KEBIJAKAN PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA

KEBIJAKAN PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Kebijakan Hukum Lingkungan

Program Studi Magister Ilmu Lingkungan

Oleh :
ZUMRODI

250120150017

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2016

I.

Pendahuluan
1.1 Perkembangan internasional negosiasi kebijakan perubahan iklim


Isu global perubahan iklim semakin mengemuka dan banyak dibahas di berbagai
forum dalam kurun waktu sejak 20 tahun terakhir. Istilah perubahan iklim dapat diartikan
sebagai berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas
manusia sehingga menyebabkan perubahan komposisi atmosfir secara global dan selain itu
juga berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat
dibandingkan. Hasil konvensi para pemimpin di dunia (Earth Summit) di Rio de Janeiro,
Brasil pada tahun 1992 menetapkan PBB membentuk badan dunia bernama UNFCCC
(United Nation Framework Convention on Climate Change) yang akan membangun kerangka
kerja bersama untuk mengatasi perubahan iklim. Walaupun dengan tarik ulur yang sangat
kuat antara negara industri dan berkembang perihal pertanggung-jawaban terhadap kenaikan
suhu bumi, akhirnya pada pertemuan antar-negara ke-5 (COP 5) di Kyoto, Jepang, pada tahun
1997 dihasilkan satu kesepakatan bersama yang dikenal dengan nama Kyoto Protocol (KP).
Melalui Undang-Undang Nomor 17 tahun 2004, Pemerintah Indonesia telah
pengesahan Protokol Kyoto atas konvensi kerangka kerja Perserikatan Bangsa Bangsa
tentang perubahan iklim, hal ini membawa konsekuensi bahwa Indonesia terlibat secara
langsung maupun tidak langsung dalam upaya mengatasi perubahan iklim. Hasil kesepakatan
bersama dari Kyoto Protocol menargetkan penurunan emisi dari negara maju rata-rata sebesar
5,2% (Lampiran 1 Kyoto Protocol) sampai tahun 2012, dari tingkat emisi pada tahun 1990.
Seharusnya pada tahun 2012 target penurunan emisi 5,2% oleh negara maju (Annex 1) sudah

dievaluasi (kesepakatan Kyoto Protocol 1997). Namun, target tersebut diperkirakan tidak
tercapai.
Panel antar-pemerintah mengenai perubahan iklim (Intergovernmental Panel on
Climate Change, IPCC) memprediksi bahwa perubahan iklim saat ini berjalan lebih cepat
dari perkiraan sebelumnya. Oleh karena itu, perlu ada upaya ekstrim atau deep cut penurunan
emisi gas rumah kaca sampai tahun 2050. Sampai tahun 2020, negara-negara yang tergabung
dalam Uni Eropa berencana menurunkan emisinya rata-rata 20% di bawah tingkat emisi
tahun 1990. Hingga saat ini negosiasi masih berlangsung dan belum ada kesepakatan bersama
yang akan dilakukan pasca-berakhirnya Kyoto Protocol 2012.
Beberapa negara maju yang menjadi kunci keberhasilan negosiasi perubahan iklim
justru menghambat. Amerika Serikat, misalnya, menyatakan penolakan secara terangterangan terhadap pencantuman terminologi Protokol Kyoto dalam bentuk apa pun. Posisi
serupa diambil Jepang pada saat menolak konsep periode kedua komitmen Protokol Kyoto,
atau lebih dikenal dengan istilah second commitment period. Situasi seperti ini bias dan
menimbulkan polarisasi yang lebih kuat antara kubu-kubu yang memiliki pendapat berbeda,
sehingga menghambat kemajuan perundingan. Jepang dan Rusia terang-terangan tidak mau
melanjutkan komitmen penurunan CO2 sesuai Protokol Kyoto, yang akan berakhir
2

komitmennya pada 2012. Namun pada COP 17, Kelompok Kerja Adhoc Protokol Kyoto
(AWGKP) menyepakati komitmen kedua Protokol Kyoto yang dimulai pada tahun 2013

hingga 2017, atau sampai tahun 2020.
Dalam konteks perundingan internasional, negara-negara miskin dan negara-negara
berkembang tidak seharusnya mengorbankan pertumbuhan ekonomi demi mengatasi
perubahan iklim-sebuah permasalahan yang sebenarnya disebabkan oleh negara negara
industri kaya. Akan tetapi mereka lebih memerlukan pemikiran ulang dalam strategi
pertumbuhan mereka demi memaksimalkan prospek pertumbuhan dimasa mendatang (Ellis,
2009).
1.2 Perkembangan kebijakan nasional (Perpres 61 dan 71 tahun 2011)
Sejak tahun 2007, perkembangan perubahan iklim di Indonesia mencapai momentum
yang signifikan ketika Indonesia menjadi tuan rumah Conference of Parties (COP) UNFCCC
yang ke 13 di Bali. Indonesia kemudian mendirikan lembaga dan memberlakukan beberapa
dokumen kebijakan dan peraturan terkait dengan perubahan iklim. Dewan Nasional
Perubahan Iklim (DNPI) dibentuk pada tahun 2008 dan bertugas sebagai focal point isu-isu
perubahan iklim dalam forum internasional. Berikutnya, Pemerintah Indonesia
mengarusutamakan aktivitas perubahan iklim ke dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2009-2014 dan membentuk sebuah lembaga dana perwalian
nasional/trust fund (ICCTF3) untuk mendanai kegiatan yang berkaitan dengan perubahan
iklim. Pada akhir 2009, Indonesia mengumumkan komitmen sukarelanya untuk aksi mitigasi
yang diikuti dengan penetapan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana
Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK).

