CINTA DAN SELF MONITORING TERHADAP ORIEN

CINTA DAN SELF-MONITORING TERHADAP ORIENTASI MASA DEPAN
DALAM HUBUNGAN ROMANTIS PADA DEWASA MUDA YANG BERPACARAN

Disusun oleh :
Ramaika Putri
1110070000130

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Orientasi masa depan merupakan salah satu fenomena perkembangan kognitif yang
terjadi pada masa remaja. Sebagai individu yang mengalami proses peralian dari masa kanakkanak mencapai kedewasaan, mereka memilki tugas-tugas yang mengarah pada persiapannya
memenuhi tuntutan dan harapan peran sebagai orang dewasa. Oleh sebab itu sebagaimana

yang dikemukakan oleh Elizabet B. Hurlock (1981), remaja mulai memikirkan tentang masa
depan mereka secara sungguh-sungguh. Remaja mulai memberikan perhatian yang besar
terhadap berbagai lapangan kehidupan yang akan dijalaninya sebagai manusia dewasa dimasa
mendatang. (dalam Desmita,2005)
Orientasi masa depan remaja terlihat lebih nyata ketika individu telah mencapai
tahap-tahap pemikiran operasional formal merupakan salah satu perkembangan kognitif,
dimana membuat remaja mampu berpikir secara abstrak dan hipotesis, serta merumuskan
proposisi secara logis. Hal ini berarti masa remaja merupakan masa berkembang pesatnya
orientasi masa depan. Selain itu operasional formal juga, memberikan remaja kemampuan
untuk mengantisipasi masa depannya atau kemampuan membuat skemata kognitif untuk
merumuskan rencana bagi masa depannya. Dengan kata lain, remaja mampu membuat
perencanaan dan melakukan evaluasi terhadap rencana dimasa depannya. (Desmita,2005)
Istilah orientasi masa depan pertama kali diperkenalkan oleh Lewin (Oner,2000),
yang mengacu pada segala kepentingan seseorang mengenai masa depan. Orientasi masa
depan didefinisikan sebagai pemikiran dan perencanaan tentang masa depan (Malmberg &
Norrgard dalam Dorham, 2005); dan sebagai kapasitas untuk mengelola dan mengantisipasi
kejadian di masa depan (Gjesme, dalam Oner, 2000a; Kalkan, 2008). Lebih lanjut, Gjesme
(dalam Kalkan, 2008) membedakan antara orientasi masa depan dalam konteks umum,
dengan orientasi masa depan dalam konteks yang lebih khusus. Orientasi masa depan pada
konteks yang lebih khusus. Orientasi masa depan pada konteks yang lebih umum

berhubungan dengan perkiraan dan antisipasi individu secara umum, yaitu misalnya bahwa ia
akan berkarir dimasa depan, sementara orientasi masa depan pada konteks yang lebih khusus
2

berhubungan dengan perkiraan dan antisipasi individu pada hal tertentu, misalnya individu
yang berminat pada pekerjaan tertentu saja.
Sejalan dengan pemikiran Gjesme, Oner (2000a) mengemukakan bahwa orientasi
masa depan pada hubungan romantis berbeda dari orientasi masa depan pada umumnya.
Orientasi masa depan pada hubungan romantis merupakan kecenderungan untuk mencari
hubungan sementara atau permanen dengan lawan jenis. Mengacu pada oner (2000b),
individu dengan tingkat orientasi masa depan

yang tinggi diperkiraan akan mencari

hubungan yang relatif permanen. Sebaliknya individu dengan tingkat orientasi masa depan
yang lebih rendah lebih dapat menikmati hubungan yang sementara. Dalam penelitianya,
oner menemukan beberapa faktor yang mempengaruhi orientasi masa depan pada hubungan
romantis, yaitu perhatian terhadap komitmen masa depan, investasi masa depan (Oner,
2000a), pencarian hubungan permanen, serta fokus pada hubungan di masa depan (Oner,
2000b). Selain itu, jenis kelamin, kepuasan dalam hubungan, serta beberapa karakteristik

individu, seperti kecemburuan, dan self-motoring , tampaknya juga berpengaruh pada orientasi
masa depan (Oner, 2000b), meskipun hanya pada batas tertentu (Kalkan, 2008).

Berdasarkan penelitian Oner (2000a), individu dengan prefensi terhadap komitmen
jangka panjang akan mencari hubungan yang relatif permanen (berorientasi masa depan),
serta memiliki sikap yang lebih hati-hati dalam memulai dan membina hubungan romantis.
Sikap berhati-hati ini dapat mempengaruhi kepuasan individu terhadap hubungannya. Namun
demikian, individu juga perlu memperhatikan komponen intimacy dan passion, serta lamanya
hubungan romantis yang ia jalani. Menurut Berscheid (dalam Sternberg, 1986). Pada awal
hubungan romantis, ketidakpastian dalam hubungan membuat individu tidak mampu
memprediksi tingkah laku dan kondisi emosi pasangannya. Ketidakmampuan ini dapat
membuat individu dapat membuat individu mereasa tidak nyaman dengan hubungannya.
Selanjutnya, bila dalam suatu hubungan romantis individu tidak mendapat kebutuhan
passionnya dengan baik, ia juga dapat tidak puas, yang dapat mengakibatkan berakhirnya
suatu hubungan (Sternberg, 1986). Hal ini berarti bahwa kepuasan dalam hubungan juga
dapat melibatkan tinggi atau rendahnya derajat dari masing-masing komponen cinta.
Membina hubungan, senantiasa menjadi fokus perhatian dan waktu karena merupakan
hal yang potensial yang dapat membawa individu menuju kebahagiaan , meskipun dapat pula
menjadi hal yang menyakitkan. Hubungan menjadi semakin kompleks ketika mulai
melibatkan cinta dan kepercayaan pada pasangan. Hubungan percintaan dapat berupa

3

‘hubungan intim’, suatu istilah yang luas dan tidak menentu, dimana dapat meliputi berbagai
asosiasi berbeda antara teman, pasangan, keluarga dan sanak famili (Gillies, 2003). Interaksi
dan hubungan intim ini mempengaruhi adaptasi dalam perubahan kebutuhan dan tekanan
yang terlibat pada setiap tahapan perkembangan pada kehidupan seseorang.
Menurut Erikson (dalam Papalia,2007), mengembangkan hubungan intim merupakan
tugas perkembangan yang penting bagi dewasa muda. Kebutuhan untuk menciptakan
hubungan yang kuat, stabil, dekat dan peduli menjadi motivator yang sangat kuat bagi
tingkah laku individu. Dalam membina hubungan intim, individu perlu memiliki pemahaman
diri, kemampuan dalam mengekspresikan eosi, kemampuan dalam berkomitmen, dan
pengambilan keputusan dalam seksualitas. Hal-hal ini sangat penting bagi dewasa muda
dalam memutuskan apakah mereka akan menikah atau membentuk hubungan homoseksual.
Bentuk ekspresi dalam hubungan intim dapat berupa persahabatan, cinta ataupun seksualitas.
Cinta merupakan ekspresi emosi manusia yang paling hebat dan paling diinginkan
setiap orang. Menurut Sternberg (1987), cinta terdiri dari tiga komponen utama yaitu
intimacy, passion dan commitment yang ketiganya saling berhubungan satu sama lain.
Intimacy mengacu pada perasaan dekat dan terikat dengan pasangan; passion merupakan
dorongan percintaan, ketertarikan fisik dan seksual; dan commitment terjadi ketika ndividu
mulai memutuskan (aspek jangka pendek) dan mempertahankan (aspek jangka panjang) cinta

