Makalah Pendidikan Pancasila Bab 5

MAKALAH MAHASISWA
JUDUL MAKALAH
MENGAPA PANCASILA MERUPAKAN SISTEM FILSAFAT

BIDANG KEGIATAN:
MATAKULIAH PENDIDIKAN PANCASILA

Disusun Oleh:
Rahmat Abdullah
NIM :
17012092

PRODI MANAJEMEN
INSTITUT MANAJEMEN WIYATA INDONESIA
SUKABUMI
2018

I

KATA PENGANTAR


Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.

Karena atas karunia, dan hidayah-Nya, saya dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “MENGAPA PANCASILA MERUPAKAN SISTEM FILSAFAT” sehingga
terselesaikan tepat pada waktunya.

Makalah ini disusun sebagai tugas mata kuliah Pendidikan Pancasila.
Saya berusaha menyusun makalah ini dengan segala kemampuan, namun saya
menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, baik dari segi penulisan
maupun segi penyusunan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun akan saya terima, demi perbaikan makalah selanjutnya.
Akhir dari kesempatan ini saya menyampaikan terima kasih kepada semua
pihak yang turut membantu dalam upaya penyelesaian makalah ini. Semoga Allah
senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Aamiin

Sukabumi, 18 April 2018

Penyusun,

II


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................................. I
DAFTAR ISI.............................................................................................................................. II
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................................... 3
BAB II LANDASAN TEORI ................................................................................................. 4
2.1 Kerangka Berpikir Pancasila Sebagai Sistem Filsafat....................................... 4
2.2 Sejarah Filsafat Pancasila ............................................................................................ 4
BAB III PEMBAHASAN ....................................................................................................... 6
3.1 Pengertia Filsafat ........................................................................................................... 6
3.2 Secara Etimologi ............................................................................................................ 6
3.3 Arti Filsafat Menurut Para Ahli ................................................................................ 7
3.4 Filsafat Pacasila .............................................................................................................. 8
3.5 Pengertian Sistem ......................................................................................................... 9
3.6 Pancasila Sebagai Sistem Filsafat ............................................................................ 9
3.7 Rumusan Kesatuan Sila-sila Pancasila Sebagai Suatu sistem ...................... 10
3.8 Alasan Diperlukannya Kajian Pancasila Sebagai Sistem Filsafat ................ 11

BAB IV PENUTUP ................................................................................................................. 21
4.1 Kesimpulan ...................................................................................................................... 21
4.2 Kritik dan Saran ............................................................................................................. 22
DAFTAR PUSTAKA

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Setiap negara atau bangsa di dunia ini mempunyai sistem nilai (filsafat)
tertentu yang menjadi pegangan bagi anggota masyarakat dalam menjalankan
kehidupan dan pemerintahannya. Filsafat negara merupakan pandangan
hidup bangsa yang diyakini kebenarannnya dan diaplikasikan dalam
kehidupan masyarakat yang mendiami negara tersebut. Pandangan hidup
bangsa merupakan nilai-nilai yang dimiliki oleh setiap bangsa. Nilai-nilai
tersebut akan mempengaruhi segala aspek suatu bangsa. Nilai adalah suatu
konsepsi yang secara eksplisit maupun implisit menjadi milik atau ciri khas
seseorang atau masyarakat. Pada konsep tersembunyi bahwa pilihan nilai

merupakan suatu ukuran atau standar yang memiliki kelestarian yang secara
umum digunakan untuk mengorganisasikan sistem tingkah laku suatu
masyarakat (Prayitno, 1989:1).
Sistem nilai (filsafat) yang dianut suatu bangsa merupakan filsafat
masyarakat budaya bangsa. Bagi suatu bangsa, filsafat merupakan sumber dari
segala sumber hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat, bangsa, dan
negara. Oleh karena itu, filsafat berfungsi dalam menentukan pandangan hidup
suatu masyarakat dalam menghadapi suatu masalah, hakikat dan sifat hidup,
hakikat kerja, hakikat kedudukan manusia, etika dan tata krama pergaulan
dalam ruang dan waktu, serta hakikat hubungan manusia dengan manusia
lainnya (Prayitno, 1989:2).
Indonesia adalah salah satu negara yang juga memiliki filsafat seperti
bangsa-bangsa lain. Filsafat ini tak lain adalah yang kita kenal dengan nama
Pancasila yang terdiri dari lima sila. Pancasila merupakan filsafat hidup bangsa
Indonesia.
Perkembangan masyarakat dunia yang semakin cepat secara langsung
ataupun tidak langsung mengakibatkan perubahan besar pada berbagai

2


bangsa di dunia. Gelombang besar kekuatan internasional dan transnasional
melalui globalisasi telah mengancam, bahkan menguasai eksistensi negaranegara kebangsaan, termasuk Indonesia. Akibat yang langsung terlihat adalah
terjadinya pergeseran nilai-nilai dalam kehidupan kebangsaan karena adanya
perbenturan.
Kepentingan antara nasionalisme dan internasionalisme. Permasalahan
kebangsaan dan kenegaraan di Indonesia menjadi semakin kompleks dan
rumit manakala ancaman internasional yang terjadi di satu sisi, pada sisi yang
lain muncul masalah internal, yaitu maraknya tuntutan rakyat, yang secara
objektif mengalami suatu kehidupan yang jauh dari kesejahteraan dan
keadilan social Paradoks antara kekuasaan global dengan kekuasaan nasional
ditambahkomplik internal seperti gambaran di atas, mengakibatkan suatu
tarik menarik kepentingan yang secara langsung mengancam jati diri bangsa.
Nilai-nilai baru yang masuk, baik secara sujektif maupun objektif, serta
terjadinya pergeseran nilai di tengah masyarakat yang pada akhirnya
mengancam-prinsip-prinsip hidup berbangsa masyarakat Indonesia. Prinsip
dasar yang telah ditemukan oleh peletak dasar (The founding fathers) Negara
Indonesia yang kemudian diabstraksikan menjadi suatu prinsip dasar filsafat
bernegara, itulah pancasila
Dengan pemahaman demikian, maka pancasila sebagai filsafat hidup
bangsa Indonesia saat ini mengalami ancaman dengan munculnya nilai baru

