Penerapan Asas Proporsionalitas Dalam Pembagian Royalti Pertambangan Emas PT.FreePort Indonesia

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh

NEVO AMABA

NIM: 1111048000021

KONSENTRASI HUKUM BISNIS

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

Nevo Amaba, NIM 1111048000021, “PENERAPAN ASAS PROPORSIONALITAS DALAM PEMBAGIAN ROYALTI PERTAMBANGAN EMAS PT FREEPORT INDONESIA”, Konsentrasi Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah

dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 1436 H/ 2015 M. ix + 73 halaman. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui penerapan asas proporsionalitas dalam pembagian royalti emas oleh PT. Freeport Indonesia dan upaya pemerintah dalam menjatuhkan sanksi kepada PT. Freeport Indonesia karena tidak mematuhi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012. Latar belakang skripsi ini adalah masih banyaknya perusahaan asing pemegang kontrak karya yang tidak mau melakukan renegosiasi kontrak yang salah satu poin tersebut adalah penyesuaian royalti. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian library research, yang mengkaji berbagai dokumen yang terkait dengan penelitian. Metode yang digunakan penulis adalah metode yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach). Selanjutnya ada tiga bahan hukum yang digunakan yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pembagian royalti antara PT. Freeport Indonesia dengan Pemerintah Indonesia dapat dikatakan tidak terdapat asas proporsionalitas dari awal pembuatan kontrak hingga penerapan isi kontrak. Belum ada sanksi terkait PT. Freeport Indonesia belum menyesuaikan royalti emas dari 1% menjadi 3,75%. Tetapi pada akhirnya PT. Freeport sudah menandatangani nota kesepahaman renegosiasi yang terdiri dari 6 poin yang salah satunya mengenai penyesuaian royalti.

Kata kunci : Asas Proporsionalitas, Royalti, Undang-Undang Mineral dan Batu Bara

Dosen Pembimbing : Dr. H. Nahrowi, S.H. M.H. Hotnidah Nasution, M.A. Daftar Pustaka : Tahun 1967 s.d Tahun 2015


(6)

Bismillahirrahmanirrahhim ....

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat, nikmat, dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “PENERAPAN ASAS PROPORSIONALITAS DALAM PEMBAGIAN ROYALTI PERTAMBANGAN

EMAS PT. FREEPORT INDONESIA”. Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan serta arahan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang ta terhingga kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH., MH. selaku ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs. Abu Thamrin,. SH,. M. Hum selaku sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. H. Nahrowi SH., MH. dan Hotnidah Nasution MA. selaku dosen pembimbing yang telah bersedia menjadi pembimbing dalam penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran, perhatian, dan ketelitian memberikan arahan dan masukan kepada penulis serta meluangkan waktunya demi memberikan bimbingan kepada penulis hingga skripsi ini selesai

4. Kepada Ibu Subur, Pak Priyo, Pak Made, Pak Hersonyo, Pak Syarifudin, ibu Nena dan staf-staf di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara yang telah bersedia mengarahkan penulis dan menyempatkan melakukan wawancara dengan penulis.


(7)

dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas guna melakukan studi kepustakaan.

6. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya dosen program studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus dan ikhlas, semoga ilmu pengetahuan yang sudah diberikan dapat bermanfaat bagi penulis dan semoga Allah SWT senantiasa membalas jasa-jasa beliau serta menjadikan semua kebaikan ini sebagai amal di akhirat kelak.

7. Kedua orang tua tercinta yaitu bapak Sutardi dan Ibu Rutinah, terima kasih atas segala kasih sayang serta selalu memberikan motivasi, nasihat, semangat serta kasih sayangnya kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

8. Kepada Awwaliyah Nasyiah yang telah memberikan semangat, nasihat, dan motivasi serta kasih sayangnya.

9. Kepada Syarif Chidayatulloh sahabat penulis sedari smp, yang telah menjadi teman untuk bertukar pikiran dalam penulisan skripsi.

10.Sahabat-sahabat penulis di grup ‘KUE LAPIS’ yaitu Idham, Ilyas, Ihsan, Ririn, Musyrifah, Suci terima kasih atas semangat perjuangan selama kuliah dan penulisan skripsi.

11.Sahabat-sahabat grup ‘BR’ yaitu Dadan, Alif, Andrio, Rudi, Syawal, Rifki, Febyo, Barra, Ian teman-teman seperjuangan dalam skripsi.

12.Teman-teman Ilmu Hukum angkatan 2011 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, baik konsentrasi Hukum Bisnis dan Kelembagaan Negara.

Wassalamualaikum Wr. Wb


(8)

Jakarta, 10 Juli 2015

Nevo Amaba


(9)

LEMBAR PENGESAHAN ... i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ... 9

E. Metodologi Penelitian ... .. 10

F. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II Kerangka Teoritis A. Perjanjian di Indonesia 1. Pengertian Perjanjian ... 18

2. Syarat Sahnya Perjanjian ... 21

3. Asas-Asas Dalam Hukum Perjanjian ... 24

4. Bentuk-Bentuk Perjanjian ... 25

5. Pembatalan Perjanjian ... 26

6. Penggantian Kerugian ... 29

B. Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak 1. Pengertian Asas Proporsionalitas ... 30

2. Kriteria Asas Proporsionalitas ... 31

3. Makna Asas Proporsionalitas ... 33

4. Fungsi Asas Proporsionalitas ... 34

BAB III Ketentuan Royalti Mineral dan Teori Dalam Hukum Pertambangan A. Ketentuan Royalti Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara ... 36

B. Ketentuan Royalti Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 2012 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ... 39

C. Kontrak Karya ... 40

D. Production Sharing Contract ... 46

E. Royalti Dalam Kontrak Karya Pertambangan ... 47

BAB IV Analisis Yuridis Penerapan Asas Proporsionalitas Dalam Pembagian Royalti Pertambangan Emas PT. Freeport Indonesia


(10)

B. Upaya pemerintah dalam menjatuhkan sanksi kepada PT. Freeport Indonesia karena belum mematuhi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 ... 64

BAB V Penutup

A. Kesimpulan ... 70

B. Saran... 70

DAFTAR PUSTAKA... 73

LAMPIRAN


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di masa ekonomi global saat ini, keterbukaan ekonomi suatu negara adalah keharusan. Keterbukaan ekonomi negara terhadap arus investasi asing ke suatu negara bukan hanya merupakan kebutuhan suatu negara untuk ikut berpartisipasi dalam ekonomi global, tapi juga menjadi keharusan suatu negara dalam rangka memenuhi kelangkaan sumber-sumber ekonomi di negaranya agar dapat segera terpenuhi dengan adanya peran dari sumber daya asing. Investasi di suatu negara akan dapat berlangsung dengan baik dan bermanfaat bagi negara dan rakyatnya, manakala negara mampu menetapkan kebijakan investasi sesuai dengan amanah konstitusinya.1 Secara konsep investasi merupakan kegiatan mengalokasikan atau menanamkan sumber daya saat ini (sekarang,

present) dengan harapan mendapatkan manfaat atau keuntungan di kemudian hari (future). Investasi adalah padanan kata dari penanaman modal yang merupakan terjemahan dari istilah investment.2 Investasi diartikan sebagai kegiatan pemanfaatan dana yang dimiliki dengan menanamkannya ke usaha atau proyek yang produktif baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan harapan selain mendapatkan

1 Tim Kompendium, Kompendium Bidang Hukum Investasi, (Jakarta: Badan Pembinaan

Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Ham RI, 2011), h. 1.

2 John M. Echols & Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 1996), h. 330.


(12)

pengembalian modal di kemudian hari, tentunya pemilik modal juga akan mendapatkan sejumlah keuntungan dari penanaman modal dimaksud.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman modal memberikan pengertian Penanaman Modal sebagai berikut :

“Segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal

dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan kegiatan usaha di wilayah Republik Indonesia.”3

Dengan demikian pengertian penanaman modal, khususnya dalam hal penanaman modal asing, di Indonesia hanya mencakup penanaman modal yang dilaksanakan secara langsung (direct investment) dan bukan penanaman secara tidak langsung (portofolio investment) dimana pemilik modal hanya memiliki sejumlah saham dalam suatu perusahaan tanpa ikut serta atau mempunyai kekuasaan langsung dalam pengelolaan manajemen perusahaan tersebut.4

Menarik investasi asing tentunya harus dibarengi dengan pra kondisi iklim investasi yang pro terhadap investor sehingga merasa nyaman dan yakin bahwa investasi yang mereka tanam akan menguntungkan. Iklim investasi yang baik akan memberikan kepastian dan insentif kepada dunia usaha untuk melakukan investasi yang produktif, menciptakan lapangan kerja dan memperluas usaha. Negara Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah namun oleh para pembuat kebijakan di bidang investasi dipandang bahwa pelaku usaha

3 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 4 Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada


(13)

nasional belum memiliki kapasitas yang cukup dalam mengelola kekayaan alam yang masih berbentuk potensi dan terpendam di bumi Indonesia secara maksimal, oleh karenanya pemerintah memberikan kesempatan kepada perusahaan-perusahaan asing untuk ikut serta mengelola dan berinvestasi di Indonesia. Bagi Indonesia kegiatan investasi langsung, baik yang berbentuk investasi asing (foreign direct investment) maupun investasi langsung dalam negeri (penanaman modal dalam negeri) mempunyai kontribusi secara langsung bagi pembangunan. Investasi langsung terutama investasi asing akan semakin mendorong pertumbuhan ekonomi, alih teknologi, dan pengetahuan, serta menciptakan lapangan kerja baru untuk mengurangi angka pengangguran serta mampu meningkatkan daya beli masyarakat.5

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alamnya salah satunya di bidang pertambangan. Pertambangan merupakan salah satu wujud dari kekayaan alam yang dikuasai orang banyak dan menyangkut dengan hajat hidup orang banyak, hal tersebut erat kaitannya dengan ketentuan dari pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, adapun ketentuan dari Pasal 33 tersebut, adalah :

1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;


(14)

2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;

3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. 5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam

undang-undang.6

Amanat dari ketentuan Pasal 33 tersebut adalah merupakan landasan pembangunan pertambangan dan energi untuk memanfaatkan potensi kekayaan sumber daya alam mineral dan energi yang dimiliki secara optimal dalam mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan.