yang ia miliki. Kadar cinta yang dimiliki seseorang bergantung pada derajat atau proporsi
dari ketiga komponen tersebut (strenberg, 1988). Perbedaan kadar cinta ini dapat dijelaskan
melalui

kombinasi

dari

ke

tiga

komponen,

misalnya

cinta

yang


romantis

mengandungkomponen intimacy dan passion yan lebih banyak daripada komponen
commitment. Selain itu, hubungan yang hanya didasarkan pada satu komponen saja lebih
sulit bertahan daripada berdasarkan dua atau tiga komponen sekaligus.
Perbedaan kadar cinta dapat juga dikarenakan perbedaan usia dan jenis kelamin.
Wanita biasanya lebih intim kepada sahabat dibandingkan dengan pasangan, yang mana
mereka lebih sulit mengeksperisikan keintiman emosi dan komunikasi dengan pasangan
mereka. Namun sebaliknya pada pria lebih mudah mengekspresikan keintiman emosi dengan
pasangan daripada dengan sahabat (dalam Sternberg, 1987). Wanita dan pria juga memiliki
hasrat dan kebutuhan seksual yang berbeda, dimana pria memiliki proporsi yan lebih besar
untuk kebutuhan seksual mereka (dalam Papalia, 2007). Selain itu, pria cenderung lebih din

4

dalam hal gairah seksual, diaman telah muncul fase awal dewasa muda, sedangkan wanita
cenderung mengutama kedekatan emosi dan komunikasi.
Berkenaan dengan cinta, Kielen (2007) menyebutkan tiga tahapan dalam percintaan,
yaitu romantic feeling (rasa cinta), ketertarika fisik, dan kelekatan emosi. Pertama-tama,
perasaan cinta muncul pada invidu karena adanya kedekatan dengan lawan jenis. Selanjutnya,

pikiran individu dipenuhi oleh orang terkasih dan mulai menjadikannya, sebagai pasangan
yang ideal. Tahap ketertarikan fisik ini sering dikatakan sebagai fase “lovesick” atau mabuk
kepayang. Kemudian hubungan berlanjut pada kelekatan emosi, dimana melibatkan
komitmen, pertemanan, atau bahkan anak. Pada tahap terakhir ini, individu mengetahui
karakter positif maupun negatif dari pasangan, dan memutuskan apakah ingin membangun
kehidupan bersama. Ketiga tahapan ini tidak saling terpisah melainkan perpaduan ketiganya
dalam hubungan romantis jangka panjang salah satunya adalah ikatan pernikahan dengan
komitmen untuk saling berbagi (Stutzer & Frey, 2006)
Usia dewasa muda merupakan usia di mana individu mengalami transisi yang penting
dalam kehidupannya. Selain kondisi fisik yang berada pada masa puncaknya, individu
dewasa muda juga dianggap telah memiliki kepribadian yang relatif stabil. Dengan kestabilan
ini, individu dianggap siap untuk menjalani tugas perkembangan berikutnya, yaitu menjalin
hubungan intim dengan orang lain. Pemenuhan tugas perkembangan ini diwujudkan oleh
sebagian besar individu melalui pernikahan dan pengalaman menjadi orang tua. Hubungan
pacaran merupakan hubungan intim yang dijadikan landasan sebelum individu menjalani
pernikahan. Hubungan ini juga dapat dikatakan sebagai masa persiapan individu sebelum
memilih dan menetapkan calon pasangan hidupnya.
Keberlangsungan hubungan pacaran dapat ditandai dengan tinggi rendahnya
komitmen dalam hubungan tersebut. Dengan kata lain, tingginya komitmen dapat
menggambarkan orientasi jangka panjang dari suatu hubungan. Sebaliknya, rendahnya

komitmen menunjukkan bahwa hubungan tersebut tidak akan berlangsung lama. Oleh karena
itu, individu dengan tingkat komitmen yang tinggi digambarkan sebagai individu yang
cenderung mempertahankan hubungan yang sedang dijalaninya. Keputusan untuk
berkomitmen ini tergantung pada pribadi masing-masing individu. Adanya pola pikir dan
kepribadian tiap individu yang berbedabeda dapat mempengaruhi pertimbangannya dalam
membuat keputusan untuk berkomitmen.

5

Hal ini didukung oleh teori Snyder mengenai selfmonitoring, yang menyatakan bahwa
tingkat komitmen seseorang dapat dipengaruhi oleh tingkat self-monitoringnya.Selfmonitoring merupakan suatu trait kepribadian seseorang yang melibatkan kemampuan untuk
mengatur petunjuk nonverbal dan mengubah tingkah laku individu. Semakin tinggi tingkat
selfmonitoring yang dimiliki individu tersebut, maka semakin tinggi pula kemampuannya
dalam merespon lingkungan sosialnya serta mengubah tingkah lakunya sesuai dengan kondisi
saat itu. Terdapatnya pengaruh selfmonitoring terhadap komitmen dilandasi oleh pemikiran
bahwa individu dengan tingkat self-monitoring tinggi cenderung terpengaruh oleh lingkungan
sosialnya.
Asumsinya adalah bila lingkungan sosial bereaksi negatif terhadap hubungan
pacarannya, maka individu dengan selfmonitoring tinggi dapat mengakhiri hubungan pacaran
tersebut. Sebaliknya, bila lingkungan sosial bereaksi positif terhadap hubungannya, maka

individu dengan tingkat self-monitoring tinggi dapat terus menjalani hubungan pacarannya
tersebut. Individu dengan tingkat self-monitoring rendah, lebih stabil antara sikap dan tingkah
lakunya, meskipun menghadapi beragam individu dan berada dalam situasi sosial yang
berbeda-beda. Dalam hal komitmen, individu yang memiliki self-monitoring rendah lebih
berkomitmen bila dibandingkan dengan individu yang memiliki self-monitoring tinggi.
Hubungan romantis yang berdasarkan cinta dapat muncul dari berbagai macam hal,
misalnya dua individu saling tertarik satu sama lain dan memutuskan untuk membina
hubungan romantis. Selain itu, hubungan romantis dapat pula muncul dari pertemanan yang
kemudian menjadi hubungan percintaan. (Guerrero & Mongeau, 2008). Akan tetapi, tidak
mudah bagi individu untuk dapat mempertahankan hubungan romantis dalam jangka waktu
yang lama. Berdasarkan Sternberg (1987), untuk mempertahankan hubungan dapat dilakukan
melalui teori tringular. Pertama, menjaga emosi sehingga keintiman berkembang dengan
baik. Kedua, menganalisa pemenuhan kebutuhan passion dan seksual dalam hubungan.
Komponen passion dapat berbeda antara individu dengan pasangannya dan terkadang sulit
untuk dikontrol, sehingga pasangan perlu memahami kebutuhan masing-masing dan mencoba
memenuhi kebutuhan tersebut. Ketiga, memahami pentingnya hubungan dan menikmati
hubungan dengan bahagia. Dalam melakukan poin ketiga ini, perlu adanya komponen
intimacy dan passion dan terutama ekspresi dari komponen commitment pada hubungan
romantis jangka panjang.


