SEJARAH Sejarah Nusantara dalam tulisan

SEJARAH
Sejarah Nusantara dalam tulisan ini dimaknai sebagai catatan mengenai rangkaian peristiwa
yang terjadi di kepulauan antara Benua Asia dan Benua Australia sebelum berdirinya
Republik Indonesia.
Daftar isi


1 Latar belakang



2 Zaman prasejarah



3 Periode protosejarah
o 3.1 Kerajaan Hindu/Buddha
o 3.2 Kerajaan Islam




4 Zaman kolonial
o 4.1 Kedatangan Portugis
o 4.2 Zaman VOC
o 4.3 Zaman Perang Dunia II dan setelahnya



5 Lihat pula



6 Referensi



7 Pranala luar

Latar belakang
Wilayah utama daratan Nusantara terbentuk dari dua ujung Superbenua Pangaea di Era
Mesozoikum (250 juta tahun yang lalu), namun bagian dari lempeng benua yang berbeda.


Dua bagian ini bergerak mendekat akibat pergerakan lempengnya, sehingga di saat Zaman Es
terakhir telah terbentuk selat besar di antara Paparan Sunda di barat dan Paparan Sahul di
timur. Pulau Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya mengisi ruang di antara dua bagian
benua yang berseberangan. Kepulauan antara ini oleh para ahli biologi sekarang disebut
sebagai Wallacea, suatu kawasan yang memiliki distribusi fauna yang unik. Situasi geologi
dan geografi ini berimplikasi pada aspek topografi, iklim, kesuburan tanah, sebaran makhluk
hidup (khususnya tumbuhan dan hewan), serta migrasi manusia di wilayah ini.
Bagian pertemuan Lempeng Eurasia di barat, Lempeng Indo-Australia di selatan, dan
Lempeng Pasifik di timur laut menjadi daerah vulkanik aktif yang memberi kekayaan mineral
bagi tanah di sekitarnya sehingga sangat baik bagi pertanian, namun juga rawan gempa bumi.
Pertemuan lempeng benua ini juga mengangkat sebagian dasar laut ke atas mengakibatkan
adanya formasi perbukitan karst yang kaya gua di sejumlah tempat. Fosil-fosil hewan laut
ditemukan di kawasan ini.
Nusantara terletak di daerah tropika, yang berarti memiliki laut hangat dan mendapat
penyinaran cahaya matahari terus-menerus sepanjang tahun dengan intensitas tinggi. Situasi
ini mendorong terbentuknya ekosistem yang kaya keanekaragaman makhluk hidup, baik
tumbuhan maupun hewan. Lautnya hangat dan menjadi titik pertemuan dua samudera besar.
Selat di antara dua bagian benua (Wallacea) merupakan bagian dari arus laut dari Samudera
Hindia ke Samudera Pasifik yang kaya sumberdaya laut. Terumbu karang di wilayah ini

merupakan tempat dengan keanekaragaman hayati sangat tinggi. Kekayaan alam di darat dan
laut mewarnai kultur awal masyarakat penghuninya. Banyak di antara penduduk asli yang
hidup mengandalkan pada kekayaan laut dan membuat mereka memahami navigasi pelayaran
dasar, dan kelak membantu dalam penghunian wilayah Pasifik (Oseania).
Benua Australia dan perairan Samudera Hindia dan Pasifik di sisi lain memberikan faktor
variasi iklim tahunan yang penting. Nusantara dipengaruhi oleh sistem muson dengan akibat
banyak tempat yang mengalami perbedaan ketersediaan air dalam setahun. Sebagian besar
wilayah mengenal musim kemarau dan musim penghujan. Bagi pelaut dikenal angin barat
(terjadi pada musim penghujan) dan angin timur. Pada era perdagangan antarpulau yang
mengandalkan kapal berlayar, pola angin ini sangat penting dalam penjadwalan perdagangan.
Dari sudut persebaran makhluk hidup, wilayah ini merupakan titik pertemuan dua provinsi
flora dan tipe fauna yang berbeda, sebagai akibat proses evolusi yang berjalan terpisah,

namun kemudian bertemu. Wilayah bagian Paparan Sunda, yang selalu tidak jauh dari
ekuator, memiliki fauna tipe Eurasia, sedangkan wilayah bagian Paparan Sahul di timur
memiliki fauna tipe Australia. Kawasan Wallacea membentuk "jembatan" bagi percampuran
dua tipe ini, namun karena agak terisolasi ia memiliki tipe yang khas. Hal ini disadari oleh
sejumlah sarjana dari abad ke-19, seperti Alfred Wallace, Max Carl Wilhelm Weber, dan
Richard Lydecker. Berbeda dengan fauna, sebaran flora (tumbuhan) di wilayah ini lebih
tercampur, bahkan membentuk suatu provinsi flora yang khas, berbeda dari tipe di India dan

