PANCASILA DAN RELEVANSINYA DENGAN FILSAF

1

PANCASILA SEBAGAI DUNIA KEHIDUPAN DAN RELEVANSINYA
DENGAN FILSAFAT KONTINENTAL
Oleh Muhammad Halkis.1

Abstract:
This study aims to elucidate the interaction between Pancasila with
continental philosophy. Pancasila in the 1945 Constitution functions as the state
foundation. In The New Order era the interpretation of Pancasila was
monopolized by the government. In the reform era, however, Pancasila has almost
been abandoned. Husserl's phenomenological approach Pancasila can be
understood as the structures of the life world of Indonesia, namely Pancasila has
been the common talk of the intellectuals and community environment. Therefore,
it can be explained through positivistic, structural, post-structural, postmodern,
psychoanalytic as well as other paradigms. Hence, Pancasila will always be
dynamic and open for various viewpoints.

Key Words: Pancasila, phenomenology, life-world, ideology and interpretation

Pancasila dapat dilihat sebagai objek dan subjek. Kalau Pancasila dilihat

sebagai teks terdiri dari 5 (lima) kalimat terdapat dalam Pembukaaan UUD 1945
dapat diinterpretasi, maka Pancasila

ditempatkan sebagai objek. Pancasila

memiliki ontologi, epsitemologi, dan axiologi sehingga dapat dijadikan objek
kajian filsafat, untuk itu perlu kemampuan menganalisa tentang cara memandang
Pancasila dalam tradisi filsafat. Namun ketika Pancasila diletakan sebagai dasar
negara, maka Pancasila sesungguhnya sebagai subjek bangsa Indonesia, Pancasila
memberikan sovereign (kedaulatan) bagi bangsa Indonesia untuk mencapai
kemerdekaannya. Pancasila sangat penting bagi bangsa poskolonial seperti
Indonesia, negara lahir atas kehendak sendiri bukan diberikan kolonial. Sesuai
dengan pendapat Bung Karno Pancasila merupakan weltanchaung bangsa

1

Rohaniawan TNI

2


Indonesia, yaitu kesadaran ruang dan waktu ke-Indonesiaan.2 Pancasila sebagai
kesadaran, Cogito Cartesian sebagai kata kunci.
Ironisnya, lebih setengah abad Pancasila sudah menjadi kesepakatan
bersama (ko-teks) dan telah digunakan dalam mengatasi berbagai

masalah

(konteks)3 tampaknya belum optimal digunakan ketika bangsa Indonesia dalam
menghadapi masalah krusial akhir-akhir ini, seperti membentuk partai politik,
menentukan mitra koalisi, menentukan kepemimpinan bangsa sehingga bangsa
Indonesia terlihat masih gamang hidup dengan jati dirinya sendiri. Padahal asal
usul sebuah negara menjadi penentu keberadaan negara tersebut, untuk mengatur
kehidupan rumah tangga suatu negara tersebut dan juga dalam berinteraksi dengan
dunia di global.
Menurut Edmund Husserl (1859-1938)

apabila kesadaran suatu

masyarakat lahir dan berkembang dalam kalang intelektual dan mejadi
pembicaraan oleh masyarakat disebut dengan dunia kehidupan (lebenswelt).4

Tiap-tiap masyarakat memiliki cara merasa dan berpikir sendiri dalam mengatur
konstitusi kehidupan negara mereka, kadang kala memang agak terasa beragam
dan aneh karena mereka mempunyai latar belakang alamiah yang membentuk
relasi-realasi sosial atau dunia keyakinan (ideologi) yang berbeda-beda.5 Edmund
Husserl setelah menulis Fenomenologi dalam buku Logical Investigations, (1900)
Ideas I (1913) dan Méditations Cartésiennes (1931) kemudian menulis masalah
konstitusi. Karya-karya mengenai konstitusi dihimpun oleh Rudolf Bernet dan
Ullrich Melleyang dalam Die Lebenswelt (Springer, 2008). 6 Karya-karya Husserl
2

Lihat Soekarno, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno,Jakarta;Media Pressindo, 2006
Ko-tek diambil dari bahasa Jerman, berati kesepakatan bersama. Lebih lanjut Lihat Beck, Stefan,
Umgang Mit Technik Kulturelle Praxen Und Kulturwissenschaftliche Forschungskonzepte
Akademie, (Penulis:Teknik Penelitian Budaya dan Konsep Penelitian Ilmiah), Berlin; Akademie
Verlag GmbH,1997,p.349
4
Welton, Donn, The New Husserl, A Critical Reader, Bloomington, Indiana UP, 2003,p.32
5
Lihat Husserl, Edmund, Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological
Philosophy—Second Book: Studies in the Phenomenology of Constitution, trans. R. Rojcewicz and

A. Schuwer, Dordrecht: Kluwer, Fifth printing 2000
6
Tulisan Husserl terdiri dari; Volume I Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a
Phenomenological Philosophy, Third Book: Phenomenology and The Foundations of The
Sciences, Volume II Ideas Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological
Philosophy, First Book: General Introduction to a Pure Phenomenology, Volume III Ideas
Pertaining to a Pure Phenomenology and to a Phenomenological Philosophy Second Book:
Studies In The Phenomenology of Constitution, Volume IV On The Phenomenology of The
3

3

ini dapat membantu dalam menjelaskan eksistensi Pancasila dalam dimensi
filsafat kontinental.
Kemudian The Crisis of European7 merupakan karya kritis kehidupan
sosial ditulis Husserl setelah perang dunia pertama dan melihat upaya-upaya
Hitler dalam membangun Jerman. Pokok persoalannya adalah perkembangan ilmu
berkembang terlalu menekankan objektivisme, akibatnya pekembangan budaya di
luar dari dunia kehidupan (lebenswelt) manusia itu sendiri dan bahaya terhadap
kemanusian, salah satu tandanya adalah banyaknya masyarakat bersikap masa

bodoh, kelelahan, keputusaaan, atau pun hilangnya harapan. Tentunya jika
keadaan masyarakat demikian di alami bangsa Indonesia saat ini sangat bahaya,
karena dengan karakter dan identitas masyarakat yang lemah akan mudah
dipengaruhi, dieksploitasi dan tetap dikendalikan negara lain, hakekat
kemerdekaan sesungguhnya belum tercapai. Era Orde Baru yang mengekang
kehendak-kehendak bebas kita untuk menjadi diri sendiri, terjadi kapitalisasi
dalam segala aspek kehidupan, mungkin dapat meminjam istilah Habermas yang
terjadi sesunggunya Amerikanisasi8 dalam segala hal.

Orde baru bertindak

dengan alasan demi pembangunan, mengutamakan objektivitas pembangunan
fisik mungkin suatu keadaan yang hampir dapat disetarakan dengan krisis Eropa
dimaksudkan Husserl tersebut.
Untuk mengatasi krisis Eropa, Husserl menyarankan salah satu dari dua
cara; membiarkan Eropa hidupnya terasing dari rasa rasionalitas, dengan menahan
diri menjadi terasing oleh dirinya sendiri, atau memetakan konstelasi semangat
Eropa untuk mengatasi naturalisme tersebut.9 Bagi Husserl budaya alamiah
membentuk persepsi dan keyakinan seseorang (ideologi) untuk menjadi dasar
dalam bertindak, sehingga berbedaan satu dengan yang lain sebuah keniscayaan.

