Makalah tentang Hutan bakau Dalam P

TENTANG KLASIFIKASI, MANFAAT DAN FAKTOR PENYEBAB
KERUSAKAN KAWASAN HUTAN BAKAU
D
I
S
U
S
U
N
OLEH

:

MARJANI HARIANTO

Dosen pembimbing

: Arman SPD.MPD

Mata kuliah


: Pengetahuan lingkungan

KATA PENGANTAR

Puji syukur Saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia,
serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah tentang Hutan Bakau ini dengan
baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada Bapak
Arman selaku Dosen mata kuliah Pengetahuan Lingkungan, yang telah memberikan tugas ini
kepada kami.
Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai dampak yang ditimbulkan dari kerusakan hutan Mangrove, juga
bagaimana tekhnik perehabilitasian nya. Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saya berharap
adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan
datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya
laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi saya sendiri maupun orang yang membacanya.
Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan
saya memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.


Bagan batu , Juni 2015

Marjani harianto

Daftar isi
Kata pengantar…………………………………………………….i

Daftar isi………………………………………………………………ii
BAB I
Pendahuluan………………………………………………………3
Rumusan masalah……………………………………………….3
Tujuan penulisan…………………………………………………3
BAB II
Hutan Bakau……………………………………………………….4
Pengertian hutan bakau………………………………………4
Klasifikasi hutan mangrove…………………………………..5
Jenis tumbuhan bakau…………………………………………..6
Luas penyebaran……………………………………………………8
Fungsi hutan bakau………………………………………………..9
Manfaat hutan bakau………………………………………………11

Faktor penyebab Kerusakan kawasan mangrove……...12
Dampak lanjutan akibat pencemaran………………………14
Tekhnik rehabilitasi ………………………………………………….15
BAB III
Kesimpulan……………………………………………………………………17
Saran……………………………………………………………………………….17

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan
tumbuhan lainnya. Berdasarkan keadaan tanahnya, hutan terbagi menjadi hutan rawa air-tawar
atau hutan rawa (freshwater swamp-forest), hutan rawa gambut (peat swamp-forest), hutan rawa
bakau atau hutan bakau (mangrove forest), hutan kerangas (heath forest), hutan tanah kapur
(limestone forest).
Dalam beberapa dekade keberadaan berbagai jenis hutan di Indonesia semakin terancam
baik oleh bencana alam maupun aktivitas manusia.Hutan Bakau (mangrove) ikut terdegradasi.
Meski kerusakan hutan bakau di sepanjang pantai Indonesia tidak secepat hutan tropis,
keberadaan bakau cukup memprihatinkan. Luas hutan bakau Indonesia pada tahun 1997 antara

2,5 hingga 4,5 juta hektar. Kini hanya tersisa 40% hutan bakau yang masih baik di seluruh
Indonesia.
Hutan bakau memiliki berbagai manfaat baik bagi alam itu sendiri maupun manusia.
Karena pentingnya manfaat hutan bakau, maka penulis menyajikan pengetahuan mengenai
kondisi hutan bakau saat ini sangat penting untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat agar
tidak melakukan kegiatan yang dapat merusak hutan bakau. Selain itu juga disampaikan cara
melestarikan populasi hutan bakau.
1.2 Rumusan Masalah
Makalah ini akan memberikan penjelasan mengenai :
1. Pengertian hutan bakau
2. Luas penyebaran hutan bakau
3. Jenis tumbuhan bakau
4. Manfaat hutan bakau
5. Penyebab kerusakan
6. Rehabilitasi hutan bakau
1.3 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini memberikan pengetahuan tentang pengertian hutah bakau, luas
penyebaran hutan bakau, jenis tumbuhan bakau, manfaat hutan bakau, penyebab kerusakan, dan
cara rehabilitasi hutan bakau.


BAB II

HUTAN BAKAU

1.1.Pengertian Hutan Bakau
Hutan bakau atau disebut juga hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai
tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu utmbuh
danberkembangbiak di atas rawa-rawa berair payau yang terletak pada garis pantai dan
dipengaruhi oleh pasang-surut air laut.
Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi
bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar
muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu. Pada
kawasan yang memiliki ombak yang kuat, benih tidak dapat tertanam dengan baik sehingga tidak
dapat tumbuh akar.
Ekosistem hutan bakau bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran yang
mengakibatkan kurangnya aerasi tanah; salinitas tanahnya yang tinggi; serta mengalami daur
penggenangan oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang bertahan hidup di
tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah
melewati proses adaptasi dan evolusi.
Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling

berkolerasi secara timbal balik (Siregar dan Purwaka, 2002). Masing-masing elmen dalam
ekosistem memiliki peran dan fungsi yang saling mendukung. Kerusakan salah satu komponen
ekosistem dari salah satunya (daratan dan lautan) secara langsung berpengaruh terhadap
keseimbangan ekosistem keseluruhan. Hutan mangrove merupakan elemen yang paling banyak
berperan dalam menyeimbangkan ualitas lingkungan dan menetralisir bahan-bahan pencemar.