Asia Timur maupun kawasan kering Australia, yang dinamakan oleh botaniwan sebagai
Malesia. Migrasi manusia kemudian mendorong persebaran flora di daerah ini lebih jauh dan
juga masuknya tumbuhan dan hewan asing dari daratan Eurasia, Amerika, dan Afrika pada
masa sejarah.
Zaman prasejarah
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Nusantara pada periode prasejarah

Fosil-fosil Homo erectus yang ditemukan di beberapa tapak di Jawa menunjukkan
kemungkinan kontinuitas populasi mulai dari 1,7 juta tahun (Sangiran) hingga 50.000 tahun
yang lalu (Ngandong). Rentang waktu yang panjang menunjukkan perubahan fitur yang
berakibat pada dua subspesies berbeda (H. erectus paleojavanicus yang lebih tua daripada H.
erectus soloensis). Swisher (1996) mengajukan tesis bahwa hingga 50.000 tahun yang lalu
mereka telah hidup sezaman dengan manusia modern H. sapiens. [1]
Migrasi H. sapiens (manusia modern) masuk ke wilayah Nusantara diperkirakan terjadi pada
rentang waktu antara 70 000 dan 60 000 tahun yang lalu. Masyarakat berfenotipe
Austrolomelanesoid, yang kelak menjadi moyang beberapa suku pribumi di Semenanjung
Malaya (Semang), Filipina (Negrito), Aborigin Australia, Papua, dan Melanesia, memasuki
kawasan Paparan Sunda. Mereka kemudian bergerak ke timur. Gua Niah di Sarawak
memiliki sisa kerangka tertua yang mewakili masyarakat ini (berumur sekitar 60 sampai 50
ribu tahun). Sisa-sisa tengkorak ditemukan pula di gua-gua daerah karst di Jawa (Pegunungan

Sewu). Mereka adalah pendukung kultur Paleolitikum yang belum mengenal budidaya
tanaman atau beternak dan hidup meramu (hunt and gathering).
Penemuan seri kerangka makhluk mirip manusia di Liang Bua, Pulau Flores, membuka
kemungkinan adanya spesies hominid ketiga, yang saat ini dikenal sebagai H. floresiensis.

Selanjutnya kira-kira 2500 tahun sebelum Masehi, terjadi migrasi oleh penutur bahasa
Austronesia dari Taiwan ke Filipina, kemudian ke selatan dan Indonesia, dan ke timur ke
Pasifik. Mereka adalah nenek moyang suku-suku di wilayah Nusantara.
Orang Austronesia ini paham cara bertani, ilmu pelayaran bahkan astronomi. Mereka juga
sudah memiliki sistem tata pemerintahan sederhana serta memiliki pemimpin (raja kecil).
Kedatangan imigran dari India pada abad-abad akhir Sebelum Masehi memperkenalkan
kepada mereka sistem tata pemerintahan yang lebih maju (kerajaan).
Periode protosejarah

Bas-relief (relief dalam) pada Candi Borobudur, menunjukkan kapal/perahu bercadik khas
Nusantara yang digunakan pedagang dari wilayah ini. Perhatikan pula arsitektur rumah
panggung di sisi kiri, yang banyak dijumpai di berbagai tempat di Nusantara.
Kontak dengan dunia luar diketahui dari catatan-catatan yang ditulis orang Tiongkok. Dari
sana diketahui bahwa telah terdapat masyarakat yang berdagang dengan mereka. Objek
perdagangan terutama adalah hasil hutan atau kebun, seperti berbagai rempah-rempah, seperti