Consciousness o f Internal Time (1893-1917), Volume V Early Writings In The Philosophy Of
Logic And Mathematics, Volume VI Psychological and Transcendental Phenomenology and
Confrontation with Heidegger (1927-1931), dan Volume VII Thing And Space: Lectures of 1907.
Volume VIII The Idea of Phenomenology.
7
Lihat Husserl, Edmund, Philosophy And The Crisis Of European Man, Vienna, 10 May 1935;
"The Vienna Lecture".
8
Habermas, Jurgen, The Postnational Constellation, translated by Max Pensky, Tne MIT Press,
Cambridge, 2001, p. 61
9
Op. Cit. Husserl, Edmund, (1935), p.3

4

Untuk memahami struktur dunia kehidupan (lebenswelt) Husserl penting
terlebih dahulu memahami metode Fenomenologi Husserl. Prosedur berpikir
dalam Fenomenologi Husserl mulai dari epoche, yaitu kesadaran menentukan
pilihan-pilihan dari sesuatu yang umum menuju esensi, untuk itu rasionalitas
penting namun masih bersifat asumsi sehingga tahap ini disebut dengan menunda

(breaketing). Esensi pada hakikatnya adalah gramatikal melindungi pengalaman
logis kita.10 Kemudian dari berbagai pilihan kita dapat mereduksi objek secara
fenomenologi dan eidetis untuk dapat mencapai titik transendental. Semua tahap
dalam proses menuju sebuah tujuan secara tak sengaja (intesionalitas) sebagai inti
fenomenologi Husserl. Untuk itu Fenomenologi Husserl tidak hanya mengatur
tata cara penelitian dunia empiris tapi menyentuh pada persoalan transendental,
sehingga Fenomenologi Husserl tidak hanya bersifat epistemologi tapi juga
ontologi. Realitas penting dibuktikan dalam dunia kehidupan, yaitu; noema
sebagai realitas objektif dapat dipertemukan dengan noemus sebagai relitas intersubjektivitas.
Menurut James Dood strategi Husserl menghadapi krisis Eropa tidak
hanya untuk tujuan mengekspos kesalahan dari objektivitas, tetapi untuk
menyelidiki kesatuan dan koherensi dari teleologi batin budaya ilmiah sebagai
tradisi yang hidup, aliran dinamis dari realisasi diri dari kehidupan yang rasional
objektivitas. Tujuannya agar rasionalisme dapat dibebaskan dari distorsi
objektivisnya yang dimanifestasikan dengan cara membangun refleksi kesadaran
dari teleologis rasa-kesatuan pemahaman ilmiah.11 Upaya-upaya bersama tersebut
terangkum dalam sebuah konstitusi, sebagai pedoman bertindak secara bersamasama. Untuk itu persolan kita dari dimensi fenomenologi Husserl antara lain
menguji konstitusi amandemen UUD 1945 sebagai realitas politik merupakan
implementasi dunia alamiah yang membentuk manusia Indonesia itu sendiri. Bagi
Husserl dunia keyakinan adalah bentukan (givenness) dari ruang dan waktu,

10

Husserl, Edmund, The Shorter Logical Investigations, trans. J. N. Findlay, (introduction;
Dermot Moran) London New York : Routledge 1973.p.92
11
Dodd, James.Crisis and Reflection, an Essay nn Husserl‟s Crisis of The European Sciences, New
York, Boston, Dordrecht, London, Moscow; Kluwer Academic Publishers,2004 p.208 Lihat juga
David Hyder and Hans-Jörg Rheinberger (ed.),Science and the Life- World Essays on Husserl‟s
„Crisis of European Sciences.(2010)

5

sehingga dalam menghadapi persoalan-persoalan kenegaraan juga dilihat sebagai
refleksi dari ideologi bawaan kita. Dialog antar kelompok ideologi dalam tataran
intelektual maupun masyarakat sebagai ukuran terpenuhinya persyaratan
tercapainya dunia kehidupan yang baik.
Proses fenomenologis telah dilakukan oleh founding fathers. Proses
epoché menghimpung semua perbedaan, pertimbangan kedaerahan, agama, aliran
pemikiran sebagaimana yang dilakukan dalam sidang BPUPKI. Kemudian
diadakan reduksi fenomenologi, yaitu mengurangi jumlah anggota BPUPKI

diperkecil menjadi anggota PPKI. Kemudian diadakan reduksi eidetis, yaitu
mengurangi jumlah anggota dengan memperhatikan segmen ide-ide dari berbagai
aliran dalam Panitia 9. Akhirnya dilakukan reduksi transendental tentang dasar
negara, yaitu Pancasila. Jadi, Pancasila dari dimensi fenomenologi Husserlian
telah melakukan proses fenomenologis.
Beberapa studi tentang Pancasila bertititik tolak pada pemikiran Bung
Karno bahwa Pancasila sebagai Weltanschauung bangsa Indonesia lahir dari bumi
ibu pertiwi bersama dengan founding fathers lainya. Kata Weltanschauung secara
sedarhana dapat diartikan dalam bahasa Indonesia dengan pandangan dunia, cara
memandang lingkungan, orang lain, diri sendiri dan sebagainya memiliki
kesamaan dengan lebenswelt. Padanan kata weltanschauung dipahami dalam
konteks ilmu filsafat kontinental, bermuara dari kelompok idealis Jerman. Dari
berbagai literatur dapat diterjemahkan dalam bahasa inggeris dengan padanan kata
kata ideology, atau dalam bahasa arab aqidah sehingga dalam bahasa Indonesia
kata weltaunschauung atau ideology atau aqidah dapat diterjemahakan secara
sederhana dengan pemikiran, kesadaran atau keyakinan. Jadi Pancasila sebagai
weltanschauung atau ideologi dibicarakan dalam konteks teori weltanschauung
atau teori ideologi itu sendiri. Artinya bagaimana suatu teori ideologi
direfleksikan terhadap Pancasila sehingga


dapat dipahami beberapa teori

memungkinkan direfleksikan untuk memahami fenomena Pancasila dan sebagai
pemahaman perbandingan dengan teori fenomenologi yang digunakan.
Ideologi yang paling terkenal pada abad XX adalah Liberalisme dan
Marxisme. Dalam konteks ini umpamanya pemikir liberal dipilih Thomas

6

Hobbes, termasuk teori yang disebut-sebut Mr.Soepomo sebagai pilihan pada saat
sidang BPUPKI

maka teori Leviathannya direfleksikan sebagai Pancasila

sehingga Pancasila diposisikan sebagai Leviathan, demikian juga dengan teori
lain. Ideologi yang lain cukup mengemuka termasuk: anarkisme, kapitalisme,
komunisme, komunitarianisme, konservatisme, neoliberalisme, nasionalisme,
demokrasi, nazisme, liberalisme, libertarianisme, sosialisme, dan semuanya punya
tokoh


dan

varian-varian

tersendiri

dan

ada

juga

upaya-upaya

untuk

menggabungkannya. Persoalanya apakah teori tersebut relevan dengan maksud
weltanschauung para founding father dan realitas bangsa Indonesia saat ini.
Dengan alasan kepentingan tertentu atau karena kemampuan batas tertentu
refleksi sebagai pemaknaan ideologis dapat terjadi, sehingga terjadi pluralitas
interpretasi ideologi tersebut.
Ideologi politik merupakan wujud dari pemikiran, keyakinan, prinsip
melalui simbol, gerakan sosial, institusi, kelompok masyarakat yang memiliki
tujuan politik, budaya dan cara-cara yang sama. Ideologi merupakan dasar
pemikiran politik yang menggambarkan suatu partai politik dan kebijakannya.
Menurut John B Thompson dalam bukunya Studies in the Theory of Ideology
menjelaskan konsep ideologi memiliki sejarah yang panjang dan sangat kompleks.
Ideologi sebagai imajinasi masyarakat bertititik tolak pada pemikiran Ideologi
Jerman Marx dan Angels yang bekerja seperti sebuah camera obskura12. Ideologi
dapat digambarkan sebagai sistem keyakinan, sistem berpikir, dan hubungan
sosial menyangkut sistem keyakinan terhadap simbol praktis. Sebagai sistem
keyakinan digambarkan oleh Martin Selinger ideologi adalah serangkat yang
mengatur tindakan dalam bentuk sistem yang koheren yang terdiri dari beberapa
elemen yang dapat digambarkan13;