Sebagai tindak lanjut dari komitmen di atas, RAN-GRK disusun dan dilengkapi dengan
kerangka kebijakan untuk periode 2010-2020 yang ditujukan bagi pemerintah pusat,
pemerintah daerah, sektor swasta, dan pemangku kepentingan lain untuk melakukan aksi
yang terkait langsung maupun tidak langsung. Kerangka kebijakan tersebut merujuk kepada
visi dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional 2005-2025 dan periode
kedua dari prioritas yang tercakup dalam RPJMN 2010 – 20145. Visi dan prioritas tersebut
kemudian diterjemahkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) sebagai payung kebijakan
perubahan iklim di Indonesia.
Indonesia telah mengambil sikap untuk berjuang pada dua jalur negosiasi, yaitu pada
Protokol Kyoto (Adhoc Working Group under the Kyoto Protocol, AWG-KP) dan negoisasi
di bawah kerangka aksi jangka panjang (Adhoc Working Group for Longterm Cooperative
Actions under the Convention, AWGLCA). Topik negosiasi adalah mitigasi, adaptasi,
pendanaan, transfer teknologi, pengembangan kapasitas dan REDD+. Indonesia juga
mengambil peran dengan menyetujui peran MRV sebagai suatu mekanisme untuk
diaplikasikan oleh semua pihak dalam reduksi emisi.

3

Indonesia berkomitmen menurunkan emisi GRK 26% dengan kemampuan sendiri
(bussines as usual) dan menjadi 41% dengan bantuan luar negeri sampai tahun 2020.

Komitmen ini tertuang dalam Rencana Aksi Nasional (RAN) GRK yang diprakarsai oleh
Bappenas dan sudah ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang
Yudhoyono, melalui Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi
Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Dalam peraturan tersebut terdapat lima sektor
yang terlibat secara langsung, yaitu kehutanan dan lahan gambut, limbah, pertanian,industri
dan energi dan transportasi.
Tabel 1. Target penurunan emisi sektoral pada tahun 2020 menurut RAN-GRK

Sektor

Target Penurunan Emisi (Juta tCO2e)
Unilateral (26%)

Multilateral (41%)

672

1.029

Petanian


8

11

Energi dan transportasi

36

56

Industri

1

5

Pengelolaan limbah

48


78

Total

767

1.189

Hutan dan Gambut

Berdasarkan lampiran Perpres RAN GRK, pertanian berkewajiban menurunkan
emisinya sekitar 8 juta ton CO2e BAU atau 11 juta ton CO2e apabila ada komitmen
internasional sampai tahun 2020. Sektor kehutanan dan lahan gambut berkewajiban
menurunkan sebesar 672 juta ton CO2e BAU atau 1.039 juta ton CO2e apabila ada
komitment bantuan internasional. Selanjutnya sektor energi dan transportasi berkewajiban
menurunkan emisi sebesar 38 juta ton CO2e BAU atau 56 juta ton CO2e dengan adanya
komitmen bantuan internasional. Kemudian sektor industi berkewajiban menurunkan
emisinya sekitar 1 juta ton CO2e BAU atau 5 juta ton CO2e apabila ada komitmen
internasional sampai tahun 2020. Terakhir sektor pengelolaan limbah berkewajiban

menurunkan emisinya sekitar 48 juta ton CO2e BAU atau 78 juta ton CO2e apabila ada
komitmen internasional sampai tahun 2020.
Dalam konteks perundingan internasional UNFCCC, komitmen negara maju dan
berkembang menurunkan emisi GRK tertuang dalam NAMACs (Nationally Appropriate
Mitigation Action Commitments) dan NAMAs (Nationally Appropriate Mitigation Actions).
Hal ini tertuang dalam Bab 4 hasil kesepakatan Cancun pada tahun 2010 atau dikenal dengan
nama Cancun Agreements. Dalam berbagai diskusi tentang perubahan iklim di tingkat
nasional sering muncul pertanyaan apakah RAN GRK dalam Peraturan Presiden Nomor 61
Tahun 2011 adalah NAMAs Indonesia, sebagai komitmen kepada UNFCCC untuk
menurunkan emisi. Sampai saat ini pemerintah belum mengusulkan NAMAs Indonesia ke
UNFCCC.
4