lada, gaharu, cendana, pala, kemenyan, serta gambir, dan juga emas dan perak. Titik-titik
perdagangan telah tumbuh, dipimpin oleh semacam penguasa yang dipilih oleh warga atau
diwarisi secara turun-temurun. Catatan Tiongkok menyebutkan bahwa pada abad-abad
pertama masehi diketahui ada masyarakat beragama Buddha, Hindu, serta animisme.
Temuan-temuan arkeologi dari beberapa ratus tahun sebelum masehi hingga periode HinduBuddha menunjukkan masih meluasnya budaya Megalitikum, bersamaan dengan budaya
Perundagian. Catatan Arab menyebutkan pedagang-pedagang dari timur berlayar hingga
pantai timur Afrika. Peta Ptolemeus, penduduk Aleksandria, menuliskan Chersonesos aurea
("Semenanjung Emas") untuk wilayah yang kemungkinan adalah Semenanjung Malaya atau
Pulau Sumatera.

Kerajaan Hindu/Buddha



Kerajaan Salakanagara



Kerajaan Kediri




Kerajaan Isyana



Kerajaan



Kerajaan Kanjuruhan



Kerajaan Negara Daha



Kerajaan Janggala




Kerajaan Negara Dipa



Kerajaan Singasari



Kerajaan Tanjung Puri



Kerajaan Majapahit



Kerajaan Nan Sarunai


Kerajaan Galuh



Kerajaan Dharmasraya



Kerajaan Kuripan

Kerajaan Kalingga



Kerajaan Pajajaran



Kerajaan


Kerajaan Keritang



Kerajaan Blambangan

Tarumanagara






Kerajaan Kutai
Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sunda dan

Tulang

Bawang




Kerajaan

Mataram

(Mataram Kuno)


Kerajaan Medang



Kerajaan Kahuripan

Kerajaan Islam


Kesultanan Aceh



Kesultanan Asahan



Kerajaan Kemuning



Kerajaan Batin Enam Suku



Kerajaan Indragiri






Kerajaan Aru



Kerajaan Mengwi

Kerajaan Sailendra
Kerajaan Sanjaya



Kesultanan Banten



Kesultanan Bima



Kesultanan Bulungan



Kesultanan Buton



Kesultanan Cirebon



Kesultanan Lingga-Riau



Kesultanan Deli



Kesultanan Dompu



Kesultanan Demak



Kesultanan Kalinyamat



Kesultanan Gowa



Kesultanan Jambi



Kesultanan Kota Pinang



Kesultanan Kutai



Kesultanan Langkat



Kesultanan Pajang



Kesultanan Mataram



Kesultanan Kartasura



Kesultanan Pagaruyung



Kesultanan Inderapura



Kerajaan Sungai Pagu



Kesultanan Palembang



Kesultanan Pontianak



Kesultanan Samawa



Kesultanan Sambas



Kesultanan Serdang



Kesultanan Siak Sri Inderapura



Kerajaan Tanjungpura



Kerajaan Iha



Kerajaan Tanah Hitu



Kesultanan Ternate



Kesultanan Tidore



Kesultanan Buton



Kerajaan Sumedang Larang



Kasunanan Surakarta



Kasultanan Yogyakarta



Mangkunagaran



Kadipaten Paku Alaman



Kesultanan Malaka



Kerajaan Pasai



Kesultanan Banjarmasin



Kerajaan Linge



Kesultanan Perlak



Kesultanan Pasir



Kesultanan Kotawaringin



Kerajaan Pagatan



Kerajaan Tidung



Kesultanan Sambaliung



Kesultanan Gunung Tabur



Kesultanan Mempawah



Kesultanan Kubu

Zaman kolonial
Kedatangan Portugis
Keahlian bangsa Portugis dalam navigasi, pembuatan kapal dan persenjataan memungkinkan
mereka untuk melakukan ekspedisi eksplorasi dan ekspansi. Dimulai dengan ekspedisi
eksplorasi yang dikirim dari Malaka yang baru ditaklukkan dalam tahun 1512, bangsa
Portugis merupakan bangsa Eropa pertama yang tiba di kepulauan yang sekarang menjadi
Indonesia, dan mencoba untuk menguasai sumber rempah-rempah yang berharga [2] dan untuk
memperluas usaha misi Katolik Roma. Upaya pertama Portugis untuk menguasai kepulauan
Indonesia adalah dengan menyambut tawaran kerjasama dari Kerajaan Sunda.