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing berisi ketetapan mengenai penanaman modal asing di bidang pertambangan yang harus didasarkan pada sistem kontrak karya (contract of work).7 Dengan kontrak karya ini, posisi investor atau pengusaha tambang hanyalah sebagai kontraktor yang bekerja untuk pemerintah, sedangkan pemerintah dalam perjanjian kontrak berkedudukan sebagai

6 Tim Wahyu Media, Pedoman Resmi UUD 1945 & Perubahannya, (Jakarta: Wahyu

Media, 2014), h. 33.


(15)

principal dan pemilik tambang. Karenanya dalam pola kontrak karya pertambangan, pengusaha tambang (kontraktor) tidak dapat menjadikan cadangan bahan galian dalam wilayah kontraknya sebagai agunan untuk meminjam modal pada bank atau lembaga keuangan lainnya. Ada pun hak kepemilikan atas bahan galian yang telah ditambang baru beralih dari pemerintah kepada kontraktor, setelah kontraktor memenuhi segala kewajiban dan membayar royalti atas bahan galian yang bersangkutan di tempat penjualan (point of sale).8 Berdasarkan pasal tersebut secara konsep Indonesia berkedudukan sebagai pemilik tambang dan investor berkedudukan sebagai kontraktor, tetapi seringkali Indonesia mendapatkan royalti yang kecil. Contohnya dalam kasus pembagian royalti antara pemerintah Indonesia dengan PT. Freeport Indonesia, untuk emas royalti yang diberikan hanya 1% dari hasil produksi, sedangkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, untuk emas tarif royaltinya 3,75%. Memang pada awal pembuatan kontrak, royalti yang diberikan 1% untuk emas tetapi dasar hukum untuk menaikkan royalti tersebut yaitu pasal 169 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara yaitu:

a) Kontrak karya dan perjanjian pengusahaan pertambangan batu bara yang telah ada sebelum berlakunya

8 Soetaryo Sigit, Sepenggal Sejarah Perkembangan Pertambangan Indonesia, (Jakarta:


(16)

undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak atau perjanjian.

b) Ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan batu bara sebagaimana dimaksud pada huruf (a) disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak undang-undang ini diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara.

c) Pengecualian terhadap penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada huruf (b) adalah upaya peningkatan penerimaan negara.9

Berdasarkan pasal 169 poin (b), seharusnya ketentuan royalti yang baru mulai berlaku selambat-lambatnya satu tahun semenjak diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tersebut.

Berkaitan dengan hal-hal yang telah diuraikan di atas, lalu bagaimana upaya pemerintah mengoptimalkan royalti yang didapat,

sehingga muncul judul “PENERAPAN ASAS PROPORSIONALITAS DALAM PEMBAGIAN ROYALTI PERTAMBANGAN EMAS PT. FREEPORT INDONESIA”.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah


(17)

Untuk menghindari semakin luas dan melebarnya masalah, maka peneliti membuat batasan ruang lingkup dalam penelitian ini hanya pada penerapan asas proporsionalitas dalam pembagian royalti emas pada PT. Freeport Indonesia.

2. Rumusan Masalah

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, untuk emas tarif royaltinya 3,75%, akan tetapi PT. Freeport Indonesia hanya memberikan 1% kepada pemerintah Indonesia, karena itu pertanyaan penelitiannya adalah:

a. Bagaimana penerapan asas proporsionalitas dalam pembagian royalti emas oleh PT. Freeport Indonesia?

b. Bagaimana upaya pemerintah dalam menjatuhkan sanksi kepada PT. Freeport Indonesia karena belum mematuhi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian adalah mendalami tentang permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam perumusan


(18)

masalah. Secara khusus tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui penerapan asas proporsionalitas dalam pembagian royalti emas oleh PT. Freeport Indonesia.

b. Untuk mengetahui upaya pemerintah dalam menjatuhkan sanksi kepada PT. Freeport Indonesia karena belum mematuhi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam hukum bisnis di bidang Investasi, Perjanjian dan Pertambangan, utamanya mengenai segala aspek yang menyangkut pembagian royalti antara pemerintah Indonesia dengan penanam modal asing. Selain itu adanya tulisan ini dapat menambah perbendaharaan koleksi karya ilmiah dengan memberikan kontribusi juga bagi perkembangan hukum bisnis di Indonesia.


(19)

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi kerangka acuan dan landasan bagi penulis lanjutan, dan mudah-mudahan dapat memberikan bahan informasi dan masukan baik bagi pemerintah maupun semua pihak yang terkait dalam rangka penyiapan dan penyempurnaan perangkat hukum di bidang investasi, perjanjian dan pertambangan.

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini, penulis akan menyertakan beberapa hasil penelitian terdahulu sebagai perbandingan tinjauan kajian materi yang akan dibahas, sebagai berikut:

Skripsi yang disusun oleh Jesi Karina dari Universitas Indonesia pada tahun 2012 dengan judul Hubungan Asas Pacta Sunt Servanda Dengan Kewajiban Negosiasi Ulang Royalti Pada Kontrak Pertambangan (Studi Kasus: Kontrak Karya PT. Freeport Indonesia). Penelitian tersebut menjelaskan tentang kewajiban negosiasi ulang kontrak karya PT. Freeport Indonesia dihadapkan dengan asas pacta sunt servanda.

Skripsi yang disusun oleh Amelia Djamaoedin dari Universitas Indonesia pada tahun 1991 dengan judul Sistem Penanaman Modal Asing Di Bidang Pertambangan Emas (Studi Kasus Pada PT Eastara Melawi Mineral). Penelitian tersebut menjelaskan tentang sistem penanaman modal asing di bidang pertambangan emas di Indonesia.


(20)

Buku dari Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian

Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, yang berjudul ‘Kompendium Bidang

Hukum Investasi’ diterbitkan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, tahun 2011. Pada buku tersebut hanya menjelaskan tentang penanaman modal atau investasi secara umum, dari pengertian, ruang lingkup, batasannya, serta permasalahan dalam kegiatan investasi beserta regulasinya namun tidak menjelaskan seperti apa pembagian royalti dari kontrak karya antara pemerintah Indonesia dengan investor asing.

Sebagai pembanding sekaligus pembeda, pada skripsi ini penulis menguraikan perihal bagaimana upaya pemerintah dalam mengoptimalkan pendapatan negara dalam royalti di bidang pertambangan, karena antara undang-undang dengan praktiknya tidak sesuai. Sehingga terdapat perbedaan pembahasan dan masalah yang diangkat penulis dengan penelitian-penelitian yang sudah ada.

E. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini dibutuhkan data yang akurat, yang dititikberatkan pada data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dan data primer dari penelitian lapangan yang mendukung data sekunder, sehingga permasalahan pokok yang diteliti dapat ditemukan. Agar data yang dimaksud dapat diperoleh dan dibahas, peneliti menggunakan metode penelitian sebagai berikut:


(21)

1. Jenis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian maka metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan yang bersifat yuridis normatif. Penelitian hukum yuridis normatif adalah metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.10 Sehubungan dengan metode penelitian yang digunakan tersebut penulis melakukan dengan cara meneliti peraturan-peraturan, perundang-undangan, teori-teori hukum dan pendapat-pendapat para sarjana hukum terkemuka yang merupakan data sekunder, kemudian dikaitkan dengan keadaan yang sebenarnya. Pendekatan bersifat yuridis yang mempergunakan data sekunder adalah untuk menganalisa penerapan asas proporsionalitas dalam pembagian royalti pertambangan emas PT. Freeport Indonesia.