12

Thompson, John B., Studies in the Theory of Ideology, Berkeley, Los Angeles; University of
Calipornia Press,1984, p 16
13
Ibid p.78

7

DD
R

A

Pm
Pm
I

P1

D = Description
A= Analysis
Pm=Moral Prescription
P1= Technical Prescription
I = Implements
R= Rejection

Dalam teori politik, ideologi bisa bermata dua disatu sisi memberi
pengesahan kepada kekuasaan, namun ideologi pada sisi lain juga dipergunakan
para pembaharu atau pemberontak untuk menyerang status quo. Kekuasaan bisa
melakukan tindakan kekerasan dengan dasar kedaulatan negara, kehormatan
pemerintah, kehendak rakyat dan sebagainya, di sisi lain pemberontak bisa
membenarkan tindakan kekerasannya dengan bersandar pada hak-hak dasar
kemanusian dan keadilan yang dilindungi juga oleh ideologi tersebut. Dengan
ideologi simbolik etika pelaksanaan kekuasaan dapat dilaksanakan, antara
pemimpin dan dipimpin saling tolong menolong sehingga ideologi memberi cara
kepada mereka yang menginginkannya serta kepada yang yakin akan arti
keberadaan dan tujuan tindakannya.14 Untuk itu perlu kita menelusuri pemikiran
beberapa filsuf melihat keberadaan ideologi tersebut. Pandangan Slinger ini
tanpaknya memiliki kesamaan dengan Husserl, karena setiap ideologi keyakinan
dimaksudkan Husserl dapat dipahami melalui kerangka ini.
Kajian menyangkut ideologi, bahasan tentang ide oleh Plato (429–
347 SM) penting untuk dimengerti. Ide dimaksud Plato tidak sama dengan yang
ada dalam kamus umum yang kalau diartikan dengan cita-cita atau gagasan,
karena ide maksud Plato adalah alam lain dari alam fisik yang merupakan asal
segala sesuatu yang ada, termasuk karya seni sebagaimana dijelaskannya dalam
bukunya Politea. Sekalipun seni natural begitu pas dengan alam bagi Plato tetap
14

Rodee (edt.), Introduction to political Science,(Terjemahan oleh Zulkifli Hamid:Pengantar Ilmu
Politik), RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1983,p. 105

8

berasal dari ide, karena natur berasal dari ide. Jadi ontologi “ide” menjadi
tumpuan kajian keilmuan, karena dari ide ini konsep-konsep politik, hukum
ekonomi dan sebagainya dibangun.
Kalau dikatakan Pancasila berasal dari sejarah, kultur, lingkungan dilihat
dari teori Plato kurang tepat, karena Plato melihat sejarah dan ruang tidak
memprodukasi makna apa-apa. Namun Pancasila dapat ditempatkan jikalau
dikatakan bersumber transendental Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sumber
asal muasal dan tempat bergantungnya sila-sila yang lain sebagaimana dijelaskan
oleh Bung Hatta kepada golongan Islam radikal saat itu, bahwa Pancasila dapat
ditempatkan dalam teori Sidratul Muntaha sehingga kalangan umat Islam dapat
memahaminya secara umum. Ketuhanan bagi Plato adalah alam ide, di sana
“semua yang ada” bersemayam, termasuk Pancasila sebagai sumber hukum bagi
sebuah negara Indonesia. Ketuhanan dalam Pancasila dimaksudkan Plato bukan
theosentris, yaitu sebuah sosok sesuatu dengan sim-salabim menciptakan alam
fisik, tapi ketuhanan adalah alam ide yang memuat sistem berpikir bahwa sebuah
identitas bangsa dengan mendasari pemikiran segala sesuatu berasal dari atas.
Kalau Plato menunjukan sesuatu berasal dari ideas, lain lagi dengan
Aristoteles (384 SM – 322 SM) yang berpendapat sesuatu dari alam nyata,
artinya materi tidak ada kalau tidak ada bentuk, dan bentuk berasal dari benda itu
sendiri. Aristoteles menunjukan pentingnya observasi, karena pengetahuan
dimulai dari sana. Tugas manusia menyusun, menganalisa dan mengkonstruksi
sesuatu sehingga perlu logika agar sesuatu tersusun dengan baik. Untuk itu
Aristoteles mempelopori pelajaran logika. Sekalipun realitas sangat penting, tapi
Aristoteles juga menyadari bahwa segala sesuatu bergerak menuju suatu tujuan,
yang disebut dengan istilah telos. Untuk itu kalau Pancasila dikatakan berasal dari
ruang dan waktu sebagai rahmat Tuhan mendapatkan dukungan dari Aristoteles,
dan relevan dengan fenomenologi Husserl dan dunia kehidupannya berasal dari
kehidupan alamiah.

9

Perdamaian idealisme dan realisme telah berupaya oleh Immanuel Kant
(1724-1804), dalam bukunya Critique of Pure Reason dan Critique of Practical
Reason yang sangat revolusionel dalam menempatkan dasar-dasar keyakinan
rasionalitas dan tindakan rasional. Kritik terhadap rasio bagi Kant bukan anti
rasio, justru yang dimaksud adalah pandangan rasionalitas sebelumnya belum
memadai, sehingga pandangan Kant ini merupakan sebuah revolusi besar dalam
kajian filsafat. Upaya intelektual sangat ketat ditunjukannya bukan hanya
memahami fenomena sosial tapi juga mengetahui realitas transendental. Persoalan
hukum “sebab akibat” membuat implikasi yang luas terhadap meletakkan
berbagai persoalan menjadi perhatian utama oleh Kant, karena di sinilah peran
ilmu dibandingkan dengan agama, dalam hal ini dijelaskan dalam apriori dan
aposteriori. Hukum kausalitas bukan pernyataan faktual yang hanya benar secara
aposteriori, dan bukan pula makna-makna dalam konsep, tapi prinsip regulasi
sebagai aturan universal, semua prinsip ini adalah apriori sekaligus sintesis.15
Ideologi bagi Kant bukan terletak di alam, namun sudah tersedia dalam rasional
murni menjadi pedoman bagi rasionalitas dalam berkeyakinan dan bertindak.
Walaupun alam berupaya meyakinkan dan membuktikan, namun pembuktian
demikian tidak terkait dengan kebenaran yang diungkap dengan adanya kebenaran
itu sendiri, untuk itu ideologi Kant disebut ideologi transendental.
Pada abad modern ideologi sebagai kesadaran palsu Karl Marx (18181883) cukup menarik. Marx melihat manusia tidak bisa lepas dari kondisi sosial
dan strata dari mana dia berasal, artinya inti teori struktur Marx adalah suprastruktur berasal dari infra-struktur. Sebuah tindakan bagai seseorang didasari atas
latar belakang dirinya, jadi bukan kosong tanpa ada yang mengkonstruksinya.
Memang Marx mengkritik materialisme lama dengan mengungkapkan bahwa
realitas yang tanpak objektif itu sebagai produk historis aktivitas manusia.
Menurut Marx tidak semua kesadaran bercorak ideologis, karena ideologis ada
dalam masyarakat antagonistik dengan dua sifat yaitu; penyembunyian