Namun sebagian kegiatan yang tertera dalam RAN GRK kemungkinan akan diangkat
sebagai NAMAs Indonesia. Dalam NAMAs, ada beberapa istilah, yaitu unilateral NAMAs
yang berarti komitmen menurunkan emisi GRK berdasarkan pembiayaan sendiri atau melalui
mekanisme APBN. Unilateral NAMAs untuk Indonesia adalah komitmen penurunan emisi
sampai 26%. Selain Unilateral NAMAs, ada istilah Supported NAMAs dimana penurunan
emisi GRK Indonesia harus didukung oleh pendanaan internasional. Supported NAMAs
adalah tambahan 15% dari komitmen yang sudah dicanangkan 26%. Artinya, untuk

supported NAMAs, target yang akan dicapai 41%. Istilah lainnya adalah market based
mechanism atau perdagangan karbon. Untuk market base NAMAs ini adalah penurunan
emisi GRK di atas 41%.
Semua komitmen penurunan emisi yang bersifat unilateral, supported maupun market
menurut ketentuan dalam Cancun Agreement akan dikenakan monitoring yang bersifat MRV.
Namun sebagai negara berkembang, MRV yang akan dilakukan hanya bersifat domestik
dengan menggunakan metode yang diterima internasional sesuai dengan prinsip common but
differentiated responsibilities and respected capabilities (CDBR). Makna dari prinsip CDBR
dalam konteks perundingan perubahan iklim, khususnya untuk mitigasi, adalah para pihak
harus menurunkan emisi GRK dengan kewajiban, kemampuan, dan tanggung jawab yang
berbeda.
Indonesia juga telah secara aktif berpartisipasi dalam negosiasi dan pengembangan
REDD+ sejak tahun 2007. Beberapa inisitatif REDD+ telah diluncurkan dan diikuti dengan
beberapa perubahan kebijakan dan peraturan nasional untuk mendukung REDD+. Sebagai
tindak lanjut Bali Action Plan, Indonesia telah mendapatkan akses untuk menerima bantuan
dana multilateral dan bilateral dalam mendukung fase kesiapan REDD+6. Indonesia juga
telah menandatangani perjanjian dengan pemerintah Norwegia untuk mananggulangi emisi
yang dihasilkan dari deforestasi dan degradasi hutan.
Sebagai tindak lanjutnya, Indonesia kemudian merumuskan strategi dan rencana aksi
nasional untuk REDD+7. Perkembangan kerangka aksi mitigasi Indonesia saat ini telah

mengalami kemajuan karena hampir seluruh provinsi telah membuat Rencana Aksi Daerah
untuk Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK). Tidak hanya dalam hal perencanaan
semata, pada tahun 2012 sistem monitoring, evaluasi dan pelaporan (MER) untuk aksi-aksi
mitigasi juga telah dibuat melalui kolaborasi dengan pemerintah daerah dan kementerian
terkait. Sistem Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional (SIGN) yang dikoordinasi oleh KLH
dibentuk pada tahun 2011. Sistem ini merupakan pilar fundamental dalam penerapan MRV di
Indonesia. Sistem ini dapat memberikan hasil evaluasi yang dapat dipertanggungjawabkan
untuk membuat laporan dua tahunan (biennial update reporting/BUR) dan national
communication ke UNFCCC.
Pelaksanaan RAN/RAD-GRK diharapkan dapat dikaitkan dengan prinsip-prinsip dan
prioritas pembangungan nasional, kelayakan dan potensi mitigasi, serta dukungan fi nansial.
5

Lebih lanjut, RAN-GRK dapat pula dikatakan sebagai langkah awal dalam pengembangan
dan pelaksanaan NAMAs. NAMAs akan mendukung pelaksanaan RAN-GRK kedepan
dengan adanya bantuan dana unilateral (untuk mendukung target pengurangan emisi sebesar
26%) dan bantuan dana internasional (untuk mengurangi emisi hingga 41%).
II.

Permasalahan

2.1 Deskripsi kebijakan eksisting dan tren saat ini

Implementasi kebijakan yang saat ini dilaksanakan di Indonesia adalah mengacu
kepada target pengurangan sebesar 26% secara unilateral pada tahun 2020. Angka target ini
kemudian direvisi menjadi 29% pada tahun 2030 menjelang pertemuan ke 17 COP di Paris
pada November 2015. Tingkat emisi termasuk didalamnya penggunaan lahan dan kehutanan
akan mencapai 2.519 MtCO2e pada tahun 2020, dengan 56% emisi berasal dari penggunaan
lahan. selain itu, kebijakan yang akan menjadi kunci keberhasilan pengurangan emisi adalah
kebijakan energi hijau, yang merupakan sebuah rencana penggunaan pemenuhan energi pada
masa mendatang. Peraturan ini termasuk didalamnya adalah pembangkit listrik dari energi
terbarukan, dan termasuk penggunaan biofuel, yang akan mengurangi emsi secara nyata pada
sektor energi dan transportasi, dengan catatan bahwa jaminan produksi yang berkelanjutan
dapat dilakukan.
Tabel 2. Kebijakan sektoral eksisting dalam upaya penurunan emis gas rumah kaca

Kebijakan
Kebijakan energi hijau

Implikasi
Dampak terhadap pengurangan emisi sangat
kecil, mengingat pada saat yang sama
dukungan
terhadap
pengembangan
pembangkit listrik berbahan bakar batubara
juga dilakukan.

