68171730 Membangun Sistem Moneter Islam

MEMBANGUN SISTEM MONETER ISLAM
( Studi Teoritis atas Fungsi Uang )

Pendahuluan
Persoalan besar yang terjadi di hampir seluruh dunia terutama negara muslim
dewasa ini adalah krisis ekonomi, yang terlihat dari banyaknya pengangguran,
menurunnya daya beli masyarakat, kesenjangan status sosial-ekonomi antara
golongan kaya dan golongan miskin, ketidakadilan distribusi hasil produksi dan
kekayaan alam, sentralisasi pendapatan pada pihak tertentu, eksploitasi dalam
kerja dan keuntungan, menurunnya nilai tukar uang lokal terhadap dolar Amerika
serta implikasi-implikasi negatif lain yang ditimbulkannya.
Agenda pemecahan terhadap persoalan di atas tidak dapat
dilakukan secara parsial-temporal tetapi harus melalui pembenahan
terhadap semua lini yang berorientasi pada sistem moneter yang
membangunnya.

Formulasi

sistem

tersebut


diarahkan

pada

pembangunan sistem perekonomian yang dapat menciptakan peluangpeluang terjadinya keseimbangan antara berbagai variabel yang dapat
memberikan terwujudnya stabilitas moneter sehingga aspek produksi
pada sektor riil dapat digerakkan.
Dalam membicarakan sistem moneter ini rasanya agak janggal
jika tidak membicarakan masalah uang. Karena uang adalah media

penggerak sistem dalam upaya merealisasikan teknis kerja unsur-unsur
yang melingkupinya. Sebuah sistem perekonomian hanya akan menjadi
konsep jika tidak difasilitasi uang. Oleh karena itu pembahasan
terhadap sistem moneter akan selalu berkaitan dengan uang dan cara
memanfaatkannya. Dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa
keberhasilan sebuah sistem moneter terletak pada bagaimana uang
didefinisikan dan difungsikan.
Dalam makalah ini, penulis akan mengkaji secara teoritis
berbagai pengertian uang melalui literatur Islam; al-Qur’an, al-Hadits

dan

para

pemikir

perekonomian

Islam

klasik

dan

mencoba

mengaplikasikannya dalam pembangunan sistem moneter Islam. Untuk
itu pertanyaan yang memicu sebagai rumusannya adalah sejauhmana
literatur Islam berbicara tentang teori uang dan fungsinya dan
bagaimana aktualisasinya dalam sistem moneter sehingga terbentuk

sistem moneter yang bernuansa syar’i.

Uang dalam Literatur Islam
Dalam al-Qur’an, pengertian uang dengan wujudnya seperti
sekarang ini tidak disebutkan secara tegas. Al-Qur’an menyebutkannya
dengan dinar, mata uang yang terbuat dari emas dan dirham, terbuat
dari perak.[1] Karena memang kedua mata uang inilah yang digunakan
sebagai alat pertukaran yang sah bagi seluruh negara-negara Islam
saat itu. Dalam perkembangan sejarah kedua mata uang ini dikenal
dengan istilah naqdain.

Kata dinar dan dirham disebutkan dalam al-Qur’an hanya sekali.
[2] Sementara penyebutan al-Qur’an terhadap emas (dzahab) sebanyak
8 kali[3] dan perak (fidldlah) sebanyak 6 kali.[4] Penyebutan terhadap
kata dzahab dan fidldlah kadang-kadang juga dipisahkan. Pemisahan
tersebut

tidak

membiaskan


maksud

keduanya.

Keduanya

tetap

memiliki arti sebagai sebuah sarana pemuas kebutuhan hidup manusia
yang alami.
Oleh karena itu dalam al-Qur’an, terma dzahab dan fidldlah
mempunyai dua makna, yaitu sebagai perhiasan dan sebagai alat tukar
(mata

uang).

Sebagai

sebuah


perhiasan

al-Qur’an

seringkali

menggambarkan kemewahan barang-barang yang terbuat dari emas
dan perak.[5] Sedangkan sebagai sebuah mata uang tampak pada
illustrasi al-Qur’an ketika melarang orang-kaya menimbun emas dan
perak.[6]
Dalam literatur Hadits, terma dzahab dan fidldlah ini disebutkan
secara sharih ketika Nabi SAW menjabarakan prilaku riba. Pertukaran
dibolehkan ketika emas dengan emas, perak dengan perak, tunai
dengan tunai. Jika ada salah satu pihak yang melebihkan jumlahnya,
hal itu termasuk perbuatan riba. Dan ketika pertukaran terjadi karena
perbedaan jenis barang maka hendaklah menggunakan sistem jual beli
secara tunai. Dalam Hadits lain, Nabi pernah mengatakan bahwa para
penghamba dinar dan dirham itu akan celaka manakala ia merasa puas
ketika diberi dan tidak puas ketika tidak diberi.[7]


Penyebutan dinar dan dirham atau emas dan perak dalam al-Qur’an dan Hadits
menunjukkan bahwa transaksi ekonomi dengan menggunakan keduanya telah
dilakukan oleh masyarakat sebelum Islam. Mata uang ini diperoleh umat muslim
dari hasil perdagangannya dengan negara-negara sekitar. Mereka membawa dinar
dari Romawi (Bizantium) dan membawa dirham (perak Persia) dari Irak, kadangkadang juga dari negeri Yaman. [8]
Namun yang lebih penting dari itu, penyebutan keduanya dalam al-Qur’an dan
Hadits adalah bahwa emas dan perak merupakan kekayaan alam yang diberikan
Allah kepada manusia. Sebagai sebuah anugerah ia dapat digunakan apa saja oleh
manusia termasuk menjadikannya sebagai perhiasan ataupun sebagai mata uang.
Sebagai sebuah mata uang Allah telah mendudukkannya sebagai harga dengan
hakikat kebendaannya. Artinya Dia menciptakan dan menjadikannya sebagai
harga atas segala sesuatu. Oleh karena itu manusia tidak memiliki kewenangan
untuk menyelewengkan harga sesuatu barang yang telah Allah tetapkan harganya
dan juga tidak boleh melanggar ketentuan yang telah Allah tetapkan sebagai
aturan bagi manusia.[9] Maka dari itu pemanfaatannya dilakukan secara adil dan
tidak menjadikannya sebagai sarana untuk mengeksploitasi sesama manusia dan
penghalang pengabdian manusia kepada Tuhannya.
Secara lebih luas al-Qur’an memberikan patokan-patokan nilai
bagi kedua harta kekayaan tersebut terutama dalam kaitannya dengan

perolehan dan pemanfaatannya. Sebagai sebuah harta, emas dan
perak tidak boleh ditimbun dalam waktu yang lama secara berlebihan,
[10]

tidak

boleh

pula

hidup

bermegah-megahan,[11]