1.2.Klasifikasi Hutan Mangrove Berdasarkan Geomorfologi dan Jenis
tumbuhan Bakau
A.Klasifikasi Hutan Mangrove Berdasarkan Geomorfologi
Ada enam jenis hutan bakau berdasarkan geomorfologi. Jenis-jenis tersebut ialah:
1. Overwash mangrove forest
Mangrove merah merupakan jenis yang dominan di pulau ini yang sering dibanjiri dan dibilas oleh
pasang, menghasilkan ekspor bahan organik dengan tingkat yang tinggi. Tinggi pohon maksimum adalah
sekitar 7 meter.

2. Fringe mangrove forest
Mangrove fringe ini ditemukan sepanjang terusan air, digambarkan sepanjang garis
pantai yang tingginya lebih dari rata-rata pasang naik. Ketinggian mangrove maksimum adalah
sekitar 10 meter.
3. Riverine mangrove forest

Kelompok ini mungkin adalah hutan yang tinggi letaknya sepanjang daerah pasang surut
sungai dan teluk, merupakan daerah pembilasan reguler. Ketiga jenis bakau, yaitu putih
(Laguncularia racemosa), hitam (Avicennia germinans) dan mangrove merah (Rhizophora
mangle) adalah terdapat di dalamnya. Tingginya rata- rata dapat mencapai 18-20 meter.
4. Basin mangrove forest
Kelompok ini biasanya adalah jenis yang kerdil terletak di bagian dalam rawa Karena
tekanan runoff terestrial yang menyebabkan terbentuknya cekungan atau terusan ke arah pantai.
Bakau merah terdapat dimana ada pasang surut yang membilas tetapi ke arah yang lebih dekat
pulau, mangrove putih dan hitam lebih mendominasi. Pohon dapat mencapai tinggi 15 meter.
5. Hammock forest
Biasanya serupa dengan tipe (4) di atas tetapi mereka ditemukan pada lokasi sedikit lebih
tinggi dari area yang melingkupi. Semua jenis ada tetapi tingginya jarang lebih dari 5 meter.
6. Scrub or dwarf forest

Jenis komunitas ini secara khas ditemukan di pinggiran yang rendah. Semua dari tiga jenis
ditemukan tetapi jarang melebihi 1.5 m ( 4.9 kaki). Nutrient merupakan faktor pembatas.

1.3. Jenis Tumbuhan Bakau
Ada tiga jenis bakau yang biasa dijumpai di hutan-hutan bakau di Indonesia. Jenis-jenis
tersebut ialah:

1. Bakau minyak
Memiliki nama ilmiah Rhizophora apiculata Bl. (atau sering pula disebut R. conjugata L.),
bakau minyak juga disebut dengan nama bakau tandok, bakau akik, bakau kacang dan lain-lain.
Tandanya, dengan warna kemerahan pada tangkai daun dan sisi bawah daun.
Bunga biasanya berkelompok dua-dua, dengan daun mahkota gundul dan kekuningan. Buah
kecil, coklat, panjangnya 2 – 3,5 cm. Hipokotil dengan warna kemerahan atau jingga, dan merah
pada leher kotiledon bila sudah matang. Panjang hipokotil sekitar 18 – 38 cm.
Menyukai tanah berlumpur halus dan dalam, yang tergenang jika pasang serta terkena
pengaruh masukan air tawar yang tetap dan kuat. Menyebar mulai dari Sri Lanka, Semenanjung
Malaya, seluruh Indonesia, sampai ke Australia tropis dan pulau-pulau di Pasifik.
2. Bakau kurap
Nama ilmiahnya adalah Rhizophora mucronata Poir. Juga disebut dengan nama-nama lain
seperti bakau betul, bakau hitam dan lain-lain. Kulit batang hitam, memecah datar.
Bunga berkelompok, 4-8 kuntum. Daun mahkota putih, berambut panjang hingga 9 mm.
Buah bentuk telur, hijau kecoklatan, 5 – 7 cm. Hipokotil besar, kasar dan berbintil, panjang 36 –
70 cm. Leher kotiledon kuning jika matang.
Sering bercampur dengan bakau minyak, namun lebih toleran terhadap substrat yang lebih
keras dan berpasir. Lebih menyukai substrat yang tergenang dalam dan kaya humus; jarang
sekali didapati di tempat yang jauh dari pasang surut. Menyebar luas mulai dari Afrika timur,
Madagaskar, Mauritania, Asia Tenggara, kepulauan Nusantara, Melanesia dan Mikronesia.