Kuota biofuel, subsidi harga biofuel dan Mempunyai dampak yang sangat nyata
obligasi untuk pembelian biofuel untuk terhadap penurunan emisi, apabila ada
perusahaan minyak nasional

jaminan bahwa produksi biofuel dilakukan
secara sustainabel (ramah lingkungan)

Undang-Undang energi, Kebijakan energi Lebih terfokus pada efisiensi energi, sulit
nasional
untuk diterapkan, implikasi terhadap
penurunan emisi sangat rendah
Pemberdayaan hukum sektor kehutanan, Mempunyai dampak penurunan emisi yang
tata pemerintahan (kewenangan) dan sangat nyata pada sektor LULUCF (Land
perdagangan (produk berbasis hutan)
use, Land Use Change and Forestry), lebih
baik apabila digabungkan dengan upaya
pemberantasan pembalakan liar dan alih
fungsi lahan

6

Untuk mengurangi emisi lebih jauh melalui kebijakan energi hijau, fokus dapat
diterapkan pada penggunaan energi terbarukan, sebagaimana perencanaan yang saat ini
dilakukan, pengurangan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, terutama tekanan untuk
mempertahankan batubara, karena cadangan yang relatif masih tersedia. Sektor lain yang
menjadi perhatian dalam upaya mitigasi perubahan iklim melalui pengurangan emisi gas
rumah kaca adalah melalui pembuatan kebijakan pada sektor LULUCF. Akan tetapi,
pengurangan emisi sebgaimana diharapakan melaui program yang saat ini dijalankan adalah
sangat sulit untuk dikaji, mengingat tingginya angka ketidak-pastian data pada sektor ini.
Dalam perencanaan pembangunan, Indonesia juga relatif sangat “malu-malu” dalam
menetapkan perubahan penggunaan energi fosil menjadi energi terbarukan. Sesuai kebijakan
energi nasional, yang ditetapkkan melalui peraturan pemerintah nomor 79 tahun 2014, energi
terbarukan hanya ditargetkan menyumbang 23% pemenuhan energi pada tahun 2025. Sebuah
angka yang relatif kecil apabila dibandingkan dengan segala potensi energi terbarukan di
Indonesia yang sangat besar. Energi terbarukan rendah emisi karbon seperti angin, matahari,
mikrohidro, panas bumi, gelombang dan beda suhu lautan sampai saat ini belum
dimanfaatkan secara nyata dan belum menjadi mainstream dalam kebijakan energi secara
nasional.
Tabel 3. Potensi sumber daya energi nasional

Indonesia merupakan negara ke enam di dunia dalam emisi gas rumah kaca. Berbeda
dengan beberapa negara yang lain, sebagiaan besar sumber emisi di Indonesia berasal dari
kerusakan hutan (deforestration) dan lahan gambut akibat perambahan hutan atau alih fungsi
7