Islam

mengajarkan manusia untuk mencari rezeki yang halal[12] dan
mendistribusikan secara baik melaui zakat, infaq dan shadaqah[13] dan
melalui investasi pada usaha-usaha produktif agar harta tidak berputar
di antara orang kaya saja.[14]

Di

samping

itu

pula

Islam

menganjurkan

jual-beli

dan

perdagangan[15] dengan berbagai jenisnya tetapi juga melarang
tindakan dzulm (eksploitasi),[16] melakukan praktik riba,[17] gharar
(tidak pasti, menipu), maisir (spekulatif)[18] dan tindakan-tindakan
yang bertentangan dengan keadilan.


Uang Menurut Para Tokoh
1. Ibnu Taimiyah.
Menurut Ibnu Taimiyah[19] uang adalah harga atau sesuatu
yang dibayarkan sebagai pengganti harga. Ia dimaksudkan sebagai alat
ukur dari nilai suatu benda (mi’yar al-amwal), melalui uang itu dari
sejumlah benda (maqadir al-amwal) diketahui nilainya. Uang tidak
dimaksudkan untuk dirinya sendiri (dikonsumsi). Pernyataan ini menjadi
jelas bahwa fungsi esensial uang adalah untuk mengukur nilai sebuah
benda. Uang adalah sebuah benda yang dibayarkan sebagai alat tukar
bagi sejumlah benda yang berbeda.[20]
Dengan demikian ia melarang perdagangan uang. Itu berarti
mengalihkan
dipertukarkan

fungsi
dengan

uang
uang


dari

tujuan

maka

sebenarnya.

sepenuhnya

Jika

harus

uang

simultan

(taqabud) dan tak ada penundaan (hulul). Jika pertukaran dilakukan

dengan

tidak

tunai

maka

terjadi

ketidakadilan

yang

dapat

menghilangkan kesempatan bagi satu pihak.[21] Ia sangat menentang
terjadinya penurunan nilai uang, juga percetakan mata uang yang
terlalu banyak. Dia mengatakan:
“Otoritas pemerintah harus mencetak mata uang koin (emas
ataupun perak) sesuai dengan nilai transaksi yang adil dari
penduduk tanpa keterlibatan kedzaliman di dalamnya.”[22]
Ia menyarankan pemerintah agar tidak mempelopori bisnis
mata uang dengan membeli tembaga kemudian mencetaknya menjadi
mata uang koin. Pemerintah harus mencetak uang dengan harga yang
sebenarnya

tanpa

tujuan

mencari

keuntungan

apapun

agar

kesejahteraan publik (al-mashlahah al-‘ammah) terrealisasi. Di samping
itu pemerintah juga harus membayar gaji para karyawan Baitul Mal.
Perdagangan mata uang menurutnya hanya akan membuka pintu luas
ke arah kedzaliman bagi penduduk dan menghabiskan kekayaan publik
dengan dalih yang salah.[23]
Jika pemerintah membatalkan penggunaan mata uang koin
tertentu dan mencetak jenis mata uang lain bagi penduduk akan
merugikan orang-orang kaya yang memiliki uang karena jatuhnya nilai
mata uang lama, dan menjadikan mata uang tersebut hanya sebagai
barang dagangan biasa.[24]
2. Al-Ghazali

Uang, menurut al-Ghazali,[25] merupakan media pertukaran
barang. Oleh karena itu uang dapat digunakan untuk mengukur nilai
barang. Namun uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri, uang
diciptakan untuk melancarkan pertukaran dan menetapkan nilai yang
wajar dari pertukaran tersebut. Ia mengillustrasikan uang sebagai
cermin yang tidak mempunyai warna tetapi merefleksikan semua
warna.[26]
Uang tidak mempunyai harga tetapi merefleksikan harga
barang, atau dalam ekonomi klasik disebutkan bahwa uang tidak
memberikan kegunaan langsung (direct utility function) hanya bila
uang

itu

digunakan

untuk

membeli

barang,

maka

barang

itu

memberikan kegunaan.[27] Dalam teori ekonomi neo-klasik dikatakan
kegunaan uang timbul dari daya belinya. Jadi uang memberikan
kegunaan tidak langsung (indirect utility function). Apapun debat para
para pemikir perekonomian konvensional, kesimpulannya tetap sama
dengan al-Ghazali, yaitu uang tidak dibutuhkan untuk dirinya sendiri.
[28]

Menurut al-Ghazali perdagangan mata uang adalah ibarat memenjarakan uang,
karena uang tidak dapat menjalankan fungsinya. Makin banyak uang yang
diperdagangkan maka semakin sedikit uang yang yang berfungsi sebagai alat
tukar. Tindakan seperti ini jelas bertentangan dan menyelewengkan makna uang
itu sendiri. Sebab memperdagangkan uang berarti menjadikan uang sebagai tujuan
bukan sarana. Secara tegas ia mendefinisikan uang:

????? ?? ??? ??? ? ??? ????? ??? ?? ???
Artinya : “ Uang bukan tujuan, tetapi ia adalah sarana untuk
mewujudkan semua tujuan.”[29]

Merujuk pada al-Qur’an, al-Ghazali mengecam orang yang
menimbun uang dan orang yang melebur dinar atau dirham menjadi
perhiasan emas dan perak. enimbun uang berarti menarik uang dari
peredaran sedangkan meleburnya berarti menarik uang dari peredaran
untuk selamanya.[30]
Dalam

teori

moneter

modern,

penimbunan

uang

berarti

memperlambat perputaran uang. Hal ini dapat memperkecil terjadinya
transaksi

yang

Sedangkan

dapat

peleburan

mengakibatkan
uang

sama

kelesuan

dengan

perekonomian.