6

Berkenaan dengan mempertahankan hubungan romantis jangka panjang, merupakan
hal yang terpenting bagi individu untuk mampu mengekspresikan emosi, komitmen dan
keputusan dalam seksualitas. Hal ini merujuk pada kemampuan individu dalam melakukan
penetapan, perencanaan dan pengambilan keputusan mengenai hubungan romantis yang
sedang dijalani, sebagaimana hal tersebut penting bagi tingkah laku seksual dewasa muda
(McCabe & Barnett, 2000). Penetapan , perencanaan, dan pengambilan keputusan dalam
hidup seseorang erat kaitannya dengan orietasi masa depan (Seninger et al, dalam Seninger,
1992). Penelitian lintas budaya mengenai orientasi masa depan seringkali membandingkan
domain orientasi masa depan pada remaja dan dewasa muda, dimana pada masa remaja lebih
difokuskan pada pemikiran dan perasaan mereka mengenai masa depan pendidikan dan
pencapaian karir, sementara intimacy lebih difokuskan pada dewasa muda (McCabe &
Barnett, 2000). Sejalan dengan itu, Salmela-Aro, Aunola, dan Nurmi (dalam Nurmi, 2005)
melakukan penelitian longtudinal terhadap mahasiswa perguruan tinggi dalam periode 10
tahun. Mereka menemukan bahwa setelah tahun kedua dan ketiga perkuliahan, pendidikan
dianggap kurang penting. Sebaliknya , karir ,keluarga, dan anak menjadi tujuan yang lebih
khusus. Dengan demikian, tema-tema yang terkait dengan masa depan, terutama masa depan
pada hubungan romantis, menjadi hal yang penting pada dewasa muda.
1.2 Pembatasan Masalah

Dalam melakukan penelitian, di bawah ini akan dijelaskan batasan masalah yang
digunakan sebagai berikut:
Cinta adalah suatu perasaan dan tingkah laku yang positif, serta komitmen yang dimiliki
seseorang guna menjaga kestabilan perasaan dan tingkah lakunya yang dapat mempengaruhi
hubungan yang sedang dijalani ( Sternberg,1987).
Self monitoring merupakan tingkatan individu dalam mengatur perilakunya berdasarkan
situasi eksternal dan reaksi orang lain (self monitoring tinggi) atau atas dasar faktor internal
seperti keyakinan, sikap, dan minat (self monitoring rendah) ( Baron & Byrne 1994).
Orientasi masa depan didefinisikan sebagai “the ability to foresee and anticipate, to make
plans and organise future possibilities.” Orientasi masa depan merupakan suatu kemampuan
7

untuk meramalkan dan mengantisipasi, serta membuat perencanaan dan menorganisasikan
berbagai kemungkinan yangdapat terjadi di masa yang akan datang. (Gjesme, 2000 )
Dewasa muda yang di maksud disini adalah para dewasa muda yang sudah memiliki
pasangan.
1.3 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas masalah yang akan dirumuskan dalam penelitian ini
adalah: “Bagaimana pengaruh cinta dan self monitoring terhadap orientasi masa depan
hubungan romantis pada partisipan dewasa muda yang berpacaran ?”
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh pengaruh cinta dan self-monitoring
terhadap orientasi masa depan pada hubungan romantis. Selain itu, penelitan ini juga
bertujuan untuk menentukan komponen dari cinta mana yang paling berperan pada orientasi
masa depan pada hubungan romantis seseorang. Serta untuk mengetahui orang yang
mempunyai self-monitoring seperti apa yang paling baik dalam orientasi masa depan pada
hubungan romantis seseorang.
1.3 Manfaat Penelitian
1. Memperkaya pengetahuan-pengetahuan seputar orientasi masa depan pada hubungan
romantis
2. Sebagai penelitian lintas budaya, karena tidak banyak peneliian tentanf orientasi masa
depan pada hubungan romantis di Indonesia.
3. Memberikan masukan kepada pasangan mengenai komponen-komponen cinta yang
mana yang perlu di tingkatkan. Diharapkan pengetahuin ini dapat dipergunakan oleh
pasangan untuk membina hubungan yang lebih baik.
1.6 Sistematika Penelitian
Penulisan hasil penelitian ini mengacu pada pedoman penulisan skripsi Fakultas Psikologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan sistematika sebagai berikut :

8

BAB 1: Pendahuluan, menguraikan tentang latar belakang dilakukannya penelitian
mengenai pengaruh cinta dan self monitoring

terhadap orientasi masa depan

hubungan romantis pada dewasa muda berpacaran, identifikasi masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat dan sitematika
penulisan.
BAB 2: Kajian teori menguraikan sejumlah teori yang digunakan dalam penelitian
diantaranya :
1. Penjabaran dan definisi tentang cinta dan, komponen cinta, pengukuran cinta,
definisi tentang self-monitoring, komponen self monitoring, ciri-ciri self
monitoring, pengukuran self-monitoring, definisi orientasi masa depan,
definisi orientasi masa depan hubungan romantis , definisi orientasi masa
depan hubungan romantis pada dewasa muda, dan pengukuran orientasi masa
depan hubungan romantis. Kerangka berpikir dan hipotesis
BAB 3: Metode Penelitian, bab ini berisi penguraian mengenai variabel penelitian, populasi
dan sampel penelitian, teknik pengambilan sampel, desain penelitian, instrumen
penelitian, teknik pengambilan data dan metode analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini.

9

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai teori-teori yang terkait dengan variabel penelitian,
yaitu cinta, self-monitoring dan orientasi masa depan hubungan romantis.
2.1 Cinta
Cinta merupakan suatu emosi positif yang paling intens dan paling diinginkan oleh
setiap orang. Kelley (dalam Sternberg,1987) mendefinikan cinta sebagai :
“possitive feeling and behaviors and commitment to the stability of the force that
affect an an on going relationship.” (Kelley, dalam Sternberg, 1987)
Menurut definisi di atas, cinta adalah suatu perasaan dan tingkah laku yang positif,
serta komitmen yang dimiliki seseorang guna menjaga kestabilan perasaan dan tingkah
lakunya yang dapat mempengaruhi hubungan yang sedang dijalani. Untuk memahami dan
menguraikan cinta secara mendalam, Sternberg (1987) memformulasikan sebuah model
berkenaan dengan cinta. Teori ini dinamakan Tringular Theory of Love atau teori triangulasi
cinta yang menjelaskan bahwa cinta dapat dipahami melalui tiga komponen yaitu intimacy,
passion, dan commitment.
2.1.1

Komponen Intimacy
Menurut Sternberg (1987), intimacy refer to those feelings in relationship that

promote closeness, bondedness, and connectedness. Keintiman mengacu pada perasaanperasaan dalam suatu hubungan yang dapat meningkatkan kedekatan, keterikatan, dan
pertalian antara orang-orang di dalamnya. Komponen keintiman meliputi juga perasaan yang
dapat menimbulkan kehangatan dalam hubungan percintaan.
Sternberg & Grajek (dalam Sternberg, 1987) mengidentifikasikan sepuluh komponen
intimacy dalam cinta:
1. Memiliki keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan pasangan.

