108963604 Sistem Pertnian Masa Depan

SISTEM PERTNIAN MASA DEPAN
I.

PENDAHULUAN

Populasi dunia telah melampaui 7 miliar dan ditetapkan untuk mencapai 9 miliar
pada tahun 2050. Memenuhi kebutuhan pangan meningkat dari orang-orang ini
dengan mengurangi sarana pasokan, aman, etis dan adil sekaligus memperbaiki
lingkungan daripada menambah beban perubahan iklim adalah tantangan
terbesar pertanian yang pernah dihadapi.
Petani di seluruh dunia harus naik ke tantangan ini dengan mengadaptasi sistem
pertanian mereka untuk memenuhi perubahan keadaan, mengambil teknologi
mapan dan baru dan praktek yang diperlukan untuk memberikan campuran
terbaik output dengan penggunaan minimal non-terbarukan input. Untuk
melakukan hal ini, mereka akan membutuhkan informasi yang tepat pada waktu
yang tepat dan dalam bentuk yang tepat untuk mendukung pengambilan
keputusan mereka.
Mendasari penelitian ilmiah ini dengan menyediakan teknologi yang diperlukan
dan pemahaman dari beberapa proses yang terlibat. Namun, penelitian tersebut
harus dikombinasikan dengan penelitian dari disiplin lain, ditempatkan dalam
konteks yang lebih luas, ditunjukkan dalam praktek pertanian dan melibatkan

para pengambil keputusan sendiri jika ingin membantu memastikan produksi
pangan yang cukup dan berkelanjutan di masa depan. Perspektif sistem
penelitian yang lebih luas sering diabaikan dalam penelitian pertanian dan karena
itu fokus untuk FFSG.

II.

PERTANIAN MASA DEPAN

Paradigma Pembangunan Pertanian Indonesia Masa Depan: Skenario, Strategi, dan
Implikasinya
(Paradigm on The Development of Coming Indonesian Agriculture: Scenarios,
Strategies and Its Implications)
ABSTRACT The development of agricultural system through a complementary
technofarming and eco-farming (so

called as eco-technofarming) approach is considered to be a plausible scenario to
achieve
agricultural
development

which pursuing the vision of a knowledge and resources-based sustainable
agriculture.
At
macro-policy
level,
as
expected to be a prime mover to strongly competitive national economy at global
level,
such
vision
of
agricultural
development challenges the coming government to re-organize high level state
institutions
which
is
instrumental
to
create a sound policy on food, agriculture and rural development that relate to
transmigration

program.
Such
steering
state institution is suggested to be a Ministry or Department of Food, Agriculture and
Rural
Community
Development
(FAR-ComDev), instead of a committee like The Committee of Agriculture, Fishery,
and
Forestry
Revitalization
(Komite
Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan) as under The United Indonesian
Cabinet),
in
which
subsectors
of
crop, livestock and fresh water fishery being re-organized in such a way that policy
on

agricultural
development
considers
the wholeness of terrestrial (including tidal swamp) ecosystem, especially at rural
areas.
At
implementation
level,
the
government is suggested to promote the establishment of model cooperation
between
herself
(as
policy
maker),
research institution and university (as R and D contributor), entrepreneur or bank (as
capital
owner),
and
farmer

(as
agricultural practitioner). Key words: Techno-ecofarming, Ministry or Department of
Food,
Agriculture,
and
Rural
Community
Development,
steering
ABSTRAK Pembangunan sistem pertanian melalui pendekatan yang komplementer
antara
teknofarming
dan
ekofarming (disebut eko-teknofarming) dianggap sebagai skenario yang tepat untuk
mencapai
pembangunan
pertanian
bervisikan pertanian berkelanjutan yang berbasis ilmu pengetahuan dan sumber
daya.
Pada

tingkat
makro,
dengan
harapan menjadi penggerak utama ekonomi nasional yang kompetitif di tingkat
global,
visi
pembangunan
pertanian
itu
menantang pemerintahan yang akan datang untuk mereorganisasi lembagalembaga
tinggi
negara
yang
penting
bagi
penciptaan kebijakan pembangunan pangan, pertanian, dan perdesaan yang handal
yang
berkaitan
dengan
program

transmigrasi. Lembaga negara yang berfungsi steering itu disarankan berupa
Kementrian
atau
Departemen
Pangan,
Pertanian, dan Pembangunan Komunitas Perdesaan (PPP-Komdes), bukan sebuah
komite
seperti
Komite
Revitalisasi

Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan yang kini ada dalam Kabinet Indonesia
Bersatu,
yang
dengannya
subsektor
tanaman, ternak, dan ikan air tawar direorganisasi sedemikian rupa sehingga
kebijakan
pembangunan
pertanian

mempertimbangkan kemenyeluruhan ekosistem daratan (termasuk lahan pasang
surut),
terutama
di
wilayah
perdesaan.
Pada tingkat implementasi, pemerintah disarankan untuk mendorong pembangunan
model
kemitraan
antara
pemerintah
(sebagai pengambil kebijakan), lembaga penelitian dan universitas (sebagai
kontributor
litbang),
wiraswastawan
atau
bank (sebagai pemilik modal), dan petani (sebagai praktisi pertanian). Kata-kata
kunci:
Tekno-ekofarming,
Kementrian

atau Departemen Pangan, Pertanian, dan Pengembangan Komunitas Perdesaan,
steering
PENDAHULUAN
Dalam
artikel yang lain (”Paradigma Pembangunan Pertanian Indonesia Masa Depan: Visi
dan
Misi”),
penulis
telah mengusulkan visi pembangunan pertanian berupa sistem pertanian
berkelanjutan
berbasis
ilmu
pengetahuan
dan
sumber daya sebagai penggerak utama ekonomi nasional yang berdaya saing tinggi
dalam tataran ekonomi global.
Misi
pembangunan pertanian tersebut adalah sebagai berikut: mencukupi kebutuhan
pangan
dan

gizi
dalam
negeri,
memperbaiki kualitas hidup bangsa Indonesia, khususnya masyarakat pertanian,
memberikan
kontribusi
yang
tinggi
bagi
pertumbuhan ekonomi nasional, dan menunjukkan peran yang nyata dalam
perbaikan kualitas lingkungan.
Dengan
visi
dan misi tersebut, paradigma pembangunan pertanian Indonesia masa depan
adalah
pembangunan
pertanian
berkelanjutan yang berbudaya industri, berdaya saing global, dan berpendekatan
ekosistem.
Tulisan

ini
bermaksud
menguraikan bagaimana visi dan misi pembangunan pertanian masa depan tersebut
dapat
dicapai
dengan
menggunakan ‘pendekatan logika intuitif untuk skenario' (an intuitive logics approach
to scenarios).
Dengan
pendekatan ini, setelah keputusan strategis berupa penetapan visi dan misi
pembangunan
pertanian
berikut
paradigma