mengurangi

jumlah

penawaran uang yang dapat digunakan untuk melakukan transaksi.[31]
Sedangkan mengenai peredaran uang palsu, ia mengatakan
bahwa mengedarkan atau mencetak uang sejenis itu lebih berbahaya
daripada mencuri seribu dirham. Alasannya karena mencuri adalah satu
dosa, sedangkan mencetak dan mengedarkan uang palsu dosanya
akan terus diulang setiap kali uang tersebut digunakan dan akan
merugikan siapapun orang yang menerimanya dalam jangka waktu
lama. Al-Ghazali memperbolehkan peredaran uang yang sama sekali
tidak

mengandung

emas

atau

perak

asalkan

pemerintah

telah

menyatakannya sebagai alat bayar resmi.[32]
3. Ibnu Khaldun.
Ibnu Khaldun[33] menegaskan bahwa kekayaan suatu negara
bukan ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut, tetapi
ditentukan oleh tingkat produksi negara tersebut dan diukur oleh

neraca

pembayaran

yang

positif.

Tingginya

tingkat

produksi

mengakibatkan terwujudnya kesejahteraan.

?????? ?????? ?? ?????? ???????
Artinya : “Hanya kesejahteraan yang dapat mengatur melimpah dan
berkurangnya jumlah uang”.
Suatu negara dapat saja mencetak uang sebanyak-banyaknya,
namun

bila

hal

itu

bukan

merupakan

refleksi

dari

pesatnya

pertumbuhan sektor produksi maka uang yang melimpah itu tidak ada
nilainya.
menyerap

Sektor produksilah
tenaga

kerja,

yang

menjadi motor pembangunan,

meningkatkan

pendapatkan

pekerja,

menimbulkan permintaan atas faktor-faktor produksi lainnya. Negara
yang banyak mengekspor berarti mempunyai kemampuan berproduksi
lebih besar dari kebutuhan domestiknya, sekaligus menunjukkan bahwa
negara tersebut lebih efisien dalam produksinya.[34]
Sejalan dengan al-Ghazali, ia juga mengatakan bahwa uang
tidak selalu mengandung emas dan perak, namun emas dan perak
menjadi standar nilai uang. Uang yang tidak mengandung emas dan
perak

merupakan

hak

(jaminan)

pemerintah.

Sekali

pemerintah

menetapkan nilainya, maka pemerintah tidak boleh merubahnya.[35]
Ibnu Khaldun selain menyarankan digunakannya uang emas
dan perak ia juga menyarankan konstannya harga emas dan perak.[36]
Dalam keadaan nilai uang yang tidak berubah, kenaikan harga atau
penurunannya semata-mata ditentukan oleh kekuatan permintaan dan
penawaran. Setiap barang akan mempunyai harga keseimbangannya.

Bila lebih banyak makanan dari yang diperlukan di suatu kota, maka
harga makanan menjadi murah, demikan sebaliknya.[37]
4. Al-Maqrizi.
Berangkat dari latar belakang historis pemerintahan bani
Abbasiyah yang hidup bergelimang harta dan menyimpan kekayaannya
di

bank-bank

Yahudi

dan

Nasrani,

pemikiran

perekonomian

Al-

Maqrizi[38] berkutat pada masalah uang dan inflasi.[39] Dia membagi
inflasi menjadi dua: inflasi akibat berkurangnya persediaan barang
(natural inflation) dan inflasi akibat kesalahan manusia. Inflasi pertama
disebabkan oleh situasi yang tidak kondusif yang memaksa masyarakat
menghabiskan persediaan hidupnya, seperti kekeringan, peperangan
dan

sebagainya.

Sedangkan

yang

kedua,

kesalahan

manusia,

disebabkan oleh tiga hal: pertama, korupsi atau buruknya sistem
administrasi. Kedua, pajak berlebihan yang memberatkan para petani
dan pekerja rendahan lainnya. Ketiga, jumlah uang yang berlebihan.
[40] Oleh karena itu ia mengatakan untuk menghindari terjadinya
inflasi, terutama yang ketiga, pemerintah hendaknya membatasi
jumlah uang yang beredar pada tingkat minimal yang dibutuhkan untuk
transaksi-transaksi pecahan kecil.[41]
Tentang uang, ia mengatakan uang merupakan masalah pokok
dalam kehidupan masyarakat.

????? ???? ????? ??????? ?? ??? ???????? ????
???????

Artinya:

“Uang memposisikan dirinya sebagai dasar untuk
mengungkapkan harga barang-barang dagangan dan nilai
suatu usaha (jasa).” [42]

Pentingnya uang sebagai pengukur harga telah menjadi naluri
dasar manusia dalam melakukan transaksi pemenuhan kebutuhannya.
Ia lebih jauh mengatakan fungsi mata uang sebagai alat tukar telah
dimulai sejak nabi Adam AS. Karena kehidupan itu tidak akan berjalan
dengan baik tanpa menggunakan dinar dan dirham (mata uang)
sebagai alat tukar walaupun kesederhanaan bentuk keduanya masih
sangat sederhana.[43]
Carut-marutnya pemerintahan, menurutnya disebabkan oleh
faktor alam, sosial dan perekonomian. Namun semua itu berasal dari
kebijakan politik-ekonomi pemerintah yang kurang baik. Kesejahteraan
manusia itu akan terwujud manakala tindakan korup penguasa,
keburukan orang kaya dalam menginvestasikan uang, mempermainkan
harga (uang), dan pencetakan uang yang melebihi ambang batas
tingkat transaksi itu tidak terjadi pada suatu negara.[44]
Al-Maqrizi juga menyinggung masalah supply dan demand
(‘ardl dan thalab, teori penawaran dan permintaan). Menurunnya
jumlah barang dan jasa dengan disertai bertambahnya tuntutan akan
mengakibatkan naiknya harga barang.[45] Namun ia juga menegaskan
hal tersebut bukanlah satu-satunya penyebab krisis perekonomian
tetapi juga faktor sebaliknya di mana jumlah uang yang beredar
melebihi jumlah barang. Hal ini dapat mengakibatkan nilai uang turun.
Yang lebih penting menurutnya bukan meningkatkan jumlah uang