Dalam kaitannya dengan penelitian normatif akan digunakan pendekatan yaitu:

a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach)

Pendekatan perundang-undangan (statute approach) adalah suatu pendekatan yang dilakukan terhadap berbagai aturan hukum yang berkaitan dengan investasi dan pertambangan, diantaranya: Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, Undang-Undang No. 11 Tahun 1970 tentang Perubahan

10 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan


(22)

dan Tambahan Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

2. Spesifikasi Penulisan

Spesifikasi atau jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis, yaitu menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktik pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan diatas.11

Data yang diperoleh dari penelitian diupayakan memberikan gambaran atau mengungkapkan berbagai faktor yang berhubungan erat dengan gejala-gejala yang diteliti, kemudian dianalisa mengenai penerapan atau pelaksanaan peraturan perundang-undangan untuk mendapatkan data atau informasi mengenai pelaksanaanya serta hambatan-hambatan yang dihadapi.

3. Sumber Data

Dalam mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan difokuskan pada pokok-pokok permasalahan yang ada, sehingga dalam penelitian ini tidak terjadi penyimpangan dan kekaburan dalam pembahasan. Data yag digunakan hanyalah data sekunder, data sekunder merupakan data yang dikumpulkan dalam penelitian kepustakaan.


(23)

Penelitian kepustakaan adalah teknik untuk mencari bahan-bahan atau data-data yang bersifat sekunder yaitu data-data yang erat hubungannya dengan bahan primer dan dapat dipakai untuk menganalisa permasalahan.

Pada penelitian kepustakaan, sarana yang dipergunakan adalah bahan-bahan pustaka yang terdiri dari tiga macam bahan hukum, yaitu sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang sifatnya mengikat12, yaitu

1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing;

2. Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan;

3. Undang-Undang No. 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing;

4. Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara; 5. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Tarif Atas

Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral;

6. Peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian.


(24)

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yaitu

1. Berbagai hasil penelitian mengenai penanaman modal asing;

2. Berbagai buku yang membahas investasi, perjanjian dan pertambangan;

3. Berbagai artikel dan makalah di dalam jurnal dan majalah.

c. Bahan hukum tersier, bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang terdiri dari:

1. Kamus Hukum;

2. Kamus Bahasa Indonesia; 3. Kamus Bahasa Inggris; 4. Ensiklopedi;

5. Dan dokumen-dokumen lain yang berhubungan dengan objek penelitian untuk diterapkan dalam penelitian ini.

4. Teknik Pengolahan dan Analisa Data

Penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif yang diperoleh dari data yang bersumber dari studi kepustakaan maupun dari penelitian lapangan. Analisis deskriptif kualitatif yaitu metode analisis data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas dan kebenarannya, kemudian dianalisa secara intepretatif menggunakan teori maupun hukum positif


(25)

yang telah dituangkan, kemudian secara induktif ditarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang ada.

5. Metode Penulisan

Dalam penyusunan penelitian ini, penulis menggunakan metode penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tahun 2012

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dimaksudkan untuk mempermudah penjabaran dan pemahaman tentang permasalahan yang dikaji serta untuk memberikan gambaran garis besar mengenai tiap-tiap bab sebagai berikut: BAB I Pendahuluan

Pada bab ini menguraikan tentang Latar Belakang Masalah, Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu, Metodologi Penelitian, Sistematika Penulisan yang berkenaan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.

BAB II Kerangka Teoritis

Pada bab ini menguraikan tentang pengertian perjanjian, syarat sahnya perjanjian, asas-asas dalam hukum perjanjian, bentuk-bentuk perjanjian, pembatalan perjanjian, penggantian kerugian, serta menjelaskan tentang asas proporsionalitas dalam kontrak


(26)

komersial seperti pengertian asas proporsionalitas, kriteria asas proporsionalitas, makna dan fungsi asas proporsionalitas, kontrak karya PT. Freeport Indonesia.

BAB III Ketentuan Royalti Mineral dan Teori Dalam Hukum Pertambangan

Pada bab ini menguraikan tentang pembagian royalti dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara, pembagian royalti dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta teori dalam hukum pertambangan, kontrak karya,

production sharing contract, royalti dalam kontrak karya pertambangan.

BAB IV “Analisis Yuridis Penerapan Asas Proporsionalitas Dalam

Pembagian Royalti Pertambangan Emas PT. Freeport Indonesia”.

Pada bab ini memaparkan hasil penelitian dan pembahasannya yaitu Penerapan asas proporsionalitas dalam pembagian royalti emas oleh PT. Freeport Indonesia, Upaya pemerintah dalam menjatuhkan sanksi kepada PT. Freeport Indonesia karena belum mematuhi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012.


(27)

Bab ini merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran dari penulis.


(28)

BAB II

KERANGKA TEORITIS

C. Perjanjian di Indonesia

1. Pengertian dan Makna Perjanjian Atau Kontrak

Hukum kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu

contract of law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah

overeenscomstrecht. Dalam praktik istilah kontrak atau perjanjian terkadang masih dipahami secara berbeda. Banyak pelaku bisnis mencampuradukkan kedua istilah tersebut seolah merupakan pengertian yang berbeda. Burgerlijk Wetboek menggunakan istilah overeenkomst dan

contract untuk pengertian yang sama.13

Menurut Subekti istilah “perjanjian atau persetujuan” dengan “kontrak” memiliki pengertian lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.14 Menurut Peter Mahmud Marzuki penggunaan istilah kontrak atau perjanjian dengan melakukan perbandingan terhadap pengertian kontrak atau perjanjian dalam sistem

Anglo-American.15

Sistematika Buku III tentang Verbintenissenrecht (Hukum Perikatan) mengatur mengenai overeenkomst yang kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti perjanjian. Istilah kontrak merupakan

13Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak

Komersial, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2010), h. 13.

14

Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermusa, 1996), Cet. XVI, h. 1.

15

Peter Mahmud Marzuki, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak, (Jakarta: Yuridika, 2003), h. 195.


(29)

terjemahan dari bahasa Inggris contract. Di dalam konsep kontinental, penempatan pengaturan perjanjian pada Buku III BW Indonesia tentang Hukum Perikatan mengindikasikan bahwa perjanjian memang berkaitan dengan masalah Harta Kekayaan (Vermogen). Pengertian perjanjian ini mirip dengan contract pada Anglo-American, perjanjian yang bahasa Belanda-nya overeenkomst dalam bahasa Inggris disebut agreement yang mempunyai pengertian lebih luas dari contract, karena mencakup hal-hal yang berkaitan dengan bisnis atau bukan bisnis. Untuk agreement yang berkaitan dengan bisnis disebut contract, sedangkan untuk yang tidak terkait dengan bisnis disebut agreement.16

Pasal 1313 BW memberikan rumusan tentang “kontrak atau perjanjian” adalah “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana

satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau

lebih”.17 Terhadap penggunaan istilah kontrak dan perjanjian, penulis sependapat dengan beberapa sarjana hukum yang memberikan pengertian sama antara kontrak dengan perjanjian.

Dari berbagai definisi di atas, dapat dikemukakan unsur-unsur yang tercantum dalam hukum kontrak atau perjanjian yaitu:

a. Adanya Kaidah Hukum

Kaidah dalam hukum kontrak dapat dibagi menjadi dua macam yaitu tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum kontrak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan

16Ibid., h. 195-196. 17

R. Subekti & R Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004), Cet. 34, h. 338.


(30)

perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum kontrak tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat. Contohnya jual beli lepas, jual beli tahunan, dan lain-lain. Konsep hukum ini berasal dari hukum adat

b. Subjek Hukum

Subjek hukum diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Yang menjadi subjek hukum dalam hukum kontrak adalah kreditur dan debitur.

c. Adanya Prestasi

Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur. Prestasi terdiri dari:

1. Memberikan sesuatu. 2. Berbuat sesuatu. 3. Tidak berbuat sesuatu. d. Kata Sepakat

Di dalam pasal 1320 KUH Perdata ditentukan empat syarat sahnya perjanjian. Salah satunya kata sepakat (konsensus). Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak.

e. Akibat Hukum

Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan


(31)

kewajiban. Hak adalah suatu kenikmatan dan kewajiban adalah suatu beban.18

2. Syarat Sah Perjanjian

Syarat sah perjanjian diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata yaitu:19 a. Kesepakatan Kedua Belah Pihak

Syarat yang pertama sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan atau konsensus para pihak. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu pernyataanya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat atau diketahui orang lain. Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu dengan:

1. Bahasa yang sempurna dan tertulis. 2. Bahasa yang sempurna secara lisan.

3. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Karena dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya.

4. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya.

5. Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan.20

18

Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet. 4, h. 4-5.

19


(32)

Pada dasarnya, cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak, yaitu dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan secara tertulis. Tujuan pembuatan perjanjian secara tertulis adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna dikala timbul sengketa di kemudian hari.

b. Kecakapan Untuk Melakukan Perbuatan Hukum

Cakap hukum adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang. Seorang oleh hukum dianggap tidak cakap untuk melakukan kontrak jika orang tersebut belum berumur 21 tahun, kecuali jika ia telah kawin sebelum cukup 21 tahun. Sebaliknya setiap orang yang berumur 21 tahun ke atas, oleh hukum dianggap cakap, kecuali karena suatu hal dia ditaruh di bawah pengampuan, gelap mata, dungu, sakit ingatan, atau pemboros.21

c. Adanya Objek Perjanjian

Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak

20

Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, h. 33.