barunya ditetapkan, faktor-faktor keputusan kunci (key decision factors) dan faktor
lingkungan
strategisnya
yang
berupa
kekuatan luar atau pengendali (environmental forces atau external forces/drivers)
dicermati.
Kemudian,
logika
skenario
dan skenario pencapaian visi dan misi pembangunan pertanian dengan paradigma
baru
tersebut
dirumuskan.
Selanjutnya, berbagai strategi yang sesuai dengan rumusan skenario itu ditetapkan.
Akhirmya,
implikasi-implikasi
yang
mungkin timbul difikirkan akibat adanya berbagai strategi yang digunakan.
Pencermatan
Lingkungan
Strategis
Berdasarkan pendekatan di atas, faktor-faktor kebijakan kunci yang perlu dicermati
mencakup
lingkungan
Indonesia
yang beriklim tropik, lahan pengembangan yang masih luas, sumber daya manusia
yang
banyak,
IPTEK
yang
terus
dikembangkan, serta kebutuhan pangan nasional yang besar. Di antara faktor-faktor
kunci
ini,
perlu
dibedakan
faktorfaktor
yang tergolong mengandung ketidakpastian (uncertainties) dan faktor-faktor yang
dapat
ditentukan
(predetermineds). Iklim yang sulit diperkirakan, kondisi politik dan ekonomi nasional
yang
masih
kurang
menguntungkan,
dan permintaan akan produk pertanian yang dapat berubah dan penuh persaingan
tergolong
ke
dalam
faktor-faktor
yang
sarat dengan ketidakpastian. Faktor-faktor yang dapat ditentukan mencakup kualitas
dan
kuantitas
sumber
daya
manusia dan alam, taraf kemajuan IPTEK dan sistem informasi yang dimiliki, budaya
makan
konsumen,
dan
produktivitas tanaman pertanian. Pencermatan lingkungan strategis yang
menempatkan
issues
perdagangan
global,
lingkungan, kemajuan IPTEK, sistem informasi, kebutuhan pangan dunia, dan
otonomi
daerah
sebagai
faktor-faktor
pengendali memberikan gambaran tentang besaran peluang (opportunity) dan
ancaman
(threat)
bagi
pembangunan
pertanian yang berwawasan agribisnis, sebagaimana yang tercermin dari
paradigmanya.
Selanjutnya,
dengan
mempertimbangkan kekuatan (strength) dan kelemahan (weakness) yang dimiliki
secara
internal
oleh
subsektor
ini,
kebijakan
dan
program
pembangunannya
diimplementasikan
dengan
mempertimbangkan berbagai skenario danlogikanya untuk mencapai visi
pembangunan pertanian yang diusulkan tersebut. Hasil keempat komponen analisis
SWOT untuk mengembangkan pertanian dari sudut pandang agribisnis adalah
sebagai
berikut.
Peluang
Peluang
yang kita miliki untuk membangun pertanian dengan paradigma baru adalah sebagai
berikut:
(a)
munculnya
kawasan
Asia Pasifik sebagai kekuatan ekonomi baru yang potensial bagi pemasaran produk

pertanian
Indonesia;
(b)
adanya
penurunan peranan beberapa negara produsen pertanian pesaing Indonesia yang
berarti
meningkatkan
kapasitas
kompetitif Indonesia; (c) adanya kemungkinan penurunan proteksi baik yang
dilakukan
oleh
negara-negara
maju
maupun oleh negara-negara berkembang sehingga akan memperluas pasar ekspor
komoditi
pertanian
Indonesia;
(d)
masih adanya kesempatan untuk meningkatkan produksi melalui pemanfaatan
IPTEK,
perluasan
areal
tanam,
dan
peningkatan indeks pertanaman; (e) tersedianya plasma nutfah untuk sumber
perbaikan
varietas,
baik
untuk
lahan
subur
maupun lahan marginal; (f) iklim Indonesia yang tropis memberikan kesempatan
untuk
mengusahakan
berbagai
tanaman sepanjang tahun; (f) ekosistem yang beragam antardaerah dengan
keunggulan
komoditi
setempatnya
dapat
menghasilkan berbagai produk untuk perdagangan antardaerah; (g) penekanan
kehilangan
hasil
dan
peningkatan
mutunya melalui perbaikan teknologi pascapanen dan pendekatan pemuliaan
tanaman;
(h)
adanya
kemauan
politik
pemerintah untuk memperbaiki kinerja pertanian; (i) penggunaan produk pertanian
yang
semakin
beragam,
yakni
untuk
pangan manusia dan bahan baku industri dan pakan ternak. Ancaman Tergolong
sebagai
ancaman
bagi
pengembangan pertanian, khususnya agribisnis, adalah sebagai berikut: (a)
persaingan
yang
semakin
meningkat
karena
jumlah produsen yang semakin meningkat; (b) harga produk pertanian yang relatif
stabil
dan
tidak
terlalu
tinggi
akibat
banyaknya produsen; (c) pengurangan permintaan produk akibat perubahan pola
konsumsi;
(d)
tuntutan
penggunaan
teknologi yang bergeser dari pihak produsen ke pihak konsumen, misalnya
konsumen
menginginkan
produk
pertanian
dengan spesifikasi tertentu (buah yang asam, berwarna jingga, bulat, dan
sebagainya);
(e)
peningkatan
kesadaran
konsumen akan lingkungan dan kesehatan sehingga menimbulkan tuntutan produk
pertanian
(pangan)
yang
bebas
atau
tidak tercemari pestisida; (f) timbulnya hambatan teknis terselubung yang berupa
kecenderungan
negara
maju
pengimpor pangan menggunakan perjanjian Technical Barrier to Trade (TBT) dan
Agreement
on
Sanitary
and
Phytosanitary Measures (SPS) dalam perdagangan (disguised restriction to trade)
dan
eco-labelling
bagi
ekspor
produk
pertanian Indonesia; (g) informasi pasar yang cepat menjadi kendala bagi
pengusaha
untuk
mengantisipasinya
dengan
cara yang memadai; (h) iklim yang relatif sulit diramalkan sehingga menyebabkan

ketidakpastian
produksi
pertanian;
(i)
keterbatasan lahan pada masa-masa yang akan datang ditinjau dari segi luasan dan
kesesuaiannya
untuk
produksi
pertanian; (j) kecenderungan upah pertanian yang semakin meningkat akibat produk
manufaktur
yang
mahal;
(k)
penghapusan subsidi yang dapat meningkatkan biaya produksi akibat meningkatnya
harga
sarana
produksi.
Kekuatan
Kekuatan Indonesia sehubungan dengan pembangunan pertaniannya adalah seperti
di
bawah
ini:
(a)
kegiatan
pertanian dapat meningkatkan pendapatan petani dan menyerap tenaga kerja; (b)
ekspor
produk
pertanian
dapat
meningkatkan perolehan devisa negara; (c) lapangan kerja baru dapat ditimbulkan
oleh
kegiatan
agroindustri;
(d)
agroekologi Indonesia lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan negara lain
sebagai
pemasok
produk
pertanian;
(e) lahan pertanian tersedia dan dapat dikembangkan untuk pertanian dalam jumlah
yang
luas;
(f)
penduduk
Indonesia
berjumlah banyak sehingga tenaga kerja untuk agribisnis pun akan cukup tersedia
selain
sebagai
pangsa
pasar
produk
pertanian/agroindustri; (g) sektor pertanian terbukti lebih tangguh jika dibandingkan
dengan
sektor
lainnya
dalam
situasi
krisis ekonomi. Kelemahan Pembentukan WTO menuntut setiap negara anggotanya
untuk
membuka
pasarnya
bagi
produk negara-negara lainnya. Akibatnya, dalam era perdagangan global akan
terjadi
persaingan
yang
ketat
antarprodusen, termasuk penghasil komoditi pertanian. Dalam era perdagangan
global
tersebut
Indonesia
memiliki
kelemahan sebagai berikut: (a) daya saing ekonomi yang rendah; (b) adanya
kesenjangan
mutu
produk
nasional
terhadap standar mutu internasional; (c) tidak adanya standar mutu bagi pangan
impor;
(d)
adanya
kesenjangan
Standar
Nasional Indonesia (SNI) dengan standar mutu internasional; (e) kurangnya bahan
baku
(sarana
produksi)
yang
cukup
dan kontinyu; (f) lemahnya pemanfaatan teknologi yang tersedia; (g) kurangnya
tenaga
profesional.
Indonesia
dengan
peluang dan kekuatan yang dimilikinya diharapkan dapat mengatasi ancaman dan
kelemahan
yang
menghantuinya
untuk membangun pertanian. Optimisme ini cukup beralasan mengingat adanya
faktor-faktor
pendorong
sebagaimana
yang
telah
dikemukakan.
Logika Skenario dan Skenario Pencapaian Visi Pembangunan Pertanian Dengan
mempertimbangkan
kecenderungan perkembangan dalam pertanian tropika yang mengarah pada dua
sistem
pertanian
yang
tidak