tetapi

meningkatnya

kuantitas

dan

kualitas

sektor

produksi

masyarakat.
Al-Maqrizi memberikan saran bagi kesejahteraan ekonomi
masyarakat dengan menunjukkan peran dan pengaruh kelompokkelompok sosial masyarakat dalam suatu bangsa. Ia mengklasifikasikan
golongan tersebut ke dalam tujuh golongan, yaitu: aparatur negara,
orang-orang kaya (konglomerat), pedagang di pasar, petani dan
peladang,

pegawai

negeri

dan

kelompok

orang

miskin

dan

gelandangan.[46]
Demikian pemikiran para ulama abad pertengahan tentang
perekonomian khususnya masalah uang. Sebenarnya masih banyak
para pemikir dengan tema yang sama yang tidak diungkap dalam
tulisan ini, seperti: Ibnu Sallam, al-Jahidz, al-Buladzuri, al-Mawardi, Ibnu
Abidin, Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Mungkin karena faktor kurangnya
kajian yang menelusuri tentang para tokoh tersebut mengakibatkan
rujukan konsep teori dan prinsip perekonomian Islam didominasi oleh
keempat tokoh di atas.
Dari

penelusuran

di

atas

dapat

digarisbawahi

bahwa

penyebutan secara literal terhadap mata uang dalam al-Qur’an dan alHadits ditampilkan melalui kata dinar, dirham, emas dan perak. Semua
jenis benda yang secara umum diidentikkan dengan harta (mal)
tersebut menjadi kebutuhan naluriah manusia dalam melakukan
hubungan ekonomi demi mencapai kesejahteraannya. Namun sebagai

sebuah benda yang mempunyai nilai (harta) al-Qur’an dan al-Hadits
memberikan norma-norma yang baik yang mengatur aspek teknis dari
mana harta itu diperoleh dan bagaimana cara mendistribusikannya.
Ketentuan teknis tersebut dirumuskan dalam al-Qur’an dan alHadits dengan mendasarkan pada empat ketentuan, yaitu; larangan
adanya praktik riba, larangan bertindak eksploitatif (dzulm), larangan
bertindak secara spekulatif (maisir) dan anjuran berzakat. Bertolak dari
ketentuan tersebut muncul beberapa pemikiran para tokoh Islam
tentang perekonomian Islam termasuk teori tentang fungsi uang.
Tentang hal ini mereka sepakat bahwa fungsi uang tak lain diarahkan
untuk

penciptaan

kondisi

ekonomi

adil

dan

stabil

yang

dapat

memberikan kesejahteraan bagi masyarakat secara keseluruhan.
Aktualisasi Teori terhadap Sistem Moneter

Pembicaraan tentang sistem moneter, dalam ilmu ekonomi, merupakan bagian
dari bahasan tentang ekonomi makro. Secara sederhana sistem moneter diartikan
sebagai suatu sistem yang terdiri dari bermacam-macam perangkat baik institusi
ataupun non-institusi yang sangat mempengaruhi keberadaan mata uang dalam
upayanya meningkatkan perekonomian suatu bangsa. Sistem moneter sangat erat
kaitannya dengan uang. Uang bagi pembangunan sistem moneter diibaratkan
sebagai darah yang mengalir dalam tubuh manusia. Jika manusia kekurangan
darah atau kelebihan darah maka akan mengakibatkan manusia jatuh sakit. Oleh
karena itu dalam pengelolaannya sistem moneter harus dikondisikan sedemikian
rupa sehingga dapat menciptakan stabilitas nilai uang, kesejahteraan ekonomi,

kesempatan kerja sepenuhnya, pertumbuhan ekonomi yang optimum dan
meningkatkan keadilan bagi setiap masyarakat.[47]
Uang, sebagaimana teori yang dikemukakan para pemikir perekonomian Islam,
merupakan alat transaksi, perantara untuk memiliki barang dan jasa. Uang tidak
boleh memainkan perannya sebagai barang. Islam mensikapi uang sebagai:
pertama, uang dapat membeli barang tetapi tidak membeli uang. Kedua, uang
sebagai barang, yang berarti bahwa uang adalah barang sebagaimana barangbarang lainnya. Seseorang yang mempunyai banyak uang sama artinya ia
memiliki banyak barang. Karena dengan uang ia dapat menghadirkan barang.
Dengan demikian dalam sebuah transaksi ekonomi, Islam memperbolehkan uang
bertukar dengan barang atau barang bertukar dengan uang dan barang bertukar
dengan barang. Namun jika uang bertukar dengan uang tidak dibenarkan.
Dengan teori di atas maka barang atau jasa tidak dapat dipertukarkan jika nilai
uang tidak seukuran dengan nilai barang. Pertukaran terjadi manakala ukuran nilai
uang sama dengan nilai barang. Oleh karena itu uang tidak dapat dijadikan
sebagai komoditi yang dapat menghasilkan nilai yang melebihi semestinya dalam
sebuah pertukaran. Menjadikan uang sebagai media transaksi dengan melebihkan
nilai semestinya dalam sebuah pertukaran dengan barang atau jasa, baik dilakukan
secara tunai ataupun pinjaman, termasuk perbuatan riba.

????? ??? ???? ?? ??? ??
Artinya: “Setiap pinjaman yang mengambil keuntungan merupakan riba.”

Demikian, uang menurut teori tidak dapat digunakan untuk melegalisasi praktik
riba. Oleh karena itu pembangunan sistem moneter yang islami akan berorientasi
pada fungsionalisasi uang secara bersih melalui variabel-variabel yang
mengaturnya dalam berbagai transaksi perekonomian modern.
Uang dalam Perbankan
Bank sebagai lembaga pengatur lalu lintas uang mempunyai peran strategis dalam
mengkondisikan dan mengaplikasikan fungsinya. Sistem bunga yang dilakukan
oleh bank sudah seharusnya ditinggalkan. Dengan adaanya kebijakan penerapan
sistem bunga akan dapat menimbulkan efek yang buruk pada distribusi
pendapatan yang dipertimbangkan sebagai komponen penting dalam
pembangunan ekonomi. Ukuran keuntungan moneter yang diterima oleh bank dan
pengusaha tidak berubah-ubah walaupun hasil usaha tidak senyatanya
menguntungkan. Mekanisme distrubusi ini menjadikan bank selalu mendapatkan
keuntungan sedangkan pengusaha bisa jadi tidak mendapatkan apa-apa.
Di samping itu sistem bunga dapat menimbulkan negative spread, di mana suku
bunga pinjaman dan simpanan melonjak naik. Keadaan demikian dapat
melumpuhkan kegiatan ekonomi masyarakat yang pada akhirnya mempertajam
jurang antara si kaya dan si miskin. Beberapa efek negatif dari sistem bunga
tersebut pada dasarnya muncul karena uang yang menjadi media distribusi
dijadikan alat pendulang keuntungan secara pasti dari sebuah kegiatan usaha yang
belum pasti.

