetapan Asas Tunggal Pancasila oleh pemerintah Orde Baru. Dengan segala konflik yang muncul seiring penetapan kebijakan tersebut.

Dari hasil-hasil penelitian terdahulu, dapat di lihat bahwa, pada penelitian pertama: terfokus pada peran serta PSII dalam demokratisasi politik di Indonesia tahun 1945 sampai 1973, tidak menyentuh tahun 1982 ketika Asas Tunggal Pancasila itu diberlakukan. Penelitian ke-dua dan ke-tiga: penelitian ini terlihat lebih ditekankan pada studi sejarah terhadap SI, penelitian kedua mulai tahun 1905 sampai 1916 dan penelitian ke-tiga mulai tahun 1905 sampai 1984, namun memang dalam penelitian ini menjelaskan pula pandangan Syarikat Islam (SI) terhadap Asas Tunggal, akan tetapi masih bersifat umum. Kemudian penelitian ke-empat: secara umum pula menjelaskan mengenai proses pemberlakuan Asas Tunggal dan mengurai


(20)

xxiv

pendapat ormas Islam mengenai hal tersebut, tetapi uraian tersebut hanya pendapat dari ormas NU dan Muhammadiyah.

Dengan demikian dari pembahasan penelitian-penelitian terdahulu memiliki perbedaan dengan penelitian ini. Penelitian terdahulu tidak dan/ kurang menyentuh dari pada pandangan Syarikat Islam terhadap Asas Tunggal Pancasila. Sehingga pada penelitian ini, penulis akan mencoba menguraikannya secara spesifik.

E. METODE PENELITIAN

Dalam penyusunan skripsi ini metode yang digunakan adalah melalui riset kepustakaan (library research) atau metode penelitian kualitatif dengan melakukan kajian dari berbagai sumber (Primer-Skunder).

1. Sumber Primer: Ohan Sudjana, Liku-liku Perjuangan Syarikat Islam, (Jakarta: DPP PSII-1905, 1999), E. Saefullah Wiradipraja, Satu Abad

Dinamika Perjuangan Syarikat Islam, (Jawa Barat: Dewan Pimpinan

Wilayah Syarikat Islam Jawa Barat, 2005), Bustam, PSII-1905 (Partai Syarikat Islam Indonesia) dizaman Orde Baru 1966-1998, (Jakarta, Lembaga Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, 2000), M. A. Gani, Cita Dasar dan Pola Perjuangan Syarikat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984),dan buku-buku lain yang terkait pembahasan penulis.

2. Sumber Skunder: A.P.E. Korver, Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil, (Jakarta: Grafitipers, 1985), Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, (T.t.p.: Pustaka Jaya, t.t.), Bahtiar Effendy, Islam Dan Negara;


(21)

xxv

Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), Deliar Nur, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: PT. Pustaka LP3S, 1996), Serta sumber-sumber yang lainnya, seperti halnya buku-buku bacaan, majalah, Koran, artikel dan tulisan-tulisan lain yang ada relevansinya dengan permasalahan yang penulis bahas, sehingga hasil dari penelitian ini dapat menghadirkan sebuah kepastian sebagai mana penulis harapkan.

Dengan literature yang ada, pada pembahasan penulisan skripsi ini menggunakan metode analisis kualitatif dengan memaparkannya secara sistematis, jelas dan sebenar-benarnya dari informasi yang didapat dalam penelitian ini. Adapun mengenai tekhnik penulisan mengacu pada pedoman penulisan skripsi yang dikeluarkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (Tim Penulis Fakultas Syariah dan Hukum, Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum, 2007).

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Agar Penulisan skripsi ini lebih sistematis dan terarah, maka penulisan skripsi ini disusun dalam lima bab yang masing-masing dari sub-sub bab, di antaranya :

BAB I Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian ,tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistimatika penulisan.


(22)

xxvi

BAB II Menjelaskan mengenai Asas Tunggal Pancasila, yang terdiri dari sejarah pancasila dan proses pemberlakuan Asas Tunggal Pancasila.

BAB III. Menguraikan risalah Syarikat Islam, yang dibagi dalam dua masa; Syarikat Islam pra kemerdekaan dan Syarikat Islam pasca kemerdekaan.

BAB IV Pada bab ini merupakan fokus dari penelitian yang membahas mengenai, pandangan Syarikat Islam terhadap Asas Tunggal Pancasila, yang didalamnya dibahas; Program Asas dan Program Tanzhim Syarikat Islam dan Asas Tunggal Pancasila dalam pandangan Syarikat Islam.

Bab V Merupakan bab akhir dari penulisan skripsi, yang membahas mengenai kesimpulan penulis terhadap seluruh materi skripsi yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, serta penulis akan mengemukakan kesimpulan serta saran yang berisi sumbangan pemikiran atau pendapat setelah mempelajari seluruh materi dalam skripsi ini.


(23)

xxvii

BAB II

ASAS TUNGGAL PANCASILA

A. SEJARAH LAHIRNYA PANCASILA

Sejarah Pancasila dimulai dari pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) yang merupakan bentuk langkah awal realisasi dari statemen Pemerintah Jepang yang secara resmi Perdana Menteri Kyoso pada bulan September 1944 mengumumkan niat Pemerintah Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia kelak dikemudian hari. Sejalan dengan itu lagu kebangsaan Indonesia boleh dinyayikan kembali dan bendera Sang Merah Putih dapat dikibarkan bersama bendera Jepang, yang sebelumnya sejak tanggal 20 Maret 1942 hal tersebut dilarang.

Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dibentuk bertepatan dengan hari ulang tahun Tenno Heika (Kaisar Jepang) pada tanggal 29 April 1945 dan Badan ini baru diresmikan sebulan kemudian; tanggal 28 Mei 1945 oleh Saiko Sikikan dan Gunseikan. Dalam sambutan peresmiannya Saiko Sikikan menjelaskan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah suatu bukti nyata akan tujuan perang suci Dai Nippon.32

32


(24)

xxviii

Anggota Badan Penyelidik berjumlah 68 orang dan ke dalam jumlah ini masih harus ditambah 7 orang Jepang yang di angkat sebagai anggota istimewa. Anggota Badan Penyelidik tidaklah terbatas pada tokoh-tokoh yang bertempat tinggal di Jakarta tapi dari seluruh pelosok pulau Jawa.33 Dari 68 anggota tersebut, Anggota-anggota golongan Islam yang duduk dalam Badan Penyelidik hanyalah 9 orang, yakni: H. Agus Salim, Abikusno Tjokrosuyoso, Sukiman [dari Syarikat Islam], K.H. Mas Mansur, Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakkir [dari Muhammadiyah], Abdul Halim [dari Persatuan Ulama Indonesia], Achmad Sanusi, dan K.H. Wachid Hasjim [dari Nahdhatul Ulama].34

Selama masa tugasnya, Badan ini mengadakan dua kali sidang umum: sidang umum pertama diselenggarakan dari tanggal 29 Mei 1945 sampai dengan tanggal 1 Juni 1945; sidang umum kedua dari tanggal 10 Juli sampai dengan tanggal 17 Juli 1945. Pembicaraan dan pembahasan mengenai dasar negara merupakan salah satu acara sidang umum yang pertama, Sekurang-kurangnya ada tiga anggota yang mengemukakan pandangannya tentang dasar negara, yakni; Muh. Yamin yang berpidato tanggal 29 Mei 1945, Soepomo; tanggal 31 Mei 1945, dan terakhir Soekarno; tanggal 1 Juni 1945.35

33Ibid,

h. 53

34Ibid,

h. 54

35

A. M. W. Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila, (Jakarta: Centre For Strategic And International Studies, 1985), h. 25-26


(25)

xxix

Dalam pidatonya Sukarno menyampaikan maksud keinginan Ketua Badan Penyelidik, dengan menjelaskan philosofische gronslag Indonesia Merdeka atau yang dalam bahasa Jerman disebut Weltanschauung adalah fundamen, filsafat, pikiran, jiwa, dan hasrat yang sedalam-dalamnya bagi didirikannya gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.36

Kemudian Soekarno mengajukan Lima Asasnya sebagai dasar negara, yaitu: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau peri-kemanusiaan, Mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan sosial dan Ketuhanan. Dia menamakan Lima Asasnya ini “Pancasila”. Soekarno kemudian menyampaikan “teori perasaan”: lima sila itu diperasnya menjadi tiga sila (Tri Sila): Sosio-nasionalisme (yang mencakup Kebangsaan Indonesia dan Peri-kemanusiaan), sosio-demokrasi (yang mencakup Demokrasi dan Kesejahteraan sosial) dan Ketuhanan. “Tri Sila”-nya ini pun, pada gilirannya, diperas pula menjadi satu sila (“Eka Sila”), yakni Gotong Royong.37 Dengan pidato yang disampaikan Soekarno tersebut, tanggal 1 Juni 1945 kini ditetapkan oleh pemerintah sebagai hari lahirnya Pancasila.