21

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, (Jakarta: RajaGrafindo, 2007), Cet. 1, h. 29.


(33)

kreditur. Prestasi ini terdiri dari perbuatan yang positif dan negatif. Prestasi terdiri dari:

1. Memberikan sesuatu. 2. Berbuat sesuatu.

3. Tidak berbuat sesuatu (pasal 1234 KUH Perdata).22 d. Adanya Kausa Yang Halal

Dalam pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian kausa yang halal. Di dalam pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan kausa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.23

Syarat yang pertama dan kedua syarat subjektif, karena menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif, karena menyangkut objek perjanjian. Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Artinya, bahwa salah satu pihak dapat mengajukan kepada Pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya. Tetapi apabila para pihak tidak ada yang keberatan maka perjanjian itu tetap dianggap sah. Syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi maka perjanjian batal demi hukum. Artinya bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada.24

22

Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, h. 34.

23

R. Subekti & R Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h. 342.

24


(34)

3. Asas-Asas Dalam Hukum Perjanjian

a. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan pasal

1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: ”Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi mereka yang membuatnya”.25

Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:

1. Membuat atau tidak membuat perjanjian. 2. Mengadakan perjanjian.

3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya.

4. Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan. b. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.26

c. Asas Pacta Sunt Servanda

25

R. Subekti & R Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h. 342.

26


(35)

Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas ini merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1) KUH

Perdata, yang berbunyi: “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai undang-undang”.27 d. Asas Itikad Baik

Asas itikad baik dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat (3) KUH

Perdata, yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas itikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu

kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.

e. Asas Kepribadian

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 1315 dan pasal 1340 KUH Perdata.28

4. Bentuk-Bentuk Perjanjian

27

Ibid., h. 342.

28


(36)

Istilah perjanjian bernama atau kontrak bernama merupakan

terjemahan dari istilah “nominaat contract” (Inggris) “benoemde

(Belanda) penggolongan ini didasarkan pada nama perjanjian yang tercantum di dalam pasal 1319 KUH Perdata, disebutkan dua macam perjanjian menurut namanya, yaitu perjanjian bernama (nominaat) dan perjanjian tidak bernama (innominaat).29

a. Perjanjian Bernama (nominaat)

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang dikenal dalam KUH Perdata. Yang termasuk dalam perjanjiaan bernama jual beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang, perdamaian, dan lain-lain.

b. Perjanjian Tidak Bernama (innominaat)

Perjanjian yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat. Jenis perjanjian ini belum dikenal dalam KUH Perdata. Yang termasuk dalam perjanjiaan tidak bernama adalah leasing, beli sewa, franchise, kontrak rahim, joint venture, kontrak karya, keagenan,

production sharing, dan lain-lain.30

5. Pembatalan Perjanjian

Pembatalan perjanjian adalah pembatalan sebagai salah satu kemungkinan yang dapat dituntut kreditur terhadap debitur yang telah melakukan wanprestasi. Selain dapat mengajukan tuntutan pembatalan,

29

R. Subekti & R Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h. 339.

30

Syahmin AK, Hukum Kontrak Internasional, (Jakarta: RajaGrafindo, 2006), Cet. 1, h. 49-50.


(37)

kreditur dapat pula mengajukan tuntutan yang lain yaitu pembatalan perjanjian dan ganti kerugian, ganti kerugian saja, pemenuhan perikatan dan ganti kerugian.

Ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk pembatalan perjanjian, yaitu:

a. Perjanjian harus bersifat timbal balik; b. Harus ada wanprestasi;

c. Harus dengan putusan hakim.31

Dasar hukum pembatalan perjanjian adalah pasal 1266 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut:

1. Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang bertimbal balik, manakalasalah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.

2. Dalam hal yang demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.

3. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam perjanjian.

4. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim adalah leluasa untuk menurut keadaan, atas permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga

31

Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: Alumni, 2010), Cet. 1, h. 230.


(38)

memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana, namun itu tidak boleh lebih dari satu bulan.32

Perjanjian yang bersifat timbal balik adalah perjanjian dimana kedua belah pihak sama-sama mempunyai kewajiban untuk memenuhi prestasi, misalnya jual-beli, tukar menukar, sewa-menyewa. Jika dalam perjanjian yang bersifat timbal balik ini salah satu pihak tidak memenuhi prestasi atau kewajibannya maka disebut wanprestasi, pihak lainnya dapat menuntut pembatalan. Namun, sebelum kreditur menuntut pembatalan, debitur harus diberikan teguran atau pernyataan lalai (ingebrekestelling). Pembatalan tidak terjadi dengan sendirinya dengan adanya wanprestasi tersebut, melainkan harus dimintakan kepada hakim dan yang akan membatalkan adalah putusan hakim tersebut. Jadi putusan hakim bersifat konstitutif yaitu membatalkan perjanjian antara penggugat dan tergugat, bukan bersifat deklaratif yang menyatakan batal perjanjian antara penggugat dengan tergugat.33

Dengan demikian, wanprestasi hanyalah alasan hakim untuk memberikan putusan yang membatalkan perjanjian, dan hakim memberikan tenggang waktu satu bulan kepada debitur untuk memenuhi prestasinya. Jadi tuntutan kreditur untuk membatalkan perjanjiannya dengan debitur tidak selamanya dikabulkan oleh hakim, tetapi hakim memeriksa dan mempertimbangkan lebih dulu besar kecilnya wanprestasi tersebut. Apabila wanprestasi hanya mengenai hal kecil maka hakim akan

32

R. Subekti & R Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h. 328.

33


(39)

menolak membatalkan perjanjian dan apabila wanprestasi cukup besar merugikan kreditur tentu saja hakim akan membatalkan perjajian tersebut. Apabila hakim telah menjatuhkan putusan membatalkan perjanjian, maka hubungan hukum antara para pihak yang semula mengadakan perjanjian menjadi batal, sehingga tidak perlu lagi memenuhi prestasinya. Apabila salah satu pihak sudah melakukan prestasi namun dilain pihak belum melakukan maka wajib dikembalikan, dan apabila tidak mampu maka dihargai dengan materi.34

6. Penggantian Kerugian

Ketentuan tentang ganti rugi dalam KUH Perdata diatur pada pasal 1243-1252 KUH Perdata. Dari pasal-pasal itu dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud ganti rugi adalah sanksi yang dapat dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi prestasi dalam suatu perjanjian untuk memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga.

Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyaa telah dikeluarkan oleh kreditur. Rugi adalah segala kerugian karena musnahnya atau rusaknya barang-barang milik kreditur akibat kelalaian debitur. Sedangkan bunga adalah segala keuntungan yang diharapkan atau sudah diperhitungkan. Kerugian-kerugian yang dapat dituntut:

Walaupun debitur yang wanprestasi dapat dituntut oleh kreditur untuk membayar ganti kerugian, tetapi kerugian yang dituntut oleh

34


(40)

kreditur jumlahnya tidak dapat dituntut sekehendak hati kreditur, maka dari itu harus memiliki batasan yang diatur dalam undang-undang.

Batasan pertama untuk wanprestasi disebutkan dalam pasal 1248 KUH Perdata yaitu: bahkan jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan karena tipu daya si berutang, penggantian biaya, rugi dan bunga sekadar mengenai kerugian yang diderita oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tidak dipenuhinya perikatan.35

Batasan kedua termuat dalam pasal 1247 KUH Perdata yang menentukan: si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya, rugi, dan bunga yang nyata telah, atau sedianya harus dapat diduga sewaktu perikatan dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan oleh suatu tipu daya yang dilakukan olehnya.36

D. Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak 1. Pengertian Asas Proporsionalitas

Pengertian asas proporsionalitas dapat dirunut dari asal kata

“proporsi” (proportion-Inggris; proportie-Belanda) yang berarti

perbandingan, perimbangan, sedangkan “proporsional” (

proportional-Inggris; proportioneel-Belanda) berarti sesuai dengan proporsi, sebanding, seimbang, berimbang.37 Menurut P.S Atijah, asas proporsionalitas dalam

35

R. Subekti & R Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h. 325.

36

Ibid.

37

Tim Redaksi Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), Cet. IV, h. 1106.