dari luar dan pergeseran nilai-nilai yang terjadi secara ilmiah harus disadari
bahwa suatu masyarakat suatu bangsa, senantiasa memiliki suatu pandangan
hidup atau filsafat hidup masing-masing, yang berbeda dengan bangsa lain
didunia. Inilah yang disebut sebagai local genius (kecerdasan/kreatifitas lokal)
dan sekaligus sebagai local wisdom (kearifan lokal) bangsa. Dengan demikian,
bangsa Indonesia tidak mungkin memiliki kesamaan pandangan hidup dan
filsafat hidup dengan bangsa lain.
Ketika para pendiri Negara Indonesia menyiapkan berdirinya Negara
Indonesia merdeka, mereka sadar sepenuhnya untuk menjawab suatu
pertanyaan yang fundamental “di atas dasar apakah Negara Indonesia merdeka

3

ini didirikan?” jawaban atas pertanyaan mendasar ini akan selalu menjadi

dasar dan tolak ukur utama bangsa ini meng-Indonesia. Dengan kata lain, jati
diri bangsa selalu bertolak ukur pada nilai-nilai pancasila sebagai filsafat
bangsa. Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan
sistem filsafat. Pemahaman demikian memerlukan pengkajian lebih lanjut
menyangkut aspek ontology, epistemology, dan aksiologi dari kelima sila

pancasila.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa kerangka berpikir pancasila sebagai sistem filsafat?
2. Bagaimana sejarah filsafat di Indonesia?
3. Apa pengertian sistem filsafat ?
4. Apa arti Pancasila sebagai filsafat bangsa Indonesia?
5. Hubungan kesatuan sila-sila pancasila yang saling mengisi dan saling
mengkualifikasi?

6. Apa saja Fungsi Utama Filsafat Pancasila Bagi Bangsa dan Negara Indonesia?

1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui kerangka berpikir pancasila sebagai sistem filsafat.
2. Untuk mengetahui sejarah filsafat di Indonesia.
3. Untuk mengetahui arti Pancasila dalam kedudukannya sebagai filsafat
bangsa Indonesia.
4. Untuk mengetahui dasar sehingga Pancasila di jadikan Sebagai Sistem
Filsafat bangsa Indonesia.
5. Mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan pancasila sebagai
suatu sistem.


4

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Kerangka Berpikir Pancasila Sebagai Sistem Filsafat
Dilihat dari sejarah bahwa Pancasila sebagai dasar negara republik
Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, penulis menggunakan kerangka
berfikir melalui pendekatan filsafat Pancasila dan sejarahnya.
Di bentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia Bung Karno
diangkat jadi ketua PPKI dan Bung Hatta menjadi wakil ketua. Cepat dan
tindaknya kemerdekaan Indonesia sangat tergantung pada bangsa Indonesia
sendiri setelah bekerja keras tanpa mengenal lelah dan dukungan seluruh
rakyat Indonesia khususnya pemuda – pemuda kita, pada tanggal 17 Agustus
1945 jam 10.00 di dalam rapat terbuka gedung pegangsaan 56 Jakarta,

kemerdekaan indonesia di proklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta
atas nama bangsa Indonesia.
2.2 Sejarah Filsafat di Indonesia

Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia pada hakikatnya adalah
sebagaimana nilai-nilainya yang bersifat fundamental menjadi suatu sumber
dari segala sumber hukum dalam negara Indonesia, menjadi wadah yang
fleksibel bagi faham-faham positif untuk berkembang dan menjadi dasar
ketentuan yang menolak faham-faham yang bertentangan seperti Atheisme
dan segala bentuk kekafiran tak beragama, Kolonialisme, Diktatorisme,
Kapitalis, dan lain-lain.
Istilah filsafat dipergunakan dalam berbagai konteks tapi kita harus tahu
dulu apa itu filsafat dan fungsi filsafat serta kegunaan filsafat dengan uraian
yang singkat ini saya mengharapkan agar timbul kesan pada diri kita bahwa
filsafat adalah suatu yang tidak sukar dan dapat di pelajari oleh semua orang di
samping itu saya menghrapkan agar kita tak beranggapan filsafat sebagai
suatu hasil potensi belaka dan tidak berpijak realita dengan cara ini saya

5

mengharapkan dapat menggunakan sebagai modal untuk mempelajari
pancasila dari sudut pandang filsafat.
Dan kita mengenal filsafat pancasila dari sejarah pelaksanaannya
diantara bangsa–bangsa barat tersebut bangsa belandalah yang akhirnya

dapat

memegang

peran

sebagai

penjajah

yang

benar–benar

yang

menghancurkan rakyat Indonesia mengingat keadaan perjuangan bangsa
Indonesia kita harus mengetahui perjuangan sebelum tahun 1900.
Sebenarnya sejak waktu itu pula mempertahankan kemerdekaan dengan
cara bermacam–macam perlawanan rakyat Indonesia untuk menentang

kolonialisme, belanda telah berjalan dengan hebat. Akan tetapi masih berjalan
sendiri–sendiri dan belum ada kerja sama melalui organisasi yang teratur.