Dalam perkembangannya, susunan pancasila yang diusulkan oleh Soekarno tersebut mengalami perubahan bentuk, yang perubahan tersebut merupakan hasil kompromi, antara pihak Islam dan pihak kebangsaan yang terdiri dari sembilan orang.

36

Silalahi, Dasar-dasar Indonesia, h. 67

37

Endang Saifuddin An Shari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945; dan Sejarah Konsesus Nasionalis Islami dan Nasionalis Sekuler Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959,


(26)

xxx

Modus persetujuan antara golongan Islam dan golongan kebangsaan itu dicantumkan di dalam satu rancangan pembukaan yang berbunyi sebagai berikut:38

1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluknya;

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3. Persatuan Indonesia;

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyarawatan-perwakilan;

5. Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.

Karena modus persetujuan tersebut dibuat di Jakarta dan di tanda tangani oleh kesembilan anggota panitia tersebut bertepatan dengan ulang tahun Jakarta, maka modus persetujuan itu dikenal sebagai Piagam Jakarta (The Jakarta Charter).39

Dari kesembilan penandatangan Piagam Jakarta itu sungguh-sungguh representatif mencerminkan alam dan aliran fikiran yang hidup dalam masyarakat Indonesia: Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Ahmad siebardjo dan M. Yamin mewakili dari golongan nasionalis, sedangkan Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, dan Abdul Wahid Hasjim mewakili golongan Islam.40

38

Pranarka, Sejarah Pemikiran, h. 33-35

39

Saifuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 31-32

40Ibid


(27)

xxxi

Walaupun Piagam Jakarta merupakan hasil kompromi, tetap saja menjadi perdebatan dalam sidang umum, terutama dikarenakan dicantumkannya kata “dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluknya” pada Piagam Jakarta [yang kini dikenal dengan 7 kata Piagam Jakarta] sehingga menimbulkan perdebatan oleh sebagian anggota BPUPKI, dan kemudian muncul pula keinginan anggota dari golongan Islam untuk menetapakan pasal dalam Undang-Undang Dasar sesuai dengan nilai-nilai Syariat Islam, seperti halnya K.H. Wahid Hasjim dan Sukiman mengusulkan bahwa Kepala Negara haruslah beragama Islam serta dimasukannya kembali 7 kata tersebut kedalam salah satu pasal UUD, sehingga terus menerus menimbulkan perdebatan yang sengit, yang akhirnya dengan segala usaha dari hasil kompromi ditetapkalah UUD, yang di mana Piagam Jakarta tetap di masukkan dalam Muqadimah UUD, kemudian Kepala Negara adalah orang Islam, serta masuknya 7 kata dalam pasal 29.41

Akan tetapi, tidak bertahan lama Piagam Jakarta (Pancasila) mengalami perubahan kembali. Pada tanggal 7 Agustus 1945 BPUPKI dibubarkan, selanjutnya Pemerintahan Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diketuai oleh Soekarno. Pada tanggal 9 Agustus 1945 di Dalath Vietnam, Terauchi menyatakan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia sekitar

41

Safroedin Bahar, dkk, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan Kemerdekaan Indonesia (PPKI),


(28)

xxxii

tanggal 29 Agustus 1945.42 Tetapi pada tanggal 14 Agustus 1945 bom atom jatuh di Nagasaki dan Hirosima. Sehingga tanggal 17 Agustus 1945, jam 04.00 (pagi), yakni sehari setelah Jepang menyerah kepada kekuatan Sekutu, naskah baru Pernyataan Kemerdekaan dirumuskan. Pada jam 10.00 (pagi) di hari yang sama, yang bertempat di Jalan Pegangsaan Timur 56 (tempat kediaman Soekarno ketika itu), Proklamasi ini ditanda tangani oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia, dan dengan resmi dibacakan oleh Soekarno.

Keesokan harinya Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengadakan rapat. Pertemuan pertama panitia Persiapan ini direncanakan dalam agenda pada jam 09.30, akan tetapi ternyata belum juga dimulai sampai jam. 11.30.

Semula, Panitia Persiapan ini beranggotakan dua puluh satu orang, termasuk Ketua dan Wakil Ketua. Atas saran Soekarno enam orang anggota ditambahkan. Dalam pidato pembukaannya Soekarno menekankan arti historik saat ini, dan mendesak agar panitia persiapan bertindak “dengan kecepatan kilat”, dan mengingatkan para anggota agar tidak bertele-tele dalam masalah detail, tetapi memusatkan perhatian mereka hanya untuk membicarakan beberapa perubahan penting dalam pembukaan dan batang tubuh Undang-Undang Dasar. Hatta dipersilakan untuk menyampaikan empat usul perubahan:

1. Kata “Mukaddimah” diganti dengan kata “Pembukaan”;

42


(29)

xxxiii

2. Dalam Preambule (Piagam Jakarta), anak kalimat “Berdasarkan kepada ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya “diubah menjadi “berdasarkan atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa; 3. Pasal 6 ayat 1, “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”,

kata-kata “dan beragama Islam dicoret;

4. Sejalan dengan perubahan yang kedua di atas, maka Pasal 29 ayat 1 menjadi “Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa, sebagai pengganti “Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Setelah membacakan perubahan-perubahan tersebut, Hatta menyatakan keyakinannya: “inilah perubahan yang maha penting menyatukan segala bangsa”. Setelah mengambil alih pimpinan, Soekarno menambahkan bahwa Undang-Undang Dasar yang dibuat ini Undang-Undang Dasar sementara, Undang-Undang Dasar Kilat, Revolutie grondwet.

Hanya beberapa jam kemudian, yakni jam 13.45, Panitia Persiapan menerima dengan bulat teks perubahan Preambule dan batang tubuh Undang-Undang Dasar ini. Preambule dan batang tubuh Undang-Undang Dasar dengan beberapa perubahan ini dikenal luas sebagai “Undang-Undang Dasar 1945”.43 Perubahan tersebut dilakukan dengan dalih untuk mengakomodasi tuntutan wakil-wakil umat. Dengan kompromi terakhir ini, perjuangan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam yang

43


(30)

xxxiv

memberlakukan syariat Islam menjadi tidak mungkin, karena bertentangan dengan UUD 1945 yang telah disepakati. Kompromi dalam PPKI dipandang sebagian orang sebagai kekalahan politik umat Islam dalam pentas awal perjalanan kenegaraan Indonesia.44

Sehingga dengan adanya perubahan tersebut, teks Pancasila menjadi: 1. Ketuhanan yang Maha Esa;

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3. Persatuan Indonesia;

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyarawatan-perwakilan;

5. Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.

Idiologi kebangsaan itu menjadi dasar negara, dan karena itu juga menjadi sumber hukum. Namun, nama Pancasila tidak terdapat dalam naskah UUD 1945. Walaupun demikian di dalam masyarakat terdapat perasaan umum bahwa dasar negara itu adalah Pancasila. Konsep dasar negara yang lima itu terdapat pula di dalam pembukaan konstitusi RIS dan mukadimah UUDS 1950 walaupun di dalam rumusannya berlainnan dari yang terdapat di dalam pembukaan UUD 1945.45

44

Taufik Adnan Amal, Politik Syariat Islam; Dari Indonesia Hingga Nigeria, (Jakarta : Pustaka Alvabet, 2004), h. 61.

45


(31)

xxxv

Dalam praktek kehidupan politik kenegaraan pada masa tersebut tidak mengacu kepada Pancasila sebagai Idiologi nasional, yang memang sudah menggejala pada periode sebelumnya (masa berlakunya UUD 1945). Perkembangan konflik politik dan idiologi dalam periode itu membawa kritis mengenai kedudukan pancasila sebagai dasar negara. Hal itu terjadi di dalam Konstituante, dimana terjadi konflik Idiologi (Islam, Kebangsaan dan Sosial-Ekonomi)46. Pertentangan yang paling sengit berlangsung antara para pendukung aliran ideologi Islam dan Pancasila [kebangasaan].