(41)

kaitannya dengan peran kontrak sebagai landasan pertukaran yang adil di dunia bisnis, menurutnya pertemuan para pihak dalam mekanisme pasar sesuai sesuai dengan apa yang diinginkan (proportion in what they want) merupakan bentuk pertukaran yang adil (fair echange). Mekanisme ini merupakan dasar fundamental yang melandasi konsep “freedom of choice in exchange-freedom of contract”.38

Maka asas proporsionalitas bermakna sebagai asas yang melandasi atau mendasari pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai proporsi atau bagiannya dalam seluruh proses kontraktual. Asas proporsionalitas dalam kontrak diartikan sebagai asas yang mendasari pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai proporsi atau bagiannya. Proporsionalitas pembagian hak dan kewajiban ini yang diwujudkan dalam seluruh proses hubungan kontraktual, baik pada fase prakontraktual, pembentukan kontrak maupun pelaksanaan kontrak. Asas proporsionalitas tidak mempermasalahkan keseimbangan atau kesamaan hasil, namun lebih menekankan proporsi pembagian hak dan kewajiban di antara para pihak.39

2. Kriteria Asas Proporsionalitas

a. Kontrak yang bersubstansi asas proporsionalitas adalah kontrak yang memberikan pengakuan terhadap hak, peluang dan

38

Seperti dikutip oleh Agus Yudha Hernoko dari P.S Atijah, An Introduction to The Law of Contract, 4th Ed, Oxford University Press Inc, New York, 1995, h. 5. Lihat Agus Yudha

Hernoko, Hukum Perjanjian (Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial), (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2010), h. 13.

39

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsional Dalam Kontrak Komersial, h. 31-32.


(42)

kesempatan yang sama kepada para kontraktan untuk menentukan pertukaran yang adil bagi mereka. Kesamaan bukan dalam arti

“kesamaan hasil” melainkan pada posisi para pihak yang mengandaikan “kesetaraan kedudukan dan hak (equitability)”

(prinsip kesamaan hak atau kesetaraan hak)

b. Berlandaskan pada kesamaan atau kesetaraan hak tersebut, maka kontrak yang bersubstansi asas proporsional adalah kontrak yang dilandasi oleh kebebasan para kontraktan untuk menentukan substansi apa yang adil dan apa yang tidak adil bagi mereka (prinsip kebebasan)

c. Kontrak yang bersubstansi asas proporsional adalah kontrak yang mampu menjamin pelaksanaan hak dan kewajiban secara proporsional bagi para pihak. Perlu digarisbawahi bahwa keadilan tidak selalu berarti semua orang harus mendapatkan dalam jumlah yang sama, dalam konteks ini dimungkinkan adanya hasil akhir yang berbeda. Dalam hal ini maka prinsip distribusi-proporsional terhadap hak dan kewajiban para pihak harus mengacu pertukaran yang fair.

d. Dalam hal terjadinya sengketa kontrak, maka beban pembuktian, berat ringan kadar kesalahan maupun hal-hal lain terkait, harus diukur berdasarkan asas proporsionalitas untuk memperoleh hasil penyelesaian yang elegan dan win-win solution.40

40


(43)

3. Makna Asas Proporsionalitas

Ruang lingkup dan daya kerja asas proporsionalitas lebih dominan pada kontrak komersial dengan asumsi dasar bahwa karakteristik kontrak komersial menempatkan posisi para pihak pada kesetaraan, sehingga tujuan para kontraktan yang berorientasi pada keuntungan bisnis akan terwujud apabila terdapat pertukaran hak dan kewajiban yang fair (proporsional). Asas proporsionalitas tidak dilihat konteks keseimbangan-matematis (equilibrium), tetapi pada proses dan mekanisme pertukaran hak dan kewajiban yang berlangsung secara fair.

Menurut Peter Mahmud Marzuki menyebut asas proporsionalitas

dengan istilah “equitability contract” dengan unsur justice serta

fairness. Makna “equitability” menunjukkan suatu hubungan yang

setara (kesetaraan), tidak berat sebelah dan adil (fair), artinya hubungan kontraktual tersebut pada dasarnya berlangsung secara proporsional dan wajar.41

Pada dasarnya asas proporsionalitas merupakan perwujudan

doktrin “keadilan berkontrak” yang mengoreksi dominasi asas kebebasan berkontrak yang dalam beberapa hal justru menimbulkan ketidakadilan. Perwujudan keadilan berkontrak ditentukan melalui dua pendekatan. Pertama, pendekatan prosedural, pendekatan ini menitikberatkan pada persoalan kebebasan kehendak dalam suatu kontrak. Pendekatan kedua, yaitu pendekatan substantif yang menekankan kandungan atau substansi


(44)

serta pelaksanaan kontrak. Mengambil moralitas pertimbangan tersebut,

maka asas proporsionalitas bermakna sebagai “asas yang melandasi atau mendasari pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai proporsi atau

bagiannya dalam seluruh proses kontraktual”. Asas proporsionalitas sangat

berorientasi pada konteks hubungan dan kepentingan para pihak, menjaga kelangsungan hubungan agar berlangsung kondusif dan fair.42

4. Fungsi Asas Proporsionalitas

Dalam hubungannya dengan kegiatan bisnis, kontrak berfungsi untuk mengamankan transaksi. Hal ini karena dalam kontrak terkandung suatu pemikiran atau tujuan akan adanya keuntungan komersial yang diperoleh para pihak. Terkait dengan kontrak komersial yang diperoleh para pihak. Terkait dengan kontrak komersial yang berorientasi keuntungan para pihak, fungsi asas proporsionalitas menunjukkan pada karakter kegunaan yang operasional dan implementatif dengan tujuan mewujudkan apa yang dibutuhkan para pihak. Dengan demikian, fungsi asas proporsionalitas, baik dalam proses pembentukan maupun pelaksanaan kontrak komersial adalah:

a. Dalam tahap pra-kontrak, asas proporsionalitas membuka peluang negosiasi bagi para pihak untuk melakukan pertukaran hak dan kewajiban secara fair. Oleh karena itu, tidak proporsional dan harus ditolak proses negosiasi dengan itikad buruk.

42

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsional Dalam Kontrak Komersial, h.88.


(45)

b. Dalam pembentukan kontrak asas proporsionalitas menjamin kesetaraan hak serta kebebasan dalam menentukan atau mengatur proporsi hak dan kewajiban para pihak berlangsung secara fair.

c. Dalam pelaksanaan kontrak, asas proporsional menjamin terwujudnya distribusi pertukaran hak dan kewajiban menurut proporsi yang disepakati atau dibebankan pada para pihak.

d. Dalam hal terjadi kegagalan dalam pelaksanaan kontrak, maka harus dinilai secara proporsional apakah kegagalan tersebut bersifat fundamental sehingga mengganggu pelaksanaan sebagian besar kontrak atau sekadar hal-hal sederhana atau kesalahan kecil. Oleh karena itu, pengujian melalui asas proporsionalitas sangat menentukan dalil kegagalan pelaksanaan kontrak, agar jangan sampai terjadi penyalahgunaan oleh salah satu pihak dalam memanfaatkan klausul kegagalan pelaksanaan kontrak, semata-mata demi keuntungan salah satu pihak dengan merugikan pihak lain.

e. Bahkan dalam hal terjadi sengketa kontrak, asas proporsionalitas menekankan bahwa proporsi beban pembuktian kepada para pihak harus dibagi menurut pertimbangan yang fair.43

43


(46)

(47)

BAB III

KETENTUAN ROYALTI MINERAL DAN TEORI DALAM HUKUM PERTAMBANGAN

A. Ketentuan Royalti Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara

Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mengingat mineral dan batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan.44

Guna memenuhi ketentuan pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Undang-undang tersebut selama lebih kurang empat dasawarsa sejak diberlakukannya telah dapat memberikan sumbangan yang penting bagi pembanguan nasional.

Dalam perkembangan lebih lanjut, undang-undang tersebut yang materi muatannya bersifat sentralistik sudah tidak sesuai dengan

44

Tim Wahyu Media, Pedoman Resmi UUD 1945 & Perubahannya, (Jakarta: Wahyu Media, 2014), h. 33.


(48)

perkembangan situasi sekarang dan tantangan di masa depan. Di samping itu, pembangunan pertambangan harus menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan strategis, baik bersifat nasional maupun internasional. Tantangan utama yang dihadapi oleh pertambangan mineral dan batubara adalah pengaruh globalisasi yang mendorong demokratisasi, otonomi daerah, hak asasi manusia, lingkungan hidup, perkembangan teknologi dan informasi, hak atas kekayaan intelektual serta tuntutan peningkatan peran swasta dan masyarakat.45 Maka dibuatlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara.

Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara royalti atau iuran produksi diatur dalam beberapa pasal yaitu:

1. Pasal 39 ayat (2) yaitu berisikan tentang kewajiban memuat ketentuan IUP Operasi Produksi salah satunya wajib memuat penerimaan negara bukan pajak yang terdiri atas iuran tetap dan iuran produksi.

2. Pasal 45 yaitu mineral atau batu bara yang tergali sebagaimana dimaksud pasal 43 dikenai iuran produksi.

3. Pasal 70 yaitu berisikan tentang kewajiban pemegang IPR yang salah satunya membayar iuran tetap dan iuran produksi.

4. Pasal 79 yaitu berisikan tentang kewajiban memuat ketentuan IUPK Operasi Produksi salah satunya wajib memuat iuran tetap

45


(49)

dan iuran produksi serta bagian pendapatan negara/ daerah, yang terdiri atas bagi hasil dari keuntungan bersih sejak berproduksi. 5. Pasal 82 yaitu mineral atau batu bara yang tergali sebagaimana

dimaksud pasal 81 dikenai iuran produksi.