6

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pengertian Filsafat
Filsafat (dari bahasa Yunani φιλοσοφία, philosophia, secara harfiah

bermakna "pecinta kebijaksanaan" adalah kajian masalah umum dan

mendasar tentang persoalan seperti eksistensi, pengetahuan, nilai, akal,
pikiran, dan bahasa. Istilah ini kemungkinan pertama kali diungkapkan oleh
Pythagoras (c. 570–495 SM). Metode yang digunakan dalam filsafat antara lain
mengajukan pertanyaan, diskusi kritikal, dialektik, dan presentasi sistematik.
Secara historis, "filsafat" mencakup inti dari segala pengetahuan. Dari zaman
filsuf Yunani Kuno seperti Aristoteles hingga abad ke-19, "filsafat alam"
melingkupi astronomi, kedokteran, dan fisika. Sebagai contoh, Prinsip
Matematika Filosofi Alam karya Newton pada tahun 1687 di kemudian hari
diklasifikasikan sebagi buku fisika. Pada abad ke-19, perkembangan riset
universitas modern mengantarkan filsafat akademik dan disiplin lain
terprofesionalisasi dan terspesialisasi. Pada era modern, beberapa investigasi
yang secara tradisional merupakan bagian dari filsafat telah menjadi disiplin
akademik yang terpisah, beberapa diantaranya psikologi, sosiologi, linguistik,
dan ekonomi. Sejak abad ke-20, filsuf profesional berkontribusi pada
masyarakat terutama sebagai profesor, peneliti, dan penulis. Namun, banyak
dari mereka yang mempelajari filsafat dalam program sarjana atau
pascasarjana berkontribusi dalam bidang hukum, jurnalisme, politik, agama,
sains, bisnis dan berbagai kegiatan seni dan hiburan.
3.2 Filsafat Secara Etimologi
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata
serapan dari bahasa Arab ‫فلسفة‬, yang juga diambil dari bahasa Yunani;
Φιλοσοφία philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk,

dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia =
"kebijaksanaan").[butuh rujukan] Sehingga arti harafiahnya adalah seorang

7

“pencinta kebijaksanaan”.Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga
dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam
bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf".
3.3 Arti Filsafat Menurut Para Ahli
1. Plato (427SM - 347SM) seorang filsuf Yunani yang termasyhur murid
Socrates dan guru Aristoteles, mengatakan: Filsafat adalah pengetahuan
tentang segala yang ada (ilmu pengetahuan yang berminat mencapai
kebenaran yang asli).
2. Aristoteles (384 SM - 322SM) mengatakan : Filsafat adalah ilmua
pengetahuan yang meliputi kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmuilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika
(filsafat menyelidiki sebab dan asas segala benda).
3. Menurut Rene Descartes: Filsafat adalah kumpulan semua pengetahuan
bahwa Allah, manusia dan alam menjadi pokok penyelidikan.
4. Marcus Tullius Cicero (106 SM - 43SM) politikus dan ahli pidato Romawi,
merumuskan:

Filsafat

adalah

pengetahuan

tentang

sesuatu

yang

mahaagung dan usaha-usaha untuk mencapainya.
5. Al-Farabi (meninggal 950M), filsuf Muslim terbesar sebelum Ibnu Sina,
mengatakan : Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan
bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.
6. Menurut Ir. Proedjawijatna: Filsafat adalah ilmu yang berusaha untuk
menemukan penyebabnya deras untuk segala sesuatu dengan pikiran
belaka.
7. Prof. Dr. Fuad Hasan, guru besar psikologi UI, menyimpulkan: Filsafat
adalah suatu ikhtiar untuk berpikir radikal, artinya mulai dari radiksnya
suatu gejala, dari akarnya suatu hal yang hendak dimasalahkan. Dan dengan
jalan penjajakan yang radikal itu filsafat berusaha untuk sampai kepada
kesimpulan-kesimpulan yang universal.

8

8. Menurut Notonogo: Filosofi yang meneliti hal-hal yang menjadi objek inti
dari sudut mutlak (di), yang tetap dan tidak berubah, yang juga disebut
alami.
9. Drs H. Hasbullah Bakry merumuskan: Ilmu filsafat adalah ilmu yang
menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam
semesta dan manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang
bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai oleh akal manusia, dan
bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan
itu.
10. Menurut N. Driyarkara: Filsafat adalah refleksi yang mendalam tentang
penyebab ‘di sana dan melakukan’, refleksi dari realitas (reality) jauh ke
dalam ‘mengapa’ penghabisan itu.

11. Menurut Brubacher: Filsafat berasal dari bahasa Yunani yang berarti filos
dan sofia yang memiliki arti cinta kebijaksanaan atau belajar. Selebihnya
dapat

diartikan

cinta

belajar seperti

umumnya terhadap

proses

perkembangan ilmu pengetahuan (Sains) cuma ada pada apa yang kita
kenal dengan filsafat.
12. Menurut Immanuel Kant: Filsafat merupakan ilmu atau pengetahuan yang
merupakan dasar dari semua pengetahuan dalam meliput isu-isu
epistemologi (filsafat pengetahuan) yang menjawab pertanyaan mengerai
apa yang dapat kita ketahui.
13. Menurut Langeveld: Filsafat ialah berpikir tentang masalah final dan
menentukan, yakni tentang masalah makna keadaan, Tuhan, kebebasan dan
keabadian.
3.4 Filsafat Pancasila
Filsafat Pancasila adalah penggunaan nilai-nilai pancasila sebagai dasar
dan pandangan hidup bernegara. Dalam prinsipnya, Pancasila sebagai filsafat
merupakan perluasan manfaat dari yang bermula sebagai dasar dan ideologi,
merambah hingga produk filsafat (falsafah). Pancasila sebagai produk filsafat
berarti digunakan sebagai pandangan hidup dalam kegiatan praktis. Ini berarti

