274827711 Sistem Manajemen Penanggulangan Kebakaran Hilmi

Sistem Manajemen Penanggulangan Kebakaran (SOP) studi
kasus di PT. Kimia Farma Plant Jakarta
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebuah gedung mempunyai peranan yang sangat penting dalam mendukung kelancaran dan
kesinambungan operasi perusahaan atau proses kerja secara keseluruhan. Oleh karena itu, semua
pihak yang turut memanfaatkan gedung ini, baik individu ataupun badan perusahaan, termasuk
mitra kerja harus aktif memelihara dan menjaga kebersihan, keselamatan dan kesehatan
kerjanya. Salah satu perwujudan perusahaan dalam memelihara dan menjaga keselamatan dan
kesehatan kerjanya adalah melalui penerapan Manajemen Penanggulangan Kebakaran.
Sebuah gedung melalui penerapan Manajemen Penanggulangan Kebakaran harus mampu
mengatasi kemungkinan terjadinya kebakaran melalui kesiapan dan keandalan sistem proteksi
yang ada, serta kemampuan petugas menangani pengendalian kebakaran. Selain petugas, semua
pihak yang terkait dalam setiap pemanfaatan bangunan harus terlibat dalam upaya
penanggulangan kebakaran. Semua pihak, baik karyawan maupun mitra kerja harus turut aktif
berusaha agar peristiwa kebakaran yang tidak dikehendaki dan merugikan tersebut tidak terjadi.
Jadi semua pihak harus memikirkan dan mematuhi seluruh peraturan dan anjuran – anjuran
keselamatan yang telah di buat pada setiap bagian dalam sebuah gedung tersebut seperti larangan
merokok, larangan menggunakan tangga darurat untuk operasi normal dan lain sebagainya yang
telah ditetapkan.

Disektor industri sendiri yang berkembang secara kompleks, dimana terdapat banyak sumber
potensi yang dapat memicu terjadinya kebakaran. Maka bila terjadi kebakaran akan banyak
pihak yang akan merasakan kerugiannya, antara lain pihak investor, para pekerja, pemerintah
maupun masyarakat luas.
Sesuai dengan Undang – undang No. 1 Bab III pasal 3 tahun 1970 mengenai Keselamatan
Kerja :
“Syarat – syarat keselamatan kerja yang berhubungan dengan penanggulangan kebakaran antara
lain mencegah, mengurangi, dan memadamkan kebakaran, penyediaan sarana jalan untuk
menyelamatkan diri, pengendalian asap, panas dan gas serta melakukan latihan bagi semua
karyawan.”
Masih ingat kasus kebakaran yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya ? Jumlah kasus yang terjadi
banyak, data yang diperoleh dari Dinas Kebakaran Jakarta Barat menunjukkan frekuensi
kebakaran yang terjadi pada industri kimia pada tahun 2005 sebanyak 10 kasus kebakaran, tahun
2006 sebanyak 9 kasus kebakaran dan tahun 2007 sebanyak 5 kasus kebakaran di industri kimia.
Dan kasus kebakaran lain yang terjadi di Industri kimia adalah kejadian kebakaran di PT. Petro
widada, Gresik yang mengakibatkan 59 korban jiwa yaitu 3 orang meninggal dunia dan 59 orang
luka – luka, dari hasil penelitian Bappedal Jawa Timur kebakaran ini ditimbulkan oleh
terbakarnya bahan – bahan kimia hasil produksi.
Tingginya angka kasus kebakaran di industri menunjukkan bahwa kasus kebakaran merupakan


salah satu bentuk kecelakaan atau musibah yang memerlukan perhatian khusus, terbukti dengan
dampak kebakaran tersebut dapat menelan kerugian yang sangat besar. Dapat disebabkan oleh
berbagai hal diantaranya terjadi kebakaran yang sebenarnya tidak sengaja (real fire), dan
kebakaran yang disengaja (arson fire).
Manajemen Penanggulangan Bahaya Kebakaran adalah suatu sistem penataan dini dalam rangka
mencegah dan mengendalikan bahaya kebakaran sehingga kerugian berupa meterial dan jiwa
manusia dapat dicegah atau diminimalkan, yang diwujudkan baik berupa kebijakan dan prosedur
yang dikeluarkan perusahaan, seperti inspeksi peralatan, pemberian pendidikan dan pelatihan
bagi penghuni/pekerja, penyusunan rencana tindakan darurat kebakaran, maupun penyediaan
sarana pemadam kebakaran.
PT. Kimia Farma Plant Jakarta merupakan salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang
obat – obatan (Farmasi) yang dibawah naungan BUMN, yang tepatnya berada di Jl. Rawagelam
V No. 1 Kawasan Industri Pulogadung Jakarta Timur. Dalam proses produksinya menggunakan
mesin dan bahan kimia berbahaya, oleh sebab itu PT. Kimia Farma mengisolasi mesin – mesin
yang ada dalam ruangan produksi dan bahan khusus yang dapat berpotensi terjadinya kebakaran.
Berdasarkan pengelompokan risiko bahaya kecelakaannya PT. Kimia Farma Plant Jakarta
termasuk kedalam Bahaya kebakaran berat karena jenis tersebut mempunyai jumlah dan
kemudahan terbakar tinggi yang disebabkan oleh banyaknya jenis bahan kimia yang mudah
terbakar. Dan apabila terjadi kebakaran apinya akan cepat menjadi besar dan menjalarnya api
menjadi sangat cepat.

Dari hasil data sekunder kejadian kebakaran di PT. Kimia Farma pada tahun 1980 pernah terjadi
kasus kebakaran di bagian produksi yang disebabkan oleh adanya alkohol yang tercecer dibagian
produksi, yang kemudian salah satu pekerja dalam ruangan tersebut langsung menyalakan
sakelar listik dan terjadilah ledakan dalam ruang produksi yang kemudian terjadi kebakaran,
namun dari kejadian tersebut tidak mengakibatkan korban jiwa tetapi perusahaan mengalami
kerugian materil.
Sehubungan dengan alasan tersebut diatas penulis tertarik melakukan penelitian tentang
gambaran sistem manajemen penanggulangan kebakaran di PT. Kimia Farma Plant Jakarta,
tahun 2008.
1.2 Rumusan Permasalahan
Banyaknya kasus kebakaran yang terjadi ditempat kerja menunjukan bahwa kebakaran adalah
masalah yang serius bagi kehidupan manusia, khususnya bagi seluruh staff dan karyawan yang
bekerja didalamnya. PT. Kimia Farma Plant Jakarta dalam pelaksanaan penanggulangan
kebakaran khususnya pada pengadaan Alat Pemadam Kebakaran Ringan (APAR) dan Hydrant
diarea loby dan sekitarnya masih kurang lengkap.
Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk mengangkat masalah yaitu : “Bagaimana
gambaran sistem manajemen penanggulangan kebakaran di PT. Kimia Farma Plant Jakarta ? ”
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran Sistem Penanggulangan Kebakaran yang diterapkan di PT. Kimia

Farma Plant Jakarta tahun 2008.