Oleh karena itu sistem mudlarabah sebagai alternatif dari sistem bunga perlu
direalisasikan. Sistem mudlarabah (profit and loss sharing) secara substansi
adalah memposisikan uang secara benar. Sistem ini tidak mendewakan uang
sebagai satu-satunya aspek yang paling vital. Uang diposisikan sebagai instrumen
yang dapat memperlancar usaha bukan komoditi yang harus mendatangkan
keuntungan. Dengan tidak memposisikan uang sebagai barang komoditi, kegiatan
usaha akan menjadi seimbang. Keuntungan usaha akan dibagi menjadi dua (pihak
bank dan debitur) berdasarkan kesepakatan. Sementara jika terjadi kerugian,
ditanggung sepenuhnya oleh bank dengan catatan kerugian tersebut diakibatkan
bukan karena kecerobohan tetapi karena situasi ekonomi yang sulit. Ini berarti
uang tidak mentargetkan sebuah keuntungan tertentu secara pasti.
Uang juga bukan alat pendulang kekayaan dengan tanpa kerja. Dianjurkannya
sistem musyarakah oleh Islam dalam sebuah usaha mengindikasikan bahwa
kerjasama usaha dengan menyertakan modal dan tenaga dari masing-masing pihak
merupakan bukti bahwa Islam sangat menjunjung tinggi nilai kerjasama daripada
nilai uang. Bank syari’ah menerapkan sistem ini dengan memposisikan nasabah
sebagai mitra bisnis dalam tenaga dan modal. Kedua pihak berada dalam posisi
yang sama baik dalam keuntungan ataupun dalam kerugian.
Dengan mengacu pada sistem mudlarabah dan musyarakah tersebut, perbankan
sebagai lembaga intermediary yang menjembatani golongan surplus dana dan
minus dana dapat memainkan peran pentingnya dalam menggairahkan dunia
produksi sehingga kesejahteraan masyarakat terwujudkan secara seimbang dan

rasional. Hal ini terjadi tidak lain karena uang diposisikan secara alamiah sebagai
alat transaksi dan bukan sebagai sebuah barang komoditas yang nilainya
ditentukan oleh kondisi real sebuah usaha.
Adanya Pasar Uang
Keadaan riil menunjukkan bahwa perkembangan pasar uang dunia saat ini,
sebagian besar uang dipergunakan untuk untuk memperdagangkan uang itu
sendiri. Hanya 5 % saja dari transaksi di pasar uang yang berkaitan dengan
transaksi barang dan jasa. Bahkan volume transaksi pasar barang dan jasa hanya
1,5 % dibandingkan dengan turn over transaksi di pasar uang.[48]
Keadaan seperti ini menunjukkan bahwa memperdagangkan mata uang yang
terjadi sekarang ini sangat bertentangan dengan teori fungsi uang yang
dikembangkan oleh para pemikir perekonomian Islam. Namun kegiatan pasar
uang ini dalam dunia bisnis kontemporer tidak dapat dihindari para pelaku bisnis
karena kegiatan tersebut sangat berguna bagi penambahan modal perusahaannya.
Oleh karena itu pasar uang yang terjadi sekarang ini harus dialih-fungsikan
menjadi pasar uang yang dapat memposisikan barang atau jasa sebagai tujuan
transaksinya.
Dengan diperdagangkannya uang maka pada suatu waktu tertentu uang akan
habis. Sebagai bukti adalah krisis yang terjadi di Indonesia. Tindakan para
spekulan yang memborong dolar secara besar-besaran di pasaran mengakibatkan
jumlah uang dolar menjadi sedikit. Akibatnya nilai uang dolar menjadi mahal.

Karena jumlah uang rupiah jauh lebih banyak dibandingkan dolar. Dengan kata
lain nilai rupiah jatuh. Untuk mendapatkan satu dolar seseorang harus
menyediakan kurs rupiah sebanyak 3 kali lipat dari harga semestinya.
Uang dalam Zakat dan Investasi
Zakat pada dasarnya adalah pajak wajib bagi setiap muslim yang mempunyai
kelebihan harta dalam batas tertentu. Anjuran kewajiban zakat ini berangkat dari
asumsi bahwa harta benda itu milik Allah. Kekayaan bukanlah tujuan hidup
melainkan sarana untuk hidup. Oleh karena itu harta benda dan kekayaan lainnya
harus dipergunakan untuk merealisasikan kesejahteraan manusia secara
keseluruhan melalui instruksi yang diamanatkan Allah sebagai satu-satunya
pemilik mutlak kekayaan tersebut. yang dimandatkan. Oleh karenanya Allah telah
menunjuk orang-orang lemah sebagai mustahiq zakat.
Namun sesungguhnya tanpa perintah Allah tentang kewajiban zakat pun sudah
seharusnya orang-orang kaya memberikan sebagian kekayaannya kepada orangorang berekonomi lemah. Ini disebabkan karena ketidakmampuan mereka dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya diakibatkan oleh sikap konsumerisme golongan
kaya terhadap barang. Sikap ini membawa dampak naiknya harga barang yang
semakin lama semakin tidak terjangkau oleh masyarakat miskin. Oleh karena
itulah sudah selayaknya golongan kaya memberikan konpensasi kepada golongan
miskin.