15

Aiken, Henry,, Abad Ideologi,Ar-Ruzz Media, Jojakarta,2010,p. 37

10

kontradiksi-kontradiksi dan difungsikan bagi reproduksi sistem dominasi.16 Marx
melihat produk manusia tidak murni produksi manusia itu, di sini Marx
menyimpulkan bahwa manusia tidak memiliki ide murni, ideologi hanya ilusi
kesadaran ideologis.
Menurut Bhiku Parekh, penjelasan Marx tentang ideologi; Pertama, Marx
bergantung pada perbedaan penting antara kesadaran benar dan keyakinan palsu.
Kebenaran akan muncul jika distorsi dihapus yang menghubungkan manusia
dengan materi. Kedua, ideologi juga lenyap tergantung sifat fana ideologi itu
sendiri. Jika ideologi sebuah distorsi akan lenyap ketika kesadaran kebenaran itu
tercapai. Ketiga, Konsep ideologi memberi pemahaman kesatuan ideologi. Jika
ideologi tabir yang menutup kenyataan, maka semakin cepat kita membuangnya
semakin baik. Keempat, ideologi merupakan bagian dari ilmu politik sebagai
sentral menggerakan konsepsi dunia dan berusaha mengatasi kontradiksi internal,
dengan demikian ideologi disebut sebagai citra totalitas yang terkoordinasi dalam
waktu lama, tapi keliru.
Tanpaknya Bikhu Farekh sedang berusaha menyelamatkan Marx dalam
hempasan posstrukturalis, karena bagaimana pun Marx tidak pernah menjelaskan
sesungguhnya akan kehancuran ideologi, bahkan Marx tetap otimis sekalipun
negara di dunia tidak ada satupun yang mengakuinya sebagai ideologi negara tapi
akan tetap menjadi pegangan umatnya. Bagai manapun penjelasan Bikhu dapat
merekonstruksi Marxisme dalam era baru, karena memang saat sekarang orang
tidak terlalu penting mengungkapkan dia seorang Marxis atau tidak namun
perilaku politik saja yang dapat menjelaskannya.
Penafsiran lebih lanjut teori Marx tentang ideologi masuk dalam tiga
kategori yaitu; struktural ketika ideologi mengacu pada pemikiran struktural
kelompok tertentu, genetik ketika ideologi dikondisikan atau ditentukan oleh
kelompok sosial pemikir, dan kontekstualis ketika ideologi merupakan pemikiran
yang melayani kepentingan atau mempromosikan dari kelompok sosial itu sendiri
16

Adian, Donny Gahral, Setelah Marxisme, Sejumlah Teori Ideologi Kontemporer, Koekoesan,
Depok, 2011.p.17

11

Namun pada akhirnya, Marx menyebutkan tidak semua suprastruktur adalah
ideologi, terutama ketika ideologi konseptual dipisahkan dari teori penentuan
sosial, dimana interprestasi sosial dinilai keliru ketika ideologi tidak selalu
melayani kepentingan kelompok sosial.17
Refleksi pemikiran Marx terhadap Pancasila sebagai ideologi negara berasal
dari budaya Indonesia sangat tepat dijadikan dasar hukum, namun rapuh karena
menurut Marx ideologi hanya sebagai kesadaran palsu. Untuk itu agar Pancasila
dimaknai sebagai solusi dari konflik ideologi kapitalis dari penjajah dengan feodal
sang tuan tanah, sehingga Pancasila mendapat dukungan luas sebagai gerakan
proletariat. Jika benar Pancasila dibangun atas nilai-nilai environmental atau
berdasarkan geopolitik sebagai mana yang disebutkan Bung Karno dan Soepomo,
maka nilai Pancasila menjadi spekulatif dan temporer. Dalam hal ini Hatta
mengingatkan jika posisi Pancasila demikian, dimana “nilai-nilai nusantara
dirumuskan demikian bisa menjangkau masyarakat kita dimaksud sampai ke
Philipina, dan dipertanyakan oleh masyarakat di wilayah timur seperti Irian Jaya”.
Pada tataran ini baik Plato, Aritoteles, Kant maupun Marx melihat Pancasila
sebagai dasar negara masih mendapat tempat yang tepat. Refleksi pandangan
Kant terhadap Pancasila sebagai norma dasar akan lebih tepat jika memenuhi
kriteria sebagaimana yang diharapkan sebagai kebenaran yang dapat masuk pada
posisi sebagai subjektifitas negara. Kategori-kategori di dalam Pancasila memuat
hukum kausalitas yang teruji secara logika dan diyakini kebenarannya secara
apriori. Sifat transendental harus dimiliki Pancasila, untuk itu perlu pembuktian
apakah Pancasila tersebut sudah teruji demikian, sehingga fenomena yang ada
hanya bersifat pembenaran dalam lapangan praksis secara aposterori. Dalam hal
ini Pancasila tidak memiliki subjek transendental selain nilai tertinggi adalah
realitas diraih melalui sifat pluralistik seperti istilah yang sudah berekembang
“gotong royong atau bhineka tinggal ika”.

17

Ibid. hal 21-23

12

Lebih lanjut karya transisional strukturalis Karya Lois Althusser (1918–
1990) berjudul“Tentang Ideologi: Marxisme Struktural, Psikoanalisa, dan
Cultural Studies” merupakan buku pertama yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia. Dalam hal ini Althusser merumuskan teori Marxisme struktural dengan
membagi kehidupan seorang individu menjadi dua sisi, suprastruktur dan
infrastruktur. Suprastruktur adalah kehidupan luaran seseorang. Pada sisi inilah
tindakan-tindakan politis, ekonomis dan lain-lain berada. Sedangkan, infrastruktur
adalah kehidupan dalam atau biasanya diterjemahkan sebagai “corak produksi”
sebagai sumber ideologi. Ideologi yang dimaksud adalah bentukan pengalaman,
hubungan sosial dan status dalam masyarakat yang sebenarnya menyetir setiap
tindakan individu baik politis, sosial maupun ekonomis.
Orang dekat Althusser, Jacques Lacan (1901-1981) menjelaskan sifat tidak
sadar “corak produksi” ideologi ini dapat dijelaskan dalam teori psikoanalisa.
Menurut Lacan alam bawah sadar merupakan suatu keteraturan, setiap
pengalaman manusia akan menghasilkan dampak tertentu dalam tindakan. Jadi
ideologi hanya dimiliki sebuah negara ataupun organisasi, bukan individu namun
negara dan organisasi adalah alat penyebarluasan ideologi, dalam hal ini ideologi
negara dibentuk oleh hegemoni kekuasaan. Althusser melihat hegemoni dengan
dua cara yaitu melalui Aparatur Negara Represif (RSA=Represif State Aparatus)
seperti militer, polisi, jaksa dan alat negara lainya dan melalui Aparatur Negara
Ideologis (ISA=Ideological State Aparatus) seperti; Institusi-institusi rohaniawan,
pengusaha, politis, pendidikan dan sebagainya. Dalam hal ini beda dengan Marx
yang menyebut keduanya Aparatur Negara. Bagi Althusser kedua-duanya, baik
RSA maupun ISA harus sejalan, tugas negara menyiapkan aturan demikian rupa.
Aparatur ideologis mensosialisasi kepentingan negara, sementara aparat represif
bertindak untuk atas nama negara dalam mencapai tujuan dan produksi negara.
Struktur sosial demikian mempengaruhi pemaknaan ideologi yang didominasi
oleh aparatur negara ini. Penyebaran ideologi berhubungan dengan media dan
bahasa yang memperlihatkan hubungan kekuasaan dengan struktur masyarakat.