berkelanjutan, yakni yang bermasukan eksternal tinggi (HEIA, high-external-input
agriculture)
atau,
sebaliknya,
yang
bermasukan eksternal rendah (LEIA, low-external-input agriculture), visi
pembangunan
pertanian
Indonesia
masa
depan
dapat dicapai dengan melaksanakan empat alternatif skenario sebagai berikut:
ecofarming,
eco-ecofarming,
hitechfarming, dan ecofarming bersama technofarming (selanjutnya disebut ecotechnofarming,
yakni
ecologically
soundtechnofarming).
Di antara keempat skenario itu, eco-technofarming dianggap sebagai skenario yang
tepat
dan
bijaksana,
yang logika skenarionya adalah sebagai berikut: "sistem pertanian berkelanjutan
dengan
pendekatan
eco-technofarming
yang efisien dan saling melengkapi akan menjadi sektor yang andal bagi kecukupan
pangan
dan
gizi
serta
perbaikan
kualitas hidup masyarakat, selain berkontribusi bagi perolehan produk domestik
bruto
(PDB)
sektor
pertanian
yang
tinggi
sehingga berperan bagi pertumbuhan ekonomi nasional dan perbaikan kualitas
lingkungan".
Karakteristik
dari
keempat
alternatif skenario tersebut dibedakan menurut taraf masukan teknologi versus
keamanan
lingkungan
dan
orientasi
agribisnis yang ingin dicapainya, yakni sebagai berikut. Skenario-1: Ecofarming
sebagai
Skenario
yang
Pesimistik
Skenario-1 mengusahakan pertanian multikomoditi (tanaman dan hewan) yang
saling
komplementer
dan
sinergik,
dan
karenanya menghasilkan multiproduk, serta dapat dipasarkan meskipun hanya di
dalam
negeri.
Dengan
pendekatan
ecofarming, pelaku agribisnis diharapkan dapat mempertahankan keamanan pangan
dan
gizinya.
Kebutuhan
bidang
lainnya dapat dipenuhi pula dalam taraf yang minimal. Untuk mengatasi situasi
rawan
pangan
dalam
krisis
ekonomi
yang
terjadi saat ini, skenario ini merupakan pilihan terjelek yang memberikan harapan,
oleh
karena
itu,
disebut
sebagai
skenario yang pesimistik. Lebih-lebih harga produk pertanian tertentu acap kali
tinggi,
padahal,
tidak
ada
pengeluaran
usaha tani untuk pembelian agrokimia. Skenario ini dapat diambil dalam keadaan
yang
tidak
mungkin
melaksanakan
techno-farming karena, misalnya, tidak adanya masukan eksternal dan teknologi
pertanian
konvensional
lainnya.
Sistem
ini memerlukan waktu yang lama untuk mencapai ekosistem yang stabil sehingga
lama
pula
mencapai
keuntungan
yang
stabil. Pendekatan ecofarming lebih mengutamakan standar keamanan lingkungan,
tetapi
tidak
meremehkan
standar
mutu produk. Pemilihan skenario ini menghadapi resiko pengadaan bahan pangan
yang
lambat
dan
jumlahnya
yang

kurang pada waktu yang relatif singkat. Pendekatan ini kurang baik untuk jangka
pendek,
tetapi
cukup
baik
dalam
jangka
panjang. Namun, dengan pendekatan skala agribisnis yang lebih luas, lebih-lebih
jika
produk
organiknya
dapat
diekspor,
jika skenario ini akan berlaku, akan diperoleh hasil dan keuntungan yang banyak
untuk
memenuhi
keperluan
pangan,
gizi, dan ekonomi konsumen/penduduk. Skenario-2: Eco-ecofarming (Economically
Viable
Ecofarming)
sebagai
Skenario yang Utopis Skenario-2 mengusahakan pertanian multi-komoditi
sebagaimana
dalam
Skenario-1,
tetapi
dengan pemilihan komoditi yang unggul di pasar baik di dalam maupun di luar
negeri.
Pemilihan
skenario
ini
bersifat
utopis karena varietas tanaman penghasil tinggi umumnya memerlukan masukan
eksternal
yang
tinggi
pula.
Pendekatan
ini tampaknya tidak mungkin dalam jangka pendek, bahkan memerlukan waktu yang
lama
untuk
mendapatkan
varietas
tanaman dan spesies hewan unggulan yang akan dibudidayakan. Skenario-3:
Hitechfarming
sebagai
Skenario
yang
Optimistik Pendekatan hitechfarming dalam Skenario-3 akan menghasilkan produk
dalam
kuantitas,
kualitas,
dan
kontinuitas yang diinginkan konsumen meskipun harganya harus mahal, dan dengan
dampak
teknologi
bagi
kerusakan
lingkungan sangat minimal. Bagi pengusaha, skenario ini akan mendatangkan
stabilitas
keuntungan
dengan
daur
produksi yang cepat serta sangat efisien. Pendekatan ini memungkinkan
pengungkapan
potensi
hasil
komoditi
yang
maksimal dengan pendekatan bioteknologi, demikian juga dengan keamanan
lingkungan,
sehingga
disebut
skenario
optimistik. Skenario-4: Eco-technofarming (Ecologically Sound-Technofarming)
sebagai
Skenario
yang
Bijaksana
Technofarming mengusahakan komoditi yang mengutamakan monokultur dengan
teknologi
konvensional
(produk
revolusi hijau) yang jika memungkinkan juga didukung oleh bioteknologi. Usaha tani
ini
menjamin
produktivitas
yang
tinggi dalam waktu relatif singkat, tetapi padat modal. Kelemahannya berupa
kerusakan
lingkungan
yang
sulit
dihindari
akibat penggunaan agrokimia yang tinggi. Sistem pertanian yang secara ekonomis
efisien
ini,
secara
ekologis
tidak
berkelanjutan akibat daur ulang sumber daya terbatas atau tidak ada sama sekali.
Technofarming
dipandang
rawan
dalam jangka panjang. Oleh karena itu, pemanfaatannya dalam Skenario-4 perlu
diimbangi
dengan
aplikasi
teknologi
yang ramah lingkungan, antara lain, dengan mendaur ulang limbahnya untuk
dijadikan
masukan
usaha
tani
kembali.