1.3.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya kebijakan perusahaan dalam penanggulangan kebakaran dalam hal pembentukan
Tim pemadam kebakaran, pendidikan dan pelatihan Tim pemadam, Inspeksi sarana pemadam
kebakaran dan perencanaan keadaan darurat kebakaran di PT. Kimia Farma Plant Jakarta.
2. Diketahuinya karakteristik Tim pemadam kebakaran, yang meliputi : usia, tingkat pendidikan,
pengetahuan dan masa kerja mengenai upaya pemadaman kebakaran.
3. Diketahuinya kelengkapan sarana penanggulangan bahaya kebakaran seperti : detektor asap,
alarm kebakaran, APAR, Hydrant, rute evakuasi, pintu darurat, dan tempat berhimpun di PT.
Kimia Farma Plant Jakarta.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian
Pada penulisan ini dibatasi pada sistem manajemen penanggulangan kebakaran yang meliputi :
kebijakan/prosedur penangulanggan kebakaran berupa pembentukan tim penanggulangan
kebakaran, pelatihan penangulanggan kebakaran dan inspeksi sarana serta rencana tindak darurat
kebakaran. Sarana penangulanggan bahaya kebakaran meliputi : sistem pendeteksian dan
peringatan, alat pemadam kebakaran, sarana penyelamat jiwa dan alat bantu evakuasi di PT.
Kimia Farma Plant Jakarta.
1.5 Manfaat Penelitian
Penulisan ini berharap dapat mendatangkan manfaat bagi pihak perusahaan yang terlibat,

Institusi pendidikan dan penulis. Adapun manfaat yang diperoleh yaitu :
1.5.1 Pihak Perusahaan
Penelitian ini diharapkan menjadi masukan dan data berharga guna mewujudkan sistem
manajemen penanggulangan kebakaran dan penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi
pada pekerja sehingga sistem manajemen penanggulangan kebakaran dapat berjalan tepat guna.
1.5.2 Institusi Pendidikan
Penelitian ini sebagai tambahan referensi tentang manajemen penanggulangan kebakaran di
industri.
1.5.3 Penulis
Untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan penelitian di bidang
manajemen keselamatan dan kesehatan kerja.
1.6 Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pemahaman tentang isi karya tulis ilmiah ini, maka penulis menyusun
sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB 1 PENDAHULUAN
Bab ini penulis menguraikan secara singkat latar belakang, permasalahan, tujuan, ruang lingkup,
manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menguraikan tinjauan pustaka yang meliputi : pengertian kebakaran, klasifikasi

kebakaran, penanggulangan kebakaran, manajemen penaggulangan kebakaran, sarana
penaggulangan kebakaran dan sarana penyelamatan jiwa.
BAB 3 GAMBARAN UMUM
Pada bab ini dikemukakan gambaran umum yang meliputi : sejarah perusahaan,motto, fungsi dan
tujuan perusahaan, lokasi perusahaan, struktur organisasi, dan proses kerja atau produksi.
BAB 4 KERANGKA KONSEP
Pada bab ini berisikan kerangka teori, kerangka konsep dan definisi operasional.
BAB 5 METODE PENELITIAN
Dalam bab ini penulis menguraikan jenis, lokasi, populasi dan sampel penelitian, metode
pengumpulan, pengolahan dan analisis data
BAB 6 RENCANA PENYAJIAN DATA
Dalam bab ini berisikan rencana tabel tunggal dalam penyajian data.
BAB 7 JADWAL, ORGANISASI DAN RENCANA ANGGARAN BIAYA
Dalam bab ini berisiskan jadwal penelitian, organisasi tim penelitian dan rencana anggaran biaya
penelitian.
BAB 8 PENUTUP
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Api dan Kebakaran
2.1.1 Teori tentang api

Pengertian nyala api menurut Direktorat pengawasan keselamatan kerja (2001:16) adalah suatu
fenomena yang dapat diamati gejalanya yaitu adanya cahaya dan panas dari suatu bahan yang
sedang terbakar. Gejala lainnya yang dapat diamati adalah bila suatu bahan terbakar maka akan
mengalami perubahan baik bentuk fisik maupun sifat kimianya.
Unsur pokok terjadinya api dalam teori klasik segi tiga api (Triangel of fire) menjelaskan bahwa
untuk dapat berlangsungnya proses nyala api diperlukan adanya tiga unsur pokok yaitu adanya
unsur bahan yang dapat dibakar (fuel), oksigen (O₂) yang cukup dari udara dan panas yang
cukup. Apabila salah satu unsur dari segitiga tersebut tidak berada pada keseimbangan yang
cukup, maka api tidak akan terjadi.
Sumber
O₂ Fire Nyala
Fuel

Gambar 2.1 : Segi tiga api
Sumber : Depertemen Tenaga Kerja, 1997
Akan tetapi dalan studi lanjut mengenai fisika dan kimia, menyatakan bahwa peristiwa
pembakaran mempunyai tambahan teori lagi yang disebut dengan bidang empat api (tetrahedron
of fire). Teori ini mengemukakan dimana sisi dasar yang keempat yaitu adanya suatu rantai
reaksi pembakaran yaitu CO, CO₂, SO₂, asap dan gas.
Reaksi berantai

Bahan bakar
Sumber panas
Zat pengoksidasi
Gambar 2.2 : Bidang 4 api
Sumber : Depertemen Tenaga Kerja, 1997
2.1.2 Pengertian tentang kebakaran
Kebakaran adalah reaksi kimia yang berlangsung cepat serta memancarkan panas dan sinar.
Reaksi kimia yang timbul termasuk jenis reaksi oksidasi.
Menurut Direktorat pengawasan keselamatan kerja Ditjen pembinaan pengawasan
ketenagakerjaan, 2001:8) Kebakaran adalah api yang tidak dikehendaki, boleh jadi api itu kecil
tetapi tidak dikehendaki adalah termasuk kebakaran
Sedangkan menurut Depertemen Tenaga Kerja dalam bukunya yang berjudul Training Material
K3 bidang penanggulangan kebakaran (1997) menyatakan bahwa, kebakaran adalah suatu reaksi
oksidasi eksotermis yang berlangsung dengan cepat dari suatu bahan bakar yang disertai dengan
timbulnya api atau penyalaan. Bahan bakar dapat berupa bahan padat, cair atau uap/gas akan
tetapi bahan bakar yang terbentuk uap dan cairan biasanya lebih mudah menyala.
2.1.3 Penyebab terjadinya kebakaran
Pada umumnya penyebab kebakaran bersumber pada 3 (tiga) faktor yaitu :
A. Faktor manusia
Manusia sebagai salah satu faktor penyebab kebakaran antara lain :

1. Pekerja
a. Tidak mau tahu atau kurang mengetahui prinsip dasar pencegahan kebakaran.
b. Menempatkan barang atau menyusun barang yang mungkin terbakar tanpa menghiraukan
norma – norma pencegahan kebakaran.
c. Pemakaian tenaga listrik yang berlebihan, melebihi kapasitas yang telah ditentukan.
d. Kurang memiliki rasa tanggung jawab dan disiplin.
e. Adanya unsur – unsur kesengajaan.
2. Pengelola
a. Sikap pengelola yang tidak memperhatikan keselamatan kerja.
b. Kurangnya pengawasan terhadap kegiatan pekerja.
c. Sistem dan prosedur kerja tidak diterapkan dengan baik, terutama kegiatan dalam bidang

kegiatan penentuan bahaya, penerangan bahaya dan lain – lain.
d. Tidak adanya standar atau kode yamg dapat diandalkan atau penerapannya tidak tegas,
terutama yang menyangkut bagian kritis peralatan.
e. Sistem penanggulangan bahaya kebakaran yang tidak diawasi secara baik.
B. Faktor teknis sebagai penyebab kebakaran dan peledakan
1. Proses fisik/mekanis
Yaitu dimana 2 (dua) faktor penting yang menjadi peranan dalam proses ini ialah timbulnya
panas akibat kenaikan suhu atau timbulnya bunga api akibat pengetesan benda – benda maupun