6. Pasal 92 yaitu pemegang IUP dan IUPK berhak memiliki mineral, termasuk mineral ikutannya, atau batubara yang tela diproduksi apabila telah memenuhi iuran eksplorasi dan iuran produksi kecuali mineral ikutan radioaktif.

7. Pasal 105 ayat 3 yaitu mineral atau batubara yang tergali dan akan dijual sebagaimana dimaksud ayat (1) dikenai iuran produksi. 8. Pasal 128 ayat 4 yaitu penerimaan negara bukan pajak

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas: a. Iuran tetap;

b. Iuran eksplorasi; c. Iuran produksi; dan

d. Kompensasi data informasi.

9. Pasal 130 ayat (1) yaitu pemegang IUP atau IUPK tidak dikenai iuran produksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 128 ayat (4) huruf c dan pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 128 ayat (5) atas tanah/ batuan yang ikut tergali pada saat penambangan.

Pasal 130 ayat (2) yaitu pemegang IUP atau IUPK tdikenai iuran produksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 128 ayat (4) huruf c


(50)

atas pemanfaatan tanah/ batuan yang ikut tergali pada saat penambangan.

10.Pasal 132 ayat (1) yaitu besaran tarif iuran produksi ditetapkan berdasarkan tingkat pengusahaan, produksi, dan harga komoditas tambang.

pasal 132 ayat (2) yaitu besaran tarif iuran produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

B. Ketentuan Royalti Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 2012 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

Dalam rangka mengoptimalkan Penerimaan Negara Bukan Pajak serta guna menunjang pembangunan nasional, Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sebagai salah satu sumber penerimaan negara perlu dikelola dan dimanfaatkan untuk peningkatan pelayanan pada masyarakat. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah memiliki tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Namun dengan adanya perubahan struktur organisasi dan penyesuaian atas jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada


(51)

Kementerian Negara Energi dan Sumber Daya Mineral, perlu mengatur kembali jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Negara Energi dan Sumber Daya Mineral.46

Telah dijelaskan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 2012 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di bagian penjelasan bahwa royalti untuk emas 3,75%.47

C. Kontrak Karya

PT. Freeport Indonesia adalah sebuah perusahaan afiliasi dari Freeport McMoran merupakan perusahaan modal asing pertama yang melakukan usaha pertambangan di Indonesia dengan menggunakan kontrak karya. Kontrak karya PT. Freeport Indonesia dilakukan pada 7 April 1967 dan disebut kontrak karya generasi 1, karena kontrak karya ini merupakan pelopor penanaman modal asing dalam bidang pengusahaan pertambangan. Dilihat dari sejarah munculnya pola kontrak karya di Indonesia, banyak pihak berpendapat bahwa kedudukan para pihak di dalam kontrak karya tidak seimbang, dengan posisi pemerintah Indonesia

46

Penjelasan atas Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 2012 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

47

Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 2012 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.


(52)

yang lebih lemah dalam merundingkan kerangka investasi asing di industri pertambangan.48

Pada awal negosiasi dengan PT. Freeport Indonesia, pemerintah Indonesia telah menawarkan skema bagi hasil seperti yang diterapkan dalam pertambangan minyak dan gas, dan meyakinkan pemerintah Indonesia bahwa model kontrak bagi hasil tidak sesuai untuk diterapkan pada pertambangan tembaga. Oleh karena pemerintah Indonesia tidak memiliki argumentasi lain, maka pemerintah Indonesia justru menawarkan kepada PT. Freeport Indonesia untuk menyiapkan kerangka kontrak. PT. Freeport Indonesia kemudian menunjuk Bob Duke selaku ahli hukum PT. Freeport Indonesia untuk menyusun dokumen kontrak, yang selanjutnya disebut kontrak karya.49

Kontrak karya ini sangat menguntungkan PT. Freeport Indonesia karena sebagian besar materi kontrak tersebut merupakan usulan yang diajukan oleh perusahaan selama proses negosiasi artinya lebih banyak disusun untuk kepentingan PT. Freeport Indonesia. Dalam operasi pertambangan, pemerintah Indonesia tidak mendapatkan manfaat yang proporsional dengan potensi ekonomi yang sangat besar di wilayah pertambangan tersebut. Padahal posisi tawar Indonesia sangat tinggi seharusnya kontrak karya tersebut disusun lebih banyak untuk kepentingan negara bukan kepentingan PT. Freeport Indonesia.

48

Nanik Trihastuti, Hukum Kontrak Karya Pola Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Indonesia, (Malang: Setara Press, 2013), Cet. 1, h. 5.

49

Seperti dikutip oleh Nanik Trihastuti dari Arianto Sangaji, Buruk Inco Rakyat digusur, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), h.76. Lihat Nanik Trihastuti, Hukum Kontrak Karya Pola Kerja Sama Pengusahaan Pertambangan Indonesia, (Malang: Setara Press, 2013), Cet. 1, h. 4.


(53)

Masa berlaku kontrak karya PT. Freeport Indonesia 30 tahun terhitung mulai masa produksi komersial perusahaan tersebut yaitu pada tanggal 1 juli 1973, sehingga berakhir pada tanggal 1 juli 2003, namun sebelum tahun 2003, Freeport McMoran Inc. Selaku pemegang saham PT. Freeport Indonesia pada tahun 1989 menyampaikan permohonan perpanjangan kontrak karya PT. Freeport Indonesia kepada Menteri Pertambangan dan Energi, permohonan ini sesuai dengan ketentuan dalam kontrak karya PT. Freeport Indonesia generasi 1 bahwa setelah jangka waktu kontrak berjalan setengahnya yaitu 15 tahun, perusahaan dapat mengajukan permohonan perpanjangan karena PT. Freeport Indonesia menemukan cadangan yang lebih kaya. Sehingga kontrak karya akan berakhir pada 1 juli 2021 dan dapat diperpanjang lagi 2 x 10 tahun, sehingga akan berakhir 2041.50

Menurut pasal 10 ayat (2) dan (3) Undang-Undang No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, istilah yang digunakan dalam ketentuan tersebut adalah Perjanjian Karya, tetapi dalam praktik, istilah yang digunakan adalah Kontrak Karya sebagai terjemahan

dari “Contract of Work”. Menurut pasal 1 huruf a Keputusan Direktur

Jenderal Pertambangan Umum Nomor 150.K/20.01/DDJP/1998 tentang Tatacara, Persyaratan dan pemrosesan permohonan Kontrak Karya,

Kontrak Karya memiliki pengertian sebagai “kontrak antara Pemerintah

Republik Indonesia dengan perusahaan berbadan hukum Indonesia untuk

50 “Sejarah PT. Freeport Indonesia”, artikel diakses p

ada 20 mei 2015 dari http://ptfi.co.id/id/media/facts-about-feeport-indonesia/facts-about-kontrak-karya.


(54)

melaksanakan usaha pertambangan bahan galian, tidak termasuk minyak

bumi, gas alam, panas bumi, radio aktif dan batu bara”.51

Dasar hukum digunakannya pola Kontrak Karya dalam pengusahaan sektor pertambangan terdapat dalam pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang

menyatakan bahwa “Penanaman Modal Asing di bidang pertambangan

didasarkan pada suatu kerja sama dengan pemerintah atas dasar Kontrak Karya atau bentuk lain sesuai dengan peraturan perundangan yang

berlaku”52, serta pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang menyatakan bahwa:

1. Menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh instansi pemerintah atau Perusahaan Negara yang bersangkutan selaku pemegang Kuasa Pertambangan.

2. Dalam mengadakan Perjanjian Karya dengan kontraktor seperti yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, instansi pemerintah atau perusahaan negara harus berpegang pada pedoman-pedoman, petunjuk-petunjuk dan syarat-syarat yang diberikan oleh menteri

51

Nanik Trihastuti, Hukum Kontrak Karya Pola Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Indonesia, h. 33.

52

Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.


(55)

3. Perjanjian Karya tersebut dalam ayat (2) pasal ini berlaku sesudah disahkan oleh pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat apabila menyangkut eksploitasi golongan a sepanjang bahan galian yang ditentukan dalam pasal 13 undang-undang ini dan/ atau yang perjanjian karyanya berbentuk penanaman modal asing.53

Kontrak karya diperuntukkan bagi perusahaan yang berstatus sebagai penanam modal asing. Ruang lingkup kewenangan kontrak karya yaitu dapat mengusahakan seluruh jenis bahan galian kecuali minyak dan gas bumi dan batu bara yang diatur dalam aturan tersendiri. Adapun mekanisme atau prosedurnya adalah sebagai berikut:54

1. Perusahaan mengajukan permintaan pencadangan wilayah kepada Unit Pelayanan Informasi Pencadangan Wilayah Pertambangan (UPIPWP).