Dalam diskursus ini, kelompok Islam pada dasarnya menyatakan kembali aspirasi-aspirasi ideologi politik yang sudah mereka kemukakan pada masa prakemerdekaan, yakni mendirikan negara yang jelas-jelas berdasarkan Islam. Mereka mengusulkan agar Islam dijadikan ideologi negara berdasarkan argumen-argumen mengenai (1) Watak holistik Islam; (2) Keunggulan Islam atas semua ideologi dunia lain, dan; (3) Kenyataan bahwa Islam dipeluk oleh mayoritas warga negara Indonesia.47

Sementara itu, beberapa kalangan lain menolak gagsan mengenai Islam sebagai dasar negara berdasarkan pertimbangan kemungkinannya untuk dapat diterapkan. Mengingat kenyataan bahwa masyarakat Indonesia heterogen secara sosial-keagamaan, mereka meragukan bahwa Islam dapat berperan sebagai

46Ibid

, h. 315

47


(32)

xxxvi

pendangan dunia ideologis-politis bagi seluruh masyarakat. Sementara itu, pancasila, betapapun tidak sempurnanya, telah terbukti dapat menjadi dasar ideologi bersama seluruh masyarakat Indonesia.

Dengan pendirian yang mutlak-mutlakan tersebut, dapat dibayangkan jika pada akhirnya kompromi sulit detemukan. Bahkan ketika Islam mundur dari tuntutan mereka yang awal untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara dan hanya menuntut penegasan kembali piagam jakarta, konflik tersebut telah terlanjur menyebabkan macetnya sidang Majelis Konstituante. Dilihat dari kekuatan elektoral mereka, tidak ada satupun partai yang memiliki suara yang diperlukan (yakni mayoritas 2/3 suara) untuk menggolkan preferensi-preferensi ideologis mereka.48

Perdebatan tentang dasar ideologi negara dalam Mejelis Konstitusi berlangsung sampai rapatnya yang terakhir pada tanggal 2 Juni 1959, tanpa suatu keputusan. Dengan demikian pembuatan suatu Undang-Undang Dasar permanen menjadi terbengkalai. Pihak pemerintah membaca situasi ini sebagai suatu kemacetan konstitusional yang serius. Maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno dengan sokongan penuh dari pihak militer mengeluarkan dektrit untuk kembali kepada UUD 1945 dan sekaligus membubarkan Majelis Konstituante yang dipilih rakyat itu. Situasi yang tidak seronok ini telah mengguncangkan umat Islam, baik secara politik maupun secara psikologis. Dibawah payung UUD 1945, Sukarno

48Ibid,


(33)

xxxvii

telah kembali menggenggam kendali pimpinan politik nasional dengan kekuasaan yang hampir-hampir tidak terbatas.49

Dengan dektrit itu Pancasila sebagai dasar negara ikut serta dinyatakan kedudukannya, namun tidak adanya penjelasan eksplisit. Sehingga menumbuhkan suasana pemikiran yang menjadi kabur. Hal ini mengakibatkan usaha berbagai aliran Idiologi memberikan tafsiran masing-masing. Suasana ini membawa perkembangan selanjutnya, timbulah pemikiran kritik mengenai pancasila.50 Fase pemikiran ini tampak dari timbulnya tema pemikiran mengenai pancasila murni, yang terjadi pada masa orde baru. Di dalam fase ini terjadilah proses eksplisitasi pancasila sebagai dasar negara, sumber hukum dan idiologi nasional.51

B. PROSES PEMBERLAKUAN ASAS TUNGGAL PANCASILA

Tahun 1966 merupakan tahun lahirnya pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Kemunculan Orde Baru dilatar belakangi oleh berbagai peristiwa, terutama yang terjadi pada enam tahun terakhir di bawah rezim Orde Lama. Pemerintahan Orde Lama yang dipimpin Soekarno dengan Demokrasi Terpimpin dan proyek Nasakomnya, telah digoyang oleh antagonisme politik, kekacauan sosial dan kritis ekonomi dalam kehidupan masyarakat Indonesia secara menyeluruh.

49

A. Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 175

50

Pranarka, Sejarah Pemikiran, h. 315

51Ibid


(34)

xxxviii

Mengenai kegagalan ekonomi, mencatat bahwa antara tahun 1958-1966 inflasi meningkat tajam, peredaran uang meningkat menjadi 701 persen, harga barang-barang membumbung tinggi menjadi 635 persen, makanan dan pasokan barang-barang yang lain sulit didapatkan dan hubungan dagang dengan negara-negara asing menjadi lebih buruk.52

Sementara itu, meningkatnya suhu politik menjelang akhir tahun 1965, dikaitkan dengan siapa pengganti Presiden Soekarno kalau yang bersangkutan wafat, yang pada saat itu Soekarno mengalami berbagai penyakit tuanya. Hanya ada dua kandidat yang disebut-sebut sebagai presiden yang menggantikan Soekarno. Yaitu Letjen. A. Yani dan Jenderal A. H. Nasution yang keduanya sangat dibenci oleh PKI. Dengan puncak kebencian tersebut PKI melakukan pembantaian di Lubang Buaya Jakarta, dengan sasaran utama mereka adalah para Jenderal. Jendral A. H. Nasution luput dari pembunuhan ini tetapi 7 (tujuh) perwira angkatan darat lainnya terbunuh.53 Peristiwa ini tepatnya terjadi pada tanggal 30 September 1965, yang dikenal sebagai peristiwa G.30S/PKI.

Setelah peristiwa G.30S/PKI, kekuatan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, yang pada waktu itu menjabat sebagai Komandan Kostrad (Komando

Cadangan Strategi Angkatan Darat), mengkosolidasi kekuatannya dan secara

bertahap berhasil mengontrol situasi, yang pada akhirnya berhasil mengambil alih

52

Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 101

53


(35)

xxxix

kekuasaan dari pemerintah Orde Lama pada tahun 1966.54 Pada tahun 1967 di keluarkanlah Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 yang menetapkan pencabutan kekuasaan pemerintah negara dari tangan Presiden Soekarno dan diangkatnya Jendral Soeharto sebagai Presiden kedua Republik Indonesia.55

Dengan dimulainya Rezim Orde Baru, banyak pimpinan Islam yang menaruh harapan besar, dengan kembalinya Islam dalam panggung politik nasional, yang selama periode Demokrasi Terpimpin merasa benar-benar disudutkan. Pada peristiwa penghancurkan PKI dan menjatuhkan Soekarno, golongan Islam menjadi bagian penting dari kekuatan koalisi bersama militer, kelompok fungsional, kesatuan mahasiswa dan pelajar, organisasi sosial-keagamaan dan sebagainya.

Langkah pertama yang dilakukan pemerintah Orde Baru adalah membebaskan tokoh-tokoh Islam yang dipenjarakan Soekarno, hal tersebut semakin memperbesar harapan kaum muslimin kepada Orde Baru. Sehingga didirikanlah sebuah panitia yang diberikan nama Badan Koordinasi Amal Muslimin untuk merealisasikan harapan itu.56

Akan tetapi harapan dari umat muslim sepertinya tidak akan terlaksana, Setelah berhasil menghancurkan kekuatan Komunis, pemerintah Orde Baru terus

54

Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 105

55

Syafiie, Sistem Politik Indonesia, h. 45

56


(36)

xl

menerus memapankan kekuasaannya di atas panggung politik Indonesia. Orde Baru membedakan dirinya sendiri dari Orde Lama dengan mendifinisikan diri sebagai:

1. Sebuah tatanan negara dan bangsa yang didasarkan atas pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsisten;

2. Sebuah tatanan yang berusaha mewujudkan cita-cita kemerdekaan, yaitu keadilan dan kemakmuran rakyat Indonesia berdasarkan Pancasila;