adanya api terbuka, misalnya pekerjaan perbaikan dengan menggunakan mesin las.
2. Proses kimia
Yaitu dapat terjadi kebakaran pada waktu pengangkutan bahan – bahan kimia berbahaya,
penyimpanan dan penanganan (handling) tanpa memperhatikan petunjuk – petunjuk yang ada.
3. Tegangan listrik
Banyak titik kelemahan pada instalasi listrik yang dapat mendorong terjadinya kebakaran yaitu
karena hubungan pendek yang menimbulkan panas dan bunga api yang dapat menyalakan dan
membakar komponen lain.
C. Faktor Alam
Salah satu faktor penyebab adanya kebakaran dan peledakan akibat faktor alam adalah : Petir dan
gunung meletus yang dapat menyebabkan kebakaran hutan yang luas dan juga perumahan –
perumahan yang dilalui oleh lahar panas dan lain – lain.
Penyebab terjadinya kebakaran kebakaran di industri
Jika diatas disebutkan beberapa penyebab kebakaran di industri, dapat terjadi kerena beberapa
hal :
1. Nyala api atau sumber api
Sumber api bebas, percikan api, maupun putung rokok yang dapat menyebabkan kebakaran jika
terjadi kontak dengan bahan – bahan yang mudah terbakar.
2. Gangguan aliran listrik
ILO (1992) menyatakan bahwa gangguan listrik merupakan penyebab utama kebakaran dalam

industri.
3. Ledakan cairan atau uap yang bertemperatur dan bertekanan tinggi.
4. Ledakan atau kebocoran unsur kimia.
Secara lebih lengkap, sebuah analisis terhadap 25.000 kebakaran yang dilaporkan ke badan
bantuan teknik pabrik (Factory Manual Engineering Coorporation) diketahui beberapa penyebab
umum pada kebakaran di industri yang dapat di tampilan pada tabel 2.1:
TABEL 2.1
DISTRIBUSI PEYEBAB TERJADINYA KEBAKARAN UMUM DI INDUSTRI
NO PENYEBAB PROSENTASE (%)
1 Gangguan listrik 23
2 Merokok 18
3 Gesekan oleh mesin yang menimbulkan panas yang terlalu tinggi 10
4 Bahan yang terlalu panas 8
5 Permukaan panas 7
6 Nyala pembakar/ brander 7

7 Letikan api 5
8 Perapian spontan 4
9 Pengelasan atau pemotongan 4
10 Letikan mekanis 2
11 Lelehan bahan 2
12 Reaksi kimia 1
13 Petir 1
14 Sebab lain 1
Sumber : (Dalam Skripsi Muhammad Asep Ramdan, 2000)
2.1.4 Klasifikasi kebakaran
Klasifikasi kebakaran ialah penggolongan atau pembagian kebakaran berdasarkan jenis
bahayanya, dengan adanya klasifikasi tersebut akan lebih mudah, cepat dan lebih tepat dalam
pemilihan media pemadam yang digunakan untuk memadamkan kebakaran. Dengan mengacu
pada standar (Depnaker, Traning Material K3 bidang penanggulangan kebakaran :1997:14).
Menurut Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (2004:24) terdapt dua versi standar
klasifikasi jenis kebakaran yang sedikit agak berbeda. Klasifikasi jenis kebakaran menurut
standar inggris yaitu LPC (Loss Prevention Committee) menetapkan klasifikasi kebakaran dibagi
dalam dua klas A, B, C, D, E sedangkan Standar Amerika yaitu NFPA (National Fire Prevention
Assosiation), menetapkan klasifikasi kebakaran menjadi klas A, B, C, D pengklasifikasian
menurut jenis material yang terbakar seperti dalam tabel 2.2 berikut :
TABEL 2.2
DISTRIBUSI TENTANG KLASIFIKASI KEBAKARAN
STANDAR AMERIKA (NFPA) STANDAR INGGRIS (LPC)
KELAS JENIS KEBAKARAN KELAS JENIS KEBAKARAN
A Bahan padat kecuali logam, seperti kayu, arang, kertas, tekstil, plastik dan sejenisnya
A Bahan padat kecuali logam, seperti kayu, arang, kertas, tekstil, plastik dan sejenisnya
B Bahan cair dan gas, seperti bensin, solar, minyak tanah, aspal, gemuk alkohol gas alam, gas
LPG dan sejenisnya
B Bahan cair, seperti bensin, solar, minyak tanah dan sejenisnya
C Peralatan listrik yang bertegangan
C Bahan gas, seperti gas alam, gas LPG
D Bahan logam, seperti Magnesium, aluminium, kalsiun dan lain – lain D Bahan logam, seperti
magnesium, aluminium, kalsium dan lain – lain
E - E Peralatan listrik yang bertegangan
Sumber : Departemen tenaga kerja dan transmigrasi RI, 2001
Sedangkan Indonesia menganut klasifikasi yang ditetapkan dalam Peraturan menteri tenaga kerja
dan Transmigrasi No.Per.04/MEN/1980 yang pembagiannya adalah sebagai berikut :
a. Kelas A : Bahan padat selain logam yang kebanyakan tidak dapat terbakar dengan sendirinya,
kebakaran kelas A ini akibat panas yang datang dari luar, molekul – molekul benda padat terurai
dan membentuk gas dan gas lainlah yang terbakar, hal kebakaran ini menimbulkan panas dan

selanjutnya mengurai lebih banyak molekul –molekul dan menimbulkan gas akan terbakar.
Sifat utama dari kebakaran benda padat adalah bahan bakarnya tidak mengalir dan sanggup
menyimpan panas yang banyak sekali dalam bentuk bara.
b. Kelas B : Seperti bahan cairan dan gas tak dapat terbakar dengan sendirinya diatas cairan pada
umunya terdapat gas, dan gas ini yang dapat terbakar. Pada bahan bakar cair ini suatu bunga api
kecil sanggup mencetuskan api yang akan meninbulkan kebakaran. Sifat cairan ini adalah mudah
mengalir dan menyalakan api ketempat lain.
c. Kelas C : Kebanyakkan pada peralatan listrik yang bertegangan, yang mana sebenarnya kelas
C ini tidak lain kebakaran kelas A dan kelas B atau kombinasi dimana ada aliran listrik.
Kelas C perlu diperhatikan dalam memilih jenis media pemadam yaitu tidak menghantar listrik
untuk melindungi orang yang memadamkan kebakaran dari aliran listrik.
d. Kelas D : Kebakaran logam seperti magnesium, titanium, uranium, sodium. Lithium, dan
potassium. Pada kebakaran jenis ini perlu dengan alat atau media khusus untuk
memadamkannya.
2.1.5 Aspek bahaya dan akibat dari kebakaran
Peristiwa kebakaran adalah kejadian yang sangat merugikan bagi manusia secara individual,
kelompok sosial, maupun negara. Secara keseluruhan kerugian dapat berupa korban manusia,
kerugian harta benda ekonomi maupun dampak sosial. (Depertemen Tenaga Kerja, 1997).
Peristiwa kebakaran yang terjadi dapat menimbulkan beberapa bahaya, antara lain :
1. Bahaya radiasi panas
Pada saat terjadi kebakaran, panas yang ditimbulkannya merambat dengan cara radiasi, sehingga
benda – benda sekelilingnya menjadi panas, akibatnya benda tersebut akan menyala jika titik
nyalanya terlampaui. Untuk menghindari hal tersebut, upaya pendinginan harus dilakukan saat
proses pemadaman.
2. Bahaya ledakan
Bahaya ledakan dapat terjadi saat kebakaran, diantara bahan yang terbakar dan mudah meledak,
misalnya terdapat tabung gas bertekanan. Pada saat pemadaman, harus diupayakan agar selalu
waspada akan bahaya ledakan yang mungkin terjadi.
3. Bahaya asap
Suatu peritiwa kebakaran akan selalu menimbulkan asap yang ketebalannya tergantung dari jenis
bahan yang terbakar dan temperatur kebakaran tersebut.
Adapun bahaya akibat asap antara lain :
a. Pada suatu ruangan tertutup, ketebalan asap akan mengganggu pandangan yang berakibat
kehilangan arah saat penyelamatan diri dan tertutupnya tanda arah keluar sehingga orang tersebut
terjebak dalam kebakaran.
b. Keberadaan asap akan mengurangi konsentrasi, oksigen diudara, sehingga akan mengganggu
pernapasan.
4. Bahaya gas
Adanya gas berbahaya dan beracun sebagai produk pembakaran, bahan kimia, atau bahan
lainnya harus diwaspadai. Gas tersebut dapat menyebabkan iritasi, sesak napas, bahkan
menimbulkan racun yang mematikan sebagaimana dinyatakan oleh Colling (1990) bahwa “Gas
beracun yang biasanya dihasilkan oleh proses kebakaran yaitu HCN, NO₂, NH₃, HCl, dan lain –
lain. Gas beracun tersebut dapat meracuni paru – paru dan menyebabkan iritasi pada saluran
pernapasan dan mata. Sedangkan gas lain yang beracun, seperti CO₂ dan H₂S dapat mengurangi