Pada awal abad ke-16, pelabuhan-pelabuhan perdagangan penting di pantai utara Pulau Jawa
sudah dikuasai oleh Kesultanan Demak, termasuk dua pelabuhan Kerajaan Sunda yaitu
Banten dan Cirebon. Khawatir peran pelabuhan Sunda Kelapa semakin lemah, raja Sunda, Sri
Baduga (Prabu Siliwangi) mencari bantuan untuk menjamin kelangsungan pelabuhan utama
kerajaannya itu. Pilihan jatuh ke Portugis, penguasa Malaka. Dengan demikian, pada tahun
1512 dan 1521, Sri Baduga mengutus putra mahkota, Surawisesa, ke Malaka untuk meminta
Portugis menandatangani perjanjian dagang, terutama lada, serta memberi hak membangun
benteng di Sunda Kelapa.[3]
Pada tahun 1522, pihak Portugis siap membentuk koalisi dengan Sunda untuk memperoleh
akses perdagangan lada yang menguntungkan. Tahun tersebut bertepatan dengan diselesaikan
penjelajahan dunia oleh Magellan.
Komandan benteng Malaka pada saat itu adalah Jorge de Albuquerque. Tahun itu pula dia
mengirim sebuah kapal, São Sebastião, di bawah komandan Kapten Enrique Leme, ke Sunda
Kelapa disertai dengan barang-barang berharga untuk dipersembahkan kepada raja Sunda.
Dua sumber tertulis menggambarkan akhir dari perjanjian tersebut secara terperinci. Yang
pertama adalah dokumen asli Portugis yang berasal dari tahun 1522 yang berisi naskah
perjanjian dan tandatangan para saksi, dan yang kedua adalah laporan kejadian yang
disampaikan oleh João de Barros dalam bukunya "Da Asia", yang dicetak tidak lama sebelum
tahun 1777/78.
Menurut sumber-sumber sejarah ini, raja Sunda menyambut hangat kedatangan orang
Portugis. Saat itu Prabu Surawisesa telah naik tahta menggantikan ayahandanya dan Barros
memanggilnya "raja Samio". Raja Sunda sepakat dengan perjanjian persahabatan dengan raja
Portugal dan memutuskan untuk memberikan tanah di mulut Ciliwung sebagai tempat
berlabuh kapal-kapal Portugis. Selain itu, raja Sunda berjanji jika pembangunan benteng
sudah dimulai maka beliau akan menyumbangkan seribu karung lada kepada Portugis.
Dokumen kontrak tersebut dibuat rangkap dua, satu salinan untuk raja Sunda dan satu lagi
untuk raja Portugal; keduanya ditandatangani pada tanggal 21 Agustus 1522.
Pada dokumen perjanjian, saksi dari Kerajaan Sunda adalah Padam Tumungo, Samgydepaty,
e outre Benegar e easy o xabandar, maksudnya adalah "Yang Dipertuan Tumenggung, Sang
Adipati, Bendahara dan Syahbandar Sunda Kelapa". Saksi dari pihak Portugis, seperti
dilaporkan sejarawan Porto bernama João de Barros, ada delapan orang. Saksi dari Kerajaan