3. Sebuah tatanan yang bercita-cita membangun sistem negara dan masyarakat berdasarkan UUD, demokrasi dan hukum;

4. Sebuah tatanan hukum dan tatanan pembangunan.

Selain mengindentifikasikan dirinya dengan empat karakteristik ini, Orde Baru mencela Orde Lama sebagai penyimpang dari semangat Pancasila dan UUD 1945, yang dikarenakan Orde Lama menerapkan Demokrasi Terpimpin dan Nasakom, serta mengangkat Soekarno sebagai Presiden seumur hidup. Orde Baru memberikan prioritas nasional terhadap pelaksanaan pembangunan dan modernisasi, untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Didukung secara efektif oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan sekelompok teknokrat.57

Dalam upaya Orde Baru memperkuat perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945, pada Desember 1966, kelompok militer menyatakan bahwa mereka akan mengambil tindakan-tindakan tegas terhadap siapa saja, dari kelompok mana saja, dan aliran apa saja, yang ingin menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945

57


(37)

xli

seperti yang pernah dilakukan oleh PKI di Madiun, G.30S/PKI, Darul Islam/Tentara Islam Indonesia dan Masyumi – Partai Nasionalis Indonesia dan sebagainya.58

Dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 1967 Soeharto dengan tegas mengatakan:

“Pancasila adalah kepribadian kita, pandangan hidup seluruh bangsa Indonesia, pandangan hidup yang disetujui oleh wakil-wakil rakyat, menjelang dan sesudah proklamasi kemerdekaan kita; oleh karena itu, Pancasila adalah satu-satunya pandangan yang dapat pula mempersatukan kita.

Pancasila adalah perjanjian luhur seluruh rakyat Indonesia yang harus selalu kita junjung tinggi bersama dan kita bela selama-lamanya.”59

Dalam rangka memulihkan kembali demokrasi di dalam negeri, pemilihan umum pertama diadakan pada tanggal 3 Juli 1971. Dalam pemilu ini, partai-partai Islam terdiri dari NU, PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), Perti dan partai yang baru saja berdiri yakni Parmusi (Partai Muslimin Indonesia), partai-partai non-Islam dan sekuler yakni PNI, Parkindo, Partai Katolik, Partai Murba, dan IPKI dan Golkar didukung Pemerintah60, saling berkompetisi.

Golkar menang besar (mengumpulkan 62,8 persen suara), sementara partai-partai Islam mendapatkan 27,11 persen, partai-partai-partai-partai non-Islam dan Nasionalis

58

Effendy, Islam dan Negara, h.112

59

Centre For Strategic and International Studies, Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila, cet. II (Jakarta: Sekretariat Negara R.I.,1976), h. 10

60

Asal usul Golkar (Golongan Karya) dapat ditelusuri dari Sekber Golkar (Sekretariat Bersama Golongan Karya) yang didirikan pada tanggal, 20 Oktober 1964. Organisasi ini pada awalnya dibentuk sebagai koalisi berbagai kekuatan masyarakat untuk mengimbangi pengaruh PKI dalam , dalam pemerintahan Orde Baru disegarkan kembali dan diperluas hingga menjadi kekuatan politik yang amat besar. Lihat Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998).


(38)

xlii

mendapatkan 10,09 persen. Dari kursi 360 kursi parlemen yang diperebutkan, Golkar memenangkan 227 kursi, partai-partai Islam 94 kursi, dan sisanya untuk partai sekuler dan non-Islam. Sejumlah kursi tambahan (100) diisi oleh anggota-anggota yang ditunjuk oleh pemerintah, 75 kursi ditunjuk dari militer dan 25 kursi dari sipil. Dengan total 327 dari 460 kursi, jelaslah bahwa Golkar mendominasi kekuatan politik di dalam negeri.61

Kemudian dengan Tap MPR No. IX/MPR/1973 Hasil Pemilu 1971, Soeharto di angkat kembali menjadi presiden dan pada selanjutnya dalam beberapakali pemilihan umum (1977, 1982, 1987 dan 1992) dengan kemenangan Golkar yang terus menerus, Suharto tetap dipertahankan menjadi Presiden Republik Indonesia.62 Kemenangan tersebut melalui strategi dengan dikeluarkannya peraturan menteri dalam negeri (Permen 12/ 1969) menyebutkan bahwa “seluruh anggota kelompok-kelompok fungsional yang ditugaskan dibadan-badan pemerintah di tingkat provinsi dan lokal harus diganti jika mereka bergabung kedalam partai-partai politik [PNI, NU, Parmusi, PSII, Perti dan lain sebagainya]. Selain itu, pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP 6/ 1970) yang mempunyai konsekuensi luas dalam pemilihan umum.

Peraturan-peraturan di atas dikeluarkan untuk menciptakan monoloyalitas. Mereka harus tetap loyal kepada pemerintah yang memperkerjakan mereka. Jika

61

Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 113

62


(39)

xliii

tidak, promosi mereka ke jabatan yang lebih tinggi dapat tertunda. Langkah-langkah ini, tentu saja, menjamin dukungan yang eksklusif terhadap Golkar.63

Pada masa ini, Militer mulai masuk kedalam MPR/DPR, keberadaan Militer di MPR/DPR, merupakan kebijakan dari pemerintah yang dengan dalih untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta mempertahankan Pancasila dan UUD 1945 dari kemungkingan perubahannya oleh MPR/DPR RI maka ABRI pun ikut berpolitik, hal tersebut dianggap pula sebagai bagian dari pengabdian ABRI kepada bangsa dan negara yang kemudian disebut sebagai Dwifungsi ABRI.64

Berbagai perkembangan setelah pemilihan umum 1971 hanya memperbesar rasa putus asa masyarakat politik Islam. Kekalahan dalam pemilihan umum tidak hanya tercermin dalam merosotnya wakil-wakil Islam di parlemen. Tetapi hal itu juga tampak dalam komposisi kabinet baru, dimana keterlibatan tokoh-tokoh politik Islam tertentu benar-benar mulai dibatasi. Salah satu kasus yang paling jelas menunjukan hal itu adalah mulai memudarnya dominasi NU dalam Departemen Agama.65

Dua tahun setelah pemilu 1971, pemerintah Orde Baru menerapkan kebijakan baru tentang restrukturisasi politik yang berisi pengelompokan semua partai politik, sebuah kebijakan yang menghasilkan pembentukan PPP (Partai Persatuan Pembangunan), PDI (Partai Demokrasi Indonesia) dan Golkar. PDI secara formal

63

Effendy, Islam dan Negara, h. 116

64

Syafiie, Sistem Politik Indonesia, h. 47

65


(40)

xliv

didirikan pada tanggal 10 Januari 1973 merupakan penggabungan dari PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, dan Partai Murba. Sedang PPP yang formalnya didirikan pada tanggal 5 Januari 1973, merupakan fusi dari empat partai Islam yakni, PSII, NU, Perti dan Parmusi.66

Di kalangan partai-partai Islam sendiri sebenarnya masih ada perbedaan pendapat terhadap gagasan fusi partai. Namun demikian karena tekanan dari pemerintah, akhirnya partai-partai harus menerima aturan penggabungan ini. Langkah yang dilakukan pemerintah tersebut merupakan proses untuk menciptakan pemerintahan yang stabil, oleh karena itu diperlukan homogenitas sosial dan konsesus politik dengan mengurangi jumlah partai dan membentuk partai baru dukungan pemerintah.67

Terlepas dari proses restrukturisasi politik yang terus menerus dilakukan Orde Baru, menyusul pemilihan umum 1971, proses itu diperkuat dengan penerapan konsep massa mengambang di mana aktivitas-aktivitas partai di tingkat desa dan kecamatan hampir sepenuhnya dihapuskan, ditambah dengan dilaksanakannya sistem politik yang pada dasarnya tidak kompetitif oleh pemerintah. Kemudian perpecahan yang terus berlangsung di dalam tubuh PPP, terutama semasa kepemimpinan John

66

Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 126

67


(41)

xlv

Naro (strategi pemerintah untuk secara intensif menarik banyak tokoh dan intelektual Muslim), memperlemah kekuatan PPP dalam pemilihan umum.68

Karena tampilnya PPP sebagai partai Islam dianggap pemerintah sebagai ancaman. Dan PPP memang kritis terhadap pemerintah; dalam kampanye pemilu tahun 1977 ia mengangkat masalah korupsi, penyalahgunaan jabatan, dan kecendrungan-kecendrungan sekularistik pemerintah yang merupakan pendukung Golkar. Pemerintah menjadi lebih keras terhadap PPP ketika partai ini terus menyerang pemerintah, dan menghubungkan kampanye PPP dengan bantuan keuangan dari Libya dan dengan Komando Jihad.69

Strategi lain pemerintah terhadap peminggiran Islam politik akan dijelaskan pada BAB III, namun untuk pembahasan pada bab ini yang menjadi sasaran pemerintah yakni kerangka simbolisme ideologis, hal ini berlangsung pada 1983. Pemerintah meragukan komitmen kelompok-kelompok sosial-keagamaan dan politik tertentu terhadap komitmen Ideologi negara. Dalam pandangan Presiden Soeharto, mereka tidak meyakini Pancasila secara seratus persen. Sehingga dalam pidato tahunannya di depan DPR, 16 Agustus 1982, Presiden Soeharto menegaskan bahwa seluruh kekuatan sosial politik harus menyatakan bahwa dasar ideologi mereka

68

Effendy, Islam dan Negara, h. 119

69


(42)

xlvi

satunya adalah Pancasila.70 Kemudian gagasan presiden ini dimasukan dalam ketetapan MPR No. II/1983 (pasal 3 bab IV).