Implementasi dari urgennya zakat (pajak) tidak lepas dari pemahaman akan
hakikat uang. Uang dalam teori Islam tidak saja mempunyai fungsi ekonomis
tetapi juga fungsi sosial.
(24-25 : ???????) . ???????? ?????? . ????? ?? ??????? ?? ??????
Artinya: “Dan orang-orang yang di dalam hartanya terdapat hak bagi orang
miskin dan orang yang tidak mempunyai apa-apa.”[49]
Unsur sosial tersebut memberikan pemahaman bahwa uang bukanlah barang
berharga. Uang harus selalu didistribusikan ke arah pembangunan kesejahteraan
ekonomi masyarakat baik melalui zakat (meliputi infaq, shadaqah dan pemberian
bantuan lainnya) atau melalui investasi usaha.
Dengan menganggap uang, harta secara keseluruhan, sebagai barang berharga
yang perlu disimpan dan dielu-elukan tanpa didistribusikan melalaui zakat atau
diinvestasikan pada sektor usaha, maka akan mengakibatkan munculnya krisis
moneter yang serius, di antaranya adalah:
1. Terjadinya hambatan perputaran uang yang dapat memperkecil volume
transaksi.
2. Kehidupan perekonomian orang-orang miskin dan orang-orang yang tidak
beruntung lainnya semakin berada di bawah standar kesejahteraannya.
3. Produktifitas orang-orang miskin semakin hilang karena tidak termotivasi oleh
dana segar orang-orang kaya yang seharusnya menjadi haknya.
4. Menurunnya agregad permintaan dalam skala makroekonomi. Hal ini akan
mengarahkan pada merosotnya investasi dan ekonomi.

Keadaan seperti ini tentu saja harus diselesaikan secara lebih serius dengan
memberikan kesadaraan baru akan pentingnya zakat dan investasi bagi
masyarakat kecil dengan memberikan wawasan yang fundamental akan artinya
uang dalam teori Islam. Di samping itu pula pemerintah sebagai pemegang
kebijakan moneter dan fiskal senantiasa berusaha melakukan pembenahanpembenahan baik yang bersifat parsial ataupun fundamental, teoritikal-konseptual
terhadap uang dalam membangun kerangka ekonomi kokoh yang menciptakan
keseimbangan berbagai sektor hingga stabilitas perekonomian dapat memjamin
kesejahteraan masyarakat secara merata.
Penutup
Walaupun keberadaannya dalam al-Qur’an direpresentasikan dengan dinar dan
dirham, namun uang merupakan bagian dari harta yang mempunyai aturan-aturan
tertentu berkaitan dengan perolehan dan pendistribusiannya. Larangan menimbun
dan bermegah-megahan dengan harta, melakukan praktik riba, maisir, gharar dan
dzulm serta anjuran untuk memutar uang dan menolong orang berekonomi lemah
adalah prinsip umum yang diajarkan al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW.
Berangkat dari pijakan tersebut para tokoh Islam yang diwakili oleh Ibnu
Taimiyah, al-Ghazali, Ibnu Khaldun, dan al-Maqrizi mendefinisikan uang sebagai:
alat pengukur nilai sebuah benda dan alat penukar barang. Uang tidak boleh
dijadikan barang komoditas karena hal itu merubah hakikat dari uang itu sendiri.

Bank sebagai aktor utama pembangun sistem perekonomian modern harus
mengganti sistem bunga dengan sistem mudlarabah dan musyarakah. Karena
sistem bunga telah menjadikan uang sebagai media pencari keuntungan tanpa
kompromi. Demikian pula dengan adanya pasar uang. Oleh karena itu kunci dari
terbangunnya sistem moneter Islam tersebut adalah penetapan zakat, infaq dan
shadaqah. Karena hal itu bukan sekedar kewajiban agama, tetapi juga
memberikan kesadaran akan hakikat uang sebagai barang yang tidak berguna
ketika tidak dijadikan sebagai alat tukar.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman A. Karim, Islamic Microeconomic, (Jakarta: Muamalat Institute), Cet.
I, 2001
_________________ , Ekonomi Islam, Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta:
Gema Insani Press), 2001
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Terj., (Surabaya: Salim Nabhar), Vol. I, tt.
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an,
Departemen Agama Republik Indonesia (Semarang: CV. Toha Putera),
1989.
Fauzi Athwi, al-Iqtishad wa al-Mal fi al-Tasyri’i al-Islamiy wa al-Nadzm alWadl’iyyah, Buhuts wa Ahadits wa Dirasat Muqaranah, (Beirut: Dar al-Fikr
al-‘Arabiy), Cet. I, 1988
Glan Iswara dan Nopirin, Ekonomi Moneter, Yogyakarta: BPFE), 1986
Ibnu Taimiyah dalam A.A. Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, Terj.,
(Surabaya: Bina Ilmu Offset), Cet. I, 1997
Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam, (Jakarta:
Salemba Empat), Cet. I, 2002
Pati Matu Jahra, Teori dan Kebijakan Moneter Islami, Makalah, Program
Magister Studi Islam, Universitas Islam Indonesia, 2000

APENDIKS AYAT-AYAT AL-QUR’AN DAN HADITS
 ???

??? ?????? ?? ?? ????? ?????? ???? ???? ? ?
???? ?? ?? ????? ?????? ?? ???? ???? ??? ?????
???? ?????? ??? ????? ????? ??? ????? ?? ????
??? ????? ??????? ??? ???? ????? ??? ?????? .
(?? ????? : 75)

 ?????

???? ??? ????? ?????? ? ?????? ??? ?? ???
????? . (???? : 20)

 ??????

?????? ????? ?????? ??? ???????? ?? ???
? ???? ? ?????? ????? ???? . ??? ???? ????? ??
??? ???? ????? ??? ?????? ??????? ??????? ? ?
??? ?? ????? ??????? ?????? ?? ???? ?????? .
(?????? : 34)

 ???

????? ?? ??????? ?? ?????? ??????? ???????
?? ???????? ?? ????? ?????? ?????? ??????? ??
?????? ?????? ? ??? ???? ?????? ?????? ? ????
? ???? ??? ????? (?? ????? : 14)



????? ????? ????? ?? ??? ?????? ??????
(??????? : 15)

 ?????

?? ???? ????? ??? ????? ?????? ??? ???? ?
?????? ??????? ???? ?? ??? ?????? ????? ?????
?. (?????? : 33)

 ?????

??? ???? ??? ???? ?? ????? ??????? ?????
???? ?? ????? ?? ??? ??????? ????? ???? ?? ???
? ??????? ?????? ???? ??? ??????? ? ??? ?????
? ? ????? ?????? . (????? : 31)

 ?????