13

Refleksi pemikiran Althuser dipahami melalui Lacan dengan menggunakan
psikoanalisa Sigmund Freud (1856-1939) terhadap ideologi sebagai pemahaman
bawah sadar yang teratur dapat menempatkan posisi Pancasila sebagai mana
pandang Bung Karno bahwa Pancasila lahir dari ibu pertiwi. Tentunya Pancasila
sebagai sebagai anak yang lahir dari orang yang dimuliakan oleh agama tidak
perlu dipertanyakan lagi, terima apa adanya dengan menyikapi sebagai kebaikan,
spirit dalam kehidupan bernegara. Lebih lanjut bagi Althusser Aparat Negara
Ideologi seperti agamawan, politisi, pengusaha dan sebagainya berkewajiban
menjaga kemurnian ideologi

tersebut

dan

mensosialisasikannya

kepada

masyarakat. Sedangkan Aparatur Negara Represif mengawal Pancasila sekalipun
dibenarkan dengan kekerasan, dan bagi yang menantang merupakan musuh
negara. Dengan demikian pandangan Althusser dalam praktek kenegaraan lebih
tepat, dengan memperhatikan perkembangan reformasi dan HAM dewasa ini,
kecuali kalau disebut Pancasila sebagai sebuah pemahaman bawah sadar, karena
dalam budaya Indonesia tidak mau bangsanya hidup berdasarkan norma bawah
sadar tersebut.
Kemudian Roland Barther (1915-1980) termasuk filsuf posstrukturalis
ketika menulis “The Death of the Author”. Karyanya yang lebih dekat dan lebih
menarik terkait ideologi termuat dalam bukunya “Mythologies” (1972). Buku ini
menjelaskan proses dan kedudukan makna dalam semiotik. Mitos bagi Barthes
adalah apa yang diandaikan Saussure tentang hubungan bahasa dan makna atau
antara penanda dan petanda, bedanya Barthes melampaui apa yang lakukan
Saussure. Karena mitos bermain pada wilayah pertandaan tingkat kedua atau pada
tingkat konotasi bahasa. Saussure mengatakan bahwa makna adalah apa yang
didenotasikan oleh tanda, sementara Barthes menambah pengertian ini menjadi
makna pada tingkat konotasi. Konotasi bagi Barthes justru mendenotasikan
sesuatu hal yang ia nyatakan sebagai mitos dan dalam waktu lama menurut Beny

14

Hoed bahwa mitos menjadi ideologi. Posisi mitos dalam konsep Barthes 18sebagai
berikut;

Konotasi merupakan aspek bentuk dari tanda, sedangkan mitos adalah
isinya. Penggunaan tanda satu persatu dapat mengurangi kecenderungan “anarkis”
penciptaan makna yang tak berkesudahan, di sisi lain keanekaragaman budaya dan
perubahan terus-menerus membentuk wilayah petanda konotatif yang bersifat
global dan tersebar. Ideologi merupakan penggunaan makna makna konotasi
tersebut di masyarakat alias makna pada makna tingkat ketiga pada gambar di
atas. Dengan skema ini ideologi merupakan suatu sistem kepercayaan yang dibuatbuat, suatu kesadaran semu yang kemudian mengajak (interpellation) kepada
individu-individu untuk menggunakannya sebagai suatu “bahasa” sehingga
membentuk orientasi sosial dan kemudian berperilaku selaras dengan ideologi
tersebut yang kelihatannya alami. Beroperasinya ideologi melalui semiotika mitos
ini dapat ditengarai melalui asosiasi yang melekat dalam bahasa konotatif. Barthes
mengatakan penggunaan konotasi dalam teks ini sebagai: penciptaan mitos. Ada
banyak mitos yang diciptakan media di sekitar kita, misalnya mitos tentang
kecerdasan, kecantikan, kesuksesan, pembagian peran politik dan lain sebagainya.
Mitos ini bermain dalam tingkat bahasa yang oleh Barthes disebutnya
metabahasa. Penanda konotatif menyodorkan makna tambahan, namun juga
mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.
18

Hoed, Benny H., Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, Depok;Komunitas Bambu, 2011,
pp.158-159, lihat skema orisinil; Barthes,Roland,Mythologies, p. 115

15

Dibukanya medan pemaknaan konotatif ini memungkinkan pembaca memakanai
bahasa metafor atau yang maknanya hanya dapat dipahami pada tataran konotatif.
Karena mitos membawa pesan, maka mitos termasuk salah satu sistem
komunikasi. Mitos sebagai modus penandaan yang dibawa melalui wacana. Mitos
dapat digambarkan melalui cara pesan tersebut disampaikan atau caranya
ditekstualisasikan. Dalam narasi berita, pembaca dapat memaknai mitos ini
melalui konotasi yang dimainkan oleh narasi. Pembaca yang jeli dapat
menemukan adanya asosiasi-asosiasi terhadap „apa‟ dan „siapa‟ yang sedang
dibicarakan sehingga terjadi pelipat gandaan makna. Penanda bahasa konotatif
membantu untuk menyodorkan makna baru yang melampaui makna asalnya atau
dari makna denotasinya.
Ideologi bersembunyi dibalik mitos, karena mitos menyajikan serangkaian
kepercayaan mendasar yang terpendam dalam ketidaksadaran representator.
Ketidaksadaran adalah sebentuk kerja ideologis yang memainkan peran dalam
tiap representasi. Mungkin ini bernada paradoks, karena suatu tekstualisasi tentu
dilakukan secara sadar, yang dibarengi dengan ketidaksadaran tentang adanya
sebuah dunia lain yang sifatnya lebih imajiner. Sebagaimana halnya mitos,
ideologi pun tidak selalu berwajah tunggal. Ada banyak mitos, ada banyak
ideologi; kehadirannya tidak selalu kontinu di dalam teks. Mekanisme kerja mitos
dalam suatu ideologi adalah apa yang disebut Barthes sebagai naturalisasi sejarah.
Suatu mitos akan menampilkan gambaran dunia yang seolah terberi begitu saja
alias alamiah. Nilai ideologis dari mitos muncul ketika mitos tersebut
menyediakan fungsinya untuk mengungkap dan membenarkan nilai-nilai dominan
yang ada dalam masyarakat.
Barthes dan Husserl ada kesamaan yaitu ideologi menjadi tempat di mana
orang mengalami subyektivitasnya, manusia bertindak tidak sendiri namun
adanya intusi yang memanggilnya. Dalam hal ini ideologi Pancasila dipandang
Barther perlu penyimbolan agar makna ideologi dipahami sesuai dengan strata
berpikir masyarakatnya, sehingga Aparatur Negara Ideologi berkreatif dalam