Proses ini merupakan bagian dari kebijakan pemerintah untuk menciptakan stabilitas politik dan menghapus polarisasi politik yang tajam, yang dianggap disebabkan oleh fanatisme kelompok, sebagaimana terlihat, khususnya selama kampanye pemilu pada masa-masa sebelumnya. Polarisasi politik ini, dibarengi dengan fanatisme keagamaan, seringkali melahirkan pemusuhan antara satu partai politik dengan partai politik lain yang berbeda asasnya.71 Pada tanggal 19 Februari 1985, pemerintah, dengan persetujuan DPR, mengeluarkan undang-undang No. 3/1985, menetapkan bahwa partai-partai politik dan Golkar harus menerima Pancasila sebagai asas tunggal mereka. Empat bulan kemudian, pada tanggal 17 Juni 1985, pemerintah lagi-lagi atas persetujuan DPR, mengeluarkan undang-undang No. 8/ 1985 tentang ormas, menetapkan bahwa seluruh organisasi sosial atau masa harus mencantumkan Pancasila sebagai asas tunggal Indonesia yang didorong oleh persamaan aspirasi, profesi, idealitas, kepentingan agama atau kepercayaan pada Tuhan, dengan tujuan merealisasikan tujuan tertentu dalam negara Republik Indonesia.72

70

Effendy, Islam dan Negara, h. 120

71

Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 203

72Ibid,


(43)

xlvii

Dengan adanya asas tunggal tersebut, PPP menghadapi dilema politik dalam arti bahwa apabila PPP melakukan penolakan terhadap Pancasila sebagai asas tunggal partai akan mengakibatkan dibekukannya partai oleh pemerintah. Untuk menjaga keutuhan partai, para pemimpin PPP memilih jalan pragmatis dengan menerima Pancasila sebagai asas tunggal dan PPP mengganti segala sesuatu yang terkait dengan asas, indetitas, pernyataan-pernyataan dan simbol-simbol Islam.73

Sejak masa awal Orde Baru berkuasa sistem negara telah berupaya mendefinisikan negara sebagai konsep organisme total secara budaya beragam namun secara geografis dan kebangsaan bersifat tunggal. Negara menekankan kohesi budaya, keabadian dan saling membagi dengan tradisi-tradisi besar. Sejak tahun 1970, Pancasila adalah pendidikan dasar kewarganegaraan dari Orde Baru. Pada GBHN tahun 1973 dinyatakan bahwa kurikulum pada setiap tingkat pendidikan, mulai dari taman kanak-kanak sampai tingkat menengah ke atas, negeri maupun swasta, harus mengajarkan Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan semua aspek-aspek terkait untuk mewariskan jiwa dan nilai-nilai 1945 kepada Generasi Muda. Ini melingkupi segenap yang terlingkupi dalam naungan pancasila sebagai idiologi negara dan makin kuat dan sakral dengan dicantumkannya pada Bab IV GBHN tentang Bidang Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan kepercayaan kepada Tuhan sebagai prasyarat menjadi warga negara yang setia (misalnya bukan komunis), mengingkari Pancasila sebagai asas tunggal

73Ibid,


(44)

xlviii

bukan saja dianggap sabagai penghianat tapi malah juga dianggap sebagai tindakan bid’ah. Dengan logika ideologi ini, yang komunis maupun yang mendirikan negara teokrasi Islam termasuk golongan pembelot negara Pancasila. Kursus wajib pemantapan Pancasila dan masyarakat madani (P4), sistem pendidikan PMP, beberapa ketetapan presiden, dan prinsip asas tunggal, keseluruhannya telah memapankan kesaktian Pancasila.74

Dengan demikian perubahan atas asas PPP tersebut, menimbulkan pertikaian di dalam tubuh PPP. PSII yang merupakan bagian dari PPP, menyatakan diri keluar karena asas tunggal Pancasila tidak sesuai dengan asas PSII,75 PSII merupakan satu-satunya usur PPP yang menolak akan pemberlakuan Asas Tunggal Pancasila, yang dalam sejarahnya, PSII memang merupakan partai yang memegang teguh prinsip pada Islam dan adapun pembahasan asas PSII serta pandangan PSII terhadap asas tunggal Pancasila tersebut akan dibahas pada Bab IV. Dan perpecahan lain yang muncul dalam tubuh PPP, yakni para pemimpin NU yang dikarenakan konflik dengan MI, NU melancarkan kampanye politik yang menyerukan anggotanya untuk tidak memilih PPP. Kampanye ini, dikenal sebagai aksi penggembosan yang dilancarkan banyak pemimpin NU.76

74

Al-Chaidar, Reformasi Prematur; Jawaban Islam Terhadap Reformasi Total, (Jakarta: Darul Falah, 1999), h. 37

75

Bustamam, PSII-1905, h. 53

76


(45)

xlix

Bilamana dalam pidato Soeharto pada permulaan Orde Baru dipersoalkan kedaulatan rakyat yang ditindas oleh Soekarno dan Soekarno menciptakan istilah “Demokrasi Terpimpin”, maka Soeharto telah meniru dengan bagus sekali cara-cara yang digunakan oleh Soekarno. Dengan menamakannya “Demokrasi Pancasila”, ia menggunakan “power by remote control”, sehingga semua kekuatan politik dapat ditundukannya. Pancasila merupakan prestasi politik tertinggi Orde Baru, dan oleh karenanya maka semua prestasi lainnya dinamakan dengan istilah Pancasila. Mulai dari sistem ekonomi Pancasila, Pers Pancasila, hubungan industrial Pancasila hingga Orde Baru pun disebut sebagai Orde Pancasila.77

77


(46)

l

BAB III

SYARIKAT ISLAM DAN ORBA

A. KEBIJAKAN ORBA TERHADAP ISLAM

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada Bab II, yang selama periode Demokrasi Terpimpin umat Islam benar-benar merasa tersudutkan, dan dengan dimulainya Rezim Orde Baru menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965, banyak pemimpin politik Islam yang menaruh harapan besar, harapan itu terutama tampak jelas di kalangan bekas pemimpin Masyumi dan pengikut-pengikutnya. Namun kenyataannya, harapan umat Islam dan kemungkinan rehabilitasi Masyumi hanyalah harapan kosong, yang walaupun pada awal pemerintahan Orba, pemerintah membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang dipenjarakan Soekarno (termasuk Mohammad Natsir, Sjarifuddin Prawiranegara, Mohammad Roem, Kasman Singodimedjo, Prawoto Mangkusumo, dan Hamka).78

Dalam pemerintahan Orde Baru pada bidang politik, ekonomi, dan budaya telah didominasi oleh kekuatan-kekuatan non-muslim dan orang Islam dilarang memegang bidang-bidang tersebut. dapat dikatakan bahwa, Indonesia adalah satu-satunya negara bependudukan Islam terbesar di dunia tetapi dengan pengaruh Islam

78


(47)

li

yang paling sedikit.79 Selain itu, pemerintahan Orde Baru pun Didukung secara efektif oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)80 dan dengan melihat hal tersebut semakin jelas bahwa kebangkitan politik umat Islam yang diharap-harapkan sulit untuk diwujudkan, seiring upaya pemerintah dalam melakukan pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni.