9

Filsafat Pancasila mempunyai fungsi dan peranan sebagai pedoman dan
pegangan dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam kehidupan seharihari baik dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi bangsa
Indonesia. Pancasila sebagai filsafat juga berarti bahwa pancasila mengandung
pandangan, nilai, dan pemikiran yang dapat menjadi substansi dan isi
pembentukan ideologi Pancasila. Hal yang mendasari pernyataan ini adalah
karena pada hakikatnya Pancasila memiliki sistem nilai (value system) yang
didapat dari penggalian dan pengejawantahan nilai-nilai luhur mendasar dari
kebudayaan bangsa Indonesia sepanjang sejarah, berakar dari unsur-unsur
kebudayaan luar yang sesuai sehingga secara keseluruhannya terpadu menjadi
kebudayaan bangsa Indonesia. (Notonagoro, 1982)
3.5 Pengertian Sistem
Sistem adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan,
saling bekerjasama untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Secara keseluruhan
merupakan suatu kesatuan yang utuh.
Suatu system filsafat sedikitnya mengajarkan tentang sumber dan
hakikat realitas, falsafat hidup, dan tata nilai (etika),termasuk teori terjadinya
pengetahuan manusia dan logika.
3.6 Pancasila Sebagai Sistem Filsafat
Sila-sila Pancasila yang merupakan sistem filsafat pada hakikatnya
merupakan suatu kesatuan organik. Sila-sila dalam pancasila saling berkaitan,
saling berhubungan bahkan saling mengkualifikasi. Sila yang satu senantiasa
dikualifikasikan oleh sila-sila lainnya. Dengan demikian, Pancasila pada
hakikatnya merupakan suatu sistem, dalam pengertian bahwa bagian-bagian
(sila-silanya) saling berhubungan secara erat sehingga membentuk suatu
struktur yang menyeluruh. Pancasila sebagai suatu sistem juga dapat dipahami
dari pemikiran dasar yang terkandung dalam Pancasila, yaitu pemikiran
tentang manusia dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan
dirinya sendiri, dengan sesama manusia, dengan masyarakat bangsa dan
negara.

10

Kenyataan Pancasila yang demikian ini disebut kenyataan yang obyektif,
yaitu bahwa kenyataan itu ada pada Pancasila sendiri terlepas dari sesuatu
yang lain atau terlepas dari pengetahuan orang. Sehingga Pancasila sebagai
suatu sistem filsafat bersifat khas dan berbeda dengan sistem-sistem filsafat
yang lain misalnya: liberalisme, materialisme, komunisme, dan aliran filsafat
yang lain.
Kesatuan

sila-sila

Pancasila

pada

hakekatnya

bukanlah

hanya

merupakan kesatuan yang bersifat formal logis saja, namun juga meliputi
kesatuan dasar ontologis, dasar epistimologis, serta dasar aksiologis dari sila
Pancasila.
3.7 Rumusan Kesatuan Sila-sila Pancasila Sebagai Suatu sistem
1. Susunan Kesatuan Sila-sila Pancasila yang bersifat sistematis
Pancasila yang terdiri atas lima sila pada hakikatnya merupakan suatu
sitem filsafat.Sistem adalah suatu kesatuan bagian-bagian yang saling
berhubungan, saling bekerja sama, untuk suatu tujuan tertentu, dan secara
keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh.
Jadi Pancasila yang terdiri atas bagian-bagian, yaitu sila-sila Pancasila,
setiap sila pada hakikatnya merupakan suatu asas sendiri, fungsi sendirisendiri. Namun secara keseluruahan merupakan suatu kesatuan yang
sistematis.
Pancasila sebagai sistem filsafat dapat dilakukan dengan cara deduktif
dan induktif. Cara deduktif yaitu dengan mencari hakikat Pancasila serta
menganalisis dan menyusunnya secara sistematis menjadi keutuhan
pandangan yang komprehensif. Cara induktif yaitu dengan mengamati
gejala-gejala sosial budaya masyarakat, merefleksikannya, dan menarik arti
dan makna yang hakiki dari gejala-gejala itu.
2. Susunan Kesatuan Sila-sila Pancasila yang bersifat organis
Pancasila merupakan suatu kesatuan yang majemuk tunggal dan
bersumber pada hakikat manusia “monopluralis” yakni :

11

a. Susunan kodrat, jasmani rohani.
b. Sifat kodrat, individu- makhluk social.
c. Kedudukan kodrat, pribadi berdiri sendiri-makhluk Tuhan YME.
3. Susunan Kesatuan Sila-sila Pancasila yang bersifat Hirarkis dan berbentuk
pyramidal
Dilihat dari intinya, urut-urutan lima sila menunjukkan suatu rangkaian
tingkat dalam luasnya, dan isi sifatnya merupakan pengkhususan dari silasila di mukanya. Sila I menjadi basis dari Sila II, III, IV dan V. Ketuhanan
YME adalah Ketuhanan yang berkemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan,
serta berkeadilan sosial, sehingga setiap sila terkandung sila-sila lainnya.
3.8 Alasan Diperlukannya Kajian Pancasila sebagai Sistem Filsafat
1. Filsafat Pancasila sebagai Genetivus Objectivus dan Genetivus Subjectivus
Pancasila sebagai genetivus-objektivus, artinya nilai-nilai pancasila
dijadikan sebagai objek yang dicari landasan filosofisnya berdasarkan
sistem- sistem dan cabang-cabang filsafat yang berkembang di Barat.
Misalnya, Notonagoro menganalisis nilai-nilai pancasila berdasarkan
pendekatan subtansialistik filsafat Aristoteles sebagaimana yang
terdapat dalam karyanya yang berjudul Pancasila Ilmiah Populer.
Adapun Drijarkara menyoroti nilai-nilai pancasila dari pendekatan
eksistensialisme religious sebagaimana yang diungkapkannya dalam
tulisan yang berjudul Pancasila dan Religi.
Pancasila sebagai genetivus-subjectivus, artinya nilai-nilai pancasila
dipergunakan