Dalam skenario eco-technofarming ini, di tingkat usaha tani individual (farm level)
sistem
pertanian
monokultur
bisa
jadi
berpendekatan technofarming. Namun, dalam tingkat wilayah (region level), usaha
tani-usaha
tani
monokultur
tersebut
harus berada dalam satu pengelolaan yang memungkinkan adanya pendaurulangan
produk
sampingnya
berupa
limbah
antarusaha tani. Jadi, dalam skenario ini, pengelolaan secara terpadu atas berbagai
sistem
usaha
tani
konvensional
dapat memperbaiki tingkat keramahan usaha tani itu secara keseluruhan terhadap
lingkungan,
tetapi
dengan
produktivitas yang tinggi akibat pendekatan techno-farming oleh unit-unit usaha
taninya
masing-masing.
Skenario-4
juga merujuk pada sistem pertanian ramah lingkungan (ecofarming) yang meskipun
memanfaatkan
masukan
eksternal,
penggunaannya berlangsung dalam jumlah yang aman, seperti yang terjadi dalam
sistem
LEISA.
Jadi,
skenario
ecotechnofarming
melaksanakan pendekatan techno-farming dan eco-farming secara simultan, yang
akan
mendatangkan
manfaat berupa keuntungan finansial yang tinggi, kondisi sosial yang berterima, dan
keamanan
lingkungan
yang
relatif
terkendali. Eco-technofarming diharapkan akan melahirkan berbagai model
agroekosistem
yang
cukup
ramah
lingkungan. Skenario ke-4 ini merupakan pendekatan yang memberikan jaminan
bagi
penyediaan
pangan
dalam
negeri,
selain dapat menghasilkan devisa yang kontribusinya nyata bagi ketangguhan
ekonomi
nasional.
Skenario
ini
juga
sangat memperhatikan standar mutu sehingga merupakan skenario bijaksana yang
diusulkan
untuk
mencapai
visi
dan
misi pertanian masa depan. Strategi DAN IMPLEMENTASI Pembangunan Pertanian
Masa
Depan
Berdasarkan
skenario yang bijaksana berupa aplikasi eco-technofarming, strategi pembangunan
pertanian
masa
depan
dirumuskan
secara makro dan mikro. Implikasi dari kedua strategi itu selanjutnya harus
ditindaklanjuti
pula.
Strategi
Pembangunan
Pertanian Masa Depan Secara makro strategi tersebut meliputi hal-hal sebagai
berikut:
(1)
penetapan
kembali
paradigma pembangunan ekonomi menjadi berbasis sumber daya domestik, (2)
pengendalian
sistem
moneter,
(3)
regulasi di bidang investasi dan pemberian intensif bagi produsen, (4) intervensi
dalam
pengintegrasian
sektor
pertanian
dengan perekonomian global, (5) penciptaan iklim usaha yang kondusif bagi
kegiatan
agribisnis,
termasuk
peningkatan
keberpihakan lembaga keuangan kepada petani; (6) restrukturisasi Departemen
Pertanian
dengan
"mengumpulkan"

kembali subsektor perikanan darat bersama dengan subsektor tanaman pangan,
subsektor
tanaman
hortikultura,
subsektor tanaman perkebunan, dan subsektor peternakan disertai dengan
perhatian
pada
SDM
petaninya,
(7)
peninjauan dan penetapan kembali tata ruang peruntukan lahan untuk pertanian
dalam
arti
luas,
(8)
restrukturisasi
kelembagaan dan manajemen penelitian dan pengembangan sektor pertanian, (9)
penerapan
standar
mutu
produk
pertanian dan standar keamanan lingkungan, dan (10) penerapan otonomi daerah
yang
mendorong
pada
pemeliharaan
atau perbaikan sumber daya alam.. Diduga bahwa agribisnis yang akan mampu
bersaing
pada
masa
yang
akan
datang adalah yang memiliki kriteria berikut: (1) melaksanakan prinsip efisiensi dan
produktivitas
tinggi,
(2)
menghasilkan
nilai tambah yang tinggi per satuan luas, (3) menggunakan teknologi yang sesuai
dan
ramah
terhadap
lingkungan,
dan
(4) mempunyai jaringan kelembagaan yang professional tanpa KKN. Oleh karena
itu,
secara
mikro
strategi
implementasi
pembangunan pertanian masa depan adalah sebagai berikut: (1) mengembangkan
agribisnis
berskala
komersial
yang
memanfaatkan potensi lahan dengan sebesar-besarnya, (2) meningkatkan produksi
dan
produktivitas
pertanian,
(3)
meningkatkan mutu dan kontinuitas produk pertanian, (4) meningkatkan efisiensi
produksi
dan
pemasaran
produk
pertanian, (5) meningkatkan keterkaitan produksi pertanian dengan kegiatan
agroindustrinya,
dan
(6)
meningkatkan
kemampuan bersaing perusahaan agribisnis dalam memasarkan produknya melalui
penguasaan
informasi
pasar,
pengembangan produk unggulan, perluasan negara tujuan ekspor produk, dan
peningkatan
mutu
produk
dan
lingkungannya. Implikasi Strategi Pembangunan Pertanian Masa Depan Implikasi
dari
strategi
pendekatan
makro
adalah perlunya tindakan-tindakan yang sesuai dengan paradigma baru
pembangunan
pertanian,
yaitu
(1)
reformasi
administrasi publik; (2) peninjauan kembali berbagai peraturan dan perundangan
yang
tidak
sesuai
di
semua
jenjang
dan
menggantinya dengan berbagai produk hukum baru yang lebih memadai; (3)
peninjauan
kembali
tata
ruang
secara
keseluruhan yang ditindaklanjuti dengan penetapan dan pengendalian tata ruang
baru
bagi
yang
tidak
sesuai;
(4)
penetapan kebijakan pangan strategis sehubungan pencapaian ketahanan pangan
nasional
berbasis
individu;
(5)
pembangunan kurikulum pendidikan pertanian yang sesuai dengan kebutuhan
teknologi
pertanian
yang
diinginkan;
(6)

pengintegrasian litbang pendidikan tinggi dan lembaga lainnya (departemen dan
nondepartemen)
dengan
sektor
agribisnis praktis yang didukung oleh kebijakan yang memadai dari pemerintah; (7)
penjaminan
akses
petani
kepada
sumber pembiayaan usaha tani baik kepada lembaga perbankan maupun melalui
kerja
sama
dengan
pengusaha
swasta. Implikasi dari strategi pendekatan mikro adalah perlunya tindakan-tindakan
sebagai
berikut:
(1)
penginventarisasian kembali kualifikasi sumber daya alam dan manusia serta taraf
penguasaan
teknologi
pertanian
dan
agroindustri; (2) peningkatan peran penelitian dan pengembangan di sektor
pertanian
dalam
arti
luas;
(3)
pengadaan
sarana dan prasarana produksi pertanian yang cukup dan serasi dengan kebutuhan;
(4)
pembangunan
dan
pengendalian berbagai model agroekosistem (terpadu) yang berkelanjutan; (5)
pengkoordinasian
berbagai
lembaga
yang terkait dalam sistem produksi pertanian; (6) pengembangan sistem informasi
pertanian
dalam
arti
luas;
(7)
pemasyarakatan diversifikasi pangan dalam rangka memantapkan ketahanan
pangan
yang
berbasis
individu.
SIMPULAN Pembangunan sistem pertanian berpendekatan eco-technofarming yang
dilaksanakan
secara
komplementer dan sinergis (antara ecofarming dan technofarming) dinilai sebagai
skenario
bijaksana
untuk
mencapai
visi pembangunan pertanian berupa sistem pertanian berkelanjutan berbasis ilmu
pengetahuan
dan
sumber
daya
sebagai penggerak utama ekonomi nasional yang berdaya saing tinggi dalam
tataran
ekonomi
global.
Dengan
visi
pembangunan pertanian itu, pemerintah dituntut untuk menetapkan paradigma
pembangunan
ekonomi
yang
berbasis
pada kekuatan sendiri, yakni sumber daya manusia dan alam domestik. Dalam
rangka
kelanjutan
reformasi
pertanian,
diperlukan reorganisasi lembaga tinggi negara untuk menghasilkan kebijakan
pangan,
pertanian,
dan
pembangunan
manusia perdesaan yang dikaitkan dengan program transmigrasi. Lembaga tinggi
negara
yang
melaksanakan
fungsi
steering ini disarankan berbentuk kementrian atau departemen dengan sebutan
Kementrian
atau
Departemen
Pangan,
Pertanian, dan Pengembangan Komunitas Perdesaan (PPP-Komdes), bukan
sebuah
komite
seperti
Komite
Revitalisasi
Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan seperti yang kini ada. Dalam departemen
yang
diusulkan
itu
subsektor
tanaman,
peternakan, dan perikanan darat digabungkan kembali agar kebijakan
pembangunan
pertanian
selalu