16

bidang budaya agar pemaknaan tidak terhenti, apabila pemaknaan terhenti maka
ideologi terancam sebagai simbol. Integrasi dengan mitos-mitos publik termasuk
yang beredar di iklan, film-film pemaknaan Pancasila tidak terhenti atau aktualitas
makna dalam simbol-simbol kehidupan.
Bedanya dengan Husserl, Barthes dapat menjangkau teori subyektivitas
melalui konsepnya tentang sistem mitos, walaupun tidak mistis sebagaimana
diartikan secara tradisional, namun ditemui dalam bahasa keseharian dan lebih
skematik sehingga ideologi menjadi persoalan yang bermakna. Sementara Husserl
masih berbicara dalam kerangka struktural Saussure dengan melihat hubungan
kekuasaan politik dengan dan sosial masyarakat. Pemaknaan dalam dunia
kehidupan oleh Husserl berkembang, pembaca juga memiliki otoritas memaknai
sendiri dari simbol-simbol yang ada, dan bisa jadi lepas dari maksud pembuatnya.
Untuk itu pemaknaan dalam budaya perlu dipahami dan dikawal oleh aparat
negara yang cerdas. Karya intelektual dalam membangun mitos sangat diperlukan
secara terencana dalam jangka lama sehingga terlihat alami. Presentasi orangorang yang membawa nama besar seperti Soekarno, Soeharto dan lain-lain sangat
diperlukan Barthes, bagi orang yang memproduksi makna akan terimbas dalam
kelompok yang dimaknainya.
Pengikut Marxis Antonio Gramsci cukup fenomenal berbicara masalah
ideologi. Karya Gramsci Prison Notebooks (1971) menjadi pedoman pokok
memahami pikirannya. Gramsci tidak saja seorang akademisi tapi terlibat
langsung dengan pergerakan-pergerakan di tanah kelahirannya, antara lain pernah
menjadi pemimpin Partai Komunis Italia walaupun meninggal dalam usia relatif
muda, 46 tahun. Masa rezim Fasis Benito Mussolini sempat dipenjara, namun
dengan dipenjara justru citranya semakin menanjak. Ia dianggap sebagai salah
satu pemikir orisinal utama dalam tradisi pemikiran Marxis pada satu sisi, tapi
juga juga dikenal sebagai penjaga kapitalisme dengan teori hegemoninya.
Beberapa judul artikel atau buku karangannya; Men or machine? 1916, Notes on
The Rusiian Revolution, The Revolutin Against „Capital‟, Split or Disorder? 1920,
Caporetto and Vittorio Veneto 1921, War is war , The general confederation of

17

labour, Socialists and communists, Gramsci to Togliatti, Scoccimarro, esolutions,
The Italian Crisis dll.
Gramsci mengganti kepemimpinan menjadi hegemoni, yang berlawanan
dengan dominasi. Kelompok akan menjadi hegemoni apabila kepentingan
sektoralnya menjadi kepentingan umum, kemudian merealisasinya menjadi
kepemimpinan moral dan politik. Hegemoni bekerja berdasarkan persetujuan,
bukan paksaan dan dominasi, apalagi dengan kekerasan. Maka di sini pada satu
sisi Gramsci ada kesamaan dengan Marxis terutama mengenai struktur ekonomi
membentuk suprastruktur hukum dan politik, namun sisi lain memiliki kesamaan
dengan Husserl dan Rousseau tentang proses demokrasi. Hegemoni ingin
melibatkan diri dalam negosiasi dan kompromi dengan kelompok berbeda, karena
hegemoni memahami masyarakat terdiri dari individu yang bebas dan otonom,
masing-masing mengejar kepentingan pribadi sehingga hegemoni diperlukan guna
merekonstruksi tatanan sosial di mana individu dapat mengatur dirinya sendiri
tanpa konflik dengan otoritas politik.
Intelektual memiliki kategori intelektual tradisionil dan organik. Peran
intelektual sangat penting bagi Gramsci, sebagaimana juga Husserl karena
mekanisme hegemoni berjalan dengan daya perekat dan daya tarik tinggi yang
diperankan intelektual. Tak hanya itu, intelektual tradisionil juga berperan dalam
melakukan mediasi dalam mencari titik temu berbagai kepentingan dan
menetukan pola hubungan satu dengan yang lainnya. Sementara intelektual
organik sebagai kelas baru memperoleh homogenitas dan kesadaran fungsi dirinya
baik ideologi maupun praktis.
Praktek ideologi hegemoni model Gramsci dapat juga dimungkinkan dalam
melakukan implentasi praktek ideologi Pancasila. Hapusnya otoriter dominan
orde baru, munculnya penguasa melalui proses demokrasi dengan negosiasi
berbagai elemen dapat disatukan dalam satu kelompok sebagaimana yang
dilakukan oleh SBY dengan Setkab (Sekretariat gabungan), beda dengan Sekber
(Sekretarian Bersama) Golkar era Pak Harto. Kalau SBY sub-sub ideologis yang

18

tergambar dalam kekuatan kelompok-kelompok dapat disatukan dengan
perjanjian pembagian kekuasaan saling menguntungkan, beda dengan Pak Harto
persatuan politik atas nama kelompok karya dilakukan untuk melawan kelompok
ideologis. Bagi Gramsci disinilah peran intelektual tradisional mempertahankan
simbol-simbol kuasa yang sudah diakui secara luas, namun kelompok intektual
baru dari latar belakang berbeda dapat dirangkul dalam satu hegemoni kekuasaan
ideologi Pancasila. Dalam hal ini bukan pemaknaan ideologi yang berkembang
tapi perubahan konstelasi politik menuju hegemoni sangat dinamis, sebagaimana
yang terjadi dalam Setgab Jilid I maupun II.
Hegemoni berbagai lapangan kehidupan sebagai cara untuk menjaga
keberlangsungan negara tidak terhindarkan. Negara menghidupkan aparaturnya
dengan peningkatan produksi dengan cara peningkatan sumber daya manusia dan
pajak-pajak bumi sebagai tuan tanah. Pentingnya pendidikan teknis untuk
mendorong perkembangan produksi dari kelas pekerja. Kesulitanya penerapan
teori Hegemoni Gramsci pemisahan antara masyarakat politis (polisi, tentara,
sistem legal, dsb.) yang mendominasi secara langsung dan koersif, dan
masyarakat sipil (keluarga, sistem pendidikan, serikat perdagangan, dsb.) untuk
melakukan konstitusionalisasi kepemimpinan melalui ideologi. Untuk itu,
Gramsci menekankan ideologi mengisi arena politik yang meliputi norma-norma
moral, budaya, dan pemahaman yang disebarkan melalui media massa, LSM,
pekerja profesional dll. Karakter kepemimpinan tradisional menjadi subordinat
ideologi, bagi kemunculan kepemimpinan baru sebagai intelektual moderat
namun dalam hegemoni kepemimpinan tradisional.
Kemudian Pancasila dapat juga dilihat sebagai kajian hermeneutika seperti
Pemikiran Hans-Georg Gadamer (1900-2002) dalam bukunyaTruth and Method
(1960). Dalam buku tersebut Gadamer meletakan kesadaran subjektifitas sangat
penting untuk mendapatkan kebenaran. Bagi Gadamer ideologi merupakan
kepercayaan yang mendalam bagi diri seseorang yang dilatarbelakangi oleh
sejarah seseorang yang dia sebut dengan prapemahaman atau dalam istilah beliau
“prejudices”. Praanggapan-praanggapan yang sah dapat menuju kebenaran, tapi