kadar oksigen diudara. Pada keadaan normal, kadar oksigen diudara sekitar 21 %, kadar oksigen
diudara akan berkurang pada saat terjadi kebakaran karena oksigen diudara kurang dari 16 %,
orang akan lemas dan tidak dapat mengenali bahaya yang ada disekitarnya. Sedangkan pada
kadar 12 % orang tidak akan bertahan hidup.
(Dalam Skripsi Muhammad Asep Ramdan, 2000)
2.2 Penanggulangan Kebakaran
Penanggulangan kebakaran adalah segala daya upaya untuk mencegah dan memberantas
kebakaran (Departemen Tenaga Kerja, Training Material K3 Bidang Penanggulangan
Kebakaran : 1997 : 4).
2.1.1 Pencegahan Kebakaran
Pencegahan kebakaran adalah usaha – usaha untuk memutuskan rangkaian unsur penyebab
timbulnya api yang tidak dikehendaki yang dilakukan secara terencana sejak pra kondisi dan
terus menerus (Departemen Tenaga Kerja, Training Meterial K3 Bidang Penanggulangan
Kebakaran : 1997 : 4).
2.2.2 Rencana Tindakan Darurat Kebakaran
Rencana tindakan darurat kebakaran adalah menetapkan metode tindakan keselamatan yang
sistematis dan perintah evakuasi bila terjadi kebakaran. (Dinas Kebakaran DKI Jakarta,
Penanggulangan Bahaya Kebakaran pada bangunan : 2002 :16).
Rencana tindak darurat kebakaran antara lain :
1. Pembentukan tim pemadam kebakaran.
2. Pembentukan tim evakuasi.
3. Pembentukan tim P3K.
4. Penentuan satuan pengamanan.
5. Penentuan tempat berhimpun.
6. Penyelamatan orang yang perlu dibantu (orang tua, orang sakit, orang cacat dan anak – anak).
Rencana tindak darurat ini berlaku pada saat kondisi darurat kebakaran.
2.2.3 Pemadaman Kebakaran
Menurut Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI (2000:10), mengatakan bahwa
memadamkan kebakaran adalah suatu teknik menghentikan reaksi pembakaran atau nyala api.
2.2.3.1 Teknik Pemadaman Kebakaran
Memadamkan kebakaran dapat dilakukan dengan prinsip menghilangkan salah satu atau
beberapa unsur dalam proses nyala api (Departemen Tenaga Kerja, Training Material K3 Bidang
Penanggulangan Kebakaran : 1997 : 17), beberapa cara memadamkan api yaitu :
A. Pendinginan (cooling)
B. Penyalimutan (smothering)
C. Memutuskan reaksi api

D. Melemahkan (dilution)
Sedangkan menurut Departemen Tenaga Kerja dalam bukunya Training Material K3 Bidang
Penanggulangan Kebakaran (1997:17), mengemukakan teori pemadaman api dengan beberapa
cara sebagai berikut :
A. Salah satu cara yang umum untuk memadamkan kebakaran adalah dengan cara
pendinginan/menurunkan temperatur bahan bakar sampai tidak dapat menimbulkan uap atau gas
untuk pembakaran. Salah satu bahan yang efektif terbaik menyerap panas adalah Air.
Pendinginan permukaan biasanya tidak efektif pada produk gas dan cairan yang mudah terbakar
dan memiliki flash point dibawah suhu air yang dipakai untuk pemadaman. Oleh karena itu
media air tidak dianjurkan untuk memadamkan kebakaran dari bahan cairan mudah terbakar
dengan flash point di bawah 100⁰F atau 37⁰C.
Semprotan air dapat mendinginkan kebakaran jika :
1. Kecepatan pemindahan panas sebanding dengan luas permukaan cairan yang terpapar oleh api.
2. Kecepatan pemindahan panas tergantung pada perbedaan suhu antara air dengan udara
sekitarnya atau benda terbakar.
3. Kecepatan pemindahan panas yang juga tergantung pada kandungan uap dalam udara,
khususnya dalam penjalaran api.
4. Kapasitas penyebaran panas dari air tergantung pada jarak yang ditempuh oleh air dan
kecepatannya dalam daerah pembakaran.
B. Pendinginan dengan menggunakan oksigen (smothering)
Dengan membatasi/mengurangi oksigen dalam proses pembakaran api akan dapat padam.
Pemadaman kebakaran dengan cara ini dapat lebih cepat apabila uap yang terbentuk dapat
terkumpul di dalam daerah yang terbakar, dan proses penyerapan panas oleh uap akan berakhir
apabila uap tersebut mulai mengembun, dimana dalam proses pengembunan ini akan dilepasnya
sejumlah panas.
C. Pengembalian atau pemindahan bahan bakar
Pemindahan bahan bakar unutk memadamkan api lebih efektif akan tetapi tidak selalu dapat
dilakukan untuk prakteknya mungkin sulit, sebagai contoh pemindahan bahan bakar yaitu
dengan memompa minyak ketempat lain dan memindahkan bahan – bahan yang mudah terbakar.
Cara lain adalah dengan menyiramkan bahan bakar yang terbakar tersebut dengan air atau
dengan membuat busa yang dapat menghentikan/memisahkan minyak dengan daerah
pembakaran.
D. Pemutusan rantai reaksi api
Cara ini menggunakan bahan kimia yang bernama Halon, bereaksi untuk memisahkan jenis
kimia aktif pada reaksi nyala api (prosesnya diketahui chain breaking).
Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi berhasil tidaknya usaha pemadaman :
1. Pengaruh angin
Kekuatan angin dan arah hembusannya dapat dipakai sebagai pedoman dalam menentukan arah
menjalarnya api. Dan usaha pemadaman tidak dibenarkan melawan arah angin. Hal ini dapat
berbahaya, pertama karena akan terhalang oleh asap, dan yang kedua dapat menjadi korban
jilitan api.
Oleh karena itu pemadaman harus dilakukan searah dengan angin, atau dari samping sebelah
kanan kirinya.
2. Warna asap
Benda – benda yang terbakar kadang – kadang tidak dapat dikenali karena terhalang oleh asap