10

2. Merasa bahagia dan menikmati saat-saat menyenangkan dengan orang yang dicintai.
3. Menghormati dan menghargai pasangan saat dibutuhkan.
4. Dapat mengharapkan dan mengandalkan pasangan saat dibutuhkan .
5. Saling mengerti dan memahami kelebihan atau kekurangan satu sama lain.
6. Berbagi diri, waktu, kepemilikan, dan rahasia bersama dengan orang yang dicintai.
7. Merasa mendapat dukungan dan dorongan dari pasangan.
8. Berempati dan memberikan dukungan emosional pada orang yang dicintai kapanpun
dibutuhkan.
9. Dapat berkomunikasi secara intim, mendalam, dan terbuka mengenai perasaanperasaan terdalam dengan orang yang dicintai.
10. Menilai dan menganggap penting orang yang dicintai.
Selain itu, berdasarka penelitian mengenai sejumlah tingkah laku yang tergolong
dalam cinta romantis, Sternberg dan Barnes (dalam Sternberg, 1987) menemukan tiga
subdimensi yang dapat lebih menjelaskan komponen intimacy. Ketiga subdimensi ini
mengacu pada perbedaan level keintiman. Subdimensi pertama mengacu pada semua
perilaku yang umumnya muncul dalam hubungan intim,

sementara subdimensi ini

mengacu pada perbedaan level keintiman. Subdimensi pertama mengacu pada semua
perilaku yang umumnya dalam hubungan intim, sementara subdimensi kedua mengacu
pada aspek-aspek khusus yang baik bagi individu. Selanjutnya, pada subdimensi ketiga
mengacu pada hal yang lebih dalam lagi, yaitu aspek-aspek pada intimacy yang dapat
menjadikan suatu pasangan sudah sangat dekat dan selalu merasakan kebersamaan
meskipun terpisah jauh.
Dari tiga subdimensi diatas, Sternberg dan Barnes (dalam Sternberg, 1987)
membedakan tiga level keintiman :


Aspek yang baik untuk siapapun dalam hubungan;



Aspek yang terutama baik untuk individu (saya);

11


2.1.2

Aspek yang dapat menjadikan pasangan spesial atau unik.

Kompenen Passion
Passion adalah suatu kondisi yang secara intens membuat kita selalu ingin bersatu

dengan orang yang dicintai (Hatfield & Walster, dalam Sternberg 1987). Menurut Sternberg
(1987), passion is largely the expression of desire and needs—such as for self-esteem,
nurturance, affiliation, dominance, submission, and sexual fulfillment. Passion merupakan
ekspresi dari berbagai keinginan dan kebutuhan, seperti penghargaan diri, kedewasaan,
kebutuhan dalam pertalian, keinginan untuk berkuasa dan menuruti kehendak penguasa, serta
pemenuhan kebutuhan seksual. Secara sederhana, komponen ini mengacu pada dorongan
yang mengarah pada romansa, ketertarikan fisik, dan kepuasan seksual. Eksperesi dari
berbagai kebutuhab ini berbeda antara satu individu dengan individu yang lain, sehingga
passion antara dua individu yang bercinta mungkin akan berbeda pula.
Kebanyakan orang hanya menghubungkan passion dengan kebutuhan seksual,
padahal tidak hanya sekedar itu. Kebutuhan lain seperti harga diri, afiliasi, dominasi, dan
sebagainya juga berkontribusi dalam passion. Tidak dapat dipungkiri bahwa passion dalam
cinta cenderung berhubungan dengan intimacy. Sebagai contoh, hasrat seksual yang baik
akan menghasilkan keintiman. Dengan demikian, kedua komponen ini hampir selalu
berinteraksi satu sama lain dalam hubungan dekat.
2.1.3

Komponen Commitment
Harold Kelley (dalam Sternberg, 1987) mendefinisikan komitmen sebagai “the extent

to which a person is likely to stick with something or someone and see it (or him or her)
through to finish”. Komitmen merupakan tingkat yang memungkinkan seseorang untuk
‘melekat’ atau ‘terpaut’ pada sesuatu atau seseorang, dan menjaga hal tersebut hingga selesai.
Seseorang yang menjalankan sesuatu diharapkan terus melakukannya hingga sasaran
tercapai. Permasalahan yang mungkin terjadi adalah bahwa pasangan yang bercinta memiliki
pandangan yang berbeda tentang apa yang harus dicapai, sehingga dapat terjadi komitmen
yang berbeda antara satu individu dengan pasangannya.
Sternberg (1988) menyebutkan bahwa komponen keputusan/komitmen memiliki dua
aspek, yaitu short-term (keputusan) dan long-term (komitmen). Aspek short-term adalah
keputusan untuk mencintai orang tertentu, sedangkan long-term adalah komitmen untuk
12

mempertahankan cinta tersebut. Kedua aspek dari komponen keputusan/komitmen ini tidak
harus terjadi bersamaan. Keputusan untuk bercinta tidak harus mengimplikasikan komitmen
dalam bercinta, dan sebaliknya komitmen tidak mengimplikasikan keputusan. Namun
demikian, keputusan hendaknya mendahului komitmen.
2.1.4

Cinta pada Dewasa Muda
Pada tahap perkembangan dewasa muda, individu akan mengalami perubahan

signifikan dalam hubungan personal dengan orang lain, terutama yang berkaitan dengan
menjalin dan membangun ikatan berdasarkan pertemanan, cinta, dan seksualitas (Papalia,
Olds, & Feldman, 2001). Individu pada tahap perkembangan ini akan berusaha untuk mencari
dan menemukan pasangan hidup yang tepat, sebagaimana berkenaan dengan tugas
perkembangannya yang sangat penting, yaitu membina hubungan intim (Erikson dalam
Papalia, Olds, & Feldman, 2001). Akan tetapi, hubungan intim menuntut pengorbanan dan
persetujuan antara dua individu yang memutuskan untuk menjalin hubungan bersama,
sehingga sangat diperlukan komitmen pribadi untuk mempertahankan hubungan.
Dalam tahap perkembangan psikososial Erikson (dalam Papalia, Olds, & Feldman,
2007), dewasa muda termasuk kedalam tahap keenam, yaitu intimacy versus isolation. Jika
dewasa muda tidak dapat melakukan komitmen pribadi secara mendalam dengan orang lain,
mereka akan terisolasi dan cenderung memisahkan diri. Erikson juga menjelaskan
bahwa”virtue” dari tahapan dewasa muda adalah “love”, yaitu rasa kesetiaan antara pasangan
yang telah memilih untuk berbagi

kehidupan bersama. Cinta pada dewasa muda

berhubungan dengan keintiman, pemberi perhatian, dan komitmen dalam mempertahankan
hubungan percintaan yang dijalani.
2.1.5 Pengukuran Cinta
Dalam penelitian ini untuk mengukur komponen cinta, alat ukur yang digunakan
adalah “The Strenberg Triangular Love Scale” milik Robert J. Sternberg (1987). Alat ukur ini
berisi 45 pertanyaan yang terbagi ke dalam tiga subdimensi, yaitu 15 pernyataan untuk
komponen intimacy, 15 pernyataan untuk komponen passion, dan 15 pernyataan sisanya
untuk kompenen commitment.