Diintroduksi ke Hawaii.

3. Bakau kecil
Pohon dengan satu atau banyak batang. Tidak seperti dua kerabatnya terdahulu yang dapat
mencapai 30 m, bakau kecil hanya tumbuh sampai dengan tinggi sekitar 10 m. Nama ilmiahnya
adalah Rhizophora stylosa Griff.
Bunga dalam kelompok besar, 8-16 kuntum, kecil-kecil. Daun mahkota putih, berambut
panjang hingga 8 mm. Buah coklat kecil, panjang s/d 4 cm. Hipokotil berbintil agak halus, 20-35
cm (kadang-kadang 50 cm); leher kotiledon kuning kehijauan ketika matang.
Bakau ini menempati habitat yang paling beragam. Mulai dari lumpur, pasir sampai pecahan
batu atau karang. Mulai dari tepi pantai hingga daratan yang mengering. Terutama di tepian
pulau yang berkarang. Diketahui menyebar di Taiwan, Filipina, Malaysia, Papua Nugini, dan
Australia tropis. Di Indonesia didapati mulai dari Sumatra, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa,
Sumba, Sulawesi, Maluku dan Papua.
Menurut Tomlinson (1986) jenis tanaman bakau dapat dibagi ke dalam lima keluarga dengan
genus yang berbeda-beda di setiapnya.
1. Acanthaceae, Avicenniaceae atau Verbenaceae (black mangrove)
Avicennia adalah sebuah genus pohon bakau. Jenis ini muncul di daerah muara, dan memiliki
akar napas. Jenis-jenis avicennia banyak terdapat di sebelah selatan Garis Balik Utara. Avicennia
dalam bahasa Indonesia disebut juga api-api.

2. Combretaceae (white mangrove)
Combretaceae adalah suatu keluarga dari tanaman berbunga. Keluarga ini mencakup sekitar
600 jenis pohon, shrubs, dan liana dalam 20 genera. Keluarga ini meliputi pohon Leadwood,
Combretum imberbe. Tiga genera, yaitu Conocarpus, Laguncularia dan Lumnitzera, tumbuh di
habitat mangrove. Combretaceae tersebar luas di daerah subtropis dan tropis. Beberapa anggota
keluarga ini berguna konstruksi kayu, seperti idigbo dari Terminalia ivorensis.
3. Arecaceae (mangrove palm)
Palm atau Palmae atau Panamea (juga dikenal dengan nama umum pohon palem),
merupakan anggota dari keluarga tanaman monokotil, Arecales. Ada sekitar 202 jenis yang saat
ini diketahui sekitar 2600 spesies, yang sebagian besar berada di tropis, subtropis dan iklim
sedang dan hangat. Pohon palem diketahui cirinya dari ukurannya yang besar, kompleks, dan
daun-daun hijau yang terdapat di ujung batang yang tidak bercabang. Namun, banyak pohon

palem yang tidak memenuhi karakteristik di atas. Selain beragam secara morfologi, pohon kelapa
juga mendiami hampir setiap habitat selain di pantai, dari hutan hujan sampai gurun.
4. Rhizoporaceae (red mangrove)
Rhizophoraceae merupakan sebuauh keluarga bakau yang terdiri dari tanaman-tanaman
berbunga daerah tropis dan subtropis. Pohon bakau merupakan anggota yang paling terkenal,
dari genus Rhizophora. Terdapat sekitar 120 spesies tersebar dalam 16 genera, kebanyakan di
Asia dan Afrika.

5. Lythraceae (mangrove apple)
Lythraceae adalah sebuah keluarga tanaman yang terdiri tanaman berbunga. Keluarga ini
beranggotakan 500-600 spesies kebanyakan jenis tumbuhan, dengan pohon dan beberapa shrubs,
dalam 32 genera. Lythraceae memiliki persebaran di seluruh dunia, dengan sebagian besar
spesies di daerah tropis tetapi di daerah beriklim sedang juga. Tanaman delima juga termasuk
keluarga ini.