lahan (LULUCF). Salah datu yang mengemuka adalah alih fungsi hutan dan lahan menjadi
perkebunan sawit dan bahan kertas. Indonesia memiliki peran yang strategis untuk turut
terlibat dalam menghadapi perubahan iklim melalui kebijakan dan janji penurunan emisi gas
rumah kaca .
Indonesia, yang merupakan salah satu produsen batubara terbesar di dunia, juga
berupaya untuk menyandarkan pemenuhan kebutuhan energi secara nyata dari batubara,
setelah China yang merupakan salah satu pasar ekspor utama memotong impornya secara
drastis karena perubahan kebijakan. Pengapalan batubara ke China dalam beberapa tahun
terakhir telah berkurang hampir 50%, sementara konsumsi lokal batubara dalam enam tahun
terakhir telah meningkat hampir dua kali lipat. Kebijakan ini menjadikan saat ini, hampir
35% kebutuhan energi listrik di Indonesia berasal dari energi tak terbarukan berupa batubara
(Greenpeace, 2014).
2.2 Permasalahan sektor yang menjadi obyek kajian
Indonesia, yang merupakan salah satu negara penyumbang emisi karbon terbesar di
dunia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon sebesar 29% pada tahun 2030,
sebuah revisi dari angka 26% pada tahun 2020, sebagaimana arah yang saat ini ada secara
bussines as usual. Pengumuman tersebut merupakan salah satu langkah perencanaan besar
bagi Indonesia-sebuah negara dengan perkembangan ekonomi yang sangat pesat-dalam
menghadapi pertemuan Paris pada November 2015, yang membatasi pemanasan global pada
angka 2 derajat pada 2030. Indonesia juga telah menyiapkan pengurangan emisi sebesar 41%
jika mendapat dukungan pendanaan dan teknologi dari negara negara industri. Dalam upaya
ini diperlukan harga pendanaan sebesar US$ 6 bn.
Menanggapi pernyataan dan komitmen ini, World Resource Institute (WRI), sebuah
lembaga tink-tank bidang lingkungan yang cukup kredibel menyatakan bahwa adalah hampir
mustahil bagi Indonesia untuk mencapai komitmen atau ambisi dalam mengurangi emisi
karbon. Dengan kata lain bagaimana target tersebut akan terpenuhi adalah sangat sulit
mengingat negara ini adalah sangat samar dalam perencanaan dan implementasi. Kebijakan
yang telah disusun tersebut tidak banyak memuat informasi yang jelas. Kebijakan yang ada
sekarang pun tidak memungkinkan adanya akuntabilitas yang mencukupi karena adanya
keterbatasan tranparansi, khususnya pada sektor sektor yang dominan seperti kehutanan dan
lahan gambut serta sektor energi dan transportasi.
Salah satu paradok dalam implementasi kebijakan penurunan emisi gas rumah kaca
adalah kejadian kebakaran hutan yang terus berulang dari tahun 1997 dan mencapai
puncaknya pada tahun 2015. Kebakaran hutan pada tahun 1997 diperkirakan mengemisikan
hampir 9.000 MtCo2e, angka yang hampir setara dengan emisi sebuah negara maju di eropa
dalam waktu setahun (Page et al, 2002). Secara rata-rata tiap tahun ssekitar 1.400 MtCO2e
dilepaskan dalam kejadian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Selain itu kerusakan
lahan gambut akibat pengeringan juga mengakibatkan 600 MtCO2e dilepaskan ke atmosfer
8

akibat dekomposisi. Kebakaran hutan besar pada 2015 mengakibatkan emisi harian sektor
kehutanan menjadi empat kali lebih tinggi dari emisi harian Amerika Serikat atau China (lihat
tabel 4). Dilain pihak, pemanasan global seakan menjadi sebuah lingkaran setan yang
mengakibatkan peningkatan resiko kebakaran dan kerusakan hutan dan lahan gambut akibat
iklim dan cuaca yang tidak menentu seperti musim kemarau yang lebih panjang.
Tabel 5. Emisi Karbon Kebakaran Hutan Tahun 2015 relatif terhadap emisi harian negara lain

Sektor kehutanan dan lahan gambut menyumbang hampir 87,6% emisi indonesia.
Selanjutnya adalah sektor pengelolaan limbah sebesar 6,3% dan 4,7%. Dalam kajian ini akan
di telaah dua sektor yang paling dominan dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca di
indonesia, dalam hal ini dipilih sektor: (1) kehutanan dan lahan gambut ; dan (2) sektor
energi dan transportasi. Kedua sektor ini apabila digabungkan sudah mencakup hampir
92,3% emisi di Indonesia. Ini membawa konsekuensi bahwa implementasi kebijakan yang
benar pada dua sektor ini akan secara dominan mempengaruhi keberhasilan pencapaian target
penurunan emisi gas rumah kaca di Indonesia.

III. Metode
Dalam kajian ini digunakan metode analisis SWOT untuk menelaah kebijakan yang
telah, sedang dan akan dilaksanakan dalam upaya pengurangan emisi gas rumah kaca di
Indonesia. Analisis SWOT adalah alat atau metoda untuk mengidentifikasi berbagai faktor
secara sistematis guna merumuskan strategi dan pencapaian suatu tujuan. Analisis ini
didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang
(opportunity), namun secara bersama-sama dapat meminimalkan kelemahan (weakness) dan
ancaman (threats). Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal, peluang
(opportunities) dan ancaman (threats) dengan faktor internal kekuatan (strengths) dan

9

kelemahan (weakness). Analisa dalam kajian ini dibatasi dalam konteks kebijakan sektor
kehutanan dan energi yang terkait dengan kebijakan penurunan emisi gas rumah kaca.