13

2.2

Pengertian Self Monitoring
Self monitoring merupakan konsep yang berhubungan dengan konsep pengaturan

kesan (impression management) atau konsep pengaturan diri (Snyder & Gangestad, 1986,
h.125). Teori tersebut menitik beratkan perhatian pada kontrol diri individu untuk
memanipulasi citra dan kesan orang lain tentang dirinya dalam melakukan interaksi sosial
(Shaw & Constanzo, 1982, h.338). Individu baik secara sadar maupun tidak sadar memang
selalu berusaha untuk menampilkan kesan tertentu mengenai dirinya terhadap orang lain pada
saat berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Berdasarkan konsep ini Mark Snyder
mengajukan konsep self monitoring, yang menjelaskan mengenai proses yang dialami dari
tiap individu dalam menampilkan impression management dihadapan orang lain. Menurut
Snyder (Watson et al, 1984, h.85), self monitoring merupakan suatu usaha yang dilakukan
individu untuk menampilkan dirinya dihadapan orang lain dengan menggunakan petunjukpetunjuk yang ada pada dirinya atau petunjuk-petunjuk yang ada di sekitarnya.
Snyder & Cantor (Fiske & Taylor, 1991, h.534) mendefinisikan self monitoring
sebagai cara individu dalam membuat perencanaan, bertindak, dan mengatur keputusan
dalam berperilaku terhadap situasi sosial. Hal ini diperkuat dengan pendapat Robbins (1996,
h.60) yang menyatakan bahwa self monitoring merupakan suatu ciri kepribadian yang
mengukur kemampuan individu untuk menyesuaikan perilakunya pada faktor-faktor
situasional luar. Menurut Baron & Byrne (1994, h.189) self monitoring merupakan tingkatan
individu dalam mengatur perilakunya berdasarkan situasi eksternal dan reaksi orang lain (self
monitoring tinggi) atau atas dasar faktor internal seperti keyakinan, sikap, dan minat (self
monitoring rendah).
Berdasarkan berbagai pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli di atas maka
dapat disimpulkan bahwa self monitoring merupakan kemampuan individu dalam
menampilkan dirinya terhadap orang lain dengan menggunakan petunjuk-petunjuk yang ada
pada dirinya maupun petunjuk-petunjuk yang ada di sekitarnya, guna mendapatkan informasi
yang diperlukan untuk bertingkah laku yang sesuai dengan kondisi dan situasi yang dihadapi
dalam lingkungan sosialnya.
2.2.1

Komponen Self Monitoring
Menurut Snyder (Shaw & Constanzo, 1982, h.339) self monitoring mempunyai lima

komponen, yang meliputi:

14

a. Kesesuaian lingkungan sosial dengan presentasi diri seorang individu berarti menyesuaikan
peran seperti yang diharapkan orang lain dalam situasi sosial.
b. Memperhatikan informasi perbandingan sosial sebagai petunjuk dalam mengekspresikan
diri agar sesuai dengan situasi tertentu berarti memperhatikan informasi eksternal yang
berasal dari lingkungan sekitarnya sebagai pedoman bagi dirinya dalam berperilaku.
c. Kemampuan mengontrol dan memodifikasi presentasi diri berarti berhubungan dengan
kemampuan untuk mengontrol dan mengubah perilakunya.
d. Kesediaan untuk menggunakan kemampuan yang dimilikinya (pada huruf c) pada situasisituasi khusus berarti mampu untuk menggunakan kemampuan yang dimilikinya pada
situasi-situasi yang penting.
e. Kemampuan membentuk tingkah laku ekspresi dan presentasi diri pada situasi yang
berbeda-beda agar sesuai dengan situasi di lingkungan sosialnya berarti tingkah lakunya
bervariasi pada berbagai macam situasi di lingkungan sosial.
Baron & Greenberg (1990, h.203) menyatakan bahwa self monitoring mempunyai tiga
komponen, yaitu:
a. Kesediaan untuk menjadi pusat perhatian. Hal ini berhubungan dengan kemampuan sosial
dalam mengekspresikan emosional individu.
b. Kecenderungan yang menggambarkan kepekaan individu dalam reaksinyaterhadap orang
lain.
c. Kemampuan dan kesediaan individu untuk menyesuaikan perilaku sehingga menimbulkan
reaksi yang positif terhadap orang lain.
Briggs & Cheek pada tahun 1986 (Snyder & Gangestad, 1986, h.126)
menyempurnakan pendapat Snyder (1974) maupun Lennox & Wolfe (1984) mengenai
komponen self monitoring. Briggs & Cheek menyatakan bahwa pendapat para pendahulunya
tersebut kurang dapat digunakan untuk mengukur secara individual. Ketiga komponen self
monitoring yang dikemukakan oleh Briggs & Cheek adalah sebagai berikut:
a. Expressive self control, yaitu berhubungan dengan kemampuan untuk secara aktif
mengontrol tingkah lakunya. Individu yang mempunyai self monitoring tinggi suka
mengontrol tingkah lakunya agar terlihat baik. Adapun ciri-cirinya adalah sebagai berikut:
1) Acting, termasuk didalamnya kemampuan untuk bersandiwara, berpurapura, dan
melakukan kontrol ekspresi baik secara verbal maupun non verbal serta kontrol emosi.
2) Entertaining, yaitu menjadi penyegar suasana.
15

3) Berbicara di depan umum secara spontan.
b. Social Stage Presence, yaitu kemampuan untuk bertingkah laku yang sesuai dengan situasi
yang dihadapi, kemampuan untuk mengubah-ubah tingkah laku dan kemampuan untuk
menarik perhatian sosial. Ciri-cirinya adalah:
1) Ingin tampil menonjol atau menjadi pusat perhatian.
2) Suka melucu.
3) Suka menilai kemudian memprediksi secara tepat pada suatu perilaku yang belum jelas.
c. Other directed self present, yaitu kemampuan untuk memainkan peran seperti apa yang
diharapkan oleh orang lain dalam suatu situasi sosial, kemampuan untuk menyenangkan
orang lain dan kemampuan untuk tanggap terhadap situasi yang dihadapi. Ciri-cirinya adalah:
1) Berusaha untuk menyenangkan orang lain.
2) Berusaha untuk tampil menyesuaikan diri dengan orang lain (conformity).
3) Suka menggunakan topeng untuk menutupi perasaannya.
Kemampuan individu dalam menampilkan dirinya sesuai dengan tuntutan dari lingkungan
sosialnya dan sejauh mana individu mementingkan faktor-faktor eksternal maupun internal
dalam berperilaku dapat dilihat melalui self monitoring. Komponen-komponen yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Expressive self control, Social Stage Presence, dan
Other directed self present. Komponenkomponen yang dikemukakan oleh Briggs & Cheek
ini lebih lengkap dan tepat untuk digunakan dalam penelitian ini dibandingkan dengan
komponen-komponen lain yang dikemukakan oleh tokoh lain karena merupakan hasil
memperbaiki dan menyempurnakan pendapat tokoh lain.
2.2.2