1.4.Luas dan Penyebaran
Hutan-hutan bakau menyebar luas di bagian yang cukup panas di dunia, terutama di
sekeliling khatulistiwa di wilayah tropika dan sedikit di subtropika. Luas hutan bakau Indonesia
antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar, merupakan mangrove yang terluas di dunia, dari total luas
hutan mangrove di seluruh dunia yang jumlahnya mencapai 18 juta hectare. Jumlah itu, setara
dengan 3,8% dari total luas hutan di Indonesia secara keseluruhan, melebihi Brazil (1,3 juta ha),
Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha) (Spalding dkk, 1997 dalam Noor dkk, 1999).
Di Indonesia, hutan-hutan mangrove yang luas terdapat di seputar Dangkalan Sunda yang
relatif tenang dan merupakan tempat bermuara sungai-sungai besar. Yakni di pantai timur
Sumatra, dan pantai barat serta selatan Kalimantan. Di pantai utara Jawa, hutan-hutan ini telah
lama terkikis oleh kebutuhan penduduknya terhadap lahan.
Di bagian timur Indonesia, di tepi Dangkalan Sahul, hutan-hutan mangrove yang masih
baik terdapat di pantai barat daya Papua, terutama di sekitar Teluk Bintuni. Mangrove di Papua
mencapai luas 1,3 juta ha, sekitar sepertiga dari luas hutan bakau Indonesia.

1.5.Fungsi Hutan Bakau
Menurut Davis, Claridge dan Natarina (1995), hutan mangrove memiliki fungsi dan
manfaat sebagai berikut :
1. Habitat satwa langka
Hutan bakau sering menjadi habitat jenis-jenis satwa. Lebih dari 100 jenis burung hidup
disini, dan daratan lumpur yang luas berbatasan dengan hutan bakau merupakan tempat
mendaratnya ribuan burug pantai ringan migran, termasuk jenis burung langka Blekok Asia
(Limnodrumus semipalmatus)
2. Pelindung terhadap bencana alam
Vegetasi hutan bakau dapat melindungi bangunan, tanaman pertanian atau vegetasi alami
dari kerusakan akibat badai atau angin yang bermuatan garam melalui proses filtrasi.
3. Pengendapan lumpur
Sifat fisik tanaman pada hutan bakau membantu proses pengendapan lumpur. Pengendapan
lumpur berhubungan erat dengan penghilangan racun dan unsur hara air, karena bahan-bahan
tersebut seringkali terikat pada partikel lumpur. Dengan hutan bakau, kualitas air laut terjaga dari
endapan lumpur erosi.
4. Penambah unsur hara
Sifat fisik hutan bakau cenderung memperlambat aliran air dan terjadi pengendapan. Seiring
dengan proses pengendapan ini terjadi unsur hara yang berasal dari berbagai sumber, termasuk
pencucian dari areal pertanian.
5. Penambat racun
Banyak racun yang memasuki ekosistem perairan dalam keadaan terikat pada permukaan
lumpur atau terdapat di antara kisi-kisi molekul partikel tanah air. Beberapa spesies tertentu
dalam hutan bakau bahkan membantu proses penambatan racun secara aktif
6. Sumber alam dalam kawasan (In-Situ) dan luar Kawasan (Ex-Situ)
Hasil alam in-situ mencakup semua fauna dan hasil pertambangan atau mineral yang dapat
dimanfaatkan secara langsung di dalam kawasan. Sedangkan sumber alam ex-situ meliputi
produk-produk alamiah di hutan mangrove dan terangkut/berpindah ke tempat lain yang

kemudian digunakan oleh masyarakat di daerah tersebut, menjadi sumber makanan bagi
organisme lain atau menyediakan fungsi lain seperti menambah luas pantai karena pemindahan
pasir dan lumpur.
7. Sumber plasma nutfah
Plasma nutfah dari kehidupan liar sangat besar manfaatnya baik bagi perbaikan jenis-jenis
satwa komersial maupun untuk memelihara populasi kehidupan liar itu sendiri.
8. Rekreasi dan pariwisata
Hutan bakau memiliki nilai estetika, baik dari faktor alamnya maupun dari kehidupan yang
ada di dalamnya. Hutan mangrove yang telah dikembangkan menjadi obyek wisata alam antara
lain di Sinjai (Sulawesi Selatan), Muara Angke (DKI), Suwung, Denpasar (Bali), Blanakan dan
Cikeong (Jawa Barat), dan Cilacap (Jawa Tengah). Hutan mangrove memberikan obyek wisata
yang berbeda dengan obyek wisata alam lainnya. Karakteristik hutannya yang berada di
peralihan antara darat dan laut memiliki keunikan dalam beberapa hal. Para wisatawan juga
memperoleh pelajaran tentang lingkungan langsung dari alam. Pantai Padang, Sumatera Barat
yang memiliki areal mangrove seluas 43,80 ha dalam kawasan hutan, memiliki peluang untuk
dijadikan areal wisata mangrove.
Kegiatan wisata ini di samping memberikan pendapatan langsung bagi pengelola melalui
penjualan tiket masuk dan parkir, juga mampu menumbuhkan perekonomian masyarakat di
sekitarnya dengan menyediakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, seperti membuka
warung makan, menyewakan perahu, dan menjadi pemandu wisata.
9. Sarana pendidikan dan penelitian
Upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan laboratorium lapang
yang baik untuk kegiatan penelitian dan pendidikan.
10. Memelihara proses-proses dan sistem alami
Hutan bakau sangat tinggi peranannya dalam mendukung berlangsungnya proses-proses
ekologi, geomorfologi, atau geologi di dalamnya.
11. Penyerapan karbon
Proses fotosentesis mengubah karbon anorganik (C02) menjadi karbon organik dalam bentuk
bahan vegetasi. Pada sebagian besar ekosistem, bahan ini membusuk dan melepaskan karbon
kembali ke atmosfer sebagai (C02). Akan tetapi hutan bakau justru mengandung sejumlah besar