untuk

mengkritisi

berbagai

aliran

filsafat

yang

berkembang, baik untuk menemukan hal-hal yang sesuai dengan nilainilai pancasila maupun untuk melihat nilai-nilai yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai pancasila. Selain itu, nilai- nilai pancasila tidak hanya
dipakai dasar bagi pembuatan peraturan perundang- undangan, tetapi
juga nilai-nilai pancasila harus mampu menjadi orientasi pelaksanaan
sistem politik dan dasar bagi pembangunan nasional. Misalnya,

12

Sastrapratedja (2001: 2) mengatakan bahwa pancasila adalah dasar
politik, yaitu prinsip-prinsip dasar dalam kehidupan bernegara,
berbangsa,

dan

bermasyarakat.

Adapun

Soerjanto (1991:57-58)

mengatakan bahwa fungsi pancasila untuk memberikan orientasi ke
depan mengharuskan bangsa Indonesia selalu menyadari situasi
kehidupan yang sedang dihadapinya.
2. Landasan Ontologis Filsafat Pancasila
Pancasila sebagai Genetivus Subjectivus memerlukan landasan pijak
filosofis yang kuat yang mencakup tiga dimensi, yaitu landasan ontologis,
landasan epistemologis, dan landasan aksiologis. Pernahkah Anda
mendengar istilah”ontologi”? Ontologi menurut Aritoteles merupakan

cabang filsafat yang membahas tentang hakikat segala yang ada secara
umum sehingga dapat dibedakan dengan disiplin ilmu-ilmu yang
membahas sesuatu secara khusus. Ontologi membahas tentang hakikat
yang paling dalam dari sesuatu yang ada, yaitu unsur yang paling umum
dan bersifat abstrak, disebut juga dengan istilah substansi. Inti persoalan
ontologi adalah menganalisis tentang substansi (Taylor,1955: 42).
Substansi menurut Kamus Latin – Indonesia, berasal dari bahasa Latin
“substare” artinya serentak ada, bertahan, ada dalam kenyataan.
Substantialitas artinya sesuatu yang berdiri sendiri, hal berada, wujud,

hal wujud (Verhoeven dan Carvallo, 1969: 1256).
Ontologi menurut pandangan Bakker adalah ilmu yang paling
universal karena objeknya meliputi segala-galanya menurut segala
bagiannya (ekstensif) dan menurut segala aspeknya (intensif) (Bakker,
1992: 16). Lebih lanjut, Bakker mengaitkan dimensi ontologi ke dalam
pancasila dalam uraian berikut. Manusia adalah mahluk individu
sekaligus sosial (monodualisme), yang secara universal berlaku pula
bagi substansi infrahuman, manusia, dan Tuhan. Kelima sila pancasila
menurut Bakker menunjukkan dan mengandaikan kemandirian masingmasing, tetapi dengan menekankan kesatuannya yang mendasar dan
keterikatan dalam relasi-relasi. Dalam kebersamaan itu, sila-sila

13

pancasila merupakan suatu hirarki teratur yang berhubungan satu sama
lain, tanpa dikompromikankan otonominya, khususnya pada Tuhan.
Bakker menegaskan bahwa baik manusia maupun substansi infrahuman
bersama dengan otonominya ditandai oleh ketergantungan pada Tuhan
Sang Pencipta. Ia menyimpulkan bahwa segala jenis dan taraf substansi
berbeda secara esensial, tetapi tetap ada keserupaan mendasar (Bakker,
1992: 38).
Stephen W. Littlejohn dan Karen A Foss dalam Theories of Human
Communication menegaskan bahwa ontologi merupakan sebuah filosofi
yang berhadapan dengan sifat mahluk hidup. Setidaknya, ada empat
masalah mendasar dalam asumsi ontologis ketika dikaitkan dengan
masalah sosial, yaitu (1) pada tingkatan apa manusia membuat pilihanpilihan yang nyata?; (2) apakah perilaku manusia sebaiknya dipahami
dalam bentuk keadaan atau sifat?; (3) Apakah pengalaman manusia
semata-mata individual atau sosial?; (4) pada tingkatan apakah
komunikasi sosial menjadi kontekstual? (Littlejohn and Foss, 2008: 26).
Penerapan keempat masalah ontologis tersebut ke dalam pancasila
sebagai sistem filsafat menghasilkan hal-hal berikut. Pertama, ada tiga
mainstream yang berkembang sebagai pilihan nyata bangsa Indonesia
atas kedudukan pancasila sebagai sistem filsafat, yaitu (1) determinisme
yang menyatakan bahwa perilaku manusia disebabkan oleh banyak
kondisi sebelumnya sehingga manusia pada dasarnya bersifat reaktif
dan pasif. Pancasila sebagai sistem filsafat lahir sebagai reaksi atas
penjajahan yang melanggar Hak Asasi Manusia, sebagaimana amanat
yang tercantum dalam alinea I Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, ”Bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab
itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai
dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan”. (2) pragmatisme yang
menyatakan

bahwa

manusia

merencanakan

perilakunya

untuk

mencapai tujuan masa depan sehingga manusia merupakan mahluk yang

14

aktif dan dapat mengambil keputusan yang memengaruhi nasib mereka.
Sifat

aktif

yang

memunculkan

semangat

perjuangan

untuk

membebaskan diri dari belenggu penjajahan termuat dalam alinea II
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang berbunyi:
“Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah

kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentausa mengantarkan

rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang Kemerdekaan Negara Indonesia,
yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”.
Adapun butir (3) aliran yang berdiri pada posisi tengah (kompromis)
yang menyatakan bahwa manusia yang membuat pilihan dalam
jangkauan yang terbatas atau bahwa perilaku telah ditentukan,
sedangkan perilaku yang lain dilakukan secara bebas. Ketergantungan di
satu pihak dan kebebasan di pihak lain tercermin dalam alinea III
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang berbunyi, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan
dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan
kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini
kemerdekaannya”. Ketergantungan dalam hal ini adalah atas berkat
rahmat Allah Yang Maha Kuasa, sedangkan kebebasan bangsa Indonesia
mengacu pada keinginan luhur untuk bebas merdeka.
Persoalan kedua, terkait dengan apakah perilaku manusia sebaiknya
dipahami dalam bentuk keadaan atau sifat? Dalam hal ini, keadaan
mencerminkan kedinamisan manusia, sedangkan sifat mengacu pada
karakteristik yang konsisten sepanjang waktu (Littlejohn and Foss,
2008: 26). Keadaan dan sifat membentuk perilaku manusia sehingga
penjajahan yang dialami oleh bangsa Indonesia dalam kurun waktu yang
cukup panjang itu membentuk kedinamisan rakyat Indonesia untuk
terus mengadakan perlawanan yang tertuang dalam sejarah perjuangan
bangsa Indonesia dari masa ke masa. Sifat yang mengacu pada
karakteristik bangsa Indonesia berupa solidaritas, rasa kebersamaan,

15

gotong rotong, bahu-membahu untuk mengatasi kesulitan demi
menyongsong masa depan yang lebih baik.
Persoalan ontologis ketiga yang dikemukakan Littlejohn and
Fossterkait dengan apakah pengalaman manusia semata-mata individual
ataukah sosial? Seiring dengan sejarah perjalanan bangsa Indonesia,
harus diakui memang ada individu-individu yang menonjol, seperti para
pahlawan (Diponegoro, Imam Bonjol, Pattimura, dan seterusnya), tokohtokoh pergerakan nasional (Soekarno, M. Hatta, A.A Maramis, Agus
Salim, dan seterusnya) yang mencatatkan nama- namanya di dalam
sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Namun, harus pula diakui bahwa
para pahlawan dan tokoh-tokoh pergerakan nasional itu tidak mungkin
bergerak sendiri untuk mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia.
Peristiwa Sepuluh November di Surabaya ketika terjadi pertempuran
antara para pemuda, arek-arek Surabaya dan pihak sekutu membuktikan
bahwa Bung Tomo berhasil menggerakkan semangat rakyat melalui
orasi dan pidato-pidatonya. Dengan demikian, manusia sebagai mahluk
individu baru mempunyai arti ketika berelasi dengan manusia lain
sehingga sekaligus menjadi mahluk sosial.
Landasan ontologis pancasila artinya sebuah pemikiran filosofis atas
hakikat dan raison d’etre sila-sila pancasila sebagaidasar filosofis negara
Indonesia. Oleh karena itu, pemahaman atas hakikat sila-sila pancasila
itu diperlukan sebagai bentuk pengakuan atas modus eksistensi bangsa
Indonesia. Sastrapratedja (2010: 147--154) menjabarkan prinsip-prinsip
dalam pancasila sebagai berikut. (1) Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa
merupakan pengakuan atas kebebasan beragama, saling menghormati
dan bersifat toleran, serta menciptakan kondisi agar hak kebebasan
beragama itu dapat dilaksanakan oleh masing-masing pemeluk agama.
(2). Prinsip Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab mengakui bahwa setiap
orang memiliki martabat yang sama, setiap orang harus diperlakukan
adil sebagai manusia yang menjadi dasar bagi pelaksanaan Hak Asasi
Manusia. (3). Prinsip Persatuan mengandung konsep nasionalisme

16

politik yang menyatakan bahwa perbedaan budaya, etnis, bahasa, dan
agama tidak menghambat atau mengurangi partsipasi perwujudannya
sebagai warga negara kebangsaan. Wacana tentang bangsa dan
kebangsaan dengan berbagai cara pada akhirnya bertujuan menciptakan
identitas diri bangsa Indonesia. (4). Prinsip Kerakyatan yang Dipimpin
oleh

Hikmat

Kebijaksanaan

dalam

Permusyawaratan/Perwakilan

mengandung makna bahwa sistem demokrasi diusahakan ditempuh
melalui

proses

musyawarah

demi

tercapainya

mufakat

untuk

menghindari dikotomi mayoritas dan minoritas. (5). Prinsip Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia sebagaimana yang dikemukakan
Soekarno, yaitu didasarkan pada prinsip tidak adanya kemiskinan dalam
negara Indonesia merdeka, hidup dalam kesejahteraan (welfare state).
3. Landasan Epistemologis Filsafat Pancasila
Pernahkah Anda mendengar istilah “epistemologi”? Istilah tersebut

terkait

dengan

sarana

Epistemologi adalah

dan

sumber

pengetahuan

(knowledge).