Sunda tidak menandatangani dokumen, mereka melegalisasinya dengan adat istiadat melalui
"selamatan". Sekarang, satu salinan perjanjian ini tersimpan di Museum Nasional Republik
Indonesia, Jakarta.
Pada hari penandatangan perjanjian tersebut, beberapa bangsawan Kerajaan Sunda bersama
Enrique Leme dan rombongannya pergi ke tanah yang akan menjadi tempat benteng
pertahanan di mulut Ci Liwung. Mereka mendirikan prasasti, yang disebut Luso-Sundanese
padrão, di daerah yang sekarang menjadi Kelurahan Tugu di Jakarta Utara. Adalah
merupakan kebiasaan bangsa Portugis untuk mendirikan padrão saat mereka menemukan
tanah baru. Padrão tersebut sekarang disimpan di Museum Nasional Jakarta.
Portugis gagal untuk memenuhi janjinya untuk kembali ke Sunda Kalapa pada tahun
berikutnya untuk membangun benteng dikarenakan adanya masalah di Goa/India.
Perjanjian inilah yang memicu serangan tentara Kesultanan Demak ke Sunda Kelapa pada
tahun 1527 dan berhasil mengusir orang Portugis dari Sunda Kelapa pada tanggal 22 Juni
1527. Tanggal ini di kemudian hari dijadikan hari berdirinya Jakarta.
Gagal menguasai pulau Jawa, bangsa Portugis mengalihkan perhatian ke arah timur yaitu ke
Maluku. Melalui penaklukan militer dan persekutuan dengan para pemimpin lokal, bangsa
Portugis mendirikan pelabuhan dagang, benteng, dan misi-misi di Indonesia bagian timur
termasuk pulau-pulau Ternate, Ambon, dan Solor. Namun, minat kegiatan misionaris bangsa
Portugis terjadi pada pertengahan abad ke-16, setelah usaha penaklukan militer di kepulauan
ini berhenti dan minat mereka beralih kepada Jepang, Makao dan Cina; serta gula di Brasil.
Kehadiran Portugis di Indonesia terbatas pada Solor, Flores dan Timor Portugis setelah
mereka mengalami kekalahan dalam tahun 1575 di Ternate[4], dan setelah penaklukan
Belanda atas Ambon, Maluku Utara dan Banda.[5] Pengaruh kedatangan bangsa Portugis
terhadap budaya Indonesia antara lain: sejumlah nama marga Portugis pada masyarakat
keturunan Portugis di Tugu, Jakarta Utara, musik keroncong, dan nama keluarga di Indonesia
bagian timur seperti da Costa, Dias, de Fretes, Gonsalves, Queljo, dll. Dalam bahasa
Indonesia juga terdapat sejumlah kata pinjaman dari bahasa Portugis, seperti sinyo, nona,
kemeja, jendela, sabun, keju, dll.
Zaman VOC

Vereenigde Oostindische Compagnie (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur) atau VOC
yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602 adalah perusahaan Belanda yang memiliki
monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia. Disebut Hindia Timur karena ada pula VOC
yang merupakan perserikatan dagang Hindia Barat. Perusahaan ini dianggap sebagai
perusahaan pertama yang mengeluarkan pembagian saham.
Meskipun sebenarnya VOC merupakan sebuah badan dagang saja, tetapi badan dagang ini
istimewa karena didukung oleh negara dan diberi fasilitas-fasilitas sendiri yang istimewa.
Misalkan VOC boleh memiliki tentara dan boleh bernegosiasi dengan negara-negara lain.
Bisa dikatakan VOC adalah negara dalam negara.
VOC terdiri 6 Bagian (Kamers) di Amsterdam, Middelburg (untuk Zeeland), Enkhuizen,
Delft, Hoorn dan Rotterdam. Delegasi dari ruang ini berkumpul sebagai Heeren XVII (XVII
Tuan-Tuan). Kamers menyumbangkan delegasi ke dalam tujuh belas sesuai dengan proporsi
modal yang mereka bayarkan; delegasi Amsterdam berjumlah delapan.
Di Indonesia VOC memiliki sebutan populer Kompeni atau Kumpeni. Istilah ini diambil dari
kata compagnie dalam nama lengkap perusahaan tersebut dalam bahasa Belanda.

Sejarah nama Indonesia
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Untuk artikel tentang nama orang-orang Indonesia, lihat Nama Indonesia
Nama Indonesia berasal dari berbagai rangkaian sejarah yang puncaknya terjadi di
pertengahan abad ke-19. Catatan masa lalu menyebut kepulauan di antara Indocina dan
Australia dengan aneka nama, sementara kronik-kronik bangsa Tionghoa menyebut kawasan
ini sebagai Nan-hai ("Kepulauan Laut Selatan"). Berbagai catatan kuno bangsa India
menamai kepulauan ini Dwipantara ("Kepulauan Tanah Seberang"), nama yang diturunkan

dari kata dalam bahasa Sanskerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana
karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik
Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa ("Pulau Emas", diperkirakan Pulau Sumatera sekarang)
yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut wilayah kepulauan itu sebagai Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa).
Nama Latin untuk kemenyan, benzoe, berasal dari nama bahasa Arab, luban jawi ("kemenyan
Jawa"), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax
sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita masih
sering dipanggil "orang Jawa" oleh orang Arab, termasuk untuk orang Indonesia dari luar
Jawa sekali pun. Dalam bahasa Arab juga dikenal nama-nama Samathrah (Sumatera),
Sholibis (Pulau Sulawesi), dan Sundah (Sunda) yang disebut kulluh Jawi ("semuanya Jawa").
Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari
orang Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara
Persia dan Tiongkok semuanya adalah Hindia. Jazirah Asia Selatan mereka sebut "Hindia
Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang", sementara kepulauan ini
memperoleh nama Kepulauan Hindia (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel
Indien) atau Hindia Timur (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang kelak
juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago,
l'Archipel Malais). Unit politik yang berada di bawah jajahan Belanda memiliki nama resmi
Nederlandsch-Indie (Hindia-Belanda). Pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945
memakai istilah To-Indo (Hindia Timur) untuk menyebut wilayah taklukannya di kepulauan
ini.
Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah
memakai nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia, yaitu "Insulinde",
yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (dalam bahasa Latin "insula" berarti pulau). Nama
"Insulinde" ini selanjutnya kurang populer, walau pernah menjadi nama surat kabar dan
organisasi pergerakan di awal abad ke-20.
Nama Indonesia