bahan organik yang tidak membusuk. Karena itu, hutan bakau lebih berfungsi sebagai penyerap
karbon dibandingkan dengan sumber karbon.
12. Memelihara iklim mikro
Evapotranspirasi hutan bakau mampu menjaga kelembaban dan curah hujan kawasan
tersebut, sehingga keseimbangan iklim mikro terjaga.

1.6.Manfaat Hutan Bakau
A.Manfaat Hutan Bakau Bagi Perikanan
Dalam tinjauan siklus biomassa, hutan mangrove memberikan masukan unsur hara
terhadap ekosistem air, menyediakan tempat berlindung dan tempat asuhan bagi anak-anak ikan,
tempat kawin/pemijahan, dan lain-lain. Sumber makanan utama bagi organisme air di daerah
mangrove adalah dalam bentuk partikel bahan organik (detritus) yang dihasilkan dari
dekomposisi serasah mangrove (seperti daun, ranting dan bunga). Selama proses dekomposisi,
serasah mangrove berangsur-angsur meningkat kadar proteinnya dan berfungsi sebagai sumber
makanan bagi berbagai organisme pemakan deposit seperti moluska, kepiting dang cacing
polychaeta. Konsumen primer ini menjadi makanan bagi konsumen tingkat dua, biasanya
didominasi oleh ikan-ikan buas berukuran kecil selanjutnya dimakan oleh juvenil ikan predator
besar yang membentuk konsumen tingkat tiga Singkatnya, hutan mangrove berperan penting
dalam menyediakan habitat bagi aneka ragamjenis-jenis komoditi penting perikanan baik dalam
keseluruhan maupun sebagian dari siklus hidupnya.

B.Manfaat Hutan Bakau Bagi Perekonomian
Berdasarkan kajian ekonomi terhadap hasil analisa biaya dan manfaat ekosistem hutan
mangrove (bakau) ternyata sangat mengejutkan, di beberapa daerah seperti Madura dan Irian
Jaya dapat mencapai triliunan rupiah, kata Asisten Deputi Urusan Eksosistem Pesisir dan Laut
Kementerian Lingkungan Hidup, Dr LH Sudharyono.
Pada Workshop Perencanaan Strategis Pengendalian Kerusakan Hutan Mangrove seSumatera di Bandar Lampung terungkap bahwa hasil penelitian Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir
dan Lautan IPB-Bogor dengan Kantor Menteri Negara LH (1995) tentang hasil analisa biaya dan
manfaat ekosistem hutan mangrove Hasilnya ternyata sangat mencengangkan, di Pulau Madura,
diperoleh Total Economic Value (TEV) sebesar Rp 49 trilyun, untuk Irian Jaya Rp. 329 trilyun,
Kalimantan Timur sebesar Rp. 178 trilyun dan Jabar Rp. 1,357 trilyun. Total TEV untuk seluruh
Indonesia mencapai Rp. 820 trilyun.
Kayu bakau memiliki kegunaan yang baik sebagai bahan bangunan, kayu bakar, dan
terutama sebagai bahan pembuat arang. Kulit kayu menghasilkan tanin yang digunakan sebagai
bahan penyamak.
Sebagai kayu bakar, secara tradisional masyarakat biasa memakai jenis Xylocarpus
(Nirih atau Nyirih). Sedangkan untuk bahan baku pembuat arang biasa dipakai Rhizophora sp.,
sedangkan penggunaan kulit kayu bakau untuk diambil tanninnya, hampir-hampir tidak
terdengar lagi.
Satu lagi kegunaan kayu bakau, adalah untuk bahan kertas. Kayu bakau biasa dicincang
dengan mesin potong menghasilkan serpihan kayu / wood chips. Menurut berita, jenis kertas
yang dibuat dari kayu bakau adalah termasuk kertas kualitas tinggi.
Kegunaan dari hutan bakau yang paling besar adalah sebagai penyeimbang ekologis dan
sumber (langsung atau tidak langsung) pendapatan masyarakat pesisir, di mana peran pemerintah
untuk pengaturannya masih sangat minim.