mempertimbangkan keutuhan ekosistem darat, termasuk ekosistem lahan pasangsurut,
terutama
di
wilayah
perdesaan.
Pembangunan pertanian masa depan sebagai subsistem agribisnis hendaknya
didukung
oleh
subsistem
masukan
dan
berbagai lembaga yang terkait di stratum hulunya, sedangkan di stratum hilirnya
ditopang
oleh
subsistem
perdagangan
hasil, agroindustri, dan perdagangan produk agroindustri. Oleh karena itu, diperlukan
adanya
berbagai
model
pembinaan
agribisnis swasta berbasis penelitian dan pengembangan yang didukung oleh
pemerintah,
misalnya,
dalam
bentuk
kemitraan antara pemerintah (sebagai pemberi dukungan kebijakan), lembaga
penelitian
dan
universitas
(sebagai
sumber daya penelitian dan pengembangan), dan pengusaha atau perbankan
(sebagai
pemodal)
yang
melibatkan
petani
(sebagai
pelaksana
di
tingkat
operasional
usaha
taninya).
DAFTAR PUSTAKA Alif, S. 1990. Tantangan pembangunan pertanian dalam
menghadapi
globalisasi.
Pangan
6
(Vol.
II): 42 - 48. Badan Agribisnis, Departemen Pertanian. 1998. Rencana Strategis
(Program
dan
Kegiatan
Badan
Agribisnis
TA 1999/2000 - 2001/2002). Jakarta. Departemen Pertanian. 2000. Kebijakan dan
Program
Utama
Pembangunan
Pertanian. Jakarta. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura,
Departemen
Pertanian.
1999.
Kebijaksanaan
Pembangunan Subsektor Tanaman Pangan dan Hortikultura. Fahey, L. and R. M.
Randall.
1998.
Learning
from
The
Future Competitive Foresight Scenarios. John Wiley & Sons, Inc. New York.
Hartono,
C.F.G.S.
1994.
Aspek
globalisasi
perdagangan internasional dan regional yang berkaitan dan berpengaruh pada
masalah
pangan
dan
pertanian
di
Indonesia. Pangan 20 (Vol. V): 41 - 49. Imamura, N. 1999. Agricultural policy reform,
new
legislation
to
change
the
face
of Japanese farming. Look Japan 521 (Vol. 45): 4-9. Menteri Pertanian RI. 2000.
Memposisikan
Pertanian
sebagai
Poros Penggerak Perekonomian Nasional: Penajaman Kebijakan dan Program
Pembangunan
2000-2004.
Departemen
Pertanian. Jakarta. Mugnisjah, W.Q. 1999. Paradigma baru pembangunan pertanian
Indonesia.
Naskah
bahan
diskusi
di Kantor Menteri Negara Pangan dan Hortikultura. Jakarta. Mugnisjah, W.Q. dan
Sudradjat.
2000.
Penilaian
kritis
terhadap kebijakan pembangunan tanaman pangan dan hortikultura. Makalah dalam
Diskusi
Pakar
Arah
Pembangunan
Pangan dan Hortikultura. Bandung. 8 Maret 2000. Mugnisjah, W.Q., Suwarto, dan
A.S.
Solihin.
2000.
Agribisnis
Terpadu Bersistem LEISA di Lahan Basah: Model Hipotetik. Bul. Agron. XXVII (2):

49-61.
Prakosa,
M.
(Menteri
Pertanian RI). 1999. Kebijakan pembangunan pertanian sebagai poros penggerak
pembangunan
nasional
pada
era
transparansi global. Makalah pada “Simposium Nasional Inovasi Pertanian dan
Pameran
Aneka
Produk
Unggulan
1999”. Surabaya, 24 November 1999. Ringland, G. 1998. Scenario Planning
Managing
for
The
Future.
John
Wiley & Sons. Chichester. Saefuddin, A.M. 1998. Pembangunan pangan dan
pertanian.
Seminar
dan
Lokakarya
Nasional Perguruan Tinggi Pertanian Menjawab Tantangan Krisis Pangan Nasional.
Bogor,
13-14
Juli
1998.
Saragih,
B.
1996. Pertanian Abad 21 : Agribisnis, cara baru melihat pertanian. Pangan 27 (Vol.
VII):
8
16.
Soekartawi.
1996.
Strategi ganda dalam pengembangan agribisnis di Indonesia. Pangan 27 (Vol. VII):
50
58.
The
World
Bank.
1998.
Indonesia
in
Crisis,
A
Macroeconomic
Update.
Washington,
D.C.
Van der Heijden, K. 1996. Scenarios, The Art of Strategic Conversation. John Wiley
&
Sons.
Chichester.
http://kecubung6.com - ::: kecubung6.com :: : :: Prof. DR. Ir. Wahju Qamara
MugnisPjaohw, eMre.Adg bry. :M: :a :m: ©b ocopyleft 2006 ::: Generated: 24 May,
2011, 16:16aaa
pada hikikatnya sistem pertanian berkelanjutan adalah kembali kepada alam, yaitu sistem
pertanian yang tidak merusak, tidak mengubah, serasi, selaras dan seimbang dengan
lingkungan atau pertanian yang patuh dan tunduk pada kaidah-kaidah alamiah. Kata
“berkelanjutan” sekarang ini digunakkan secara meluas dalam lingkup program
pembangunan, keberlanjutan dapat diartikan sebagai ”menjaga agar suatu upaya terus
berlangsung”, ”kemampuan untuk bertahan dan menjaga agar tidak merosot”. Dalam
konteks pertanian, keberlanjutan adalah pengelolaan sumberdaya yang berhasil untuk usaha
pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus mempertahankan atau
meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumber daya alam.
Upaya manusia yang mengingkari kaidah-kaidah ekonomi dalam jangka panjang biasanya
hanya akan berakhir dengan kehancuran lingkungan, sekitar pertngahan tahun tujupuluhan
duni diguncng dua krisis yaitu krisis energi dan krisis lingkunganm saat itu permintaan
pasokan akan minyak bumi tinggi isedangkan pasokan cadangan minyak bumi terbatas, dan
produksi rata-rata dilkukkan di negra timur tengah, sehingga mengakibatkan inflasi yang
cukup tinggi, bagi negara-negara industri dan devisa bagi pemproduksi minyak.
Pada saat yang sama dunia dilanda krisis lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran berat,
terutama hasil pembakaran petroleum dari kendaraan bermotor, mesin-mesin industri berat,
dan sebgainya. Selain itu didunia pertanian terdapat booming pupuk kimia, obat-obatan
pemberantas hama dan penyakit serta mesin-mesin pertanian berbahan bakar solar. Ternyata
masuknya energi dari luar ekosistem memberikan dampak buruk baik anasir-anasir
lingkungan dan membahayakan atau mengancam manusia.
1. B. Pembahasan
Di negara-negar barat, setelah revolusi industri, industri pertanian memnag didominasi oleh
teknologi modern, dengan menggunakkan pupuk kimia, pestisida, dan bahan kimia lainnya.