19

juga sebaliknya untuk itu beliau memberi tugas yang berat pada epistemologi
tentang bagaimana bisa memastikan kebenaran praanggapan itu. Harmonisasi
pemahaman secara keseluruhan dengan menyelami detail-detail merupakan
ukuran apakah pemahaman itu benar. Dalam hal ini memiliki kesamaan dengan
Husserl namun Gadamer menolak hermeneutika sebagai metode, tapi lebih pada
aplikasi tentang apa yang dikatakan oleh teks. Terkait dengan penafsiran hukum
Gadamer misalnya mengatakan;
pemahaman mengenai sebuah undang-undang tidak boleh dibatasi pada
pemakaian awal saja, tapi harus meliputi bagaimana undang-undang itu
ditafsirkan sebab kasus-kasus hukum yang sebelumnya harus dipandang
sebagai bagian dari makna utuh seluruh undang-undang. Kebenaran dalam
penghayatan refleksi diri, yang secara historis mempengaruhi kesadaran
akan merupakan salah satu yang secara mendasar harus terbuka untuk
pengalaman masa depan yang mengkoreksi apa yang kita mengira sudah
tahu19
Konsep hermeneutika ontologis Gadamer menyebutkan pengalaman menjadi
objek hermeneutika dalam bidang seni, ilmu kemanusiaan dalam bahasa sebagai
materi utama adalah teks. Ia melihat teks sesuatu yang bernilai melebihi dari
komunikasi intersubjektif tapi memiliki historisitas pengalaman manusia dan
memiliki unsur jarak (distansi). Hubungan teks dengan penomena yang diantarai
ruang dan waktu, disinilah interpretasi bekerja. Refleksi pemikiran Gadamer
terhadap Pancasila harus dilihat dulu latar belakang dan kondisi saat
perumusannya karena para pemikir saat itu memiliki prapemahaman terhadap
kondisi bangsa dan persoalan yang dihadapinya. Untuk itu, Gadamer melihat
Pancasila sebagai ideologi pembebasan dari penjajah kolonial. Ideologi yang
memberikan identitas bangsa Indonesia untuk lepas dari kuasa kolonial asing saat
itu.
Persoalannya, sekarang Pancasila telah menjadi simbol, memungkinkan
pemaknaan berbeda dengan pendiri bangsa, karena pada saat ini bangsa Indonesia
sebagai kuasa tempat terhimpun berbagai kepentingan warganya yang didatangi
dari latar belakang yang berbeda-beda, namun makna subjektifitas yang sudah
19

Sutrisno,Mudji, Ranah-ranah, Hermeneutika,Yogyakarta; Kanisius,2011. hal. 59

20

melekat dari bangsa Indonesia tidak bisa terlepas. Untuk itu timbul sekarang
empat pilar kebangsaan yang tidak bisa dirubah termasuk Pancasila, disamping
NKRI, UUD 45 dan Bhineka Tunggal Ika. Artinya Ideologi Pancasila sudah
dilindungi dengan ideologi-ideologi termasuk Bhinneka Tunggal Ika yang
merupakan ideologi pluralisme. Padahal, kalau melihat pemikiran Bung Karno
empat pilar sudah termasuk dalam Pancasila, maka disinilah fenomenologi
Husserl berperan menjelaskan ternyata ada ideologi keyakinan lain yang bekerja,
namun tetap dalam koridor konstelasi politik Indonesia.
Kemudian pemikir yang cukup kontraversial tentang ideologi adalah Daniel
Bell dan Francis Fukuyama. Melihat perkembangan globalisasi informatika saat
ini menurut Francis Fukuyama bipolarisme ideologi sudah tidak lagi menjadi
pemisah persoalan barat dan timur. Sejarah kontradiksi umat manusia berakhir
dengan mencairnya dikotomi kapitalis dan protoletariat20. Robohnya tembok
berlin dan bubarnya negara Soviet sebagai penanda. Kemajuan teknologi telah
berhasil membangun peradaban baru tanpa menghiraukan ideologi dan
kepercayaan apapun. Persoalan yang timbul pada era posindustri beralih pada
persoalan kesejahteraan dan tenaga kerja.21 Dan pada era ini menurut Daniel Bell
keputusan tertinggi berproses melalui demokrasi22 baik membentuk dominasi
ataupun hegemoni. Masyarakat tidak lagi menghiraukan dikotomi ideologi, tapi
tanpa disadari atau tidak neoliberalisme global telah tumbuh subur pada
tempatnya. Alasan bertindak manusia dalam The World Value Survey (WVS)
bukan lagi ideologis tapi pada realistas konsumtif bersifat ekonomi dan
posmaterial23.
Argumentasi Francis Fukuyama dan Daniel Bell tanpaknya cukup
meyakinkan paling tidak fenomena yang berlansung di barat, namun realitas

20

Fukuyama,Francis,The End of History,artikel yang disampaikan di Universitas Chicago,1989.
Dalton, Russel J., Social Modernization and the End of Ideology Debate; Patterns of Ideological
Polaraization.Prepared for the conference on”Beliefts, Norms and Values in Cross-National
Surveys” Tokyo, 2004
22
Bell, Daniel.Cultural Contradiction of Capitalism, New York; Basic Books Publisher, 1976.
p.147
23
Dalton, Russel J.Op.Cit
21

21

persoalan ideologi di negara dunia ketiga tidak bisa hilang walaupun dalam
bentuk dan sebutan berbeda. Pancasila bagi bangsa Indonesia dalam kondisi
seperti ini menurut Fukuyama dan Belltidak berarti apa-apa lagi, interaksi global
antara pelaku satu dengan yang lain tidak lagi bisa dibatasi. Namun karena negara
memiliki otoritas kekuasaan atas sumber daya maka kepentingan kelompok
semakin menonjol dan pertarungan melalui Pemilu merebut kursi kekuasaan
semakin seru di satu sisi, bahkan pertarungan uang dan simpati publik menjadi
fenomena yang menarik. Pertarungan dalam Pemilu adalah pertarungan merebut
sumber daya. Pada sisi lain bagi yang tidak tersentuh perebutan kepentingan
sumber daya ditandai dengan meningkatnya Golput. Untuk itu Husserl tidak mau
merumuskan ideologi sebagai normatif, namun selalu hidup. Karena memang
diakui, apabila menjadi normatif maka nasib ideologi tersebut sebagaimana yang
dikatakan Bell dan Fukuyama.
Pemikir Posmodern yang cukup menarik diantara Michel Foucault.
Kekuasaan bagi Foucault tidak dimiliki, namun ada dimana-mana. Karyanya
tentang Discipline and Punish memperlihatkan bagaimana kekuasaan beroperasi.
Panopticon yang dijelaskan Jeremy Bentham sebagai model melakukan kontrol
terhadap para nara pidana berlaku dalam kehidupan menurut Foucault. Sang
Presiden meminta semua laporan intelijen terpusat pada Sekneg, hal ini termasuk
monopoli kontrol, sehingga sesuatu bisa dipahami dan selanjutnya kondisi bisa
diciptakan, hal itu mungkin termasuk memperkuat sistem Presidensil. Dalam
keluarga juga terlihat seorang istri yang selalu melakukan SMS pada suaminya
untuk menanyakan tentang apa yang dilakukan suaminya termasuk kekuasaan istri
sedang beroperasi, demikian juga sebaliknya. Kekuasaan di sini kesadaran, namun
sulit untuk diungkap dan kita diselimuti oleh kekuasaan itu. Lembaga pendidikan,
rumah sakit, dan kepolisian semuanya lembaga kekuasaan dan menentukan.
Seorang pegawai dikatakan sakit apabila ada keterangan sakit dari dokter,
seseorang calon pencari kerja perlu keterangan kelakuan baik dari Kepolisian dan
sebagainya. Profesionalisme adalah kekuasaan. Karena kekuasaan dalam era
keterbukaan seperti sekarang kekuasaan tidak bisa dimiliki, misalnya bagaimana