1.7.Faktor Penyebab Kerusakan Kawasan Mangrove
Akar Permasalahan
 Kependudukan dan Kemiskinan
 Tingkat Konsumsi Berlebihan dan Kesenjangan Sumberdaya Alam
 Kelembagaan dan Penegakan Hukum
 Rendahnya Pemahaman tentang Ekosistem
 Kegagalan sistem Ekonomi dan Kebijakan dalam Penilaian Ekosistem

Penyebab rusaknya ekosistem mangrove antara lain :
1. Over eksploitasi
2. Penggunaan Teknik dan Peralatan Penangkapan Ikan yang merusak Lingkungan
 Alat Pengumpul Ikan: Harus dibatasi baik jumlah maupun ukuran agar tidak terjadi tangkap lebih dan
mengganggu daur hidup

 Bahan Peledak, Beracun, dan Pukat Harimau: Mematikan organisme lain yang bukan target,
Penggunaan bom 0,5 kg menghancurkan tk pd radius 3 m dan pd radius lbh dr 3 m Acropora patahpatah

3. Degradasi Fisik Habitat Hayati
4. Konversi Kawasan Perlindungan Laut

 Pembangunan kawasan pemukiman
 Kegiatan rekreasi dan pariwisata
 Konversi mangrove untuk berbagai peruntukan
 Pembangunan berbagai industri
5. Perubahan Iklim Global dan Bencana Alam
 Bleaching
 Tsunami
6.

usaha tambak udang

7. penebangan kayu dan logging
8. penambangan minyak lepas pantai
9. pencemaran bibir pantai
10. urbanisasi dan perluasan wilayah
11. pembangunan jalan dan infrastruktur

1.8.Dampak Lanjutan akibat pencemaran
Pencemaran pada hutan bakau dapat menimbulkan dampak lanjutan sebagai berikut :
1. Sedimentasi
Sedimentasi adalah suatu proses pengendapan material yang ditransport oleh media air,
angin, es, atau gletser di suatu cekungan.
2. Eutrofikasi
Eutrofikasi merupakan problem lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah fosfat
(PO3-), khususnya dalam ekosistem air tawar. Definisi dasarnya adalah pencemaran air yang
disebabkan oleh munculnya nutrient yang berlebihan ke dalam ekosistem air. Air dikatakan
eutrofik jika konsentrasi total phosphorus (TP) dalam air berada dalam rentang 35-100 µg/L.
Sejatinya, eutrofikasi merupakan sebuah proses alamiah di mana danau mengalami penuaan
secara bertahap dan menjadi lebih produktif bagi tumbuhnya biomassa. Diperlukan proses ribuan
tahun untuk sampai pada kondisi eutrofik. Proses alamiah ini, oleh manusia dengan segala
aktivitas modernnya, secara tidak disadari dipercepat menjadi dalam hitungan beberapa dekade
atau bahkan beberapa tahun saja.
3. Kekurangan Oksigen
4. Masalah Kesehatan Umum
5. Pengaruh Terhadap Perikanan

1.9.Teknik Rehabilitasi
Secara garis besar alternatif rehabilitasi kawasan mangrove terbagi ke dalam dua lokasi
sasaran, yakni (1) rehabilitasi pada areal jalur hijau mangrove dan (2) rehabilitasi pada areal di
luar jalur hijau mangrove. Bentuk dan teknik rehabilitasi pada setiap daerah sasaran didasarkan
kepada fungsi kawasan, kondisi biofisik sumberdaya mangrove dan sosial ekonomi masyarakat
sekitar kawasan mangrove.