IV. Hasil dan Pembahasan
4.1 Hasil dan pembahasan
Indonesia menadatangani Protokol Kyoto pada tahun 1998 dan meratifikasinya pada
tahun 2004 melalui Undang-Undang nomor 17 tahun 2004. Semenjak itu berbagai kebijakan
dan peraturan muncul sebagai tindak lanjut upaya pengurangan emisi gas rumah kaca dalam
rangka mengurangi dampak perubahan iklim. Diantara peraturan peraturan yang mewadahi
kebijakan penurunan emisi gas rumah kaca di Indonesia adalah : (1) Undang-Undang 17
Tahun 2004 tentang pengesahan Protokol Kyoto atas konvensi kerangka kerja Perserikatan
Bangsa Bangsa tentang perubahan iklim; (2) Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011
tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca; (3) Peraturan Presiden
Nomor 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional; (4)
NAMAs, Nationally Appropriate Mitigation Actions (komitmen negara berkembang untuk
menurunkan emisi) sesuai kesepakatan Cancun Agreement, 2010. Selain peraturan yang
terkait langsung dengan kebijakan penurunan emisi gas rumah kaca, terdapat juga peraturan
sektoral yang terkait secara tidak langsung yaitu : (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan; (2) Undang-Undang nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara; dan (3) Peraturan Pemerintah nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi
Nasional.
Komitment Indonesia sebelum pertemuan Paris (COP) adalah tertinggal jauh
dibandingkan negara berkembang lainnya seperti Meksiko dan Korea Selatan, yang telah
secara jelas menterjemahkan target pengurangan emisi kepada PBB. Sejauh ini, hanya
terdapat tiga negara lain yang telah secara kabur menterjemahkan skenario “bussines as
usual” dalam upaya penurunan emisi karbon, dan ketiga negera tersebut yaitu Benin, Gabon,
Trinidad-Tobago dibandingkan dengan Indonesia adalah negara-negara yang jauh lebih kecil.
Indonesia berkomitmen untuk menghentikan pembukaan hutan dan lahan gambut baru untuk
kegiatan perkebunan pada tahun 2011. Akan tetapi berlawanan dengan hal tersebut, sejumlah
petak besar lahan hutan dan gambut dibakar setiap musim kemarau untuk tujuan
pembangunan, salah satunya adalah pengembangan perkebunan kelapa sawit.
Dalam kasus Indonesia, WRI menyebutkan bahwa untuk mencapai target penurunan
emisi sebesar 26% pada tahun 2020 atau 29% pada tahun 2030, pemerintah Indonesia harus
berani melarang seluruh kegiatan pembukaaan hutan, termasuk hak pengusahaan hutan yang
telah dikeluarkan beberapa tahun yang lalu, yang saat ini akan diaktifkan kembali. Jika
Indonesia serius untuk melindungai seluruh kepulauan dari ancaman perubahan iklim, tidak
bisa tidak dilakukan dengan pengurangan emisi yang salah satunya adalah moratorium
permanen pengusahaan hutan (WRI, 2015). Area hutan dan lahan gambut yang sangat luas di
10

Indonesia merupakan salah satu cadangan karbon terbesar di dunia. Ketika cadangan ini
ditebang, atau dikeringkan dan dibakar untuk kegiatan perkebunan seperti kelapa sawit,
sejumlah besar karbon dioksida akan dilepaskan ke udara.
Tabel 6. Hasil analisa SWOT sektor kehutanan dan energi terbarukan dalam kebijakan
penurunan emisi gas rumah kaca
Analisis
Kekuatan
(Strength)

Sektor Kehutanan dan Lahan
Sektor Energi dan Transportasi
Gambut
Indonesia merupakan salah satu Cadangan energi terbarukan (angin,
negara dengan cadangan karbon matahari, geotermal, biofuel, biomassa)
(karbon stocks) terbesar di dunia di Indonesia adalah sangat besar
yang berasal dari hutan dan lahan
gambut.

Kelemahan
(Weakness)

Implementasi dan pemberdayaan
pelaksanaan kebijakan dan
peraturan sektor kehutanan masih
sangat lemah dengan ketersediaan
sumber daya dan infrastruktur yang
kurang memadai

Pemerintah Indonesia belum memiliki
kebijakan yang jelas dalam bentuk
kemudahan investasi, keringanan pajak
atau insentif yang lain dalam
pengembangan energi terbarukan,

Peluang
(Opportunity)

Implementasi pengelolaan
kehutanan berkelanjutan berpotensi
menjadi sumber pendanaan melalui
mekanisme pembangunan bersih
(CDM)

Energi terbarukan belum termanfaatkan
secara maksimal (misalnya geotermal
di Indonesia adalah terbesar di dunia
dan baru 5% yang dimanfaatkan).

Ancaman (Treat)

Sektor kehutanan dan
lahan
gambut masih dianggap sebagai
tumpuan penggerak pertumbuhan
ekonomi yang memberikan tekanan
lebih terhadap deforestrasi dan
degradasi, kuatnya kepentingan
politik global dan kepentingan
ekonomi global

Target konversi ke energi terbarukan
sangat rendah (hanya 23% pada tahun
2025), kebijakan yang ada belum
beranjak dari pemanfaatan energi fosil
(Minyak bumi, batubara dan gas bumi),
sampai dengan tahun 2025 energi fosil
masih
secara
dominan
(77%)
menyumbang penggunaan energi di
Indonesia, harga minyak bumi yang
murah