2. Perusahaan pemohon memperoleh peta dan formulir permohonan kontrak karya dari UPIPWP.

3. Perusahaan pemohon menyetor uang jaminan ke bank yang ditunjuk, bukti setoran dijadikan lampiran dengan dokumen dan persyaratan lain.

4. Perusahaan mengajukan surat permohonan kepada Direktur Jenderal Pertambangan Umum (DJPU), berikut lampiran atau

53

Nanik Trihastuti, Hukum Kontrak Karya Pola Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Indonesia, h. 32-33.

54

Nandang Sudrajat, Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia, (Jakarta: Pustaka Yustisia, 2013), Cet. 1, h. 67.


(56)

dokumen yang harus dipenuhi kepada Direktorat Pembinaan Pengusahaan (DPB) melalui sekretariat Direktorat Jenderal Pertambangan Umum.

5. Direktorat Jenderal Pertambangan Umum menyampaikan hasil pemrosesan DPB kepada perusahaan pemohon, apakah pengajuannya diterima atau ditolak.

6. Direktorat Jenderal Pertambangan Umum membentuk dan menugaskan tim perunding, yang bertugas melakukan perundingan dengan perusahaan pemohon kontrak karya.

7. Direktur DPB bersama perusahaan pemohon, menyampaikan hasil perundingan kepada DJPU.

8. DJPU menyampaikan draf kontrak karya kepada menteri untuk dilakukan pemrosesan lebih lanjut.

9. Menteri menyampaikan draf kontrak karyakepada DPR RI untuk dikonsultasikan dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk mendapat rekomendasi.

10.DPR menyampaikan tanggapan kepada menteri atas draf kontrak karya yang disampaikan sebelumnya.

11.BKPM menyampaikan rekomendasi atas draf kontrak karya yang disampaikan menteri kepada presiden.

12.Presiden memberikan persetujuan, yang dalam pelaksanaannya didelegasikan kepada menteri, untuk dan atas nama pemerintah menandatangani kontrak karya.


(57)

13.Menteri melaksanakan penandatanganan kontrak karya dengan perusahaan pemohon.

Setelah dilakukan penandatanganan kontrak karya, kemudian perusahaan memulai kegiatan di lapangan pada area yang telah ditetapkan dalam kontrak karya, dengan luas dan titik-titik koordinatnya ditentukan secara jelas dan rinci yang merupakan wilayah hukum kontrak karya yang dimaksud. Secara teknis, perusahaan pemegang kontrak karya melakukan kegiatan di lapangan sebagai berikut:

1. Melaksanakan penyelidikan umum, dengan jangka waktu pelaksanaan satu tahun ditambah kesempatan perpanjangan selama satu tahun.

2. Melaksanakan kegiatan eksplorasi, dengan jangka waktu pelaksanaan tiga tahun, dengan diberikan kesempatan dua tahun masa perpanjangan waktu.

3. Tahapan studi kelayakan (feasibility study) selama satu tahun, dengan masa perpanjangan selama satu tahun.

4. Tahapan konstruksi atau pekerjaan persiapan selama tiga tahun. 5. Masa eksploitasi selama tiga puluh tahun, ditambah masa

perpanjangan selama 2 x 10 tahun.55

D. Production Sharing Contract

55Ibid., h. 68-69.


(58)

Production Sharing Contract adalah salah satu pola kerja sama modal pertambangan di Indonesia dimana perusahaan negara di negeri tuan rumah menguasai kepemilikan, tetapi memberikan tanggung jawab penuh kepada perusahaan asing untuk mengelola operasi dan menyediakan atau menghasilkan kebutuhan dana untuk eksplorasi dan pengembangan. Perusahaan asing memperoleh bagian dari produksi untuk membayar biaya yang dikeluarkannya dan persentase tertentu dari hasil bersih.56 Pola kontrak kerja sama seperti ini biasanya terdapat pada pertambangan minyak dan gas.

Perbedaan kontrak karya dengan production sharing contract

adalah pada sistem manajemen operasinya, di dalam kontrak karya, manajemen operasi sepenuhnya berada di tangan kontraktor, sehingga kontraktor memiliki hak serta kewenangan mutlak untuk mengatur dan mendahulukan kepentingan perusahaannya dengan mengambil langkah-langkah yang secara pasti akan memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi perusahaan.57 Sedangkan dalam production sharing contract

manajemen operasi ada pada pemerintah.

E. Royalti Dalam Kontrak Karya Pertambangan

Royalti atau iuran produksi/ iuran eksploitasi adalah jumlah yang diserahkan kepada pemerintah untuk mineral yang diproduksi perusahaan pertambangan. Perusahaan harus membayar iuran eksploitasi atau

56

Nanik Trihastuti, Hukum Kontrak Karya Pola Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Indonesia, h. 85.

57


(59)

produksi untuk kadar mineral hasil produksi dari wilayah pertambangan sepanjang setiap mineral dan produksi itu merupakan mineral yang nilainya sesuai dengan kebiasaan umum dibayar atau dibayarkan kepada perusahaan oleh pembeli.58 Royalti berhubungan erat dengan kegiatan produksi yang terjadi dalam pertambangan, diberikan kepada pemilik atau penguasa mineral atas pemberian ijin untuk mengeksploitasi mineral yang ada di suatu wilayah. Royalti dikenakan karena pemilik sebenarnya sudah memberikan ijin dan kewenangannya kepada penerima ijin untuk mengambil manfaat dari adanya kekayaan mineral di tempat tersebut. Dalam kegiatan produksinya, penerima ijin atau kontraktor bekerja atas risikonya sendiri dan juga dengan modalnya sendiri, akan tetapi bekerja di

“lahan” bukan miliknya, karena itu kontraktor berkewajiban memberikan

royalti kepada pemilik “lahan” yaitu pemerintah bersangkutan. Kontraktor hanya mempunyai hak untuk menambang saja (mining right).59

Dalam sistem royalti, sebenarnya telah terjadi perpindahan kepemilikan kepada penerima ijin. Hal tersebut bisa dilihat dari kewenangan penerima ijin untuk menggali dan menjual hasil tambang itu atas nama dirinya. Tetapi dalam tambang kontraktor tidak menjadi pemilik penuh dari hasil tambang itu karena harus membayar royalti atas berapa banyaknya hasil tambang yang digalinya. Besaran royalti itu ditentukan dari besarnya produksi, bukan dari besarnya penjualan produksinya. Logikanya adalah negara tetap mempunyai hak untuk menjual atau tidak

58

Pemerintah Republik Indonesia dan PT. Freeport Indonesia Company, Kontrak Karya, (Jakarta: 1991 ), pasal 11 butir ke-2.

59


(60)

atau memanfaatkan langsung atau tidak barang tambang itu yang mungkin berbeda dengan kepentingan kontraktor. Hanya saja kontraktor dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk memasarkan atau memanfaatkan barang mineral tersebut atau kemampuan itu ditundanya dan diserahkan kepada kontraktor atau bahwa telah terjadi perpindahan kewenangan atau penguasaan atau kepemilikan atas barang tambang itu sehingga kontraktorlah yang paling berhak memanfaatkan barang tambang tersebut. Tetapi walaupun begitu, atas kemauan negara untuk menunda atau memberikan kewenangannya kepada kontraktor, ia berhak mendapatkan kompensasi berupa penerimaan royalti.60

60


(61)

BAB IV

ANALISIS YURIDIS PENERAPAN ASAS PROPORSIONALITAS DALAM PEMBAGIAN ROYALTI PERTAMBANGAN EMAS

PT.FREEPORT INDONESIA

A. Penerapan asas proporsionalitas dalam pembagian royalti emas oleh PT. Freeport Indonesia

PT. Freeport Indonesia adalah sebuah perusahaan afiliasi dari Freeport McMoran, merupakan perusahaan modal asing pertama yang melakukan usaha pertambangan di Indonesia dengan menggunakan kontrak karya. Kontrak karya PT. Freeport Indonesia dilakukan pada 7 April 1967 dan disebut kontrak karya generasi 1, karena kontrak karya ini merupakan pelopor penanaman modal asing dalam bidang pengusahaan pertambangan. Masa berlaku kontrak karya PT. Freeport Indonesia 30 tahun terhitung mulai masa produksi komersial perusahaan tersebut yaitu pada tanggal 1 juli 1973, sehingga berakhir pada tanggal 1 juli 2003, namun sebelum tahun 2003, Freeport McMoran Inc. Selaku pemegang saham PT. Freeport Indonesia pada tahun 1989 menyampaikan permohonan perpanjangan kontrak karya PT. Freeport Indonesia kepada Menteri Pertambangan dan Energi, permohonan ini sesuai dengan ketentuan dalam kontrak karya PT. Freeport Indonesia generasi 1 bahwa setelah jangka waktu kontrak berjalan setengahnya yaitu 15 tahun, perusahaan dapat mengajukan permohonan perpanjangan karena PT.