tebal yang ditimbulkan. Namun dengan melihat warna asapnya, dapat diperkirakan jenis benda
yang terbakar. Misalnya :
a. Warna asap hitam dan tebal, maka kemungkinan bendanya Aspal, karet, plastik, minyak, atau
benda – benda lain yang mengandung minyak.
b. Bila warna asap coklat kekuning – kuningan, kemungkinan benda yang terbakar adalah Film,
bahan film, dan benda – benda lain yang mengandung asam sulfat.
c. Sedangkan bila warna asapnya putih kebiru – biruan, biasanya berasal dari benda – benda
yang mengandung phosphor.
Di samping warna asap, bau dari asap juga dapat dipakai sebagai pedoman untuk mengenal
benda yang terbakar. Setelah itu baru dapat ditentukan sistem dan alat – alat pemadamnya yang
tepat serta tindakan – tindakan lain yang mungkin diperlukan.
3. Lokasi kebakaran
Usaha pemadaman harus memperhatikan lokasinya, apakah kebakaran yang terjadi terletak di
rumah yang saling berdekatan atau dipusat pertokoan. Untuk tidak meluasnya kebakaran harus
diusahakan untuk memadamkan sumber apinya terlebih dahulu agar tidak menjalar, dan diusahan
agar kerugian harta benda dapat ditekan sekecil mungkin.
4. Bahaya lain yang mungkin terjadi
Setiap usaha pemadaman kebakaran harus tetap memperhatikan faktor – faktor keselamatan.
Baik keselamatan petugas pemadam maupun keselamatan korban. Terutama anak – anak, wanita,
atau lansia. Bila terdapat korban yang terkurung bahaya api harus segera ditolong misalnya
dengan cara merusak dinding ruangan, merusak langit – langit, dan sebagainya. Oleh karena itu
peralatan berupa kampak, linggis, perlu disiapkan sebelumnya.
Dan harus memperhitungkan juga bahaya – bahaya lain yang dapat menimbulkan jatuh korban.
2.2.3.2 Jenis Media Pemadaman Kebakaran
Menurut Depnaker dalam bukunya Training Material K3 Bidang Penanggulangan Kebakaran,
adalah Dalam mengenal berbagai jenis media pemadam kebakaran dimaksudkan agar dapat
menentukan jenis media yang tepat, sehingga dapat memadamkan kebakaran secara efektif,
efisien, dan aman. Dari bentuk fisiknya media pemadam kebakaran ada 5 jenis yaitu :
1. Air
2. Busa
3. Serbuk kimia kering
4. Kabon dioksida (CO₂)
5. Halon
Dalam media pemadaman kebakaran mempunyai beberapa jenis atau karakteristik dalam
memadamkan api, dan juga mempunyai keunggulan untuk klas tertentu dan mungkin dapat
berbahaya untuk beberapa jenis kebakaran.
1. Air
Air digunakan sebagai media pemadam kebakaran yang cocok atau tepat untuk memadamkan
kebakaran bahan padat (klas A) karena dapat menembus sampai bagian dalam.
Bahan pada yang cocok dipadamkan dengan menggunakan air adalah seperti :
• Kayu
• Arang
• Kertas

• Tekstil
• Plastik dan sejenisnya.
2. Busa
Jenis media pamadam kebakaran, busa adalah salah satu media yang dapat digunakan untuk
memadamkan api. Ada 2 (dua) macam busa yang berfungsi untuk memadamkan kebakaran yaitu
busa kimia dan busa mekanik.
Busa kimia dibuat dari gelembung yang mengandung zat arang dan carbon dioksida, sedangkan
busa mekanik dibuat dari campuaran zat arang dengan udara. Busa dapat memadamkan
kebakaran melalui kombinasi tiga aksi pemadaman yaitu :
- Menutupi yaitu membuat selimut busa diatas bahan yang terbakar, sehingga kontak dengan
oksigen (udara) terputus.
- Melemahkan yaitu mencegah penguapan cairan yang mudah terbakar.
- Mendinginkan yaitu menyerap kalori cairan yang mudah terbakar sehingga suhunya menurun.
3. Serbuk kimia kering
Daya pemadam dari serbuk kimia kering ini bergantung pada jumlah serbuk yang dapat
menutupi permukaan yang terbakar. Makin halus butir – butir serbuk kimia kering makin luas
permukaan yang dapat ditutupi.
Adapun butiran bahan kimia kering yang sering digunakan adalah Ammonium hydro phospat
yang cocok digunakan untuk memadamkan kebakaran klas A, B dan C. Cara kerja serbuk kimia
kering ini adalah secara fisik dan kimia.
4. Carbon dioksida (CO₂)
Media pemadam api CO₂ didalam tabung harus dalam keadaan fase cair bertekanan tinggi.
Prinsip kerja gas CO₂ dalam memadamkan api ialah reaksi dengan oxygen (O₂) sehingga
konsentarsi didalam udara berkurang, sehingga api akan padam hal ini disebut pemadaman
dengan cara menutup.
Namun CO₂ juga mempunyai kelemahan ialah bahwa media pemadam tersebut tidak dapat
dicegah terjadinya kebakaran kembali setelah api padam (reignitasi). Hal ini disebabkan CO₂
tersebut tidak dapat mengikat oxygen (O₂) secara terus menerus tetapi hanya mengikat O₂
sebanding dengan jumlah CO₂ yang tersedia sedang supply oxygen disekitar tempat kebakaran
terus berlangsung.
5. Halon
Pada saat terjadi kebakaran apabila digunakan halon untuk memadamkan api maka seluruh
penghuni harus meninggalkan ruangan kecuali bagi yang sudah mengetahui betul cara
penggunaannya. Jika gas halon terkena panas api kebakaran pada suhu sekitar 485⁰C maka akan
mengalami penguraian, dan zat – zat yang dihasilkan akan mengikat unsur hydrogen dan oxygen.
Jika penguraian tersebut terjadi dapat menghasilkan beberapa unsur baru dan zat baru tersebut
beracun dan cukup membahayakan terhadap manusia.
2.3 Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (MK3) merupakan bagian dari manajemen secara
keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, prosedur, proses dan sumber daya
manusia yang dibutuhkan bagi pengembangan, penerapan dan pemeliharaan kebijakan K3 dalam
rangka pengendalian resiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja
yang aman, efisien dan produktif.