22

seorang Presiden secara konstitusional memiliki hak untuk menaikan BBM
namun karena sesuatu beliau tidak mampu menaikan BBM tersebut. Karena “ada
sesuatu” yang berkuasa, berarti ada sesuatu kekuasaan diluar Presiden yang
sedang beroperasi.
Pancasila dilihat dari refleksi pemikiran Foucault tidak berarti apa-apa kalau
tidak didukung ilmu pengetahuan

yang memadai bagi aparatur yang

menjalankannya. Otoritas pengetahuan penguasa menjalankan Pancasila sangat
penting, sehingga dapat dijalankan oleh masyarakat. Panoptikon Pancasila bagi
penguasa dapat digunakan tanpa diketahui oleh masyarakat melalui ineteijen
negara, sehingga kekuasaan pemerintahan sistem Presidensial dapat diperkuat
dengan ala panoptikon tersebut. Foucault dalam memahami kelas masyarakat juga
memakai istilah yang digunakan Nietzche, adanya jiwa budak dan jiwa tuan.
Maka di sini perlu diperhitungkan dalam pengembangan pengembangan
menginterpretasi

Pancasila dalam artian perlu cara pemaknaan dalam setiap

lapisan masyarakat.
Pada akhir-akhir ini pemahaman konsep ideologi radikal Slavoj Žižek
mendapat perhatian yang cukup serius di dunia barat. Cara bertindak elit politik
kita saat reformasi sampai saat ini memiliki kesamaan dengan keadaan yang
melatarbelakangi pandangan Žižek. Di depan mata terbuka kekuatan kapitalis
mengeksploitasi sumber daya alam dengan rakusnya tanpa memperdulikan
lingkungan hidup bahkan masyarakat sekitar tambang atau perkebunan itu bisa
mati kelaparan. Teori politik Hobbes, Machiavelli, Rousseau, dan kapitalis
lainnya baik berbaju komunis maupun liberal merajalela. Gerakan separatis,
otonomi daerah atau otonomi khusus menunjukan kepercaayaan rakyat kepada
pemerintah yang menipis. Korupsi masuk keseluruh lini kehidupan negara:
manipulasi perizinan HPH (Hak Penguasaan Hutan), HGU (Hak Guna Usaha), KP
(Kuasa Pertambangan) sampai kepada aparat pengutip pajak, perencanaan dan
pelaksanaan APBN/APBD merusak rasa keadilan masyarakat. Fenomena ini lebih
kurang sama dengan keadaan negara-negara sosialis Eropa Timur yang sudah
tercabik-cabik pasca Josip Broz Tito di Yugoslavia tempat Žižek dilahirkan. Žižek

23

sangat produktif merumuskan pemikiran-pemikiran besarnya antara lain; The
Sublime Object of Ideolog(1989), The Ticklish Subject (1999), The Parallax View.
(2006), In Defense of Lost Causes(2008), dan Living in The End Time. (2010).
Ideologi dalam era globalisasi saat ini Žižek membagi ideologi radikal dan
ideologi spontan. Banyak tindakan masyarakat hanya dalam batas ideologi
spontan dalam melindungi kepentingannya. Ideologi Pancasila termasuk ideologi
radikal dalam menyelamatkan bangsa dan negara melalui: dokrinisasi,
kepercayaan, dan ritual.14 Ideologi radikal bersentuhan dengan struktur hukum,
namun ideologi spontan menunjukan realiatas yang sedang terjadi. Untuk peneliti
melihat pandangan Žižek sangat tepat melihat fenomena kondisi ideologi
Pancasila dalam praktek kehidupan saat ini. Epistemologi Žižek sepintas memiliki
kesamaan dengan Husserl, yaitu sama-sama tiga langkah menuju transendental,
atau Real bagi Žižek. Epoche Hussserl ada kesamaan dengan simbolik Žižek,
walaupun maksud beda, demikian juga reduksi eidetic dengan imajinari Žižek.
Padahal memiliki ontologi yang bertolak belakang, karena Real dari real material
bagi Žižek, sedangkan transendental Husserl sebaliknya, yaitu Tuhan bekerja
dalam realitas.
Dari uraian di atas tampak fenomenologi Husserl dapat memahami Pancasila
baik sebagai objek maupun subjek yang dikontruksi sebagai struktur dunia
kehidupan, sehingga dapat didiskusikan dengan perkembang pemikiran filsafat
kontinental lainnya, mulai dari struktural, posstruktural, posmodern sampai
psikoanalisis. Persoalan amandemen UUD 1945 tetap akan menjadi persoalan
kerena hasil amandemen sekarang interpretasi Pancasila dari partai politik yang
didominasi ideologi lama yang sarat dengan pemikiran warisan otoriter Orde
Baru, positivisme, saintifik dan kaku yang mengutamakan rekonstruksi atau
dekonstuksi berbaju reformasi sehingga perlu masyarakat melakukan pemetaan
konstelasi politik dengan memahami lebih jauh tipe-tipe ideologi, relasi sosial
yang

akan

bekerja

secara

proporsional

termasuk

dalam

menentukan

kepemimpinan nasional. Untuk mendekatkan pandangan Husserl dengan gerak
amandemen konstitusi ini perlu melakukan pendekatan filosofis melawan

24

naturalisme bukan membiarkan konstelasi politik terbentuk karena kebencian
antar elit. Kita penting merebut kemenangan yang diharapkan, kemerdekaan
berkreasi untuk berbagi dengan yang lain tanpa memandang suku, ras agama
bahkan partai politik, tapi yang utama terintegrasi dalam satu kesadaran bersama
yaitu struktur dunai kehidupan Pancasila, intinya membangun Bhinneka Tunggal
Ika, “Indonesia Bergotong-Royong” di era kita ***

Daftar Bacaan
Adian, Donny Gahral, Setelah Marxisme, Sejumlah Teori Ideologi Kontemporer,
Koekoesan, Depok, 2011
Aiken, Henry,,Abad Ideologi,Ar-Ruzz Media, Jojakarta,2010.
Bell,Daniel.Cultural Contradiction of Capitalism, New York; Basic Books
Publisher,1976Fukuyama,Francis,The End of History,artikel yang
disampaikan di Universitas Chicago,1989
Dalton, Russel J., Social Modernization and the End of Ideology Debate; Patterns
of Ideological Polaraization.Prepared for the conference on”Beliefts,
Norms and Values in Cross-National Surveys” Tokyo, 2004
Dodd, James. Crisis and Reflection, an Essay Husserl‟s Crisis of The European
Scien