(62)

Freeport Indonesia menemukan cadangan yang lebih kaya. Sehingga kontrak karya akan berakhir pada 1 juli 2021 dan dapat diperpanjang lagi 2 x 10 tahun, sehingga akan berakhir 2041.61 Dari awal kontrak karya memang royalti untuk emas disepakati 1% tetapi dasar hukum untuk menyesuaikan royalti tersebut yaitu pasal 169 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara yaitu:

d) Kontrak karya dan perjanjian pengusahaan pertambangan batu bara yang telah ada sebelum berlakunya undang-undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak atau perjanjian.

e) Ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan batu bara sebagaimana dimaksud pada huruf (a) disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak undang-undang ini diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara.

f) Pengecualian terhadap penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada huruf (b) adalah upaya peningkatan penerimaan negara.62

Berdasarkan pasal 169 poin (b), seharusnya ketentuan royalti yang baru yaitu 3,75% mulai berlaku selambat-lambatnya satu tahun sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tersebut.

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 menegaskan bahwa, bumi, air dan

61 “Sejarah PT. Freeport Indonesia”, artikel diakses p

ada 20 mei 2015 dari http://ptfi.co.id/id/media/facts-about-feeport-indonesia/facts-about-kontrak-karya.


(63)

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tetapi rumusan pasal tersebut berbanding terbalik dengan realita yang ada, meskipun Indonesia adalah negara yang kaya akan berbagai sumber daya alam, namun pada kenyataannya tidak membawa kesejahteraan bagi rakyatnya, tetapi yang terjadi justru sebaliknya, kekayaan alam yang ada menjadi petaka bagi bangsa Indonesia. Berjuta-juta ton bahan galian tambang setiap tahunnya dieksploitasi dan dijual ke berbagai negara tujuan, tetapi secara nyata hanya sebagian kecil hasilnya yang dapat dirasakan rakyat Indonesia. Pada praktiknya ternyata pemerintah tidak mempunyai daya paksa terhadap pelaku kegiatan usaha pertambangan yang nakal, bahkan cenderung selalu mengalah pada kepentingan investor. Kecenderungan tersebut, dapat kita lihat dari fakta berikut:

1. Lemahnya posisi pemerintah dalam melakukan negosiasi pengelolaan dan pengusahaan bahan galian, hal tersebut berimplikasi pada kecilnya bagian yang dapat diterima negara atas hasil bahan galian yang dieksploitasi.

2. Munculnya beberapa paket kebijakan yang memanjakan investor pertambangan, seperti insentif atau keringanan pajak, bebas bea masuk barang dan peralatan produksi dan lain-lain.

3. Kebebasan investor untuk melakukan penjualan produk bahan galian yang dihasilkan dalam bentuk biih (batu), bukan produk yang telah mengalami pengolahan dan pemurnian.


(64)

4. Tidak adanya kebijakan yang berpihak untuk kepentingan nasional secara nyata, contohnya kebijakan yang melarang ekspor bahan galian dalam bentuk bijih.63

Pada awal negosiasi antara Pemerintah Indonesia dengan PT. Freeport, Pemerintah Indonesia mengusulkan bahwa kontrak kerja sama yang akan dipakai adalah model kontrak bagi hasil atau production sharing contract seperti yang diterapkan pada pertambangan minyak dan gas, tetapi PT. Freeport mengusulkan model kontrak karya karena kontrak bagi hasil tidak sesuai untuk diterapkan pada pertambangan tembaga. Oleh karena Pemerintah Indonesia tidak memiliki argumentasi lain serta pada saat itu pemerintah Indonesia sangat sulit mendapatkan penanam modal asing karena syarat untuk menarik modal asing adalah:

1. Syarat keuntungan ekonomi. 2. Syarat kepastian hukum. 3. Syarat stabilitas politik.64

Karena pada saat itu stabilitas politik Indonesia sedang kacau akibat G 30S PKI dan pada saat itu PT. Freeport satu-satunya penanam modal asing yang mau berinvestasi di Indonesia, maka dari itu PT. Freeport diberikan kemudahan dan keistimewaan. Akhirnya Pemerintah Indonesia menawarkan kepada PT. Freeport untuk menyiapkan kerangka kontrak. Kemudian PT. Freeport menunjuk Bob Duke selaku ahli hukum

63

Nandang Sudrajat, Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia, (Jakarta: Pustaka Yustisia, 2013), Cet. 1, h. 9.

64

Tim Kompendium, Kompendium Bidang Hukum Investasi, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Ham RI, 2011), h. 2.


(1)

dan memang seharusnya PT. Freeport Indonesia patuh dan tunduk pada semua peraturan yang berlaku di Indonesia karena PT. Freeport Indonesia merupakan badan hukum Indonesia.


(2)

(3)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan diantaranya sebagai berikut:

1. Dalam pembagian royalti antara PT. Freeport Indonesia dengan Pemerintah Indonesia dapat dikatakan tidak terdapat asas proporsionalitas dari awal pembuatan kontrak hingga penerapan isi kontrak.

2. Dalam hal penyesuaian ketentuan mengenai royalti yang merupakan amanat dari pasal 169 (b) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, royalti emas belum disesuaikan dari 1% menjadi 3,75% oleh PT. Freeport Indonesia. Tetapi pada akhirnya PT. Freeport sudah menandatangani nota kesepahaman renegosiasi pada juli 2014 yang terdiri dari 6 poin yang salah satunya mengenai penyesuaian royalti. Karena proses renegosiasi itu sangat kompleks maka hingga saat ini masih dilakukan negosiasi dan belum ada sanksi terkait hal ini.

B. Saran

Pada akhir penulisan ini, penulis mengemukakan beberapa saran diantaranya sebagai berikut:


(4)

1. Pemerintah harus memberikan kepastian hukum kepada investor, dan merevisi undang-undang agar tidak adanya tumpang tindih. Serta menjamin adanya konsisten antara peraturan dan perundangan.

2. Dalam membuat kontrak dengan investor asing pemerintah selalu menerapkan asas-asas hukum yang ada sehingga berdampak pada tujuan dan kepentingan negara dalam hal ini pendapatan negara yang optimal serta selalu berpihak kepada kepentingan negara dan tidak terlalu memanjakan pada kepentingan investor.

3. Pemerintah harus lebih tegas dalam memberikan sanksi kepada pemegang kontrak karya yang tidak mau melakukan renegosiasi. Agar tidak ada lagi pemegang kontrak karya yang tidak patuh pada peraturan di Indonesia. Dan tidak membedakan antara investor asing yang satu dengan lainnya.

4. Harus dibuat peraturan mengenai penagihan royalti yang seharusnya sudah berlaku tetapi belum dilaksankan oleh perusahaan pemegang kontrak karya agar pendapatan negara menjadi optimal.

5. Bagi perusahaan tambang pemegang kontrak karya harus patuh terhadap peraturan yang berlaku di Indonesia.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Al Quran BUKU:

AK, Syahmin. Hukum Kontrak Internasional. Jakarta: RajaGrafindo, 2006.

Echols, John M dan Shadily, Hassan. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.

Hanitijo, Rony. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998). Hernoko, Agus Yudha. Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak

Komersial. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2010.

H.S, Salim. Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.

Ilmar, Aminuddin. Hukum Penanaman Modal di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007.

Makmur, Syafrudin. Hukum Acara Perdata Sekelumit Teori dan Praktek. Ciputat: t.p., 2013.

Marzuki, Peter Mahmud. Batas-batas Kebebasan Berkontrak. Jakarta: Yuridika, 2003.

Miru, Ahmadi. Hukum Kontrak Perancangan Kontrak. Jakarta: RajaGrafindo, 2007.

Pemerintah Indonesia dan PT. Freeport Indonesia, Kontrak Karya. Jakarta: 1991.

Sigit, Soetaryo. Sepenggal Sejarah Perkembangan Pertambangan Indonesia. Jakarta: Penerbit Yayasan Minergi Informasi Indonesia, 2004.

Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermusa, 1996.

Subekti, R dan Tjitrosudibjo, R, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita, 2004).

Sudrajat, Nandang. Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia. Jakarta: Pustaka Yustisia, 2013.


(6)

Sutedi, Adrian. Hukum Pertambangan. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Pers, 2001. Soekanto, Soerjono & Mamudji, Sri. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan

Singkat). Jakarta: Rajawali Pers, 2001.

Syahrani, Riduan. Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: Alumni, 2010.

Tim Kompendium. Kompendium Bidang Hukum Investasi. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Ham RI, 2011. Tim Redaksi Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Tim Wahyu Media, Pedoman Resmi UUD 1945 & Perubahannya. Jakarta: Wahyu Media, 2014.

Trihastuti, Nanik. Hukum Kontrak Karya Pola Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Indonesia. Malang: Setara Press, 2013.

UNDANG-UNDANG:

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara. WAWANCARA:

Wawancara pribadi dengan Syarifudin. Jakarta, 17 juni 2015.

Wawancara pribadi dengan Priyo Adi Kumoro. Jakarta, 23 juni 2015. INTERNET:

“Sejarah PT. Freeport Indonesia”, artikel diakses pada 20 mei 2015 dari http://ptfi.co.id/id/media/facts-about-feeport-indonesia/facts-about-kontrak-karya.