Ciri-ciri Self Monitoring
Berdasarkan teori self monitoring, sewaktu individu akan menyesuaikan diri dengan

situasi tertentu, secara umum menggunakan banyak petunjuk yang ada pada dirinya (self
monitoring rendah) ataupun di sekitarnya (self monitoring tinggi) sebagai informasi. Individu
dengan self monitoring tinggi selalu ingin menampilkan citra diri yang positif dihadapan
orang lain. Menurut Snyder & Monson (Raven & Rubin, 1983, h.155), seorang individu yang
memiliki self monitoring tinggi cenderung lebih mudah dipengaruhi oleh lingkungan
sosialnya dan berusaha untuk berperilaku sesuai situasi saat itu, dengan menggunakan
informasi yang diterimanya. Hal ini mencerminkan bahwa individu yang mempunyai self
16

monitoring tinggi biasanya sangat memperhatikan penyesuaian tingkah lakunya pada situasi
sosial dan hubungan interpersonal yang dihadapinya.
Snyder (Baron & Byrne, 1997, h.169) menambahkan bahwa individu dengan self
monitoring tinggi mampu untuk menyesuaikan diri pada situasi dan mempunyai banyak
teman serta berusaha untuk menerima evaluasi positif dari orang lain. Singkatnya, individu
dengan self monitoring tinggi cenderung fleksibel, penyesuaian dirinya baik dan cerdas
sehingga cenderung lebih cepat mempelajari apa yang menjadi tuntutan di lingkungannya
pada situasi tertentu (Wrightsman & Deaux, 1981, h.100).
Selanjutnya, Snyder & Cantor (Fiske & Taylor, 1991, h.534) menyatakan bahwa
individu dengan self monitoring tinggi juga sangat sensitif terhadap norma sosial dan
berbagai situasi yang ada di sekitarnya sehingga dapat lebih mudah untuk dipengaruhi oleh
lingkungan sosialnya. Hal ini mencerminkan bahwa individu dengan self monitoring yang
tinggi cenderung peka terhadap aturan-aturan yang ada di sekitar dirinya sehingga selalu
berusaha untuk menampilkan dirinya sesuai dengan tuntutan situasi (Brehm & Kassin, 1993,
h.87). Sejalan dengan pendapat tersebut, Hoyle & Sowards (Baron & Byrne, 1997, h.169)
menyatakan bahwa individu dengan self monitoring tinggi cenderung melakukan analisis
terhadap situasi sosial dengan cara membandingkan dirinya dengan standar perilaku sosial
dan berusaha untuk mengubah dirinya sesuai dengan situasi saat itu.
Individu dengan self monitoring rendah memiliki ciri-ciri yang berkebalikan dengan individu
yang memiliki self monitoring tinggi. Individu yang mempunyai self monitoring rendah lebih
mempercayai informasi yang bersifat internal.Menurut Snyder (Fiske & Taylor, 1991, h.534),
individu dengan self monitoring rendah, dalam menampilkan dirinya terhadap orang lain
cenderung hanya didasarkan pada apa yang diyakininya adalah benar menurut dirinya sendiri.
Hal ini mencerminkan bahwa individu dengan self monitoring rendah kurang peka akan halhal yang ada di lingkungannya sehingga kurang memperhatikan tuntutan-tuntutan dari
lingkungannya tersebut, yang ditujukan kepada dirinya. Snyder (Baron & Byrne, 1994,
h.190) menambahkan bahwa individu yang memiliki self monitoring rendah menunjukkan
perilaku yang konsisten. Ini dikarenakan faktor internal seperti kepercayaan, sikap, dan
minatnya yang mengatur tingkah lakunya (Kreitner dan Kinicki, 2005, h.172). Engel dkk
(1995, h.102) juga menyatakan bahwa individu dengan self monitoring rendah tidak peduli
dengan pendapat orang lain dan lebih mementingkan perasaan dan faktor internal yang
dimilikinya. Tidak mengherankan apabila individu ini menjadi cenderung memegang teguh
pendiriannya dan tidak mudah dipengaruhi oleh hal-hal yang berasal dari luar dirinya
sehingga kurang berhasil dalam melakukan hubungan sosial (Baron & Byrne, 1997,
17

h.172).Hal ini mencerminkan bahwa individu dengan self monitoring rendah tidak berusaha
untuk mengubah perilakunya sesuai dengan situasi dan tidak tertarik dengan informasiinformasi sosial dari lingkungan di sekitarnya.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa individu yang memiliki self
monitoring tinggi menunjukkan ciri-ciri tanggap terhadap tuntutan dari lingkungan di
sekitarnya, memperhatikan informasi sosial yang merupakan petunjuk baginya untuk
menampilkan diri sesuai dengan informasi atau petunjuk tersebut, mempunyai kontrol yang
baik terhadap tingkah laku yang akan ditampilkan, mampu menggunakan kemampuan yang
dimilikinya untuk berperilaku dalam situasi-situasi yang penting, dan mampu mengendalikan
diri, mengubah perilaku serta ekspresif. Sebaliknya, individu yang memiliki self monitoring
rendah menunjukkan ciriciri kurang tanggap terhadap situasi-situasi yang menuntutnya untuk
menampilkan dirinya, kurang memperhatikan pendapat orang lain dan kurang memperhatikan
informasi sosial, kurang dapat menjaga dan suka mengabaikan penampilannya, kurang
berhasil dalam menjalin hubungan interpersonal, perilaku dan ekspresi diri lebih dipengaruhi
oleh pendapat dirinya pada situasi sekitarnya.
2.2.3 Pengukuran Self-Monitoring
Alat ukur untuk tingkat self-monitoring menggunakan The Self-monitoring Scale yang
disusun oleh Snyder dan Gangestad (1986) yang terdiri dari tiga aspek, yaitu : kontrol
penampilan diri (exspresive self‐control), pementasan pertunjukan sosial (social stage
presence), penyajian kesesuaian diri (other directedness self‐presentation. Skala ini terdiri
dari 36 item, dimana komponen expressive self control terdiri dari 12 item; komponen social
stage presence terdiri dari 12 item; dan komponen other directed self present terdiri dari 12
item .

2.3

Orientasi Masa Depan
Gjesme (dalam Oner, 2000a; 2000b) mendefinisikan orientaso masa depan sebagai

“the ability to foresee and anticipate, to make plans and organise future possibilities.”
Orientasi masa depan merupakan suatu kemampuan untuk meramalkan dan mengantisipasi,
serta membuat perencanaan dan menorganisasikan berbagai kemungkinan yangdapat terjadi
di masa yang akan datang.

18

Gjesme (dalam Oner, 2000a) menyebutkan tentang empat faktor dalam orientasi masa
depan secara umum, yaitu involvement, anticipation, occupation, dan speed. Involvement
merupakan derajat di mana individu fokus pada suatu peristiwa tertentu. Anticipation
menentukan seberapa mantap kesiapan individu menghadapi kejadian di masa depan.
Occupation adalah jumlah waktu yang diluangkan individu untuk memikirkan masa
depannya. Speed merupakan kecepatan individu dalam mempersepsikan pendekatan yang
dilakukan untuk mencapai masa depan (Gjesme, dalam Chak, 2007)
Dalam memahami konteks yang digunakan dalam orientasi masa depan, Gjesme
(dalam Oner, 2000a) mengemukakan perbedaan antara orientasi masa depan seseorang secara
umum dengan orientasi masa depan seseorang pada situasi tertentu. Menurut Gjesme, tinggi
atau rendahnya skor orientasi masa depan seseorang yang diukur pada situasi tertentu, tidak
selalu menunjukkan posisi orang tersebut dalam istilah orientasi masa depan.