?????? ?????? ?????? ????? ????? ? ???? ?
??? ? ??? ??? ? ?????? ??? ? ??? ?????? ??? ???
???? ?????? ??? ???? ??? ??? ?? ??? .(??????)

 ???

??? ??????? ??????? ???????? ?? ???? ???? ??? ???
?? ??? ?? ???? (??????)

 ??????

??????? . ??? ???? ??????? . (??????? :1-

2)
 ?????

????? ?????? ??????? ??? ????? ????????
??? … (?????? : 7)

 ??????

?? ?????? ?????? ??? ???? ????? ?????? ?
???? ?????? ?? ??????? ???????? … (?????? :
20)

 ?????

?????? ?????? ??????? ?????? ???? ??????
? ?????? . (?????? : 3)

 ???

???? ???? ???? ??????? ? ?? ?????? ??? ????
?? . (?????? : 279)

 ???????

?? ????? ???????? ?? ????? ??? ???? ???
??? ?????? ??????? ???? ?? ??????? ???????? ?
??? ?????? … (?????? : 219)

 ????

?? ????? ?? ??????? ??? ????? ??? ???? ???
?? ???? … (?? : 81)



??????? ????? ???? ????? ??????? ???????? .
(??????? : 6)



 ??

??? ??? ???? ?????? ??? ?? ???? ????? ??????
? ??? ??????? ?? ???? ?? ??? ???????? .
(??????? : 31)


…??????

?????? ????? ?????? ?? ??????? ?????
?????? . (??????? : 26)
 ????

???? ??????? ?? ???? ????? ??????? ??????
?? ?? ????? ??????? ?????? ?? ??? ???? ??? ???
??? ? ??? ???? ?????? . (??????? : 91)

 ??

???? ???? ??? ????? ?? ??? ????? ? ???? ????
??? ???? ?????? ???????? ???? ?????? ?? ?? ??
?? ???? ??? ???????? ???? …(????? : 7)

 ????

?? ?????? ????? ??? ??? ?? ??? ???? ? ????
? ?????? ?????? ?????? ?????? ???? ????? ???
?????? ???????? . (????? : 37)


…???

???? ?????? ?? ??? ?????? ?????? ??? ???
???? ????? ????? ? ???? ??? ??? ?? ???? ??????
. (?????? : 9)
 ??????

????? ????? ?? ?????? ????? ?????? ????
?? ? ?????? ???? ????? ?????? . (?? ????? :
130)

 ???

??? ????? ????? ?????? ???????? ???? ???? ?
???? ??? ?? ????? ?????? ?????? ???????? ?? ?
???? ?????? ?? ????? ??????? ? ????? ??? ????
???? . (??????? : 93)

 ???

?????? ??? ?????? ??? ????? ?? ???? ??? ???
? ???? ? ?????? ????? ???????? ??????? ?? ???
? ???? ??? ????? …(??????? : 152)


…??????

????? ???????? ??? ?????? ????? ????
??? ??? ?????? ?? ????? ??? ??????? ? ???? ???
??? ?? ???? ?????? . (??????? : 85)
 …???

?????? ??????? ???????? ??? ????? ????
(??? : 84)



 ???

???? ????? ??????? ???????? ?????? ??? ???
??? ????? ??????? ??? ????? ?? ????? ?????? .
(??? : 85)

 ??????

????? ??? ???? ????? ???????? ????????
? ??? ??? ????? ?????? . (??????? : 35)



????? ????? ??? ?????? ?? ???????? . (??????? :
181)

 ???

???????? . ????? ??? ??????? ??? ????? ????
??? . ???? ?????? ???????? ?????? .
(????????:1-3)

 ????

?????? ??????? ????????? ????????? ?????
???????? ?????? ??? ?????? ????????? ??? ????
???? ???? ?????? ? ????? ?? ???? ? ????? ????
???? . (?????? : 60)



??? ??????? ?? ?????? ???????? . (???????? :
19)

[1] Fauzi Athwi, al-Iqtishad wa al-Mal fi al-Tasyri’I al-Islamiy wa al-Nadzm
al-Wadl’iyyah, Buhuts wa Ahadits wa Dirasat Muqaranah, (Beirut: Dar al-Fikr
al-‘Arabiy), Cet. I, 1988, p. 97.
[2] Disebutkan dalam surat Ali Imran ayat 75, yang artinya “ Diantara Ahli
Kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang banyak,
dikembalikannya kepadamu, dan di antara mereka ada orang yang jika kamu
mempercayakan kepadanya satu dinar tidak dikembalikannya kepadamukecuali
jika kamu selalu menagihnya. Yang demikian itu lantaran mereka mengatakan:
“tidak ada dosa bagi kami terhadap orang-orang ummi (orang Arab). Mereka
berkata dusta kepada Allah padahal mereka mengetahui.” Sementara kata dirham
terdapat dalam surat Yusuf ayat 20: “Dan mereka menjual Yusuf dengan harga
murah, hanya beberapa dirham saja, dan mereka tidakl tertarik hatinya pada
Yusuf.”
[3] Lihat di antaranya surat al-Taubah: 34, “Dan orang-orang yang
menyimpan emas dan perak dengan tidak menafkahkannya ke jalan Allah maka
beritahukanlah kepada mereka siksa yang pedih.” Surat Ali Imran: 14’ “Dijadikan
indah pada manusia kecintaan terhadap apa-apa yang diinginkan, yaitu wanitawanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenagngan hidup di dunia
dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.”
[4] Lihat misalnya pada surat al-Dahr (al-Insan): 15, “Dan diedarkan kepada mereka bejana-bejana dari perak dan
piala-piala yang bening laksana kaca.”
[5] Lihat surat misalnya al-Dahr: 15, 21, al-Zukhruf: 33, 53, 71, al-Hajj: 31, Ali Imran: 14, 91, dan al-Kahfi: 31.

[6] Lihat surat al-Taubah: 34 dan 35.

[7]

Kedua Hadits ini diambil dari Fauzi Athwi, Op. Cit., p. 99.

8.Abdul

Qadim Zallum yang dikutip Muhammad, Kebijakan Fiskal dan
Moneter dalam Ekonomi Islam, (Jakarta: Salemba Empat), Cet. I, 2002, p. 20.