Kebijakan dan peraturan sektor kehutanan yang ada saat ini relatif sudah baik, akan
tetapi implementasi dan pemberdayaan pelaksanaan kebijakan dan peraturan tersebut masih
sangat lemah. Ada beberapa kebijakan dan peraturan yang mendukung terselenggaranya
pengelolaan kehutanan secara berkelanjutan. Peraturan tersebut misalnya peraturan
pemerintah nomor 24 tahun 2010 tentang penggunaan kawasan hutan, dan peraturan
pemerintah nomor 10 tahun 2010 tentang tata cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan
hutan. Sayangnya kapasitas pemerintah dalam melaksanakan dan mengimplementasikan
berbagai peraturan tersebut masih sangat terbatas. Salah satu misalnya adalah lemahnya
koordinasi dalam penanganan pembalakan liar dan kejahatan kehutanan seperti kebakaran
11

hutan. Diperlukan perencanaan yang lebih detail dalam pelaksanaan kebijakan bagi para
pihak yang terlibat dalam pengelolaan kehutanan, pendanaan yang mencukupi, penyusunan
sistem informasi yang terintegrasi serta protokol standar dalam layanan dan tindakan.
Kebijakan pengembangan produksi biofuel juga sangat beresiko dan rentan
menimbulkan masalah baru. Indonesia berencana mengembangankan produksi biofuel, selain
demi mencukupi kebutuhan domestik untuk mengurangi konsumsi bahan bakar fosil juga
untuk memenuhi permintaan ekspor, khususnya ke negara-negara eropa. Bioetanol saat ini
sebagian besar diproduksi dari tebu dan singkong, yang berkompetisi dengan kebutuhan
sebagai bahan pangan. Selanjutnya biodiesel dikembangkan dari minyak sawit mentah
(CPO), stearin (hasil samping CPO), dan minyak jarak. Pada tahun 2009, konsumsi biofuel
mencapai 700 juta liter atau 2% dari konsumsi minyak diesel yang berasal dari lahan seluas
200.000 hektar kelapa sawit.
Pada tahun 2025 diperkirakan kebutuhan biodiesel akan meningkat menjadi 4.700
juta liter atau sebesar 5% dari konsumsi minyak diesel. Untuk itu akan dibutuhkan lahan
kelapa sawit seluas 1,4 juta hektar yang diperkirakan berdampak pada tekanan deforestasi
yan lebih tinggi. Potensi besar ada pada minyak jarak yang dapat diproduksi pada lahan
marjinal, yang pada saat bersamaan kan meningkatkan taraf hidup masyarakat pada lahan
kurang subur dan sekaligus mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Kebijakan pengembangan penggunaan batubara sebagai sumber energi akan
meningkatkan emisi lebih besar. Sebagai gambaran emisi gas rumah kaca dari pembakaran
batu bara pada tahun 2025 akan 20 kali lebih besar dari angka emisi tahun 2005 (Hutapea,
2007). Salah satu sebabnya adalah kencangnya pengembangan pembangkit listrik tenaga uap
berbahan bakar batubara (sebesar 10.000 MW di Jawa).
Pemanfaatan sumber energi terbarukan di indonesia masih belum berkembang,
menghadapi berbagai masalah sehingga sektor swasta tidak tertarik untuk berpartisipasi
dalam pengembangan sektor ini. Pada saat yang sama Pemerintah Indonesia belum memiliki
kebijakan yang jelas dalam bentuk kemudahan investasi, keringanan pajak atau insentif yang
lain dalam pengembangan sektor ini. Perkembangan sektor ini bergerak sangat lambat bahkan
dapat dikatakan konstan. Manakala kebijakan sektor energi secara umum mensyaratkan
pengembangan sumber energi berkelanjutan, instrumen pendukung untuk pelaksanaan
kebijakan ini seperti terlambat untuk disiapkan. Kebijakan seperti insentif fiskal maupun
keuangan seperti terlupakan. Hal ini sangat berbeda dengan kebijakan di negara lain seperti
China dan India dimana kebijakan dalam mendukung pengembangan energi terbarukan
mendapat dukungan dan implementasi yang sangat jelas.

12

4.2 Saran kebijakan
Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 26% secara unilateral
atau 42% dengan adanya bantuan dari dunia internasional. Proporsi terbesar dari penurunan
emisi tersebut adalah berasal dari pengurangan kegiatan sektor kehutanan/deforestasi.
Dengan kebijakan yang ada dan kecenderungan pencapaian saat ini, sepertinya komitmen
tersebut akan sangat sulit untuk terpenuhi. Salah satu hal yang mendasari hal ini adalah
besarnya ketidak pastian pada emisi sektor hutan, penggunaan lahan, alih fungsi lahan
termasuk gambut didalamnya (LLUCF).
Berbagai kebijakan telah disiapkan Pemerintah Indonesia dalam upaya pengurangan
emisi gas rumah kaca. Akan tetapi kajian tentang pencapaian kebijakan akan sangat sulit
dilakukan terkait dengan tingginya ketidak pastian data pada sektor LULUCF (land use, land
use change and forestry). Dengan menggunakan proyeksi resmi dari Pemerintah Indonesia,
kebijakan yang ada akan sangat sulit untuk mencapai untuk memenuhi komitmen yang telah
dibuat. Indonesia dalam kebijakan internasional penurunan emisi gas rumah kaca dipandang
memiliki komitmen ambisi yang medium, akan tetapi sepertinya upaya untuk memenuhi
komitmen yang telah dibuat memiliki ketidak pastian yang sangat tinggi (Fakete et al, 2013).
Untuk itu diperlukan berbagai langkah strategis dalam mengatasi permasalahan yang
ada dalam upaya pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca khususnya pada sektor
kehutanan dan energi sebagaimana dibahas dalam kajian ini. Berdasarkan analisa yang telah
dilakukan, beberapa hal yang dapat dilakukan adalah :
Tabel 7. Matriks hasil analisa dan strategi tindakan