Kejelasan tersebut didukung pula dengan munculnya stetmen pada Desember 1966, kelompok militer menyatakan bahwa mereka akan mengambil tindakan-tindakan tegas terhadap siapa saja, dari kelompok mana saja, dan aliran apa saja, yang ingin menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 seperti yang pernah dilakukan oleh PKI di Madiun, G.30S/PKI, Darul Islam/Tentara Islam Indonesia dan Masyumi – Partai Nasionalis Indonesia dan sebagainya. Bahkan, pada awal 1967, Soeharto sendiri menegaskan bahwa “militer tidak akan menyetujui rehabilitasi kembali partai [Masyumi] itu.” 81

Begitupun Partai Demokrasi Islam Indonesia (PDII), partai yang akan didirikan Muhammad Hatta dan Deliar Noer oleh Rezim Orde Baru ditolak dengan berbagai alasan. Di samping itu, pada tahun 1968 kelompok Islam yang ada di Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang memperjuangkan asas negara Islam di dalam memperbaiki institusi negara. Gagal mencapai kesepakatan,

79

Karim, Negara dan Peminggiran, h. 77

80

Ismail, Ideologi Hegemoni, h.107

81


(48)

lii

karena tidak adanya titik temu antara keinginan wakil Islam dengan keinginan kelompok nasionalis-sekuler. Dalam hal ini kelompok Islam berhadapan dengan ABRI dan Golkar (sebagai kelompok mayoritas di dalam MPRS ketika itu).82

Sebagaimana pernah terjadi dalam sejarah perkembangan bangsa Indonesia, sejak masa kemerdekaan telah timbul konflik ideologi sosial dan politik antara pemerintah dan umat Islam dan beberapa kekuatan sosial politik lainnya. Konflik tersebut kemudian menyangkut masalah dasar negara. Umat Islam menghendaki Islam sebagai dasar negara, karena umat menempatkan diri sebagai mayoritas dan jasa yang besar dalam perjuangan kemerdekaan. Sementara pemerintah dan sebagian orang-orang yang ikut mendirikan republik menginginkan dasar kebangsaan. Perkembangan perbedaan pandangan tersebut kemudian menimbulkan konflik ideologi Islam dan Pancasila. Umat Islam di samping merupakan komunitas sosial yang paling besar dan memiliki ideologi politik dengan kemampuan potensial mengerahkan mobilitas secara efektif. Pemerintah Orde Baru setelah hancurnya PKI, kemudian menetapkan umat Islam khususnya partai dan organisasi Islam sebagai sasaran utama pembinaan dan pengarahan pembangunan politik.83

Sikap yang ditunjukan Orde Baru terhadap Masyumi dan yang lainnya, merupakan usaha nyata pemerintah dalam meminggirkan kekuatan politik umat Islam

82

Karim, Negara dan Peminggiran, h. 113

83

Abdul Munir Mulkhan, Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Umat Islam 1965-1987 Dalam Perspektif Sosiologis, (Jakarta: Rajawali Pers, 1989), h. 123-124


(49)

liii

dan peminggiran-peminggiran tersebut akan terus berlanjut dengan berbagai bentuknya. Akan tetapi kebijakan pemerintah itu, menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi pemerintah terhadap representasi konstituen politik Islam di masa depan. Pemerintah khawatirkan, dengan ketiadaan mekanisme politik untuk mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan-kepentingan konstituen politik Islam di atas, akan menumbuhkan rasa frustasi yang lebih dalam, yang pada gilirannya dapat mendorong mereka kearah ekstremisme politik yang lebih membahayakan. Dengan demikian pemerintah memberikan kelonggaran untuk berdirinya partai Islam baru, apabila partai tersebut bersedia mendefinisikan kembali agenda politik mereka dalam kerangka-kerangka yang lebih dapat diterima oleh pemerintah.84

Sebagai gantinya, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) didirikan, Meskipun demikian, persetujuan pemerintah diatas bukan tanpa pembatasan sama sekali. Akan tetapi dengan kontrol cukup ketat oleh pemerintah, dan yang lebih menggelisahkan para pemimpin Islam adalah kenyataan bahwa gerak politik para bekas pemimpin Masyumi sangat dibatasi, kalau tidak, dilarang sama sekali. Bahkan, dalam perkembangan kepengurusan Parmusi, banyak unsur pimpinan Masyumi tidak dibolehkan duduk di dalamnya.85 Hal tersebut terlihat pada Muktamar pertama Parmusi di Malang pada tahun 1968, partai Memilih Mr. Roem sebagai ketua. Namun

84

Effendy, Islam dan Negara, h. 113

85


(50)

liv

pemerintah menolak tampilnya bekas tokoh Masyumi sebagai pimpinan partai. Dengan demikian partai dipimpin oleh Djarnawi dan Lukman Harun (dua Aktivis Muhammadiyah).86

Beberapa saat setelah Muktamar terjadi perebutan kedudukan pimpinan partai, yang dilakukan oleh seorang tokoh muda yang semula tidak dikenal, J. Naro bersama Imron Kadir. Naro, semula adalah seorang pegawai dan jaksa tinggi. Karir politiknya di awali tahun 1968, ketika menjadi anggota DPR dari Fraksi Karya Pembangunan. Perebutan kedudukan ini dengan alasan bahwa pimpinan Parmusi telah menentang kebijaksanaan pemerintah. Gerakan Naro tampaknya mendapat restu pemerintah dan gejolak tersebut juga memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk ikut campur. Melalui SK. Presiden No. 77 tahun 1970, ditetapkan Mintareja sebagai ketua partai. Mintareja adalah pegawai tinggi pemerintah di Departemen Sosial dan anggota PP Muhammadiyah. Dengan demikian dengan SK tersebut pula sekaligus membatalkan pengangkatan Djarnawi sebagai ketua partai. Sehingga sejak saat itu Parmusi mulai kehilangan dukungan umat.87

Pada tanggal 3 Juli 1971 dilangsungkan pemilu pertama masa Rezim Orba, Dalam pemilu ini, partai-partai Islam terdiri dari NU, PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), Perti dan partai yang baru saja berdiri yakni Parmusi (Partai Muslimin Indonesia). Sebagai mana yang sudah dijelaskan pada Bab II, pada pemilu ini

86Ibid,

h. 33; Mulkhan, Perubahan Perilaku Politik, h. 125

87Ibid,


(51)

lv

kekuatan Islam politik makin merosot. Golkar yang merupakan kendaraan politik pemeritah menang besar. Ini sebagian disebabkan karena langkah-langkah yang benar-benar sudah ditata, pemerintah Orde Baru berhasil menciptakan “kondisi-kondisi yang sangat tidak menguntungkan bagi partai-partai politik”.88

Didorong oleh kemenangan besar Golkar, pemerintah melalui Operasi Khusus (Opsus) mempercepat program penyederhanaan partai politik, yaitu dengan mendesak partai pemilu 1971 untuk menjadi tiga organisasi kekuatan politik, masing-masing: Partai Persatuan Pembangunan (PPP), fusi dari empat partai Islam; Partai Demokrasi Indonesia (PDI), fusi dari empat partai nasionalis dan Kristen/Katolik; kemudian Partai Golkar.89

Selanjutnya dalam beberapakali pemilihan umum (1977, 1982, 1987 dan 1992) dengan kemenangan Golkar yang terus menerus, Suharto tetap dipertahankan menjadi Presiden Republik Indonesia.90

Terhadap pengelompokan tersebut, membawa implikasi pada dikotomi politik Islam dan non-politik Islam. Pertama, dengan format kepartaian baru, PPP yang memiliki basis pada massa Islam sekarang menghadapi dua lawan utama; Golkar dan PDI. Kedua, pengelompokan tersebut juga mengandung arti adanya usaha sistematis untuk memecah belah politik Islam, karena “fusi artifisial” tidak akan membawa

88

Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 113; Effendy, Islam dan Negara, h. 116

89

M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 41

90


(52)

lvi

persatuan. Sejarah telah membuktikan bahwa PPP hampir tidak pernah luput dari konflik internal. Ketiga, pengelompokan dapat mengandung arti domestika politik Islam, seperti terbukti kemudian, PPP harus melakukan penyesuaian diri dengan kebijaksanaan pemerintah, umpamanya dalam melaksanakan ketentuan asas tunggal Pancasila,91 sebagaimana pula yang telah dijelaskan dalam Bab II.