Tujuan penerapan manajemen K3 adalah untuk menciptakan suatu sistem K3 di tempat kerja
dengan melibatkan unsur manajemen, tenaga kerja, kondisi dan lingkungan kerja yang
berintegrasi dalam rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta
menciptakan tempat kerja terhadap kebakaran, peledakan dan kerusakan yang pada akhirnya
akan melindungi investasi yang ada.
2.4 Manajemen Penanggulangan Kebakaran
Manajemen Penanggulangan Bahaya Kebakaran adalah suatu sistem penataan dini dalam rangka
mencegah dan mengendalikan bahaya kebakaran sehingga kerugian berupa meterial dan jiwa
manusia dapat dicegah atau diminimalkan, yang diwujudkan baik berupa kebijakan dan prosedur
yang dikeluarkan perusahaan, seperti inspeksi peralatan, pemberian pendidikan dan pelatihan
bagi penghuni/pekerja, penyusunan rencana tindakan darurat kebakaran, maupun penyediaan
sarana pemadam kebakaran. (Dalam Skripsi Muhammad Asep Ramdan, 2000)
2.4.1 Program Penanggulangan Kebakaran
Program penanggulangan kebakaran adalah segala upaya yang dilakukan untuk mencegah atau
memberantas kebakaran. (Depertemen Tenaga Kerja, Training Material K3 Bidang
Penanggulangan Kebakaran, 1997). Tindakan untuk menanggulangi kebakaran antara lain :
a. Mengendalikan setiap perwujudan energi panas, seperti listrik, rokok, gesekan mekanik, api
terbuka, sambaran petir, reaksi kimia dan lain-lain.
b. Mengendalikan keamanan setiap penanganan dan penyimpanan bahan yang mudah terbakar.
c. Mengatur kompartemenisasi ruangan untuk mengendalikan penyebaran/penjalaran api, panas,
asap dan gas.
d. Mengatur lay out proses, letak jarak antar bangunan, pembagian zone menurut jenis dan
tingkat bahaya.
e. Menerapakan sistim deteksi dini dan alarm.
f. Menyediakan sarana pemadam kebakaran yang handal.
g. Menyediakan sarana evakuasi yang aman.
h. Membentuk regu atau petugas penanggulangan kebakaran.
i. Melaksanakan latihan penanggulangan kebakaran.
j. Mengadakan inspeksi, pengujian, Perawatan terhadap sistem proteksi kebakaran secara teratur.
2.4.2 Pembentukkan petugas penanggulangan kebakaran
Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No. 186 tahun 1999 tentang unit penanggulangan
kebakaran ditempat kerja dalam pasal 5 meyebutkan bahwa unit penanggulangan kebakaran
terdiri dari : Petugas peran kebakaran, regu penanggulangan kebakaran, koordinator unit
penanggulangan kebakaran dan ahli K3 spesialis penanggulangan kebakaran sebagai
penanggung jawab teknis.
2.4.3 Pendidikan dan Pelatihan Penanggulangan Kebakaran
Tujuan dari latihan evakuasi untuk menetapkan suatu prosedur untuk bertindak bila terjadi
kebakaran dan untuk mengembangkan kebiasaan para karyawan terhadap situasi api pada masa

yang akan datang.
Adapun frekuensi latihan dan pendidikan evakuasi untuk setiap perusahaan akan selalu
tergantung kepada berat ringan bahaya kebakaran dari masing – masing perusahaan.
Pada umumnya latihan dilakukan sebagai berikut :
a. Bahaya kebakaran ringan : 1 – 2 kali / tahun
b. Bahaya kebakaran sedang : 3 – 4 kali / tahun
c. Bahaya kebakaran berat : 6 – 8 kali / tahun
Untuk melaksanakan latihan dengan baik dan efektif instruksi yang diberikan kepada para
peserta latihan harus memenuhi syarat :
a. Benar, jelas dan singkat
b. Bahasa sederhana dan dapat dilaksanakan
c. Tidak menimbulkan keragu – raguan
2.4.4 Inspeksi sarana penanggulangan kebakaran
Untuk mengetahui kelayakan sarana penanggualangan kebakaran yang ada, baik peralatan
pendeteksi, pemadam, evakuasi dan sarana penunjang kebakaran lainnya, maka perlu diadakan
pemeriksaan secara berkala.
Kegiatan pemeriksaan dan pemeliharaan ini merupakan unsur penting guna menjamin segi
keandalan peralatan proteksi bila terjadi kebakaran. Pemeriksaan yang disertai pengetesan,
pemeliharaan dan pemeriksaan terhadap :
a. Sistem deteksi dan alarm kebakaran
b. Sistem sprinkler otomatis
c. Sistem hydrant
d. Sitem pemadaman api
e. Dan lain – lain
2.4.5 Perencanaan Keadaan Darurat kebakaran
Keadaan darurat kebakaran adalah situasi dalam kejadian kebakaran pada suatu bangunan yang
terbakar, semua orang yang merasa terancam dalam bahaya dan ingin menyelamatkan diri
masing – masing. Dalam mengatasi situasi tersebut harus melakukan latihan yang berulang –
ulang dan mengikuti skenario yang baku. (Dalam Skripsi Sangnur Septa, 2007).
Sistem tanggap darurat penanggulangan kebakaran tertuang dalam buku panduan yang berisikan
siapa dan berbuat apa. Penyusunan rencana tindakan keadaan darurat harus dikerjakan oleh tim
yang melibatkan semua unsur manajemen.
Tahap perencanaan darurat keadaan darurat, adalah sebagai berikut :
1) Identifikasi bahaya dan penafsiran risiko
2) Penakaran sumber daya yang dimiliki
3) Tinjauan ulang rencana yang telah ada
4) Tentukan tujuan dan lingkup
5) Pilih tipe perencanaan yang akan dibuat
6) Tentukan tugas – tugas dan tanggung jawab
7) Tentukan konsep operasi
Tulis dan perbaiki

2.4.6 Sarana penanggulangan kebakaran
Sarana penanggulangan kebakaran yaitu berupa alat atau sarana yang dipersiapkan untuk
mendeteksi, mengendalikan dan memadamkan kebakaran. Seperti : sistem deteksi dan alarm,
APAR, hydrant, sprinkler, sarana emergency dan evakuasi.
2.4.6.1 Sistem deteksi dan alarm kebakaran
Dalam strategi menghadapi bahaya kebakaran yang pertama adalah perlu adanya sistem
pendeteksian dini, sistem tanda bahaya serta sistem komunikasi darurat. Agar api bisa lebih
mudah dikendalikan atau dipadamkan.
A. Deteksi kebakaran
Deteksi adalah alat yang berfungsi mendeteksi secara dini adanya suatu kebakaran awal yang
terdiri dari :
1. Detektor Asap (Smoke Detector)
2. Detektor Panas (Heat Detector)
3. Detektor Nyala Api (Flame Detector)
4. Detektor Gas (Gas Detector)
1. Detektor Asap (Smoke Detector) adalah detektor yang bekerjanya berdasarkan terjadinya
akumulasi asap dalam jumlah tertentu. Ada dua tipe detektor asap :
a. Detektor Asap optik, digunakan untuk mendeteksi pada kebakaran yang menghasilkan asap
tebal seperti pada kebakaran PVC.
b. Detektor Asap ionisasi, digunakan untuk mendeteksi asap kebakaran yang terdiri dari partikel
kecil yang biasa terjadi pada kebakaran yang sempurna.
Menurut Departemen Tenaga Kerja dalam Training Material K3 Bidang Penanggulangan
Kebakaran :1997. Penempatan dan pemasangan detektor asap harus memenuhi syarat – syarat
berikut :
- Penempatan detektor asap harus sesuai dengan fungsi ruangan.
- Detektor asap tidak boleh dipasang pada jarak kurang dari 10 cm dari dinding dan tidak boleh
lebih dari 30 cm dari langit – langit.
- Detektor asap sebisa mungkin dipasang dekat dengan bahan yang akan diproteksi.
- Detektor asap tidak boleh dipasang dalam jarak kurang dari 1,5 m dari lubang AC.
- Dalam hal adanya lubang udara masuk AC, maka detektor asap harus dipasang pada daerah
dekat lubang udara balik pada jarak kurang dari 1,5 m.
- Detektor asap tidak boleh dipasang pada ruangan yang mempunyai temperatur ruang lebih dari
dari 38⁰C atau dibawah 0⁰C, kecuali untuk detektor asap yang mempunyai spesifikasi temperatur
kerja khusus.
- Jarak detektor asap yang terjauh dari dinding pemisah adalah 6 m dalam ruang efektif dan 12 m
dalam rauang sirkulasi.
- Pada setiap luas lantai 92 m² dengan tinggi langit – langit 3 m, harus dipasang sebuah alat
detektor.
- Jarak antar detektor asap maksimum 12 m didalam ruang efektif dan 18 m didalam ruang
sirkulasi.
- Setiap kelompok atau zona detektor harus dibatasi maksimum 20 buah detektor asap yang dapat
melindungi ruangan 1000 m² luas lantai.