Skor ini

mungkin hanya merefleksikan orientasi individu pada situasi tertentu saja. Berdasarkan hal
tersebut, Gjesme menegaskan pentingnya penggunaan acuan umum dalam memahami
orientasi masa depan.
Di lain pihak, pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Oner (2000a). Menurutnya,
pengukuran orientasi masa depan dapat dilakukan pada situasi tertentu. Beberapa aspek pada
konsepsi orientasi masa depan tidak selalu bisa diamati dalam analisis umum saja, melainkan
perlu adanya analisis pada konteks tertentu. Salah satu konteks pada situasi tertetu adalah
orientasi masa depan pada hubungan romatis.
2.3.1

Orientasi Masa Depan Hubungan Romantis (FTORR)
Oner (2000a) mengemukakan bahwa orientasi masa depan pada hubungan romantis

berbeda dari orientasi masa depan pada umumnya. Future time orientation in romantic
relationships is tendencies to seek temporary or permanent relationships with the opposite sex
(Oner, 2000a). Orientasi masa depan pada hubungan romantis (selanjutnya akan disebut
sebagai FTORR) merupakan kecenderungan untuk mencari hubungan sementara atau
permanen dengan lawan jenis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Oner (2000b),
ditemukan dua skala faktor, yaitu permanent relationships seeking dan future relationship
focus.
Faktor permanent relationship seeking mengacu pada kecenderungan seseorang untuk
menikmati dan mencari hubungan yang sementara atau permanen. Skor tinggi pada faktor ini
19

mencermikan kecenderungan hubungan permanen, sedangkan skor rendah mencerminkan
kecenderungan pada hubungan yang sementara. Selanjutnya, faktor future relationship focus
mengindikasikan pada investasi dan keterlibatan individu dalam menentukan masa depan
hubungan yang dijalani. Skor tinggi pada faktor ini mencermikan perhatian atau kepentingan
yang tinggi pada masa depan hubungan, sedangkan skor rendah mencermikan rendahnya
perhatian individu pada masa depan hubungan yang sedang dijalani.
Selain kedua faktor di atas , terdapat pula beberapa hal lain yang juga dapat
mempengaruhi FTORR, di antaranya pengalaman berpacaran, kepuasaan dalam hubungan,
kecemburuan, dan gender. Yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah orientasi masa
depan pada konteks yang lebih khusus, yaitu pada hubungan romantis.
2.3.2

Orientasi Masa Depan Hubungan Romantis (FTORR) pada Dewasa Muda
Sehubungan dengan tugas perkembangannya, yaitu pembentukkan gaya hidup dan

keluarga, pada tahap dewasa muda terjadi pengambilan keputusan seputar pemilihan gaya
hidup dan hubungan intim dengan pasangan. Bersamaan dengan itu, dewasa muda juga juga
mulai memutuskan tentang pembinaan keluarga, seperti pernikahan dan anak (Papalia, Olds,
& Feldman, 2007). Kesemua hal ini berkaitan erat dengan penetapan, perencanaan, dan
pengambilan keputusan mengenai kehidupan di masa depan.
FTORR berhubungan dengan pemilihan hubungan romantis yang permanen atau
sementara, sehingga merupakan hal yang penting bagi dewasa muda yang menjalin hubungan
intim dan romantis untuk melakukan perencanaan guna mempertahankan hubungan dalam
waktu yang lama. Menurut hasil penelitian Oner (2000a), individu yang berorientasi masa
depan akan cenderung mencari hubungan romantis yang permanen, sedangkan mereka yang
tidak yang tidak berorientasi masa depan cenderung mencari hubungan yang sementara.
Selain itu, hasil penelitian Jogerson (dalam Mccabe & Barnett, 2000) menunjukan bahwa
dewasa muda yang berorientasi masa depan cenderung kurang memiliki pengalaman seksual,
memiliki rekan seksual yang lebih sedikit, dan cenderung menggunakan metode kontrasepsi
yang aman. Kedua hasil penelitian ini menunjukan bahwa orientasi masa depan menggiring
dewasa muda untuk lebih berhati-hati dalam perencanaan masa depan, terutama pada masa
depan hubungan romantis.

20

2.4 Kerangka Berpikir
Cinta merupakan salah satu aspek yang penting bagi dewasa muda dalam menjalin
hubungan romantis. Cinta dapat menjadi penentu kualitas hubungan romantis pada dewasa
muda. Terkait dengan keputusan dewasa muda untuk menjalin hubungan romantis, cinta
mungkin dapat berpengaruh terhadap kecenderungan individu untuk memutuskan apakah
dewasa akan menjalin hubungan jangka pendek atau jangka panjang. Kecenderungan
individu untuk menjalin hubungan jangka pendek atau jangka panjang. Kecenderungan
individu untuk menjalin hubungan jangka pendek atau jangka panjang dinamakan sebagai
FTORR.
Dari berbagai penelitian mengenai tujuan dan sasaran dalam hubungan romantis,
Reeder (2008) menyimpulkan bahwa pengetahuan tentang tujuan dan sasaran ini membantu
individu untuk memahami dan mengingat interaksi manusia dengan lebih baik. Sejalan
dengan calon pasangan hidup masa depan, pengertian mengenai tujuan dan sasaran akan
membantu dalam meramalkan dan mengatur interaksi kita dengan pasangan kita (Dennet,
dalam Reeder 2008).
Selanjutnya, dalam penelitian mengenai orientasi masa depan pada hubungan
romantis, Oner (2000a) menemukan bahwa semakin tinggi kebutuhan atau perhatian
seseorang terhadap komitmen masa depan, semakin rendah kepuasan orang tersebut terhadap
hubungan yang dijalani. Preferensi terhadap komitmen jangka panjang dalam meningkatkan
harapan dalam suatu hubungan dan membuat individu menjadi lebih waspada terhadap
hubungan yang sedang dijalani atau dalam memulai hubungan baru.
Di lain pihak, dalam hubungan romantis, jelas tidak hanya membutuhkan komitmen,
tetapi juga intimacy dan passion. Menurut Berscheid (dalam Sternberg 1986), pada awal
hubungan romantis, ketidakpastian dalam hubungan tinggi karena individu tidak mampu
memperkirakan tingkah laku, emosi, atau kebutuhan pasangannya. Ketidakmampuan ini
menyebabkan individu tidak dapat mengembangkan intimacy dan memperoleh kebutuhankebutuhan passion yang ia harapkan, hingga akhirnya membuat individu merasa tidak
nyaman dengan hubungannya. Namun seiring dengan berjalannya hubungan, tingkat
intimacy serta pemenuhan kebutuhan passion juga semakin meningkat. Hal ini juga dapat
mempengaruhi penilaian individu terhadap orientasi masa depannya.