Dalam konflik-konflik yang muncul dalam tubuh PPP, telah membawa PPP pada proses kemerosotan. Ini dengan jelas tergambar dalam perolehan suara dalam tiga pemilu terakhir. Tahun 1977 PPP memperoleh suara 29,29%, tahun 1982 menurun dengan perolehan suara 27,78%, dan merosot tajam pada pemilu tahun 1987 dengan perolehan suara halnya 18,8%.92

Disamping itu, banyak juga kebijakan pembangunan/politik yang dibuat pemerintah bertentangan dengan aspirasi dan kepentingan Islam, diantaranya:

1. Pengumuman rancangan Undang-undang Perkawinan pada tahun 1973, yang menimbulkan protes sangat dahsyat dari hampir semua organisasi Islam, karena rancangan yang dibuat pemerintah benar-benar mengabaikan ajaran Islam;

2. Pembangunan tempat-tempat perjudian, “lokalisasi”, dan melegalisasikan perjudian “terselubung” melalui pungutan uang lotre olah raga yang biasa disebut Sumbangan Dana Sosial Berhadiah;

91

Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, h. 42

92Ibid,


(53)

lvii

3. Larangan memakai Jilbab di sekolah menengah;

4. Program keluarga berencana yang tidak memperhatikan ajaran Islam; 5. Maraknya penjualan Minuman keras, dan pemberian izin secara bebas

oleh pemerintah untuk membangun kilang-kilang arak.93

Pada 1978, lagi-lagi masyarakat Muslim merasa diserang keyakinan agama mereka. Mereka merasa keberatan dengan upaya pemerintah, dalam salah satu sidang MPR, pemerintah berupaya menaikan status aliran kepercayaan menjadi sama dengan posisi agama seperti Islam dan Kristen. Reaksi keras dari para pemimpin dan aktivis Muslim, termasuk mereka yang menjadi anggota parlemen (khususnya dari PPP), memaksa pemerintah untuk membatalkan rencana itu. Karena tidak mau menentang baik aspek ritual maupun teologis Islam, Presiden Soeharto – yang juga Muslim – tidak mengakui aliran kepercayaan sebagai agama. Hingga akhirnya pada 1979, aliran kepercayaan ini kemudian secara resmi diakui sebagai salah satu unsur kebudayaan Indonesia. Karena itu, pengawasannnya diserahkan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan bukan kepada Departemen Agama.94

Serangan paling akhir terhadap konstruk lama Islam politik, terutama dalam kerangka simbolisme ideologisnya, berlangsung pada 1983. Pemerintah meragukan komitmen kelompok-kelompok sosial-keagamaan dan politik tertentu terhadap komitmen Ideologi negara. Dalam pandangan Presiden Soeharto, mereka tidak

93

Karim, Negara dan Peminggiran, h. 119

94


(54)

lviii

meyakini Pancasila secara seratus persen. Sehingga dalam pidato tahunannya di depan DPR, 16 Agustus 1982, Presiden Soeharto menegaskan bahwa seluruh kekuatan sosial politik harus menyatakan bahwa dasar ideologi mereka satu-satunya adalah Pancasila.95

Perkembangan itu sangat mengecewakan sebagian besar masyarakat Muslim di Indonesia. Mereka merasa bahwa, tidak saja tokoh-tokoh mereka disingkirkan dari arus utama politik bangsa, tetapi bahkan – hingga tahap tertentu – dikursus politik negeri ini pun tidak mencerminkan kenyataan bahwa mayoritas penduduknya Muslim. Karena itu, sedemikian pahitnya, mereka merasa bahwa pemerintah Orde Baru telah memperlakukan para pemimpin dan aktivis politik Muslim, terutama yang berasal dari Masyumi, seperti ”kucing kurap”. Maka bisa dipahami jika banyak dari mereka yang melihat politik pangasastunggalan Pancasila sebagai upaya lebih jauh yang sengaja diambil oleh pemerintah untuk melakukan depolitisasi terhadap Islam.96

Keadaan terpinggir semacam ini menimbulkan dua reaksi umat Islam. Yang pertama, adalah oposisi terhadap pemerintah, bahkan berkali-kali melakukan kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Tindakan seperti ini makin membuka peluang bagi pemerintah untuk menekan umat Islam. Yang kedua, muncul kreativitas untuk mencari jalan keluar dari “kebutuhan” politik terutama yang dilakukan oleh kelompok cendekiawan dan aktivis organisasi Islam. Kegiatan ini ternyata kemudian

95Ibid,

h. 121

96Ibid,


(55)

lix

memperkuat kemampuan umat Islam, dan akhirnya mendorong pemerintah untuk mengambil sikap akomodatif terhadap Islam.97

B. SYARIKAT ISLAM DAN ORDE BARU

Pada masa Orde Baru hanya ada tiga partai Islam yang bertahan, yakni PSII, NU dan Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah). Pembentukan Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) diharapkan memberikan sesuatu yang baru bagi politik Islam. Tapi keterlibatan pemerintah dalam proses pembentukannya menghambat partai tersebut melakukan kegiatan-kegiatan atau mengambil kebijakan-kebijakan politik yang independen.98

Dalam rangka memulihkan kembali demokrasi di dalam negeri, pemilihan umum pertama diadakan pada tanggal 3 Juli 1971. Dalam pemilu ini, partai-partai Islam terdiri dari PSII, NU, Perti dan Parmusi, partai-partai non-Islam dan sekuler yakni PNI, Parkindo, Partai Katolik, Partai Murba, dan IPKI dan Golkar didukung Pemerintah, saling bersaing.

Golkar menang besar (mengumpulkan 62,8 persen suara), sementara partai-partai Islam mendapatkan 27,11 persen, partai-partai-partai-partai non-Islam dan Nasionalis mendapatkan 10,09 persen. Dari kursi 360 kursi parlemen yang diperebutkan, Golkar memenangkan 227 kursi, partai-partai Islam 94 kursi, dan sisanya untuk partai

97

Karim, Negara dan Peminggiran, h. 51

98


(56)

lx

sekuler dan non-Islam. Sejumlah kursi tambahan (100) diisi oleh anggota-anggota yang ditunjuk oleh pemerintah, 75 kursi ditunjuk dari militer dan 25 kursi dari sipil. Dengan total 327 dari 460 kursi, jelaslah bahwa Golkar mendominasi kekuatan politik di dalam negeri.99

Suara yang didapat partai Islam sangatlah menurun dibanding pemilu tahun 1955. Apabila dilihat dari persentase dukungan Umat Islam terhadap Partai Islam, dalam pemilu 1955, dari jumlah pemilih Muslim sebanyak 32.910.999 yang memilih partai Islam tercatat 16.642.924 atau sekitar 50,5 persen sedangkan pada Pemilu 1971 dengan jumlah pemilih Muslim sebanyak 47.643.272, yang memilih partai Islam hanya 14.833.942 (31,1 persen).100

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang disebut dengan umat Islam tidaklah secara otomatis menjadi pendukung partai-partai Islam. Dukungan mereka tersebar ke barbagai aliran, partai politik dan partai pemerintah “Golongan Karya”. Dan apabila dilihat dari perolehan suara perbandingannya cukup jauh pula, Pada pemilu 1955 perolehan suara partai Islam mencapai 43,9 persen dan dalam pemilu 1971 perolehan suara PSII, NU, Perti dan Parmusi hanya mendapat 27,1 persen.101

Adapun wakil-wakil PSII yang duduk sebagai anggota dewan terdapat 10 orang, yakni:

99

Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 113

100

M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia; Sebuah Kajian Politik Tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 130

101Ibid,


(57)

lxi

1. Wartomo Dwijoyuwono duduk dalam komisi I (Hankam, Luar Negeri, Penerangan, Kepresidenan, Dewan Pertahanan Keamanan Nasional, Bakin, MPR, DPR, DPA).

2. Andi Mappatunru BA duduk di Komisi II (Dalam Negri. LAN, Arsip Nasional, PAN dan Sekneg).

3. Johan Burhanuddin duduk di komisi III (Kehakiman, Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung).

4. Ishak Moro duduk di Komisi IV (Pertanian, Tenaga Kerja, dan Transkop). 5. Ubaya Ahmadi duduk di Komisi V (Perhubungan, PUTL, Dewan

Telekomunikasi, LAPAN dan DEPARI).