1.Rehabilitasi pada Areal Jalur Hijau Mangrove
Areal jalur hijau mangrove berdasarkan Keppres No. 32 tahun 1990 berfungsi sebagai
kawasan lindung, sehingga bentuk kegiatan rehabilitasi yang dilakukan pada areal jalur hijau
mangrove ini harus mendukung fungsi lindung kawasan mangrove tersebut.
Bentuk kegiatan rehabilitasi pada jalur hijau mangrove yang mendukung fungsi lindungnya
adalah kegiatan reboisasi (pada areal berstatus sebagai kawasan hutan) dan kegiatan penghijauan
(pada areal berstatus sebagai kawasan non hutan/tanah milik) dengan jarak yang cukup rapat (1 x
1 m) dan dengan jenis pohon mangrove yang sesuai dengan kondisi biofisik areal jalur hijau
mangrove pada masing-masing land system, seperti yang tertera pada Tabel 5.2. di atas.
Pada areal jalur hijau mangrove ini tidak dibenarkan adanya kegiatan selain dari kegiatan
yang berhubungan dengan penanaman (reboisasi atau penghijauan), kecuali areal jalur hijau
mangrove tersebut termasuk ke dalam kawasan hutan wisata. Untuk areal jalur hijau mangrove
yang dikelola sebagai hutan wisata, bentuk kegiatan yang dibenarkan selain kegiatan penanaman
adalah terbatas hanya pada pembuatan koridor yang berfungsi sebagai lalu lintas perahu atau
speed boat.

2.Rehabilitasi pada Areal di Luar Jalur Hijau Mangrove
Berdasarkan fungsinya, areal di luar jalur hijau mangrove terbagi atas (a) hutan lindung dan
(b) hutan produksi/budidaya. Bentuk kegiatan rehabilitasi terhadap areal di luar jalur hijau ini
harus disesuaikan dengan fungsi masing-masing lokasi sasaran.
a. Rehabilitasi pada Hutan Lindung
Pada areal di luar jalur hijau mangrove yang berfungsi sebagai hutan lindung bentuk kegiatan
rehabilitasinya adalah kegiatan reboisasi pada kawasan yang kritis dengan jenis pohon mangrove
yang sesuai dan dengan jarak tanam yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing lokasi
sasaran. Pada kawasan hutan lindung ini, seperti halnya pada areal jalur hijau mangrove, tidak
diperbolehkan adanya aktivitas yang tidak berhubungan dengan kegiatan reboisasi, kecuali
kawasan hutan lindung tersebut termasuk areal yang dikelola sebagai hutan wisata. Untuk
kawasan hutan lindung yang dikelola sebagai hutan wisata ini, aktivitas lain yang diperbolehkan
terbatas hanya pada kegiatan pembuatan koridor yang berfungsi sebagai lalu lintas baik untuk
perahu, speed boat, maupun untuk pejalan kaki.
b. Rehabilitasi pada Hutan Produksi/Budidaya
Status areal di luar jalur hijau mangrove yang berfungsi sebagai hutan produksi/ budidaya
dapat berupa (1) kawasan hutan dan (2) kawasan non hutan/tanah milik. Oleh karenanya,
rehabilitasi terhadap lokasi ini selain harus memperhatikan kondisi biofisik dan sosial ekonomi
masyarakat di sekitar kawasan, juga harus memperhatikan status kawasan. Hal ini dimaksudkan
agar tidak terjadinya tumpang tindih pihak yang berwenang melakukan pengelolaan terhadap
suatu kawasan. Walaupun demikian, faktor yang sangat penting dalam penentuan bentuk
kegiatan rehabilitasi kawasan mangrove yang berfungsi sebagai hutan produksi/budidaya ini
adalah faktor kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan.
Berdasarkan identifikasi penyebab kerusakan mangrove di Jawa Barat dan Banten, seperti
yang disajikan pada bagian Kondisi Fisik dan Sosial Ekonomi, terlihat bahwa kerusakan
sumberdaya mangrove dan ekosistemnya di lima propinsi sasaran sangat dominan disebabkan
oleh alih fungsi kawasan mangrove menjadi lahan tambak dengan mengabaikan aspek
kelestarian sumberdaya mangrove dan ekosistemnya. Pengusahaan kawasan mangrove tersebut
menjadi tambak sebagian besar dilakukan oleh pengusaha yang berdomisili/berasal dari luar