Pemasangan detektor asap harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1) Berkas sinar yang membentuk bagian suatu sistem dari detektor asap jenis optik harus
dilindungi terhadap kemungkinan timbulnya alarm palsu.
2) Elemen peka cahaya detektor jenis optik harus ditempatkan sedemikian rupa atau diberi
perisai sehingga bila ada sinar dari manapun berpengaruh terhadap bekerjanya detektor.
2. Detektor Panas (Heat Detector) adalah detektor yang bekerjanya berdasarkan pengaruh panas
(temperatur) tertentu. Ada tiga tipe detektor panas yaitu :
a. Detektor bertemperatur tetap yang bekerja pada suatu batas panas tertentu (Fixed temperature)
b. Detektor yang bekerja berdasarkan kecepatan naiknya tempetatur (Rate of rise).
c. Detektor kombinasi yang bekerja berdasarakan kenaikan temperatur dan batas temperatur
maksimum ditetapkan.
Menurut Departemen Tenaga Kerja dalam Training Material K3 Bidang Penanggulangan
Kebakaran : 1997. Penempatan dan pemasangan detektor panas harus memenuhi syarat – syarat
berikut :
- Detektor panas harus dipilih sesuai dengan temperatur kerjanya, dapat dilihat pada tabel 2.3
TABEL 2.3
KLASIFIKASI DETEKTOR BERDASARKAN TEMPERATUR KERJANYA
KLASIFIKASI TEMPERATUR DAERAH TEMPERATUR KERJA (⁰C) TEMPERATUR
LANGIT – LANGIT WARNA
Rendah 38 – 57 Dibawah 0 Tak berwarna
Biasa 58 – 78 38 Putih
Sedang 79 – 120 65 Biru
Tinggi 121 – 162 197 Merah
Sumber : Departemen Tenaga Kerja dalam Training Material K3 Bidang Penanggulangan
Kebakaran, 1997.
- Penempatan detektor panas harus sesuai dengan fungsi ruangan.
- Pada atap atau langit – langit yang datar, penempatan detektor tidak boleh kurang dari 30 cm
dari dinding dan tidak boleh lebih dari 30 cm dari langit – langit.
- Jarak antara detektor harus sesuai dengan tinggi langit – langit.
- Detektor tidak boleh dipasang dalam jarak kurang dari 1,5 m dari lubang – lubang udara masuk
(difluser) AC.
- Dalam hal adanya saluran udara AC , detektor panas harus dipasang pada daerah lubang udara
balik (Return air grill) pada jarak kurang dari 1,5 m.
- Pada satu kelompok detektor, tidak boleh dipasang lebih dari 40 buah detektor panas.
- Untuk setiap ruangan dengan luas 46 m² dan tinggi langit-langit 3 m harus dipasang satu alat
detektor panas.
- Jarak antara detektor panas tidak boleh lebih dari 7 m untuk jarak ruangan efektif dan tidak
boleh lebih dari 10 m untuk ruang sirkulasi.
- Jarak detektor panas dengan dinding pembatas paling jauh 3 m pada ruangan efektif dan 6 m
pada ruang sirkulasi serta paling dekat 30 cm dari dinding pembatas.
- Dipuncak lekukan langit – langit, pada ruangan tersembunyi harus dipasang sebuah detektor
panas untuk setiap jarak memasang 9 m.

3. Detektor nyala api (Flame Detector) adalah detektor yang bekerjanya berdasarkan radiasi
nyala api. Ada dua tipe detektor nyala api yaitu :
a. Detektor nyala api ultra violet
b. Detektor nyala api infra merah
Menurut Departemen Tenaga Kerja dalam Training Material K3 Bidang Penanggulangan
Kebakaran, 1997. Penempatan dan pemasangan detektor nyala api harus memenuhi syarat,
yaitu :
- Penempatan detektor harus sesuai dengan fungsi ruangan.
- Setiap kelompok atau setiap zona detektor harus dibatasi maksimum 20 buah detektor nyala api
yang dapat melindungi ruangan dengan luas maksimum 1000 m².
- Pada pemasangan detektor diluar ruangan (udara terbuka) maka spesifikasi detektor nyala api
harus sesuai dengan maksud diatas dan terbuat dari bahan tahan karat, tahan pengaruh angin,
lembab, cuaca dan getaran.
- Pada pemasangan detektor nyala api untuk daerah yang sering mengalami gangguan sembaran
petir, detektor tersebut harus dilindungi supaya tidak terjadi kemungkinan timbulnya alarm palsu.
- Detektor harus direncanakan dan dipasang cukup menjamin dapat mendeteksi daerah
kebakaran spesifik yang akan diproteksi.
- Detektor tidak boleh dipasang terhalang oleh sesuatu pada daerah yang akan diproteksi.
- Detektor harus dilindungi terhadap gangguan sinar yang tidak di kendaki (yang mungkin
menyebabkan alarm palsu).
4. Detektor Gas (Gas Detector) adalah detektor yang bekerjanya berdasarkan kenaikan
konsentarsi gas yang timbul akibat kebakaran ataupun gas lain yang mudah terbakar.
Menurut Departemen Tenaga Kerja dalam Training Material K3 Bidang Penanggulangan
Kebakaran, 1997. Penempatan dan pemasangan detektor gas harus memenuhi syarat – syarat
berikut :
- Detektor gas harus biasa mendeteksi satu atau lebih gas yang dihasilkan oleh suatu kebakaran.
- Detektor gas harus mampu juga mendeteksi gas yang mudah terbakar.
- Penempatan detektor harus sesuai dengan fungsi ruangan.
- Penempatan dan jarak pemasangan detektor gas harus disesuaikan dengan bentuk dan
permukaan langit – langit, tinggi langit – langit, dipasang sesuai dengan kemungkinan adanya
sumber bahaya, sistem ventilasi.
- Penempatan pada atap yang datar detektor gas tidak boleh dipasang kurang dari 10 cm terhadap
dinding dan jarak dari langit – langit tidak boleh lebih dari 50 cm.
- Pada setiap luas 92 m² dengan tinggi langit – langit 3 m² harus dipasang sekurang – kurangnya
1 buah detektor gas.
- Jarak antara detektor gas maksimum 12 m.
- Jumlah detektor untuk setiap zona harus dibatasi maksimum 20 buah alat detektor gas.
- Dalam hal adanya saluran udara AC, maka detektor gas harus dipasang pada dekat lubang udara
balik kurang dari 1,5 m.
- Detektor gas tidak boleh dipasang pada ruangan yang mempunyai temperatur lebih dari 38⁰C
atau dibawah 0⁰C, kecuali untuk detektor gas yang mempunyai spesifikasi temperatur yang
sesuai.
- Untuk gas yang lebih berat dari udara, jarak maksimum secara mendatar adalah 4 m dari
kemungkinan timbulnya kebocoran gas, dan tinggi maksimum dari lantai adalah 30 cm.