21

Bila dikaitkan dengan tahap perkembangan dewasa muda, terutama pada dewasa
muda awal seperti mahasiswa, sedikit banyak dari mereka berada dalam tahap membangun
hubungan percintaan, yang dapat mengarah pada hubungan romantis, baik jangka panjang
ataupun jangka pendek. Untuk itu orientasi masa depan pada hubungan romantis, tidak dapat
hanya dilihat dari sisi komitmennya saja tetapi juga dari sisi intimacy dan passion. Hal ini
disebabkan untuk dapat memutuskan tentang masa depan hubungan romantis yang dijalani,
individu perlu memahami tentang cinta yang dimiliki, sebagaimana cinta itu diuraikan
melalui tiga komponen cinta, yaitu intimacy, passion dan commitment.
Individu law self monitoring adalah individu yang dianggap lebih konsisten dan teguh
pada prinsip, bertingkah laku berdasarkan faktor internal, seperti keyakinan, sikap, dan nilai
yang mereka anut. Sedangkan individu dengan high self-monitoring memiliki karakteristik
yang fleksibel, bersifat situasional, peka terhadap keinginan orang lain, dan dengan demikian,
mereka lebih cenderung untuk memodifikasi presentasi diri mereka. Sebuah penelitian yang
dilakukan Oner (2002) menemukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara selfmonitoring dan future time orientation in romantic relationship (FTORR). Ini menandakan
bahwa partisipan dengan law self-monitoring menunjukkan orientasi masa depan yang lebih
panjang dalam hubungan romantis dibandingkan partisipan dengan high self-monitoring.
Komitmen yang lebih tinggi yang dimiliki oleh individu dengan law self-monitoring dan
kecenderungan untuk tampil apa adanya tanpa manipulasi menjadi faktor yang mendukung
terciptanya hubungan romantis yang lebih permanen pada individu dengan law selfmonitoring.
The right person in the right place at the right time” adalah sebuah kalimat yang
menggambarkan individu dengan high self-monitoring yang tinggi (Snyder 1995 p.36, dalam
Buyuksahin, 2008). Mereka menggambarkan diri mereka sebagai orang-orang yang fleksibel,
mudah beradaptasi dan beberapa perilakunya seringkali menunjuk pada faktor-faktor
situasional (Snyder, 1976 dalam Prihatini, 1988). Sedangkan individu dengan law selfmonitoring melihat diri mereka sebagai orang-orang yang lebih konsisten dan teguh pada
prinsip dibandingkan kelompok individu high self-monitoring, serta memberikan penjelasanpenjelasan yang menunjuk faktor-faktor disposisional untuk perilaku-perilaku mereka
(Snyder, 1974, 1979 dalam Prihatini, 1988). Mereka bertingkah laku berdasarkan faktor
internal, seperti keyakinan, sikap, dan nilai yang mereka anut (Gangestad & snyder, 1985;
Snyder & Ickes, 1985 dalam Baron, 2003). Individu high self monitoring dianggap unggul
karena mampu memperlihatkan keterampilan sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan
22

individu low self monitoring (Ickes dan Barnes, 1977 dalam Prihatini, 1988). Namun berbeda
halnya dalam hubungan romantis. Individu dengan low self-monitoring cenderung memiliki
hubungan romantis yang lebih permanen dibandingkan individu dengan high self-monitoring
karena mereka lebih berkomitmen dan tampil apa adanya.
The right person in the right place at the right time” adalah sebuah kalimat yang
menggambarkan individu dengan high self-monitoring yang tinggi (Snyder 1995 p.36, dalam
Buyuksahin, 2008). Mereka menggambarkan diri mereka sebagai orang-orang yang fleksibel,
mudah beradaptasi dan beberapa perilakunya seringkali menunjuk pada faktor-faktor
situasional (Snyder, 1976 dalam Prihatini, 1988). Sedangkan individu dengan law selfmonitoring melihat diri mereka sebagai orang-orang yang lebih konsisten dan teguh pada
prinsip dibandingkan kelompok individu high self-monitoring, serta memberikan penjelasanpenjelasan yang menunjuk faktor-faktor disposisional untuk perilaku-perilaku mereka
(Snyder, 1974, 1979 dalam Prihatini, 1988). Mereka bertingkah laku berdasarkan faktor
internal, seperti keyakinan, sikap, dan nilai yang mereka anut (Gangestad & snyder, 1985;
Snyder & Ickes, 1985 dalam Baron, 2003). Individu high self monitoring dianggap unggul
karena mampu memperlihatkan keterampilan sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan
individu low self monitoring (Ickes dan Barnes, 1977 dalam Prihatini, 1988). Namun berbeda
halnya dalam hubungan romantis. Individu dengan low self-monitoring cenderung memiliki
hubungan romantis yang lebih permanen dibandingkan individu dengan high self-monitoring
karena mereka lebih berkomitmen dan tampil apa adanya.

Berdasarkan

hal

tersebut

pengaruh yang signifikan antara

maka

peneliti

cinta

dan

berasumsi

bahwa

self-monitoring

ada

terhadap

orientasi masa depan hubungan romantis terhadap dewasa muda yang
berpacaran.

23

Gambar
Skema Kerangka Berpikir “Cinta dan Self Monitoring terhadap
Orientasi Masa Depan Hubungan Romantis pada Dewasa Muda
Berpacaran”

Intimacy

LOVE

Passion
Commitment

Expressive self control
FTORR
Self- Monitoring

Social stage presence

Other directed present

Faktor Demografis

Jenis Kelamin

24

2.5. Hipotesis
2.5.1 Hipotesis mayor
H0 : Ada pengaruh yang signifikan antara cinta dan self-monitoring terhadap orientasi masa
depan hubungan romantis pada dewasa muda berpacaran.
2.5.2 Hipotesis minor
H1

: Ada pengaruh yang signifikan antara intimacy terhadap orientasi masa depan

hubungan romantis pada dewasa muda berpacaran.
H2

: Ada pengaruh yang signifikan antara passion orientasi masa depan hubungan

romantis pada dewasa muda berpacaran.
H3

: Ada pengaruh yang signifikan antara commitmen terhadap orientasi masa depan

hubungan romantis pada dewasa muda berpacaran.
H4

: Ada pengaruh yang signifikan antara Expressive self control terhadap orientasi masa

depan hubungan romanti

Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN SEDUHAN BIJI PEPAYA (Carica Papaya L) TERHADAP PENURUNAN BERAT BADAN PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus strain wistar) YANG DIBERI DIET TINGGI LEMAK

23 199 21

KEPEKAAN ESCHERICHIA COLI UROPATOGENIK TERHADAP ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI RSU Dr. SAIFUL ANWAR MALANG (PERIODE JANUARI-DESEMBER 2008)

2 106 1

EFEKTIFITAS BERBAGAI KONSENTRASI DEKOK DAUN KEMANGI (Ocimum basilicum L) TERHADAP PERTUMBUHAN JAMUR Colletotrichum capsici SECARA IN-VITRO

4 157 1

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

APRESIASI IBU RUMAH TANGGA TERHADAP TAYANGAN CERIWIS DI TRANS TV (Studi Pada Ibu Rumah Tangga RW 6 Kelurahan Lemah Putro Sidoarjo)

8 209 2

PENGARUH GLOBAL WAR ON TERRORISM TERHADAP KEBIJAKAN INDONESIA DALAM MEMBERANTAS TERORISME

57 269 37

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENGARUH DIMENSI KUALITAS LAYANAN TERHADAP KEPUASAN PELANGGAN DI CAFE MADAM WANG SECRET GARDEN MALANG

18 115 26