kawasan mangrove, seperti Jakarta dan ibu kota propinsi. Oleh karena itu, pola rehabilitasi
kawasan mangrove yang rusak tersebut harus dapat mengkombinasikan kelestarian sumberdaya
mangrove dan ekosistemnya dengan usaha pertambakan. Untuk saat ini, pola rehabilitasi
kawasan mangrove yang rusak tersebut yang memenuhi persyaratan di atas adalah pola
pengelolaan dengan sistem sylvofishery, baik dengan model empang parit, model komplangan
maupun model jalur tanaman dalam tambak.
Perbandingan luas antara hutan mangrove dan tambak pada sistem sylvofishery didasarkan
pada status kawasan mangrove, kondisi tegakan dan tujuan pengelolaan. Untuk menentukan
perbandingan luas antara hutan mangrove dan tambak yang optimal sangat diperlukan
pengkajian lebih lanjut. Walaupun demikian, untuk saat ini, berdasarkan uji coba yang telah
dilakukan Perum Perhutani, ada 2 (dua) macam perbandingan hutan mangrove dengan tambak
yang dianggap dapat menjamin kelestarian sumberdaya mangrove dan ekosistemnya serta
kelangsungan usaha pertambakan, yakni (1) 80 : 20, dimana 80 % luas areal yang dikelola harus
tetap berupa hutan mangrove dan 20 % berupa tambak dan (2) 30 : 70, dimana 30 % dari luas
areal yang dikelola berupa hutan mangrove dan 70 % berupa tambak.
Perbandingan hutan mangrove dan tambak sebesar 80 : 20 diterapkan pada hutan mangrove
yang masih utuh , baik yang berada di dalam kawasan maupun di luar kawasan hutan/tanah
milik. Perbandingan ini lebih menekankan kepada aspek kelestarian sumberdaya mangrove dan
ekosistemnya daripada hasil tambak, berupa ikan atau udang.
Sedangkan perbandingan hutan mangrove dan tambak sebesar 30 : 70 digunakan untuk hutan
mangrove yang berada di luar kawasan hutan yang telah banyak dibuka/digarap guna peruntukan
lain. Perbandingan ini lebih diarahkan untuk memberi peluang kepada masyarakat dalam
meningkatkan hasil pendapatan dari produksi tambak berupa ikan atau udang tanpa
meninggalkan aspek kelestariannya.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

1.1.Kesimpulan
Alam memiliki siklus regenerasi yang seimbang. Adanya campur tangan manusia
menyebabkan percepatan kerusakan lingkungan. Terdapat berbagai cara untuk merehabilitasi
lingkungan yang telah rusak, namun dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk mengembalikan
lingkungan seperti sedia kala. Selain itu kondisinya tidak akan lebih baik dibandingkan apa yang
dikerjakan alam secara alami.
Contohnya adalah hutan bakau di Indonesia yang hanya dalam 13 tahun luasnya
berkurang mencapai 60%. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena hutan bakau memiliki
peranan penting bagi ekosistem maupun manusia.
Oleh karena itu sebagai generasi pewaris bumi kita perlu melestarikan keberadaan
hutan bakau untuk kehidupan manusia yang akan datang. Cara-cara tersebut antara lain dengan
menghentikan segala bentuk aktivitas yang dapat merusak hutan bakau dan melakukan usaha
rehabilitasi.

1.2.Saran
Untuk melestarikan keberadaan hutan bakau maka masyarakat menghentikan segala
bentuk aktivitas yang dapat merusak hutan bakau dan melakukan usaha rehabilitasi baik untuk
mencegah kerusakan hutan bakau maupun memulihkan kembali kondisi hutan bakau yang telah
rusak. Selain itu pemerintah juga perlu mempertegas undang-undang yang mengatur tentang
perusakan kawasan hutan dan menggalakkan program-program penyelamatan hutan bakau.

DAFTAR PUSTAKA
http://acehpedia.org/Klasifikasi_Hutan_Mangrove_Berdasarkan_Geomorfologi (28 Desember
2010)
http://ajiputrap.blogspot.com/2010/12/mangrove-di-indonesia-yang-kaya.html

(27

Desember

2010)
http://forum.detik.com/nasib-hutan-mangroove-di-indonesia-t89301.html (27 Desember 2010)
http://id.wikipedia.org/wiki/Hutan (27 Desember 2010)
http://matanews.com/2010/12/21/berwisata-sambil-melestarikan-lingkungan/

(27

Desember

2010)
http://purboari.blogspot.com/2009/10/hutan-mangrove.html (27 Desember 2010)
http://sovia-rini-biologi.blogspot.com/ (27 Desember 2010)
http://stuffsandhopes.blogspot.com/2009/05/bakau-dan-persebarannya-di-indonesia.html

(27

Desember 2010)
http://web.ipb.ac.id/~mujizat/index.php?option=com_content&task=view&id=20&Itemid=40
(27 Desember 2010)
http://www.epa.qld.gov.au/wetlandinfo/site/SupportTools/MonitoringExtentAndCondition/
Stressormodeloverview/OrganicMatter/Condition.html (27 Desember 2010)
http://www.jochemnet.de/fiu/OCB3043_37.html (27 Desember 2010)
http://www.oceanclimatechange.org.au/content/index.php/site/background_extended/
australias_marine_life/ (27 Desember 2010)
http://www.proseanet.org/florakita/browser.php?docsid=745 (27 Desember 2010)
http://www.royal-navy.org/lib/index.php?title=Navy_team_destroys_Firth_of_Forth_bomb
Desember 2010)

(27