cabang filsafat pengetahuan yang membahas

tentang sifat dasar pengetahuan, kemungkinan, lingkup, dan dasar umum
pengetahuan (Bahm, 1995: 5). Epistemologi terkait dengan pengetahuan
yang bersifat sui generis, berhubungan dengan sesuatu yang paling
sederhana dan paling mendasar (Hardono Hadi, 1994: 23). Littlejohn and
Foss menyatakan bahwa epistemologi merupakan cabang filosofi yang
mempelajari

pengetahuan

atau

bagaimana

orang-orang

dapat

mengetahui tentang sesuatu atau apa-apa yang mereka ketahui. Mereka
mengemukakan beberapa persoalan paling umum dalam epistemologi
sebagai berikut. (1) pada tingkatan apa pengetahuan dapat muncul
sebelum pengalaman?(2) pada tingkatan apa pengetahuan dapat menjadi
sesuatu yang pasti? (Littlejohn and Foss, 2008: 24).
Problem pertama tentang cara mengetahui itu ada dua pendapat yang
berkembang dan saling berseberangan dalam wacana epistemologi, yaitu
rasionalisme dan empirisisme. Kaum rasionalis berpandangan bahwa
akal merupakan satu-satunya sarana dan sumber dalam memperoleh

17

pengetahuan sehingga pengetahuan bersifat a priori. Empirisisme
berpandangan bahwa pengalaman inderawi (empiris) merupakan sarana
dan sumber pengetahuan sehingga pengetahuan bersifat a posteriori.
Pancasila sebagaimana yang sering dikatakan Soekarno, merupakan
pengetahuan yang sudah tertanam dalam pengalaman kehidupan rakyat
Indonesia sehingga Soekarno hanya menggali dari bumi pertiwi
Indonesia. Namun, pengetahuan dapat muncul sebelum pengalaman,
dalam kehidupan bangsa Indonesia, yakni ketika menetapkan pancasila
sebagai dasar negara untuk mengatasi pluralitas etnis, religi, dan budaya.
Pancasila diyakini mampu mengatasi keberagaman tersebut sehingga hal
tersebut mencerminkan tingkatan pengetahuan yang dinamakan a priori.
Problem kedua tentang pada tingkatan apa pengetahuan dapat
menjadi sesuatu yang pasti berkembang menjadi dua pandangan, yaitu
pengetahuan yang mutlak dan pengetahuan yang relatif. Pancasila dapat
dikatakan sebagai pengetahuan yang mutlak karena sifat universal yang
terkandung dalam hakikat sila-silanya, yaitu tuhan, manusia, satu
(solidaritas, nasionalisme), rakyat, dan adil dapat berlaku di mana saja
dan bagi siapa saja. Notonagoro menamakannya dengan istilah pancasila
abstrak-umum universal. Pada posisi yang lain, sifat relatif pengetahuan
tentang pancasila sebagai bentuk pengamalan dalam kehidupan individu
rakyat Indonesia memungkinkan pemahaman yang beragam, meskipun
roh atau semangat universalitasnya tetap ada. Notonagoro menyebutnya
dengan

pelaksanaan

pancasila

umum

kolektif

dan

singular

konkrit.(Bakry, 1994:45).
Landasan epistemologis pancasila artinya nilai-nilai pancasila digali
dari pengalaman (empiris) bangsa Indonesia, kemudian disintesiskan
menjadi sebuah pandangan yang komprehensif tentang kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Penjabaran sila-sila pancasila
secara epistemologis dapat diuraikan sebagai berikut. Sila Ketuhanan
Yang Maha Esa digali dari pengalaman kehidupan beragama bangsa
Indonesia sejak dahulu sampai sekarang. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan

18

Beradab digali dari pengalaman atas kesadaran masyarakat yang
ditindas oleh penjajahan selama berabad-abad. Oleh karena itu, dalam
alinea pertama Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa penjajahan itu tidak sesuai
dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Sila Persatuan Indonesia
digali dari pengalaman atas kesadaran bahwa keterpecahbelahan yang
dilakukan penjajah kolonialisme Belanda melalui politik Devide et
Impera

menimbulkan

Kerakyatan

yang

konflik

Dipimpin

antarmasyarakat

oleh

Hikmat

Indonesia.

Kebijaksanaan

Sila
dalam

Permusyawaratan/Perwakilan digali dari budaya bangsa Indonesia yang
sudah mengenal secara turun temurun pengambilan keputusan
berdasarkan

semangat

musyawarah

untuk

mufakat.

Misalnya,

masyarakat Minangkabau mengenal peribahasa yang berbunyi”Bulek aie
dek pambuluh, bulek kato dek mufakat”, bulat air di dalam bambu, bulat
kata dalam permufakatan. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia

digali

dari

prinsip-prinsip

yang

berkembang

dalam

masyarakat Indonesia yang tercermin dalam sikap gotong royong.
4. Landasan Aksiologis Pancasila
Pernahkah Anda mendengar istilah “aksiologi”? Kalau belum pernah,

maka satu hal yang perlu Anda ketahui bahwasanya istilah “aksiologis”
terkait dengan masalah nilai (value). The study of the theory of values is
axiology (Gr. Axios, of like value + logos, theory). Pure axiology is the study
of values of all types. (Hunnex, 1986: 22). Frondizi (2001:7) menegaskan

bahwa nilai itu merupakan kualitas yang tidak real karena nilai itu tidak
ada untuk dirinya sendiri, ia membutuhkan pengemban untuk berada.
Mari perhatikan beberapa contoh pernyataan sebagai berikut.
a. Berapa nilai pertandingan antara Persipura melawan Persib?
b. Berapa nilai sepeda motor Honda yang dipakainya itu?.
c. Berapa nilai IPK yang Anda peroleh semester ini?
d. Lukisan Afandi dikatakan bersifat ekspresionis karena di situlah