Dimana dahulu arus pemikiran utamanya adalah bahwa dengan penggunaan alat modern
maka akan meningkatkan produktivitas pertanian secara signifikan sehingga bisa
meningkatkan keuntungan agribisnis yang cukup besar, seingga melupakan dampak
eksternalitas negatif yang dtimbukannya. Sektor ini dipascu untuk menghasilkan bahan baku
bagi agroindustri dan lahan kebutuhan pangan.
Namun demikian terdapat kesadaran baru pada tahunn1920-an untuk mempertimbangkan
aspek biologis dan ekologis dalam pengelolaan industri-indistri pertanian. Amerika serikat
memulai di tahun 1930-an dengan memunculkan konsep eco agriculture (pertanian
lingkungan) sebagai solusi atas kemuduran produktivitas lahan dan bencana erosi. Pada tahun
1940an, mulai terdapat kesinambungan anatara teknologi kimia dan bilogi, melalui konsep
pengendalian hayati hama dan penyakit (biological control for pest and diseases)
Setelah perang dunia II penggunaan bahan kimia dan rekayasa teknologi meningkat lagi dan
mencapai puncaknya pada tahun 1970-an., dimana pada tahun yang sama terjadi krisis energi.
Semua negara berlomba-lomba memacu produktivitas industri pertanian untuk memenuhi
bahan baku agroindustri. Semangat berkompetisi melahirkan teknologi-teknologi baru
didunia pertanian seperti rekayasa genetika, kultur jaringan, dan teknologi canggih pertanian.
Dinegara-negara selatan seperti Indonesia, dicanangkan program intensiifikasi usaha tani,
khususnya padi sebagai makanan pokok, dengan mendorong pemakaina benih varietas
unggul (high variety vield), pupuk kimia dan obat-obatan pemeberantas hama dan penyakit.
Kebijakkan pemerintah saat itumemang secara jelas merekomondasaikan penggunaan energi
luar yang dikenal dengan paket Panca Usaha Tani, yang salah satunya menganjurkan
penggunaan pupuk kimia dan pestisida.
Terminologi pertanian berkelanjutan (susitainable agriculture) sebagai padanan istilah
agroekosistem pertama kali dipakai sekitar awal tahun 1980-an oleh pakar pertanian FAO
(Food Agriculture Organization) Argoekosistem sendiri mengacu pada modifikasi ekosistem
alamiah dengan sentuhan campurtangan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, serat,
dan kayu, untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan manusia. Conway (1984) juga
menggunakan istilah pertanian berkelanjutan dengan agro ekosistem yang berupaya
memadukan antara produktivitas (productivity), stabilitas (Stability), Pemerataan (equlity),
jadi semakin jelas bahwa konsep agroekosistem atau pertanian berkelanjutan adalah jawaban
kegamangan dampak green revolution anatara lain di tenggarai oleh semakin merosotnya
produktivitas pertanian (leaffing off).
Kegagalan pertanian modern memaksa pakar pertanian dan lingkungan berpikir keras dan
mencobamerumuskan kembali sistem pertanian ramah lingkungan atau back to nature. Jadi
sebenarnay sistem pertaninan berkelanjutan merupakan paradigma lama yang mulai
diaktualisasikan kembali menjelang masuk abad ke 21 ini. Hal ini merupakan fenomena
keteraturan siklus alamiah sesuai dengan pergantian abad.
Saat ini, negara-negara barat dilanda gelombang budaya teknologi tinggi (information
technology) yang disertai pesatnya penggunaan teknologi super canggih dalam bidang
telekomunikasi, misalnya penemuan internet, telepon seluler, dan lain sebagainya. Sementara,
negara-negara selatan masih berada dalam masa transisi dari gelombang budaya pertanian ke
gelombang budaya industri. Teknologi yang diadopsi oleh masyarakat manusia turut
menentukkan semangat, corak, sifat, struktur, serta proses ekonomi, sosial, dan budaya.
Ada dua peristiwa penting yang melahirkan paradigma baru sistem pertanian berkelanjutan,
peristiwa pertama adalah laporan Brundland dari komisi Dunia tentang Lingkungan dan
Pembangunan pada tahun 1987, yang mendefinisikan dan berupaya mempromosikan
paradigma pembangunan berkelanjutan. Peristiwa kedua adalah konfrensi dunia di Rio de

Jeneri Brazil pada tahun 1992, yang memuat pembahasan agenda 21 dengan
mempromosikan Sustainable Agriculture and Rural Development (SARD) yang membawa
pesan moral pada dunia bahwa ”without better enviromental stewardship, development will
be undermined” berbagai agenda penting termasuk pembahasan bidang yang termasuk dalam
pembahasan bidang pertanian dalam konferensi tersebut antara lain sebagai berikut :
1. Menjaga kontinuitas produksi dan keuntungan usaha dibidang pertanian dalam arti
yangluas (pertanian tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, peikanan, dan
peternakan) untuk jangka panjang, bagi kelangsungan kehidupan manusia.
2. Melakukan perawatan dan penigkatan SDA yang berbasis pertanian.
3. Memenimalkan damapak negatif aktivitas usaha pertanian yang dapat merugikan bagi
kesuburan lahan dan kesehatan manusia.
4. Mewujudkan keadilan sosoal antardesa dan antar sektor dengan pendekatan
pembangunan pertanian berkelanjutan.
Memasuki abad 21 ini, kesadaran akan ertabiab yang anah lingkungan semakin meningkat,
sejalan dengan tuntuan era globalisasi dan perdagangan bebas, ha ini terutama sekali
dirasakan di negara-negara maju, misalnya negara-negara Amerika dan negara-negara Eropa.
Smsentara itu negara-negara berkembang misalnya Indonesia, tampaknya masih terpuruk an
berkutat dengan dampak negatif green revolution. Lahan-lahan sawah di pulau Jawa sebagai
sentra produksi padi menunjukkan indikasi adanya oenuruanan produktifitas. Sawah-sawah
mengalami kejenuhan berat atau pelandaian produktivitas karena pemakain pupuk kimia dan
obat-obatan yang sudah melampaui ambang batas normal.
Konsep pertanian yang berkelanjutan terus berkembang, diperkaya dan dipertajam dengan
kajian pemikiran, model, metode, dan teori berbagai disiplin ilmu sehingga menjadi suatu
kajian ilmu terapan yang diabadikan bagi kemaslahatan umat manusia untuk generasi
sekarang dan mendatang. Pertanian berkelanjutan dengan pendekatan sistem dan besifat
holistik mempertautkan berbagai aspek atau gatrs dan disiplin ilmu yang sudah mapan antara
lain agronomi, ekologi, ekonomi, sosial, dan budaya.
Sistem pertanian berkelanjutan juga beisi suatu ajakan moral untuk berbuat kebajikkan pada
lingkungan sumber daya alam dengan memepertimbangkan tiga matra atau aspek sebagai
berikut
1. Kesadaran Lingkungan (Ecologically Sound), sistem budidaya pertanian tidak boleh
mnyimpang dari sistem ekologis yang ada. Keseimbanganadalah indikator adanya
harmonisasi dari sistem ekologis yang mekanismena dikendalikanoleh hukum alam.
2. Bernilai ekonomis (Economic Valueable), sistem budidaya pertanian harus mengacu
pada pertimbangan untung rugi, baik bagi diri sendiri dan orang lain, untuk jangka
pandek dan jangka panjang, serta bagi organisme dalam sistem ekologi maupun diluar
sistem ekologi.
3. Berwatak sosial atau kemasyarakatan (Socially Just), sistem pertanian harus selaras
dengan norma-noma sosial dan budaya yang dianut dan di junjung tinggi oleh
masyarakat disekitarnya sebagai contoh seorang petani akan mengusahakan
peternakan ayam diperkaangan milik sendiri. Mungkin secra ekonomis dan ekologis
menjanjikkan keuntungan yang layak, namun ditinjau dari aspek sosial dapat
memberikan aspek yang kurang baik misalnya, pencemaran udara karena bau kotoran
ayam.
Norma-norma sosial dan budaya harus diperhatikan, apalagi dalam sistem pertanian
berkelanjutan di Indonesia biasanya jarak antara perumahan penduduk dengan areal pertanian
sangat berdekatan. Didukung dengan tingginya nilai sosial pertimbangan utama sebelum
merencanakan suatu usaha pertanian dalam arti luas.