Faktor Internal
Kekuatan (S)

Kelemahan (W)

Faktor eksternal

Peluang (O)

Strategi menggunakan
kekuatan untuk memanfaatkan
peluang (SO)/Ekspansi :

Strategi mengurangi kelemahan
dengan memanfaatkan peluang
(WO)/Kontraksi :

1.

1.

2.

Memperkuat kebijakan
pengelolaan kehutanan
berkelanjutan
Pemanfaatan energi
terbarukan (angin,
matahari, geotermal,
biofuel, biomassa) untuk
mengurangi
ketergantungan pada
energi fosil

2.

Pendanaan sektor kehutanan
yang mencukupi, penyusunan
sistem informasi yang
terintegrasi serta protokol
standar dalam layanan dan
tindakan.
Penetapan kebijakan energi
terbarukan yang jelas, yang
didalamnya memuat bentuk
kemudahan investasi, keringanan
13

pajak atau insentif yang lain
dalam pengembangan energi
terbarukan

Ancaman (T)

Strategi memakai kekuatan
untuk mengatasi ancaman
(ST)/Diversifikasi :

Strategi meminimalisir kelemahan
dan mengatasi ancaman :
(WT)/Defensif

1.

1.

2.

Pemanfaatan potensi
cadangan karbon (karbon
stocks) dalam perundingan
dan perdagangan
internasional.
Mengembangkan berbagai
jenis sumber energi
terbarukan sesuai dengan
karakteristik masing
masing masing daerah
serta memperkuat peran

2.

Pengembangan sektor kehutanan
dengan memberdayakan potensi
yang ada dan pengembangan
hasil hutan non kayu serta jasa
ekosistem yang mendukung
pertumbuhan ekonomi.
Prioritas pengembangan energi
terbarukan pada daerah terpencil
atau daerah yang memiliki
kesulitan akses terhadap sumber
energi fosil.

pemangku kepentingan
dalam kebijakan ini.

V.

Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah dilakukan dalam kajian kebijakan penurunan emisi gas
rumah kaca dapat disimpulkan bahwa :
1. Sektor (1) kehutanan dan lahan gambut; dan (2) sektor energi dan transportasi
merupakan penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di Indonesia, implementasi
kebijakan yang benar pada dua sektor ini akan secara dominan mempengaruhi
keberhasilan pencapaian target penurunan emisi gas rumah kaca di Indonesia
2. Berdasarkan tren dan kebijakan yang ada, akan sangat sulit untuk mencapai target
pengurangan emisi gas rumah kaca pada tahun 2020, khususnya pada sektor
kehutanan dan energi.
3. Diperlukan perubahan kebijakan dan berbagai langkah strategis dalam mengatasi
permasalahan yang ada seperti misalnya : (1) pendanaan sektor kehutanan yang
mencukupi, penyusunan sistem informasi yang terintegrasi serta protokol standar
dalam layanan dan tindakan; dan (2) Penetapan kebijakan energi terbarukan yang
jelas, yang didalamnya memuat bentuk kemudahan investasi, izin, birokrasi,
keringanan pajak atau insentif yang lain dalam pengembangan energi terbarukan.

14

Referensi :
Bappenas, 2014, Perkembangan Penanganan Perubahan Iklim di Indonesia , Bappenas,
Jakarta.
DFID, 2007, Executif Summary: Indonesian and Climate Change, Working paper on current
status and policies, World Bank.
Ellis, Karen, 2009, Must developing countries sacrifice growth to save the planet?, Oversea
Development Institute, United Kingdom.
Hanna Fekete, et al, 2013, Analysis of Current Greenhouse Gas Emission Trends, Climate
Action Tracker, Report, 30 November 2013.

Heru, Bambang, Prof, 2015, Materi Kuliah Manajemen Sumber Daya Alam, Program Studi
Ilmu Lingkungan Unpad, Bandung.
Kementerian Pertanian, tanpa tahun, Panduan Inventori Gas Rumah Kaca dan Mitigasi
Perubahan Iklim Sektor Pertanian, Jakarta.
The Guardian, 2015, Indonesia to Cut Carbon Emissions by 29% by 2030, online, diakses
dari www.theguardian.com pada 25 Februari 2015.

15