19

letak nilai keindahannya
Istilah nilai yang digunakan dalam pernyataan tersebut bukan
mengacu pada makna nilai (value) dalam arti filosofis, melainkan lebih
mengacu pada arti skor (a), harga (b), dan angka atau grade (c). Nilai
(value) lebih mengacu pada kualitas yang bersifat abstrak, yang melekat
pada suatu objek, sebagaimana yang tercermin pada contoh pernyataan
butir (d).
Littlejohn and Foss mengatakan bahwa aksiologi merupakan cabang
filosofi yang berhubungan dengan penelitian tentang nilai-nilai. Salah
satu masalah penting dalam aksiologi yang ditengarai Littlejohn and
Foss, yaitu: dapatkah teori bebas dari nilai? (Littlejohn and Foss, 2008:
27--28). Problem apakah teori atau ilmu itu dapat bebas dari nilai,
memiliki pengikut yang kuat dalam kubu positivisme. Pengikut positivis
meyakini bahwa teori dan ilmu harus bebas nilai untuk menjaga
semangat objektivitas ilmiah. Namun, perlu disadari bahwa tidak semua
aspek kehidupan manusia dapat diukur secara “ilmiah” menurut
perspektif positivistik karena banyak aspek kehidupan manusia ini yang
mengandung muatan makna dan bernilai tinggi ketika dihadapkan pada
masalah- masalah yang berdimensi spiritual, ideologis, dan kepercayaan
lainnya. Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia mengandung
berbagai dimensi kehidupan manusia, seperti spiritualitas, kemanusiaan,
solidaritas, musyawarah, dan keadilan. Kelima sila tersebut mengandung
dimensi nilai yang “tidak terukur” sehingga ukuran “ilmiah” positivistik
atas kelima sila tersebut sama halnya dengan mematikan denyut nadi
kehidupan atau memekanisasikan pancasila. Pancasila justru merupakan
sumber nilai yang memberi aspirasi bagi rakyat Indonesia untuk
memahami hidup berbangsa dan bernegara secara utuh. Pancasila
sebagai sumber nilai bagi bangsa Indonesia seharusnya dikembangkan
tidak hanya dalam kehidupan bernegara, tetapi juga dalam bidang
akademis sehingga teori ilmiah yang diterapkan dalam kehidupan
masyarakat Indonesia berorientasi pada nilai-nlai pancasila tersebut.

20

Dunia akademis tidak berkembang dalam ruang hampa nilai sebab
semangat akademis harus berisikan nilai spiritualitas untuk menggugah
kesadaran tentang pentingnya keyakinan kepada Sang Pencipta sebagai
pendorong dan pembangkit motivasi kegiatan ilmiah.
Landasan aksiologis pancasila artinya nilai atau kualitas yang
terkandung dalam sila-sila pancasila. Sila pertama mengandung kualitas
monoteis,

spiritual,

kekudusan,

dan

sakral.

Sila

kemanusiaan

mengandung nilai martabat, harga diri, kebebasan, dan tanggung jawab.
Sila persatuan mengandung nilai solidaritas dan kesetiakawanan. Sila
keempat mengandung nilai demokrasi, musyawarah, mufakat, dan
berjiwa besar. Sila keadilan mengandung nilai kepedulian dan gotong
royong.

21

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa sebelum
ditetapkannya pancasila sebagai sistem filsafat, ada beberapa kerangka
berpikit pancasila yakini dilihat dari sejarah bahwa pancasila sebagai dasar
negara Republik Indonesia pada tangga 18 Agustus 1945, melalui pendekatan
filsafat pancasila dan sejarahnya.
Sejarah pancasila pada hakikatnya adalah sebagaimana nilai-nilai yang
bersifat fundamental menjadi suatu sumber dari segala sumber hokum dalam
Negara Indonesia Pengertian filsafat itu sendiri dapat diartikan secara
etimologi, secara umum(filsafat dalam arti proses dan filsafat dalam arti
produk) dan menurut beberapa para ahli, dapat disimpulkan pengertian
filsafat dari keseluruhan yaitu cinta akan kebijaksanaan atau hakikat
kebenaran yang didalamnya ada aturan-aturan untuk mengatur suatu aktifitas
sesuai aturan yang ditentukan untuk mencapai tujuan yang sama.
Pancasila dikatakan sebagai sistem filsafat karena sila-sila pancasila yang
merupakan system filsafat yang hakikatnya merupakan suatu kesatuan
organik, dengan rumusan kesatuan sila-sila pancasila yang bersifat sistematis,
organis, hirarkis dan pyramidal. Hubungan rumusan kesatuan sila-sila yang
sistematis dan saling mengkualifikasi dapat dilihat nilai-nilai yang terkanduk
dalam setiap sila yang dimana nilai tersebut aka nada pada sila-sila
selanjutnya. Fungsi utama filsafat pancasila bagi Negara Indonesia adalah
filsafat dikatakan sebagai dasar Negara Republik Indonesia, sebagai
pandangan hidup, dan sebagai sumber dari segala sumber hukum.

22

4.2 Kritik dan Saran
Penulis menyadari banyak sekali kekurangan dalam penyusunan
makalah ini. Oleh karena itu,penulis menerima segala kritik dan saran yang
bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata kami ucapkan terimakasih dan mohon maaf sebelumnya
apabila dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

23

DAFTAR PUSTAKA

Apriliyan, Dwi.Pancasila Sebagai Sistem Filsafat
http://dwiapriliyan.blogspot.com/2014/10/pancasila-sebagai-sistem-filsafat.html

Aufatih, 13 Pengertian Filsafat Menurut Para Ahli
http://www.aufatih.com/2016/05/13-pengertian-filsafat-menurut-para.html

Silvia, Febi.Pancasila Sebagai Sistem Filsafat
http://febisilvia48.wordpress.com/2013/05/07/pancasila-sebagai-sistemfilsafat/

RISTEKDIKTI, Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi Cetakan I 2016

Wikipedia Filsafat
https://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat

Wikipedia Filsafat Pancasila
https://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat_Pancasila