Lima kriteria untuk mengelola suatu sistem pertanian berkelanjutan
1. Kelayakan ekonomis (economic viability)
2. Bernuansa dan bersahabat dengan ekologi (accologically sound and friendly)
3. Diterima secara sosial (Social just)
4. Kepantasan secara budaya (Culturally approiate)
5. Pendekatan sistem holistik (sistem and hollisticc approach)
Sejak tahun 1980an kajian dan diskusi untuk merumuskan konsep pembangunan
berkelanjutan yang operasional dan diterima secara universal terus berlanjut. Pezzy (1992)
mencatat, 27 definisi konsep berkelanjutan dan pembangunan berkelanjutan, dan tettunya
masih ada banyak lagi yang luput dari catatan tersebut. Walau banyak variasi definisi
pembangunan berkelanjutan, termasuk pertanian berkelanjutan, yang diterima secara luas
ialah yang bertumpu pada tiga pilar: ekonomi, sosial, dan ekologi (Munasinahe, 1993).
Dengan perkataan lain, konsep pertanian berkelanjutan berorientasi pada tiga dimensi
keberlanjutan, yaitu: keberlanjutan usaha ekonomi(profit), keberlanjutan kehidupan sosial
manusia (people), dan keberlanjutan ekologi alam (planet).
Dimensi ekonomi berkaitan dengan konsep maksimisasi aliran pendapatan yang dapat
diperoleh dengan setidaknya mempertahankan asset produktif yang menjadi basis dalam
memperoleh pendapatan tersebut. Indicator utama dimensi ekonomi ini ialah tingat efisiensi
dan daya saing, besaran dan pertumbuhan nilai tambah dan stabilitas ekonomi. Dimensi
ekonomi menekankan aspek pemenuhan nebutuhan ekonomi manusia baik untuk generasi
sekarang ataupun mendatang.
Dimensi sosial adalah orientasi kerakyatan, berkaitan dengan kebutuhan akan kesejahteraan
sosial yang dicerminkan oleh kehidupan sosial yang harmonis (termasuk tercegahnya konflik
sosial), preservasi keragaman budaya dan modal sosio-kebudayaan, termasuk perlindungan
terhadap suku minoritas. Untuk itu, pengentasan kemiskinan, pemerataan kesempatan
berusaha dan pendapatan, partisipasi sosial politik dan stabilitas sosial budaya merupakan
indikator-indikator penting yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pembangunan.
Dimensi lingkungan alam menekankan kebutuhan akan stabilitas ekosistem alam yang
mencakup sistem kehidupan biologis dan materi alam. Termasuk dalam hal ini ialah
pterpeliharanya keragaman hayati dan daya lertur bilogis, sumber daya tanah, air dan
agroklimat, serta kesehatan dan kenyamanan lingkungan. Penekanan dilakukan pada
preservasi daya lentur dan dinamika ekosistem untuk beradaptasi terhadap perubahan bukan
pada konservasi sustu kondisi ideal statis yang mustahil dapat diwujudkan. Ketiga dimensi
tersebut saling mempengaruhi sehinnga ketiganya harus dipertimbangkan secara berimbang.
Sistem sosial yang stabil dan sehat serta sumberdaya alam dan lingkungan merupakan basis
untuk kegiatan ekonomi, sementara kesejahteraan ekonomi merupakan prasyarat untuk
terpeliharanya stabilitas sosial budaya maupun kelestarian sumber daya alam dan lingkungan
hisup. Sistem sosial yang tidak stabil atau sakit akan cenderung menimbulkan tindakan yang
merusak kelestarian sumber daya alam dan merusak kesehatan lingkungan, sementara
ancaman kelestarian sumber daya alam dan lingkungan dapat mendorong terjadinya
kekacauan dan penyakit sosial.
Dalam perspektif dinamis jangka panjang terdapat dua skenario ekstrim yang mungkin
terjadi. Pertama, skenario mala petaka yakni terjadinya spiral atau lingkaran resesi ekonomipenyakit sosial-degradasi alam. Resesi ekonomi yang dicirikan oleh pertumbuhan negative
perekonomian dalam waktu yang cukup lama berdampak pada semakin meluasnya revelensi
kemiskinan dan rawan pangan. Tekanan kemiskinan dan ancaman kelaparan mendorong