[9] Fauzi Athwi, Op. Cit., p. 99.
[10] QS at-Taubah: 34 dan 35.
[11] QS at-Takatsur: 1-2, al-Hadid: 20.
[12] QS. Al-Baqarah: 172, Thaha: 81, al-A’raf: 159, 31, al-Anfal: 26, 59, al-Nahl: 77, 117, al-Mu’minun: 52, alMa’idah: 91.
[13] QS. al-Hadid:7, Ibrahim:13, al-Baqarah:3, 195, 282, al-Thalaq: 7, al-Anfal: 6, al-Taubah: 60.
[14] QS. al_Hasyr: 7.
[15] QS. Al-Nur: 37, al-Jumu’ah: 9.
[16] QS al-Baqarah: 279,

[17]

QS. al-Baqarah: 279, 276, 278, Ali Imran: 130, al-Nisa’: 159.

[18]

QS. Al-Ma’idah: 93, 94, al-Baqarah: 319,.

Ia adalah Taqiyuddin Abu al-Abbas Ahmad Abd al-Halim. Dilahirkan di
desa Harran, Damaskus pada tahun 661 H/ 1263 M. Pemikiran dan pandangan Ibn
Taimiyah tertuang dalam karya-karyanya yang menurut para peneliti diperkiraan
berjumlah 300-500 buku dalam bentuk besar dan kecil. Sebagian karya-karya
tersebut dapat diselamatkan dan dihimpun dalam kita Majmu’ Fatawa Syaikh alIslam yang terdiri dari 37 jilid. Dia wafat pada tahun 1328 M dengan
meninggalkan warisan keilmuan yang sangat mempengaruhi para pemikir
setelahnya.
[19]

Ibnu Taimiyah dalam A.A. Islahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah,
Terj., (Surabaya: Bina Ilmu Offset), Cet. I, 1997, p. 175.
[20]

[21]

Ibnu Taimiyah dalam A.A. Islahi, Ibid., p. 176.

[22]

Ibnu Taimiyah dalam A.A. Islahi, Ibid.,.p. 178

[23]

Ibnu Taimiyah dalam A.A. Islahi, Ibid., p. 177.

[24]

Ibnu Taimiyah dalam A.A. Islahi, Ibid., p. 179.

[25] Ia adalah Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali (alGhazzali). Dilahirkan di daerah dekat Khurasan tahun 1058 M. Selama
perjalannan hidupnya ia telah menulis buku-buku yang sangat bermanfaat bagi
perjalanan sejarah pemikiran Islam, di antaranya adalah: Ihya’ Ulum al-Din, alMunqidz min al-Dlalal, Tahafut al-Falasifah. Ia wafat pada tahun 1111 M.

[26]

Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Terj., (Surabaya: Salim Nabhar), Vol. I,

tt., p. 34.
[27]

Al-Ghazali dalam A.A Islahi, Op.Cit., p. 309.

[28]

Al-Ghazali dalam A.A. Islahi, Ibid., p. 309.

[29]

Al-Ghazali dalam Fauzi Athwi, Op. Cit., p. 113.

[30]

Al-Ghazali, Op. Citp., IV, p. 1992.

[31]

Glan Iswara dan Nopirin, Ekonomi Moneter, Yogyakarta: BPFE), 1986,

[32]

Al-Ghazali, Op.Cit., II, p. 74.

p. 34.

Adalah seorang ulama yang lahir di wilayah Tunisia sekitar dua ratus
tahun setelah al-Ghazali, tepatnya tahun 1332 M. Nama aslinya Abdurrahman Ibn
Khaldun al-Hadlramiy al-Maghribiy, namun di kalangan masyarakatnya ia biasa
dipanggil Abu Zaid. Karyanya yang menjadi masterpiece adalah al-Muqaddimah
yang merupakan kumpulan pemikirannya tentang ilmu-ilmu sosial, politik,
perekonomian dan sastra. Buku ini telah dicetak berulang-ulang dan diterjemahkan
dengan berbagai bahasa di dunia. Ia wafat pada tahun 808 H / 1406 M.
[33]

[34] Ibn Khaldun dalam Adiwarman A. Karim, Islamic Microeconomic,
(Jakarta: Muamalat Institute), Cet. I, 2001, p. 56.
[35]

Ibnu Khaldun, al-Muqaddimah, I, p. 407.

[36]

Ibnu Khaldun, al-Muqaddimah, II, p. 274.

[37]

Ibnu Khaldun, al-Muqaddimah, II, p. 240.

Ia adalah Taqiyuddin ibn Ali al-Maqrizi. Kata Maqrizi diambil dari desa
Muqarazah, wilayah Ba’labak. Dilahirkan di Kairo tahun 1364 M. Ia wafat di kota
kelahirannya pada tahun 845 H/ 1445 M. Karya-karya yang pernah ditulisnya alMuwa’idz wa al-I’tibar fi al-Khuthath wa al-Atsar. Buku terkenal dengan nama alKhuthath atau Khuthath al-Maqrizi, Ighatsah al-Ummah bi Kasyfi la-Ghummah
dan Tarikh al-Muja’at fi Mishr.
[38]

[39]

Muhammad, Op. Cit., p. 27. Al-Maqrizi dalam Fauzi Athwi, Op. Cit., p.

125.
[40] Al-Maqrizi dalam Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam, Suatu Kajian
Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press), 2001, p. 67. Al-Maqrizi dalam Fauzi
Athwi, Ibid., p. 122

[41] Al-Maqrizi dalam Adiwarman A. Karim, Ibid., p. 68. Al-Maqrizi dalam Fauzi Athwi, Ibid., p. 123.
[42] Al-Maqrizi dalam Fauzi Athwi, Ibid., p. 121.
[43] Al-Maqrizi dalam Fauzi Athwi, Ibid., p. 122.

[44]

Al-Maqrizi dalam Fauzi Athwi, lbid. p. 122

[45]

Al-Maqrizi dalam Fauzi Athwi, Ibid.., p.122

[46]

Al-Maqrizi dalam Fauzi Athwi, Ibid., p. 123-124.

[47] Pati Matu Jahra, Teori dan Kebijakan Moneter Islami, Makalah, Program
Magister Studi Islam, Universitas Islam Indonesia, 2000, p. 1.
[48]

Muhammad, Ibid.., p. 25.

[49]

Lihat juga QS. al-Dzariyat: 19.