Ki Hajar Dewantara, salah satu pribumi yang pertama kali menggunakan nama Indonesia
ketika mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Persbureau.
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian
Archipelago and Eastern Asia (JIAEA, BI: "Jurnal Kepulauan Hindia dan Asia Timur")),
yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih
sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi
bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai
redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading
Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations ("Pada
Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua, Australia dan Melayu-Polinesia").
Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan
Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama
Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan
dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia ("nesos" dalam bahasa Yunani berarti
"pulau"). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dari
Bahasa Inggris):
"... Penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu masing-masing akan menjadi
"Orang Indunesia" atau "Orang Malayunesia"".
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia
(Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia
bisa juga digunakan untuk Ceylon (sebutan Srilanka saat itu) dan Maldives (sebutan asing

untuk Kepulauan Maladewa). Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh
kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan
tidak memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis
artikel The Ethnology of the Indian Archipelago ("Etnologi dari Kepulauan Hindia"). Pada
awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita,
sebab

istilah

Indian

Archipelago

("Kepulauan

Hindia")

terlalu

panjang

dan

membingungkan. Logan kemudian memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf
u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.

[1]

Dan itu membuktikan bahwa sebagian kalangan Eropa tetap meyakini bahwa penduduk di
kepulauan ini adalah Indian, sebuah julukan yang dipertahankan karena sudah terlanjur akrab
di Eropa.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254
dalam tulisan Logan (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia):
"Mr Earl menyarankan istilah etnografi "Indunesian", tetapi menolaknya dan mendukung
"Malayunesian". Saya lebih suka istilah geografis murni "Indonesia", yang hanya sinonim
yang lebih pendek untuk Pulau-pulau Hindia atau Kepulauan Hindia"
Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian
hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan
nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini
menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. [1]
Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian
(1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel
("Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu") sebanyak lima volume, yang memuat
hasil penelitiannya ketika mengembara di kepulauan itu pada tahun 1864 sampai 1880. Buku
Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga
sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak
benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indië tahun 1918.
Pada kenyataannya, Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.
Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki
Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 ia mendirikan sebuah biro

pers dengan nama Indonesische Persbureau. Nama Indonesisch (pelafalan Belanda untuk
"Indonesia") juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch ("Hindia") oleh Prof Cornelis van
Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander ("pribumi") diganti dengan Indonesiër
("orang Indonesia")..
Politik
Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi
dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, sehingga
nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang
memperjuangkan kemerdekaan. Sebagai akibatnya, pemerintah Belanda mulai curiga dan
waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu. [1]
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool
(Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri
Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama
menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia
Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya,
"Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat)
mustahil disebut "Hindia-Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan
kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan
politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air pada
masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesiër) akan berusaha
dengan segala tenaga dan kemampuannya."
Di Indonesia Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu
juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische
Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama
"Indonesia". Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa, dan
bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini
dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.

Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen HindiaBelanda),

Muhammad

Husni

Thamrin,

Wiwoho

Purbohadidjojo,

dan

Sutardjo

Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama Indonesië
diresmikan sebagai pengganti nama "Nederlandsch-Indie". Permohonan ini ditolak.
Sementara itu, Kamus Poerwadarminta yang diterbitkan pada tahun yang sama
mencantumkan lema nusantara sebagai bahasa Kawi untuk "kapuloan (Indonesiah)".
Dengan pendudukan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia-Belanda".
Pada tanggal 17 Agustus 1945, menyusul deklarasi Proklamasi Kemerdekaan, lahirlah
Republik Indonesia.