6. Thayeb Moh. Gobel duduk di Komisi VI (Perindustrian, Pertambangan dan BATAN).

7. Oesman Yusuf Helmi duduk di Komisi VII (Keuangan, Perdagangan, Bapenas, BPK, Bank Sentral, BPS, dan Bulog).

8. Drs. MA. H. Gani MA duduk di Komisi VIII (Kesehatan, Sosial, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional).

9. Bustamam SH duduk di Komisi IX (Agama, Pendidikan dan Kebudayaan, LIPI).

10.Drs. Syarifudin Harahap duduk di Komisi X (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).102

102


(58)

lxii

Dalam masa sidang, anggota-anggota PSII sangat aktif dan kritis pada permasalahan-permasalahan yang muncul di dalam negeri. Oesman Yusuf Helmi, Waktomo Dwijoyuwono, dan H. Mch. Ibrahim. Mereka merupakan tokoh-tokoh yang berani berbicara dan mengeritik pemerintah, contohnya seperti Oesman Yusuf yang telah mengajukan lebih kurang 300 pertanyaan kepada pemerintah, sejumlah usul resolusi dan interpelasi.103

Pada tanggal 23-29 Juli 1972 dilangsungkan Majlis Tahkim PSII ke XXXIII (33) di Gedung Merdeka Bandung. Sidang Tahkim berjalan dengan tertib-tentram dan puncak dari semua sidang-sidang Tahkim tersebut adalah pada saat pemilihan formasi Dewan Partai dan Lajnah Tanfidziyah yang akan diserahi amanah periode 5 tahun (1972-1977). Sebagai hasilnya sesuai dengan aspirasi para perserta yang hadir, munculah formasi baru yang ditandai dengan suatu cirinya yang khas yaitu Peremajaan. Kecuali seorang (Muhammad Safe’i, kuarang lebih 70 tahun), seorang tua yang semangatnya masih muda remaja, maka seluruh DPP yang baru adalah tokoh-tokoh pemimpin angkatan muda yang rata-rata berusia dibawah 50 tahun. Sebagai contoh Bustamam SH (47 tahun) Presiden Dewan Partai, H.M. CH. Ibrahim (40 tahun) Presiden Lajnah Tanfidziyah dan para Wakil Presiden LT, Oesman Yoesuf (48 tahun), KH. Firdaus AN (48 tahun), Ishak Moro (41 tahun) dan Dra.Jubaidah Muhtar (36 tahun).104

103Ibid

, h. 202

104Ibid ,


(1)

civ

Islam menyatakan bahwa, pemberlakuan Asas Tunggal Pancasila sangat bertentang dengan Hak Asasi Manusia. Dalam sistem konstitusi UUD 1945 pun menjelaskan bahwa hak asasi warga negara sebagai pemegang kedaulatan rakyat untuk dengan bebas dan merdeka mendirikan organisasi sosial politik, termasuk partai politik dan beragama (pasal 29 UUD 1945), berkebangsaan (kalimat pertama UUD 1945, [Piagam Jakarta]) adalah hak-hak manusia berkat Rahmat Allah yang Maha Kuasa (kalimat ketiga pembukaan UUD 1945[Piagam Jakarta]), maka dengan demikian agama, kebangsaan dapat dijadikan asas organisasi sosial politik (termasuk partai politik).

B. SARAN

Politik otoriter Orde Baru telah mengasingkan rakyat dalam kehidupan politik dan memarjinalkan partisipasi politik mereka dalam keputusan-keputusan negara yang menyudutkan. Hal ini telah memupuk keinginan rakyat yang menghendaki kebebasan dari kukungan Orde Baru. Sehingga menjadi bumerang bagi Orde Baru, yang menyebabkan runtuhnya Rezim Orde Baru. Seharusnya dalam menjalankan pemerintahan, guna mewujudkan pemerintahan yang baik, haruslah dihidupkan prinsip checks and balances, sehingga pemerintah tidak berkuasa sewenang-wenang. Pembatasan-pembatasan partai-partai politik dan ormas dalam berasas pada masa Orde Baru, tentunya harus dihilangkan untuk memunculkan artikulasi dan partisipasi politik rakyat. Dengan demikina dalam upaya seperti itu, ketegangan hubungan antara negara dengan masyarakat akan hilang, kecendrungan hubungan yang sinergi antara


(2)

cv

negara dengan masyarakat akan terjadi. Sinergi hubungan ini akan terlihat pada dukungan yang diberikan oleh masyarakat terhadap negara.


(3)

cvi

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim

Al-Chaidar, Reformasi Prematur; Jawaban Islam Terhadap Reformasi Total, Jakarta: Darul Falah, 1999

Amal, Taufik Adnan, Politik Syariat Islam; Dari Indonesia Hingga Nigeria, Jakarta : Pustaka Alvabet, 2004

A.N, Firdaus, Syarikat Islam Bukan Budi Utomo, Jakarta: Datayasana, 1997

Anwar, M. Syafi’i, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia; Sebuah Kajian Politik Tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995

Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga Syarikat Islam 1972

Bahar, Safroedin, dkk, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Panitia Persiapan Kemerdekaan

Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Jakarta: Sekrektariat Negara Republik

Indonesia, 1992

Benda, Harry J., Bulan Sabit dan Matahari Terbit, T.tp.: Pustaka Jaya, t.t.

Bustamam, PSII-1905 (Partai Syarikat Islam Indonesia) dizaman Orde Baru 1966-1998, Jakarta, Lembaga Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, 2000

Centre For Strategic and International Studies, Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila Jakarta: Sekretariat Negara R.I.,1976, cet. 2

Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998

Endang Saifuddin An Shari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945; dan Sejarah Konsesus Nasionalis Islami dan Nasionalis Sekuler Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959, Jakarta: CV. Rajawali, 1986, Cet. Ke-2

Gani, M. A., Cita Dasar dan Pola Perjuangan Syarikat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984

Ghazali, Adeng Muchtar, Perjalanan Politik Umat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2004


(4)

cvii

Hasyimi, Al, Sayyid Ahmad, Mukhtarul Ahaditsin Nabawiyyah, Indonesia: Maktabah Daaru Ihyaul Kutubil Arobiyyah, 1948

Ismail, Faisal, Ideologi Hegemoni Dan Otoritas Agama; Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan Pancasila, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999

Karim, M. Rusli, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999

---, Perjalanan Partai Politik di Indonesia; Sebuah Potret Pasang Surut, Jakarta: Rajawali Pers, 1983

Korver, A.P.E., Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil, Jakarta: Grafitipers, 1985 Ma’arif, A. Syafi’i, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985

Mulkhan, Abdul Munir, Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Umat Islam 1965-1987 Dalam Perspektif Sosiologis, Jakarta: Rajawali Pers, 1989

Noer, Deliar, Islam, Pancasila dan Asas Tunggal, Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1983

---, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: PT. Pustaka LP3S, 1996

---, Partai Islam di Pentas Nasional; Kisah dan Analisis Pekembangan Politik Indonesia 1945-1965, Bandung: Mizan, 2000, cet. 2

Partai Syarikat Islam Indonesia, Siaran Khusus Program Asas dan Program Tandhim, Jakarta: PSII, 1954

Pranarka, A. M. W., Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila, (Jakarta: Centre For Strategic And International Studies, 1985

Silalahi, S., Dasar-dasar Indonesia Merdeka; Versi Para Pendiri Negara, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001

Sudjana, Ohan, Liku-liku Perjuangan Syarikat Islam, Jakarta: DPP PSII-1905, 1999 ---, Jejak-Jejak Jihad, Sukabumi: Pustaka 99, t.t

Sunanto, Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005


(5)

cviii

Syamsuddin, M. Din, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos, 2001

Wiradipraja, E. Saefullah, Satu Abad Dinamika Perjuangan Syarikat Islam, Jawa Barat: Dewan Pimpinan Wilayah Syarikat Islam Jawa Barat, 2005

Yunarti, D.Rini, BPUPKI, PPKI,Proklamasi Kemerdekaan RI, Jakarta: Kompas, 2003

Web site:

http://www.bappenas.go.id http://www.indopolitik.com


(6)