timbulnya berbagai penyakit sosial seperti pencurian dan bahkan kekacauan sosial,
selanjutnya mendorong masyarakat melakukan eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya
alam sehingga kapasitas produksi sumber daya alam mengalami degradasi dan kesehatan
lingkungan makin memburuk. Menurunnya kualitas sumber daya manusia, modal sosial dan
kapasitas produksi sumber daya alam menyebabkan resesi ekonomi berlanjut makin parah,
dan demikian seterusnya.
Perekonomian yang tumbuh cukup pesat memungkinkan investasi untuk peningkatan kualitas
sumber daya manusia serta perluasan dan perbaikan modal sosial. Terpenuhinya kebutuhan
hidup dan sosial mendorong terjadinya proses internalisasi kebutuhan akan kenyamanan
lingkungan hidup dan kelestarin sumber daya alam. Sumber daya manusia, sosial, alam dan
lingkungan yang semakin baik selanjutnya akan dapat mempertahankan pertumbuhan
ekonoimi berkalanjutan selanjutnya akan dapat mempertahankan pertumbuhan ekonomi
berkelanjutan sehingga tercipta kondisi ideal yakni zaman keemasan adil dan makmur.
Visi pembangunan (pertanian) berkelanjutan ialah terwujudnya kondisi ideal skenario kondisi
zaman keemasan, yang dalam bahasa konstitusi Indonesia disebut adil dan makmur, dan
mencegah terjadinya lingkaran malapetaka kemelaratan. Visi ideal tersebut diterima secara
universal sehingga pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) menjadi prinsip dasar
pembangunan pertanian secara global termasuk di Indonesia. Oleh karena itulah
pengembangan sistim pertanian menuju usaha tani berkelanjutan merupakan salah satu misi
utama pembangunan pertanian di Indonesia.
Perspektif pertanian berkelanjutan telah tersosialisasi secara global sebagai arah ideal
pembangunan pertanian. Pertanian berkelanjutan bahkan kini tidak lagi sekedar wacana
melainkan sudah menjadi gerakan global. Pertanian berkelanjutan telah menjadi dasar
penyusunan protocol aturan pelaksanaan (rules of conduct) atau standar prosedur operasi
“Praktek Pertanian yang Baik” (Good Agricultur Practices = GAP) sebagai sebuah gerakan
global maka praktek pertanian berkelanjutan menjadi misi bersama komunitas internasional,
negara, lembaga pembangunan, organisasi swadaya masyarakat dan lembaga konsumen
internasional turut mendorong dan mengawasi pelaksanaan prinsip pertanian berkelanjutan
tersebut. Kepatuhan produsen terhadap standar praktek pertanian berkelanjutan menjadi salah
satu atribut preferensi konsumen atas produk pertanian. Karena itu, setiap perusahaan
agribisnis haruslah senantiasa mematuhi prinsip Praktek Pertanian yang Baik (PPB) agar
dapat memperoleh akses pasar, khususnya di pasar internasional.
PPB yang pada dasarnya ialah operasionalisasi dari pertanian berkelanjutan, juga merupakan
salah satu sumber keunggulan bersaing. Usaha agribisnis yang terbukti memenuhi standar
PPB akan mampu mengalahkan perusahaan pesaing yang tidak memenuhi standar PPB. Agar
dapat dipercaya secara internasional maka perusahaan perusahaan haruslah memiliki
sertifikat yang diterbitkan oleh lembaga independent bereputasi internasional yang biasa
disebut “ecolabel”.
Selain oleh warga dan organisasi masyarakat internasional, gerakan pertanian berkelanjutan
juga sudah disepakati oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Promosi dan pengawasan
praktek pertanian berkelanjutan merupakan salah satu pertimbangan dalam perumusan
kebijakan perdagangan suatu negara. Dalam kaitan inilah kasus penolakan pengiriman ekspor
prodik pertanian semakin kerap terjadi pada beberapa tahun terakhir. Itu berarti, kepatuhan
terhadap standar pertanian berkelanjutan merupakan salah satu kunci bagi produk pertanian.
Gerakan pertanian berkelanjutan juga didorong sekuat kuatnya oleh lembaga lembaga donor
pembangunan internasional seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional dan Bank

Pembangunan Asia. Kepatuhan terhadap praktek pembangunan pertanian berkelanjutan
merupakan salah satu persyaratan bantuan oleh lembaga dan Negara donor.
Selain secara langsung dalam penentuan proyek pembangunan, tekanan untuk memenuhi
praktek pertanian berkelanjutan juga dilakukan melalui penentuan atau penetapan kebijakan
domestik suatu Negara, khususnya Negara Negara sedang berkembang yang membutuhkan
bantuan pembangunan dari Negara dan lembaga donor pembiayaan pembangunan
internasional. Pada gilirannya, kebijakan Negara penerima bantuan tersebut akan
mengarahkan dan memaksa pengusaha agribisnis mematuhi standar praktek pertanian
berkelanjutan.
Suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, pengusaha agribisnis harus mematuhi standar
praktek pertanian yang baik, merupakan tuntutan zaman yang harus diikuti. Petani dan
pemerintah harus bekerja sama untuk mewujudkannya.
Masalah dan tantangan yang dihadapi dalam sistem pertanian berkelanjutan yaitu:
1. Membangun pemerintah yang baik dan memposisikan pertanian sebagai sektor
andalan perekonomian nasional.
Cara penyelenggaraan pmerintah yang baik(good goverment) sangat diperlukan dalam
pelaksanaan pembangunan pertanian yaitu; bersih (clean), berkemampuan(competent),
memberikan hasil positif(credible), dan secara publik dapat dipertanggung
jawabkan(accountable). Pembangunan pertanian akan berhasil bila diawali dengan cara
penyenggaraan pemerintah yang baik, dimana pemerintah merupakan agen pembangunan
yang sangat menentukan keberhasilan pencapaian sasaran pembangunan. Tantangan yang
dihadapi adalah bagaimana membangun pemerintah yang bersih, berkemampuan, berhasil
dan dapat dipertanggung jawabkan.
1. Mewujudkan kemandirian pangan dalam tatanan perdagangan dunia yang bebas dan
tidak adil
Kecukupan pangan merupakan masalah hidup dan matinya suatu bangsa, sehingga
kemandirian pangan merupakan prioritas tujuan pembangunan pertanian. Tantangan ke depan
yang dihadapi dalam rangka mewujudkan kemandirian pangan adalah meningkatnya derajat
globalisasi perdagangan dunia yang tidak adil.
Kecukupan pangan merupakan masalah hidup dan matinya suatu bangsa, sehingga
kemandirian pangan merupakan prioritas tujuan pembangunan pertanian. Tantangan ke depan
yang dihadapi dalam rangka mewujudkan kemandirian pangan adalah meningkatnya derajat
globalisasi perdagangan dunia yang tidak adil.
Di negara Indonesia juga menghadapi permasalahan dalam negeri yang berkaitan dengan
produksi pangan yaitu:
1. Upaya meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi jumlah petani gurem, sementara
pada saat bersamaan muncul gejala pelambatan produktivitas dan penurunan nilai
tukar petani;
2. Upaya mempertahankan momentum pertumbuhan tinggi produksi pangan dan
membalikkan kecenderungan deselerasi pertumbuhan produksi menjadi akselerasi;
3. Upaya mengatasi fenomena ketidakpastian produksi; dan
4. Upaya meningkatkan daya saing produk pangan.
1. Mengurangi jumlah petani miskin, membangun basis bagi partisipasi petani dan
pemerataan hasil pembangunan
Krisis multidimensi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 telah mengakibatkan jumlah
penduduk miskin pada tahun 1998 melonjak. Apabila hal ii dikaitkan dengan fakta bahwa
sebagian besar mata pencaharian penduduk di wilayah pedesaan bergantung pada sektor

pertanian, maka hal ini berarti bahwa permasalahan kemiskinan terkait dengan sektor
pertanian.
1. Meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian
Pertumbuhan sektor pertanian sangat dibutuhkan untuk mengakselerasi perekonomian
pedesaan. Sektor pertanian Indonesia, hingga saat ini masih sangat tergantung pada hasil
primer, sehingga nilai tambah yang diperoleh masih sangat rendah dan kurang kompetitif di
pasr dalam negeri maupun luar negeri.
Pemerintah harus dapat mendorong perkembangan produk pertanian olahan primer, selain
untuk meningkatkan nilai tambah juga meningkatkan dan memperluas pangsa pasar di dalam
dan luar negeri. Negara berkembang penghasil produk pertanian, saat ini banyak yang
melakukan pengembangan produk pertanian untuk mensiasati perdagang