TABEL 2.4
PEMILIHAN JENIS DETEKTOR SESUAI FUNGSI RUANGAN
BT-1 KNT KOMBINASI
ASAP
NYALA API
GAS
(FIXED TEMPERATURE) ROR KOMBINASI FIXED TEMP & ROR
- Dapur - Ruang Penjamuan
- Garasi mobil
- Ruang sidang
- Kamar tidur
- Ruang Generator & transformator
- Laboratorium kimia
- Studio televisi - Ruang peralatan kontrol bangunan
- Ruang resepsi
- Ruang tamu
- Ruang mesin
- Ruang lift
- Ruang pompa
- Ruang AC
- Tangga
- Koridor
- Lobby
- Aula
- Shaft
- Perpustakaan
- R. PABX
- Gudang - Gudang material yang mudah terbakar
- Ruang kontrol instalasi peralatan vital gas yang ada - Ruang transformator / diesel
- Ruang yang berisi bahan yang mudah menimbulkan gas yang mudah terbakar
Sumber : Departemen Tenaga Kerja, 1997
Keterangan :
1. BT : Detektor bertemperatur tetap.
2. KNT : Detektor berdasarkan kecepatan naiknya temperatur
3. ROR etektor kombinasi berdasarkan kenaikan temperatur dan batas maksimum yang
ditetapkan (rate of rise detector).
B. Alarm Kebakaran
Alarm kabakaran adalah komponen dari sistem yang memberikan isyarat atau tanda adanya suatu
kebakaran yang dapat berupa :
a. Alarm kebakaran yang memberikan tanda / isyarat berupa bunyi khusus (Audible Alarm).
b. Alarm kebakaran yang memberikan tanda / isyarat yang tertangkap oleh pandangan mata
secara jelas (Visible Alarm).

2.4.6.2 Alat pemadam kebakaran
A. Alat Pemadam Kabakaran Api Ringan ( APAR)
APAR adalah alat yang ringan serta mudah dilayani oleh satu orang untuk memadamkan api
pada mula terjadi kebakaran.
Tipe konstruksi APAR adalah :
1) Tipe tabung gas (Gas Container Type), ialah :
Suatu pemadaman yang bahan pemadamnya didorong keluar oleh gas bertekanan yang dilepas
dari tabung gas.
2) Tipe tabung bertekanan tetap (Stored Preasure Type), ialah :
Suatu pemadamanya didorong keluar oleh gas kering tanpa bahan kimia aktif atau udara kering
yang disimpan bersama dengan tepung pemadamnya dalam keadaan bertekanan.
Syarat penempatan APAR yang memenuhi syarat adalah sebagai berikut :
• Ditempatkan ditempat yang mudah terlihat, dijangkau dan mudah diambil (tidak diikat, dikunci
atau digembok).
• Setiap jarak 15 m dengan tinggi pemasangan maksimum 125cm.
• Memperhatikan jenis media dan ukurannya harus sesuai dengan klasifikasi beban api.
• Dilakukan pemeriksaan secara berkala.
B. Hydrant
Menurut Departemen Tenaga Kerja dalam bukunya yang berjudul Training Material K3 Bidang
Penanggulangan Kebakaran (1996) Hydrant adalah suatu sistem pemadam kebakaran tetap yang
menggunakan media pemadaman air bertekanan yang dialirkan melalui pipa – pipa dan selang
kebakaran. Sistem ini terdiri dari system persediaan air, pompa, perpipaan, kopling outlet dan
inlet serta slang dan nozzle.
Persyaratan umum penempatan Hydrant adalah sebagai berikut :
1. Letak kotak dan pilar hydrant mudah dilihat, mudah dicapai, tidak terhalang dan harus bercat
merah dengan tulisan “Hydrant” berwarna putih.
2. Kotak hydrant mudah dibuka.
3. Panjang maksimal slang 30 cm dan dalam keadaan baik yaitu tidak membelit bila ditarik.
4. Pipa pemancar (nozzle) terpasang pada slang.
C. Sprinkler
Adalah alat yang bekerja otomatis memancarkan air kesegala arah untuk memadamkan
kebakaran dalam suatu ruangan.
Dan sumber lain menyebutkan bahwa Sprinkler adalah instalasi pemadam kebakaran yang
dipasang secara permanen untuk melindungi bangunan dari bahaya kebakaran yang akan bekerja
secara otomatik memancarkan air, apabila alat tersebut terkena panas pada temperatur tertentu.
2.4.6.3 Sarana penyelamat jiwa
Upaya penyelamatan jiwa (evakuasi) saat terjadi kebakaran dalam gedung atau bangunan
industri dapat berjalan lancar, suatu bangunan dan gedung harus mempunyai beberapa hal
sebagai berikut :
A. Rute evakuasi
Adalah sarana penyelamatan dari daerah kebakaran ketempat aman atau daerah yang aman, baik

secara vertikal maupun horizontal, yang dapat berupa pintu, tangga, koridor, jalan keluar atau
kombinasi dari komponen – komponen tersebut.
Ada tiga (3) tipe rute penyelamat diri yang dapat digunakan untuk melarikan diri dari bahaya
kebakaran yaitu :
- Langsung menuju tempat terbuka
- Melalui koridor atau gang
- Melalui terowongan atau tangga kedap asap / api.
Syarat – syarat rute evakuasi, yaitu :
- Rute evakuasi harus bebas dari barang – barang yang dapat mengganggu kelancaran evakuasi
dan mudah dicapai.
- Koridor, terowongan, tangga harus merupakan daerah aman sementara dari bahaya api, asap
dan gas. Dalam penempatan pintu keluar darurat harus diatur sedemikian rupa sehingga dimana
saja penghuni dapat ,menjangkau pintu keluar (exit).
- Koridor dan jalan keluar harus tidak licin, bebas hambatan dan mempunyai lebar : untuk
koridor minimum 1,2 m dan untuk jalan keluar 2 m.
- Rute penerangan harus diberi penerangan yang cukup dan tidak tergantung dari sumber utama.
- Arah menuju exit harus dipasang petunjuk yang jelas.
- Pintu keluar darurat (emergency exit) harus diberi tanda tulisan,
PINTU DARURAT
EMERGENCY EXIT
Warna tulisan hijau diatas dasar putih tembus cahaya dan dubagian belakang tanda tersebut
dipasang dua buah lampu pijar yang selalu menyala.
B. Pintu darurat
Adalah alat bantu yang digunakan untuk keluar dan menyelamatkan jiwa menuju tempat yang
aman.
C. Tempat berhimpun
Adalah tempat yang aman untuk berkumpul dan menghindar dari bahaya kebakaran, atau tempat
berkumpul pengungsi ataupun untuk barang/dokumen penting, yang aman dan bebas dari
pengaruh kebakaran. Dan tempat ini harus lebih dari satu dan setiap berkumpul harus diberi
tanda yang jelas.
2.5 Petugas tim penanggulangan kebakaran
Regu / tim penanggulangan kebakaran adalah satuan tugas yang mempunyai tugas khusus
fungsional dibidang penanggulangan kebakaran.
2.5.1 Usia
Kemampuan perkembangan manusia berfikir abstrak dan dapat menganalisa masalah masalah
secara ilmiah dan kemudian menyelesaikan suatu masalah adalah pada umur 11 tahun – dewasa.
Sejumlah pengkajian telah memperlihatkan pola produktifitas dan kinerja pekerjaan yang cukup
konsisten dengan bertambahnya umur, yakni memperlihatkan kurva kinerja terbaik. Pada usia 30

sampai 60 tahun masih unggul karena pengalamannya dibandingkan usia belasan. Temuan yang
paling umum adalah angka kejadian kecelakaan lebih rentan pada pekerja lanjut usia (>45 tahun)
daripada pekerja muda (< 24 tahun).
2.5.2 Pendidikan
Pendidikan seseorang mempengaruhi cara berfikir dalam menghadapai pekerjaan, demikian pula
dalam menerima pelatihan ke